Anda di halaman 1dari 14

TINJAUAN PUSTAKA

POLIP NASI

a. Definisi
Polip nasi ialah massa lunak yang mengandung banyak cairan di dalam rongga hidung,
berwarna putih keabu-abuan, yang terjadi akibat inflamasi mukosa. Umumnya sebagian
besar polip ini berasal dari celah kompleks osteomearal (KOM) di meatus media dan
sinus etmoid yang kemudian tumbuh ke arah rongga hidung. 2,5 Polip yang tumbuh ke
arah belakang dan membesar di nasofaring disebut polip koana. Polip koana kebanyakan
berasal dari dalam sinus maksila dan disebut juga polip antro-koana.

b. Epidemiologi
Prevalensi penderita polip nasi belum diketahui pasti karena hanya sedikit laporan dari
hasil studi epidemiologi serta tergantung pada pemilihan populasi penelitian dan metode
diagnostik yang digunakan. Polip nasi ditemukan 1-4% dari total populasi, 36% penderita
dengan intoleransi aspirin, 7% pada penderita asma. Polip pada dewasa berkisar 1-4%
sedangkan 0,1% ditemukan pada anak-anak. Polip nasi terutama ditemukan pada laki-laki
dibanding wanita dengan rasio 2,4:1. Biasanya terjadi setelah umur 20 tahun dan banyak
pada umur 40 tahun ke atas.5
Polip antrokoanal meliputi 4-6% dari seluruh polip nasal, merupakan jenis polip
nasal yang banyak ditemukan pada anak dan usia muda, 33% polip nasal pada
anak adalah polip antrokoanal. Distribusi umur penderita polip antrokoanal adalah
antara 7 sampai 75 tahun, dengan umur rata-rata 20 tahun. Rasio kejadian antara
pria dan wanita adalah 1.3–1.5 : 1.6 Prevalensi polip nasi dilaporkan 1-2% pada orang
dewasa di Eropa dan 4,3% di Finlandia. Dengan perbandingan pria dan wanita 2- 4:1. Di
Amerika Serikat prevalensi polip nasi diperkirakan antara 1-4 %. Pada anak-anak sangat
jarang ditemukan dan dilaporkan hanya sekitar 0,1%. Penelitian Larsen dan Tos di
Denmark memperkirakan insidensi polip nasi sebesar 0,627 per 1000 orang per tahun
(Bateman 2003, Ferguson et al.2006). Di Indonesia studi epidemiologi menunjukkan
bahwa perbandingan pria dan wanita 2-3 : 1 dengan prevalensi 0,2%-4,3%.2,3,4

c. Etiopatogenesis
Sampai saat ini belum ada kesepakatan mengenai etiologi polip nasi, terdapat sejumlah
hipotesis mengenai asal dari polip nasi eosinofilik dan neutrofilik yang berkisar dari
predisposisi genetik, variasi anatomi, infeksi kronis, alergi inhalan, alergi makanan, sampai
ketidakseimbangan vasomotor.2
Etiologi yang pasti belum diketahui tetapi ada 3 faktor penting pada terjadinya polip, yaitu:
1. Adanya peradangan kronik yang berulang pada mukosa hidung dan sinus.
2. Adanya gangguan keseimbangan vasomotor.
3. Adanya peningkatan tekanan cairan interstitial dan edema mukosa hidung

