PENDAHULUAN
1
BAB III. TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
Abses otak ( abses serebri ) adalah infeksi pada otak yang diselubungi
kapsul dan terlokalisasi pada satu atau lebih area di dalam otak. Abses otak
terdapat pada semua usia. Terbanyak pada usia dekade kedua dari kehidupan,
antara 20-50 tahun. Perbandingan antara penderita laki-laki dengan
perempuan adalah 3 : 1 atau 3 : 2.
2
kerusakan tengkorak kepala oleh karena kelainan bawaan, seperti kerusakan
tegmentum timpani atau karena kelainan yang didapat seperti pada kerusakan
tulang temporal oleh kolesteatoma, memberi jalan untuk penyebaran infeksi ke
dalam lobus frontalis atau serebelum. Infeksi juga dapat menyebar secara
retrograd tromboflebitis pada cabang-cabang vena di temporal. Cabang- cabang
vena ini bergabung menuju vena-vena kortikal atau ke salah satu sinus venosus
(lateral, inferior, atau petrosal superior).
Abses otak dapat juga timbul akibat penyebaran secara hematogen dari
infeksi yang letaknya jauh dari otak seperti pada infeksi paru sistemik (empiema,
abses paru, bronkiektasis, pneumonia) atau pada endokarditis bakterialis akut dan
subakut dan pada penyakit-penyakit jantung lain seperti Tertalogi Fallot. Abses
yang terbentuk sering sekali multipel dan terdapat pada substansia alba dan
substansis grisea dari jaringan otak.
Dibeberapa negara, penyebaran infeksi secara sistemik ini frekuensinya
terlihat meningkat. Lokalisasi abses otak yang penyebarannya secara hematogen
ini sesuai dengan peredaran darah, paling sering pada daerah yang didistribusi
oleh arteri serebri media, terutama pada lobus parietalis. Bisa juga pada daerah
lain seperti serebelum dan batang otak. Krayenbuhl dan Garfiels mendapatkan
endokarditis subakut bersama sama dengan penyakit jantung bawaan ataupun
penyakit jantung rematik yang amenjadi penyebab abses otak.
Lesi primer lainnya bisa juga akibat pustula kulit, infeksi gigi, abses tonsil,
osteomielitis dan septikemia. Sebaga penyebab abses otak yang tidak diketahui,
persentasenya cukup tinggi, antara 20-37%.
Pada penderita penyakit jantung bawaan ataupun kelainan bentuk arteri dan
vena paru terutama yang didapati adanya aliran darah pintas dari kanan ke
kiri, sangat mudah terkena abses otak, oleh karena darahnya tidak disaring
melalui kapiler-kapiler paru. Polisitemia dapat menyebabkan infark-infark kecil
di otak yang mengakibatkan daerah iskemik untuk perkembangan organisme.
Pada keadaan bakterimia jarang menyebabkan terbentuknya abses otak oleh
karena “Blood brain barrier” yang masih baik sangat resisten terhadap
infeksi.
3
Sebagai faktor pencetus lain adalah terjadinya trauma tembus pada kepala,
terutama bila didapatkan adanya benda asing yang tertinggal di dalam
jaringan otak, umpamanya tulang.
Luka tembak akibat senjata api dapat menyebabkan abses otak setelah
beberapa lama dari kejadiannya, tetapi ini jarang di jumpai oleh karena biasanya
logam panas tersebut steril. Untuk mencegah terjadinya abses otak akibat trauma
tembus kepala, dinjurkan untuk segera melakukan “debridenment” .
Patah tulang dasar tengkorak yang disertai dengan kebocoran cairan
serebrospinal dapat menyebabkan meningitis yang mengakibatkan terjadinya
abses otak. Pada kraniotomi, bila terjadi infeksi osteomielitis dari “bone
flap”, kemungkinan dapat menyebabkan abses otak. Demikian pula dengan
pemakaian implan, bila terinfeksi dapat menyebabkan abses otak.
