Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan dunia bisnis saat ini sudah marak terjadi, banyak sekali diadakan

perjanjian ataupun transaksi bisnis baik nasional maupun transnasional. Tidak jarang

dalam suatu perjanjian timbullah sengketa diantara para pihak karena adanya kesalah

pahaman, wanprestasi, maupun perbedaan pendapat. Umumnya masyarakat awam

berfikir bahwa suatu konflik hanya dapat diselesaikan melalui jalur litigasi atau

pengadilan, bahkan para ahli pun berfikir demikian.1 Padahal hal tersebut merupakan

pilihan lama, saat ini dalam menyelesaikan permasalahan bisnis tentu para pihak

menginginkan proses yang cepat, tertutup untuk umum, dan juga final yang mana hal ini

terdapat dalam Alternatif Penyelesaian Sengketa (Alternative Dispute Resolution) dan

Arbitrase yang dilakukan diluar jalur pengadilan. Alternatif Penyelesaian Sengketa itu

sendiri merupakan suatu Lembaga penyelesaian suatu sengketa melalui prosedur yang

disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsiliasi,

negosiasi, mediasi, konsultasi, atau penilaian ahli.

Salah satu sengketa yang menggunakan proses Arbitrase dalam hal ini yakni sengketa

antara PT. Petronas Niaga dengan PT. Persada Sembada, dimana Lembaga yang dipakai

dalam menyelesaikan sengketa antara kedua belah pihak ini yakni menggunakan Badan

Arbitrase Nasional Indonesia. Yang mana dalam Karya Tulis ini akan dijelaskan

mengenai sengketa antara PT. Petronas Niaga dengan PT. Persada Sembada.

B. Rumusan Masalah
1
I Made Widyana, Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR), (Jakarta: PT Fikahati Aneska, 2009), hal. 1.
1. Apa yang dimaksud dengan penyelesaian sengketa dengan Arbitrase?

2. Bagaimana penyelesaian sengketa antara PT. Petronas Niaga dengan PT. Persada

Sembada?

BAB II
PEMBAHASAN

A. ARBITRASE

Kata arbitrase berasal dari kata arbitrare (latin), arbitrage (belanda), arbitration

(inggris), schiedspruch (jerman), dan arbitrage (prancis), yang berarti kekuasaan untuk

menyelesaikan sesutu menurut kebijaksanaan atau damai oleh arbiter atau wasit.

Secara umum, pengertian arbitrase adalah salah satu cara untuk menyelesaikan

permasalahan sengketa perdata antara dua atau lebih pihak yang berselisih dimana

pelaksanaannya dilakukan di luar peradilan umum. Sementara berdasarkan Undang-

Undang Nomor 30 Tahun 1999 Pasal 1 ayat 1 tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa, Arbitrase adalah “salah satu cara penyelesaian suatu sengketa

perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada Perjanjian Arbitrase yang dibuat

secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa”.

Pengertian Arbitrase menurut Para Ahli:

1. H. Priyatna Abdurrasyid

“Arbitrase adalah salah satu mekanisme alternatif penyelesaian sengketa yang merupakan

bentuk tindakan hukum yang diakui oleh undang-undang di mana satu pihak atau lebih

menyerahkan sengketannya, ketidaksepahamannya, ketidakkesepakatannya dengan salah

satu pihak lain atau lebih kepada satu orang (Arbiter) atau lebih dan juga sudah ahli dan

yang profesional, yang akan bertindak sebagai hakim atau peradilan swasta yang akan

menerapkantata cara hukum perdamaian yang telah disrpakati bersama oleh para pihak

tersebut untuk sampai pada putusan yang final dan mengikat.”

2. H.M.N Poewosutjipto
“Menyatakan bahwa perwasiatan adalah:“suatau peradilan perdamaian, dimana para

pihak bersepakat agarperselisihan mereka tentang hak pribadi yang dapat mereka kuasai

sepenuhnya, diperiksa dan diadili oleh hakim yang tidak memihak,yang ditunjuk oleh

para pihak sendiri dan putusannya mengikat kedua belah pihak”.

3. Stanford M. Altschul

Arbitrase merupakan sebuah sistem penyelesaian perselisihan alternatif yang

disetujui oleh semua pihak untuk perselisihan. Sistem ini menyediakan penyelesaian

perselisihan pribadi secara cepat.

4. R. Subekti

arbitrase adalah: “penyelesaiain suatu perselisihan (perkara) oleh seseorang atau beberapa

orang wasit (arbiter) yang bersama sama di tunjuk oleh para pihak yang berperkara

dengan tidak di selesaiakn lewat pengadilan. Berdasarkan pendapat ahli atas, dapat di

simpulkan pengertian arbitrase, yaitu: “proses penyelesaian diantara para pihak yang

mengadakan perjanjian untuk menunjukan seseorang atua lebih sebagai arbiter dalam

memutus perkara yang sifat putusannya adalah final dan mengikat.”

