Jurnaling, by (God) AGW PDF
Jurnaling, by (God) AGW PDF
2 (2019): 471-496
ISSN: 0125-9687 (Cetak)
E-ISSN: 2503-1465 (Online)
Abstract
Writing articles in a law review is different from writing an opinion in a newspaper or
articles in other types of journals. Indonesian authors often fail to indicate the
problems to be discussed, the proposed thesis statement or idea (claim), and the
structure of the article. They also write too descriptive and employ very limited
references. This paper aims to support the authors to find out important aspects in
formulating a good legal article. For this reason, this paper explains that an article
must contain the claim, and be novel, non-obvious, and useful. This paper also
explains the importance of the introduction of an article and explains how to start the
introduction. The article demonstrates the importance of the structure of articles,
references, and languages. By knowing and taking into account the elements of good
articles, Indonesian authors would be able to produce articles with quality
comparable to that of reputable international journals. In this case, the only problem
for a publication in reputable international law journals would only be a matter of
writing an article in English and no longer of the quality of the article.
Keywords: law review articles, claim, structure, referencing
Abstrak
Menulis artikel pada jurnal hukum berbeda dari menulis artikel pada surat kabar dan
artikel pada jurnal ilmiah pada umumnya. Sayangnya, para penulis di Indonesia
seringkali gagal memperlihatkan permasalahan yang hendak dibahas di dalam
artikelnya, tidak menjelaskan thesis statement atau gagasan (claim) yang hendak
diajukan, tidak pula menuliskan struktur penulisan dari artikel, terlalu bersifat
deskriptif, dan memuat referensi yang sangat terbatas. Tulisan ini bertujuan membantu
para penulis menemukan hal apa saja yang perlu diperhatikan dalam penulisan sebuah
artikel hukum yang baik. Untuk itu, tulisan ini menjelaskan bahwa sebuah artikel
harus memuat pernyataan gagasan (claim atau thesis), bersifat kebaruan (novelty),
bersifat non-obvious, dan memiliki kegunaan. Tulisan ini juga menjelaskan pentingnya
pendahuluan dari sebuah artikel dan menerangkan bagaimana memulai pendahuluan.
Hal yang juga penting di dalam artikel adalah struktur artikel, referensi, dan bahasa.
Dengan diketahui dan diperhatikannya elemen penyusun artikel yang baik, artikel dari
penulis Indonesia dapat memiliki kualitas yang sejajar dengan artikel pada jurnal-
jurnal internasional bereputasi, sehingga hambatan publikasi pada jurnal tersebut
menjadi bukan lagi persoalan kualitas tulisan, tetapi hanya persoalan bagaimana
menulis artikel ke dalam bahasa Inggris.
Kata Kunci: ulasan artikel hukum, klaim, struktur, referensi.
I. PENDAHULUAN
Artikel pada jurnal hukum memiliki nilai dan manfaat yang sangat besar bagi
sarjana hukum. Bradford, misalnya, menganggap bahwa mempublikasikan artikel di
sebuah jurnal hukum adalah sebuah kehormatan dan keistimewaan. Dengan mengutip
pandangan para editor berbagai jurnal hukum di AS, Bradford meneruskan, “law
reviews hold a special place of trust and importance in the legal system and in
society”, karena jurnal-jurnal tersebut “play a vital role in the preservation of
society.”1
Sayangnya, di Indonesia peran jurnal hukum belum seperti di AS atau di
Eropa. Jarang sekali ditemukan, jika bukan tidak ada, fakultas hukum yang
mengajarkan penulisan bagi artikel hukum. Pertanyaan-pertanyaan mengenai
bagaimana hasil penelitian dituangkan ke dalam artikel, bagaimana argumen disusun,
atau kapan sebuah argumen perlu menggunakan rujukan sebagai pendukung argumen,
seringkali kurang memperoleh perhatian. Akibatnya, sarjana hukum kerap gagap
ketika menulis artikel untuk jurnal hukum.
Artikel pada jurnal ilmiah memiliki kebiasaan tertentu yang berbeda dari
artikel populer di surat kabar, terutama terkait dengan topik, bahasa yang digunakan,
dan gaya penulisan rujukan (sitasi). Selain itu, dibandingkan dengan artikel pada jurnal
ilmiah pada umumnya, artikel pada jurnal hukum juga memiliki keunikan tersendiri.
Keunikan ini terutama terkait dengan struktur artikel, penggunaan pendekatan tertentu,
serta pentingnya referensi pendukung.
Dari pengalaman beberapa kali menjadi mitra bebestari di beberapa jurnal,
terdapat beberapa masalah yang lazim ditemukan pada banyak artikel (draft artikel)
hukum di Indonesia. Pertama, bagian pendahuluan sangat panjang, tetapi gagal
memperlihatkan permasalahan yang hendak dibahas, tidak menjelaskan thesis
statement atau gagasan (claim) yang hendak diajukan, dan tidak pula menuliskan
struktur penulisan dari artikel. Akibatnya, artikel menjadi tidak terarah. Kedua,
mayoritas artikel hukum tersebut terlalu bersifat deskriptif. Artikel tersebut hanya
menggambarkan bagaimana hukum tertentu di Indonesia. Lebih buruk lagi, banyak
dari artikel tersebut yang menggambarkan hukum Indonesia hanya berdasarkan
peraturan perundang-undangan. Ketiga, mayoritas artikel tersebut tidak menggunakan
rujukan yang baik. Seringkali artikel yang ditulis hanya memuat referensi yang sangat
terbatas, yang itu pun lebih banyak merupakan buku teks. Artikel-artikel tersebut
sepertinya tidak menyadari bahwa terdapat hubungan yang erat di antara menulis
artikel dengan membaca: semakin baik seseorang membaca, semakin baik artikel yang
akan ditulisnya.
Tulisan ini bertujuan membantu para penulis menemukan hal apa saja yang
perlu diperhatikan dalam penulisan sebuah artikel hukum yang baik. Dengan diketahui
dan diperhatikannya elemen penyusun artikel yang baik, artikel yang dihasilkan
diharapkan dapat memiliki standar dan kualitas yang relatif sejajar dengan artikel pada
jurnal-jurnal di luar negeri. Selanjutnya, dengan semakin berkualitasnya artikel pada
jurnal hukum di Indonesia, dapat pula diharapkan bahwa cita-cita menjadikan jurnal
hukum sebagai bagian dari perkembangan hukum akan segera terwujud. Selain itu,
dengan meningkatnya kualitas artikel dari penulis Indonesia, hambatan publikasi pada
1
C. Steven Bradford, “As I Lay Writing: How to Write Law Review Articles for Fun and
Profit: A Law-and-Economics, Critical, Hermeneutical, Policy Approach and Lots of Other Stuff That
Thousands of Readers Will Find Really Interesting and Therefore You Ought to Publish in Your
Prestigious, Top-Ten, Totally Excellent Law Review”, Journal of Legal Education, Vol. 44 (1994),
hlm. 14.
Menulis di Jurnal Hukum, Andri Gunawan Wibisana 473
jurnal hukum internasional bereputasi bukan lagi hambatan besar dari sisi substansi,
tetapi menjadi hanya persoalan bagaimana menulis artikel ke dalam bahasa Inggris.
