Anda di halaman 1dari 34

KALA SANG BAYU MENERPA

Oleh : Resnanta

PART 1

AWAL BIRU

Acara perpisahan hari ini sungguh sangat mengharukan bagi gadis kecil
berambut panjang itu. Ia tersenyum saat mendapatkan hadiah karena menempati
peringkat pertama ujian nasional di madrasahnya. Ada sedikit asa dalam benaknya,
kebanggaan orang tuanya atas hasil kerja kerasnya selama ini. Anjani gadis yang
jarang tersenyum itu, kini nampak gembira bercengkrama dengan teman-teman dan
guru-gurunya.

“Kamu melanjutkan kemana, Anjani?” tanya pak Imam guru kelasnya sambil
tersenyum, saat menyerahkan stopmap merah berkas ijasah milik Anjani.

“Belum tahu pak, Anjani ikut perintah ibu saja,” kata gadis itu sambil menunduk
malu-malu. Semua guru mengarahkan siswa untuk melanjutkan ke madrasah atau
pondok pesantren saja agar ilmu agama mereka tidak berhenti sampai disitu saja.

Anjani tahu pak Imam pernah berbincang dengan ayah ibunya, menyarankan
ia untuk masuk pondok pesantren Gontor Ponorogo saja. Ayahnya tidak menjawab
apa-apa, namun Anjani pernah mendengar perdebatan ayah ibunya. Ayah
menginginkannya mondok, tapi ibunya ingin ia bisa merasakan pendidikan umum
agar terbiasa disiplin dan masa depannya terjamin.

Anjani melangkah kakinya membawa Stopmap itu dengan cepat, menyusuri


trotoar menuju rumahnya. Lambaian tangan ia kibaskan saat sahabat-sahabatnya
masuk gang lain menuju rumah mereka. Seulas senyum masih nampak disudut
bibirnya, namun sesampainya di rumah ia menyembunyikan senyum itu.

Nampak ayah ibunya sedang bercengkrama dengan adiknya, ia pun masuk


seraya mengucapkan salam “Assalamu’alaikum Ayah, Ibu.” Anjani mendekati Pak
Prakoso dan bu Candrawati dan meraih tangan mereka untuk dicium.

Seulas senyum saja tidak ia lihat di wajah kedua orang tuanya itu, “Gimana
hasilnya, Jani?” tanya Prakoso sambil menerima stopmap merah yang diberikan
Anjani. Prakoso baru pulang dari dinasnya sehingga tidak hadir pada acara
perpisahan Anjani.

Sementara Candrawati yang sedang bermain dengan Puspita mencibir, “Hasil


segitu mau ngelanjutin kemana?”

Anjani hanya bisa menunduk, ia hanya gadis kecil yang sering mendengar
ibunya selalu merendahkannya. Ia mengira dengan bisa menjadi yang terbaik orang
tuanya akan bangga, namun ternyata hanya sama seperti biasanya yang ia terima.
Anjani adalah gadis yang tegar hanya mampu menahan amarah dan kesedihan
dalam hatinya. Gadis itu mampu menyembunyikan kesedihan dari semua orang, dan
ia salurkan menjadi tulisan yang sendu dibukunya.

Minggu berikutnya PPDB untuk sekolah umum dimulai, Candrawati


memutuskan memasukkan anaknya ke SMP Negeri 2 Ambarawa. Banyak guru-guru
sekolah itu yang mengenalnya, ia mengandeng tangan Anjani. “Masuklah isilah
formulir pendaftaran, aku akan bertanya bisa masuk tidak nilaimu!” Perintah
Candrawati pada Anjani.
Gadis kecil itupun masuk ke dalam ruang pendaftaran dan mengisi formulir
pendaftaran dengan hati-hati. Ia merasa asing tidak ada sahabat perempuannya
yang mendaftar di sekolah itu. Anjani mencoba mengedarkan pandangan matanya
ke seluruh ruangan. Ada seseorang menyapanya, “Anjani, kamu juga daftar kesini
ya?” tanya gadis yang duduk bersebelahan dengan Handoko teman laki-laki di
madrasahnya dulu.

Anjani hanya menganguk sambil tersenyum mencoba mengenali, siapa gadis


itu. Tiba-tiba ia mengingat gadis itu adalah Deswita, ibunya rekan kerja Candrawati.
Dalam ruangan itu ia hanya mendapati dua teman laki-lakinya yang mendaftar ke
sekolah itu. Handoko dan Bagaskara sang juara kelas yang mampu dikalahkan
Anjani.

Setelah selesai mengisi formulir dan menyerahkan ke panitia pendaftaran,


Anjani lalu menghampiri ibunya. “Kamu berdoa saja semoga dapat diterima, nilaimu
sangat minim, banyak yang lebih besar!” kata Candrawati membuat Anjani sedikit
cemas.

“Makanya jadi anak itu belajar yang rajin, jangan hanya melihat tv saja
kerjaannya!” gerutu Candrawati sambil terus berjalan beriringan dengan Anjani
menuju parkiran.

Seminggu berlalu hari itu pengumuman PPDB, ayahnya yang mengambil


pengumuman itu. “Kamu diterima Jani, tapi disini kamu harus belajar giat sainganmu
makin berat!” nasehat Prakoso saat keluar dari ruang pengumuman.

Anjani sengaja merajuk untuk ikut ayahnya sebelum berangkat tadi, ia berani
karena ibunya sedang masuk sekolah hari ini. “Jangan pernah lelah berusaha,
jangan bikin malu ayah ibumu!” kata-kata Ayahnya itu selalu terngiang dalam benak
Anjani.
PART 2

Dilema Anjani

Fajar mulai menyingsing, gadis berseragam rapi itu melangkah pasti menyusuri
gang menuju jalan raya. Rambut panjangnya terkepang dua, melambai ke kanan kiri
seiring langkahnya. Senyumnya menyapa setiap insan yang ia lalui, wajahnya
merona tesipu malu.

“Pagi Bu, nderek langkung!” sapa Anjani sambil membungkuk tanda ia


memberi hormat orang yang dilaluinya.

“Masih pagi kok sudah berangkat, Nak?” tanya bu Pratiwi yang menggendong
anaknya.

Sambil tersenyum Anjani menjawab, “Ingih Bu, kalau kesiangan mobilnya


penuh-penuh saya takut terlambat.”

“Cucu kyai kok ya sekolahnya tidak di pondok atau MTs,” cibir bu Setya yang
sedang menyapu di samping bu Pratiwi.

Anjani hanya tersenyum sambil menganguk dan berpamitan, “mari Bu.”