Kedudukan Arbitrase sebagai Non-Litigasi

Non-litigasi berarti menyelesaikan masalah hukum di luar pengadilan. Jalur non-litigasi

ini dikenal sebagai Resolusi Perselisihan Alternatif.

Penyelesaian kasus di luar pengadilan diakui dalam undang-undang di Indonesia.

Pertama, dalam penjelasan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang

Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman menyatakan, "Penyelesaian kasus di


luar pengadilan, atas dasar perdamaian atau melalui wasit (arbitase) masih diizinkan".

Kedua, dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa Pasal 1 angka 10 menyatakan "Penyelesaian Sengketa Alternatif

adalah suatu lembaga untuk penyelesaian perselisihan atau perbedaan pendapat melalui

prosedur yang disepakati oleh para pihak, yaitu penyelesaian di luar pengadilan dengan

cara konsultasi, negosiasi, mediasi atau penilaian ahli. "

Konsultasi adalah tindakan yang bersifat pribadi antara suatu pihak (klien) dengan pihak

lain yang merupakan konsultan, yang memberikan pendapat atau nasihatnya kepada klien

untuk memenuhi kebutuhan dan kebutuhan klien. Konsultan hanya memberikan pendapat

(legal) seperti yang diminta oleh kliennya, dan kemudian keputusan mengenai

penyelesaian perselisihan akan diambil oleh para pihak.

Negosiasi, penyelesaian sengketa melalui musyawarah / negosiasi langsung antara pihak-

pihak yang berkonflik dengan tujuan menemukan dan menemukan bentuk penyelesaian

yang dapat diterima oleh para pihak. Perjanjian tentang penyelesaian harus kemudian

dituangkan dalam bentuk tertulis yang disepakati oleh para pihak.

Mediasi, adalah penyelesaian perselisihan melalui negosiasi, dibantu oleh pihak eksternal

yang tidak memihak untuk mendapatkan penyelesaian sengketa yang disepakati oleh para

pihak.

Konsiliasi, penyelesaian perselisihan melalui negosiasi yang melibatkan pihak ketiga

netral (konsiliator) untuk membantu para pihak dalam menemukan bentuk penyelesaian

yang disepakati oleh para pihak. Hasil konsiliasi ini harus dibuat secara tertulis dan

ditandatangani bersama oleh para pihak yang bersengketa, maka harus didaftarkan di

Pengadilan Negeri. Perjanjian tertulis ini bersifat final dan mengikat para pihak.
Pendapat ahli, upaya untuk menyelesaikan perselisihan dengan menunjuk para ahli untuk

memberikan pendapat mereka tentang masalah yang disengketakan untuk mendapatkan

pandangan yang objektif.

Keberadaan arbitrase sebagai alternatif penyelesaian sengketa sebenarnya sudah lama

dikenal, meski jarang digunakan. Istilah arbitrase pertama kali diperkenalkan di Indonesia

bersamaan dengan penerapan Op deRechtsvordering (RV) dan Regulasi Het Herziene

Indonesia (HIR) atau Bitengewes-ten (RBg) Rechtsreglement (RBg), karena pada

awalnya Arbitrase ini diatur dalam pasal 615 hingga 651 Reglement of De

Rechtvordering. Ketentuan ini tidak lagi berlaku dengan berlakunya Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 1999.

Baru setelah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Prinsip

Kekuasaan Kehakiman, keberadaan arbitrase dapat dilihat dalam penjelasan pasal 3 ayat

1 yang antara lain menyatakan bahwa penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar

perdamaian atau melalui arbitrase masih diizinkan, tetapi keputusan arbitrator hanya

memiliki kekuatan eksekutif setelah mendapatkan izin atau perintah untuk dieksekusi dari

Pengadilan.

Menurut Black Law Dictionary: "Arbitrase suatu pengaturan untuk mengambil keputusan

berdasarkan penilaian orang-orang tertentu dalam beberapa masalah yang disengketakan,

alih-alih membawanya untuk membentuk pengadilan keadilan, dan dimaksudkan untuk

menghindari formalitas, penundaan, biaya dan kekesalan dari litigasi biasa ". Menurut

Pasal 1 angka 1 UU Nomor 30 Tahun 1999 Arbitrase adalah cara untuk menyelesaikan

perselisihan sipil di luar pengadilan umum berdasarkan perjanjian arbitrase yang dibuat

secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.


Prosedur Arbitrase

Segala macam sengketa yang akan diselesaikan melalui arbitrase harus memenuhi syarat

bahwa kedua pihak yang bersengketa setuju untuk menyelesaikannya melalui arbitrase.

Dengan demikian, sengketa tidak akan dilanjutkan ke lembaga peradilan. Persetujuan ini

dilampirkan dalam klausula arbitrase, baik yang dibuat sebelum munculnya perselisihan

maupun setelahnya.

