PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan dunia bisnis saat ini sudah marak terjadi, banyak sekali diadakan
perjanjian ataupun transaksi bisnis baik nasional maupun transnasional. Tidak jarang
dalam suatu perjanjian timbullah sengketa diantara para pihak karena adanya kesalah
berfikir bahwa suatu konflik hanya dapat diselesaikan melalui jalur litigasi atau
pengadilan, bahkan para ahli pun berfikir demikian.1 Padahal hal tersebut merupakan
pilihan lama, saat ini dalam menyelesaikan permasalahan bisnis tentu para pihak
menginginkan proses yang cepat, tertutup untuk umum, dan juga final yang mana hal ini
Arbitrase yang dilakukan diluar jalur pengadilan. Alternatif Penyelesaian Sengketa itu
sendiri merupakan suatu Lembaga penyelesaian suatu sengketa melalui prosedur yang
disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsiliasi,
Salah satu sengketa yang menggunakan proses Arbitrase dalam hal ini yakni sengketa
antara PT. Petronas Niaga dengan PT. Persada Sembada, dimana Lembaga yang dipakai
dalam menyelesaikan sengketa antara kedua belah pihak ini yakni menggunakan Badan
Arbitrase Nasional Indonesia. Yang mana dalam Karya Tulis ini akan dijelaskan
mengenai sengketa antara PT. Petronas Niaga dengan PT. Persada Sembada.
B. Rumusan Masalah
1
I Made Widyana, Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR), (Jakarta: PT Fikahati Aneska, 2009), hal. 1.
1. Apa yang dimaksud dengan penyelesaian sengketa dengan Arbitrase?
2. Bagaimana penyelesaian sengketa antara PT. Petronas Niaga dengan PT. Persada
Sembada?
BAB II
PEMBAHASAN
A. ARBITRASE
Kata arbitrase berasal dari kata arbitrare (latin), arbitrage (belanda), arbitration
(inggris), schiedspruch (jerman), dan arbitrage (prancis), yang berarti kekuasaan untuk
menyelesaikan sesutu menurut kebijaksanaan atau damai oleh arbiter atau wasit.
permasalahan sengketa perdata antara dua atau lebih pihak yang berselisih dimana
Undang Nomor 30 Tahun 1999 Pasal 1 ayat 1 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa, Arbitrase adalah “salah satu cara penyelesaian suatu sengketa
perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada Perjanjian Arbitrase yang dibuat
1. H. Priyatna Abdurrasyid
“Arbitrase adalah salah satu mekanisme alternatif penyelesaian sengketa yang merupakan
bentuk tindakan hukum yang diakui oleh undang-undang di mana satu pihak atau lebih
satu pihak lain atau lebih kepada satu orang (Arbiter) atau lebih dan juga sudah ahli dan
yang profesional, yang akan bertindak sebagai hakim atau peradilan swasta yang akan
menerapkantata cara hukum perdamaian yang telah disrpakati bersama oleh para pihak
2. H.M.N Poewosutjipto
“Menyatakan bahwa perwasiatan adalah:“suatau peradilan perdamaian, dimana para
pihak bersepakat agarperselisihan mereka tentang hak pribadi yang dapat mereka kuasai
sepenuhnya, diperiksa dan diadili oleh hakim yang tidak memihak,yang ditunjuk oleh
3. Stanford M. Altschul
disetujui oleh semua pihak untuk perselisihan. Sistem ini menyediakan penyelesaian
4. R. Subekti
arbitrase adalah: “penyelesaiain suatu perselisihan (perkara) oleh seseorang atau beberapa
orang wasit (arbiter) yang bersama sama di tunjuk oleh para pihak yang berperkara
dengan tidak di selesaiakn lewat pengadilan. Berdasarkan pendapat ahli atas, dapat di
simpulkan pengertian arbitrase, yaitu: “proses penyelesaian diantara para pihak yang
mengadakan perjanjian untuk menunjukan seseorang atua lebih sebagai arbiter dalam
Kedua, dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
adalah suatu lembaga untuk penyelesaian perselisihan atau perbedaan pendapat melalui
prosedur yang disepakati oleh para pihak, yaitu penyelesaian di luar pengadilan dengan
Konsultasi adalah tindakan yang bersifat pribadi antara suatu pihak (klien) dengan pihak
lain yang merupakan konsultan, yang memberikan pendapat atau nasihatnya kepada klien
untuk memenuhi kebutuhan dan kebutuhan klien. Konsultan hanya memberikan pendapat
(legal) seperti yang diminta oleh kliennya, dan kemudian keputusan mengenai
pihak yang berkonflik dengan tujuan menemukan dan menemukan bentuk penyelesaian
yang dapat diterima oleh para pihak. Perjanjian tentang penyelesaian harus kemudian
Mediasi, adalah penyelesaian perselisihan melalui negosiasi, dibantu oleh pihak eksternal
yang tidak memihak untuk mendapatkan penyelesaian sengketa yang disepakati oleh para
pihak.
