Esty DI (Tematik 4 Studi Quran)
Esty DI (Tematik 4 Studi Quran)
(Review Quran Menurut Perempuan: Meluruskan Bias Gender dalam Tradisi Tafsir)
estydimaniar@gmail.com
Pendahuluan
Menurut Amina Wadud, tradisi tafsir tradisional dalam keilmuan Islam mengandung bias
patriarki dikarenakan dominasi lelaki dalam bidang tersebut. Tidak ada mufassir perempuan
yang melakukan pembacaan nas Quran—sebab tokoh-tokoh perempuan dalam tarikh Islam
hanya berperan sebagai periwayat ilmu, bukan “penerjemah”—menjadikan tidak
berimbangnya gambaran petunjuk untuk laki-laki dan perempuan berdasarkan Quran.
Padahal menurutnya latar belakang, termasuk identitas gender, mempengaruhi tafsiran
seorang mufassir. Karena mayoritas mufassir dalam tradisi tafsir tradisional didominasi
lelaki, permasalahan perempuan tidak terlalu mendapatkan ruang diskusi berdasarkan
perspektif Quran. Beberapa penilaian, standar, bahkan “hukum” yang dikenakan atas mereka
pun kemudian diterjemahkan berdasarkan bias patriarkis tersebut. Atas latar belakang itu
Amina Wadud muncul dengan bukunya Quran Menurut Perempuan untuk meluruskan bias
gender tersebut guna mengangkat martabat dan mengoreksi tafsir yang keliru tentang wanita.
Amina Wadud lahir dengan nama Mary Teasley pada 25 September 1952. Pada tahun
keduanya menjadi mahasiswa di Universitas Pennsylvania pada 1972 1 Amina Wadud
menjadi mualaf dan mengganti namanya dua tahun kemudian. Wadud lulus sebagai Sarjana
Sains dari Universitas Pennsylvania pada 1975 dan melanjutkan S2 dalam Kajian Timur
Dekat, kemudian menyelesaikan S3 pada bidang Kajian Arab dan Islam di Universitas
Michigan pada 1988. Saat menjalani kuliah paskasarjana Wadud juga belajar Bahasa Arab di
American University Kairo, Studi Quran dan Tafsir di Universitas Kairo, dan Filsafat di
Universitas Al-Azhar. Pada 1992 Wadud menerima gelar Profesor di bidang Agama dan
Filsafat dari Universitas Virginia Commonwealth. Wadud mengambil pensiun pada 2008 dan
menjadi Visiting Profesor untuk CRCS UGM Yogyakarta.
Pada 1989 hingga 1992 Wadud menjadi Asisten Profesor Studi Quran di IIUM. Disinilah
disertasi Wadud Quran and Woman diterbitkan untuk pertama kali. Wadud juga mendirikan
LSM Sisters in Islam (SIS) yang berfokus pada tantangan kebijakan (syariat) diskriminatif
terhadap perempuan, utamanya pada isu-isu poligami, pernikahan anak, hijab, dan kekerasan
terhadap perempuan. Mereka berupaya menghadirkan kesetaraan gender, keadilan,
1
Wadud, Amina (2006). "Aishah's Legacy: The Struggle for Women's Rights within Islam". In Kamrava,
Mehran (ed.). The New Voices of Islam: Rethinking Politics and Modernity: A Reader. University of California
Press.
kebebasan, dan pemberdayaan perempuan berdasarkan kemuliaan Islam2. Dalam
melaksanakan program-programnya SIS menggunakan Quran and Woman dan metode tafsir
Wadud sebagai landasan hukum dan kerja.
2
"Sisters In Islam: Mission Statement and Objectives". www.sistersinislam.org.my.
melakukan reformasi hukum (syariat) atasnya serta melakukan pembacaan kritis terhadap
konsep talak, poligami, waris, otoritas laki-laki, hingga perawatan anak.
Secara umum buku ini bukan buku tafsir menyeluruh Quran melainkan tafsir tematik yang
disebut Wadud sebagai representasi worldview Quran. Padahal kalau benar mau meluruskan
bias gender dalam tafsir yang diklaim akan lebih berarti kalau tafsir tandingan yang dibuat
merupakan edisi lengkap dari Alfatihah hingga AnNaas. Sayangnya tidak. Wadud hanya
“mengoreksi” beberapa tafsir yang menurutnya merugikan perempuan karena ditafsir oleh
perspektif lelaki.
Sebenarnya wajar jika Wadud tidak menghasilkan karya tafsir holistik 30 juz. Bukan karena
Wadud tidak ingin, tapi metode tafsir yang digunakannya tidak memungkinkannya
melakukan itu. Dalam tafsir perempuannya Wadud menggunakan pendekatan Hermeunetika
sekaligus Historisisme. Metode yang sangat bergantung pada konteks penurunan dan aplikasi
ayat Quran tersebut tentu tidak bisa digunakan pada ayat-ayat yang tidak terdapat penjelasan
mengenai asbabun nuzul-nya. Ini menjadi kritik tersendiri terhadap karya Wadud yang tidak
holistik sekalipun menurutnya tafsir tematik berdasar worldview seperti itu justru holistik.
Di sisi lain Wadud mengklaim bentuk “tafsir tematik” seperti miliknya justru menjadi angin
segar di antara banyaknya tafsir 30 juz yang tidak melihat Quran dari kacamata lebih jauh
sehingga (masing-masing) konsep tematik yang ditawarkan (misal, keperempuanan) bisa
dibaca dengan lebih jernih dan komperhensif. Pandangan alam (worldview) Quran terhadap
perempuan, menurutnya, hanya bisa terbaca melalui tafsir tematik kontekstual.
Catatan lain dari buku ini adalah pada kecenderungan Wadud untuk menempatkan
pengetahuan dan pengalaman khasnya sebagai perempuan dalam menafsir Quran. Hal ini
tentu kontradiktif dengan premis awalnya yang bermaksud untuk meniadakan bias gender
dalam menafsir Quran. Dengan hanya memilih ayat-ayat yang dinilainya “pro” perempuan
untuk kemudian ditafsir ulang sebenarnya Wadud sudah melakukan bias tafsir, bahkan bisa
dibilang melampaui apa yang (menurutnya) dilakukan para ulama tafsir klasik. Sebab para
ulama tersebut tidak dengan sengaja memberatsebelahkan ayat-ayat tentang lelaki dan
mengesampingkan perempuan. Sementara tafsir Wadud justru dengan terbuka
mengutamakan perempuan.
Penutup
Sebagai salah satu produk tafsir kontemporer yang kontroversial dalam dunia studi Quran,
karya AminaWadud memang menjadi tantangan tersendiri sekaligus pioneer bagi tafsir-tafsir
berbasis gender yang lahir kemudian. Sekalipun secara metodologi (Hermeunetika) tafsir
tematik seperti ini sudah banyak dikritik akan tetapi aplikasinya masih populer digunakan
bahkan semakin dikembangkan. Hal ini dikarenakan permasalahan khas perempuan yang
tidak sedikit serta populernya tafsir pemuka agama yang bias gender dan merugikan kaum
perempuan, meskipun sebenarnya tafsir tersebut tidak bisa dibilang mewakili para mufassir
klasik yang telah berusaha gender-blind dalam pembacaan nas Quran.