Menonton pertandingan sepak bola secara langsung di stadion adalah sebuah kegiatan yang penuh emosional. Fisik dan psikis penonton seolah-olah diajak untuk aktif secara maksimal selama 90 menit akibat atmosfer tinggi yang hadir di dalam stadion. Apalagi jika Timnas Indonesia yang sedang berjuang di lapangan hijau. Bukan hanya fisik dan psikis yang diajak untuk aktif, tapi rasa nasionalisme juga seketika hadir di dalam stadion ketika timnas kita berlaga. Bicara mengenai sepak bola tanah air, tak lengkap apabila tidak turut membicarakan kelompok suporter terbesar di nusantara, La Grande Indonesia. Hobi saya memang menonton pertandingan timnas secara langsung di stadion. Namun, saya biasa menonton di tribun VIP dan belum pernah menonton di tribun utara, tempat pasukan La Grande Indonesia berdiri. Alasan sebenarnya praktis, saya lebih suka menonton di tempat yang nyaman tanpa asap rokok. Tidak seperti di tribun lain yang terkadang sesak karena penuh dengan asap. Selain itu, terkadang di tribun lain banyak tingkah penonton yang cukup aneh dan provokatif. Sedangkan di VIP, kita bisa duduk sangat santai karena suasananya juga nyaman. Namun, pada pertandingan persahabatan Indonesia vs Vanuatu kemarin (15/6), saya berpikiran untuk coba merasakan atmosfer tribun utara sebenarnya. Alhasil, ketika penjualan tiket sudah dibuka, saya segera memesan tiket di tribun utara, dengan harapan bisa mengenal lebih dalam dengan sosok La Grande Indonesia. Kali ini saya ditemani ke stadion oleh teman SMA saya, Farhan. Ia memang cukup sering pergi bersama saya ke stadion, apalagi ketika ajang Asian Games 2018 kemarin, hampir setiap hari kami pergi ke stadion untuk mendukung cabang olahraga apapun. Pukul lima sore kami sudah berada di Gelora Bung Karno, Senayan. Setelah sholat maghrib, kami langsung masuk ke dalam tribun. Saya cukup kaget, karena suasana yang dihadirkan di tribun utara ini sangat riuh. Pantas saja, salah satu pimpinan LGI pernah berkata kalau salah satu visi dari LGI antara lain membuat daya magis alias menjaga “angker”nya GBK. Dan saya percaya, LGI telah berhasil melakukan itu. Pemandangan yang tidak saya dapatkan di tribun VIP adalah kursi yang seolah-olah tidak memiliki fungsi di tribun utara ini. Seluruh penonton tidak ada yang menduduki kursinya. Hal ini juga merupakan salah satu peraturan dari LGI yang mewajibkan semua penontonnya untuk berdiri 90 menit penuh. Selain itu, saya merasakan apa yang tidak dirasakan diri saya ketika duduk di tribun lain. Yaitu kedekatan penonton yang kental. Di sini saya merasakan hangatnya rangkulan dari penonton sebelah saya ketika bernyanyi mengeluarkan chants untuk timnas. Selain itu, saya beranggapan bahwa di tribun ini saya merasa lebih berkeringat karena seluruh anggota tubuh saya bergerak mengikuti komando pemimpin yang berdiri di depan. “Mas, maaf bisa dimatikan dulu handphone nya? Disini kita 90 menit full buat dukung timnas. Mas di tribun utara harus patuh sama peraturan LGI ya mas.” Tegur salah satu penonton yang berdiri di samping kanan saya. Saya baru sadar kalau di tribun utara kita tidak boleh sedetikpun membuka gawai selama pertandingan. Sayapun tidak merasa dendam dan menghormati peraturan dari LGI. Toh, saya memiliki prinsip “dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung” alias ketika saya sedang bertandang ke kandang orang, saya harus mengikuti peraturan yang berlaku. Kami tak henti-hentinya bernyanyi untuk timnas sampai peluit panjang dibunyikan. Hasil akhir pertandingan adalah 6-0 untuk timnas Indonesia. Dan saya merasa jatuh cinta dengan atmosfer tribun utara. Dari tribun utara saya belajar mengenai konsep suporter sebenarnya. Yaitu menjadi pemain ke-12 untuk tim yang sedang berjuang di lapangan. Kami memang tidak bermain, tapi teriakan kami adalah sebuah doa, nyanyian kami dapat menggetarkan seisi stadion, dan koreo yang kami buat dapat merusak psikis musuh. Hal ini sudah tidak asing lagi dilihat di negara yang memiliki jiwa hooligan terhadap sepak bola yang tinggi, seperti Inggris dan Rusia. Di benua eropa sana saya rasa keberadaan suporter bisa lebih “gila” lagi. Ada yang sampai telanjang dada, membuat koreo dengan spanduk sebesar tribun, atau membuat sebuah gambar dengan kumpulan kertas-kertas yang dipegang masing-masing suporter. Dan dari tribun utara pula, jiwa suporter saya diperkuat. Saya betul-betul percaya bahwa keberadaan suporter di stadion sangat berguna untuk kepentingan pemain di lapangan. Apalagi jika mendukung negara sendiri. Ayah saya pernah berkata, “Kalau kamu belum bisa berjuang mengharumkan nama Indonesia, dukunglah mereka yang sedang berjuang untuknya.” Dan ucapan ayah saya saat itu telah menjadi pedoman untuk diri saya sendiri. Saya tetap akan mendukung siapapun yang sedang berjuang untuk tanah air sampai kapanpun, sampai kapanpun.