Pembentukan polip sering diasosiasikan dengan inflamasi kronik, disfungsi saraf


otonom serta predisposisi genetik. Menurut teori Bernstein, terjadi perubahan mukosa
hidung akibat peradangan atau aliran udara yang turbulensi, terutama di daerah sempit di
kompleks ostio-meatal. Terjadi prolaps submukosa yang diikuti oleh reepitelisasi dan
pembentukan kelenjar baru. Juga terjadi peningkatan penyerapan natrium oleh permukaan
sel epitel yang berakibat retensi air sehingga terbentuk polip.
Secara makroskopis, polip merupakan massa bertangkai dengan permukaan licin,
berbentuk bulat/lonjong, berwana putih keabu-abuan, agak bening, lobular, dapat tunggal
atau multiple dan tidak sensitif (bila ditekan/ditusuk tidak terasa sakit). Warna polip yang
pucat tersebut disebabkan karena mengandung banyak cairan dan sedikitnya aliran darah
ke polip. Bila terjadi iritasi kronis atau proses peradangan warna polip dapat berubah
menjaddi kemerah-merahan dan polip yang sudah menahun warnanya dapat menjadi
kekuning-kuningan karena banyak mengandung jaringan ikat.
Tempat asal tumbuh polip terutama dari kompleks ostio-meatal di meatus medius dan
sinus etmoid. Bila fasilitas pemeriksaan dengan endoskop, mungkin tempat asal tangkai
polip dapat terlihat.
Ada polip yang tumbuh ke arah belakang dan membesar di nasofaring, disebut polip
koana. Polip koana kebanyakan berasal dari dalam sinus maksila dan disebut juga polip
antra-koana. Ada juga sebagian kecil polip koana yang berasal dari sinus etmoid.
Secara mikroskopis tampak epitel pada polip serupa dengan mukosa hidung normal
yaitu epitel bertingkat semu bersilia dengan submukosa yang sembab. Sel-selnya terdiri
dari limfosit, sel plasma, eosinofil, neutrofil, dan makrofag. Mukosa mengandung sel-sel
goblet. Pembuluh darah, saraf dan kelenjar sangat sedikit. Polip yang sudah lama dapat
mengalami metaplasia epitel karena sering terkena aliran udara, menjadi epitel transisional,
kubik atau gepeng berlapis tanpa keratinisasi.
Berdasarkan jenis peradangannya, polip dikelompokkan menjad 2, yaitu polip tipe
eosinofilik dan tipe neutrofilik.
Beberapa hipotesis dari keadaan tersebut antara lain :2,3,5
1. Alergi
Alergi merupakan faktor yang banyak menjadi sorotan karena tiga hal, yaitu
karena sebagian besar polip hidung terdiri dari eosinofil, berhubungan dengan
asma, serta temuan klinis pada nasal yang menyerupai gejala dan tanda alergi.
Paparan alergen udara menahun, diduga berperan dalam terjadinya polip hidung
melalui inflamasi yang terus-menerus pada mukosa hidung.1
Ditemukan sekitar 7 % pasien dengan asma memiliki polip hidung. 7 Akan
tetapi ditemukan bahwa pada pasien non atopik angka kejadian polip hidung juga
lebih tinggi yaitu 13%. Akan tetapi studi lain menunjukkan bahwa asma dengan
onset yang telat (late onset asthma) akan berkembang menjadi nasal polip
sekitear 10-15%
2. Ketidak Seimbangan Vasomotor
Teori ini dikemukakan karena pada banyak kondisi tidak ditemukan adanya
tanda-tanda atopi dan tidak ada riwayat pajanan alergen yang ditemukan. Akan
tetapi pasien cenderung mengalami rinitis prodromal sebelum pada akhirnya
berkembang menjadi polip hidung. Polip hidung bisanya memiliki vaskularisasi
yang kurang dan berkurangnya inervasi vasokonstriktor. Selanjutnya gangguan
dalam regulasi vaskular dan peningkatan permeabilitas dapat menyebabkan edema
dan pembentukan polip.
3. Bernouli Fenomena
Fenomena Bernoulli terjadi karena adanya penurunan tekanan yang selanjutnya
menyebabkan konstriksi. Hal ini akan menimbulkan tekanan negatif dalam KOM,
yang mempengaruhi mukosa disekitarnya. Karena tekanan negatif ini kemudia akan
terjadi infalamasi mukosa yang selanjutnya menjadi awal terbentuknya polip.