Belum juga puas bu Setya mencibir Anjani, beliau asyik berbincang dengan bu
Pratiwi, “Di rumah saja berhijab rapi, tapi kalau sekolah pakai baju pendek.”
“Mereka kan keluarga berada masa membelikan baju panjang anaknya nggak
mampu ya Bu?” sahut bu Pratiwi, Anjani masih samar-samar mendengar cibiran
mereka.

Hati Anjani sebenarnya menangis, tapi ia tidak mau terlalu memberatkan


beban orang tuanya. Ia pun berjanji akan menabung untuk bisa berhijab ke sekolah.
Sebenarnya ia ingin juga berhijab, tapi ayahnya melarang.

Anjani bersenandung kecil mengemakan sholawat nabi Muhammad, ia terbiasa


seperti itu jika ia sedang jenuh menunggu ataupun saat hatinya gundah gulana.

***

Sesampainya di gang menuju sekolahnya terlihat sahabat semejanya juga


telah sampai disitu. Gadis berparas ayu, kulitnya putih langsat dan bermata sipit itu
pun tersenyum, lalu mensejajari langkah Anjani. Hanya Intan sahabatnya itu teman
yang selalu mau bersamanya.

“Jani, sudah kau kerjakan belum PR matematikanya?” tanya Intan sambil


menggandeng tangan sahabatnya itu. Anjani hanya menganguk, ia lebih asyik
tersenyum pada pak satpam dan petugas kebersihan yang ia temui dari pada
sahabatnya itu.

“Jangan-jangan pekerjaanmu kacau seperti kemarin lagi!” kata Intan berusaha


mengingatkan sahabatnya itu. Kemarin saat guru matematika memberi tugas Anjani
mengerjakan asal-asalan dan hasilnya salah semua.

“Aku mengerjakannya sesuai pemahamanku sih,” kata Anjani yang tiba-tiba


menatap sahabatnya itu.
Sahabat yang baik yang selalu ada untuknya, ia selalu mengingatkan apabila
ia salah. Selalu mau mengajari gadis itu, jika ia bertanya. Namun jarang sekali ia
bertanya, perasaan malu selalu membuatnya tertutup.

Sebenarnya ia satu kelas dengan Handoko, Bagaskara dan Deswita. Tetapi ia


sangat tertutup dengan teman-teman lainnya. Selain itu jika ia dekat dengan
Handoko dan Bakaskara, Anjani takut mereka tidak nyaman.

“Tan, bolehkah aku pinjam PRmu untuk meneliti PRku?” tanya Anjani saat
mereka sampai di bangku mereka.

Intan pun tersenyum sambil membuka tas dan mengeluarkan buku pekerjaan
rumahnya. “Ini cepat nanti keburu bel masuk berbunyi!” perintah Intan sambil
menatap iba sahabatnya itu.

“Tan, kok pekerjaanku berbeda denganmu semua ya?” tanya Anjani nampak
gugup karena kebingungan.

“Aku mengerjakan itu dibantu kakakku Akbar,” kata Intan meyakinkan Anjani.
Akbar adalah kakak sepupu Intan yang kini duduk di kelas 9 sekolah yang sama.

Lima menit lagi tanda bel masuk akan berbunyi, Ia berusaha cepat menghapus
pekerjaannya dan memperbaiki yang berbeda dengan Intan. “Jani, aku itu heran
sama kamu ... ibumu seorang guru, apa beliau tidak mengajarimu mengerjakan
PR?” tanya Intan sambil mengamati kelas yang sudah ramai.
Anjani menggeleng menjawab tanya sahabatnya itu yang makin keheranan.
“Ibuku sibuk Tan, sepulang kerja ia mengasuh adikku dan kata ibu pelajaran SMP
beda dengan SD!” jelasnya agar Intan tidak keheranan lagi.

Belum juga usai Anjani memperbaiki pekerjaannya, bel telah berbunyi. Tampak
di wajahnya kesedihan yang sangat mendalam.

“Andaikan rumahmu dekat dengan rumahku kita bisa belajar bersama ya!”
gerutu Anjani saat matanya menatap guru matematikanya telah memasuki ruang
kelas.

“Jangan pernah malu bertanya saat kita kesulitan sahabatku!” nasehat Intan
sambil berbisik.

“Jani, kamu harus bisa membuka diri berteman dengan semua orang jangan
hanya aku saja!” lanjut Intan mencoba memberi masukan pada sahabatnya itu. Ia
sebenarnya merasa risih jika teman-temannya selalu mengatakan Anjani gadis
sombong. Padahal sebenarnya Anjani gadis yang sangat baik hati, hanya saja ia
takut jika harus membuka pertemanan dengan teman-teman yang lain.

Sementara gadis di sampingnya itu hanya tersipu malu dan menunduk. Ia


sangat takut jika teman yang lain akan menghinanya, mencercanya dan
merendahkannya.

Anjani merasa sangat takut saat PRnya hanya benar sebagian, itupun yang
sempat ia ganti menyalin pekerjaan Intan. Nilainya matematika selalu yang terendah
dari teman-teman sekelasnya. Ada bulir bening merasuk turun menyapu pipinya,
namun tangan lembutnya cepat membasuh bulir itu. Ia takut Intan tahu
kesedihannya.

Saat bel tanda istirahat berbunyi, Intan menarik tangan Anjani menuju
kerumunan teman mereka di taman. “Tan, kenapa kamu ajak aku menuju mereka?”
protes Anjani sambil tersipu.

“Aku bosan hanya bermain denganmu saja!” bentak Intan. Anjani merasa
ketakutan, mukanya bingung kenapa intan berubah menjadi garang.

Intan terus melangkah, “Aku juga butuh bercanda dan bermain dengan yang
lain!” hardik Intan kembali.

Anjani memendam sendu di hatinya, ia merasa sakit ternyata benar tidak ada
satupun orang yang mengerti dirinya. Ia hanya berusaha melempar senyuman pada
teman-temannya.

“Sini Jani, ngobrol bareng kita disini!” sapaan hangat Wulan mampu membuat
Anjani sedikit bernafas lega.

“Iya, Wulan!” jawab Anjani singkat sambil duduk di dekat Wulan.

Anjani setia menjadi pendengar saat teman-teman lainnya bercanda. Ia melirik


Intan sangat bahagia bisa bersama mereka. Ada sedikit bahagia di hatinya,
sahabatnya yang setia mampu tertawa bebas disini. Ia berfikir tidak boleh egois
dengan keputusan Intan untuk berteman dengan yang lain.
Kerenggangan persahabatan antara Intan dengan Anjani semakin hari semakin
parah. Intan memilih duduk semeja dengan Lintang, sehingga Anjani harus duduk
semeja dengan Wulan. Anjani merasa minder sama Wulan yang sangat pintar.
Namun ternyata Wulan sangat baik, ia mencoba membuka diri dan merangkul
Anjani.