Untuk mencapai tujuan tersebut, tulisan ini akan disusun sebagai berikut.
Setelah Pendahuluan, Bagian II akan membahas mengenai pentingnya topik dan
orisinalitas artikel. Bagian ini akan menawarkan beberapa tips yang dapat digunakan
untuk menyusun topik dan memperlihatkan kebaruan dari artikel yang hendak dibuat.
Setelah itu, Bagian III akan membahas mengenai pendahuluan dari sebuah artikel. Di
sini yang akan dibahas tidak hanya mengenai pentingnya pendahuluan bagi sebuah
artikel ilmiah, tetapi juga beberapa hal yang perlu ada di dalam pendahuluan, yaitu
permasalahan dan latar belakangnya, thesis, dan kerangka (peta jalan) artikel. Bagian
IV akan membahas struktur apa saja yang perlu dibangun untuk sebuah artikel hukum.
Tulisan ini hendak menggambarkan bahwa struktur artikel di beberapa jurnal hukum,
yaitu pendahuluan—metodologi—data—diskusi—analisa—kesimpulan, bukanlah
merupakan struktur yang tepat untuk sebuah artikel hukum. Bagian IV juga akan
membahas beberapa hal teknis terkait bahasa dan pola-pola penyusunan kalimat dan
paragraf. Bagian ini akan memuat pula diskusi mengenai pentingnya referensi dalam
artikel hukum, serta perlunya kesepakatan di antara pengelola jurnal hukum Indonesia
terkait model sitasi yang akan digunakan. Bagian V akan menguraikan beberapa
kalimat penutup.
1. Penentuan Topik
Sebuah artikel yang baik akan berawal dari topik yang baik. Persoalannya
adalah bagaimana seorang penulis dapat menemukan topik yang tepat untuk ditulis.
Lebovits menyatakan bahwa sebuah artikel dapat merupakan sebuah uraian dan
pembahasan aspek substantif atau prosedural dari persoalan hukum tertentu. Selain itu,
sebuah artikel dapat pula mengetengahkan masalah yang belum terpecahkan dan
bagaimana pemecahannya.2 Hal yang dikemukakan oleh Lebovits di atas dapat
menjadi cara bagi seorang penulis untuk menentukan topik yang akan dipilihnya.
Selain itu, dapat pula ditambahkan di sini bahwa topik dapat saja dipilih dari
adanya sebuah putusan atau peraturan atau pernyataan yang menimbulkan perdebatan,
yang kemudian akan diuji dan dianalisa dengan landasan teoretis tertentu. Dapat pula
sebuah artikel hendak membahas pandangan yang lazim dianut, dan kemudian
membantah pandangan tersebut berdasarkan perspektif tertentu.
Selain hal di atas, Volokh menyatakan bahwa artikel yang baik tidak hanya
harus bersifat orisinal, tidak terlalu mudah untuk dijawab, berguna, dan masuk akal,
tetapi juga harus dapat dilihat oleh pembaca telah memenuhi karakter tersebut. 3
Dengan demikian, Volokh melihat bahwa pandangan atau komentar pembaca tentang
artikel memegang peranan yang penting untuk menentukan kualitas artikel. Hal yang
2
Gerald Lebovits, “Academic Legal Writing: How to Write and Publish”, New York State Bar
Association Journal, Vol. 78:1 (2006), hlm. 64.
3
Eugene Volokh, “Writing a Student Article”, Journal of Legal Education, Vol. 48:2 (June
1998), hlm. 248.
474 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.2 April-Juni 2019
sama juga dikemukakan oleh Osbeck. Baginya, semakin baik sebuah artikel, semakin
dekat artikel tersebut dengan kebutuhan dan kepentingan dari pembacanya.4
Berbeda dengan Volokh dan Osbeck, beberapa pengarang justru melihat
pentingnya kemampuan penulis untuk menyeimbangkan antara ketertarikan pribadi
penulis dengan manfaat dari artikel bagi orang lain pada saat penulis menentukan
topik artikel. Menurut Lebovits, apa pun tujuan dari penulisan artikel hukum, terdapat
dua hal yang sangat penting untuk diperhatikan dalam penentuan topik. Pertama, topik
artikel selalu mengetengahkan kepentingan atau ketertarikan penulis. Kedua,
kepentingan atau ketertarikan itu harus diseimbangkan dengan manfaat dari penulisan
topik yang dipilih.5 Hal senada juga diperlihatkan oleh Fajans dan Falk yang,
sebagaimana dikutip oleh Robson, menyatakan bahwa “[i]deally, your choice of
subject will be informed equally by your audience’s needs and concerns and by your
own interests.”6 Selain kedua hal di atas, topik yang dipilih haruslah merupakan topik
yang menarik untuk ditulis (interesting), dapat ditulis (manageable), dan penting
(significant) untuk ditulis.7 Singkatnya, topik artikel harus lah merupakan hal yang
pada satu sisi menarik bagi penulis, dan pada sisi lain berguna bagi orang lain.
Sebuah topik dapat dipilih dari banyak faktor dan kejadian. Mungkin pula
inspirasi pemilihan topik muncul secara tiba-tiba di tempat yang tidak terduga.
Namun demikian, seperti dinyatakan Sternberg, “[i]t may be arguable whether the
final choice is determined by “fate” or “being in the right place at the right time”, but
prior to that right moment or right idea come months, or even years, of selective
reading and thinking about dozens of related issues”.8 Meskipun pandangan Sternberg
tersebut disampaikannya dalam konteks pemilihan topik sebuah disertasi, akan tetapi
pandangan tersebut juga dapat diterapkan untuk pemilihan topik artikel hukum.
Belajar dari Sternberg, dapat disimpulkan bahwa membaca pada akhirnya merupakan
hal terpenting dalam proses penulisan sebuah karya ilmiah hukum.
Tentu, membaca saja tidak cukup. Hasil penelitian dan penelusuran bahan
bacaan perlu dituangkan dalam gagasan orisinal seorang penulis.
a. Pernyataan (claim)
Pernyataan (claim) adalah thesis yang menjadi dasar sebuah artikel. Sebuah
artikel yang baik selalu memilki thesis tentang suatu hal, atau dengan kata lain
4
Mark K. Osbeck, “What Is “Good Legal Writing” and Why Does It Matter?”, Drexel Law
Review, Vol. 4 (2012), hlm. 425-426.
5
Gerald Lebovits (2006), op cit., hlm. 64.
6
Ruthann Robson, “Law Students as Legal Scholars: An Essay/Review of Scholarly Writing
for Law Students and Academic Legal Writing”, City University of New York Law Review, Vol. 7:1
(2004), hlm. 197
7
Richard Delgado, “How to Write a Law Review Article”, University of San Francisco Law
Review, Vol. 20 (1986), hlm. 448
8
David Sternberg, How to Complete and Survive a Doctoral Dissertation (New York: St.
Martin’s Press, 1981), hlm. 51.
9
Eugene Volokh (1998), loc cit.
Menulis di Jurnal Hukum, Andri Gunawan Wibisana 475
10
Dalam bahasa Samuelson, pernyataan ini disebut dengan point, yaitu suatu gagasan atau
thesis yang hendak disampaikan oleh penulis. Sebuah artikel harus memiliki gagasan (point) ini. Pamela
Samuelson, “Good Legal Writing: of Orwell and Window Panes”, University of Pittsburgh Law Review,
Vol. 46 (1984), hlm. 151.