4. Terori Rupture Epithel
Rupturnya epitel dari mukosa nasal karena alergi atau karena infeksi dapat
menyebabkan prolaps dari lamina propria, yang selanjutnya akan membentuk
polip. Defek dari faktor ini mungkin semakin membesar karena pengaruh gravitasi
atau drainase vena mengalami obstruksi. Akan tetapi dari scanning dengan
pengamatan mikroskopik tidak ditemukan adanya defek epitel yang bermakna
pada pasien dengan polip hidung.
5. Intoleransi Aspirin
Banyak konsep yang menjelaskan bagaimana patogenesis dari intoleransi aspirin
serta hubungannya dengan polip hidung. Terdapat sindrom klinis yang jelas,
bagaimana obat-obatan NSAID khusunya aspirin dapat memicu terjadinya rinitis
dan serangan asma. Respon Cyclooxygenase (COX) umumnya sangat berbeda
pada pasien dengan intoleransi aspirin dibandingkan normal. Dapat dibuktikan
bahwa terjadi perubahan pada COX1 dan COX2 yang menghasilkan metabolit
tertentu yang akan menstimulasi cysteinyl leukotriene (Cys-LT). Perubahan ini
selanjutnya menyebabkan metabolisme asam arachidonat menjadi jalur leukotriene
inflamasi tinggi, yang selanjutnya akan mengurangi kadar PGE2 (yang merupakan
PG antiinflamasi). Eksperi berlebihan dari LTC4 synthase selanjutnya akan
meningkatkan jumlah cysteinyl LTs, menyebabkan respon inflamasi tak terkontrol
dan inflamasi kronis.
6. Cystic Fibrosis
Cystic Fibrosis merupakan salah satu penyakit autosomal resesif pada kelompok
orang kulit putih. Cystic fibrosis disebabkan karena mutasi gen tunggal pada
kormosom 7 yang disebut cystic fibrosis transmembrane regulator (CFTR). Hal ini
menyebabkan tidak adanya cyclic AMP-regulated chloride chanel yang
menyebabkan impermeabilitas klorida dan peningkatan absorpsi natrium.
Peningkatan absorpsi natrium dan penurunan sekresi klorida menyebabkan
pergerakan air ke sel dan ruang interstitial, selanjutnya menimbulkan retensi ari,
pembentukan polip. Defek migrasi protein CFTR juga menyebabkan terjadinya
inflamasi kronis skunder.
7. Nitric Oxide
Nitric Oxida merupakan gas radikal bebas, yang memainkan peran besar dalam
terjadinya reaksi imunologis nonspesifik, regulasi dari tone vaskular, pertahanan
host, dan inflamasi pada berbagai jaringan. Radikal bebas biasanya dipertahankan
dalam keadaan seimbang oleh antioxidan defense system superoxide dismutase ,
catalase dan glutahione peroxidase. Ketika radikal bebas ini dapat melebihi
kemampuan pertahanan d ari antioxidant, maka akan terjadi defek seluler, defek
jaringan, dan penyakit kronis. Ditemukan laporan akan meningkatnya kadar nitric
oxide dan penurunan scavangeing enzim pada pasien polip hidung dibandingkan
dengan kontrol, yang menunjukkan adanya penumpukan radikal bebeas pada polip
hidung.
8. Infeksi
Bagaimana infeksi dapat menjadi faktor yang juga penting terhadap
pembentukan polip, diduga terkait dengan adanya gangguan pada epitel dengan
proliferasi jaringan granulasi. Hal ini biasanya terjadi pada infeksi Streptococcus
pneumoniae, Staphylococcus aureus, atau Bacteroides fragilis (semua jenis patogen
yang sering ditemukan pada rinosinusitis). Bagaimana granuloma menginduksi
terjadinya polip hidung masih belum benar-benar dipahami.
9. Superantigen Hypotensis
Staphylococcus aureus ditemukan sekitar 60-70% pada daerah mukus didekat
polif masif. Organisme ini selalu memproduksi toxin, staphylococcus enterotoxin A
(SEA), staphylococcus enterotoxin B (SEB) dan toxic shock syndrome toxin-1
(TSST-1) yang akan berperan sebagai supetantigen, menyebabkan aktifasi dan
ekspansi klonal dari limfosit pada lateral hidung. Aktifasi dari limfosit ini, akan
menghasilkan sitokin Th1 dan Th2 (IFN-gama. IL-2, IL-4, IL-4), hal ini akan
menyebabkan chronic lymphocytic-eosinophil muchosal disease. Hal ini dibuktikan