netral (konsiliator) untuk membantu para pihak dalam menemukan bentuk penyelesaian
yang disepakati oleh para pihak. Hasil konsiliasi ini harus dibuat secara tertulis dan
ditandatangani bersama oleh para pihak yang bersengketa, maka harus didaftarkan di
Pengadilan Negeri. Perjanjian tertulis ini bersifat final dan mengikat para pihak.
Pendapat ahli, upaya untuk menyelesaikan perselisihan dengan menunjuk para ahli untuk
dikenal, meski jarang digunakan. Istilah arbitrase pertama kali diperkenalkan di Indonesia
awalnya Arbitrase ini diatur dalam pasal 615 hingga 651 Reglement of De
Kekuasaan Kehakiman, keberadaan arbitrase dapat dilihat dalam penjelasan pasal 3 ayat
1 yang antara lain menyatakan bahwa penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar
perdamaian atau melalui arbitrase masih diizinkan, tetapi keputusan arbitrator hanya
memiliki kekuatan eksekutif setelah mendapatkan izin atau perintah untuk dieksekusi dari
Pengadilan.
Menurut Black Law Dictionary: "Arbitrase suatu pengaturan untuk mengambil keputusan
menghindari formalitas, penundaan, biaya dan kekesalan dari litigasi biasa ". Menurut
Pasal 1 angka 1 UU Nomor 30 Tahun 1999 Arbitrase adalah cara untuk menyelesaikan
perselisihan sipil di luar pengadilan umum berdasarkan perjanjian arbitrase yang dibuat
Segala macam sengketa yang akan diselesaikan melalui arbitrase harus memenuhi syarat
bahwa kedua pihak yang bersengketa setuju untuk menyelesaikannya melalui arbitrase.
Dengan demikian, sengketa tidak akan dilanjutkan ke lembaga peradilan. Persetujuan ini
dilampirkan dalam klausula arbitrase, baik yang dibuat sebelum munculnya perselisihan
maupun setelahnya.
Sebelum membahas lebih jauh terkait prosedur penyelesaian sengketa perdata melalui
arbitrase, perlu diketahui bahwa ada dua opsi dalam menyelesaikan sengketa dengan
Lembaga Arbitrase
Sesuai namanya, jasa arbitrase ini didirikan dan bersifat melekat pada sebuah lembaga
tertentu. Umumnya, lembaga arbitrase institusional memiliki prosedur dan tata cara
dalam memeriksa kasus tersendiri. Arbiternya pun diangkat dan ditentukan oleh lembaga
arbitrase institusional sendiri. Di Indonesia, ada dua lembaga arbitrase yang dapat
menjadi penengah kasus sengketa, yakni BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia),
BAPMI (Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia), dan BASYARNAS (Badan Arbitrase
Ad Hoc
Sifat arbitrase ad hoc hanyalah sementara, artinya dibentuk setelah sebuah sengketa
terjadi dan akan berakhir setelah putusan dikeluarkan. Arbiternya dapat dipilih oleh
masing-masing pihak yang berselisih. Namun jika para pihak tidak menunjuk arbiter
sendiri, mereka dapat meminta bantuan pengadilan untuk mengangkat arbiter sebagai
pemeriksa dan pemutus kasus sengketa. Adapun syarat-syarat seorang arbiter juga telah
tertuang dalam pasal 9 ayat 3 Peraturan Prosedur Arbitrase Badan Arbitrase Nasional
Indonesia.