11
Eugene Volokh, Academic Legal Writing: Law Review Articles, Student Notes, Seminar
Papers, and Getting on Law Review, 3rd ed. (New York: Foundation Press, 2007), hlm. 9.
12
Ibid., hlm. 11.
13
Ibid., hlm. 9-10.
476 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.2 April-Juni 2019
Tentu saja, kesebelas tipe pernyataan tersebut tidaklah kaku. Seorang penulis
dapat saja menggabungkan lebih dari satu tipe pernyataan di atas. Namun demikian,
perlu tetap diingat bahwa artikel tidak boleh hanya berisi pemaparan deskriptif atas
suatu hal tertentu, misalnya peraturan atau putusan.
b. Kebaruan (Novelty)
Seorang penulis memiliki beban untuk memperlihatkan bahwa tulisannya
menawarkan sudut pandang, gagasan, atau solusi baru atas sebuah persoalan hukum
yang sebelumnya telah ada. Dalam kalimat Delgado, menulis artikel dilakukan dengan
jalan “find one new point, one new insight, one new way of looking at a piece of law,
and organize your entire article around that”.14 Kebaruan ini menjadi jaminan bahwa
artikel yang dibuat adalah karya yang orisinal.
Persyaratan kebaruan/orisinal inilah yang menjadikan artikel ilmiah sulit untuk
dikerjakan. Sebuah artikel akan sangat mungkin ditolak jika hanya berisi hal yang
sebelumnya telah dibahas oleh tulisan lain. Cara pertama untuk memperoleh topik
yang orisinal adalah dengan mencari topik tertentu yang belum pernah ditulis. Namun
demikian, hal ini tidaklah mudah. Setelah begitu banyak tulisan membahas persoalan
hukum yang sama, apa yang tersisa untuk dijadikan topik artikel? Cara kedua yang
dapat dilakukan adalah dengan menambahkan “rasa” baru, nuansa baru, solusi baru,
pandangan baru, atau perspektif baru atas persoalan tersebut.15
Volokh mengusulkan bahwa agar artikel yang dibuat dapat menawarkan hal
baru, maka artikel tersebut harus dibuat dengan menambahkan pengecualian dari
aturan hukum tertentu. Menurutnya, alih-alih menyatakan bahwa “bans on
nonmisleading commercial advertising should be unconstitutional”, artikel sebaiknya
menyatakan bahwa “bans on nonmisleading commercial advertising should be
unconstitutional unless minors form a majority of the intended audience for the
advertising”. Volokh meneruskan bahwa semakin kompleks gagasan dari sebuah
tulisan seseorang, akan semakin besar kemungkinan tulisan tersebut memuat gagasan
yang baru.16
Untuk membantu penulis menemukan orisinalitas dan kebaruan, tulisan ini
menawarkan beberapa tips yang disampaikan oleh Siems.17 Menurutnya, sebuah
penelitian atau tulisan yang membahas pertanyaan mikro (micro-legal questions)18
dapat menjadi lebih orisinal dengan ditambahkan beberapa hal. Pertama, tulisan dapat
dibuat lebih orisinal dengan menekankan pada segi koherensi dan konsistensi dari
14
Richard Delgado, loc cit.
15
Selain dari kedua kemungkinan ini, orisinal tulisan juga kadang dimintakan secara tegas oleh
jurnal hukum dalam bentuk pernyataan bahwa artikel yang dikirim adalah artikel yang tidak pernah
dipublikasikan sebelumnya, baik dalam bentuk buku, jurnal, maupun prosiding. Lihat: Douglas E.
Abrams, “Writing It Right: Writing in Law Reviews, Bar Association Journals, and Blogs (Part 1)”,
Journal of the Missouri Bar, Vol. 72 (2016), hlm. 26.
16
Eugene Volokh (2007), op cit., hlm. 16.
17
Perlu disampaikan bahwa tips yang disampaikan oleh Siems sebenarnya ditujukan untuk
menemukan “orisinalitas” di dalam sebuah penelitian hukum. Akan tetapi, tulisan ini melihat bahwa
tips tersebut juga berguna untuk diterapkan dalam penulisan artikel hukum.
18
Menurut Siems, penelitian tentang pertanyaan mikro adalah penelitian yang membahas
tentang persoalan hukum tertentu, baik itu persoalan terkait ketentuan, undang-undang, atau putusan
tertentu. Sebagai perbandingan, penelitian hukum yang bersifat makro (macro-legal questions) adalah
penelitian yang fokus pada pembahasan problem, konsep, atau asas yang bersifat umum. Penelitian ini
akan sangat erat kaitannya dengan teori hukum dan filsafat hukum. Lihat: Mathias M. Siems, “Legal
Originality”, Oxford Journal of Legal Studies, Vol. 28:1 (2008), hlm. 148-149 dan dan 150.
Menulis di Jurnal Hukum, Andri Gunawan Wibisana 477
sebuah bahan hukum.19 Cara ini biasanya dilakukan dengan melibatkan “interpretive
legal theory” yang ditujukan untuk mengidentifikasi gambaran umum dan struktur
dasar hukum. Dapat pula cara ini ditempuh melalui “legal synthesis”, yang berupaya
untuk menyatukan elemen-elemen dari putusan dan peraturan ke dalam aturan-aturan
yang koheren dan bermanfaat, atau melalui “systemic approach”, yang akan menguji
apakah aturan-aturan yang berbeda dapat menunjukkan karakteristik yang sama
sebagai sebuah bagian dari sistem yang sama.20
Kedua, orisinalitas dapat dilakukan dengan menambahkan pendekatan sejarah
hukum pada tulisan yang dibuat.21 Dalam hal ini, tulisan dapat menjelaskan, misalnya,
bagaimana sejarah hukum menjelaskan konsep hukum dari masa lalu yang masih bisa
diterapkan pada hukum sekarang. Sejarah hukum dapat menjadi cara untuk
memahami, mengkritisi, dan menilai aspek hukum tertentu saat ini.
Ketiga, menemukan orisinalitas dapat dilakukan dengan menambahkan topik
makro (‘macro-legal topics’) ke dalam tulisan yang awalnya merupakan penelitian
untuk menjawab pertanyaan mikro (‘micro-legal analysis’).22 Di sini, tulisan dapat
diperbaiki dengan menambahkan pembahasan berdasarkan asas hukum tertentu, atau
dengan menambahkan perspektif tertentu yang diambil dari teori hukum atau filsafat
hukum.
Keempat, orisinalitas dapat diperoleh dengan jalan melakukan analisa
berdasarkan perbandingan hukum. Perbandingan hukum akan memberikan jawaban
yang tidak dapat diberikan jika penelitian/tulisan hanya didasarkan pada hukum di
dalam satu sistem hukum.23 Dalam hal ini, tulisan dapat membandingkan suatu konsep
hukum tertentu dari lebih dari satu sistem hukum. Misalnya, dengan menjawab
pertanyaan mengapa sistem hukum tersebut berbeda, dan apakah dibutuhkan
konvergensi hukum.