Saat Anjani kesulitan Wulan selalu tahu cara menjelaskan agar dapat
memahami. Sehingga saat Penilaian Akhir Semester Anjani banyak terbantu, kecuali
mata pelajaran matematika. Sebenarnya Wulan juga mahir bidang itu, tapi ia belum
bisa membuat Anjani paham.

Penilaian Akhir Semester Anjani lalui dengan belajar sendirian, ayah yang
biasanya membantunya belajar sedang banyak pekerjaan luar kota. Sementara
ibunya sedang mempersiapkan diri mengikuti lomba guru berprestasi bidang
matematika.

Hari penerimaan raport pun tiba, Anjani bersama Wulan sedang menunggu
ayah masing-masing mendapatkan raport dari wali kelasnya. Ayah Wulan lebih dulu
keluar, Wulan pun melihat lembaran raportnya yang sangat bagus.

“Alhamdulillah aku dapat peringkat tiga, Jani!” seru Wulan memeluk Anjani
yang sangat terharu.

“Itu bagus Lan, kamu kan pintar dan baik hati!” sanjung Anjani sambil
tersenyum ikut gembira atas hasil Wulan.
Setelah Wulan berlalu Pak Prakoso menatapnya dengan wajah garang. “Ayah
kecewa sama kamu, matematikamu nilainya buruk!” kata Prakoso sambil
mengandeng Anjani dengan tarikan yang agak keras.

Anjani hanya mampu tertunduk, ia juga malu telah membuat sedih ayahnya.
Sesampainya di rumah terlihat ibunya baru datang membawa sebuah piala yang
sangat bagus.

“Ayah, Ibu dapat juara satu!” seru Candrawati girang seraya memeluk Prakoso.
Namun Prakoso membalas pelukan itu dengan dingin.

“Selamat Buk, tapi anak kita nilai matematikanya hancur!” kata Prakoso dengan
nada yang agak tinggi.

Tatapan Candrawatipun beralih pada Anjani, tersirat banyak kemarahan dalam


benaknya. “Kamu memang anak bodoh, bisanya hanya membuat malu keluarga!”
katanya sambil mengambil sebuah tebah kasur dan mengayunkan pada tubuh
Anjani.

“Makanya jangan nonton tv saja, malu ibumu ini pada guru-gurumu!” kata-kata
hujatan itu terus keluar dan pukulan itupun tidak pernah berhenti, walau Anjani
memohon ampunan sambil tersedu.
Part 3:

Ayah

Pagi ini mendung bergelanjut manja, suara nyanyian katak masih terdengar
bersautan. Sang mentari engan menampakkan diri, terasa hening dan sunyi hari ini.
Rinai hujan yang semalam suntuk telah menguyur desa ini, seakan belum puas dan
akan jatuh lagi ke bumi.

Untung hari ini hari libur sekolah, hanya Ayah yang bersiap diri ke kantor.
Anjani dengan malas kembali ke ruang keluarga, setelah usai mencuci pakaiannya.
Ia ingin sekali bercengkrama dengan Puspita adiknya dan Ibunya yang lagi asyik
bercanda. Bibirnya tersenyum mendekati mereka berdua malu-malu. Namun mereka
seakan tidak melihat kedatangannya, ia merasa di acuhkan tapi tidak sedikitpun
marah.

Pandangannya beralih pada televisi sedang mempertontonkan berita banjir


dimana-mana. Saat sedang asyik memperhatikan televisi tiba-tiba ibunya berkata,
“Kerjaan tiap hari hanya nonton tv melulu, belajar sana biar pintar!”

“Ini kan hari libur, Buk!” sergah Anjani tanpa menatap ibunya.

Kemarahan Candrawati menjadi, “Emang belajar hanya kalau tidak libur saja?”

“Makanya nilai kamu jelek,” lanjutnya sambil menatap tajam Anjani.

Akhirnya Anjani berlalu dari mereka menuju kamarnya merapikan buku-buku


semester lamanya dan membaca buku yang masih digunakan untuk semester
genap nanti.
“Pelajari matematikamu agar tidak di bawah kkm lagi!” kata ibunya keras
sehingga terdengar dari kamar Anjani.

“Bukunya matematika semester dua belum ada bu,” jawab Anjani pelan, tanpa
sengaja ayahnya yang mau berangkat kerja mendengar kata itu.

“Besuk kita cari ke toko buku ya yang semester dua, kamu harus janji
memperbaiki diri!” kata ayahnya yang dijawab dengan anggukan oleh Anjani.

Dalam hati Anjani merasa bahagia walau ibunya selalu ketus terhadapnya,
ayah kadang masih mau baik dengannya. Namun kadang ia juga melihat sisi lain
ayahnya.

*Flashback on*:

Minggu lalu setelah Anjani menangis tersedu karena di pukul ibunya dan
kelelahan akhirnya tertidur. Saat ia terlelap ribut suara ibu dan ayahnya
membuatnya terbangun. Kemarahan ibunya belum reda mengakibatkan ayah pun
marah.

“Anak bisanya tidur melulu, sana bangun cuci piring dan belajar!” bentak
ayahnya. Anjani pun bergegas bangun tapi ia ingat hari ini ada rapat karang taruna.

“Ayah nanti Anjani setelah asar ada rapat karang taruna ...,” belum selesai
Anjani berkata ayahnya sudah memotong.
“Tidak ada rapat-rapatan, tidak ada main dan tidak ada keluar rumah!” tegas
ayahnya membuat Anjani ketakutan.

Namun Anjani memberanikan diri bertanya lagi, “Kalau ngaji gimana, Yah?”
ucapnya sambil menunduk. Ia tidak berani menatap ayahnya yang benar-benar
marah karena nilainya yang buruk.

“Tidak ada keluar rumah ... masih mau melawan kamu?” teriak ayahnya yang
telah pada puncak kemarahannya. Sehingga ia melepas sabuk di celananya dan
tanpa ampun melayangkan ke tubuh Anjani.

Anjani kesakitan hanya bisa menangis tersedu, ia ketakutan dan berlari menuju
dapur. “Mulai sekarang tidak ada keluar rumah yang ada belajar dan belajar!”
kalimat itu masih terdengar dari telingga Anjani yang masih terus tersedu.

Walau merasakan perih di tangannya, ia tetap menyelesaikan cucian piringnya.


