Anda di halaman 1dari 13

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pendidikan merupakan upaya membangun peradaban, sebagai suatu bentuk kegiatan


kehidupan dalam masyarakat untuk mewujudkan manusia seutuhnya yang berlangsung
sepanjang hayat. Pendidikan merupakan proses bantuan yang diberikan secara sadar dan
terencana untuk mengembangkan berbagai ragam potensi peserta didik, sehinga dapat
beradaptasi secara kreatif dengan lingkungan, serta berbagai perubahan yang terjadi.

Buku ini dilengkapi dengan berbagai model pembelajaran alternative yang dapat dijadikan
rujukan dalam mengembangkan rancangan kegiatan pembelajaran, seperti model pembelajaran
STM (Sanins, Teknologi, dan Masyarakat), model pembelajaran kooperatif, model pembelajaran
inkuiri, model pembelajaran EKPA ( Elitasi, Konfrontasi, Pemahaman Konsep, dan Aplikasi
Konsep), dan model pembelajaran siklus.

Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional dan PP


Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan mengamanatkan agar
gurumerancang kegiatan pembelajaran yang akan dilaksanakan, beserta asesmennya. Oleh
karena itu, pada bab akhir dalam buku ini juga dibahas tentang bagaimana cara pengembangan
rancangan kegiatan pembelajaran dan asesmennya yang dapat mengembangkan semua potensi
yang ada dalam diri siswa, serta menumbuhkan karakter dan kreativitas anak.

B. Tujuan Penyusunan Buku

Penyusunan buku ini dimaksudkan untuk membantu mahasiswa calon guru sains, dan guru
sains dalam mengelola pembelajaran pada mata pelajaran sains. Tujuan-tujuan yang dimaksud
aalah:

1. Perubahan paradigma guru sains mengenai model pembelajran, yakni dari teacer
centered atau berpusat pada guru menjadi paradigm learning, yaitu pembelajaran yang
berorientasi pada pemberdayaan dan pengembangan semua potensi yang ada dalam diri
siswa.
2. Memberikan wawasan bagi mahasiswa calon guru sains dan guru sains mengenai
bergabagai model alternatif dalam pembelajaran sains.
3. Memberikan wawasan bagi mahasiswa calon guru dan guru sains mengenai dimensi
beljar sains.
4. Perubahan perilaku guru sains terhadap proses pembelajaran yang terasional (ceramah)
menuju berbagai macam alternative model pembelajaran sains.
5. Perubahan peran guru SD/MI dalam pembelajaran dari instruktur, information given atau
sumber belajar tunggal ke peran guru sebagai fasilitator belajar.
6. Meningkatkan pengetahuan mahasiswa calon guru dan guru sains mengenai teori
psikologi belajar, yang dapat mengembangkan lima domain sains secara holistic.
7. Memberikan bekal bagi mahasiswa calon guru dan guru sains dalam mengembangkan
rancangan pembekajaran sains.
8. Memberikan bekal bagi mahasiswa calon guru dan guru sains dalam mengembangkan
asesmen otentik yang berkelanjutan.
9. Meningkatkan keterampilan professional mehasiswa calon guru sains dalam
membelajarkan siswa pada mata pelajaran sains.
10. Menjadikan buku ini sebagai salah satu referensi teori belajar sains, medel pembelajaran
sains dan asesmennya.

BAB 2 TEORI BELAJAR SAINS

A. Hakikat Pembelajaran Sains

Chiappetta dalam Prasetyo (2013) mengutarakan bahwa hakikat sains adalah sebagai a way
of thinking (cara berpikir), a way of investigating (cara penyelidikan) dan a body of knowledge
(sekumpulan pengetahuan). Sebagai cara berpikir, sains merupakan aktivitas mental (berpikir)
orang-orang yang bergelut dalam bidang yang di kaji.

Menurut Hungerford, Volk & Ramsey (1990:13-14) sains adalah (1) proses memperoleh
informasi melalui metode empiris (empirical method); (2) informasi yang diperoleh melalui
penyelidikan yang telah ditata secara logis dan sistematis; (3) suatu kombinasi proses berpikir
kritis yang menghasilkan informasi yang dapat dipecaya dan valid.