institusional dan ad hoc tidak terlalu banyak berbeda. Berikut ini adalah prosedur yang
arbitrase harus disetujui dua belah pihak. Sebelum berkas permohonan dimasukkan,
diselesaikan melalui jalur arbitrase. Surat pemberitahuan ini wajib diberikan secara
tertulis dan memuat lengkap informasi seperti yang tertuang pada Undang-Undang
No. 39 Tentang Arbitrase pasal 8 ayat 1 dan 2, yakni:• Nama dan alamat lengkap
• Dasar tuntutan;
• Perjanjian tentang jumlah arbiter (atau jika tidak memiliki perjanjian ini, Pemohon
dapat mengajukan jumlah arbiter yang dikehendaki dan harus dalam jumlah yang
ganjil. Penunjukan arbiter ini juga dapat diserahkan kepada ketua BANI atau melalui
pengangkatan Ketua Pengadilan Negeri).Sebagaimana yang tertuang dalam Peraturan
arbitrase kepada Sekretariat BANI. Hal ini dilakukan oleh pihak yang memulai proses
apakah perjanjian arbitrase cukup memberikan dasar kewenangan bagi BANI untuk
2. Penunjukan Arbiter
ini dituliskan pada permohonan arbitrase yang disampaikan Pemohon dan dalam
arbitrase dapat dipimpin hanya oleh seorang arbiter (arbiter tunggal) atau Majelis. Hal
ini berdasarkan kesepakatan dua belah pihak. Adapun yang dimaksud dengan arbiter
tunggal dan Majelis adalah seperti berikut ini.• Jika diinginkan cukup arbiter tunggal,
Pemohon dan Termohon wajib memiliki kesepakatan tertulis mengenai hal ini.
Pemohon mengusulkan kepada Termohon sebuah nama yang akan dijadikan sebagai
arbiter tunggal. Apabila dalam kurun waktu 14 hari sejak usulan diterima tetapi tidak
mencapai kesepakatan, maka Ketua Pengadilan dapat melakukan pengangkatan
arbiter tunggal.
seorang arbiter. Karena jumlah arbiter harus ganjil, arbiter yang ditunjuk oleh dua
belah pihak harus menunjuk seorang arbiter lagi untuk menjadi arbiter ketiga (akan
menjadi Ketua Majelis). Jika dalam kurun waktu 14 hari belum mencapai
kesepakatan, maka Ketua Pengadilan Negeri akan mengangkat arbiter ketiga dari
salah satu nama yang diusulkan salah satu pihak.Sementara itu, apabila salah satu
pihak tidak dapat memberikan keputusan mengenai usulan nama arbiter yang
mewakili pihaknya dalam kurun waktu 30 hari sejak Termohon menerima surat, maka
seorang arbiter yang telah ditunjuk salah satu pihak menjadi arbiter tunggal. Putusan
3. Tanggapan Termohon
Setelah berkas permohonan didaftarkan, Badan Pengurus BANI akan memeriksa dan
sengketa, maka Sekretaris Majelis harus segera ditunjuk. Jumlah Sekretaris Majelis
boleh lebih dari satu dan bertugas untuk membantu pekerjaan administrasi kasus.
memiliki waktu sebanyak 30 hari untuk memberi jawaban atas permohonan tersebut.
Hal ini merupakan kewajiban Termohon. Termasuk di dalam jawaban tersebut adalah
usulan arbiter. Apabila dalam jawaban tersebut tidak disampaikan usulan arbiter,
maka secara otomatis dan mutlak penunjukan menjadi kebijakan Ketua BANI.Batas
waktu 30 hari dapat diperpanjang melalui wewenang Ketua BANI dengan syarat
yang jelas dan sah. Maksimal perpanjangan waktu tersebut adalah 14 hari.
4. Tuntutan Balik
kepada BANI untuk kemudian diserahkan kepada Majelis dan Pemohon. Jawaban
juga berhak melampirkan data dan bukti lain yang relevan terhadap kasus
pengajuan Surat Jawaban. Tuntutan balik ini juga dapat diajukan selambat-lambatnya
pada saat sidang pertama. Namun pada kondisi tertentu, Termohon dapat mengajukan
tuntutan balik pada suatu tanggal dengan memberi jaminan yang beralasan. Tentu
saja, hal ini juga dilakukan atas wewenang dan kebijakan Majelis.Seperti prosedur
permohonan arbitrase di awal, pihak Pemohon yang mendapat tuntutan balik dari
Termohon diberi waktu selama 30 hari (atau sesuai dengan kebijakan Majelis) untuk
memberi jawaban atas tuntutan tersebut. Yang perlu diingat, tuntutan balik ini
dikenakan biaya tersendiri dan harus dipenuhi oleh kedua belah pihak. Apabila
tanggungan biaya ini terselesaikan oleh kedua belah pihak, barulah tuntutan balik
akan diperiksa dan diproses lebih lanjut bersama-sama dengan tuntutan pokok.