Ia masih terisak menahan perih itu juga perih di lubuk hatinya. Ia hanya ingin
dukungan dari keluarga bukan kemarahan ini. Tapi ia cukup sadar karena telah
berbuat kesalahan yang sangat memalukan.

*Flashback off*

Anjani menghabiskan hari ini dengan membaca buku cerita bukannya belajar
pelajaran sekolah. Ia lagi senang mengamati tentang sebuah puisi, kenapa puisi itu
sangat indah kalimatnya. Ia mencoba menuliskan sebuah puisi tentang kepedihan
hatinya, namun berulang kali ia merobek kertas hasil karyanya dan membuangnya
ketempat sampah.

“Kenapa aku tidak bisa buat yang indah ya!” bisiknya pelan sambil terus
mencoba menuis di kertas yang lain.
Desember Kelabu

Temaram senja berwarna hitam

Sang surya seharian tertutup mendung

Rinai hujan tak ada hentinya

Menguyur muka bumi tanpa ampun

Sendu hari seakan tau sendu kalbuku

Meratap pilu kekosongan ini

Tiada lagi senyum indah untukku

Semua hanya menatapku tajam

Apa semua hanya salahku

Tiadakah sedikit maaf untukku

Aku memang hanya seonggok tak guna

Hanya dapat membuat malu

Maafkan aku jika membingkis luka

Biarkan ku terbang tinggi ke awan

Merangsuk pergi dari kalian

Melepas semua mimpi indah bersama kalian


(Semarang, 19 Desember)

Sedikit senyum mengembang di sudut bibir Anjani, ia merasa sedikit hilang


beban hatinya. “Oh ini kenikmatan menulis puisi,” bisik Anjani sebelum akhirnya
membantu ibunya dan kemudian mandi.

Malam harinya hujan pun belum berhenti, walau tidak sederas siang tadi ia
hanya menemani adiknya mainan. Saat adiknya sudah lelap tidur, ia pun ke
kamarnya dan membaca hingga tertidur.

***

Esok harinya sang surya nampak malu-malu keluar dari sarangnya,


senyumnya menyejukkan alam ini. Udara segar menyapu bumi, setiap tumbuhan
nampak hijau berseri. Rinai hujan seakan lelah menguyur bumi, sang katak juga
lelah bernyanyi. Berganti kicauan burung yang bersenandung indah hari ini.

Sehabis membantu ayah dan ibu, Anjani bergegas mandi dan bersiap diri. Hari
ini ayahnya berjanji untuk mengajaknya ke toko buku. Prakoso hari ini ada kegiatan
di Ungaran, namun tidak lama.

Prakoso melajukan motornya menuju dinas kesehatan di Ungaran. Sementara


Anjani yang duduk di belakangnya nampak sibuk memperhatikan pemandangan di
kanan kiri jalan. Ia nampak gembira, dalam hatinya timbul keinginan melanjutkan
belajar di kota.

Tiba-tiba ayahnya tau isi hati Anjani, “Kamu ingin sekolah di SMA Negeri 1
Ungaran ya?” tanya ayahnya saat melihat Anjani tertengun menatap sekolah itu.
Anjani hanya mengganguk, sambil tersenyum. “Kamu harus belajar lebih giat,
agar bisa kesini!” nasehat ayahnya.

Anjani berjanji dalam hatinya akan lebih giat belajar lagi. Sesampainya di
kantor dinas kesehatan, ayahnya menuju dalam ruangan kantor tersebut. Sementara
Anjani memilih duduk di parkiran saja, menunggu ayahnya sambil memainkan jari-
jari tangannya agar tidak bosan.

Hampir satu jam Anjani menunggu dalam diam, akhirnya ia menemukan sosok
yang ia nantikan. “Ayo Jani, kita ke toko buku!” kata ayahnya sambil mengendarai
motornya.

“Kamu pilih mana buku yang kira-kira kamu butuhkan!” perintah ayahnya
sesampai di toko buku. Anjani pun mengganguk dan melihat-lihat koleksi buku di
toko itu.

“Ayah kok banyak sekali ya buku yang kelas tujuh, Jani bingung yang mana?”
kata Anjani sambil membawa tiga buku matematika kelas tujuh smp semester dua.

“Coba mana ayah tanyakan pada penjualnya?” kata ayah sambil mengambil
bukunya dan membawanya ke sang penjual. Sementara Anjani mencari buku fisika
dan biologi, ia merasa buku-buku itu yang perlu ia beli.

Setelah selesai ia membawanya ke ayahnya, “Ayah boleh beli buku ini juga!”
katanya merajuk.
“Boleh, mana sekalian di bayar?” tanya ayahnya dan akhirnya mereka pulang
membawa sejumlah buku untuk Anjani. Hatinya senang sekali hari ini, sehingga ia
memeluk erat ayahnya saat perjalanan pulang.

Satu kalimat terucap untuk ayahnya, “Terima kasih ayah, maaf jika selama ini
tidak bisa jadi anak pintar.”

Ayahnya yang tengah konsentrasi pada jalanan yang ramai kurang mendengar
kata-kata Anjani. Ia tidak mengulang kalimat itu, tapi ada sebuah janji di hatinya
untuk bisa bangkit dari keterpurukan ini.
PART 4:

Guru Ngajiku Multitalenta

Seminggu sudah liburan berlalu, Anjani melaluinya dengan selalu berada di


rumah. Ia belum berani meminta izin untuk mengaji, ketakutan akan kemarahan
ayahnya. Hari minggu ini ayahnya mengikuti kerja bakti membuat talut di sekitar
lingkungannya.

“Jani, kemarilah!” kata ayah sepulang dari kerja bakti.

Anjani pun bergegas menuju ayahnya yang tengah duduk di teras rumah. “Ada
apa, Yah?” tanyanya sambil duduk di dekat ayah.

“Kamu sudah tiga minggu tidak berangkat ngaji ya?” tanya ayah sambil
menatap Anjani.

“Iya Yah, apa boleh Anjani berangkat ngaji lagi nanti sore?” Anjani balik
bertanya sambil menundukkan kepalanya.

“Kenapa tidak, tadi pak Ahmad menanyakan kamu!” jelas ayahnya sambil
menerima minuman dan snack yang dibawakan ibunya.
“Kamu juga bisa bertanya pelajaran kepada beliau!” kata ibunya menasehati,
dan ikut duduk bersama mereka di ikuti Puspita. Anjani pun menganguk dan
terbersit senyuman di sudut bibirnya.

“Andaikan ayah dan ibunya selalu bisa berbincang bahagia seperti ini!” bisikan
kata hati Anjani yang lalu mengajak Puspita bermain-main.