Sains sebagai proses atau metode penyelidikan (inquiry methos) meliputi cara berpikir, sikap,
dan langkah-langkah kegiatan saintis untuk memperoleh produk-produk sains atau ilmu
pengetahuan ilmiah, misalnya observasi, pengukuran, merumuskan dan menguji hipotesis,
mengumpulkan data, bereksperimen, dan prediksi. Sementara nilai-nilai sains berhubungan
dengan tanggung jawab moral, nilai-nilai social, manfaat sains untuk sains dan kehidupan
manusia, serta sikap dan tindakan (misalnya, keingintahuan, kejujuran, ketelitian, ketekunan, hati
hati, toleran, hemat, dan pengambilan keputusan).

B. Pembelajaran Sains

Menurut Permendiknas No. 22 Tahun 2006, kompetensi dalam pembelajaran sains SD/MI,
dapat dipilahkan menjadi 5, yaitu (1) menguasai pengetahuan tentang berbagai jenis dan
perangai lingkungan alam dan lingkungan buatan dalam kaitan dengan pemanfaatannya bagi
kehidupan sehari-hari; (2) mengembangkan keterampilan proses sains; (3) pengembangkan
wawasan, sikap dan nilai-nilai yang berguna bagi siswa untuk meningkatkan kualitas kehidupan
sehari-hari; (4) mengembangkan kesadaran tentang keterkaitan yang saling mempengaruhi antar
kemampuan sains dan teknoologi dengan keadaan lingkungan serta pemanfataannya bagi
kehidupan sehari-hari; dan (5) mengembangkan kemampuan siswa untuk menerapkan iptek serta
keterampilan yang berguna dalam kehidupan sehari-hari maupun untuk melanjutkan
pendidikannya ke tingkat yang lebih tinggi.

Menurut Bambang Sumintono (2010: 64) pada dasarnya, pembelajaran sains sebagai mata
pelajaran di sekolah akan mempunyai dampak yang penting, karena hal ini berhubungan erat
dengan, 1) keberlangsungan umat manusia di dunia; 2) tuntutan angkatan kerja dalam
lingkungan ekonomiyang berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi.

Materi pelajaran sains yang diberikan di sekolah oleh perancang kurikulum sains biasanya
dikenalkan relative secara berurutan dan berlanjut sebagai persiapan untuk pelajaran di tingkat
selanjutnya. Tujuan dari pembelajaran sains sebagai produk ini adalah untuk mengembangkn
pemahaman konseptual siswa terhadap sains. Isi pelajaran meliputi berbagai fakta, konsep-
konsep, prinsip-prinsip, hokum-hukum alam, model-model dan teori-teori yang membentuk
pengetahuan formal ilmu pengetahuan.

Zuhdan K. Prasetya (2008) memaparkan lima ranah untuk pendidikan sains yang terdiri dari:

1. Knowing and understanding (knowledge domain)

Termasuk: fakta, konsep, hokum (prinsip-prinsip), beberapa hipotesis dan teori yng
digunakan para saintis, dan masalah-masalah sains dan soasial.

2. Exploring and discovering (process of sciene domain)

Yakni penggunaan beberapa keterampilan proses sains untuk belajar bagaimana para saintis
berpikir dan bekerja. Keterampilan proses dikembangkan untuk siswa SD/MI ada pelajaran
sains terdiri dari delapan aspek yaitu:

a. Keterampilan mengamati
b. Mengukur
c. Menafsirkan
d. Meramalkan
e. Menggunakan alat dan bahan
f. Mengolongkan atau mengelompokkan
g. Menerapkan konsep
h. Mengkomunikasikan
i. Mengajukan pertanyaan.

3. Imagining and creating (creating domain)

Terdapat beberapa kemampuan penting manusia dalam domain ini, yaitu mengkombinasikan
beberapa objek dan ide melalui cara-cara baru; menghasilkan alternative atau mengunakan objek
yang tidak bias digunakan; mengimajinasikan; memimpikan dan menghasilkan ide=ide yang luar
biasa.
4. Feeling and valuing (attitudinal domain)

Ranah ini merupakan ranah yang paling relevan dalam upaya pengembangan moral, (karakter
atau akhlakul karimah) peserta didik. Melalui domain ini, rasa tangung jawab, mencintai, dan
menjaga lingkungan dan alam sekitar dapat diperoleh dan di kembangkan.