Sebelum membahas lebih jauh terkait prosedur penyelesaian sengketa perdata melalui

arbitrase, perlu diketahui bahwa ada dua opsi dalam menyelesaikan sengketa dengan

arbitrase. Pihak-pihak yang bersengekata dalam klausula arbitrasenya juga harus

menyertakan, apakah penyelesaian kasus ini akan dilaksanakan secara lembaga

(institusional) atau ad hoc.

Lembaga Arbitrase

Sesuai namanya, jasa arbitrase ini didirikan dan bersifat melekat pada sebuah lembaga

tertentu. Umumnya, lembaga arbitrase institusional memiliki prosedur dan tata cara

dalam memeriksa kasus tersendiri. Arbiternya pun diangkat dan ditentukan oleh lembaga

arbitrase institusional sendiri. Di Indonesia, ada dua lembaga arbitrase yang dapat

menjadi penengah kasus sengketa, yakni BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia),

BAPMI (Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia), dan BASYARNAS (Badan Arbitrase

Syariah Nasional Indonesia).

Ad Hoc

Sifat arbitrase ad hoc hanyalah sementara, artinya dibentuk setelah sebuah sengketa

terjadi dan akan berakhir setelah putusan dikeluarkan. Arbiternya dapat dipilih oleh

masing-masing pihak yang berselisih. Namun jika para pihak tidak menunjuk arbiter
sendiri, mereka dapat meminta bantuan pengadilan untuk mengangkat arbiter sebagai

pemeriksa dan pemutus kasus sengketa. Adapun syarat-syarat seorang arbiter juga telah

tertuang dalam pasal 9 ayat 3 Peraturan Prosedur Arbitrase Badan Arbitrase Nasional

Indonesia.

Pada prinsipnya, prosedur penyelesaian sengketa melalui arbitrase melalui lembaga

institusional dan ad hoc tidak terlalu banyak berbeda. Berikut ini adalah prosedur yang

harus dilakukan dalam menyelesaikan sengketa.

1. Pendaftaran dan Permohonan Arbitrase

Seperti yang disampaikan sebelumnya, kesepakatan penyelesaian sengketa melalui

arbitrase harus disetujui dua belah pihak. Sebelum berkas permohonan dimasukkan,

Pemohon harus lebih dulu memberitahukan Termohon bahwa sengketa akan

diselesaikan melalui jalur arbitrase. Surat pemberitahuan ini wajib diberikan secara

tertulis dan memuat lengkap informasi seperti yang tertuang pada Undang-Undang

No. 39 Tentang Arbitrase pasal 8 ayat 1 dan 2, yakni:• Nama dan alamat lengkap

Pemohon dan Termohon;

• Penunjukan klausula arbitrase yang berlaku;

• Perjanjian yang menjadi sengketa;

• Dasar tuntutan;

• Jumlah yang dituntut (apabila ada);

• Cara penyelesaian sengketa yang dikehendaki; dan

• Perjanjian tentang jumlah arbiter (atau jika tidak memiliki perjanjian ini, Pemohon

dapat mengajukan jumlah arbiter yang dikehendaki dan harus dalam jumlah yang

ganjil. Penunjukan arbiter ini juga dapat diserahkan kepada ketua BANI atau melalui
pengangkatan Ketua Pengadilan Negeri).Sebagaimana yang tertuang dalam Peraturan

Prosedur Arbitrase Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), prosedur

penyelesaian sengketa melalui arbitrase dimulai dari pendaftaran dan permohonan

arbitrase kepada Sekretariat BANI. Hal ini dilakukan oleh pihak yang memulai proses

arbitrase alias Pemohon. Penyerahan permohonan ini juga disertai dengan

pembayaran biaya pendaftaran dan administrasi (meliputi biaya administrasi

sekretariat, pemeriksaan perkara, arbiter, dan Sekretaris Majelis).

Setelah permohonan diterima dan pembayaran dilunasi, permohonan akan didaftarkan

ke dalam register BANI. Permohonan akan diperiksa untuk kemudian ditentukan

apakah perjanjian arbitrase cukup memberikan dasar kewenangan bagi BANI untuk

melakukan pemeriksaan sengketa tersebut.

2. Penunjukan Arbiter

Merujuk pada UU Arbitrase pasal 8 ayat 1 dan 2 yang disebutkan sebelumnya,

pemohon dan termohon dapat memiliki kesepakatan mengenai arbiter. Kesepakatan

ini dituliskan pada permohonan arbitrase yang disampaikan Pemohon dan dalam

jawaban Termohon (dijelaskan pada poin 3 mengenai Tanggapan Pemohon).Forum

arbitrase dapat dipimpin hanya oleh seorang arbiter (arbiter tunggal) atau Majelis. Hal

ini berdasarkan kesepakatan dua belah pihak. Adapun yang dimaksud dengan arbiter

tunggal dan Majelis adalah seperti berikut ini.• Jika diinginkan cukup arbiter tunggal,

Pemohon dan Termohon wajib memiliki kesepakatan tertulis mengenai hal ini.