Kelima, menambahkan pendekatan dari disiplin ilmu lain juga dapat
memperkaya kedalaman analisa dan meningkatkan orisinalitas tulisan. Berbagai
contoh dari pendekatan ini adalah analisa ekonomi atas hukum (law and economics),
hukum dan akuntansi, sosiologi hukum, hukum dan psikologi, serta hukum dan
sastra.24
Keenam, menghubungkan hukum dengan kenyataan (‘connecting law to life’).
Hal ini dilakukan dengan melihat bagaimana hukum di dalam kenyataan hidup
masyarakat (law in action). Tulisan semacam ini dapat pula dilakukan dengan
mempertimbangkan aspek politik, ekonomi, budaya, atau kualitas penegakan hukum
dari negara di mana sebuah aturan hukum diberlakukan.25
c. Non-obviousness
Artikel yang baik, menurut Volokh, adalah artikel yang non-obvious.26 Istilah
ini diartikan di sini sebagai sesuatu yang tidak terlalu jelas, tidak terlalu mudah dan
umum, sehingga tidak dapat diketahui tanpa adanya penelitian. Artikel yang non-
obvious dapat ditunjukkan dengan jalan memperlihatkan bahwa tidak semua orang
akan sampai pada gagasan yang diutarakan oleh penulis. Singkat kata, dalam konteks
19
Koherensi adalah sekumpulan gagasan yang apabila dilihat secara keseluruhan akan menjadi
masuk akal. Sedangkan konsistensi berarti tidak adanya kontradiksi. Ibid., hlm. 149.
20
Ibid., hlm. 149-150.
21
Ibid., hlm. 150.
22
Ibid.
23
Ibid., hlm. 151.
24
Ibid.
25
Ibid., hlm. 152.
26
Eugene Volokh (2007), op cit., hlm. 17.
478 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.2 April-Juni 2019
non-obviousness, seorang penulis seperti hendak menyatakan bahwa hanya dia lah
yang mencapai gagasan/kesimpulan ini.
Dengan demikian, sebuah artikel dapat saja merupakan pernyataan yang baru,
yang belum dibahas oleh tulisan lain, namun tetap bukan merupakan tulisan yang baik.
Hal ini terjadi jika pernyataan yang dibuat adalah pernyataan yang hasilnya sudah jelas
(obvious), sehingga dapat disimpulkan oleh setiap orang tanpa perlu melalui sebuah
penelitian. Untuk menghindari hal ini, pernyataan dapat dibuat dengan menambahkan
hal-hal khusus. Misalnya, alih-alih hanya membahas tentang apakah hak atas
lingkungan hidup yang baik telah dijamin di dalam UUD 1945, artikel diarahkan untuk
membahas apakah hukum Indonesia memungkinkan untuk memperluas penafsiran hak
konstitusional atas lingkungan hidup agar meliputi pula hak generasi yang akan datang
atas lingkungan hidup yang baik.
d. Kegunaan (Utility)
Sebuah artikel yang baik haruslah berguna, baik secara praktis maupun
teoretis. Karena itu lah, maka sebuah artikel sebaiknya tidak hanya bersifat deskriptif,
tetapi juga menyajikan sikap dan gagasan penulisnya tentang apa yang seharusnya.
Upaya lainnya untuk menunjukkan kegunaan dari sebuah artikel adalah dengan jalan
melihat kemungkinan untuk menerapkan temuan pada satu yurisdiksi ke dalam
yurisdiksi yang lain, atau dengan memperhatikan persoalan yang belum dibahas oleh
putusan, peraturan, atau artikel lainnya.
Volokh menyarankan beberapa hal yang dapat dilakukan untuk meningkatkan
kegunaan dari sebuah artikel. Pertama, fokus pada persoalan/issue yang belum
terpecahkan. Kedua, menerapkan argumen/gagasan penulis pada yurisdiksi yang
berbeda. Ketiga, menambahkan telaah yang bersifat perskriptif untuk temuan awal
yang bersifat deskriptif. Keempat, “menghaluskan” gagasan awal yang menuntut
perubahan mendasar dengan memperhatikan penerimaan publik atau implikasi politis
dari gagasan tersebut. Kelima, menghindari penggunaan jargon-jargon retoris, yang
membuat artikel menjadi tidak persuasif, untuk memastikan bahwa argumen yang
diajukan penulis tidak mengalienasi penulis dari pembacanya.27
27
Ibid., hlm. 18-21.
28
Eugene Volokh (1998), op cit., hlm. 248.
29
Mark K. Osbeck, op cit., hlm. 425-426.
30
Gerald Lebovits (2006), op cit., hlm. 64.
Menulis di Jurnal Hukum, Andri Gunawan Wibisana 479
diperlihatkan oleh Fajans dan Falk yang, sebagaimana dikutip oleh Robson,
menyatakan bahwa “[i]deally, your choice of subject will be informed equally by your
audience’s needs and concerns and by your own interests.”31 Selain kedua hal di atas,
topik yang dipilih haruslah merupakan topik yang menarik untuk ditulis (interesting),
dapat ditulis (manageable), dan penting (significant) untuk ditulis.32 Singkatnya, topik
artikel harus lah merupakan hal yang pada satu sisi menarik bagi penulis, dan pada sisi
lain berguna bagi orang lain.
31
Ruthann Robson, op cit., hlm. 197
32
Richard Delgado, loc cit.
33
Eugene Volokh (1998), op cit., hlm. 252.
34
Ibid.
35
Ibid.
36
Ibid.
37
Ibid.
38
Volokh memberikan conoth gambaran apa itu pernyataan yang terlalu retoris dan bagaimana
mengatasinya. Dalam hal ini, Volokh berpendapat bahwa alih-alih menyatakan bahwa “Single-sex
educational programs should be legal if they're reasonable”, penulis lebih baik menyatakan “Single-sex
educational programs should be legal if they're narrowly tailored to an educational approach that's
been shown effective in controlled studies”. Ibid., hlm. 253.
39
Pamela Samuelson, op cit., hlm. 151-152.
480 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.2 April-Juni 2019
1. Isi Pendahuluan
Menurut Volokh, terdapat setidaknya tiga hal yang harus dilakukan oleh penulis
di dalam pendahuluan. Pertama, penulis harus dapat menunjukkan adanya masalah
yang perlu untuk dibahas dan dipecahkan.42 Kimble menyarankan agar penulis
membuat ilustrasi dari persoalan yang kongret.43 Semakin kongkret sebuah masalah,
semakin penting pula masalah tersebut.
Kedua, penulis harus menunjukkan gagasan (claim) yang hendak disampaikan
secara tegas, singkat, dan jelas. Dalam kaitannya dengan hal ini, penulis pun harus
mampu menunjukkan bahwa gagasan yang diusulkannya adalah gagasan yang novel,
nonobvious, dan useful.44
Ketiga, penulis harus mampu membuat framing yang baik dari masalah hendak
dibahasnya.45 Dalam hal ini, penulis harus dengan baik mampu menyampaikan
gagasan dan masalah kepada pembaca dalam kerangka atau perspektif tertentu. Jika
seseorang hendak menulis tentang bagaimana pencegahan dan pengendalian
pencemaran karena sampah plastik, topik seperti ini dapat didekati dari perspektif
yang berbeda-beda. Misalnya saja, topik ini dapat didekati dengan melihat bagaimana
efektivitas kebijakan pengurangan kantong plastik berbayar. Topik ini juga dapat
didekati dari penerapan kewajiban standar tertentu dari kantong plastik atau bahkan
pelarangan. Setiap pendekatan ini akan melahirkan cara pandang yang berbeda,
sehingga akan sulit rasanya apabila penulis menyajikan seluruh pendekatan tersebut di
dalam satu artikel.