Pendekatan sikap dan nilai ilmiah serta kemahiran inaniah dilakukan dalam dua penekanan
yang berbeda. Yang pertama melibatkan usaha untuk mengembangkan bebagai sikap tersebut
yang dilihat sebagai sifat-sifat ilmuan yang bila dikembangkanakan membantu siswa
menyelesaikan persoalan sejenis seperti halnya ilmuan menyelesaikannya. Beberapa sikap
tersebut di antaranya adalah:

1. Mengetahui perlu adanya bukti sebelum membuat klaim pengetahuan


2. Mengetahui butuhnya berhati-hati ketika melakukan interpretasi pada hasil
percobaan/pengamatan.
3. Kemauan untuk mempertimbangkan interpretasi yang lain juga masuk akal.
4. Kemauan untuk melakukan aktivitas percobaaan secara hati hati
5. Kemauan untuk mengecek bukti dan interpretasinya
6. Mengakui keterbatasan penyelidikan secara ilmiah(Bambang Sumintono, 2010: 78)

5. Using and applying (application and connection domain)

Yang termasuk ranah penerapan adalah: mengamati contoh konsep-konsepsains dalam


kehidupan sehari-hari; penerapan konsep-konsep dan keterampilan-keterampilan sains yang telah
dipelajari untk masalah-masalah teknologi sehari-hari; mengambil keputusan untuk diri sendiri
yang berkaitan dengan kesehatan, gizi dan gaya hidup berdasarkan pengetahuan sains daripada
berdasarkan apa yang “didengar” dan yang “dikatakan” atau emosi; serta memadukan sains
dengan subjek-subjek lain.

C. Landasan Psikologi Model Pembelajaran Sains


1. Teori Konstruktivisme

Pendekatan konstruktivisme dalam pengajaran menekankan pengajaran top down dan


bottom-up. Top down berarti bahasa siswa mulai dengan masalah kompleks untuk dipecahkan
dan kemudian memecahkan atau menemukan (dengan bimbingan guru) keterampilan-
keterampilan dasar yang diperlukan. Sedangkan pendekatan bottom-up tradisional yang mana
keterampilan-keterampilan dasar secara tahap demi tahap dibangun menjadi keterampilan-
keterampilan yang lebih kompleks.

Salah satu pendekatan dalam pengajaran konstruktivis yang sangat berpengaruh dari
Jerome Bruner adalah belajar penemuan. Siswa di dorong untuk belajar sebagian besar melalui
partisipasi aktif meraka sendiri dengan konsep dan prinsip dimana guru mendonrong siswa untuk
memiliki pengalaman serta dapat melakukan eksperimen yang memungkinkan mereka
menemukan prinsip-prinsip untuk mereka sendiri (Nur, 1998; 10).

2. Teori Piaget

Menurut Slavin implikasi dari teori Piaget dalam pembelajaran adalah sebagai berikut:

1. Memfokusskan pada proses berpikir atau proses mental anak tidak sekedar pada
produknya
2. Pengenalan dan penguatan atas peran anak-anak yang penting sekali dalam inisiatif diri
dan keterlibatan aktif dalam kegiatan pembelajaran
3. Tidak menekankan pada praktek-praktek yang disarankan untuk menjadikan anak-anak
seperti orang dewasa dalam pemikirannya
4. Penerimaan terhadap perbedaan individu

Dari uraian tersebut pembelajaran menurut konstruktivis dilakukan dengan memusatkan


perhatian kepada berpikir atau proses mental anak, tidak sekedar pada hasilnya dan
mengutamakan peran siswa dalam kegiatan pembelajaran serta memaklumi adanya perbedaan
individu dalam kemajuan perkembangan yang dapat dipengaruhi oleh perkembangan intelektual
anak.

3. Teori Vygotsky

Teori Vigotsky dalam kegiatan pembelajaran juga dikenal dengan scaffolding (perancahan),
dimana ‘perancahan’ mengacu kepada bantuan yang diberikan teman sebaya atau ornag dewasa
yang lebih kompoten, yang berarti bahwa memberikan sejumlah besar dukungan kepada anak
selama tahap-tahap awal pembelajaran dan kemudian mengurangi bantuan dan memberikan
kesempatan kepada anak itu untuk mengambil tanggung jawab yang semakin besar, segera
setelah ia mampu melakukannya sendiri. (Nur, 1998: 32)

4. Teori Ausubel Tentang Belajar Bermakna (Meaningful)

Ausubel mengemukakan bahwa belajar dikatakan bermakna jika informasi yang akan
dipelajari siswa disuusun sesuai dengan struktur kognitif yang dimiliki siswa sehingga siswa
dapat mengaitkan informasi barunya dengan struktur kognitif yang dimilikinya.