Pemohon mengusulkan kepada Termohon sebuah nama yang akan dijadikan sebagai

arbiter tunggal. Apabila dalam kurun waktu 14 hari sejak usulan diterima tetapi tidak
mencapai kesepakatan, maka Ketua Pengadilan dapat melakukan pengangkatan

arbiter tunggal.

• Jika diinginkan Majelis, maka Pemohon dan Termohon masing-masing menunjuk

seorang arbiter. Karena jumlah arbiter harus ganjil, arbiter yang ditunjuk oleh dua

belah pihak harus menunjuk seorang arbiter lagi untuk menjadi arbiter ketiga (akan

menjadi Ketua Majelis). Jika dalam kurun waktu 14 hari belum mencapai

kesepakatan, maka Ketua Pengadilan Negeri akan mengangkat arbiter ketiga dari

salah satu nama yang diusulkan salah satu pihak.Sementara itu, apabila salah satu

pihak tidak dapat memberikan keputusan mengenai usulan nama arbiter yang

mewakili pihaknya dalam kurun waktu 30 hari sejak Termohon menerima surat, maka

seorang arbiter yang telah ditunjuk salah satu pihak menjadi arbiter tunggal. Putusan

arbiter tunggal ini tetap akan mengikat dua belah pihak.

3. Tanggapan Termohon

Setelah berkas permohonan didaftarkan, Badan Pengurus BANI akan memeriksa dan

memutuskan apakah BANI memang berwenang untuk melakukan pemeriksaan

sengketa, maka Sekretaris Majelis harus segera ditunjuk. Jumlah Sekretaris Majelis

boleh lebih dari satu dan bertugas untuk membantu pekerjaan administrasi kasus.

Sekretariat menyiapkan salinan permohonan arbitrase pemohon dan dokumen-

dokumen lampiran lainnya dan menyampaikannya kepada Termohon.Termohon

memiliki waktu sebanyak 30 hari untuk memberi jawaban atas permohonan tersebut.

Hal ini merupakan kewajiban Termohon. Termasuk di dalam jawaban tersebut adalah

usulan arbiter. Apabila dalam jawaban tersebut tidak disampaikan usulan arbiter,

maka secara otomatis dan mutlak penunjukan menjadi kebijakan Ketua BANI.Batas
waktu 30 hari dapat diperpanjang melalui wewenang Ketua BANI dengan syarat

tertentu. Termohon menyampaikan permohonan perpanjangan waktu untuk

menyampaikan jawaban atau menunjuk arbiter dengan menyertakan alasan-alasan

yang jelas dan sah. Maksimal perpanjangan waktu tersebut adalah 14 hari.

4. Tuntutan Balik

Dalam jangka waktu 30 hari tersebut, Termohon harus mengajukan tanggapannya

kepada BANI untuk kemudian diserahkan kepada Majelis dan Pemohon. Jawaban

tersebut harus mengandung keterangan mengenai fakta-fakta yang mendukung

permohonan arbitrase berikut butir-butir permasalahannya. Di samping itu, Termohon

juga berhak melampirkan data dan bukti lain yang relevan terhadap kasus

tersebut.Jika ternyata Termohon bermaksud untuk mengajukan suatu tuntutan balik

(rekonvensi), maka tuntutan tersebut dapat pula disertakan bersamaan dengan

pengajuan Surat Jawaban. Tuntutan balik ini juga dapat diajukan selambat-lambatnya

pada saat sidang pertama. Namun pada kondisi tertentu, Termohon dapat mengajukan

tuntutan balik pada suatu tanggal dengan memberi jaminan yang beralasan. Tentu

saja, hal ini juga dilakukan atas wewenang dan kebijakan Majelis.Seperti prosedur

permohonan arbitrase di awal, pihak Pemohon yang mendapat tuntutan balik dari

Termohon diberi waktu selama 30 hari (atau sesuai dengan kebijakan Majelis) untuk

memberi jawaban atas tuntutan tersebut. Yang perlu diingat, tuntutan balik ini

dikenakan biaya tersendiri dan harus dipenuhi oleh kedua belah pihak. Apabila

tanggungan biaya ini terselesaikan oleh kedua belah pihak, barulah tuntutan balik

akan diperiksa dan diproses lebih lanjut bersama-sama dengan tuntutan pokok.

Namun apabila ada kelalaian dari salah satu atau bahkan kedua belah pihak untuk
membayar biaya administrasi tuntutan balik—selama biaya tuntutan pokok telah

selesai dilaksanakan—maka hanya tuntutan pokok yang akan dilanjutkan

penyelenggaraan pemeriksaannya.