dengan ditemukannya antibodi spesifik IgE terhadap SEA dan SEB sebanyak
50% pada penderita polip hidung.
Berbagai faktor lain seperti faktor genetik, jamur, biofilm juga berperan dalam
patogenesis polip nasi. Secara histopatologi, karakteristik polip nasi menunjukkan adanya
kerusakan epitel, penebalan membran dasar, dan edema pada jaringan stroma kadang-
kadang fibrosis, dengan berkurangnya jumlah pembuluh darah dan kelenjar, tapi hampir
tidak ada struktur saraf. Polip menunjukkan peningkatan jumlah sel mast, eosinofil,
limfosit T, sitokin, kemokin, interleukin, TNF-a dan molekul adhesi.12
a. Peran Faktor Genetik di Patogenesis
Selama dua dekade terakhir, banyak penelitian telah dilakukan untuk menentukan
profil ekspresi gen diferensial antara polip nasi dan jaringan hidung normal, untuk
mengidentifikasi gen rentan yang berkaitan dengan polip nasi. Sejumlah studi hubungan
genetik menemukan korelasi yang signifikan antara alel human leukocyte antigen
(HLA) dan polip nasi. Risiko berkembangnya polip nasi 5,53 kali pada subyek dengan
HLA-DQA1 * 0201-DQB1 * 0201 haplotype. Pengembangan dan peradangan mukosa
yang menetap pada polip nasi telah dilaporkan berhubungan dengan banyak gen dan
potensi polimorfisme nukleotida tunggal. Sebuah penelitian baru menunjukkan bahwa
pada jaringan polip nasi, 192 gen yang diregulasi setidaknya dua kali lipat, dan 156 gen
yang menurunkan regulasi setidaknya 50% pada jaringan polip nasi dibandingkan
dengan mukosa sinus spenoid. Ini juga telah menunjukkan bahwa respon kekebalan
mukosa normal mendasari patogenesis penyakit. Ada sejumlah gen yang terlibat dalam
maintenance barrier epitel dan perbaikan pada fase inflamasi polip nasi. Sebagai contoh,
karbonat anhidrase (CA) adalah enzim logam seng yang berpartisipasi dalam proses
biologis dari berbagai epitel mengangkut cairan, termasuk ion dan transportasi air.
Tingkat ekspresi penurunan CA ditemukan untuk dihubungkan dengan gangguan
elektrolit dan transportasi air di sel epitel, yang akan mengakibatkan edema jaringan
polip nasi. Mengidentifikasi gen penyebab dan varian di polip nasi dapat bermanfaat
untuk perbaikan pencegahan, diagnosis dan pengobatan polip nasi. 12
b. Peran Jamur
Di antara kemungkinan penyebab, jamur telah mendapatkan perhatian dalam
beberapa tahun terakhir. Meskipun partikel jamur yang ada di mukosa sinonasal pada
orang yang sehat juga, tetapi partikel jamur bertindak sebagai antigen dalam mukosa
individu peka, sehingga muncul sel inflamasi (eosinophil) dan mengeluarkan Major
Basic Protein (MBP), yang akhirnya menyebabkan kerusakan mukosa dan superinfeksi
dengan cara migrasi sel inflamasi lain ke mukosa yang rusak. Antigen jamur ini berasal
dari spora jamur berkecambah dan hifa. Aspergillus dan Alternaria adalah spesies jamur
yang paling umum terlibat dalam patogenesis polip nasi. 12
c. Peran Biofilm
Mikroorganisme seperti bakteri dan jamur yang ada dalam dua bentuk utama dalam
cavum sinonasal: mengambang bebas sel replikasi planktonik dan biofilm. Biofilm
didefinisikan sebagai komunitas mikroorganisme yang bekerja sama yang melekat pada
permukaan lembab atau hidup di permukaan yang memproduksi matriks polimer terdiri
dari exopolysaccharides, asam nukleat, dan protein. Sifat struktural biofilm dan
karakteristik sel sessile menghasilkan resistensi terhadap agen antimikroba, sehingga
lingkungan yang memberi perlindungan terhadap kondisi buruk dan pertahanan tuan
rumah. Bakteri dalam biofilm ini, sementara dilindungi dari pertahanan host dan
antibiotik, metabolisme aktif dan menghasilkan endotoksin serta faktor virulensi
lainnya. Hal ini dapat mengabadikan respon host inflamasi, bahkan tanpa adanya bakteri
planktonik. 12

d. Manifestasi Klinis
Polip hidung dapat menyebabkan hidung tersumbat, yang selanjutnya dapat
menginduksi rasa penuh atau tekanan pada hidung dan rongga sinus. Kemudian
dirasakan hidung yang berair (rinorea) mulai dari yang jernih sampai purulen,
hiposmia atau anosmia serta dapat juga dirasakan nyeri kepala daerah frontal. Gejala
lain yang dapat timbul tergantung dari penyertanya, pada infeksi bakteri dapat
disertai pula dengan post nasal drip serta rinorea purulen. Gejala sekunder yang
dapat timbul adalah bernafas melalui mulut, suara sengau, halitosis, gangguan tidur,
dan gannguan kualitas hidup.2
Dapat juga menyebababkan gejala pada saluran nafas bawah, berupa batuk kronik
dan mengi, terutama pada penderita polip hidung dengan asma. 5 Selain itu harus
dicari riwayat penyakit lain seperti alergi, asma, intoleransi aspirin.5

e. Diagnosis
Anamnesis
Dari anamnesis didapatkan keluhan-keluhan berupa hidung tersumbat, rinorea,
hiposmia atau anosmia. Dapat pula didapatkan gejala skunder seperti bernafas
melalui mulut, suara sengau, halitosis, gangguan tidur dan gangguan aktifitas.2
Pemeriksaan Fisik
Inspeksi
Terlihat deformitas hidung luar sehingga hidung tampak melebar
-    Rhinoskopi anterior
Memperlihatkan massa translusen pada rongga hidung. Deformitas septum
membuat pemeriksaan menjadi lebih sulit. Tampak sekret mukus dan
polip multipel atau soliter. Polip kadang perlu dibedakan dengan konka nasi
inferior, yakni dengan cara memasukan kapas yang dibasahi dengan larutan
efedrin 1% (vasokonstriktor), konka nasi yang berisi banyak pembuluh darah akan
mengecil, sedangkan polip tidak mengecil. Polip dapat diobservasi berasal dari daerah
sinus etmoidalis, ostium sinus maksilaris atau dari septum.
-    Rhinoskopi Posterior
Kadang - kadang dapat dijumpai polip koanal. Sekret mukopurulen ada kalanya berasal
dari daerah etmoid atau rongga hidung bagian superior, yang menandakan adanya
rinosinusitis.
Pembagian stadium polip menurut MacKay dan Lund :
 Stadium 1 : polip masih terbatas pada meatus media
 Stadium 2 : polip sudah keluar dari meatus media, tampak pada rongga hidung
tertapi belum memenuhi rongga hidung
 Stadium 3: polip masif.2
Pemeriksaan Penunjang
1. Naso-endoskopi
Polip pada stadium 1 dan 2 kadang-kadang tidak terlihat dari rinoskopi anterior,
akan tetapi dengan naso endoskopi dapat terlihat dengan jelas. Pada kasus polip
koanal juga sering dapat dilihat tangkai polip yang berasal dari ostium asesorius
sinus maksila.2,6
2. Pemeriksaan Radiologi
Foto polos sinus paranasal (Posisi waters, AP, Caldwell dan latera) dapat
memperlihatkan adanya penebalan mukosa dan adanya batas udara cairan di
dalam sinus, tetapi kurang bermanfaat untuk polip hidung. Pemeriksaan CT scan
sangat bermanfaat untuk melihat secara jelas keadaan di hidung dan sinus
paranasal apakah ada proses radang, kelainan anatomi, polip atau sumbatan pada
kompleks osteomeatal (KOM). CT scan harus diindikasikan pada kasus polip yang
gagal diobati dengan terapi medikamnetosa, jika ada komplikasi dari sinusitis dan
pada perencanaan tindakan bedah endoskopi.6
3. Pemeriksaan Histologis
Secara histologis, polip hidung ditandai dengan epitel kolumnar semu bersilia,
penebalan membran epitel basal dan beberapa ujung saraf. Stroma polip hidung edema.
Vaskularisasi yang sangat sedikit dan tidak memiliki persarafan, kecuali di dasar polip.3
Polip hidup diklafikasian berdasarkan gambaran histologis sehingga perlu
dilakukannya pemeriksaan histologis. Berikut adalah gambaran histologis yang
diklasifikasikan menurut Hellquist HB:13

Gambar 2.5 Gambaran Histolopatologi Polip Nasi


Hasil pemeriksaan histopatologi polip nasi dengan pewarnaan hematoxilin-eosin
dengan pembesaran 400x. 13
A. Tipe I (tipe eosinofilik) didapatkan stroma edema dengan infiltrasi dominan sel-sel
eosinofil.
B. Tipe II (tipe neutrofilik) didapatkan stroma tidak edema dengan infiltrasi sel-sel
netrofil dan limfosit.
C. Tipe III d (tipe eosinofilik) idapatkan stroma tidak edema dengan infiltrasi dominan
sel-sel eosinofil dan didapatkan potongan kelenjar seromusin
Berdasarkan sumber lain klasifikasi histologist dari polip nasi Menurut Hellquist
yang dikutip oleh Zulka, terdapat subtipe histologis yaitu tipe I polip alergik dengan
eosinofil yang dominan, tipe II polip fibroinflamatorik dengan neutrofil yang dominan,
tipe III polip dengan hiperplasia kelenjar seromusinosa dan tipe IV polip dengan stroma
atipik. Sementara Chmielik membagi polip berdasarkan histologi menjadi 3 jenis
yaitu polip eosinofilik, polip inflamatori, stroma atipik.5
4. Uji Alergi
Uji alergi perlu dilakukan terutama pada anak-anak yang disesuaikan dengan proses
patologi dari rhinitis sehingga perlu dilakukan evaluasi dengan melakukan pemeriksaan
patch test ataupun prick test.3
f. Diagnosis Banding
Diagnosis banding dari polip nasi adalah :
a. Konka polipoid
Ciri – cirinya sebagai berikut :
- Tidak bertangkai
- Sukar digerakkan
- Nyeri bila ditekan dengan pinset
- Mudah berdarah
- Dapat mengecil pada pemakaian vasokonstriktor (kapas adrenalin).
Pada pemeriksaan rinoskopi anterior cukup mudah untuk membedakan polip dan
konka polipoid, terutama dengan pemberian vasokonstriktor yang juga harus hati – hati
pemberiannya pada pasien dengan penyakit kardiovaskuler karena bisa menyebabkan
vasokonstriksi sistemik, maningkatkan tekanan darah yang berbahaya pada pasien
dengan hipertensi dan dengan penyakit jantung lainnya.
b. Angiofibroma Nasofaring Juvenil
Etiologi dari tumor ini belum diketahui. Menurut teori, jaringan asal tumor ini
mempunyai tempat perlekatan spesifik di dinding posterolateral atap rongga hidung.
Dari anamnesis diperoleh adanya keluhan sumbatan pada hidung dan epistaksis
berulang yang masif. Terjadi obstruksi hidung sehingga timbul rhinorhea kronis yang
diikuti gangguan penciuman. Oklusi pada tuba Eustachius akan menimbulkan ketulian
atau otalgia. Jika ada keluhan sefalgia menandakan adanya perluasan tumor ke
intrakranial. 14
Pada pemeriksaan fisik dengan rhinoskopi posterior terlihat adanya massa tumor
yang konsistensinya kenyal, warna bervariasi dari abu-abu sampai merah muda, diliputi
oleh selaput lendir keunguan. Mukosa mengalami hipervaskularisasi dan tidak jarang
ditemukan ulcerasi. Pada pemeriksaan penunjang radiologik konvensional akan terlihat
gambaran klasik disebut sebagai tanda Holman Miller yaitu pendorongan prosesus
Pterigoideus ke belakang. 14
Pada pemeriksaan CT scan dengan zat kontras akan tampak perluasan tumor dan
destruksi tulang sekitarnya. Pemeriksaan arteriografi arteri karotis interna akan
memperlihatkan vaskularisasi tumor. Pemeriksaan PA tidak dilakukan karena
merupakan kontra indikasi karena bisa terjadi perdarahan. Angiofibroma Nasofaring
Juvenil banyak terjadi pada anak atau remaja laki-laki. 14
b. Tumor Jinak pada hidung
Tumor jinak hidung yang tersering adalah papiloma skuamosa. Secara makroskopis
mirip dengan polip, tetapi lebih vaskuler, padat dan tidak mengkilat. Terdapat 2 jenis
papiloma, pertama eksofitik atau fungiform dan yang kedua endofitik disebut papiloma
inverted. Papiloma inverted cenderung untuk residif dan dapat berubah menjadi ganas.
Lebih sering terjadi pada laki-laki usia tua. Terapi pada tumor ini adalah bedah radikal.1

g. Tatalaksana
Tujuan dari tatalaksana polip hidung yaitu: 4,6
- Memperbaikai keluhan pernafasan pada hidung
- Meminimalisir gelaja
- Meningkatkan kemampuan penghidu
- Menatalaksanai penyakit penyerta
- Meningkatkan kulitas hidup
- Mencegah komplikasi.
Secara umum penatalaksanaan dari polip hidung yaitu melalui penatalksanaan medis
dan operatif.
1. Tatalaksana Medis
Polip Hidung merupakan kelainan yang dapat ditatalaksanai secara medis.
Walaupun pada beberapa kasus memerlukan penanganan operatif, serta tatalaksana
agresif sebelum dan sesudah operatif juga diperlukan.2,6
a. Antibiotik
Polip hidung dapat menyebabkan terjadinya obstruksi sinus, yang selanjutnya
menimbulkan infeksi. Tatalaksana dengan antibiotik dapat mencegah
pertumbuhan dari polip dan mengurangi perdarahan selama operasi. Antibiotik
yang diberkan harus langsung dapat memberikan efek langsung terhadap
spesies Staphylococcus, Streptococcus, dan bakteri anaerob, yang merupakan
mikroorganisme pada sinusitis kronis.6
b. Corticosteroid
Topikal Korticosteroid
Intranasal/topikal kortikosteroid merupakan pilihan pertama untuk polip
hidung. Selain itu penggunaan topikal kortikosteroid ini juga berguna pada
pasien post-operatif polip hidung, dimana pemberiannya dapat mengurangi
angka kekambuhan. Pemberian dari kortikosteroid topikal ini dapat dicoba
selama 4-6 minggu dengan fluticasone propionate nasal drop 400 ug 2x/hari
memiliki kemampuan besar dalam mengatasi polip hidung ringan-sedang
(derajat 1-2), diamana dapat mengurangi ukuran dari polip hidung dan
keluhan hidung tersumbat.4
Sitemik Kortikosteroid
Penggunaan dari kortikosteroid sistemik/oral tunggal masih belum banyak
diteliti. Penggunaanya umumnya berupa kombinasi dengan terapi kortikosteroid
intranasal. Penggunaan fluocortolone dengan total dosis 560 mg selama 12 hari
atau 715 mg selama 20 hari dengan pengurangan dosis perhari disertai
pemberian budesonide spray 0,2 mg dapat mengurangi gejala yang timbul serta
memperbaiki keluhan sinus dan mengurangi ukuran polip.4
Akan tetapi dari penelitian lain, penggunaan kortikosteroid sistemik tunggal
yaitu methylprednisolone 32 mg selama 5 hari, 16 mg selama 5 hari, dan 8 mg
selama 10 hari ternyata dapat memberikan efek yang signifikan dalam
mengurangi ukuran polip hidung serta gejala nasal selain itu juga meningkatkan
kemampuan penghidu.6
c. Terapi lainnya
Penggunaan antihistamin dan dekongestan dapat memberikan efek
simtomatik akan tetapi tidak merubah perjalanan penyakitnya. Imunoterapi
menunjukkan adanya keuntungan pada pasien dengan sinusitis fungal dan dapat
berguna pada pasien dengan polip berulang. Antagonis leukotrient dapat
diberikan pada pasien dengan intoleransi aspirin.4
2. Terapi Pembedahan
Indikasi untuk terapi pembedahan antara lain dapat dilakukan pada pasien
yang tidak memberikan respon adekuat dengan terapi medikal, pasien dengan
infeksi berulang, serta pasien dengan komplikasi sinusitis, selain itu pasien polip
hidung disertai riwayat asma juga perlu dipertimbangkan untuk dilakukan
pembedahan guna patensi jalan nafas. Tindakan yang dilakukan yaitu berupa
ekstraksi polip (polipektomi), etmoidektomi untuk polip etmoid, operasi Caldwell-
luc untuk sinus maxila. Untuk pengembangan terbaru yaitu menggunakan operasi
endoskopik dengan navigasi komputer dan instrumentasi power. 3,6
Keluhan
Sumbatan hidung dengan 1/> gejala

Massa polip hidung Curiga keganasan


Tentukan stadium Permukaan berbenjol, mudah
berdarah

Jika mungkin : biopsy untuk


tentukan tipe polip dan lakukan
polipektomi reduksi Biopsy tatalaksana sesuai

Keterangan
menentukan stadium
Stad 2&3 Stad I & 2 Polip dalam MM (NE)
Terapi bedah Terapi Polip keluar dari MM
medik Polip memenuhi rongga
hidung

Persiapan pra
bedah
Terapi medik :
steroid topical dan atau
polipektomi medikamentosa dengan cara :
deksametason 12 mg (3 Hr) 8 mg (3 Hr)4 mgt (3 Hr)
Methylprednisolon 64 mg 10 mg (10 Hr)
Prednisone 1 mg/ kgbb (10 Hr)

Terapi bedah Tidak ada perbaikan Perbaikan Perbaikan


mengecil hilang

Tindak lanjut dengan steroid topical sembuh


Pemeriksaan berkala sebaiknya dengan NE

Polip rekuren :
Cari faktor alergi
Steroid topical
Steroid oral tidak lebih 3-4x/ tahun
Kaustik
Operasi ulang
h. Prognosis
Umumnya setelah penatalaksanaan yang dipilih prognosis polip hidung ini baik
(dubia et bonam) dan gejala-gejala nasal dapat teratasi. Akan tetapi kekambuhan pasca
operasi atau pasca pemberian kortikosteroid masih sering terjadi. Untuk itu follow-up
pasca operatif merupakan pencegahan dini yang dapat dilakukan untuk mengatasi
kemungkinan terjadinya sinekia dan obstruksi ostia pasca operasi, bagaimana patensi
jalan nafas setelah tindakan serta keadaan sinus, pencegahan inflamasi persisten, infeksi,
dan pertumbuhan polip kembali, serta stimulasi pertumbuhan mukosa normal. Untuk itu
sangat penting dilakukan pemeriksaan endoskopi post operatif. Penatalaksanaan lanjutan
dengan intra nasal kortikosteroid diduga dapat mengurangi angka kekambuhan polip
hidung.2,3,6

Anda mungkin juga menyukai