Sore pun menjelang selepas sholat asar Anjani bergegas menuju rumah kyai
Ahmad guru ngajinya. Sebenarnya Kakeknya juga seorang kyai, tapi jarak rumah
mereka agak jauh. Dengan berjalan kaki sambil bersenandung kecil, Anjani
menyusuri gang menuju rumah kyai Ahmad.

“Assalamu’alaikum, kyai Ahmadnya ada tidak Bu?” tanya Anjani pada istri Kyai
Ahmad.

“Ada Nak, sebentar ya saya panggilkan ... kamu kok sudah lama tidak kelihatan
apa berlibur ke Madiun?” tanya istri kyai Ahmad sambil tersenyum dan bergegas
memanggil suaminya.

“ Tidak Bu!” jawab Anjani singkat lalu menuju serambi mushola milik kyai
Ahmad. Rumah yang indah sejuk karena dikelilingi taman penuh bunga di kanan kiri
jalan menuju mushola. Ada juga sebuah kolam ikan kecil dengan berwarna-warni
ikan koi.

Sesaat setelah ia duduk di serambi mushola, nampak kyai Ahmad sedang


berjalan menghampiri. Sesosok paruh baya yang telah penuh uban itu, guru ngaji
yang juga seorang guru bahasa arab di MTs Roudlotul Furqon. Anak-anak datang
tidak selalu bersamaan untuk belajar mengaji di rumahnya. Ia tidak pernah
menerima upah ataupun imbalan apapun dalam mengajar mengaji, semua dilakukan
dengan keikhlasan.

“Sudah lama tidak nampak kenapa, Nak?” tanya kyai Ahmad sesaat setelah
duduk di dekat Anjani.

“Maaf Pak, Jani banyak nilai yang jelek sehingga ayah ibu kecewa!” curhat
Anjani pada guru ngajinya itu.

“Sabar Nak, kamu hanya butuh penyesuaian nanti juga bisa!” nasehat kyai
Ahmad di jawab dengan anggukan Anjani. Setelah itu Anjani mengaji dan jika ada
kesalahan kyai Ahmad akan membetulkan. Setelah itu beliau mengajari cara
mengartikan perkata sehingga Anjani tahu makna dari apa yang ia baca sore itu.

Ketika mereka sedang belajar bu Ahmad membawakan camilan, “Mari


dinikmati, Nak!” kata bu Ahmad sambil berlalu.

“Ayo Nak, dicoba makanannya sambil kita belajar!” perintah pak Ahmad yang
hanya dijawab anggukan oleh Anjani. Mereka pun

“Nak, kamu kesulitan mata pelajaran apa kok katamu ketinggalan?” tanya Kyai
Ahmad sesaat ketika mereka telah selesai mengaji.

“Matematika yang dapat nilai di bawah KKM, Pak!” Jawab Anjani sambil
memasukkan Alqurannya dalam tas.
“Ayo di makan dulu!” perintah Kyai Ahmad sambil menyodorka piring camilan
tadi, Anjani pun mengambilnya satu lalu memakannya.

“Besuk bawa juga buku matematikamu, kita belajar setelah mengaji ya!”
perintah Kyai Ahmad sambil tersenyum. Anjani mengangguk, sambil tersenyum.

“Terima kasih, Pak!” ucap Anjani sambil berpamitan dan menyalami kyai
Ahmad. Anjani pulang sambil tersenyum, ia sangat bersyukur, kyai Ahmad selalu
menolongnya saat ia kesusahan. Dulu saat Anjani kesusahan mengerjakan PR
bahasa Inggris, beliaulah yang mengajarinya sampai mampu.

Kyai Ahmad memang sangat menyayangi anak-anak, karena mereka belum


mempunyai momongan. Sehingga membantu anak-anak belajar adalah
kesenangannya, tidak hanya yang berbau agama tapi semua pelajaran.

***

Sore berikutnya nampak sedikit mendung, namun hujan belum menguyur bumi.
Anjani mempersiapkan diri untuk bergegas ke rumah kyai Ahmad. Siangnya ia telah
mempelajari satu materi matematika di semester dua. Ia juga mengerjakan soal
latihan di buku itu, walau tidak tahu nilai kebenarannya.

Anjani membawa buku matematikanya dan memasukkan payung di dalam


tasnya. Ia melangkah pasti menyusuri gang menuju rumah kyai Ahmad. “Mengaji
kok bawa bukunya banyak sekali, Jani?” tanya bu Pratiwi tetangganya.

Anjani tersenyum, “Setelah ngaji mau belajar dengan pak Ahmad, Bu!” jawab
Anjani sambil berlalu.
“Emang kalau di sekolahmu tidak diajari ya, kenapa belajarnya malah sama
guru MTs?” Sindir bu Pratiwi yang terdengar sayup-sayup di telinga Anjani. Gadis itu
telah melangkah menjauh dari tetangganya itu.

Anjani menunggu kyai Ahmad di serambi mushola beliau, ia telah membuka Al


Qur’annya. Ia mencoba menghafal surat yang diminta beberapa saat lalu. Hari ini ia
ingin menilaikan hafalannya, apakah sudah bisa berlanjut ke hafalan surat yang lain.

Kyai Ahmad tersenyum menghampiri Anjani, “Assalamu’alaikum, Nak!” sapa


beliau.

“Wa’alaikum salam, Pak!” sahut Anjani sambil mencium punggung tangan kyai
Ahmad.

“Pak, hari ini saya ingin hafalan ... bolehkah?” tanya Anjani selanjutnya.

“Boleh, surat apa terakhir yang aku minta?” jawab kyai Ahmad sambil duduk di
depan Anjani.

“Surat An-Naba’, Pak!” kata Anjani dilanjutkan melafalkan ayat demi ayat
dengan jelas. Setelah selesai Anjani menghafal surat tersebut, lalu kyai Ahmad
menjelaskan makna ayat demi ayat. Setelah selesai seperti biasa bu Ahmad selalu
menyajikan camilan untuk mereka.

Sebelum ada anak lain mengaji, Anjani mengeluarkan buku matematikanya.


“Pak, perbandingan dalam matematika kenapa ada bermacam-macam ya?”
tanyanya sambil membuka bukunya.
“Memang kamu bingung yang mana?” tanya kyai Ahmad yang memperhatikan
pekerjaan Anjani. Beliau mencermati setiap soal yang telah mampu dikuasai gadis
itu. Semangat untuknya bangkit membuat pak Ahmad salut dan mendukungnya.

“Sudah bagus pekerjaanmu, kamu masih bingung yang mana?” tanya beliau
sambil mengamati gadis itu tersenyum.