5. Sidang Pemeriksaan

Dalam proses pemeriksaan arbitrase, ada beberapa hal penting yang telah diatur

dalam Undang-Undang, antara lain: pemeriksaan dilakukan secara tertutup,

menggunakan bahasa Indonesia, harus dibuat secara tertulis, dan mendengar

keterangan dari para pihak.

Karena sifatnya yang tertutup, apabila ada pihak ketiga di luar perjanjian arbitrase

yang menggabungkan diri dapat disetujui kehadirannya oleh Majelis atau arbiter.

Keikutsertaan pihak ketiga ini tentu harus memiliki unsur kepentingan yang terkait

dengan sengketa yang dipersoalkan.Sementara itu, terkait dengan bahasa yang

digunakan, Majelis atau arbiter dapat mempertimbangkan untuk menggunakan bahasa

asing sesuai kesepakatan apabila ada pihak atau bahkan arbiter asing yang tidak dapat

menggunakan bahasa Indonesia, atau bagian transaksi yang menjadi penyebab

sengketa dilaksanakan dalam bahasa asing (selain Indonesia).Sebagaimana yang

termaktub dalam Undang-Undang, batas maksimal pemeriksaan sengketa adalah 180

hari terhitung sejak Majelis atau arbiter ditetapkan. Adapun hal-hal yang dapat

menjadi faktor Majelis atau arbiter memperpanjang masa pemeriksaan adalah:

• salah satu pihak mengajukan permohonan hal khusus;

• merupakan akibat ditetapkannya putusan provisional atau putusan sela lainnya; atau

• dianggap perlu oleh Majelis atau arbiter. Putusan akhir paling lama ditetapkan

dalam kurun waktu 30 hari sejak ditutupnya persidangan. Sebelum memberi putusan
akhir, Majelis atau arbiter juga memiliki hak untuk memberi putusan-putusan

pendahuluan atau putusan-putusan parsial. Namun, bila dirasa diperlukannya

perpanjangan waktu untuk menetapkan putusan akhir menurut pertimbangan Majelis

atau arbiter, maka putusan akhir dapat ditetapkan pada suatu tanggal berikutnya.

Kelebihan dan Kelemahan Arbitrase

Dalam perkembangan era globalisasi saat ini, banyak sengketa terjadi terutama dalam

dunia bisnis baik bisnis perdagangan, ekonomi, industri dan bisnis lainnya. Hal ini tidak

bisa dihindarkan karena terjadinya beda tafsir, perubahan iklim, pengaruh ekonomi,

pembagian untung yang tidak merata antara satu pihak dengan pihak lainnya. Namun

dikarenakan proses penyelesaian sengketa melalui Pengadilan cenderung lama dan

berbelit-belit sehingga para pebisnis lebih memilih menggunakan Arbitrase sebagai

langkah dalam menyelesaikan sengketa yang terjadi.

Secara umum dalam alinea keempat pada penjelasan umum Undang-Undang Nomor 30

Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dinyatakan bahwa

dalam Lembaga arbitrase memiliki kelebihan diantaranya meliputi: (1) kerahasiaan

sengketa para pihak terjamin; (2) dapat menghindari kelambatan akibat hal procedural

dan administrative; (3) para pihak dapat memilih arbiter yang diinginkan sesuai dengan

kemampuannya; (4) dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalah

arbitrase; dan (5) putusan arbiter bersifat mengikat para pihak dan dengan melalui tata

cara sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan.

Uraian tersebut menjelaskan tentang dasar pertimbangan mengapa para pihak lebih

memilih menyelesaikan sengketa melalui arbitrase dibandingkan melalui jalur peradilan


umum, pada dasarnya terdapat tiga hal pokok yakni dilakukan secara cepat, dilakukan

oleh ahlinya, dan rahasia.2

Sementara kelemahan dari arbitrase yakni yang pertama untuk mempertemukan kedua

belah pihak yang bersengketa ke hadapan arbitrase bukanlah hal yang mudah

dikarenakan dibutuhkannya kesepakatan bersama para pihak yang bersengketa,

selanjutnya dalam arbitrase juga tidak dikenal adanya preseden hukum sehingga setiap

sengketa memiliki argumentasi-argumentasi para ahli hukum yang berbeda yang

menyebabkan eksibilitas dalam mengeluarkan keputusan sulit untuk dicapai, dan yang

terakhir keputusan arbitrase selalu bergantung pada bagimana arbiter menyelesaikan

sengketa dan memuaskan para pihak yang bersengketa.3

Jenis Sengketa yang Menjadi Kewenangan Arbitrase

Objek perjanjian arbitrase sebagaimana terdapat dalam Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 1999 hanyalah sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang

menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang

bersengketa. Adapun pasal tersebut merupakan perumusan negative bahwa sengketa-

sengketa yang dianggap tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang

menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian sebagaimana

yang telah diatur dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Bab ke Delapan

Belas pasal 1851 s/d 1854, yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 1851: Perdamaian adalah suatu persetujuan yang berisi bahwa dengan

menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, kedua belah pihak mengakhiri

2
R. Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermas, 1987), h.5.
3
Huala Adolf, Arbitrase Komersil Internasional, (Jakarta: Rajawali Pers, 2002), h.18.
suatu perkara yang sedang diperiksa pengadilan ataupun mencegah timbulnya suatu

perkara bila dibuat secara tertulis.