5. Teori Bandura Tentang Modeling (Pemodelan)

Ada empat (4) elemen penting yang menurut Bandura perlu diperhatikan dalam pembelajaran
melalui pengamatannya yaitu; (1). Atensi (2). Retensi (3). Reproduksi dan (4). Motivasi.

D. Landasan Filosofis dan Pedagogis

Landasan filosofis ang mendasari realisasi nilai-nilai pada anak didik tersebut ditinjau dari
cara pandang kontruktivisme. Guru hendaknya meyakini bahwa setiap anak memiliki kemauan
dan kemampuan sendiri untuk menemukan dan membangun pengetahuan, nilai-nilai dan
pengalaman masing-masing. Dengan cara pandang seperti ini maka sangat beralasan bila guru
dituntut untuk merancang sekaligus melaksanakan kegiatan pembelajaran.

BAB III MODEL-MODEL PEMBELAJARAN SAINS

A. Model Siklus Belajar (Learning Cycle)

Model ini pertama kali dikembangkan dalam program pendidikan sains dari SCIS (Science
Curriculum Improvement Study) USA pada tahun 1970 yang secara tegas merujuk pada teori
Piaget.

Keterampilam guru menggunakan model ini sangat bergantung kepada: a) pemahaman dan
penguasan guru terhadap materi pelajaran; b) pengetahuan dan keterampilan guru
menghubungkan komponen-komponen kegiatan pembelajaran; dan c) ketepatan guru memilih
metode pengajaran pada setiap fase model.

Model Siklus Belajar yang berorientasi pada konstruktivisme sangat memperhatikan


pengalaman dan pengetahuan awal siswa serta bertujuan untuk meningkatkan pemahaman
konsep siswa. Oleh karena itupada setiap fase pembelajaranya guru dituntut untuk menciptakan
kondisi pembelajaran yang beranjak dari isu-isu sains yang relevan dengan lingkungan siswa,
memicu proses dise-kuuilibrium-ekuilibrium pada diri siswa, serta memberi kesempatan kepada
siswa untuk berinteraksi dengan orang lain dalam mengemukakan kepada siswa untuk
berinteraksi dengan orang lain dalam mengemukakan dan mengembangkan pemehamannya
tentang fenomena sains.

B. Model Pembelajaran EKPA

Langkah-langkah pembelajaran model EKPA terdiri dari 4 fase pembelajaran, yaitu:

1. Fase Pertama: Elisitasi (memancing tanggapan)


Situasi pembelajaran yang mengasyikan, santai dan tidak menakutkan dipersiapan
sehingga siswa berani melakukan eksplorasi terhadap fenomena yang dihadapi serta
berani mengajukan gagasan intuitif tersebut berkaitan dengan kegiatan eksplorasi
tersebut. Pada fase ini target utama guru adalah menginventarisir pra/miskonsepsi siswa
secermat mungkin.
2. Fase Kedua: Konfrontasi
Kepada siswa ditunjukkan gagasan dan fenomena yang kontraktif dengan gagasan dan
hasil eksplorasi mereka. Doronglah siswa untuk mengubah sendiri gagasan-gagasan
lamanya yang salah menjadi gagasan-gagasan (konsep) baru yang benar. Untuk itu dapat
dibantu dengan mengembangkan dialog induktif-deduktif.
3. Fase Ketiga: Pengembangan Konsep (membangun ulang kerangka konsptual)
Pada fase ini peran guru sangat dominan yang menyampaikan konsep-konsep ilmiah
yang relevan dengan materi pelajaran, disampaikan secara sistematis sebagai upaya
mengembangkan lebih lanjut konsep-konsep yang telah yang ditemukan siswa pada fase
kedua.
4. Fase Keempat: Aplikasi Konsep
Fase ini memberi kesempatan kepada siswa menerapkan konsep-konsep baru untuk
memcahkan soal-soal, menjelaskan fenomena, melakukan praktikum lanjutan atau
merancang dan membuat hasil karya.