Akhir-akhir ini terlihat adanya peningkatan insiden abses otak pada
penderita penyakit imunologik. Termasuk dalam kelompok ini yaitu penderita
dengan penyakit kronis seperti pada penderita yang menggunakan kemoterapi
untuk penyakit-penyakit malignan yang dapat menekan kekebalan tubuh,
penderita yang mendapat pengobatan dengan steroid ataupun bahan
sitotoksik, antibiotika dengan kerja luas dan penderita dengan sindroma
kegagalan sistem kekebalan tubuh (AIDS).
Pernah dilaporkan abses otak disebabkan oleh organisme parasit, seperti
Schistosomiasis atau amoeba, tetapi sangat jarang. Juga oleh jamur seperti
Aktinimikosis, okardiosis, Candida Albicans dan lain-lain . Abses otak oleh
bakteri multosida yang tumbuh saprofit pada saluran pencernaan binatang
piaraan seperti anjing dan kucing pernah juga dilaporkan. Infeksi biasanya
karena gigitan hewan tersebut.
4
1. Early cerebritis ( hari ke 1 - 3 )
Terjadi reaksi radang lokal dengan infiltrasi polimorfonuklear leukosit,
limfosit dan plasma sel dengan pergeseran aliran darah tepi. Dimulai
pada hari pertama dan meningkat pada hari ke-tiga. Sel-sel radang
terdapat pada tunika adventisia dari pembuluh darah dan mengelilingi
daerah nekrosis infeksi. Peradangan perivaskuler ini disebut cerebritis.
Pada waktu ini terjadi edema sekitar otak dan peningkatan efek dari
massa oleh karena pengembangan abses.
Gambaran CT Scan:
Pada hari pertama terlihat daerah yang hipodens dengan
sebagian gambaran seperti cincin.
Pada hari ketiga gambaran cincin lebih jelas, sesuai
derngan diameter cerebritisnya, didapati mengelilingi pusat
nekrosis.
5
3. Early capsule formation ( hari ke 10 – 13 )
Pusat nekrosis mulai mengecil, makrofag-makrofag menelan “acelluler
debris” dan fibroblas meningkat dalam pembentukan kapsul. Lapisan
fibroblas membentuk anyaman retikulum, mengelilingi pusat nekrosis. Di
dalam ventrikel, pembentukan dinding sangat lambat oleh karena
kurangnya vaskularisasi di daerah substansi alba dibandingkan dengan
substansi grisea. Pembentukan kapsul yang terlambat dipermukaan
tengah memungkinkan abses membesar ke dalam substansia alba. Bila
abses cukup besar, dapat robek ke dalam ventrikel lateralis. Pada
pembentukan kapsul, terlihat daerah anyaman retikulum yang tersebar
membentuk kapsul kollagen. Mulai meningkatnya reaksi astrosit di
sekitar otak.
Gambaran CT Scan :
Hampir sama dengan fase cerebritis, tetapi pusat nekrosis
terlihat lebih kecil.
Kapsul terlihat lebih tebal.
6
3.4 Gambaran Klinis
Penderita datang dengan keluhan berupa sakit kepala, muntah-muntah,
kejang dan bisa disertai gangguan penglihatan. Pada pemeriksaan fisik didapatkan
demam, kaku kuduk, papil bendung, bisa pula dijumpai pupil anisokor, afasia,
hemiparese, parastesia, nistagmus ataupun ataksis. Gejala- gejala tersebut
tergantung pada berbagai faktor seperti lokasi abses, virulensi dari bakteri
penyebab, apakah edema otak hebat dan kondisi tubuh atau daya tahan si
penderita sendiri. Tidak dijumpai tanda-tanda spesifik dan gejala yang khas
untuk suatu abses otak.