Pasal 1852: Untuk dapat mengadakan suatu perdamaian, seseorang harus berwenang

untuk melepaskan haknya atas hal-hal yang termaktub dalam perdamaian itu. Para wali

dan pengampu tidak dapat mengadakan suatu perdamaian, kecuali jika mereka bertindak

menurut ketentuan-ketentuan dari Bab 15 dan 17 Buku Kesatu Kitab Undang-undang

Hukum Perdata ini. Kepala-kepala daerah yang bertindak demikian, begitu pula lembaga-

lembaga umum, tidak dapat mengadakan suatu perdamaian selain dengan mengindahkan

tata cara yang ditetapkan dalam peraturan - peraturan yang bersangkutan dengan jabatan

atau pekerjaannya.

Pasal 1853: Perdamaian dapat diadakan mengenai kepentingan keperdataan yang timbul

dari satu kejahatan atau pelanggaran. Dalam hal ini perdamaian sekali-kali tidak

menghalangi pihak Kejaksaan untuk menuntut kejahatan atau pelanggaran yang

bersangkutan.

Pasal 1854: Setiap perdamaian hanya menyangkut soal yang termaktub di dalamya;

pelepasan segala hak dan tuntutan yang dituliskan di situ harus diartikan sepanjang hak-

hak dan tuntutan-tuntutan itu berhubungan dengan perselisihan yang menjadi sebab

perdamaian tersebut.

Dengan demikian arbitrase tidak dapat diterapkan dalam lingkup keluarga atau privat

melainkan hanya dapat diterapkan untuk masalah perniagaan. 4

Pelaksanaan Putusan Arbitrase

4
Gatot Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2006), h. 3.
Pelaksanaan putusan arbitrase dibedakan menjadi dua yakni putusan arbitrase nasional

dan internasional. Putusan arbitrase nasional merupakan putusan arbitrase baik ad-hoc

maupun institusional, yang diputuskan di wilayah republic Indonesia. Sedangkan,

putusan arbitrase internasional merupakan putusan yang dijatuhkan oleh lembaga

arbitrase atau arbiter perorangan diluar wilayah hukum Republic Indonesia, atau putusan

lembaga arbitrase atau arbiter perorangan yang menurut ketentuan hukum Republik

Indonesia dianggap sebagai suatu putusan arbitrase internasional.5

Putusan arbitrase nasional sejatinya telah diatur dalam pasal 59-64 UU No. 30 Tahun

1999. Pada dasarnya para pihak harus melaksanakan putusan secara sukarela. Namun

untuk menghindari salah satu pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase maka putusan

tersebut harus diserahkan dan didaftarkan pada kepaniteraan pengadilan negeri, dengan

mendaftarkan dan menyerahkan lembaran asli atau Salinan otentik putusan arbitrase

nasional ke panitera pengadilan negeri dalam kurun waktu 30 hari sejak putusan arbitrase

diucapkan.

Kekuatan Putusan Arbitrase

Mengenai Kekuatan Putusan Arbitrase baik melalui lembaga Arbitrase berskala nasional

maupun secara Internasional, contohnya ada BANI, ICSID, UNCITRAL adalah final dan

binding. Dengan kata lain putusan tersebut adalah langsung menjadi putusan tingkat

pertama dan tingkat terakhir. Serta putusan menjadi mengikat para pihak dan secara

otomatis tertutup pula upaya untuk banding, dan kasasi sesuai pasal 60 UU AAPS.

Kendalanya yang teramat sering dihadapi oleh para pihak dan arbiter adalah kesepakatan

hasil arbritrase yang di tuangkan dalam perjanjian terlalu lemah di hadapan para pihak

yang menganggap hasil arbritasi itu tidak menguntungkannya. Maka terkadang banyak
5
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
dari kenyataan yang ada agar dapat melaksanakan arbritase tersebut di butuhkan

penguatan putusan melalui putusan pengadilan negeri. Lembaga arbitrase masih memiliki

ketergantungan pada pengadilan, misalnya dalam hal pelaksanaan putusan arbitrase.

Putusan Arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para

pihak. Dengan demikian terhadap Putusan Arbitrase tidak dapat diajukan banding, kasasi

atau peninjauan kembali.