“Pak, bagaimana cara membedakan perbandingan senilai dengan


perbandingan berbalik nilai?” keingintahuan gadis ini luar biasa.

“Perbandingan senilai itu jika ada dua buah benda yang dibandingkan panjang
dan lebarnya ...,” jelas kyai Ahmad

“Panjang benda A lebih dari panjang benda B maka lebarnya benda A juga
lebih dari lebar B!” lanjut pak kyai Ahmad detail.

“Jika perbandingan berbalik nilai itu semakin besar ukuran sesuatu akan
mengakibatkan ukuran lain semakin kecil.”

Anjani mengamati setiap penjelasan kyainya berserta contoh-contoh


sederhana dengan seksama. Gadis itu mulai memahi materi tersebut dan kemudian
memasukkan buku-bukunya ke dalam tas. Sesaat sebekum dirinya berpamitan dan
mencium tangan kyai Ahmad, banyak anak-anak yang berusia lebih muda darinya
datang. Anjanipun bergegas pulang, “kalau kita berusa mencari tahu dari apapun,
maka kita akan memahaminya lebih mudah!” bisik gadis itu sambi melenggang.
PART 5

Pribadi Tertutup

Anjani Kusuma Dewi, gadis cantik dengan perawakan langsing itu memainkan
jari-jarinya di depan rumah. Pagi itu sangat cerah dengan senyuman sang mentari
dan kicauan suara burung. Terlihat teman-teman sebayanya berkerumun kemudian
berjalan melalui depan rumah Anjani. Mereka berebut mengejar kupu-kupu, jika
tertangkap lalu mereka lepas kembali.

Anjani hanya bisa menatap kebahagiaan itu, mereka sudah mengajak tapi ia
takut ayahnya marah. Sehingga saat itu, hanya anggukan dan gelengan kepala saja
jawaban darinya. Senyuman Anjani mengembang dan akhirnya memasuki
kamarnya.

Anjani menumpahkan semua kepedihan hatinya, tidak dapat bermain bersama


teman-teman sebayanya. Air mata menitik membasahi pipinya, namun ia tidak mau
semua tahu. Gadis itu mencoba menghibur dirinya, membaca buku cerita yang
diam-diam ia ambil dari perpustakaan kakeknya. Buku-buku usang itu mungkin milik
tantenya, banyak sekali kata-kata mutiara di dalam buku tersebut.

Salah satu yang membuat Anjani bangkit adalah, “Jangan lelah berusaha
walau sampai berdarah-darah, jalani, nikmati dan petik hasilnya. Pasti manis
akhirnya.”
Beberapa hari yang lalu ia membaca majalah tentang pemanfaatan koran
bekas menjadi berbagai macam kerajinan. Ia pun mengumpulkan koran ataupun
majalah bekas diam-diam dibawa ke kamar lalu dipotong-potong. Ia selalu menutup
kamarnya dan melakukan itu di depan meja belajarnya.

Gadis itu tidak mau semua perbuatannya menimbulkan kemarahan ayah


ibunya. Mungkin ia sudah lelah menerima hujatan, bentakan dan kekerasan fisik. Ia
pura-pura belajar, walau sebenarnya sedang bermain. Sebuah buku pelajaran
berada di atas meja belajarnya.

Potongan koran bekas itu sudah mendapat banyak sekali, ia kumpulkan di


lemari belajarnya. Lalu ia pilin menjadi pilinan yang banyak, setelah dipilin ia anyam
menjadi sebuah tempat pensil yang indah. Karena asyiknya ia mengerjakan itu
sampai ia lupa tidak makan dan tidur siang.

Pukul dua siang bu Candrawati memanggilnya, “Jani, kenapa belum makan?


Sana cepat makan!” suara lantang itu menyadarkan Anjani. Ia pun bangkit dan
menuju meja makan, kerajinannya disimpan di lemari. Dalam prinsip hidupnya,
jangan sampai ia menunda-nunda perintah ibunya kalau tidak ingin kemarahan
bersarang padanya.

Sesampai disana ia terkejut saat tiada lauk di meja makan, “Buk, lauknya apa
ya?” ia mencoba bertanya baik-baik.

“Lauknya ya yang ada di piring, emang mau minta lauk apa?” bentak ibunya.
“Kalau tidak suka tempe ya sudah tidak usah makan!” lanjut ibunya masih dengan
nada tinggi.
Anjani hanya bisa menitikkan air mata, bukannya ia tidak mau makan dengan
tempe tapi kenyataannya tidak ada satupun tempe di meja makan. Ia berinisiatif
makan dengan garam dan kecap, tanpa menjawab ucapan ibunya.

Setelah makannya selesai dan ia hendak bergegas ke dapur mencuci piring,


Puspita datang menghampirinya. “Kak, maaf ya tadi tempenya Ita makan sampai
habis!” seru Puspita dengan polosnya, “Ita lupa kalau kakak belum makan?” katanya
sambil terisak.

Anjani menyapu pipi gembul milik adiknya, “Dik, nggak papa ... kakak dah
makan pakai kecap kok!” katanya, “Kakak ndak papa, udah kenyang dan enak kok!”

“Salah sendiri, kayak ndoro makan kalau belum diperintah belum makan!” cibir
ibunya yang selalu menganggapnya salah.

“Maafin Ita ya, Kak!” bisik Puspita mendengar ibunya malah memarahi
kakaknya. Anjani pun tersenyum pada adiknya yang begitu polos itu. Mereka pun
akhirnya bergandengan tangan menuju dapur untuk mencuci piring.

Saat hendak mencuci piring Anjani berucap, “Dik, biar kakak saja yang
mencuci.” Kata itu diucapkanya pelan, “Kakak takut kamu bajunya basah, nanti ibu
marah lagi!”

Namun sang adik malah menangis, mungkin menganggap kakaknya tidak mau
digangu. “Kenapa sih buat adiknya nangis terus!” teriak ibunya dari ruang keluarga.
Anjani pun akhirnya mengalah yang penting adiknya diam dan pekerjaannya selesai.
Namun bukannya cepat selesai, tapi saat Puspita terpeleset dengan refleks
Anjani menangkapnya dan sebuah gelas jatuh ke lantai hingga pecah. Puspita pun
menangis dengan kencangnya karena takut kakaknya kena pecahan gelas tadi.

Spontan ibunya marah, “Anak kurang ajar nyuci piring gitu aja mau nyelakai
adiknya, dah gitu pecahin gelas segala!” kata ibunya sambil menarik telingga Anjani
sampai memerah dan meraih Puspita. “Bersihkan pecahan gelasnya, jangan sampai
ada yang tertinggal!”