Namun apabila ada kelalaian dari salah satu atau bahkan kedua belah pihak untuk
membayar biaya administrasi tuntutan balik—selama biaya tuntutan pokok telah
penyelenggaraan pemeriksaannya.
5. Sidang Pemeriksaan
Dalam proses pemeriksaan arbitrase, ada beberapa hal penting yang telah diatur
Karena sifatnya yang tertutup, apabila ada pihak ketiga di luar perjanjian arbitrase
yang menggabungkan diri dapat disetujui kehadirannya oleh Majelis atau arbiter.
Keikutsertaan pihak ketiga ini tentu harus memiliki unsur kepentingan yang terkait
asing sesuai kesepakatan apabila ada pihak atau bahkan arbiter asing yang tidak dapat
hari terhitung sejak Majelis atau arbiter ditetapkan. Adapun hal-hal yang dapat
• merupakan akibat ditetapkannya putusan provisional atau putusan sela lainnya; atau
• dianggap perlu oleh Majelis atau arbiter. Putusan akhir paling lama ditetapkan
dalam kurun waktu 30 hari sejak ditutupnya persidangan. Sebelum memberi putusan
akhir, Majelis atau arbiter juga memiliki hak untuk memberi putusan-putusan
atau arbiter, maka putusan akhir dapat ditetapkan pada suatu tanggal berikutnya.
Dalam perkembangan era globalisasi saat ini, banyak sengketa terjadi terutama dalam
dunia bisnis baik bisnis perdagangan, ekonomi, industri dan bisnis lainnya. Hal ini tidak
bisa dihindarkan karena terjadinya beda tafsir, perubahan iklim, pengaruh ekonomi,
pembagian untung yang tidak merata antara satu pihak dengan pihak lainnya. Namun
Secara umum dalam alinea keempat pada penjelasan umum Undang-Undang Nomor 30
Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dinyatakan bahwa
sengketa para pihak terjamin; (2) dapat menghindari kelambatan akibat hal procedural
dan administrative; (3) para pihak dapat memilih arbiter yang diinginkan sesuai dengan
arbitrase; dan (5) putusan arbiter bersifat mengikat para pihak dan dengan melalui tata
Uraian tersebut menjelaskan tentang dasar pertimbangan mengapa para pihak lebih
Sementara kelemahan dari arbitrase yakni yang pertama untuk mempertemukan kedua
belah pihak yang bersengketa ke hadapan arbitrase bukanlah hal yang mudah
selanjutnya dalam arbitrase juga tidak dikenal adanya preseden hukum sehingga setiap
menyebabkan eksibilitas dalam mengeluarkan keputusan sulit untuk dicapai, dan yang
Nomor 30 Tahun 1999 hanyalah sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang
menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang
sengketa yang dianggap tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang
yang telah diatur dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Bab ke Delapan
Pasal 1851: Perdamaian adalah suatu persetujuan yang berisi bahwa dengan
menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, kedua belah pihak mengakhiri
2
R. Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermas, 1987), h.5.
3
Huala Adolf, Arbitrase Komersil Internasional, (Jakarta: Rajawali Pers, 2002), h.18.
suatu perkara yang sedang diperiksa pengadilan ataupun mencegah timbulnya suatu
untuk melepaskan haknya atas hal-hal yang termaktub dalam perdamaian itu. Para wali
dan pengampu tidak dapat mengadakan suatu perdamaian, kecuali jika mereka bertindak
Hukum Perdata ini. Kepala-kepala daerah yang bertindak demikian, begitu pula lembaga-
lembaga umum, tidak dapat mengadakan suatu perdamaian selain dengan mengindahkan
tata cara yang ditetapkan dalam peraturan - peraturan yang bersangkutan dengan jabatan
atau pekerjaannya.
dari satu kejahatan atau pelanggaran. Dalam hal ini perdamaian sekali-kali tidak
bersangkutan.
pelepasan segala hak dan tuntutan yang dituliskan di situ harus diartikan sepanjang hak-
hak dan tuntutan-tuntutan itu berhubungan dengan perselisihan yang menjadi sebab
perdamaian tersebut.
Dengan demikian arbitrase tidak dapat diterapkan dalam lingkup keluarga atau privat
4
Gatot Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2006), h. 3.