C. Model Pembelajaran STM

Model pembelajaran STM (Sains Teknologi dan Masyarakat) dan pendekatan


konstruktivisme merupakan muatan baru yang dimasukkan ke dalam kurikulum PGSD tahun
1995 dan kurlkulum sains SD tahun 2004/2006 dikenal dengan istilah ‘salingtemas’. (sains
lingkungan teknologi dan masyarakat.

Menurut Dimyati (1988: 178), teknologi dan ilmu pengetahuan (termasuk sains) tidak pernah
terpisah. Sejalan dengan pendapat Hoibrook (1992: 9), bahwa memahami sains hanya sebagai
suatu kesatuan konsep-konsep atau prinsip-prinsip, berarti memisahkan sains dari teknologi, dan
sains hanya dipandang sebagai ilmu murni daripada sebagai mata pelajaran yang dapat di
terapkan.

Menurut Yager(1993), pengaruh sains dan teknologi terhadap masyarakat adalah dalam hal
tanggung jawab social, membentuk opini dan masalah-masalah social, pengambilan keputusan
dan tindakan social, penyelesaian masalah-masalah praktis dan social, serta kontribusi terhadap
perkembangan ekonomi, politik, militer, dan pemikirsn-pemikiran dalam bidang social dan
budaya.

Model pembelajaran STM merupakan kerangka kerja untuk mengajar dan membiasakan
siswa berpikir global dan bertindak secara local. Artinya, pembelajaran sains di sekolah tidak
dapat dipisahkan dari isu isu atau masalah teknologi dan masyarakat. Teknologi merupakan
bagian integral dari kehidupan, dan karena itu harus menjadi bagian integran dari system
pendidikan.

D. Model Pembelajaran Kooperatif

Pembelajaran koopertif adalah salah satu bentuk pembelajaran berdasarkan paham


konstruktivis. Pembelajaran kooperatif merupakan strategi belajar dengan sejumlah siswa
sebagai anggota kelompok kecil yang tingkat kemampuannya berbeda. Dalam menyelesaikan
tugas kelompoknya, setiap siswa anggota kelompok harus saling bekerja sama dan saling
membantu untuk saling memahami materi pembelajaran. Dalam pembelajaran kooperatif, belajar
dikatakan belum selesai jika salah satu teman dalam kelompok belum menguasai bahan
pelajaran.

Model pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai setidak-tidaknya tiga tujuan


pembelajaran penting yang dirangkum oleh Miller (2002: 56) yaitu:

1. Hasil Belajar Akademik

Dalam belajar kooperatif meskipun mencakup beragam tujuan social, juga memperbaiki
prestasi siswa dan tugas-tugas akademik penting lainnya. Beberapa ahli berpendapat bahwa
model ini unggul dalam membantu siswa memahami konsep-konsep sulit. Para pengembang
model ini telah menunjukkan bahwa model struktur penghargaan kooperatif telah dapat
meningkatkan nilai siswa pada belajar akademik dan perubahan norma yang berhubungan
dengan hasil belajar.

2. Penerimaan Terhadap Perbedaan Individu

Tujuan lain model pembelajaran kooperatif adalah penerimaan secara luas dari orang-orang
yang berbeda berdasarkan ras, budaya, kelas, social, kemampuan, dan ketidakmampuannya.
Pembelajaran kooperatif memberi peluang bagi siswa dari berbagai latar belakang dan kondisi
untuk bekerja dengan saling bergantung pada tugas-tugas akademik dan melalui struktur
penghargaan kooperatif akan belajar saling menghargai satu sama lain.

3. Pengembangan Keterampilan Sosial

Tujuan penting ketiga pembelajaran kooperatif adalah, mengajarkan kepada siswa


keterampilan bekerja sama dan kolaborasi. Keterampilan-keterampilan social, penting dimiliki
oleh siswa sebab saat ini adalah anak muda masih kurang dalam keterampilan sosial.

Pada pembelajaran kooperatif walau prinsip dasar pembelajaran kooperatif tidak berubah,
terdapat beberapa variasi dari modal tersebut. Ada 4 pendekatan pembelajaran kooperatif yaitu
Student teams Achievent Division, pembelajaran kooperatif tipe investigasi kelompok,
pembelajaran kooperatif tipe pendekatan struktural dan pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw
(Arends, 2004).