Selain dari permasalahan dan gagasan (claim atau thesis), bagian pendahuluan
dari sebuah artikel juga harus memuat struktur artikel, yang akan memberikan peta
jalan (roadmap) atau kerangka artikel, yang memberikan gambaran mengenai rencana
pembahasan di dalam artikel yang ditulis. Peta jalan ini sering kali dianggap sebagai
bagian yang harus ada dari artikel pada jurnal hukum di AS, sehingga apabila seorang
penulis tidak membuatnya, maka editor jurnal (yang baik) akan menambahkan peta
jalan ini di dalam artikel.46 Biasanya peta jalan ini muncul pada (beberapa) paragraf
terakhir dari bagian pendahuluan.47
40
Ibid., hlm. 157.
41
Ibid., hlm. 158.
42
Eugene Volokh (1998), op cit., hlm. 254
43
Joseph Kimble, “Tips for Better Writing in Law Reviews (and Other Journals)”, Thomas M.
Cooley Law Review, Vol. 30 (2013), hlm. 201.
44
Eugene Volokh (1998), loc cit.
45
Ibid., hlm. 254-255.
46
C. Steven Bradford, op cit., hlm. 18.
47
Emily Bolles, “Introductions and Conclusions for Scholarly Papers”, The Writing Center at
Georgetown University Law Center, 2015, tersedia pada:
<https://www.law.georgetown.edu/academics/academic-programs/legal-writing-scholarship/writing-
Menulis di Jurnal Hukum, Andri Gunawan Wibisana 481
2. Metodologi?
Pada beberapa kesempatan menjadi mitra bebestari, beberapa jurnal hukum
meminta adanya penilaian mengenai kesesuaian antara topik artikel dengan
metodologi yang dipilih. Permintaan adanya penilaian mengenai metodologi ini
menunjukkan bahwa metodologi dianggap sebagai sesuatu yang penting di dalam
penulisan artikel hukum.
Pada umumnya, artikel hukum di Indonesia menuliskan pada bagian
metodologinya kalimat yang kira-kira berbunyi: “Artikel ini ditulis dengan
menggunakan metode penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian yang menggunakan
studi dokumen atau kepustakaan. Artikel ini menggunakan bahan hukum primer
berupa…., bahan hukum sekunder berupa…”.
Penjabaran metodologi seperti ini bermasalah karena dua hal. Pertama, apabila
artikel tersebut hendak ditulis untuk jurnal internasional, maka istilah “yuridis
normatif” sebagai penelitian berbasis bahan pustaka/dokumen, adalah istilah yang
membingungkan dan perlu dihindari. Di negara lain, penelitian normatif sepertinya
tidaklah diartikan sebagai penelitian kepustakaan. Smits, misalnya, mengartikan
penelitian normatif tidak sebagai bentuk data, tetapi sebagai sifat penelitian mengenai
apa yang seharusnya “what ought to be”.49 Kedua, menjelaskan metodologi dengan
jalan menerangkan jenis data/bahan hukum pada akhirnya akan membuat bagian
metodologi ini menjadi bagian yang membosankan karena tidak ada perbedaan yang
mendasar di antara satu artikel dengan artikel lainnya.
Mayoritas, kalau bukan semua, artikel hukum di jurnal hukum di AS atau
Eropa tidak akan memuat bagian mengenai metodologi dalam arti jenis data atau
sebagai keterangan mengenai bahan hukum. Pada jurnal-jurnal ini, metodologi
biasanya akan diterangkan hanya jika artikel didasarkan pada penelitian empiris (non-
doktrinal), yang memang sangat penting untuk menjelaskan bagaimana, di mana, dan
kapan data penelitian diperoleh.
Untuk artikel yang didasarkan pada penelitian kepustakaan, yang di Indonesia
sering kali disebut dengan penelitian yuridis normatif, maka yang diterangkan
bukanlah mengenai jenis data dan bagaimana bahan hukum diperoleh, tetapi
bagaimana bahan hukum (data) tersebut akan dianalisa. Dalam hal ini, yang perlu
diterangkan adalah bagaimana pembahasan akan artikelnya akan didasarkan pada
pendekatan teoretis tertentu, misalnya dengan menggunakan analisa ekonomi,
sosiologi hukum, atau mungkin perbandingan hukum. Pendekatan teoretis ini
memegang peranan penting dalam menentukan kualitas artikel, karena sebuah artikel
yang baik tidak boleh hanya merupakan tulisan yang bersifat deskriptif, tetapi harus
juga mampu memberikan analisa berdasarkan pendekatan tertentu. Pendekatan yang
digunakan perlu ditulis di dalam artikel, namun tanpa menyebutnya sebagai
metodologi.
50
Sebagai rule of thumb, dapat kiranya digunakan patokan bahwa Pendahuluan kira-kira
sebanyak 10% dari total panjang artikel. Artinya, sebuah artikel dengan panjang Pendahuluan 10
halaman, maka panjang artikel keseluruhannya kira-kira adalah 100 halaman.
51
Eugene Volokh (2007), op cit., hlm. 42.
52
Neil Gunningham, “Environment Law, Regulation and Governance: Shifting Architectures”,
Journal of Environmental Law, Vol. 21:2 (2009), hlm. 179-180.
Menulis di Jurnal Hukum, Andri Gunawan Wibisana 483
architectures of environmental law, regulation and governance and how they have
changed since the first major environmental legislation was enacted in the 1970s”.53
Kedua, bagian pendahuluan dimulai dengan contoh (masalah) kongkret yang
mendorong pembaca untuk bertanya-tanya bagaimana contoh (masalah) kongkret
tersebut akan diatasi. Pendahuluan demikian tidak hanya akan membuat masalah yang
akan dibahas menjadi lebih tegas, tepapi juga akan menunjukkan bahwa masalah
tersebut penting untuk dibahas.54 Contoh dari model bagian pendahuluan seperti ini
dapat dilihat dari tulisan Kysar di bawah ini:
“Climate change is coming to the common law. Plaintiffs in several cases
have pressed tort claims against carefully composed groups of greenhouse
gas emitting defendants, seeking monetary damages and injunctive relief to
lessen the threat and financial burden of climate change’s harmful impacts.
Surprisingly, not all of these cases have been dead on arrival. Although
malleable and expedient doctrines such as standing, political question, and
preemption might be invoked to justify dismissal, at least one climate change
tort suit instead was poised to proceed to the merits, at least until the
Supreme Court granted review of the Second Circuit Court of Appeals’
refusal to dismiss the suit on justiciability grounds. Depending on the
outcome of that appeal, the question of whether greenhouse gas emissions
constitute an actionable tort under federal or state law, much discussed in
law journals, may eventually receive full judicial airing—[catatan kaki
diabaikan].”55
53
Ibid., hlm. 180. Contoh lain dari artikel yang dimulai dengan pertanyaan dapat dilihat pada,
misalnya: Richard B. Stewart, “A New Generation of Environmental Regulation?”, Capital University
Law Review, Vol. 29 (2001); atau Daniel Schwarcz, “Shame, Stigma, and Crime: Evaluating the
Efficacy of Shaming Sanctions in Criminal Law”, Harvard Law Review, Vol. 116:7 (May, 2003).