Paling sering dijumpai tanda-tanda umum peningkatan tekanan
intrakranial. Bisa dijumpai tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial
tanpa tanda-tanda infeksi pada waktu penderita datang ke rumah sakit. Pada
umumnya peningkatan tekanan intrakranial oleh tumor jinak lebih pelan daripada
oleh abses otak.
Pada abses yang letaknya pada “silent area” dari otak seperti pada
lobus frontalis atau lobus temporal non dominan, mungkin didapati pembesaran
abses sebelum adanya gejala-gejala dan tanda-tanda.
Gejala sakit kepala yang hebat pada penderita abses otak ini sering
tidak dapat diatasi hanya dngan pengobatan simptomatis saja. Hampir seluruh
penderita didapati keluhan sakit kepala.
Beberapa penulis mendapatkan gejala-gejala dengan persentase sebagai
berikut : muntah (25-50%), kejang-kejang (30-50%). Pada penderita dengan
abses serebelli, didapatkan gejala-gejala pusing, vertigo, ataksis, dan gejala-
gejala serebelar lainnya. Gejala fokal yang sering ditemukan (61%) pada kasus
dengan abses supratentorial. Pada abses temporal dapat dijumpai gangguan
bicara pada 19,6% kasus, hemianopsia pada 31% kasus, 20,5% kasus dijumpai
unilateral midriasis yang merupakan indikasi terjadinya herniasi tentorial. 30%
dari kasus tidak didapati tanda-tanda fokal.
7
3.5 Pemeriksaan Penunjang
Untuk mencari sumber infeksi primer dari suatu abses otak dapat dibuat
suatu foto rontgen polos kepala, sinus ataupun mastoid. Pada foto rontgen
polos kepala, mungkin terlihat pergeseran letak glandula pinealis yang mengalami
kalsifikasi. Didapatkan pneumosefali kalau penyebarannya bakteri anaerob.
Pada anak-anak kemungkinan sutura melebar oleh karena peninggian
tekanan intrakranial. Kalau ada indikasi, kemungkinan dapat dibuat foto
rontgen toraks untuk mencari apakah ada infeksi dari paru. Dengan
ultrasonografi didapatkan gambaran lateralisasi pada 34,5% kasus. Dengan
angiografi dapat ditentukan lokalisasi abses secara tepat pada 34% kasus.
Pemeriksaan dengan “Computerized Tomography Scanning”(CT Scan) dapat
terlihat lokasi yang tepat dari abses dan juga fase dari abses tersebut, apakah
pada fase cerebritis atau pada fase sudah terbentuknya kapsul. Dengan adanya
CT Scan ini, pengelolaan abses otak dapat dilakukan secara cepat dan tepat.
Pemeriksaan jumlah leukosit dan laju endap darah hasilnya selalu
abnormal. Pada 60-70% kasus dijumpai jumlah leukosit antara 10.000-
3
20.000/cm . Sampai 40% kasus dijumpai normal atau sedikit meningkat. Laju
endap darah meningkat pada 75-90% kasus, rata-rata 45 mm/jam.
Cairan serebrospinal tidak dianjurkan untuk diperiksa. Abnormalnya hasil
LP tidak spesifik untuk abses otak. Penderita abses otak dengan peninggian
tekanan intrakranial, terlalu riskan untuk dilakukan LP ( lumbal pungsi ).
Yang S.Y melaporkan beberapa kasus yang dilakukan lumbal pungsi
dengan cepat menunjukkan tanda-tanda herniasi otak, oleh karena itu pada
penderita dengan sangkaan meningitis dan dijumpai tanda-tanda neurologis
abnormal, sebaiknya lebih dulu dilakukan pemeriksaan CT Scan untuk
menyingkirkan diagnosa abses otak. Bila ditemkan abses dengan efek massa
yang jelas, maka tidak dianjurkan untuk melakukan LP.