1. Student Teams Achievement Divisions (STAD)

STAD dikembangkan oleh Robert slavin dan teman-temannya di Universitas John Hopkins
dan merupakan pendekatan pembelajaran kooperatif yang paling sederhana. Guru yang
menggunakan STAD juga mengacu kepada belajar kelompok siswa menyajikan informasi
akademik baru kepada siswa setiap minggu menggunakan presentasi verbal atau teks. Siswa
dalam suatu kelas tertentu dipecah menjadi kelompok dengan anggota empat sampai lima orang.

2. Pembelajaran Kooperatif Tipe Investigasi Kelompok


Investigasi kelompok mungkin merupakan model pembelajaran kooperatif yang paling
kompleks dan paling sulit untuk diterapkan. Model ini dikembangkan pertama kali oleh teladan
berbeda dengan STAD dan Jigsaw, siswa terlibat dalam perencanaan baik topik yang dipelajari
maupun bagaimana jalannya penyelidikan mereka. Pendekatan ini memerlukan norma dan
struktur kelas yang lebih rumit dari pendekatan dan lebih terpusat pada guru.

3. Pembelajaran Kooperatif Tipe Pendekatan Struktural

Pendekatan ini dikembangkan oleh Spencer Kagen dan kawan-kawannya. Meskipun


memiliki banyak kesamaan dengan pendekatan lain, namun pendekatan ini memberi penekanan
pada penggunaan struktur tertentu yang dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi siswa.
Struktur tugas yang dikembangkan oleh Kagen ini dimaksudkan sebagai alternatif terhadap
struktur kelas tradisional, seperti resitasi, di mana guru mengajukan pertanyaan kepada seluruh
kelas dan siswa memberi jawaban setelah mengangkat tangan dan ditunjuk.

4. Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw

Pembelajaran kooperatif tipe jigsaw adalah suatu tipe pembelajaran kooperatif yang terdiri
dari beberapa anggota dalam satu kelompok yang bertanggung jawab atas penguasaan bagian
materi belajar dan mampu mengajarkan bagian tersebut kepada anggota lain dalam
kelompoknya. Kelompok pada pembelajaran kooperatif tipe jigsaw merupakan kelompok kecil
yang terdiri dari 4 sampai 6 orang secara heterogen dan bekerja sama saling ketergantungan yang
positif dan bergantung bertanggung jawab atas ketuntasan bagian materi pelajaran yang harus
dipelajari dan menyampaikan materi tersebut kepada anggota kelompok yang lain.

E. Model Pembelajaran Inkuiri

Model pembelajaran yang memenuhi karakteristik dasar suatu model dan kondusif bagi
pengimplementasian pendekatan konstruktivisme adalah model pembelajaran inkuiri ilmiah atau
Biasa disingkat model inkuiri.

Model inkuiri pertama kali dikembangkan oleh Richad Suchman (1962) yang membandang
hakikat belajar sebagai latihan berpikir melalui pertanyaan-pertanyaan. Inti gagasan Suchman
adalah 1) siswa bertanya bila mereka dihadapkan pada masalah yang membingungkan, kurang
jelas atau kejadian aneh, 2) siswa memiliki kemampuan untuk menganalisis strategi berpikir
mereka, 3) strategi berpikir dapat diajarkan dan ditambahkan kepada siswa, dan 4) dapat lebih
bermakna dan efektif apabila dilakukan dalam konteks kelompok.

BAB IV ASESMEN AUTENTIK DALAM PEMBELAJARAN SAINS

A. Landasan Psikologi Asesmen Otentik


Teori ini menyimpulkan bahwa belajar harus dilakukan oleh siswa, sedangkan guru hanya
sebagai fasilitator. Tugas pokok guru adalah menciptakan lingkungan belajar yang baik,
membantu siswa merumuskan tujuan belajar, menyeimbangkan pertumbuhan intelektual dengan
pertumbuhan emosional, menyediakan sumber belajar, berbagai rasa serta memikirkan dengan
siswa dalam belajar tetapi tidak mendominasi.

Materi yang akan dibahas dalam bagian ini adalah model belajar yang semula atau
umumnya dipusatkan pada satu kemampuan pokok yang disebut aspek kognitif. Saat ini terjadi
perubahan sehingga dari 1 aspek menjadi multi aspek. Aspek-aspek tersebut didasarkan pada
teori kemampuan multiple dari Howard Gardner sejak pertengahan tahun 1980-an. Secara jelas
menunjukkan adanya kelemahan pada sekolah yang hanya Melakukan asesmen pada dua
kemampuan dasar manusia saja yaitu kemampuan logical-mathematical dan verbal-linguistic,
sedangkan kemampuan-kemampuan lain ditinggal.