54
Eugene Volokh (2007), op cit., hlm. 43-44.
55
Douglas A. Kysar, “What Climate Change Can Do about Tort Law”, Environmental Law,
Vol. 41 (2011), hlm. 2.
56
Ibid., hlm. 44-47.
484 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.2 April-Juni 2019
Kutipan dari Posner dan Sunstein di atas menyajikan cerita kongkret yang
masih membekas pada pembaca, yaitu baru empat tahun dari tahun publikasi.
Selanjutnya, kedua pengarang kemudian memaparkan bagaimana penghitungan
“harga” nyawa manusia di AS dibentuk oleh dua cabang hukum, yaitu hukum
administrasi yang memberikan “harga” melalui Cost-Benefit Analysis (CBA), dan
hukum pertanggungjawaban perdata (torts) yang memberikan “harga” atas kerugian
melalui pengadilan. Sebelum sampai kepada gagasannya untuk menunjukkan bahwa
kedua cabang hukum tersebut dapat belajar satu-sama lain terkait penghitungan
“harga” nyawa, kedua pengarang memaparkan bagaimana hukum administrasi
(melalui regulasi) dan hukum perdata (melalui torts) berbeda dalam cara, penekanan,
dan nilai apa saja yang perlu diperhatikan ketika menentukan “harga” nyawa
manusia.59
Keempat, bagian pendahuluan dimulai dengan pemaparan kontroversi yang
sedang terjadi.60 Case dalam paragraf pembukanya menerangkan kritik terhadap
pendekatan “Atur dan Awasi” (command and control, CAC) sebagai upaya
mendorong munculnya ketaatan (compliance) dalam pengelolaan lingkungan.
Menurut Case,
“Calls are universal among scholars and policy analysts for innovation in
creation and implementation of American environmental regulatory policy.
57
Ibid., hlm. 2312-2313.
58
Eric Posner dan Cass R. Sunstein, op cit., hlm. 537.
59
Ibid., hlm. 538-543,
60
Eugene Volokh (2007), op cit., hlm. 47-50.
Menulis di Jurnal Hukum, Andri Gunawan Wibisana 485
Kritik ini menempatkan CAC sebagai pusat kontroversi, yang kemudian akan
dibandingkan dengan pendekatan lainnya, yaitu Environmental Management System
(EMS) sebagai pendekatan yang lebih mengandalkan kesukarelaan. Artikel Case
tersebut merupakan pembahasan superioritas pendekatan alternatif ini dibandingkan
dengan CAC.62
Kelima, bagian pendahuluan dimulai dengan pandangan atau aturan yang
hendak dibantah.63 Lihat misalnya kutipan paragraf pembuka dari artikel dari Weinrib
berikut ini:
“The theories of civil recourse and corrective justice are so closely related
that when Ben Zipursky was in Toronto several years ago presenting his
paper Civil Recourse, Not Corrective Justice, I publicly asked him whether
the word “not” in the title was a typo. Civil recourse takes over the central
insights of corrective justice: that the conceptual apparatus of tort law ought
to be understood in its own terms rather than as a disguise for instrumental
considerations; that tort law is not an operation of distributive justice; that
tort liability is a response to wrongdoing; and that wrongs are violations of
norms that relate the plaintiff and the defendant to each other. Although
acknowledging their indebtedness to corrective justice (and indeed saluting it
as “a major advance in modern interpretive tort theory”), John Goldberg
and Ben Zipursky nonetheless have always insisted that civil recourse is
significantly different.”64
61
David W. Case. “Changing Corporate Behavior Through Environmental Management
Systems”, William and Mary Environmental Law and Policy Review, Vol. 31 (2006), hlm. 75-76.
62
Ibid., hlm. 77.
63
Eugene Volokh (2007), op cit., hlm. 51-52.
64
Ernest J. Weinrib, “Civil Recourse and Corrective Justice”, Florida State University Law
Review, Vol 39 (2011), hlm. 273.
65
Lisa Heinzerling, “Knowing Killing and Environmental Law”, NYU Environmental Law
Journal, Vol. 16 (2006), hlm. 521.
486 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.2 April-Juni 2019
1. Struktur
Di Indonesia, seringkali ditemukan jurnal hukum yang meminta agar struktur
artikel ditulis berdasarkan format: Pendahuluan—Metodologi—Data/Hasil—
Diskusi—Kesimpulan, atau Pendahuluan—Pembahasan—Kesimpulan. Kedua format
ini bukan hanya kaku dan lebih cocok untuk jurnal non hukum, tetapi juga membatasi
penulis untuk menyusun argumennya sesuai dengan persoalan (pertanyaan) yang telah
dirumuskan sebelumnya. Menurut Samuelson, struktur artikel harus disusun
sedemikian rupa sehingga memungkinkan penulis untuk mengintegrasikan fakta, data,
atau analisa putusan dan peraturan ke dalam argumen yang hendak dibangunnya.
66
Alhaji B.M. Marong, “From Rio to Johannesburg: Reflections on the Role of International
Legal Norms in Sustainable Development”, Georgetown International Environmental Law Review, Vol.
16 (2003), hlm. 21-22.
Contoh lainnya dapat ditemukan dalam Maggio, yang menulis dalam paragraf pertama dari
artikelnya tentang fokus dari artikel tersebut: “[t]his article focuses on the "equity" aspect of sustainable
development, especially as it relates to conservation of resources of biological diversity. This article
discusses…”intergenerational equity,” and analyzes its current applications in international law.”
Lihat: G.F. Maggio, “Inter/intra-generational Equity: Current Applications under International Law for
Promoting the Sustainable Development of Natural Resources”, Buffalo Environmental Law Journal,
Vol. 4 (1997), hlm. 162.
67
M.H. Sam Jacobson, “The Legal Writer: What's Your Point? Tips For Writing Clearly”,
Oregon State Bar Bulletin, Vol. 71 (2011), hlm. 13.
Menulis di Jurnal Hukum, Andri Gunawan Wibisana 487
Karena sebuah artikel disusun untuk meyakinkan pembaca dengan gagasan penulis,
maka struktur artikel tidak boleh menghambat penulis untuk menyampaikan
gagasannya tersebut.68
Uraian Samuelson di atas menunjukkan bahwa sebenarnya tidak ada batasan
atau konvensi khusus terkait struktur sebuah artikel. Namun demikian, beberapa pola
dapat lah kiranya disampaikan di sini.
Menurut Lebovits, standar jurnal hukum di AS biasanya merumuskan struktur
sebuah artikel dalam bentuk:69
1. Pendahuluan, yang biasanya memuat ruang lingkup pembahasan dan kerangka
(peta jalan) artikel;
2. Bagian latar belakang (overview)
3. Bagian diskusi dari peraturan atau putusan pengadilan
4. Bagian analisa
5. Bagian diskusi tentang kebijakan/respon yang diusulkan
6. Kesimpulan.
68
Pamela Samuelson, op cit., hlm. 152-155.