Apabila ada pihak yang tidak bersedia melaksanakan Putusan Arbitrase secara sukarela,

maka :

1. Putusan Arbitrase akan dilaksanakan berdasarkan perintah eksekusi Ketua Pengadilan

Negeri setempat atas permohonan salah satu pihak yang berkepentingan;

2. pihak yang berkepentingan dapat menyampaikan pengaduan kepada pengurus dari

asosiasi/organisasi dimana ia menjadi anggota;

3. asosiasi/organisasi dimana pihak yang berkepentingan menjadi anggota dapat

menyampaikan pengaduan kepada Badan Pengawas Pasar Modal dan

asosiasi/organisasi dimana pihak yang tidak bersedia melaksanakan Putusan Arbitrase

secara sukarela menjadi anggota.

B. Penyelesaian Sengketa Antara PT. Petronas Niaga dengan PT. Persada Sembada

1. Kasus Posisi
Dalam kasus ini yang menjadi Pemohon dalam Arbitrase adalah PT. Petronas Niaga

Indonesia yaitu suatu perusahaan penanaman modal asing yang melakukan kegiatan

pengusahaan Stasiun Pengisian Bahan Bakar untuk umum atau disingkat SPBU.

Sedangkan Termohon dalam Arbitrase adalah PT. Persada Sembada yaitu Pemilik

atas sebidang tanah dan bangunan yang terletak dijalan Kramat Raya No. 57, Jakarta

Pusat, seluas kurang lebih 5.780 M² sebagaimana tercatat dalam Buku Tanah Hak

Guna Bangunan Nomor 440 atas nama PT. Persada Sembada. Bahwa tepatnya pada

tanggal 12 Oktober 2006, antara PT. Persada Sembada selaku Penjual dengan PT.

Petronas Niaga Indonesia selaku pembeli telah menandatangani perjanjian pengikatan

Jual Beli No. 01 dihadapan Notaris. Bahwa dalam pelaksanaan perjanjian tersebut

terjadi sengketa antara kedua belah pihak.

Bahwa tepatnya pada tanggal 9 Oktober 2007 PT. Petronas Niaga Indonesia telah

mengajukan permohonan arbitrase di Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI),

beralamat di Wahana Graha Lt. 2, jalan Mampang Prapatan No. 2 Jakarta,

sebagaimana tercatat dalam perkara Arbitrase Nomor: 266/X/ARB-BANI/2007

tanggal 9 Oktober 2007, yang pada pokoknya alasan diajukannya permohonan

arbitrase tersebut sehubung dengan Termohon (PT. Persada Sembada) telah

melakukan cidera janji (Wanprestasi) terhadap perjanjian pengikatan dengan tidak

menyerahkan seluruh ijin-ijin yang disyaratkan dalam pasal 2 dalam jangka waktu

yang ditetapkan dalam Pasal 2.1. juncto Pasal 5.1. perjanjian, yaitu 180 hari kalender

ditambah perpanjangan 90 hari kalender sejak ditandatanganni perjanjian. Bahwa atas

permohonan Arbitrase tersebut, pada tanggal 27 Mei 2008 Majelis Arbitrase

memeriksa perkara No.: 266/X/ARB-BANI/2007 telah membacakan Putusannya


(Putusan Arbitrase), yang pada pokoknya Termohon (PT. Persada Sembada) telah

cidera janji (Wanprestasi) terhadap akta perjanjian jual beli dan Termohon dihukum

untuk mengembalika seluruh pembayaran sebesar Rp. 24.456.200.000,- dan termohon

juga dihhukum untuk membayar bunga sebesar 6% kepada PT. Peronas Niaga

Indonesia. Bahwa dalam putusan Arbitrase dinyatakan dalam Pengadilan Negeri

Jakarta Pusat telah ditunjuk untuk melaksanakan putusan arbitrase. Bahwa pada hari

senin tanggal 17 Juni 2008 Sekretaris Majelis sidang BANI a quo telah menyerahkan

dan mendaftarkan Putusan Arbitrase Nomor : 266/X/ARB-BANI/2007 tanggal 27

Mei 2008 di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, sebagaimana tercatat

dalam akta pendaftaran Nomor : 03/WASIT/2008/PN.Jkt.Pst .

Bahwa kemudian pada tanggal 14 Juli 2008 Pemohon telah mengajukan permohonan

pembatalan Putusan Arbitrase Nomor: 266/X/ARB-BANI/2007 di Kepaniteraan

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dengan demikian permohonan ini telah diajukan

dalam kurun waktu 30 hari.

2. Penyelesaian Sengketa

Jika mengenalisa kasus antara PT. Petronas Niaga Indonesia dengan PT. Persada

Sembada yang dikaitkan dengan kelebihan dari arbitrase dibandingkan dengan litigasi

maka akan terlihat banyak keunggulan dari arbitrase tersebut. Dalam huruf “a”

paragraf 4 penjelasan umum UU No. 30/1999 kelebihan pertama arbitrase adalah

“dijamin kerahasiaan sengketa para pihak”. Kelebihan pertama ini dapat dilihat dari

kasus diatas bahwa persidangan arbitrase yang dilakukan oleh BANI bersifat tertutup

untuk umum (Pasal 27), itu artinya persidangan hanya dihadiri oleh para pihak dan
arbiter, selain itu mungkin hanya saksi dan saksi ahli yang mana hanya mengikuti

sebagian persidangan saja. Kelebihan pertama dari arbitrase tersebut pun juga dapat

dilihat dari Putusan yang oleh BANI tidak dipublikasikan.