Teori ini memperlihatkan secara jelas bahwa asesmen hasil maupun proses belajar tidak
hanya mengukur salah satu atau beberapa aspek kemampuan siswa. Sehingga tertutup
kemungkinan bahwa assessment hanya dilakukan melalui tes baku tetapi proses asesmen atau
terutama asesmen kinerja menjadi fokus utama assessment.

B. Asesmen Kinerja (Performance Assessment)

Istilah asesmen kinerja sering dipertukarkan dengan asesmen alternatif atau asesmen otentik.
Pengertian dasarnya adalah asesmen, yang mengharuskan siswa mempertunjukkan kinerja,
bukan menjawab atau memilih jawaban dari deretan kemungkinan jawaban yang sudah tersedia.
Misalnya dalam asesmen kinerja, siswa diminta untuk menjelaskan dalam kata-kata dan caranya
sendiri tentang peristiwa sejarah penting tertentu. Dengan cara tersebut siswa diharapkan dapat
menunjukkan penguasaannya tentang bidang ilmu sejarah yang diminta atau dapat pula siswa
diminta untuk memecahkan suatu masalah matematika dengan cara dan hasil yang benar.
Bahkan dapat juga seorang siswa diminta untuk merumuskan suatu hipotesis. Meminta siswa
untuk menjelaskan peristiwa sejarah dengan kata-kata dan caranya sendiri, atau meminta siswa
untuk merumuskan hipotesis merupakan pemberian tugas dari guru kepada siswa. Dalam
asesmen kinerja, ‘’tugas’’ dikatakan sebagai task.

Langkah-langkah yang dilakukan dalam penyusunan tugas tugas (task) sesungguhnya cukup
sederhana, namun untuk menyusun tugas yang baik dan cukup menggambarkan kompleksitas
tentu saja membutuhkan kemampuan dan keterampilan melalui pelatihan yang memadahi.
Adapun langkah-langkah sederhana yang dapat dilakukan guru adalah sebagai berikut:

1. Mengidentifikasi pengetahuan dan keterampilan yang diharapkan dapat dimiliki siswa setelah
mengerjakan atau menyelesaikan tugas.

2. Merancang tugas-tugas untuk asesmen kinerja yang memungkinkan siswa dapat menunjukkan
kemampuan berpikir dan keterampilan.
3. Menetapkan kriteria keberhasilan yang akan dijadikan tolak ukur untuk menyatakan bahwa
seorang siswa telah mencapai tingkat pengetahuan atau keterampilan yang diharapkan.

Sebagai kriteria dan alat prakson, rubrik terdiri dari senarai yaitu daftar kriteria yang
diwujudkan dengan dimensi-dimensi kinerja, aspek-aspek atau konsep-konsep yang akan dinilai
dan gradasi mutu mulai dari tingkat yang paling sempurna sampai dengan tingkat yang paling
buruk. Jika dibandingkan dengan tes maka rubrik dibandingkan dengan kisi-kisi tes. Kisi-kisi tes
menguraikan secara rinci tujuan atau kemampuan yang akan dicapai pokok bahasan. Dari pokok
bahasan dan subpokok bahasan tersebut, selanjutnya butir-butir tes di konstruksi, sehingga dapat
digunakan untuk mengukur hasil belajar siswa.

Rubrik biasanya dibuat dalam bentuk tabel dua jalur, yaitu baris yang berisi kriteria dan
kolom yang berisi mutu. Kriteria dapat dinyatakan secara garis besar, kemudian menjadi
komponen-komponen ditulis langsung tanpa dikelompokkan dalam garis besar. Rubrik dapat
bersifat menyeluruh atau umum dan dapat juga bersifat khusus atau hanya berlaku untuk suatu
topik tertentu dalam suatu mata pelajaran tertentu. Rubrik yang bersifat menyeluruh dapat
disajikan dalam bentuk holistic rubric dan dapat pula dalam bentuk analitik rubrik.

BAB V PENGEMBANGAN RANCANGAN KEGIATAN PEMBELAJARAN DAN


ASESMEN AUTENTIK

Anda mungkin juga menyukai