69
Gerald Lebovits (2006), op cit., hlm. 51 dan 64.
70
Ibid., hlm. 51.
71
Perlu diketahui bahwa diskusi di sini tidak hanya dibatasi pada unsur-unsur menurut
peraturan perundang-undangan saja, tetapi juga harus termasuk putusan pengadilan yang menafsirkan
atau menerapkan aturan hukum yang didiskusikan tersebut.
72
Shari Motro, “The Three-Act Argument: How to Write a Law Article that Reads Like a
Good Story”, Journal of Legal Education, Vol. 64 (2015), hlm. 707-708.
73
Ibid., hlm. 708.
488 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.2 April-Juni 2019
74
Ibid.
75
Ibid.
76
Ibid., hlm. 709.
77
Ibid.
78
Motro menjelaskan pula bahwa apabila artikel dimaksudkan untuk mendukung, dan bukan
membantah, sebuah status quo, maka struktur tulisan dapat dimulai dari pembahasan tentang adanya
upaya untuk mengganti status quo (Bagian I). Menyusul kemudian bantahan dari penulis tentang upaya
penggantian tersebut (Bagian II). Ibid.
Karena Motro tidak menjelaskan bentuk Bagian III dan penutupnya, maka sepertinya Bagian
III ini akan tetap merupakan rekonsiliasi (sintesa) antara Bagian I dan Bagian II, sedangkan penutup
tetap sebagai epilog dari artikel.
Menulis di Jurnal Hukum, Andri Gunawan Wibisana 489
Ada pun struktur dari artikel tersebut akan terlihat seperti di bawah ini:79
Pendahuluan
I. Status Quo dan Pembenarannya
A. Penjelasan tentang Status Quo
B. Pembenaran atas Status Quo
1. Pembenaran 1
2. Pembenaran 2
II. Argumen Bantahan terhadap Status Quo
A. Subbagian 1
B. Subbagian 2
III. Proposal/implikasi hukum atau kebijakan
Kesimpulan
79
Diadaptasi dari: Ibid., hlm. 710.
80
Eugene Volokh (2007), op cit., hlm. 25-27.
81
Ibid., hlm. 24-25.
82
Michael J. Madison, “The Lawyer as Legal Scholar”, University of Pittsburgh Law Review,
Vol. 65 (2003), hlm. 71.
83
Joseph Kimble, op cit., hlm. 201-202.
490 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.2 April-Juni 2019
penulisnya, pada akhirnya akan mengarah pada artikel yang baik. Pada dasarnya,
setiap pernyataan yang merujuk pada hukum atau fakta tertentu harus mencantumkan
rujukan dan referensi, yang biasanya dituliskan pada catatan kaki.84
Selain itu, referensi yang baik juga merupakan bukti adanya kejujuran dari
penulis, yang memberikan kredit pada sumber acuan artikelnya. Karenanya, penulis
juga diminta untuk akurat dalam menuliskan referensinya, sebab tidak akuratnya
referensi yang digunakan dapat berakibat pada hilangnya kepercayaan pembaca pada
apapun yang dikatakan oleh penulis.85
Selain untuk menuliskan sumber referensi, catatan kaki/akhir memiliki fungsi
lain, yaitu:86
a) Memberikan informasi mengenai contoh yang mengilustrasikan pernyataan
penulis di dalam teks;
b) Mendemonstrasikan kedalaman penelitian yang dilakukan;
c) Memberikan penghargaan pada sumber yang telah menjadi acuan dalam penulisan
artikel;87
d) Mendemonstrasikan kedalaman pemahaman penulis tentang apa yang sedang
ditulisnya;
e) Mengangkat/mendiskusikan hal tertentu yang terkait dengan gagasan utama
tulisan, tetapi akan mengaburkan pembahasan apabila hal tersebut didiskusikan di
dalam teks utama.
f) Membahas keberatan dari pembaca yang mungkin muncul dan tidak dapat
diabaikan, tetapi tidak dapat dibahas panjang lebar di dalam teks utama karena
akan mengganggu alur pembahasan.
84
Lebovits menyatakan bahwa penulisan referensi dimaksudkan untuk mendukung argumen
yang diajukan, sehingga berarti bertujuan untuk memperkuat artikel, dan bukan untuk memperpanjang
artikel. Gerald Lebovits, “Legal-Writing Myths”, The Scribes Journal of Legal Writing, Vol. 16 (2014),
hlm. 121.
Perlu pula disampaikan di sini bahwa tidak semua ahli hukum tampaknya setuju dengan
manfaat dari referensi (catatan kaki). Hakim Mikva, seorang mantan hakim pada pengadilan banding
Circuit, yang ketika mahasiswa merupakan editor in chief dari University of Chicago Law Review,
menulis: “I have mentioned footnotes, and I might as well disclose my real bias against them. I stopped
using them in my opinions and still do not use them for any substantive purpose. I think footnotes are an
abomination. If God had intended the use of footnotes to be a norm, He would have put our eyes in
vertically instead of horizontally….” Lihat: Honorable Abner J. Mikva, “Law Reviews, Judicial
Opinions, and Their Relationship To Writing”, Stetson Law Review, Vol. XXX (2000), hlm. 524.
Selanjutnya, Mikva juga menyebut paksaan untuk menggunakan referensi (catatan kaki)
sebanyak mungkin sebagai virus yang perlu disingkirkan. Satu-satunya penyesalan dari Hakim Mikva
adalah “I just wish it had not taken me so long to get rid of the footnote virus and that I did not still
secretly think that maybe the number of footnotes does have something to do with the worthiness of the
writing.” Ibid., hlm. 525.
Bradford menduga bahwa keengganan, atau lebih tepatnya pemberontakan, Hakim Mikva
terhadap tuntutan untuk menggunakan catatan kaki pada akhirnya berkontribusi pada kegagalannya
menjadi hakim agung di AS. Karena itu, kejadian ini didisebut dengan “Mikva mistake”, sebuah
penolakan atas penggunaan catatan kaki yang berakhir pada kegagalan seseorang mencapai karir hukum
yang lebih tinggi. Lihat: C. Steven Bradford, op cit., hlm. 24.
85
Joseph Kimble, op cit., hlm. 202.
86
Pamela Samuelson, op cit., hlm. 161.
87
Dalam bahasa Lebovits: “[f]ootnotes and endnotes provide authority for assertions and
attribute borrowed material. They also get your name and paper into the stream of discussion.By
quoting others, you’ll get noticed by those you quoted. In turn, they’ll quote you. Then you and your
paper become immortal”. Lihat: Gerald Lebovits (2006), op cit., hlm. 51.
Menulis di Jurnal Hukum, Andri Gunawan Wibisana 491
kaki/akhir berfungsi sebagai textual footnote, yaitu keterangan mengenai sumber yang
dijadikan acuan oleh penulis di dalam teksnya. Referensi dapat juga berfungsi sebagai
authoritative footnote, yang menjelaskan, membuktikan, atau mengindikasikan bahwa
argumen yang digunakan penulis didasarkan pada sumber/pandangan yang autoritatif.