Pelaksanaan putusan arbitrase dibedakan menjadi dua yakni putusan arbitrase nasional
dan internasional. Putusan arbitrase nasional merupakan putusan arbitrase baik ad-hoc
arbitrase atau arbiter perorangan diluar wilayah hukum Republic Indonesia, atau putusan
lembaga arbitrase atau arbiter perorangan yang menurut ketentuan hukum Republik
Putusan arbitrase nasional sejatinya telah diatur dalam pasal 59-64 UU No. 30 Tahun
1999. Pada dasarnya para pihak harus melaksanakan putusan secara sukarela. Namun
untuk menghindari salah satu pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase maka putusan
tersebut harus diserahkan dan didaftarkan pada kepaniteraan pengadilan negeri, dengan
mendaftarkan dan menyerahkan lembaran asli atau Salinan otentik putusan arbitrase
nasional ke panitera pengadilan negeri dalam kurun waktu 30 hari sejak putusan arbitrase
diucapkan.
Mengenai Kekuatan Putusan Arbitrase baik melalui lembaga Arbitrase berskala nasional
maupun secara Internasional, contohnya ada BANI, ICSID, UNCITRAL adalah final dan
binding. Dengan kata lain putusan tersebut adalah langsung menjadi putusan tingkat
pertama dan tingkat terakhir. Serta putusan menjadi mengikat para pihak dan secara
otomatis tertutup pula upaya untuk banding, dan kasasi sesuai pasal 60 UU AAPS.
Kendalanya yang teramat sering dihadapi oleh para pihak dan arbiter adalah kesepakatan
hasil arbritrase yang di tuangkan dalam perjanjian terlalu lemah di hadapan para pihak
yang menganggap hasil arbritasi itu tidak menguntungkannya. Maka terkadang banyak
5
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
dari kenyataan yang ada agar dapat melaksanakan arbritase tersebut di butuhkan
penguatan putusan melalui putusan pengadilan negeri. Lembaga arbitrase masih memiliki
Putusan Arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para
pihak. Dengan demikian terhadap Putusan Arbitrase tidak dapat diajukan banding, kasasi
Apabila ada pihak yang tidak bersedia melaksanakan Putusan Arbitrase secara sukarela,
maka :
B. Penyelesaian Sengketa Antara PT. Petronas Niaga dengan PT. Persada Sembada
1. Kasus Posisi
Dalam kasus ini yang menjadi Pemohon dalam Arbitrase adalah PT. Petronas Niaga
Indonesia yaitu suatu perusahaan penanaman modal asing yang melakukan kegiatan
pengusahaan Stasiun Pengisian Bahan Bakar untuk umum atau disingkat SPBU.
Sedangkan Termohon dalam Arbitrase adalah PT. Persada Sembada yaitu Pemilik
atas sebidang tanah dan bangunan yang terletak dijalan Kramat Raya No. 57, Jakarta
Pusat, seluas kurang lebih 5.780 M² sebagaimana tercatat dalam Buku Tanah Hak
Guna Bangunan Nomor 440 atas nama PT. Persada Sembada. Bahwa tepatnya pada
tanggal 12 Oktober 2006, antara PT. Persada Sembada selaku Penjual dengan PT.