Anjani hanya menunduk sambil membersihkan pecahan gelas itu, ia tidak


peduli darah di jarinya juga rasa perih yang ditimbulkannya. Hanya lelehan bulir air
mata yang menetes tanpa terisak, tidak ingin ibunya semakin marah jika tahu ia
menangis.

Dalam kesedihan ia hanya mampu bertanya dalam hatinya , “Aku ini apakah
beda dengan Puspita, jika aku bodoh kenapa ia biarkan!”

Sang mentari mulai condong ke barat, Anjani mempersiapkan diri untuk kembali mengaji. Sebelum
berangkat ia mengamati gang itu, adakah orang yang sedang ada disana. Hatinya sedang sendu, ia
tak ingin bertemu siapapun yang hanya bisa mencelanya.

Pelan-pelan ia menapakkan kakinya, tiada senandung shalawat yang terlantun dari mulutnya. Ia
benar-benar tidak mau harinya makin sendu. Sesampainya di rumah kyai Ahmad, ia nampak bingung
kenapa rumahnya sepi.

"Assalamu'alaikum, Paaaakkk!" ucap Anjani sambil memasuki rumah itu, karena mendengar suara
sayup-sayup dari dalam rumah memintanya masuk. Tidak hanya sekali ini gadis itu masuk, ternyata
tuan rumah sedang berbaring di sofa ruang keluarga.
"Pak, apakah anda baru sakit?" tanya Anjani, "Apa lebih baik saya pulang saja ya Pak? Gadis itu
membombardir kyainya dengan sejumlah pertanyaan.

"Nak, bolehkah bapak minta kamu lantunkan surah Al Kahfi." Kata kyai Ahmad terbata-bata.

"Boleh Pak! jika banyak yang salah tolong di ingatkan ya!" Jawab Anjani sambil tersenyum. Saat Itu
juga gadis itu melantunkan surah Al Kahfi. Namun ternyata surah ini sangat panjang sehingga baru
sampai tiga puluh ayat, kyai Ahmad sudah menyuruhnya berhenti.

"Nak,nanti kamu lanjutkan lagi sehabis sholat magrib dan isya ya!" perintah kyai Ahmad sementara
Anjani menyimpan banyak pertanyaan dalam hatinya.

"Jika belum selesai kamu juga bisa lanjutkan sehabis subuh, zuhur dan setelah asar kamu harus
selesai satu surah Al Kahfi ini!" lanjut kyai Ahmad masih dengan posisi berbaring, sementara Anjani
duduk di dekat tempat tidur bersama bu Ahmad.

"Ulangi lagi setiap sehabis asar hari kamis sampai jumat, Nak!" kyai Ahmad tersenyum memberi
pelajaran untuk santrinya.

"Maaf Pak, kenapa harus Al Kahfi?" tanya Anjani menggebu-gebu kenapa Al Kahfi itu istimewa.

"Rasullullah Saw bersabda bahwa barang siapa yang membaca surat Al Kahfi di hari jumat, maka
akan memancar cahaya dari kakinya sampai ke langit, akan menerangi kelak di hari kiamat dan
diampuni dosanya antara dua Jumat." Jelas kyai Ahmad, "Manfaatnya pun banyak sekali salah
satunya mendapatkan ridho dari Allah, disinari cahaya kebaikan dan menghindari diri dari fitnah
Dajjal."

Anjani pun mencermati kalimat panjang kyai Ahmad dengan hati-hati. Gadis itu masih tertegun agak
lama, membayangkan mampukah ia membaca seluruh ayatnya sekalian. Tapi tadi kyai Ahmad
menjelaskan bisa dibaca dari malam jumat sampai hari Jumat.
"Saya yakin kamu bisa, Nak!" ucap kyai Ahmad menyemangati Anjani. "Jika kamu sering membaca
lama-lama kamu akan hafal dan lebih ringan kamu menyelesaikan dalam rentang dua puluh empat
jam itu!" lanjut kyai Ahmad yang selalu menasehati santrinya dengan semangat yang tinggi.

Anjani menganggukkan kepalanya, sembari menyimpan petuah itu dalam otak dan diri pribadinya.

"Nak, lakukan semua pekerjaan itu dengan ikhlas. Semangat dan terus semangat jangan kenal lelah
walau sang maut hampir menyabutmu," kata kyai itu.

"Jika tiba di hari Jumat selepas asar lantunkan doamu, apapun yang ingin kau minta, atau engkau
sedang susah dan ingin berkeluh kesah." imbuh kyai Ahmad.

Anjani terkesiap mendengar kalimat panjang kyai Ahmad itu. Ia tidak tahu kenapa beliau benar-
benar sayang padanya.

#tantanganmakmoodmenulisbukusolo

#40harinulisbukusolo

#day9

#Resnanta

KALA SANG BAYU MENERPA

Part 6

Awal Baru

Pagi yang berkabut tebal menyelimuti desa Kebumen, sinar mentari terhalang kabut. Anjani nampak
berseri bersiap diri menuju sekolah, menyambut semester baru setelah liburan semester telah usai.
Gadis itu telah berhias, mengepang dua rambut panjangnya. Ia lalu menyusuri jalanan berkabut
menuju halte. Sesampainya di halte ia menanti bus, pandangan mata tidak bisa seperti biasa. Bus
yang berhenti masih belum banyak penumpangnya, ia pun naik dengan senang hati.

Suasana masih lenggang saat ia memasuki gang menuju sekolah, masuk gerbang sekolah bertemu
pak kebon yang sedang menyapu taman. Senyum Anjani pun mengembang, sangat ramah gadis ini
pada guru dan karyawan. Sapaannya hari ini pada pak kebon, "Pagi Pak, selamat tahun baru ...
Bapak gimana kabarnya?"

"Pagi Anjani, Bapak baik dan sehat. Kamu gimana, Jani?" pak Slamet menjawabnya.

"Sehat, liburan apa juga libur Pak?" tanya Anjani lagi.

Obrolan mereka sangat dekat, "Masuk terus tidak ada liburan, gimana kabar bapakmu?" tanya pak
Slamet kembali.

"Baik Pak, namun bapak sedang sibuk sekali!" jawab Anjani sambil terus mengumbar senyum di
wajah nya.

"Nggak liburan kemana-mana dong?" tanya pak Slamet kembali.

"Tidak Pak, kami dirumah saja ... udah ya Pak, saya masuk kelas dulu!" pamit Anjani seraya terus
mengumbar senyuman. Ia duduk di meja depan, kemudian setelah meletakkan tasnya ia bergegas
menunggu sahabatnya Wulan di depan kelas.