Selanjutnya “dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan

administratif”. dari kasus tersebut dapat dilihat bahwa pada tanggal 9 Oktober 2007

PT. Petronas Niaga Indonesia telah mengajukan permohonan Arbitrase dan pada

tanggal 27 Mei 2008 Majelis arbitrase telah membacakan putusan arbitrase. Artinya

jika dilihat kurang lebih dalam kurun waktu 7 bulan telah ada putusan dari sengketa

tersebut. untuk pemeriksaan saja dalam pasal 48 UU No. 30/1999 paling lama adalah

180 hari ( 6 bulan), belum ditambah penunjukkan dan pengangkatan arbiter dan

sebagainya. Untuk itu dapat dikatakan dalam kasus diatas yang diselesaikan dalam

waktu 7 bulan telah sesuai dengan UU arbitrase, dan waktu 7 bulan tersebut relativ

singkat dibandingkan jika perkara ini diajukan ke Pengadilan Negeri yang bisa

memakan waktu yang lama.

Lalu berdasarkan paragraf 4 penjelasan umum UU No. 30/1999 adalah “para pihak

dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan,

pengalaman serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan,

jujur dan adil´”. Dalam kasus diatas tidak diketahui dengan jelas bagaimana

penunjukkan dan pemilihan arbiter atau majelis arbiter. Namun jika mengacu pada

UU No. 30/1999 dengan jelas para pihak dapat memilih dan mengajukan siapa

arbiternya. (Pasal 12 – 21)

Berdasarkan paragraph 4 penjelasan umum UU No. 30/1999 adalah “para pihak dapat

menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya serta proses dan tempat
penyelenggaraan arbitrase “. Jika dikaitkan dengan kasus diatas sudah jelas para

pihak dapat menentukan pilihan hukumnya dan tempat penyelenggaraan arbitrase.

Para pihak dalam perjanjiannya telah menyatakan jika terjadi sengketa maka akan

diselesaikan melalui lembaga arbitrase yaitu BANI dan pilihan hukumnya adalah

berdasarkan hukum Indonesia. Dengan dipilihnya BANI sebagai lembaga arbitrase

dengan demikian para pihak juga telah sepakat untuk tempat penyelenggaraab

arbitrase yaitu di Jakarta.

Serta menurut paragraf 4 penjelasan umum UU No. 30/1999 adalah “putusan arbiter

merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui tata cara

(prosedur) sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan”. Jika dikaitkan pada

kasus diatas bahwa dalam putusan Arbitrase dinyatakan dalam Pengadilan Negeri

Jakarta Pusat telah ditunjuk untuk melaksanakan putusan arbitrase. Dan pada hari

senin tanggal 17 Juni 2008 Sekretaris Majelis sidang BANI a quo telah menyerahkan

dan mendaftarkan Putusan Arbitrase Nomor: 266/X/ARB-BANI/2007 tanggal 27 Mei

2008 di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, sebagaimana tercatat dalam

akta pendaftaran Nomor : 03/WASIT/2008/PN.Jkt.Pst.

Maka dengan adanya pendaftaran putusan arbitrase ke pengadilan negeri maka

putusan tersebut akan mutlak mempunyai kekuatan eksekutorial

BAB III

PENUTUP
Penyelesaian sengketa melalui jalur Arbitrase memiliki berbagai kelebihan yakni kerahasiaan

mengenai sengketa terjamin, diselesaikan oleh arbiter yang dapat dipilih berdasarkan

kemampuan dan keahliannya, para pihak juga dapat menentukan pilihan hukum serta dimana

sengketa tersebut akan diselesaikan, selain itu putusan arbiter bersifat final dan mengikat bagi

para pihak.

Namun penggunaan arbitrase juga dapat menjadi kekurangan sebagaimana terjadi dalam kasus

PT. Petronas Niaga dengan PT. Persada Sembada. Meskipun putusan arbiter bersifat final dan

mengikat akan tetapi dalam pelaksanaannya masih perlu putusan arbiter untuk didaftarkan ke

pengadilan negeri sehingga pihak yang terdapat di dalamnya mau tidak mau melaksanakan

putusannya.

DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku
Adolf, Huala, Arbitrase Komersil Internasional, Jakarta: Rajawali Pers, 2002

I Made Widyana, Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR), (Jakarta: PT Fikahati Aneska, 2009)

Siemartono, Gatot, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,

2006

Subekti, R., Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermas, 1987.

Sumber Hukum/Undang-Undang

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa.

Anda mungkin juga menyukai