Jual Beli No. 01 dihadapan Notaris. Bahwa dalam pelaksanaan perjanjian tersebut
Bahwa tepatnya pada tanggal 9 Oktober 2007 PT. Petronas Niaga Indonesia telah
menyerahkan seluruh ijin-ijin yang disyaratkan dalam pasal 2 dalam jangka waktu
yang ditetapkan dalam Pasal 2.1. juncto Pasal 5.1. perjanjian, yaitu 180 hari kalender
cidera janji (Wanprestasi) terhadap akta perjanjian jual beli dan Termohon dihukum
juga dihhukum untuk membayar bunga sebesar 6% kepada PT. Peronas Niaga
Jakarta Pusat telah ditunjuk untuk melaksanakan putusan arbitrase. Bahwa pada hari
senin tanggal 17 Juni 2008 Sekretaris Majelis sidang BANI a quo telah menyerahkan
Bahwa kemudian pada tanggal 14 Juli 2008 Pemohon telah mengajukan permohonan
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dengan demikian permohonan ini telah diajukan
2. Penyelesaian Sengketa
Jika mengenalisa kasus antara PT. Petronas Niaga Indonesia dengan PT. Persada
Sembada yang dikaitkan dengan kelebihan dari arbitrase dibandingkan dengan litigasi
maka akan terlihat banyak keunggulan dari arbitrase tersebut. Dalam huruf “a”
“dijamin kerahasiaan sengketa para pihak”. Kelebihan pertama ini dapat dilihat dari
kasus diatas bahwa persidangan arbitrase yang dilakukan oleh BANI bersifat tertutup
untuk umum (Pasal 27), itu artinya persidangan hanya dihadiri oleh para pihak dan
arbiter, selain itu mungkin hanya saksi dan saksi ahli yang mana hanya mengikuti
sebagian persidangan saja. Kelebihan pertama dari arbitrase tersebut pun juga dapat
Selanjutnya “dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan
administratif”. dari kasus tersebut dapat dilihat bahwa pada tanggal 9 Oktober 2007
PT. Petronas Niaga Indonesia telah mengajukan permohonan Arbitrase dan pada
tanggal 27 Mei 2008 Majelis arbitrase telah membacakan putusan arbitrase. Artinya
jika dilihat kurang lebih dalam kurun waktu 7 bulan telah ada putusan dari sengketa
tersebut. untuk pemeriksaan saja dalam pasal 48 UU No. 30/1999 paling lama adalah
180 hari ( 6 bulan), belum ditambah penunjukkan dan pengangkatan arbiter dan
sebagainya. Untuk itu dapat dikatakan dalam kasus diatas yang diselesaikan dalam
waktu 7 bulan telah sesuai dengan UU arbitrase, dan waktu 7 bulan tersebut relativ
singkat dibandingkan jika perkara ini diajukan ke Pengadilan Negeri yang bisa
Lalu berdasarkan paragraf 4 penjelasan umum UU No. 30/1999 adalah “para pihak
pengalaman serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan,
jujur dan adil´”. Dalam kasus diatas tidak diketahui dengan jelas bagaimana
penunjukkan dan pemilihan arbiter atau majelis arbiter. Namun jika mengacu pada
UU No. 30/1999 dengan jelas para pihak dapat memilih dan mengajukan siapa
Berdasarkan paragraph 4 penjelasan umum UU No. 30/1999 adalah “para pihak dapat
menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya serta proses dan tempat
penyelenggaraan arbitrase “. Jika dikaitkan dengan kasus diatas sudah jelas para
Para pihak dalam perjanjiannya telah menyatakan jika terjadi sengketa maka akan
diselesaikan melalui lembaga arbitrase yaitu BANI dan pilihan hukumnya adalah
dengan demikian para pihak juga telah sepakat untuk tempat penyelenggaraab
Serta menurut paragraf 4 penjelasan umum UU No. 30/1999 adalah “putusan arbiter
merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui tata cara
(prosedur) sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan”. Jika dikaitkan pada
kasus diatas bahwa dalam putusan Arbitrase dinyatakan dalam Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat telah ditunjuk untuk melaksanakan putusan arbitrase. Dan pada hari
senin tanggal 17 Juni 2008 Sekretaris Majelis sidang BANI a quo telah menyerahkan
BAB III
PENUTUP
Penyelesaian sengketa melalui jalur Arbitrase memiliki berbagai kelebihan yakni kerahasiaan
mengenai sengketa terjamin, diselesaikan oleh arbiter yang dapat dipilih berdasarkan
kemampuan dan keahliannya, para pihak juga dapat menentukan pilihan hukum serta dimana
sengketa tersebut akan diselesaikan, selain itu putusan arbiter bersifat final dan mengikat bagi
para pihak.
Namun penggunaan arbitrase juga dapat menjadi kekurangan sebagaimana terjadi dalam kasus
PT. Petronas Niaga dengan PT. Persada Sembada. Meskipun putusan arbiter bersifat final dan
mengikat akan tetapi dalam pelaksanaannya masih perlu putusan arbiter untuk didaftarkan ke
pengadilan negeri sehingga pihak yang terdapat di dalamnya mau tidak mau melaksanakan
putusannya.
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku
Adolf, Huala, Arbitrase Komersil Internasional, Jakarta: Rajawali Pers, 2002
I Made Widyana, Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR), (Jakarta: PT Fikahati Aneska, 2009)
Siemartono, Gatot, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,
2006
Sumber Hukum/Undang-Undang
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa.