Anda di halaman 1dari 26

Jurnal Hukum & Pembangunan 49 No.

2 (2019): 471-496
ISSN: 0125-9687 (Cetak)
E-ISSN: 2503-1465 (Online)

MENULIS DI JURNAL HUKUM: GAGASAN, STRUKTUR, DAN GAYA

Andri Gunawan Wibisana *


* Pengajar Tetap Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Korespondensi: andri.gunawan@ui.ac.id, mragw@yahoo.co.id
Naskah dikirim: 14 April 2019
Naskah diterima untuk diterbitkan: 12 Juni 2019

Abstract
Writing articles in a law review is different from writing an opinion in a newspaper or
articles in other types of journals. Indonesian authors often fail to indicate the
problems to be discussed, the proposed thesis statement or idea (claim), and the
structure of the article. They also write too descriptive and employ very limited
references. This paper aims to support the authors to find out important aspects in
formulating a good legal article. For this reason, this paper explains that an article
must contain the claim, and be novel, non-obvious, and useful. This paper also
explains the importance of the introduction of an article and explains how to start the
introduction. The article demonstrates the importance of the structure of articles,
references, and languages. By knowing and taking into account the elements of good
articles, Indonesian authors would be able to produce articles with quality
comparable to that of reputable international journals. In this case, the only problem
for a publication in reputable international law journals would only be a matter of
writing an article in English and no longer of the quality of the article.
Keywords: law review articles, claim, structure, referencing

Abstrak
Menulis artikel pada jurnal hukum berbeda dari menulis artikel pada surat kabar dan
artikel pada jurnal ilmiah pada umumnya. Sayangnya, para penulis di Indonesia
seringkali gagal memperlihatkan permasalahan yang hendak dibahas di dalam
artikelnya, tidak menjelaskan thesis statement atau gagasan (claim) yang hendak
diajukan, tidak pula menuliskan struktur penulisan dari artikel, terlalu bersifat
deskriptif, dan memuat referensi yang sangat terbatas. Tulisan ini bertujuan membantu
para penulis menemukan hal apa saja yang perlu diperhatikan dalam penulisan sebuah
artikel hukum yang baik. Untuk itu, tulisan ini menjelaskan bahwa sebuah artikel
harus memuat pernyataan gagasan (claim atau thesis), bersifat kebaruan (novelty),
bersifat non-obvious, dan memiliki kegunaan. Tulisan ini juga menjelaskan pentingnya
pendahuluan dari sebuah artikel dan menerangkan bagaimana memulai pendahuluan.
Hal yang juga penting di dalam artikel adalah struktur artikel, referensi, dan bahasa.
Dengan diketahui dan diperhatikannya elemen penyusun artikel yang baik, artikel dari
penulis Indonesia dapat memiliki kualitas yang sejajar dengan artikel pada jurnal-
jurnal internasional bereputasi, sehingga hambatan publikasi pada jurnal tersebut
menjadi bukan lagi persoalan kualitas tulisan, tetapi hanya persoalan bagaimana
menulis artikel ke dalam bahasa Inggris.
Kata Kunci: ulasan artikel hukum, klaim, struktur, referensi.

Tersedia versi daring: http://jhp.ui.ac.id


DOI: http://dx.doi.org/10.21143/jhp.vol49.no2.2014
472 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.2 April-Juni 2019

I. PENDAHULUAN
Artikel pada jurnal hukum memiliki nilai dan manfaat yang sangat besar bagi
sarjana hukum. Bradford, misalnya, menganggap bahwa mempublikasikan artikel di
sebuah jurnal hukum adalah sebuah kehormatan dan keistimewaan. Dengan mengutip
pandangan para editor berbagai jurnal hukum di AS, Bradford meneruskan, “law
reviews hold a special place of trust and importance in the legal system and in
society”, karena jurnal-jurnal tersebut “play a vital role in the preservation of
society.”1
Sayangnya, di Indonesia peran jurnal hukum belum seperti di AS atau di
Eropa. Jarang sekali ditemukan, jika bukan tidak ada, fakultas hukum yang
mengajarkan penulisan bagi artikel hukum. Pertanyaan-pertanyaan mengenai
bagaimana hasil penelitian dituangkan ke dalam artikel, bagaimana argumen disusun,
atau kapan sebuah argumen perlu menggunakan rujukan sebagai pendukung argumen,
seringkali kurang memperoleh perhatian. Akibatnya, sarjana hukum kerap gagap
ketika menulis artikel untuk jurnal hukum.
Artikel pada jurnal ilmiah memiliki kebiasaan tertentu yang berbeda dari
artikel populer di surat kabar, terutama terkait dengan topik, bahasa yang digunakan,
dan gaya penulisan rujukan (sitasi). Selain itu, dibandingkan dengan artikel pada jurnal
ilmiah pada umumnya, artikel pada jurnal hukum juga memiliki keunikan tersendiri.
Keunikan ini terutama terkait dengan struktur artikel, penggunaan pendekatan tertentu,
serta pentingnya referensi pendukung.
Dari pengalaman beberapa kali menjadi mitra bebestari di beberapa jurnal,
terdapat beberapa masalah yang lazim ditemukan pada banyak artikel (draft artikel)
hukum di Indonesia. Pertama, bagian pendahuluan sangat panjang, tetapi gagal
memperlihatkan permasalahan yang hendak dibahas, tidak menjelaskan thesis
statement atau gagasan (claim) yang hendak diajukan, dan tidak pula menuliskan
struktur penulisan dari artikel. Akibatnya, artikel menjadi tidak terarah. Kedua,
mayoritas artikel hukum tersebut terlalu bersifat deskriptif. Artikel tersebut hanya
menggambarkan bagaimana hukum tertentu di Indonesia. Lebih buruk lagi, banyak
dari artikel tersebut yang menggambarkan hukum Indonesia hanya berdasarkan
peraturan perundang-undangan. Ketiga, mayoritas artikel tersebut tidak menggunakan
rujukan yang baik. Seringkali artikel yang ditulis hanya memuat referensi yang sangat
terbatas, yang itu pun lebih banyak merupakan buku teks. Artikel-artikel tersebut
sepertinya tidak menyadari bahwa terdapat hubungan yang erat di antara menulis
artikel dengan membaca: semakin baik seseorang membaca, semakin baik artikel yang
akan ditulisnya.
Tulisan ini bertujuan membantu para penulis menemukan hal apa saja yang
perlu diperhatikan dalam penulisan sebuah artikel hukum yang baik. Dengan diketahui
dan diperhatikannya elemen penyusun artikel yang baik, artikel yang dihasilkan
diharapkan dapat memiliki standar dan kualitas yang relatif sejajar dengan artikel pada
jurnal-jurnal di luar negeri. Selanjutnya, dengan semakin berkualitasnya artikel pada
jurnal hukum di Indonesia, dapat pula diharapkan bahwa cita-cita menjadikan jurnal
hukum sebagai bagian dari perkembangan hukum akan segera terwujud. Selain itu,
dengan meningkatnya kualitas artikel dari penulis Indonesia, hambatan publikasi pada

1
C. Steven Bradford, “As I Lay Writing: How to Write Law Review Articles for Fun and
Profit: A Law-and-Economics, Critical, Hermeneutical, Policy Approach and Lots of Other Stuff That
Thousands of Readers Will Find Really Interesting and Therefore You Ought to Publish in Your
Prestigious, Top-Ten, Totally Excellent Law Review”, Journal of Legal Education, Vol. 44 (1994),
hlm. 14.
Menulis di Jurnal Hukum, Andri Gunawan Wibisana 473

jurnal hukum internasional bereputasi bukan lagi hambatan besar dari sisi substansi,
tetapi menjadi hanya persoalan bagaimana menulis artikel ke dalam bahasa Inggris.
Untuk mencapai tujuan tersebut, tulisan ini akan disusun sebagai berikut.
Setelah Pendahuluan, Bagian II akan membahas mengenai pentingnya topik dan
orisinalitas artikel. Bagian ini akan menawarkan beberapa tips yang dapat digunakan
untuk menyusun topik dan memperlihatkan kebaruan dari artikel yang hendak dibuat.
Setelah itu, Bagian III akan membahas mengenai pendahuluan dari sebuah artikel. Di
sini yang akan dibahas tidak hanya mengenai pentingnya pendahuluan bagi sebuah
artikel ilmiah, tetapi juga beberapa hal yang perlu ada di dalam pendahuluan, yaitu
permasalahan dan latar belakangnya, thesis, dan kerangka (peta jalan) artikel. Bagian
IV akan membahas struktur apa saja yang perlu dibangun untuk sebuah artikel hukum.
Tulisan ini hendak menggambarkan bahwa struktur artikel di beberapa jurnal hukum,
yaitu pendahuluan—metodologi—data—diskusi—analisa—kesimpulan, bukanlah
merupakan struktur yang tepat untuk sebuah artikel hukum. Bagian IV juga akan
membahas beberapa hal teknis terkait bahasa dan pola-pola penyusunan kalimat dan
paragraf. Bagian ini akan memuat pula diskusi mengenai pentingnya referensi dalam
artikel hukum, serta perlunya kesepakatan di antara pengelola jurnal hukum Indonesia
terkait model sitasi yang akan digunakan. Bagian V akan menguraikan beberapa
kalimat penutup.

II. TOPIK DAN KOMPONEN DASAR ARTIKEL


Proses penyusunan artikel pada dasarnya dimulai dari penentuan topik yang
hendak ditulis. Setelah itu, penulis akan menyusun pertanyaan yang akan dibahas dan
gagasan yang akan disampaikan di dalam artikel. Untuk itu, sebelum seseorang
memulai menulis artikelnya, perlu kiranya dipaparkan bagaimana topik disusun, dan
hal mendasar apa yang perlu ada untuk menyusun sebuah artikel yang baik.

1. Penentuan Topik
Sebuah artikel yang baik akan berawal dari topik yang baik. Persoalannya
adalah bagaimana seorang penulis dapat menemukan topik yang tepat untuk ditulis.
Lebovits menyatakan bahwa sebuah artikel dapat merupakan sebuah uraian dan
pembahasan aspek substantif atau prosedural dari persoalan hukum tertentu. Selain itu,
sebuah artikel dapat pula mengetengahkan masalah yang belum terpecahkan dan
bagaimana pemecahannya.2 Hal yang dikemukakan oleh Lebovits di atas dapat
menjadi cara bagi seorang penulis untuk menentukan topik yang akan dipilihnya.
Selain itu, dapat pula ditambahkan di sini bahwa topik dapat saja dipilih dari
adanya sebuah putusan atau peraturan atau pernyataan yang menimbulkan perdebatan,
yang kemudian akan diuji dan dianalisa dengan landasan teoretis tertentu. Dapat pula
sebuah artikel hendak membahas pandangan yang lazim dianut, dan kemudian
membantah pandangan tersebut berdasarkan perspektif tertentu.
Selain hal di atas, Volokh menyatakan bahwa artikel yang baik tidak hanya
harus bersifat orisinal, tidak terlalu mudah untuk dijawab, berguna, dan masuk akal,
tetapi juga harus dapat dilihat oleh pembaca telah memenuhi karakter tersebut. 3
Dengan demikian, Volokh melihat bahwa pandangan atau komentar pembaca tentang
artikel memegang peranan yang penting untuk menentukan kualitas artikel. Hal yang

2
Gerald Lebovits, “Academic Legal Writing: How to Write and Publish”, New York State Bar
Association Journal, Vol. 78:1 (2006), hlm. 64.
3
Eugene Volokh, “Writing a Student Article”, Journal of Legal Education, Vol. 48:2 (June
1998), hlm. 248.
474 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.2 April-Juni 2019

sama juga dikemukakan oleh Osbeck. Baginya, semakin baik sebuah artikel, semakin
dekat artikel tersebut dengan kebutuhan dan kepentingan dari pembacanya.4
Berbeda dengan Volokh dan Osbeck, beberapa pengarang justru melihat
pentingnya kemampuan penulis untuk menyeimbangkan antara ketertarikan pribadi
penulis dengan manfaat dari artikel bagi orang lain pada saat penulis menentukan
topik artikel. Menurut Lebovits, apa pun tujuan dari penulisan artikel hukum, terdapat
dua hal yang sangat penting untuk diperhatikan dalam penentuan topik. Pertama, topik
artikel selalu mengetengahkan kepentingan atau ketertarikan penulis. Kedua,
kepentingan atau ketertarikan itu harus diseimbangkan dengan manfaat dari penulisan
topik yang dipilih.5 Hal senada juga diperlihatkan oleh Fajans dan Falk yang,
sebagaimana dikutip oleh Robson, menyatakan bahwa “[i]deally, your choice of
subject will be informed equally by your audience’s needs and concerns and by your
own interests.”6 Selain kedua hal di atas, topik yang dipilih haruslah merupakan topik
yang menarik untuk ditulis (interesting), dapat ditulis (manageable), dan penting
(significant) untuk ditulis.7 Singkatnya, topik artikel harus lah merupakan hal yang
pada satu sisi menarik bagi penulis, dan pada sisi lain berguna bagi orang lain.
Sebuah topik dapat dipilih dari banyak faktor dan kejadian. Mungkin pula
inspirasi pemilihan topik muncul secara tiba-tiba di tempat yang tidak terduga.
Namun demikian, seperti dinyatakan Sternberg, “[i]t may be arguable whether the
final choice is determined by “fate” or “being in the right place at the right time”, but
prior to that right moment or right idea come months, or even years, of selective
reading and thinking about dozens of related issues”.8 Meskipun pandangan Sternberg
tersebut disampaikannya dalam konteks pemilihan topik sebuah disertasi, akan tetapi
pandangan tersebut juga dapat diterapkan untuk pemilihan topik artikel hukum.
Belajar dari Sternberg, dapat disimpulkan bahwa membaca pada akhirnya merupakan
hal terpenting dalam proses penulisan sebuah karya ilmiah hukum.
Tentu, membaca saja tidak cukup. Hasil penelitian dan penelusuran bahan
bacaan perlu dituangkan dalam gagasan orisinal seorang penulis.

2. Komponen Dasar Artikel


Menurut Volokh, artikel yang baik setidaknya mampu memiliki lima hal
mendasar. Pertama, adanya pernyataan (claim); Kedua, bersifat baru (novel); Ketiga,
bukan merupakan hal yang selayaknya telah diketahui (non-obvious); Keempat,
berguna (useful); Kelima, dilihat oleh pembaca sebagai artikel yang memenuhi sifat
kedua s.d. kelima.9 Dasar artikel yang baik tersebut akan dibahas berikut ini.

a. Pernyataan (claim)
Pernyataan (claim) adalah thesis yang menjadi dasar sebuah artikel. Sebuah
artikel yang baik selalu memilki thesis tentang suatu hal, atau dengan kata lain

4
Mark K. Osbeck, “What Is “Good Legal Writing” and Why Does It Matter?”, Drexel Law
Review, Vol. 4 (2012), hlm. 425-426.
5
Gerald Lebovits (2006), op cit., hlm. 64.
6
Ruthann Robson, “Law Students as Legal Scholars: An Essay/Review of Scholarly Writing
for Law Students and Academic Legal Writing”, City University of New York Law Review, Vol. 7:1
(2004), hlm. 197
7
Richard Delgado, “How to Write a Law Review Article”, University of San Francisco Law
Review, Vol. 20 (1986), hlm. 448
8
David Sternberg, How to Complete and Survive a Doctoral Dissertation (New York: St.
Martin’s Press, 1981), hlm. 51.
9
Eugene Volokh (1998), loc cit.
Menulis di Jurnal Hukum, Andri Gunawan Wibisana 475

memiliki gagasan yang hendak disampaikan.10 Menurut Volokh, pernyataan (claim)


dapat berbentuk pernyataan yang deskriptif, yaitu pernyataan yang mengambarkan
suatu hal sebagaimana adanya. Misalnya, pernyataan dapat berupa gambaran historis
atas perkembangan hukum tertentu, uraian mengenai efek tertentu dari hukum, atau
pernyataan tentang bagaimana pengadilan menginterpretasikan hukum tertentu. Pada
sisi lain, pernyataan dapat pula bersifat perskriptif, yaitu pernyataan yang
mengetengahkan apa yang perlu dilakukan. Misalnya, pernyataan bagaimana pasal
tertentu di dalam konstitusi seharusnya diinterpretasikan, undang-undang seperti apa
yang harus dibuat untuk mengatasi persoalan tertentu, atau bagaimana aturan tertentu
seharusnya diubah.11
Selain itu, sebuah tulisan/pernyataan dapat pula bersifat eksplanatoris,
misalnya artikel yang menjawab pertanyaan bagaimana sebuah aturan
diinterpretasikan dalam makna tertentu dan bukan yang lainnya, atau pertanyaan
mengapa aturan tertentu berbunyi seperti hukum positif yang berlaku saat ini. Dapat
pula sebuah artikel bersifat evaluatif, misalnya dengan mempertanyakan apa
pembenaran dari sebuah putusan atau aturan tertentu. Dalam hal ini, artikel berfungsi
untuk secara kritis menilai atau menguji sebuah keadaan atau hukum tertentu.
Tidak tertutup kemungkinan jika sebuah artikel memuat pernyataan yang
bersifat deskriptif dan perskriptif. Menurut Volokh, artikel yang memiliki pernyataan
kombinasi ini justru sangat dianjurkan karena artikel tersebut tidak hanya akan
menerangkan apa yang ada dan mungkin belum diketahui oleh orang lain, tetapi juga
menjelaskan apa yang sebaiknya perlu dilakukan terhadap keadaan tersebut.12 Jika hal
yang pertama merupakan aspek deskriptif dari artikel, maka aspek kedua adalah aspek
perskriptif dari artikel tersebut.
Untuk memberikan gambaran konkret mengenai pernyataan/thesis, berikut
adalah sebelas tipe pernyataan/thesis sebagaimana dikemukakan oleh Volokh:13
a. “Aturan X tidaklah konstitusional karena…”
b. “Pembuat undang-undang seharusnya membuat undang-undang mengenai…”
c. “Jika diinterpretasikan secara tepat, Pasal X memiliki makna bahwa…”
d. “Aturan ini dapat memiliki dampak berupa…”
e. “Aturan ini dapat memiliki akibat berupa…, karenanya harus diganti [atau diubah
sehingga berbunyi…”
f. “Pengadilan telah menginterpretasikan aturan X sebagai…, karenanya aturan
tersebut perlu diamandemen sehingga berbunyi…”
g. “Beberapa aturan hukum dalam hal tertentu ternyata tidak konsisten, sehingga
berakibat pada…”
h. “Penelitian empiris dari artikel ini menunjukkan bahwa aturan X tanpa disadari
telah mengarahkan kita pada…, dan karenanya aturan tersebut harus diubah
menjadi…”
i. “Penelitian empiris dari artikel ini menunjukkan bahwa aturan X memiliki efek
positif berupa…, dan karenanya perlu dipertahankan [diperluas penerapannya ke
arah…]”
j. “Pandangan umum yang menyatakan bahwa … adalah keliru [tepat], karena …”

10
Dalam bahasa Samuelson, pernyataan ini disebut dengan point, yaitu suatu gagasan atau
thesis yang hendak disampaikan oleh penulis. Sebuah artikel harus memiliki gagasan (point) ini. Pamela
Samuelson, “Good Legal Writing: of Orwell and Window Panes”, University of Pittsburgh Law Review,
Vol. 46 (1984), hlm. 151.
11
Eugene Volokh, Academic Legal Writing: Law Review Articles, Student Notes, Seminar
Papers, and Getting on Law Review, 3rd ed. (New York: Foundation Press, 2007), hlm. 9.
12
Ibid., hlm. 11.
13
Ibid., hlm. 9-10.
476 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.2 April-Juni 2019

Tentu saja, kesebelas tipe pernyataan tersebut tidaklah kaku. Seorang penulis
dapat saja menggabungkan lebih dari satu tipe pernyataan di atas. Namun demikian,
perlu tetap diingat bahwa artikel tidak boleh hanya berisi pemaparan deskriptif atas
suatu hal tertentu, misalnya peraturan atau putusan.

b. Kebaruan (Novelty)
Seorang penulis memiliki beban untuk memperlihatkan bahwa tulisannya
menawarkan sudut pandang, gagasan, atau solusi baru atas sebuah persoalan hukum
yang sebelumnya telah ada. Dalam kalimat Delgado, menulis artikel dilakukan dengan
jalan “find one new point, one new insight, one new way of looking at a piece of law,
and organize your entire article around that”.14 Kebaruan ini menjadi jaminan bahwa
artikel yang dibuat adalah karya yang orisinal.
Persyaratan kebaruan/orisinal inilah yang menjadikan artikel ilmiah sulit untuk
dikerjakan. Sebuah artikel akan sangat mungkin ditolak jika hanya berisi hal yang
sebelumnya telah dibahas oleh tulisan lain. Cara pertama untuk memperoleh topik
yang orisinal adalah dengan mencari topik tertentu yang belum pernah ditulis. Namun
demikian, hal ini tidaklah mudah. Setelah begitu banyak tulisan membahas persoalan
hukum yang sama, apa yang tersisa untuk dijadikan topik artikel? Cara kedua yang
dapat dilakukan adalah dengan menambahkan “rasa” baru, nuansa baru, solusi baru,
pandangan baru, atau perspektif baru atas persoalan tersebut.15
Volokh mengusulkan bahwa agar artikel yang dibuat dapat menawarkan hal
baru, maka artikel tersebut harus dibuat dengan menambahkan pengecualian dari
aturan hukum tertentu. Menurutnya, alih-alih menyatakan bahwa “bans on
nonmisleading commercial advertising should be unconstitutional”, artikel sebaiknya
menyatakan bahwa “bans on nonmisleading commercial advertising should be
unconstitutional unless minors form a majority of the intended audience for the
advertising”. Volokh meneruskan bahwa semakin kompleks gagasan dari sebuah
tulisan seseorang, akan semakin besar kemungkinan tulisan tersebut memuat gagasan
yang baru.16
Untuk membantu penulis menemukan orisinalitas dan kebaruan, tulisan ini
menawarkan beberapa tips yang disampaikan oleh Siems.17 Menurutnya, sebuah
penelitian atau tulisan yang membahas pertanyaan mikro (micro-legal questions)18
dapat menjadi lebih orisinal dengan ditambahkan beberapa hal. Pertama, tulisan dapat
dibuat lebih orisinal dengan menekankan pada segi koherensi dan konsistensi dari

14
Richard Delgado, loc cit.
15
Selain dari kedua kemungkinan ini, orisinal tulisan juga kadang dimintakan secara tegas oleh
jurnal hukum dalam bentuk pernyataan bahwa artikel yang dikirim adalah artikel yang tidak pernah
dipublikasikan sebelumnya, baik dalam bentuk buku, jurnal, maupun prosiding. Lihat: Douglas E.
Abrams, “Writing It Right: Writing in Law Reviews, Bar Association Journals, and Blogs (Part 1)”,
Journal of the Missouri Bar, Vol. 72 (2016), hlm. 26.
16
Eugene Volokh (2007), op cit., hlm. 16.
17
Perlu disampaikan bahwa tips yang disampaikan oleh Siems sebenarnya ditujukan untuk
menemukan “orisinalitas” di dalam sebuah penelitian hukum. Akan tetapi, tulisan ini melihat bahwa
tips tersebut juga berguna untuk diterapkan dalam penulisan artikel hukum.
18
Menurut Siems, penelitian tentang pertanyaan mikro adalah penelitian yang membahas
tentang persoalan hukum tertentu, baik itu persoalan terkait ketentuan, undang-undang, atau putusan
tertentu. Sebagai perbandingan, penelitian hukum yang bersifat makro (macro-legal questions) adalah
penelitian yang fokus pada pembahasan problem, konsep, atau asas yang bersifat umum. Penelitian ini
akan sangat erat kaitannya dengan teori hukum dan filsafat hukum. Lihat: Mathias M. Siems, “Legal
Originality”, Oxford Journal of Legal Studies, Vol. 28:1 (2008), hlm. 148-149 dan dan 150.
Menulis di Jurnal Hukum, Andri Gunawan Wibisana 477

sebuah bahan hukum.19 Cara ini biasanya dilakukan dengan melibatkan “interpretive
legal theory” yang ditujukan untuk mengidentifikasi gambaran umum dan struktur
dasar hukum. Dapat pula cara ini ditempuh melalui “legal synthesis”, yang berupaya
untuk menyatukan elemen-elemen dari putusan dan peraturan ke dalam aturan-aturan
yang koheren dan bermanfaat, atau melalui “systemic approach”, yang akan menguji
apakah aturan-aturan yang berbeda dapat menunjukkan karakteristik yang sama
sebagai sebuah bagian dari sistem yang sama.20
Kedua, orisinalitas dapat dilakukan dengan menambahkan pendekatan sejarah
hukum pada tulisan yang dibuat.21 Dalam hal ini, tulisan dapat menjelaskan, misalnya,
bagaimana sejarah hukum menjelaskan konsep hukum dari masa lalu yang masih bisa
diterapkan pada hukum sekarang. Sejarah hukum dapat menjadi cara untuk
memahami, mengkritisi, dan menilai aspek hukum tertentu saat ini.
Ketiga, menemukan orisinalitas dapat dilakukan dengan menambahkan topik
makro (‘macro-legal topics’) ke dalam tulisan yang awalnya merupakan penelitian
untuk menjawab pertanyaan mikro (‘micro-legal analysis’).22 Di sini, tulisan dapat
diperbaiki dengan menambahkan pembahasan berdasarkan asas hukum tertentu, atau
dengan menambahkan perspektif tertentu yang diambil dari teori hukum atau filsafat
hukum.
Keempat, orisinalitas dapat diperoleh dengan jalan melakukan analisa
berdasarkan perbandingan hukum. Perbandingan hukum akan memberikan jawaban
yang tidak dapat diberikan jika penelitian/tulisan hanya didasarkan pada hukum di
dalam satu sistem hukum.23 Dalam hal ini, tulisan dapat membandingkan suatu konsep
hukum tertentu dari lebih dari satu sistem hukum. Misalnya, dengan menjawab
pertanyaan mengapa sistem hukum tersebut berbeda, dan apakah dibutuhkan
konvergensi hukum.
Kelima, menambahkan pendekatan dari disiplin ilmu lain juga dapat
memperkaya kedalaman analisa dan meningkatkan orisinalitas tulisan. Berbagai
contoh dari pendekatan ini adalah analisa ekonomi atas hukum (law and economics),
hukum dan akuntansi, sosiologi hukum, hukum dan psikologi, serta hukum dan
sastra.24
Keenam, menghubungkan hukum dengan kenyataan (‘connecting law to life’).
Hal ini dilakukan dengan melihat bagaimana hukum di dalam kenyataan hidup
masyarakat (law in action). Tulisan semacam ini dapat pula dilakukan dengan
mempertimbangkan aspek politik, ekonomi, budaya, atau kualitas penegakan hukum
dari negara di mana sebuah aturan hukum diberlakukan.25

c. Non-obviousness
Artikel yang baik, menurut Volokh, adalah artikel yang non-obvious.26 Istilah
ini diartikan di sini sebagai sesuatu yang tidak terlalu jelas, tidak terlalu mudah dan
umum, sehingga tidak dapat diketahui tanpa adanya penelitian. Artikel yang non-
obvious dapat ditunjukkan dengan jalan memperlihatkan bahwa tidak semua orang
akan sampai pada gagasan yang diutarakan oleh penulis. Singkat kata, dalam konteks

19
Koherensi adalah sekumpulan gagasan yang apabila dilihat secara keseluruhan akan menjadi
masuk akal. Sedangkan konsistensi berarti tidak adanya kontradiksi. Ibid., hlm. 149.
20
Ibid., hlm. 149-150.
21
Ibid., hlm. 150.
22
Ibid.
23
Ibid., hlm. 151.
24
Ibid.
25
Ibid., hlm. 152.
26
Eugene Volokh (2007), op cit., hlm. 17.
478 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.2 April-Juni 2019

non-obviousness, seorang penulis seperti hendak menyatakan bahwa hanya dia lah
yang mencapai gagasan/kesimpulan ini.
Dengan demikian, sebuah artikel dapat saja merupakan pernyataan yang baru,
yang belum dibahas oleh tulisan lain, namun tetap bukan merupakan tulisan yang baik.
Hal ini terjadi jika pernyataan yang dibuat adalah pernyataan yang hasilnya sudah jelas
(obvious), sehingga dapat disimpulkan oleh setiap orang tanpa perlu melalui sebuah
penelitian. Untuk menghindari hal ini, pernyataan dapat dibuat dengan menambahkan
hal-hal khusus. Misalnya, alih-alih hanya membahas tentang apakah hak atas
lingkungan hidup yang baik telah dijamin di dalam UUD 1945, artikel diarahkan untuk
membahas apakah hukum Indonesia memungkinkan untuk memperluas penafsiran hak
konstitusional atas lingkungan hidup agar meliputi pula hak generasi yang akan datang
atas lingkungan hidup yang baik.

d. Kegunaan (Utility)
Sebuah artikel yang baik haruslah berguna, baik secara praktis maupun
teoretis. Karena itu lah, maka sebuah artikel sebaiknya tidak hanya bersifat deskriptif,
tetapi juga menyajikan sikap dan gagasan penulisnya tentang apa yang seharusnya.
Upaya lainnya untuk menunjukkan kegunaan dari sebuah artikel adalah dengan jalan
melihat kemungkinan untuk menerapkan temuan pada satu yurisdiksi ke dalam
yurisdiksi yang lain, atau dengan memperhatikan persoalan yang belum dibahas oleh
putusan, peraturan, atau artikel lainnya.
Volokh menyarankan beberapa hal yang dapat dilakukan untuk meningkatkan
kegunaan dari sebuah artikel. Pertama, fokus pada persoalan/issue yang belum
terpecahkan. Kedua, menerapkan argumen/gagasan penulis pada yurisdiksi yang
berbeda. Ketiga, menambahkan telaah yang bersifat perskriptif untuk temuan awal
yang bersifat deskriptif. Keempat, “menghaluskan” gagasan awal yang menuntut
perubahan mendasar dengan memperhatikan penerimaan publik atau implikasi politis
dari gagasan tersebut. Kelima, menghindari penggunaan jargon-jargon retoris, yang
membuat artikel menjadi tidak persuasif, untuk memastikan bahwa argumen yang
diajukan penulis tidak mengalienasi penulis dari pembacanya.27

3. Ketertarikan Penulis atau Pandangan Pembaca?


Selain hal di atas, unsur kelima dari Volokh menyatakan bahwa artikel yang
baik haruslah memenuhi sifat kedua s.d. kelima.28 Unsur kelima ini memperlihatkan
bahwa bagi Volokh, pandangan atau komentar pembaca tentang artikel (yaitu bersifat
orisinal, tidak terlalu mudah untuk dijawab, berguna, dan masuk akal) sepertinya
merupakan hal yang sangat penting bagi sebuah artikel. Hal yang sama juga
dikemukakan oleh Osbeck. Baginya, semakin baik sebuah artikel, semakin dekat
artikel tersebut dengan minat dan kepentingan dari pembacanya.29
Berbeda dengan Volokh dan Osbeck, beberapa pengarang justru melihat
pentingnya kemampuan penulis untuk menyeimbangkan antara ketertarikan pribadi
penulis dengan manfaat dari artikel bagi orang lain. Menurut Lebovits, apa pun tujuan
dari penulisan artikel hukum, terdapat dua hal yang sangat penting untuk diperhatikan
dalam penentuan topik. Pertama, topik artikel selalu mengetengahkan kepentingan
atau ketertarikan penulis. Kedua, kepentingan atau ketertarikan itu harus
diseimbangkan dengan manfaat dari penulisan topik yang dipilih. 30 Hal senada juga

27
Ibid., hlm. 18-21.
28
Eugene Volokh (1998), op cit., hlm. 248.
29
Mark K. Osbeck, op cit., hlm. 425-426.
30
Gerald Lebovits (2006), op cit., hlm. 64.
Menulis di Jurnal Hukum, Andri Gunawan Wibisana 479

diperlihatkan oleh Fajans dan Falk yang, sebagaimana dikutip oleh Robson,
menyatakan bahwa “[i]deally, your choice of subject will be informed equally by your
audience’s needs and concerns and by your own interests.”31 Selain kedua hal di atas,
topik yang dipilih haruslah merupakan topik yang menarik untuk ditulis (interesting),
dapat ditulis (manageable), dan penting (significant) untuk ditulis.32 Singkatnya, topik
artikel harus lah merupakan hal yang pada satu sisi menarik bagi penulis, dan pada sisi
lain berguna bagi orang lain.

4. Hal yang Perlu Dihindari dalam Penentuan Topik


Selain keenam hal dasar yang perlu ada dalam penyusunan artikel ilmiah yang
baik, Volokh juga mengungkapkan beberapa hal yang tidak perlu atau jangan dipilih
sebagai topik artikel, di antaranya adalah: Pertama, artikel yang hanya menunjukkan
adanya persoalan, tetapi tidak memberikan solusi atas persoalan tersebut.33 Kedua,
Artikel yang mengulas hanya satu putusan saja.34 Ketiga, artikel yang hanya mengulas
satu peraturan perundang-undangan dari satu wilayah atau negara.35 Keempat, artikel
yang hanya menjelaskan “what the law is”, bagaimana hukumnya atau bagaimana
bunyi pasalnya.36
Artikel tipe kedua, ketiga, dan keempat harus dihindari karena artikel semacam
ini cenderung akan bersifat deskriptif, tanpa ada analisa, evaluasi, atau pengujian,
misalnya tentang apakah putusan, peraturan, atau hukum yang sedang diuji tersebut
tepat, berguna, berpotensi menghasilkan dampak yang baik (atau buruk). Alih-laih
membahas hanya satu putusan atau satu hukum di satu wilayah, artikel dapat dibuat
lebih menarik dengan, misalnya, membandingkannya dengan berbagai putusan lain
untuk menarik benang merah tertentu, atau dengan berbagai hukum di negara lain
untuk melihat pelajaran apa yang dapat dipetik dari penerapan di negara lain. Kelima,
artikel yang hanya merespon satu pandangan dari sarjana tertentu, tanpa
memperhatikan bagaimana penulis lain telah membahas pandangan tersebut.37
Keenam, artikel yang terlalu retoris, yang oleh Volokh disebut sebagai “excessive
mushiness”, sehingga tidak memberikan jawaban yang tegas.38
Sebagai tambahan, perlu kiranya disebutkan pula di sini dua persoalan yang
harus dihindari oleh para penulis, sebagaimana diungkapkan oleh Samuelson.
Persoalan pertama adalah penulis tidak memiliki sesuatu untuk disampaikan. Hal ini
biasanya terjadi karena dua sebab. Pada satu sisi, artikel yang dibuat hanya berisi
uraian deskriptif tentang hukum tertentu atau gambaran hasil survey literatur, tanpa
ada analisa di dalamnya. Pada sisi lain, penulis artikel bersikap mendua atau bahkan
tidak memiliki sikap sama sekali terkait suatu hal. Persoalan kedua, adalah artikel
yang justru memuat terlalu banyak gagasan. Hal ini biasanya terjadi ketika penulis
merasa semua hal penting untuk disampaikan, sehingga ia gagal untuk memilih
gagasan mana yang akan menjadi fokus dari artikelnya.39

31
Ruthann Robson, op cit., hlm. 197
32
Richard Delgado, loc cit.
33
Eugene Volokh (1998), op cit., hlm. 252.
34
Ibid.
35
Ibid.
36
Ibid.
37
Ibid.
38
Volokh memberikan conoth gambaran apa itu pernyataan yang terlalu retoris dan bagaimana
mengatasinya. Dalam hal ini, Volokh berpendapat bahwa alih-alih menyatakan bahwa “Single-sex
educational programs should be legal if they're reasonable”, penulis lebih baik menyatakan “Single-sex
educational programs should be legal if they're narrowly tailored to an educational approach that's
been shown effective in controlled studies”. Ibid., hlm. 253.
39
Pamela Samuelson, op cit., hlm. 151-152.
480 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.2 April-Juni 2019

III. PENDAHULUAN: ARTI PENTING DAN ISI PENDAHULUAN


Pendahuluan (Introduction) bagaikan sebuah overture dalam sebuah opera.40
Bagian ini mengantar pembaca pada tema utama yang akan dibacanya sepanjang
tulisan. Pada saat membaca pendahuluan, pembaca berharap akan mengetahui ke arah
mana artikel akan dibuat, apa tujuan akhir (thesis) dari artikel yang dibacanya, dan
bagaimana rute (struktur artikel) untuk mencapai tujuan yang dituju. Pendahuluan
sebuah artikel juga merupakan bagian di mana penulis memiliki kesempatan untuk
memberikan kesan dan mendemonstrasikan kepada para pembaca bahwa tulisan yang
sedang dibaca mereka adalah tulisan yang menarik, penting, dan berguna.41 Sebuah
artikel yang kualitasnya buruk ditandai dengan pendahuluan yang buruk.

1. Isi Pendahuluan
Menurut Volokh, terdapat setidaknya tiga hal yang harus dilakukan oleh penulis
di dalam pendahuluan. Pertama, penulis harus dapat menunjukkan adanya masalah
yang perlu untuk dibahas dan dipecahkan.42 Kimble menyarankan agar penulis
membuat ilustrasi dari persoalan yang kongret.43 Semakin kongkret sebuah masalah,
semakin penting pula masalah tersebut.
Kedua, penulis harus menunjukkan gagasan (claim) yang hendak disampaikan
secara tegas, singkat, dan jelas. Dalam kaitannya dengan hal ini, penulis pun harus
mampu menunjukkan bahwa gagasan yang diusulkannya adalah gagasan yang novel,
nonobvious, dan useful.44
Ketiga, penulis harus mampu membuat framing yang baik dari masalah hendak
dibahasnya.45 Dalam hal ini, penulis harus dengan baik mampu menyampaikan
gagasan dan masalah kepada pembaca dalam kerangka atau perspektif tertentu. Jika
seseorang hendak menulis tentang bagaimana pencegahan dan pengendalian
pencemaran karena sampah plastik, topik seperti ini dapat didekati dari perspektif
yang berbeda-beda. Misalnya saja, topik ini dapat didekati dengan melihat bagaimana
efektivitas kebijakan pengurangan kantong plastik berbayar. Topik ini juga dapat
didekati dari penerapan kewajiban standar tertentu dari kantong plastik atau bahkan
pelarangan. Setiap pendekatan ini akan melahirkan cara pandang yang berbeda,
sehingga akan sulit rasanya apabila penulis menyajikan seluruh pendekatan tersebut di
dalam satu artikel.
Selain dari permasalahan dan gagasan (claim atau thesis), bagian pendahuluan
dari sebuah artikel juga harus memuat struktur artikel, yang akan memberikan peta
jalan (roadmap) atau kerangka artikel, yang memberikan gambaran mengenai rencana
pembahasan di dalam artikel yang ditulis. Peta jalan ini sering kali dianggap sebagai
bagian yang harus ada dari artikel pada jurnal hukum di AS, sehingga apabila seorang
penulis tidak membuatnya, maka editor jurnal (yang baik) akan menambahkan peta
jalan ini di dalam artikel.46 Biasanya peta jalan ini muncul pada (beberapa) paragraf
terakhir dari bagian pendahuluan.47

40
Ibid., hlm. 157.
41
Ibid., hlm. 158.
42
Eugene Volokh (1998), op cit., hlm. 254
43
Joseph Kimble, “Tips for Better Writing in Law Reviews (and Other Journals)”, Thomas M.
Cooley Law Review, Vol. 30 (2013), hlm. 201.
44
Eugene Volokh (1998), loc cit.
45
Ibid., hlm. 254-255.
46
C. Steven Bradford, op cit., hlm. 18.
47
Emily Bolles, “Introductions and Conclusions for Scholarly Papers”, The Writing Center at
Georgetown University Law Center, 2015, tersedia pada:
<https://www.law.georgetown.edu/academics/academic-programs/legal-writing-scholarship/writing-
Menulis di Jurnal Hukum, Andri Gunawan Wibisana 481

Sebagai contoh, peta jalan dapat dirumuskan sebagai berikut: “Setelah


Pendahuluan, Bagian I akan menjelaskan gambaran mengenai…. Selanjutnya, analisa
mengenai […] akan diberikan pada Bagian II…. Kesimpulan akan diberikan pada
Bagian [….]”.48
Uniknya, di Indonesia justru peta jalan ini masih belum sepenuhnya
diterapkan. Banyak artikel pada jurnal hukum yang pada bagian pendahuluannya sama
sekali tidak memberikan keterangan mengenai bagaimana artikel akan disusun. Hal ini
patut disayangkan, mengingat peta jalan memiliki arti penting baik bagi pembaca
maupun bagi penulis. Bagi pembaca, peta jalan berfungsi memberikan informasi
bagaimana penulis akan membahas permasalahan yang diajukannya. Bagi penulis,
peta jalan membantunya mengorganisasikan argumen dan pemikirannya. Apabila
diikuti, peta jalan akan membantu penulis membangun alur cerita yang mengalir,
lancar dan jelas.

2. Metodologi?
Pada beberapa kesempatan menjadi mitra bebestari, beberapa jurnal hukum
meminta adanya penilaian mengenai kesesuaian antara topik artikel dengan
metodologi yang dipilih. Permintaan adanya penilaian mengenai metodologi ini
menunjukkan bahwa metodologi dianggap sebagai sesuatu yang penting di dalam
penulisan artikel hukum.
Pada umumnya, artikel hukum di Indonesia menuliskan pada bagian
metodologinya kalimat yang kira-kira berbunyi: “Artikel ini ditulis dengan
menggunakan metode penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian yang menggunakan
studi dokumen atau kepustakaan. Artikel ini menggunakan bahan hukum primer
berupa…., bahan hukum sekunder berupa…”.
Penjabaran metodologi seperti ini bermasalah karena dua hal. Pertama, apabila
artikel tersebut hendak ditulis untuk jurnal internasional, maka istilah “yuridis
normatif” sebagai penelitian berbasis bahan pustaka/dokumen, adalah istilah yang
membingungkan dan perlu dihindari. Di negara lain, penelitian normatif sepertinya
tidaklah diartikan sebagai penelitian kepustakaan. Smits, misalnya, mengartikan
penelitian normatif tidak sebagai bentuk data, tetapi sebagai sifat penelitian mengenai
apa yang seharusnya “what ought to be”.49 Kedua, menjelaskan metodologi dengan
jalan menerangkan jenis data/bahan hukum pada akhirnya akan membuat bagian
metodologi ini menjadi bagian yang membosankan karena tidak ada perbedaan yang
mendasar di antara satu artikel dengan artikel lainnya.
Mayoritas, kalau bukan semua, artikel hukum di jurnal hukum di AS atau
Eropa tidak akan memuat bagian mengenai metodologi dalam arti jenis data atau
sebagai keterangan mengenai bahan hukum. Pada jurnal-jurnal ini, metodologi
biasanya akan diterangkan hanya jika artikel didasarkan pada penelitian empiris (non-
doktrinal), yang memang sangat penting untuk menjelaskan bagaimana, di mana, dan
kapan data penelitian diperoleh.
Untuk artikel yang didasarkan pada penelitian kepustakaan, yang di Indonesia
sering kali disebut dengan penelitian yuridis normatif, maka yang diterangkan

center/upload/Bolles-Introductions-and-Conclusions-for-Scholarly-Papers.pdf>, diakses pada Februari


2018, hlm. 3.
48
Contoh lainnya, dapat dilihat dari tulisan berikut: “This Article is organized as follows. Part
I provides the background …. Part II discusses the theoretical basis for …. Part III investigates …. Part
IV proposes reforms to …. Part V explores the question of why ...” Lihat: Eric Posner dan Cass R.
Sunstein, “Dollars and Death”, University of Chicago Law Review, Vol. 72 (2005), hlm. 543.
49
Jan M. Smits, The Mind and Method of the Legal Academic (Cheltenham, UK: Edward
Elgar, 2012), hlm. 35-99.
482 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.2 April-Juni 2019

bukanlah mengenai jenis data dan bagaimana bahan hukum diperoleh, tetapi
bagaimana bahan hukum (data) tersebut akan dianalisa. Dalam hal ini, yang perlu
diterangkan adalah bagaimana pembahasan akan artikelnya akan didasarkan pada
pendekatan teoretis tertentu, misalnya dengan menggunakan analisa ekonomi,
sosiologi hukum, atau mungkin perbandingan hukum. Pendekatan teoretis ini
memegang peranan penting dalam menentukan kualitas artikel, karena sebuah artikel
yang baik tidak boleh hanya merupakan tulisan yang bersifat deskriptif, tetapi harus
juga mampu memberikan analisa berdasarkan pendekatan tertentu. Pendekatan yang
digunakan perlu ditulis di dalam artikel, namun tanpa menyebutnya sebagai
metodologi.

3. Bagaimana Memulai Pendahuluan?


Memulai bagian pendahuluan, yang juga memulai sebuah tulisan, seringkali
merupakan urusan yang cukup sulit. Jika dimulai dengan pernyataan yang terlalu
umum, pendahuluan akan sangat panjang dan membutuhkan beberapa halaman hanya
untuk sampai pada persoalan dan thesis statement. Pendahuluan seperti ini beresiko
tidak hanya menjadi pendahuluan yang membosankan, tetapi juga gagal membungkus
topik dalama frame yang jelas. Sebaliknya, jika pendahuluan dimulai terlalu singkat,
terlalu dekat dengan persoalan yang akan dibahas, akan muncul resiko bahwa
pendahuluan menjadi gagal untuk menarik perhatian pembaca dan menunjukkan
bahwa persoalan yang akan dibahas adalah persoalan yang memang penting. Terlepas
dari dua kemungkinan di atas, satu hal yang pasti adalah semakin umum pernyataan
yang digunakan untuk memulai pendahuluan, maka akan semakin panjang pula
pendahuluan tersebut.50
Berikut ini adalah beberapa tips memulai pendahuluan. Pertama, bagian
pendahuluan dimulai dengan langsung menjabarkan pertanyaan atau persoalan yang
ingin dijawab.51 Hal ini dapat dilihat, misalnya, dalam Gunningham yang memulai
artikelnya dengan serentetan pertanyaan berikut:
“How can the substantial shifts that have taken place in environmental law,
regulation and governance over the last four decades be explained? Are the
sorts of policy mechanisms that are in place today more effective, efficient or
politically acceptable than their predecessors? Has the nature of the
environmental challenge itself changed and if so, with what implications? Are
the techniques that are necessary to deal with today’s challenges radically
different from those that served us well in earlier decades? And what is the
role of the state in countries substantially shaped by neo-liberal ideology, in
which the roles of government have been both changed and weakened? Have
we, for example, moved ‘from regulation to governance’?” 52

Dalam paragraf selanjutnya, Gunningham menyatakan bahwa tujuan dari


artikelnya adalah menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan menguji
perkembangan hukum, regulasi, dan tata kelola lingkungan hidup. Menurutnya, “[t]his
article explores these and related questions by seeking to examine the basic

50
Sebagai rule of thumb, dapat kiranya digunakan patokan bahwa Pendahuluan kira-kira
sebanyak 10% dari total panjang artikel. Artinya, sebuah artikel dengan panjang Pendahuluan 10
halaman, maka panjang artikel keseluruhannya kira-kira adalah 100 halaman.
51
Eugene Volokh (2007), op cit., hlm. 42.
52
Neil Gunningham, “Environment Law, Regulation and Governance: Shifting Architectures”,
Journal of Environmental Law, Vol. 21:2 (2009), hlm. 179-180.
Menulis di Jurnal Hukum, Andri Gunawan Wibisana 483

architectures of environmental law, regulation and governance and how they have
changed since the first major environmental legislation was enacted in the 1970s”.53
Kedua, bagian pendahuluan dimulai dengan contoh (masalah) kongkret yang
mendorong pembaca untuk bertanya-tanya bagaimana contoh (masalah) kongkret
tersebut akan diatasi. Pendahuluan demikian tidak hanya akan membuat masalah yang
akan dibahas menjadi lebih tegas, tepapi juga akan menunjukkan bahwa masalah
tersebut penting untuk dibahas.54 Contoh dari model bagian pendahuluan seperti ini
dapat dilihat dari tulisan Kysar di bawah ini:
“Climate change is coming to the common law. Plaintiffs in several cases
have pressed tort claims against carefully composed groups of greenhouse
gas emitting defendants, seeking monetary damages and injunctive relief to
lessen the threat and financial burden of climate change’s harmful impacts.
Surprisingly, not all of these cases have been dead on arrival. Although
malleable and expedient doctrines such as standing, political question, and
preemption might be invoked to justify dismissal, at least one climate change
tort suit instead was poised to proceed to the merits, at least until the
Supreme Court granted review of the Second Circuit Court of Appeals’
refusal to dismiss the suit on justiciability grounds. Depending on the
outcome of that appeal, the question of whether greenhouse gas emissions
constitute an actionable tort under federal or state law, much discussed in
law journals, may eventually receive full judicial airing—[catatan kaki
diabaikan].”55

Dalam bagian pendahuluannya yang bertenaga tersebut, Kysar tidak hanya


mampu menjelaskan contoh kongkret berupa berkembangnya gugatan perubahan
iklim, tetapi juga mampu menerangkan persoalan yang akan dibahas dan thesis dari
artikelnya (“the question of whether greenhouse gas emissions constitute an
actionable tort under federal or state law, much discussed in law journals, may
eventually receive full judicial airing”). Semuanya dikerjakan dalam satu paragraf.
Ketiga, bagian pendahuluan dimulai dengan cerita, dapat cerita kongkret atau
cerita hipotetis, yang menarik dan membekas untuk pembaca, namun tetap terkait
dengan topik/gagasan dari artikel.56 Heinzerling menulis:
“In 1990, North Carolina scientists testing for contaminants in the local
water supply decided to use Perrier as a control sample. Clearly, they figured
that Perrier would be free of the contaminants for which they were testing.
They figured wrong: Perrier contained benzene. Not only that, Perrier
contained benzene at levels far exceeding the U.S. Environmental Protection
Agency's standard for benzene in drinking water. Perrier responded by
voluntarily recalling its U.S. inventory while asserting that the rest of its
worldwide inventory contained no benzene. Soon thereafter, benzene was
found in Perrier bottles in Europe. Perrier then recalled its entire worldwide
inventory-approximately 230 million bottles. The recall and relaunch of the
product cost over $250 million.”

53
Ibid., hlm. 180. Contoh lain dari artikel yang dimulai dengan pertanyaan dapat dilihat pada,
misalnya: Richard B. Stewart, “A New Generation of Environmental Regulation?”, Capital University
Law Review, Vol. 29 (2001); atau Daniel Schwarcz, “Shame, Stigma, and Crime: Evaluating the
Efficacy of Shaming Sanctions in Criminal Law”, Harvard Law Review, Vol. 116:7 (May, 2003).
54
Eugene Volokh (2007), op cit., hlm. 43-44.
55
Douglas A. Kysar, “What Climate Change Can Do about Tort Law”, Environmental Law,
Vol. 41 (2011), hlm. 2.
56
Ibid., hlm. 44-47.
484 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.2 April-Juni 2019

Heinzerling kemudian mengaitkan antara kejadian ditemukannya karsinogen


dalam minuman kemasan (Perrier) dengan penggunaan Cost-Benefit Analysis oleh
EPA ketika Lembaga ini memutuskan batasan kandungan arsenik di dalam air
mimum. Lebih jauh lagi, Heinzerling menilai bahwa penggunaan CBA dalam
kebijakan batasan arsenik pada air minum juga didukung pendapat Cass Sunstein,
seorang guru besar hukum ternama di AS. Artikel Heinzerling ini dimaksudkan untuk
membantah pandangan EPA dan Sunstein tentang penggunaan CBA dalam kebijakan
terkait perlindungan lingkungan hidup dan kesehatan publik.57 Penggunaan cerita
kongkret, apalagi jika cerita itu merupakan skandal yang membekas dalam ingatan
publik, merupakan cara yang baik untuk meyakinkan pembaca bahwa artikel yang
sedang dibuat adalah artikel yang penting.
Contoh lainnya, perhatikan dua paragraf awal dari tulisan Posner dan Sunstein
berikut:
“How should the legal system assign dollar values to human lives? Consider
a highly publicized example.
“On September 22, 2001, Congress enacted legislation to compensate the
survivors of those killed in the attacks of eleven days earlier. Under the final
regulations, survivors were permitted to claim amounts for both economic
and noneconomic losses. The economic losses were to be measured by
calculating each victim's expected lost wages from September 11, 2001,
through the anticipated date of retirement, subject to several adjustments,
including a reduction by an estimate of household consumption or
expenditure by the victim. Noneconomic losses were set at $250,000 per
victim plus $100,000 per surviving spouse and for each surviving child—
[catatan kaki diabaikan].”58

Kutipan dari Posner dan Sunstein di atas menyajikan cerita kongkret yang
masih membekas pada pembaca, yaitu baru empat tahun dari tahun publikasi.
Selanjutnya, kedua pengarang kemudian memaparkan bagaimana penghitungan
“harga” nyawa manusia di AS dibentuk oleh dua cabang hukum, yaitu hukum
administrasi yang memberikan “harga” melalui Cost-Benefit Analysis (CBA), dan
hukum pertanggungjawaban perdata (torts) yang memberikan “harga” atas kerugian
melalui pengadilan. Sebelum sampai kepada gagasannya untuk menunjukkan bahwa
kedua cabang hukum tersebut dapat belajar satu-sama lain terkait penghitungan
“harga” nyawa, kedua pengarang memaparkan bagaimana hukum administrasi
(melalui regulasi) dan hukum perdata (melalui torts) berbeda dalam cara, penekanan,
dan nilai apa saja yang perlu diperhatikan ketika menentukan “harga” nyawa
manusia.59
Keempat, bagian pendahuluan dimulai dengan pemaparan kontroversi yang
sedang terjadi.60 Case dalam paragraf pembukanya menerangkan kritik terhadap
pendekatan “Atur dan Awasi” (command and control, CAC) sebagai upaya
mendorong munculnya ketaatan (compliance) dalam pengelolaan lingkungan.
Menurut Case,
“Calls are universal among scholars and policy analysts for innovation in
creation and implementation of American environmental regulatory policy.

57
Ibid., hlm. 2312-2313.
58
Eric Posner dan Cass R. Sunstein, op cit., hlm. 537.
59
Ibid., hlm. 538-543,
60
Eugene Volokh (2007), op cit., hlm. 47-50.
Menulis di Jurnal Hukum, Andri Gunawan Wibisana 485

Traditional regulatory approaches to controlling pollution are often


pejoratively labeled as “command-and-control.” Since the early 1970s,
however, these approaches are credited with substantial, yet critically
limited, successes in reducing the harmful environmental impacts of
industrial activity…There is, however, considerable debate over the efficiency
of command-and-control approaches and whether similar gains could have
been obtained through alternative regulatory strategies at far less cost… —
[catatan kaki diabaikan]” 61

Kritik ini menempatkan CAC sebagai pusat kontroversi, yang kemudian akan
dibandingkan dengan pendekatan lainnya, yaitu Environmental Management System
(EMS) sebagai pendekatan yang lebih mengandalkan kesukarelaan. Artikel Case
tersebut merupakan pembahasan superioritas pendekatan alternatif ini dibandingkan
dengan CAC.62
Kelima, bagian pendahuluan dimulai dengan pandangan atau aturan yang
hendak dibantah.63 Lihat misalnya kutipan paragraf pembuka dari artikel dari Weinrib
berikut ini:
“The theories of civil recourse and corrective justice are so closely related
that when Ben Zipursky was in Toronto several years ago presenting his
paper Civil Recourse, Not Corrective Justice, I publicly asked him whether
the word “not” in the title was a typo. Civil recourse takes over the central
insights of corrective justice: that the conceptual apparatus of tort law ought
to be understood in its own terms rather than as a disguise for instrumental
considerations; that tort law is not an operation of distributive justice; that
tort liability is a response to wrongdoing; and that wrongs are violations of
norms that relate the plaintiff and the defendant to each other. Although
acknowledging their indebtedness to corrective justice (and indeed saluting it
as “a major advance in modern interpretive tort theory”), John Goldberg
and Ben Zipursky nonetheless have always insisted that civil recourse is
significantly different.”64

Dalam kutipan di atas terlihat bahwa Weinrib hendak mengajukan bantahan


pada artikel Golberg dan Zipursky yang memandang keadilan korektif dan teori civil
recourse adalah dua hal yang berbeda. Menurut Weinrib, keadilan korektif dan teori
civil recourse adalah dua hal yang sama.
Sebuah artikel dapat saja ditujukan untuk mendukung satu pandangan tertentu,
dan bukan sebagai bantahan atas pandangan tersebut. Jika ini yang terjadi, maka
pembukaan bagian pendahuluan dapat dimulai sebagaimana terlihat dalam artikel
Heinzerling berikut: “[m]y goal here is modest: I simply wish to defend the view that
the moral commitment against knowing killing should play a role in decisions about
environmental problems. In recent years, economic analysis has substantially
succeeded in de-ethicizing environmental issues; this paper is part of an effort to re-
ethicize them.”65

61
David W. Case. “Changing Corporate Behavior Through Environmental Management
Systems”, William and Mary Environmental Law and Policy Review, Vol. 31 (2006), hlm. 75-76.
62
Ibid., hlm. 77.
63
Eugene Volokh (2007), op cit., hlm. 51-52.
64
Ernest J. Weinrib, “Civil Recourse and Corrective Justice”, Florida State University Law
Review, Vol 39 (2011), hlm. 273.
65
Lisa Heinzerling, “Knowing Killing and Environmental Law”, NYU Environmental Law
Journal, Vol. 16 (2006), hlm. 521.
486 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.2 April-Juni 2019

Keenam, bagian pendahuluan yang secara langsung menyatakan tujuan dari


artikel. Pendahuluan semacam ini mirip dengan bagian pendahuluan yang dimulai
dengan pertanyaan. Hal ini misalnya dapat dilihat dari tulisan Marong, yang sejak
paragraf pertama mengutarakan tujuan dari artikel yang dibuatnya. Marong
menyatakan:
“This paper has three broad objectives. First, it seeks to establish that the
historical development of sustainable development as a legal concept shows
that it implies the pursuit of economic development, environmental
protection, and social development as non-hierarchical objectives of
international society. Secondly, it is argued that while sustainable
development enjoys significant support in international legal instruments, and
is endorsed by a large number of other international actors, it falls short of a
principle of customary international law and is best approached as a
legitimate expectation that actors at the international and domestic levels
ought to conduct their affairs to facilitate the realization of the above
objectives. Thirdly, it is argued that legal norms such as the precautionary
principle, the principle of environmental impact assessment, and public
participation in decision-making could play an important role in the
realization of sustainable development….”66

IV. STRUKTUR ARTIKEL, MUATAN DAN BAHASA


Seperti juga artikel hukum pada umumnya, sebuah artikel hukum haruslah
mampu menerangkan gagasan yang ingin disampaikan oleh penulisnya. Untuk itu,
seorang penulis harus mengetahui apa yang menjadi gagasannya dan bagaimana
mendukung gagasan tersebut. Sepanjang artikelnya, penulis harus mampu
memaparkan thesis statement, dan kemudian membangun argumen yang terorganisasi
dengan baik untuk mendukung pernyataan tersebut.67 Bagian ini akan menerangkan
beberapa hal penting dari sebuah artikel hukum, yaitu: struktur, kemasukakalan, sitasi,
dan bahasa.

1. Struktur
Di Indonesia, seringkali ditemukan jurnal hukum yang meminta agar struktur
artikel ditulis berdasarkan format: Pendahuluan—Metodologi—Data/Hasil—
Diskusi—Kesimpulan, atau Pendahuluan—Pembahasan—Kesimpulan. Kedua format
ini bukan hanya kaku dan lebih cocok untuk jurnal non hukum, tetapi juga membatasi
penulis untuk menyusun argumennya sesuai dengan persoalan (pertanyaan) yang telah
dirumuskan sebelumnya. Menurut Samuelson, struktur artikel harus disusun
sedemikian rupa sehingga memungkinkan penulis untuk mengintegrasikan fakta, data,
atau analisa putusan dan peraturan ke dalam argumen yang hendak dibangunnya.

66
Alhaji B.M. Marong, “From Rio to Johannesburg: Reflections on the Role of International
Legal Norms in Sustainable Development”, Georgetown International Environmental Law Review, Vol.
16 (2003), hlm. 21-22.
Contoh lainnya dapat ditemukan dalam Maggio, yang menulis dalam paragraf pertama dari
artikelnya tentang fokus dari artikel tersebut: “[t]his article focuses on the "equity" aspect of sustainable
development, especially as it relates to conservation of resources of biological diversity. This article
discusses…”intergenerational equity,” and analyzes its current applications in international law.”
Lihat: G.F. Maggio, “Inter/intra-generational Equity: Current Applications under International Law for
Promoting the Sustainable Development of Natural Resources”, Buffalo Environmental Law Journal,
Vol. 4 (1997), hlm. 162.
67
M.H. Sam Jacobson, “The Legal Writer: What's Your Point? Tips For Writing Clearly”,
Oregon State Bar Bulletin, Vol. 71 (2011), hlm. 13.
Menulis di Jurnal Hukum, Andri Gunawan Wibisana 487

Karena sebuah artikel disusun untuk meyakinkan pembaca dengan gagasan penulis,
maka struktur artikel tidak boleh menghambat penulis untuk menyampaikan
gagasannya tersebut.68
Uraian Samuelson di atas menunjukkan bahwa sebenarnya tidak ada batasan
atau konvensi khusus terkait struktur sebuah artikel. Namun demikian, beberapa pola
dapat lah kiranya disampaikan di sini.
Menurut Lebovits, standar jurnal hukum di AS biasanya merumuskan struktur
sebuah artikel dalam bentuk:69
1. Pendahuluan, yang biasanya memuat ruang lingkup pembahasan dan kerangka
(peta jalan) artikel;
2. Bagian latar belakang (overview)
3. Bagian diskusi dari peraturan atau putusan pengadilan
4. Bagian analisa
5. Bagian diskusi tentang kebijakan/respon yang diusulkan
6. Kesimpulan.

Alternatifnya, struktur dapat dirumuskan lebih padat sebagai berikut:70


1. Pendahuluan;
2. Bagian diskusi tentang hukum (aturan) tertentu, termasuk perkembangannya;
3. Bagian diskusi tentang unsur dari hukum (aturan) tersebut berdasarkan bahan
hukum primer dan sekunder;71
4. Bagian yang mendiskusikan konsekuensi praktis dari aturan yang didiskusikan;
5. Kesimpulan.

Sementara itu, Motro menganalogikan struktur artikel pada jurnal hukum


dengan sebuah drama tiga babak, yang terdiri dari eksposisi, konfrontasi, dan resolusi.
Babak Pertama dari drama adalah eksposisi, yang bertujuan memperkenalkan konflik
antara “sang penjahat” (the villain) dan “sang jagoan” (the hero). Bagian ini akan
menjelaskan keburukan dan kelemahan dari sang penjahat. Pada Babak Kedua,
digambarkan konfrontasi. Inilah bagian inti dari drama, yang mengetengahkan
panggung pertarungan antara sang penjahat dan sang pahlawan. Pertarungan, tentu
saja, harus dimenangkan oleh sang pahlawan. Pada Babak Ketiga, yaitu resolusi,
konflik akan diselesaikan, berbagai pertanyaan akan terjawab, dan cerita akan
disimpulkan.72 Bagaimana “drama” ini dikaitkan dengan artikel dapat dilihat dalam
penjelasan berikut.
Ketika menyusun bagian pendahuluan dan Bagian I dari artikelnya, Motro
membayangkan bagian eksposisi sebuah drama. Menurutnya, pendahuluan
memperkenalkan konflik antara sang pahlawan, yaitu gagasan penulis (idea), dengan
sang penjahat, yaitu gagasan yang hendak dibantah atau berseberangan dengan
gagasan penulis (counter idea). Pendahuluan ini bukan hanya memperkenalkan
pembaca dengan konflik tersebut, tetapi juga menerangkan bahwa konflik tersebut
penting untuk diketahui oleh Pembaca.73 Peta jalan di dalam pendahuluan sangat

68
Pamela Samuelson, op cit., hlm. 152-155.
69
Gerald Lebovits (2006), op cit., hlm. 51 dan 64.
70
Ibid., hlm. 51.
71
Perlu diketahui bahwa diskusi di sini tidak hanya dibatasi pada unsur-unsur menurut
peraturan perundang-undangan saja, tetapi juga harus termasuk putusan pengadilan yang menafsirkan
atau menerapkan aturan hukum yang didiskusikan tersebut.
72
Shari Motro, “The Three-Act Argument: How to Write a Law Article that Reads Like a
Good Story”, Journal of Legal Education, Vol. 64 (2015), hlm. 707-708.
73
Ibid., hlm. 708.
488 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.2 April-Juni 2019

penting sebagai cara untuk menjelaskan bagaimana penulis akan membangun


argumennya dan membuktikan gagasannya.
Setelah itu, Bagian I, atau seringkali disebut latar belakang atau overview, akan
menjelaskan sang penjahat, yaitu gagasan yang hendak dibantah (counter idea).
Gagasan yang hendak dibantah ini dapat berupa pandangan umum yang berlaku
(conventional wisdom), peraturan perundang-undangan, persoalan yang belum
terpecahkan, gagasan yang baru berkembang, atau kecenderungan pandangan tertentu.
Secara singkat, gagasan ini adalah status quo yang hendak dibantah. Pada bagian ini,
seorang penulis perlu untuk menggambarkan latar belakang pemikiran atau alasan
pembenar (rationales) dari status quo atau counter idea yang hendak dibantahnya.74
Untuk menjamin non-obviousness dari artikel yang hendak dibuat, penulis
perlu menggambarkan bahwa status quo atau counter idea memiliki landasan
pemikiran yang cukup kuat. Jika landasan pemikiran counter idea ternyata lemah,
artikel menjadi tidak menarik karena, seperti diutarakan Motro, “anybody can tear
down a paper tiger”.75 Dalam konteks ini, kelebihan-kelebihan dari status quo atau
counter idea perlu pula tergambarkan dengan jelas.
Setelah memaparkan bagaimana kuatnya status quo atau counter idea,
panggung kemudian terbuka untuk Bagian II. Inilah panggung untuk munculnya sang
pahlawan, gagasan utama dari penulis. Pada bagian ini, penulis harus mampu
melumpuhkan setiap argumen, pembenaran, dan kelebihan dari status quo atau
counter idea yang dipaparkan sebelumnya. Pada bagian ini pula penulis memblejeti
kelemahan-kelamahan dari sang penjahat. Pada akhir dari Bagian II, sang pahlawan,
argument-argumen penulis, harus muncul sebagai pemenang.76
Selanjutnya, Bagian III menawarkan resolusi. Inilah bagian ketika penulis
membayangkan apa yang mungkin terjadi setelah argumen penulis mengalahkan status
quo atau counter idea. Setalah berhasil menunjukkan kelemahan status quo atau
counter idea, Bagian III akan menunjukkan bahwa kelemahan tersebut menemukan
obatnya pada gagasan yang ditawarkan penulis. Inilah saatnya sang pemenang terbang
dan bermimpi lebih jauh.77 Artinya, penulis dapat mengetengahkan rekomendasi atau
proposal baru untuk menggantikan yang lama, atau mencari batas/tantangan dari
gagasannya.
Penutup adalah epilog. Pada bagian ini penulis menjelaskan hal-hal terpenting
dari pertarungan yang sudah dilaluinya, sambil menjelaskan sekali lagi pentingnya
gagasan utama dari artikel yang ditulisnya.
Motro menggambarkan artikel drama tiga babaknya dalam abstrak berikut:
“[I] Under current law [counter idea]. The main rationales for this
rule/approach/paradigm are… [II] A closer look, however, reveals several
problems. For one, the current rule… The current rule also fails to… Finally,
it… [III] This article proposes that the current rule be replaced/modified…
[Closer].”78

74
Ibid.
75
Ibid.
76
Ibid., hlm. 709.
77
Ibid.
78
Motro menjelaskan pula bahwa apabila artikel dimaksudkan untuk mendukung, dan bukan
membantah, sebuah status quo, maka struktur tulisan dapat dimulai dari pembahasan tentang adanya
upaya untuk mengganti status quo (Bagian I). Menyusul kemudian bantahan dari penulis tentang upaya
penggantian tersebut (Bagian II). Ibid.
Karena Motro tidak menjelaskan bentuk Bagian III dan penutupnya, maka sepertinya Bagian
III ini akan tetap merupakan rekonsiliasi (sintesa) antara Bagian I dan Bagian II, sedangkan penutup
tetap sebagai epilog dari artikel.
Menulis di Jurnal Hukum, Andri Gunawan Wibisana 489

Ada pun struktur dari artikel tersebut akan terlihat seperti di bawah ini:79
Pendahuluan
I. Status Quo dan Pembenarannya
A. Penjelasan tentang Status Quo
B. Pembenaran atas Status Quo
1. Pembenaran 1
2. Pembenaran 2
II. Argumen Bantahan terhadap Status Quo
A. Subbagian 1
B. Subbagian 2
III. Proposal/implikasi hukum atau kebijakan
Kesimpulan

2. Kemasukakalan (Soundness), Referensi dan Gaya Sitasi


Seorang penulis perlu selalu menanyakan kepada dirinya apakah
klaim/gagasan yang dibuatnya adalah gagasan yang masuk akal. Penulis perlu
mengajukan beberapa pengujian terhadap gagasannya, untuk memperlihatkan sejauh
mana gagasannya dapat bertahan dari beberapa serangan. Dalam tulisannya, Volokh
menggambarkan beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengujian, misalnya
bahwa pengujian harus masuk akal, harus melibatkan putusan/preseden yang terkenal,
dan putusan atau gagasan yang dijadikan alat pengujian harus dapat memberikan
tantangan pada gagasan penulis.80 Artikel tentu saja perlu disesuaikan (direvisi) sesuai
dengan hasil pengujian yang dilakukan.81 Proses pengujian ini pada akhirnya ditujukan
untuk membuktikan bahwa gagasan yang diusung oleh penulis dapat bekerja dengan
baik, sebagaimana diklaim olehnya pada bagian abstrak dan pendahuluan.82
Sebuah artikel yang baik memiliki gagasan dan argumen yang kokoh. Untuk
membentuk argumen yang kokoh ini diperlukan bukti yang kuat. Karena itu, artikel
tidak hanya harus konsisten dan koheren, tetapi juga harus didukung oleh bahan-bahan
pendukung. Sebuah artikel hukum akan menggunakan bahan dukungan yang diperoleh
dari peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, dan artikel/pendapat dari
penulis yang memiliki otoritas.
Referensi atau seringkali pula disebut catatan kaki atau sitasi, merujuk pada
caranya penulisannya di dalam artikel, memiliki peran yang sangat penting di dalam
artikel hukum. Untuk mendukung argumen/gagasan yang diajukan, maka penulis
harus merujuk pada putusan yang diterima, peraturan/hukum yang berlaku, atau teori
dari ahli hukum atau dari disiplin lain. Dalam hal ini, penulis harus mampu menyeleksi
referensi yang ada, sehingga referensi tersebut adalah referensi yang paling penting
atau relevan, yang berasal dari sumber yang autoritatif.83 Penulis perlu pula
mengusahakan agar setiap rujukan harus selalu merujuk pada sumber utama (primary
reference). Selain itu, setiap artikel juga harus menghindari penggunaan Wikipedia
atau blogspot sebagai dasar rujukan.
Referensi sering dianggap sebagai cara mudah untuk mengukur kualitas
tulisan. Dalam arti bahwa referensi yang baik dan mampu mendukung argumen

79
Diadaptasi dari: Ibid., hlm. 710.
80
Eugene Volokh (2007), op cit., hlm. 25-27.
81
Ibid., hlm. 24-25.
82
Michael J. Madison, “The Lawyer as Legal Scholar”, University of Pittsburgh Law Review,
Vol. 65 (2003), hlm. 71.
83
Joseph Kimble, op cit., hlm. 201-202.
490 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.2 April-Juni 2019

penulisnya, pada akhirnya akan mengarah pada artikel yang baik. Pada dasarnya,
setiap pernyataan yang merujuk pada hukum atau fakta tertentu harus mencantumkan
rujukan dan referensi, yang biasanya dituliskan pada catatan kaki.84
Selain itu, referensi yang baik juga merupakan bukti adanya kejujuran dari
penulis, yang memberikan kredit pada sumber acuan artikelnya. Karenanya, penulis
juga diminta untuk akurat dalam menuliskan referensinya, sebab tidak akuratnya
referensi yang digunakan dapat berakibat pada hilangnya kepercayaan pembaca pada
apapun yang dikatakan oleh penulis.85
Selain untuk menuliskan sumber referensi, catatan kaki/akhir memiliki fungsi
lain, yaitu:86
a) Memberikan informasi mengenai contoh yang mengilustrasikan pernyataan
penulis di dalam teks;
b) Mendemonstrasikan kedalaman penelitian yang dilakukan;
c) Memberikan penghargaan pada sumber yang telah menjadi acuan dalam penulisan
artikel;87
d) Mendemonstrasikan kedalaman pemahaman penulis tentang apa yang sedang
ditulisnya;
e) Mengangkat/mendiskusikan hal tertentu yang terkait dengan gagasan utama
tulisan, tetapi akan mengaburkan pembahasan apabila hal tersebut didiskusikan di
dalam teks utama.
f) Membahas keberatan dari pembaca yang mungkin muncul dan tidak dapat
diabaikan, tetapi tidak dapat dibahas panjang lebar di dalam teks utama karena
akan mengganggu alur pembahasan.

Mayoritas jurnal hukum meminta penulisan sitasi dengan menggunakan


catatan kaki (footnote) atau catatan akhir (endnote). Penulisan referensi melalui catatan

84
Lebovits menyatakan bahwa penulisan referensi dimaksudkan untuk mendukung argumen
yang diajukan, sehingga berarti bertujuan untuk memperkuat artikel, dan bukan untuk memperpanjang
artikel. Gerald Lebovits, “Legal-Writing Myths”, The Scribes Journal of Legal Writing, Vol. 16 (2014),
hlm. 121.
Perlu pula disampaikan di sini bahwa tidak semua ahli hukum tampaknya setuju dengan
manfaat dari referensi (catatan kaki). Hakim Mikva, seorang mantan hakim pada pengadilan banding
Circuit, yang ketika mahasiswa merupakan editor in chief dari University of Chicago Law Review,
menulis: “I have mentioned footnotes, and I might as well disclose my real bias against them. I stopped
using them in my opinions and still do not use them for any substantive purpose. I think footnotes are an
abomination. If God had intended the use of footnotes to be a norm, He would have put our eyes in
vertically instead of horizontally….” Lihat: Honorable Abner J. Mikva, “Law Reviews, Judicial
Opinions, and Their Relationship To Writing”, Stetson Law Review, Vol. XXX (2000), hlm. 524.
Selanjutnya, Mikva juga menyebut paksaan untuk menggunakan referensi (catatan kaki)
sebanyak mungkin sebagai virus yang perlu disingkirkan. Satu-satunya penyesalan dari Hakim Mikva
adalah “I just wish it had not taken me so long to get rid of the footnote virus and that I did not still
secretly think that maybe the number of footnotes does have something to do with the worthiness of the
writing.” Ibid., hlm. 525.
Bradford menduga bahwa keengganan, atau lebih tepatnya pemberontakan, Hakim Mikva
terhadap tuntutan untuk menggunakan catatan kaki pada akhirnya berkontribusi pada kegagalannya
menjadi hakim agung di AS. Karena itu, kejadian ini didisebut dengan “Mikva mistake”, sebuah
penolakan atas penggunaan catatan kaki yang berakhir pada kegagalan seseorang mencapai karir hukum
yang lebih tinggi. Lihat: C. Steven Bradford, op cit., hlm. 24.
85
Joseph Kimble, op cit., hlm. 202.
86
Pamela Samuelson, op cit., hlm. 161.
87
Dalam bahasa Lebovits: “[f]ootnotes and endnotes provide authority for assertions and
attribute borrowed material. They also get your name and paper into the stream of discussion.By
quoting others, you’ll get noticed by those you quoted. In turn, they’ll quote you. Then you and your
paper become immortal”. Lihat: Gerald Lebovits (2006), op cit., hlm. 51.
Menulis di Jurnal Hukum, Andri Gunawan Wibisana 491

kaki/akhir berfungsi sebagai textual footnote, yaitu keterangan mengenai sumber yang
dijadikan acuan oleh penulis di dalam teksnya. Referensi dapat juga berfungsi sebagai
authoritative footnote, yang menjelaskan, membuktikan, atau mengindikasikan bahwa
argumen yang digunakan penulis didasarkan pada sumber/pandangan yang autoritatif.
88

Penulis harus senantiasa memutakhirkan gaya sitasinya, sehingga mengikuti


gaya selingkung dari jurnal yang akan ditujunya. Di AS, hampir semua jurnal hukum
menggunakan catatan kaki (footnote) dengan gaya sitasi bluebook.89 Sedangkan jurnal-
jurnal yang diterbitkan di Eropa, biasanya menggunakan catatan kaki dengan model
sitasi Oscola.90 Mengingat baik Bluebook maupun Oscola memuat keterangan lengkap
tentang sumber yang dirujuk, misalnya nama pengarang, judul buku beserta tahun
publikasi, serta judul artikel berserta nama jurnal, volume dan tahunnya, maka jurnal
AS dan Eropa yang menggunakan kedua gaya sitasi tersebut tidak menggunakan daftar
pustaka.91 Kegagalan untuk mengikuti gaya selingkung dari jurnal yang akan dituju
seringkali berakhir pada penolakan dari jurnal tersebut.
Sayangnya, di Indonesia sepertinya tidak ada kesepakatan di antara pengelola
jurnal hukum tentang gaya sitasi. Lebih dari itu, gaya yang biasanya digunakan di
Indonesia adalah gaya sitasi yang ada di luar negeri, misalnya Turabian, sehingga
menimbulkan kebingungan ketika seseorang hendak menuliskan sitasi dari bahan
hukum primer, terutama putusan pengadilan dan peraturan perundang-undangan.
Untuk menghindari berlarutnya persoalan gaya sitasi ini, para pengelola jurnal hukum
dan para pengajar mata kuliah penelitian hukum perlu duduk bersama dan menentukan
gaya sitasi yang disepakatinya.
Hal terakhir yang perlu dibicarakan pada bagian ini adalah parafrase dan
kutipan langsung. Meskipun sebuah tulisan telah mencantumkan referensi untuk
sumber yang menjadi rujukannya, penulis masih perlu melalukan parafrase. Ini adalah
sebuah proses di mana penulis menuangkan pernyataan yang dirujuknya dengan
menggunakan kalimatnya sendiri, tanpa mengubah makna dari pernyataan yang
menjadi rujukan. Penulis harus menunjukkan bahwa pernyataan yang ditulisnya
berbeda dengan pernyataan yang menjadi rujukannya, tetapi tetap memiliki arti yang
sama.92
Parafrase tidak dilakukan dalam hal penulis memilih untuk melakukan kutipan
langsung. Kutipan langsung ini lebih baik dibatasi hanya pada situasi di mana penulis
ingin menunjukkan bahwa pernyataan yang dirujuk adalah benar-benar dari sumber
yang dirujuk tanpa adanya intervensi dari penulis.

3. Bahasa
Samuelson menulis bahwa di dalam sebuah artikel, hal yang sama pentingnya
dengan adanya gagasan (thesis) adalah adanya kemampuan untuk menyampaikan

88
Richard Delgado, op cit., hlm. 451.
89
Anonymous, The Bluebook: A Uniform System of Citation, 19th Ed. (The Harvard Law
Review Association, 2010).
90
Anonymous, “OSCOLA: Oxford University Standard for the Citation of Legal Authorities”,
th
4 ed., Faculty of Law, University of Oxford, tersedia pada:
<https://www.law.ox.ac.uk/sites/files/oxlaw/oscola_4th_edn_hart_2012.pdf>
91
Hal ini berbeda dengan di Indonesia, di mana disyaratkan adanya informasi yang lengkap
tentang referensi di dalam catatan kaki, dan pada saat yang sama juga disyaratkan adanya daftar
pustaka. Sebuah pemborosan halaman.
92
Untuk contoh penggunaan parafrase, lihat misalnya: Lisa Webley, Legal Writing, 4th ed.
(London: Routledge, 2016), hlm. 108-110.
492 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.2 April-Juni 2019

gagasan/itu dengan masuk akal.93 Banyak sarjana hukum, sayangnya, berpandangan


bahwa gaya penulisan tidaklah penting, sebab yang penting adalah isi dari tulisan. Hal
ini tidak tepat. Lebovits menyebutnya sebagai mitos. Menurut Lebovits, “[y]ou can't
be a great lawyer, whatever your other qualities, unless you write well.” Selanjutnya,
Lebovits mengutip pandangan Dekan dari Fordham Law School yang menulis bahwa
“[w]ithout good legal writing, good lawyering is wasted, if not impossible”.94 Dengan
demikian, gaya penulisan juga penting untuk diperthatikan.

Kesederhanaan, Kejelasan, dan Kalimat yang Efektif


Pertanyaannya, gaya penulisan yang seperti apa yang perlu diikuti? Rowe
menjawab: tulisan hukum harus ditulis secara sederhana. Menurutnya, kesederhanaan
akan membawa kejelasan (clarity), yang merupakan kunci bagi sebuah tulisan yang
baik.95
Dari tulisan Abrams dan tulisan Rowe dapat diidentifikasi setidaknya tiga hal
yang penting dalam pembentukan gaya tulisan yang sederhana, yaitu kata yang pendek
(short words), kalimat yang pendek (short sentences), dan struktur yang sederhana
(simple structure).
a) Kata yang pendek/sederhana
Abrams menulis bahwa dalam pidato pelantikannya sebagai presiden, Presiden
Kennedy hanya menggunakan satu kata yang panjangnya lebih dari dua suku kata,
yaitu “americans”. Beberapa kata terdiri dari dua suku kata, dan sisanya, sebagian
besar, merupakan kata dengan satu suku kata. Pidato itu masih dianggap sebagai
salah satu pidato pelantikan terbaik sampai saat ini, salah satu sebabnya karena
kesederhanaan pidato tersebut.96 Menurut Abrams, ahli hukum juga seharusnya
menggunakan kata-kata yang pendek, yang justru lebih bertenaga dan akurat
dalam menerangkan fakta dan hukum.97
Mungkin dalam bahasa Indonesia sedikit sulit untuk menemukan kata-kata yang
pendek, yang hanya terdiri dari satu suku kata. Namun demikian, pesan penting
yang ingin disampaikan di sini adalah kesederhanaan. Pilihlah kata yang
sederhana dan tidak rumit. Yang panjang dan kompleks adalah gagasan penulis,
bukan kata-kata yang dipilihnya. Persis seperti judul dari artikel Abrams: long
ideas, short words.
b) Kalimat pendek
Sama seperti kata, kalimat juga seharusnya merupakan kalimat yang pendek.
Kalimat yang pendek akan mampu memberikan kejelasan lebih baik dibandingkan
dengan kalimat yang panjang. Hal-hal yang memang memiliki pokok pikiran atau
pesan yang berbeda, harus ditulis dalam kalimat yang berbeda.98
c) Struktur kalimat sederhana
Struktur kalimat yang sederhana dapat membuat tulisan menjadi lebih mudah
dipahami. Dalam bahasa Inggris, kalimat yang sederhana biasanya memiliki pola:

93
Pamela Samuelson, op cit., hlm. 152.
94
Gerald Lebovits (2014), op cit., hlm. 113.
95
Suzanne E. Rowe, “The Legal Writer: Keep It Simple: ‘Short and Sweet’ Brings Clarity to
Legal Writing”, Oregon State Bar Bulletin, Vol. 68 (2008), hlm.
96
Douglas E. Abrams, “Writing It Right: Long Ideas, Short Words”, Journal of the Missouri
Bar, Vol. 72 (2016), hlm. 148.
97
Ibid.
98
Suzanne E. Rowe, op cit., hlm. 12-13.
Rowe mengusulkan agar kalimat terdiri dari paling banyak 25 kata. Jika ada satu dan lain hal
satu kalimat memiliki lebih dari 25 kata, maka pada bagian lain harus diseimbangkan dengan kalimat
yang kurang dari 25 kata. Ibid.
Menulis di Jurnal Hukum, Andri Gunawan Wibisana 493

subject—verb—object, di mana subject adalah aktor dari kalima, verb adalah


tindakan dari aktor tersebut, dan object adalah yang menerima tindakan.99 Dalam
bahasa Indonesia, pola kalimat sederhana biasanya terdiri dari: subyek—
predikat—obyek—keterangan.
Usahakan agar sebuah kalimat tidak memuat anak kalimat. Jika terpaksa, maka
jumlah anak kalimat dalam sebuah kalimat perlu dibatasi tidak lebih dari satu
anak kalimat.

Alur Cerita dan Paragraf


Karena kalimat dibuat pendek, maka kalimat menjadi tidak mengalir dengan
baik. Mirip seperti seseorang yang sedang belajar mengendarai mobil. Terlalu sering
mobil berhenti secara mendadak. Untuk melancarkan alur cerita, maka diperlukan
adanya kata penghubung. Dengan kata penghubung ini, kalimat-kalimat menjadi
menyatu dan mengalir dengan lebih baik. Ibarat mobil, maju dan lajunya menjadi lebih
halus dan lancar.
Perhatikan contoh di bawah ini:
“Terdapat dua tipe integrasi perizinan, yang keduanya diharapkan oleh UU
No. 32 Tahun 2009 yaitu integrasi izin yang bersifat internal, dalam arti izin-
izin pengelolaan lingkungan disatukan menjadi izin lingkungan, yang lazim
disebut dengan integrasi izin, dan integrasi eksternal, dalam arti integrasi izin
usaha dengan izin lingkungan, yang lazim disebut dengan izin berantai yang
oleh ahli hukum Indonesia dianggap sebagai sistem izin yang berasal dari
Belanda, yaitu ketting verguning, di mana izin lingkungan dijadikan syarat
dari izin usaha, dan apabila izin lingkungan dicabut, maka izin usaha menjadi
tercabut pula atau menjadi batal demi hukum.”

Paragraf di atas nyaris tidak dapat dipahami. Kalimat-kalimat yang


disampaikan terlalu panjang, dan tidak memiliki satu kerangka berpikir yang sama.
Selain itu, paragraf di atas juga buruk karena menurut kebiasaan, sebuah paragraf
terdiri lebih dari satu kalimat.
Untuk memperbaiki paragraf di atas, maka kalimat yang ada harus dipecah
menjadi kalimat-kalimat pendek. Agar kalimat-kalimat pendek tersebut dapat memiliki
keterkaitan satu-sama lain, sehingga dapat mengalir dengan lebih baik, maka perlu
pula digunakan kata-kata penghubung. Dalam kutipan di bawah ini, kata penghubung
ditulis dengan garis bawah:
“Sedianya, UU No. 32 Tahun 2009 diharapkan memuat dua tipe integrasi
perizinan. Pertama, adalah integrasi izin yang bersifat internal, dalam arti
izin-izin pengelolaan lingkungan disatukan menjadi izin lingkungan. Hal ini
lazimnya disebut dengan integrasi izin. Kedua, integrasi eksternal, dalam arti
integrasi izin usaha dengan izin lingkungan. Hal ini lazimnya disebut dengan
izin berantai. Dalam hal ini, izin lingkungan dijadikan syarat dari izin usaha,
dan apabila izin lingkungan dicabut, maka izin usaha menjadi tercabut pula
atau menjadi batal demi hukum. Terkait izin berantai ini, ahli hukum
Indonesia beranggapan bahwa sistem izin berantai ini berasal dari Belanda,
sehingga seringkali sistem ini disebut dengan ketting verguning, yang artinya
izin berantai—[garis bawah adalah kata penghubung].”

99
Ibid., hlm. 13.
494 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.2 April-Juni 2019

Pemilihan kata penghubung yang tepat membutuhkan kemahiran yang terasah


oleh latihan. Namun demikian, untuk membantu pemilihan kata penghubung ini,
beberapa buku menyediakan daftar kata penghubung. Untuk tulisan berbahasa Inggris,
kumpulan kata/frasa penghubung dapat ditemukan pada buku yang ditulis Ryan
Deane.100
Koherensi sebuah artikel ditandai dengan kesatuan (unity) dan keterkaitan
(cohesion) antara satu kalimat dengan kalimat lainnya, antara satu paragraf dengan
paragraf lainnya, dan antara satu bagian dengan bagian lainnya. Dalam hal ini, elemen-
elemen dari satu artikel harus disusun dalam kesatuan yang saling mendukung.
Paragraf hanya memuat satu pokok pikiran. Setiap paragraf dimulai oleh
kalimat utama, atau disebut juga topic/thesis sentence, yang memuat pokok pikiran.
Kalimat-kalimat lainnya di dalam paragraf tersebut adalah kalimat pendukung, yang
bertugas menjelaskan atau mendiskusikan kalimat utama.101 Koherensi dibangun
dengan membuat kalimat-kalimat di dalam paragraf terkait dengan kalimat utama.
Paragraf diakhiri dengan konfirmasi atas kalimat utama, atau dengan penjelasan
tentang keterkaitan paragraf dengan gagasan artikel dan permasalahan. 102 Paragraf
dapat pula diakhir dengan sebuah kalimat penghubung.
Guna membangun koherensi dan alur cerita yang baik, maka perlu ada jalinan
antara satu paragraf atau bagian dengan paragraf atau bagian lainnya. Untuk itu, di
antara paragraf yang satu dengan yang lain seringkali perlu disambungkan dengan
kalimat penghubung. Kalimat penghubung ini biasanya ditulis sebagai kalimat terakhir
dari sebuah paragraf. Sedangkan untuk mengaitkan satu bagian dengan bagian lainnya,
kadang kala perlu dibuat pula paragraf penghubung, yang biasanya terletak pada
paragraf paling awal atau terakhir akhir dari sebuah bagian (subbab). Paragraf ini
dapat berisi rangkuman dari apa yang telah dibahas dan apa yang akan dibahas
selanjutnya.

V. CATATAN PENUTUP

Di Indonesia tidak terdapat standar yang seragam mengenai struktur, gaya


selingkung, model penulisan rujukan, dan sampai panjang halaman dari artikel hukum.
Akibatnya, beberapa jurnal mengikuti aturan penulisan yang mirip dengan jurnal ilmu
sosial. Hal ini pada gilirannya menjadikan bentuk dan gaya (style) dari artikel-artikel
hukum di Indonesia berbeda dengan artikel-artikel pada jurnal hukum di luar negeri.
Tulisan ini menganggap bahwa publikasi di dalam jurnal di Indonesia
sesungguhnya memiliki manfaat yang lebih besar untuk perkembangan hukum
Indonesia, dibandingkan dengan publikasi dalam jurnal terindeks scopus. Namun
demikian, tulisan ini menyadari bahwa kebiasaan penulisan artikel hukum di
Indonesia, yang dipaparkan di atas, perlu segera dihentikan. Kebiasaan tersebut hanya
menyebabkan artikel tersebut memiliki kualitas yang tidak terlalu baik.
Karena itu, para pengajar metode penelitian hukum dan para pengelola jurnal
hukum perlu segera duduk bersama dan mencapai kesepakatan mengenai muatan dan

100
Ryan Deane, Make Your Writing Flow: A Practical Guide to Transitional Words and Phrases
(Create Space Independent Publishing Platform, 2015).
101
Untuk diskusi lebih jauh tentang penyusunan paragraf, lihat: E. Scott Fruehwald, Legal
Writing Exercises: A Practical Guide to Clear and Persuasive Writing for Lawyers (ABA Publishing,
2014), hlm. 105-108.
Buku Komposisi sangat penting untuk diperhatikan karena buku ini juga mengungkapkan
bagaimana menyusun paragraf yang baik dan apa saja variasi penyusunan paragraf. Lihat: Gorys Keraf,
Komposisi, Cet. 8 (Jakarta: Penerbit Nusa Indah, 2016), hlm. 62-105.
102
Lisa Webley, op cit., hlm. 25-26.
Menulis di Jurnal Hukum, Andri Gunawan Wibisana 495

gaya bagi penulisan artikel hukum di Indonesia, sehingga artikel di Indonesia memiliki
kualitas yang tidak berbeda dengan artikel yang dimuat di dalam jurnal-jurnal hukum
di negara lain. Sebuah artikel yang cemerlang tetaplah akan cemerlang, tanpa peduli
apakah artikel tersebut ditulis dalam Bahasa Indonesia atau bahasa lain. Jika sudah
demikian, dapatlah kita berharap bahwa jurnal-jurnal hukum Indonesia menjadi jurnal
bergengsi, yang berisi perdebatan mutakhir dan bernas, bukan hanya dari para penulis
Indonesia tetapi juga dari para sarjana di dunia.

DAFTAR PUSTAKA

Anonymous, “OSCOLA: Oxford University Standard for the Citation of Legal


Authorities”, 4th ed., Faculty of Law, University of Oxford, tersedia pada:
<https://www.law.ox.ac.uk/sites/files/oxlaw/oscola_4th_edn_hart_2012.pdf>
Anonymous, The Bluebook: A Uniform System of Citation, 19th Ed. (The Harvard Law
Review Association, 2010).
Abrams, Douglas E. “Writing It Right: Writing in Law Reviews, Bar Association
Journals, and Blogs (Part 1)”. Journal of the Missouri Bar, Vol. 72 (2016).
Abrams, Douglas E. “Writing It Right: Long Ideas, Short Words”. Journal of the
Missouri Bar, Vol. 72 (2016).
Bolles, Emily. “Introductions and Conclusions for Scholarly Papers”, The Writing
Center at Georgetown University Law Center, 2015, tersedia pada:
<https://www.law.georgetown.edu/academics/academic-programs/legal-
writing-scholarship/writing-center/upload/Bolles-Introductions-and-
Conclusions-for-Scholarly-Papers.pdf>, diakses pada Februari 2018, hlm. 3.
Bradford, C. Steven. “As I Lay Writing: How to Write Law Review Articles for Fun
and Profit: A Law-and-Economics, Critical, Hermeneutical, Policy Approach
and Lots of Other Stuff That Thousands of Readers Will Find Really
Interesting and Therefore You Ought to Publish in Your Prestigious, Top-
Ten, Totally Excellent Law Review”. Journal of Legal Education, Vol. 44
(1994).
Case, David W. “Changing Corporate Behavior Through Environmental Management
Systems”. William and Mary Environmental Law and Policy Review, Vol. 31
(2006).
Deane, Ryan. Make Your Writing Flow: A Practical Guide to Transitional Words and
Phrases (CreateSpace Independent Publishing Platform, 2015).
Delgado, Richard. “How to Write a Law Review Article”. University of San Francisco
Law Review, Vol 20 (1986).
Fruehwald, E. Scott. Legal Writing Exercises: A Practical Guide to Clear and
Persuasive Writing for Lawyers (ABA Publishing, 2014).
Gunningham, Neil. “Environment Law, Regulation and Governance: Shifting
Architectures”. Journal of Environmental Law, Vol. 21:2 (2009).
Heinzerling, Lisa. “Knowing Killing and Environmental Law”. NYU Environmental
Law Journal, Vol. 16 (2006).
Jacobson, M.H. Sam. “The Legal Writer: What's Your Point? Tips For Writing
Clearly”. Oregon State Bar Bulletin, Vol. 71 (2011).
Keraf, Gorys. Komposisi, Cet. 8. Jakarta: Penerbit Nusa Indah, 2016.
Kimble, Joseph. “Tips for Better Writing in Law Reviews (and Other Journals)”,
Thomas M. Cooley Law Review, Vol. 30 (2013).
496 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.2 April-Juni 2019

Kysar, Douglas A. “What Climate Change Can Do about Tort Law”. Environmental
Law, Vol. 41 (2011).
Lebovits, Gerald. “Academic Legal Writing: How to Write and Publish”. New York
State Bar Association Journal, Vol. 78:1 (2006).
Lebovits, Gerald. “Legal-Writing Myths”. The Scribes Journal of Legal Writing, Vol.
16 (2014).
Madison, Michael J. “The Lawyer as Legal Scholar”, University of Pittsburgh Law
Review, Vol. 65 (2003).
Maggio, G.F. “Inter/intra-generational Equity: Current Applications under
International Law for Promoting the Sustainable Development of Natural
Resources”. Buffalo Environmental Law Journal, Vol. 4 (1997).
Marong, Alhaji B.M. “From Rio to Johannesburg: Reflections on the Role of
International Legal Norms in Sustainable Development”. Georgetown
International Environmental Law Review, Vol. 16 (2003).
Mikva, Honorable Abner J. “Law Reviews, Judicial Opinions, and Their Relationship
to Writing”. Stetson Law Review, Vol. XXX (2000).
Motro, Shari. “The Three-Act Argument: How to Write a Law Article that Reads Like
a Good Story”. Journal of Legal Education, Vol. 64 (2015)
Osbeck, Mark K. “What Is “Good Legal Writing” and Why Does It Matter?”. Drexel
Law Review, Vol. 4 (2012).
Posner, Eric dan Cass R. Sunstein, “Dollars and Death”. University of Chicago Law
Review, Vol. 72 (2005).
Robson, Ruthann. “Law Students as Legal Scholars: An Essay/Review of Scholarly
Writing for Law Students and Academic Legal Writing”. City University of
New York Law Review, Vol. 7:1 (2004).
Rowe, Suzanne E. “The Legal Writer: Keep It Simple: ‘Short and Sweet’ Brings
Clarity to Legal Writing”. Oregon State Bar Bulletin, Vol. 68 (2008).
Samuelson, Pamela. “Good Legal Writing: of Orwell and Window Panes”. University
of Pittsburgh Law Review, Vol. 46 (1984).
Schwarcz, Daniel. “Shame, Stigma, and Crime: Evaluating the Efficacy of Shaming
Sanctions in Criminal Law”. Harvard Law Review, Vol. 116:7 (May, 2003).
Siems, Mathias M. “Legal Originality”. Oxford Journal of Legal Studies, Vol. 28:1
(2008).
Smits, Jan M. The Mind and Method of the Legal Academic (Cheltenham, UK:
Edward Elgar, 2012).
Sternberg, David. How to Complete and Survive a Doctoral Dissertation. New York:
St. Martin’s Press, 1981.
Stewart, Richard B. “A New Generation of Environmental Regulation?”. Capital
University Law Review, Vol. 29 (2001)
Volokh, Eugene. “Writing a Student Article” Journal of Legal Education, Vol. 48:2
(June 1998).
Volokh, Eugene. Academic Legal Writing: Law Review Articles, Student Notes,
Seminar Papers, and Getting on Law Review, 3rd ed. New York: Foundation
Press, 2007.
Webley, Lisa. Legal Writing, 4th ed. London: Routledge, 2016.
Weinrib, Ernest J. “Civil Recourse and Corrective Justice”. Florida State University
Law Review, Vol 39 (2011).

Anda mungkin juga menyukai