Tidak lama setelah Anjani duduk di taman depan kelas, nampak wajah sahabatnya yang ia tunggu.
Wulan yang masih berjalan dari jauh telah tersenyum padanya.

"Hai Jani, gimana liburanmu?" tanya Wulan setelah mereka dekat dan saling berjabat tangan bahkan
cipika cipiki dengan sahabatnya itu.

"Agak menyenangkan, kamu sendiri gimana Lan?" Anjani balik bertanya pada sahabatnya.
"Aku di rumah saja, kenapa kamu nggak main ke rumahku?" tanya Wulan sambil mengikuti
sahabatnya itu masuk kelas.

"Maaf Wulan, aku belum tahu rumahmu!" jawab Anjani dengan tersenyum. Namun ada kesenduan
saat Wulan lebih memilih tempat duduk di nomor dua.

"Lan, kamu tidak mau satu meja denganku lagi ya?" tanya Anjani sambil tersedu.

"Jani, sepertinya lebih enak disini saja ... kamu sini dong!" kata Wulan sambil tersenyum pada
sahabatnya itu.

Anjani pun memindah tasnya, tepat saat teman-teman mereka telah berdatangan. Ia duduk di
samping Wulan, ada satu kebahagiaan tersendiri sahabatnya itu yang paling mengerti dirinya.

Dua sahabat itu nampak sudah asyik mengobrolkan pengalaman masing-masing saat liburan. Wulan
tahu sahabatnya itu sangat tertutup, makanya ia mencoba membuat Anjani agar mau selalu berbagi
suka dukanya.

"Jani, semester ini kamu harus banyak berubah ya?" pinta Wulan yang tahu raport sahabatnya itu
masih kurang. Ia berniat menuntun Anjani belajar untuk bisa meningkatkan hasil belajarnya.

KALA SANG BAYU MENERPA

(Lanjutan part 6)

Sang mentari bergulir penuh warna menyusuri seperempat hari, panasnya tertiup angin. Padatnya
lalu lalang kendaraan melewati sekelompok anak muda, siswa-siswi SMP Negeri 2 Ambarawa. Anjani
bersama Wulan dan teman-temannya menyusuri jalanan, mereka melewati lapangan panglima
besar jenderal Soedirman Ambarawa.

Anjani menatap sekelompok orang di dalam lapangan, mereka berbaris rapi dan berirama. Gadis itu
membayangkan andaikan ia yang berada disana, betapa senang hatinya. Saat teman-temannya asyik
bercanda, ia malah asyik melihat tentara-tentara sedang berlatih.
"Sala ... tiga, Sala ... tiga, ayo Nak Salatiga!" teriakan pengemudi angkot menyadarkan Anjani dari
lamunannya.

"Oh, ayo pulang teman-teman mumpung masih bisa duduk!" Kata Anjani sambil menarik tangan
Wulan.

Angkutan pedesaan itu pun akhirnya melaju meninggalkan sederetan kaki lima di samping lapangan
pangsar itu. Canda tawa anak-anak sekolah membicarakan setiap sisi peristiwa yang mereka alami.
Anjani hanya terdiam sambil sesekali menjawab pertanyaan dan obrolan Wulan. Angkutan itu pun
akhirnya membawanya sampai di desanya.

"Jani, jangan lupa ya ada pr matematikanya dikerjakan!" bisik Wulan pada Anjani sesaat sebelum ia
turun, yang hanya dijawab dengan anggukan.

Anjani pun bergegas turun saat angkutan itu berhenti di halte desanya, tersenyum pada wulan dan
melambaikan tangan itu yang selalu dilakukannya saat ia turu dari angkutan. Saat gadis itu turun
nampak sekumpulan orang tengah berada di depan rumah kyai Ahmad. Ada sekelumit kecemasan
dalam dirinya yang disertai dengan keingintahuan.

Akhirnya ia bertanya dulu pada tetangganya sebelum berjalan ke rumahnya, “Ada apa ya, Pak?”
tanyanya pada sosok lelaki tua yang sedang berbincang dengan tetangga yang lain.

“Pak Ahmad mendadak pingsan saat ngajar,” jawab lelaki itu tadi.

“Terus gimana sekarang pak Ahmadnya?” tanya Anjani yang nampak sedih sambil mengedarkan
pandangannya ke dalam rumah. Terlihat sosok guru ngajinya yang tidak sadarkan diri sedang
diperiksa dokter di ruang tamu.

“Harus segera dibawa ke rumah sakit ini, Bu!” kata dokter kepada bu Ahmad yang menangis tersedu.
Anjani dan sebagian besar orang disana ikut menitikkan air mata. Keponakan pak Ahmad segera
berdiri dan bergegas mengambil mobil.
Akhirnya pak Ahmad dibawa ke rumah sakit dan semua orang membubarkan diri demikian pula
dengan Anjani. Ia nampak sangat sedih, tidak bisa ngaji hari ini dan tidak bisa belajar lagi sebelum
pak Ahmad sembuh total. Kondisi pak Ahmad memang sangat lemah, walaupun belum memasuki
masa pensiun tapi sudah sering sakit-sakitan.

“Gimana aku harus belajar, siapa yang akan membantuku?” pikiran itu sibuk menyerang diri Anjani
bahkan saat makan siang dan sebelum tidurnya.

Hari itu Anjani berusaha mengerjakan pr matematika sendiri, kadang ia juga mengirim pesan ke
Wulan. Apakah yang ia kerjakan sudah benar atau belum? Namun Anjani saat ini belum bisa
menguasai kembali materi tentang bunga, laba, neto dan tara.

Anjani selalu bertanya pada Wulan, dan dengan sabarnya wulan selalu menjawab. Bahkan kadang
jika lewat pesan Anjani belum paham, ia memvideo call sahabatnya itu.

Berkat Wulan, Anjani selalu tertib mengerjakan tugas di sekolah ataupun di rumah. Wulan selalu
menyayangi sahabatnya itu, membimbing dan mengingatkan. Pribradi yang sederhana dan santun
itu membuat Anjani mempunyai sahabat.

#tantanganmakmoodmenulisbukusolo

#40harinulisbukusolo

#Resnanta

#day12

Secara keseluruhan, konsisten menggunakan PoV3, yaitu Anjani. Hanya,


masih terjadi lompatan urutan cerita, ada beberapa kalimat rumit yang sebenarnya
bisa disederhanakan. Menggunakan majas yang tepat sesuai dengan maksud dan
kalimatnya.

Anda mungkin juga menyukai