88
3. Bahasa
Samuelson menulis bahwa di dalam sebuah artikel, hal yang sama pentingnya
dengan adanya gagasan (thesis) adalah adanya kemampuan untuk menyampaikan
88
Richard Delgado, op cit., hlm. 451.
89
Anonymous, The Bluebook: A Uniform System of Citation, 19th Ed. (The Harvard Law
Review Association, 2010).
90
Anonymous, “OSCOLA: Oxford University Standard for the Citation of Legal Authorities”,
th
4 ed., Faculty of Law, University of Oxford, tersedia pada:
<https://www.law.ox.ac.uk/sites/files/oxlaw/oscola_4th_edn_hart_2012.pdf>
91
Hal ini berbeda dengan di Indonesia, di mana disyaratkan adanya informasi yang lengkap
tentang referensi di dalam catatan kaki, dan pada saat yang sama juga disyaratkan adanya daftar
pustaka. Sebuah pemborosan halaman.
92
Untuk contoh penggunaan parafrase, lihat misalnya: Lisa Webley, Legal Writing, 4th ed.
(London: Routledge, 2016), hlm. 108-110.
492 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.2 April-Juni 2019
93
Pamela Samuelson, op cit., hlm. 152.
94
Gerald Lebovits (2014), op cit., hlm. 113.
95
Suzanne E. Rowe, “The Legal Writer: Keep It Simple: ‘Short and Sweet’ Brings Clarity to
Legal Writing”, Oregon State Bar Bulletin, Vol. 68 (2008), hlm.
96
Douglas E. Abrams, “Writing It Right: Long Ideas, Short Words”, Journal of the Missouri
Bar, Vol. 72 (2016), hlm. 148.
97
Ibid.
98
Suzanne E. Rowe, op cit., hlm. 12-13.
Rowe mengusulkan agar kalimat terdiri dari paling banyak 25 kata. Jika ada satu dan lain hal
satu kalimat memiliki lebih dari 25 kata, maka pada bagian lain harus diseimbangkan dengan kalimat
yang kurang dari 25 kata. Ibid.
Menulis di Jurnal Hukum, Andri Gunawan Wibisana 493
99
Ibid., hlm. 13.
494 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.2 April-Juni 2019
V. CATATAN PENUTUP
100
Ryan Deane, Make Your Writing Flow: A Practical Guide to Transitional Words and Phrases
(Create Space Independent Publishing Platform, 2015).
101
Untuk diskusi lebih jauh tentang penyusunan paragraf, lihat: E. Scott Fruehwald, Legal
Writing Exercises: A Practical Guide to Clear and Persuasive Writing for Lawyers (ABA Publishing,
2014), hlm. 105-108.
Buku Komposisi sangat penting untuk diperhatikan karena buku ini juga mengungkapkan
bagaimana menyusun paragraf yang baik dan apa saja variasi penyusunan paragraf. Lihat: Gorys Keraf,
Komposisi, Cet. 8 (Jakarta: Penerbit Nusa Indah, 2016), hlm. 62-105.
102
Lisa Webley, op cit., hlm. 25-26.
Menulis di Jurnal Hukum, Andri Gunawan Wibisana 495
gaya bagi penulisan artikel hukum di Indonesia, sehingga artikel di Indonesia memiliki
kualitas yang tidak berbeda dengan artikel yang dimuat di dalam jurnal-jurnal hukum
di negara lain. Sebuah artikel yang cemerlang tetaplah akan cemerlang, tanpa peduli
apakah artikel tersebut ditulis dalam Bahasa Indonesia atau bahasa lain. Jika sudah
demikian, dapatlah kita berharap bahwa jurnal-jurnal hukum Indonesia menjadi jurnal
bergengsi, yang berisi perdebatan mutakhir dan bernas, bukan hanya dari para penulis
Indonesia tetapi juga dari para sarjana di dunia.
DAFTAR PUSTAKA
Kysar, Douglas A. “What Climate Change Can Do about Tort Law”. Environmental
Law, Vol. 41 (2011).
Lebovits, Gerald. “Academic Legal Writing: How to Write and Publish”. New York
State Bar Association Journal, Vol. 78:1 (2006).
Lebovits, Gerald. “Legal-Writing Myths”. The Scribes Journal of Legal Writing, Vol.
16 (2014).
Madison, Michael J. “The Lawyer as Legal Scholar”, University of Pittsburgh Law
Review, Vol. 65 (2003).
Maggio, G.F. “Inter/intra-generational Equity: Current Applications under
International Law for Promoting the Sustainable Development of Natural
Resources”. Buffalo Environmental Law Journal, Vol. 4 (1997).
Marong, Alhaji B.M. “From Rio to Johannesburg: Reflections on the Role of
International Legal Norms in Sustainable Development”. Georgetown
International Environmental Law Review, Vol. 16 (2003).
Mikva, Honorable Abner J. “Law Reviews, Judicial Opinions, and Their Relationship
to Writing”. Stetson Law Review, Vol. XXX (2000).
Motro, Shari. “The Three-Act Argument: How to Write a Law Article that Reads Like
a Good Story”. Journal of Legal Education, Vol. 64 (2015)
Osbeck, Mark K. “What Is “Good Legal Writing” and Why Does It Matter?”. Drexel
Law Review, Vol. 4 (2012).
Posner, Eric dan Cass R. Sunstein, “Dollars and Death”. University of Chicago Law
Review, Vol. 72 (2005).
Robson, Ruthann. “Law Students as Legal Scholars: An Essay/Review of Scholarly
Writing for Law Students and Academic Legal Writing”. City University of
New York Law Review, Vol. 7:1 (2004).
Rowe, Suzanne E. “The Legal Writer: Keep It Simple: ‘Short and Sweet’ Brings
Clarity to Legal Writing”. Oregon State Bar Bulletin, Vol. 68 (2008).
Samuelson, Pamela. “Good Legal Writing: of Orwell and Window Panes”. University
of Pittsburgh Law Review, Vol. 46 (1984).
Schwarcz, Daniel. “Shame, Stigma, and Crime: Evaluating the Efficacy of Shaming
Sanctions in Criminal Law”. Harvard Law Review, Vol. 116:7 (May, 2003).
Siems, Mathias M. “Legal Originality”. Oxford Journal of Legal Studies, Vol. 28:1
(2008).
Smits, Jan M. The Mind and Method of the Legal Academic (Cheltenham, UK:
Edward Elgar, 2012).
Sternberg, David. How to Complete and Survive a Doctoral Dissertation. New York:
St. Martin’s Press, 1981.
Stewart, Richard B. “A New Generation of Environmental Regulation?”. Capital
University Law Review, Vol. 29 (2001)
Volokh, Eugene. “Writing a Student Article” Journal of Legal Education, Vol. 48:2
(June 1998).
Volokh, Eugene. Academic Legal Writing: Law Review Articles, Student Notes,
Seminar Papers, and Getting on Law Review, 3rd ed. New York: Foundation
Press, 2007.
Webley, Lisa. Legal Writing, 4th ed. London: Routledge, 2016.
Weinrib, Ernest J. “Civil Recourse and Corrective Justice”. Florida State University
Law Review, Vol 39 (2011).