8
3.6 Diagnosis Banding
Dari gejala-gejala dan keluhan yang umum pada penderita dengan
peningkatan tekanan intrakranial serta kemungkinan didapatkan tanda-tanda
infeksi, maka abses otak ini didiagnosis banding antra lain dengan tumor,
terutama tumor ganas yang tumbuh dengan cepat, tromboflebitis intra
serebral, empiema subdural, abses ektra dural dan ensefalitis.
3.7 Komplikasi
Sebagai komplikasi didapati robeknya kapsul abses kedalam ventrikel
atau keruangan subarakhnoidal, penyumbatan cairan serebrospinalis
mengakibatakan hidrosefalus, edema otak dan terjadinya herniasi tentorial
oleh massa abses otak tersebut.
3.8 Tatalaksana
Pengobatan abses otak ditujukan kepada menghilangkan proses infeksi
dan mengurangkan atau menghilangkan efek massa pada otak dan oleh edema
otak, sebagian besar infeksi ini diobati dengan antibiotika yang tepat dan
dihilangkan dengan tindakan pembedahan, baik dengan aspirasi maupun dengan
eksisi.
Williams-Maurice RS melaporkan bahwa tindakan bedah yang memuaskan
hasilnya adalah evakuasi, eksisi total beserta kapsul abses, mereka
melakukan pembedahan semua kasus dengan pembiusan umum. Pendekatan
dengan osteoplastik supratentorial dan intratentorial, ataupun suboksipital
osteoklastik luas dengan membuang arkus dari atlas untuk dekompresi.
Pengobatan medikamentosa disesuaikan dengan hasil kultur dari abses otak,
kultur darah ataupun sekret nasofaring.
Beberapa peneliti melaporkan hasil pengobatan hanya dengan
medikamentosa saja pada beberapa kasus berhasil, tetapi ini banyak yang
menentang. Heineman et al (1971) memperkenalkan cara pengobatan hanya
dengan antibiotika tanpa tindakan pembedahan. Dilaporkan, pada abses otak
dengan fase cerebritis pengobatan hanya dengan antibiotika. Diperiksa kultur
9
darah, cairan serebrospinal, sesuai dengan kultur luka apabila ditemukan.
Tidak diperiksa bakteriologis dari nanah abses intrakranial. Untuk
mengurangi edema otak, digunakan kortikosteroid.
Rosenblum dkk menemukan pengobatan medikamentosa pada abses yang
kecil dengan diameter rata-rata 1,7 cm ( 0,8 – 2,5 cm ). Kalau diameter lebih
besar antara 2 – 6 cm ( rata-rata 4,2 cm ) dianjurkan untuk dilakukan tindakan
bedah. Sebagai tambahan bahwa ada beberapa abses otak yang kecil yang tidak
berhasil dengan pengobatan antibiotika, bahkan absesnya bertambah besar, pada
pengobatan dengan hanya antibiotika ini diperlukan pemeriksaan CT Scan secara
serial. Kalau dari hasil CT Scan memperlihatkan keadaan bertambah buruk,
maka ini merupakan indikasi untuk dilakukan pembedahan.
Penderita dengan abses otak yang multipel, kemungkinan hanya abses
yang besar saja yang dapat dilakukan aspirasi atau eksisi dan ini sangat
riskan. Maka selain tindakan pembedahan, untuk abses yang dalam dan riskan
diperlukan pemberian antibiotika.
Adapun antibiotika yang dianjurkan diantara nya :
10
Metronidazol dosis 500 mg setiap 6 jam dapat menembus sawar darah
otak dan tidak dipengaruhi oleh kortikosteroid, tetapi hanya aktif untuk
bakteri Streptococcus anaerob, aerob, dan mikroaerofilik,
Sefalosporin generasi III ( sefotaksim, seftriakson ) umumnya
adekuat untuk organisme gram negatif aerob. Jika terdapat Pseudomonas,
sefalosporin parenteral pilihan adalah seftazidim atau sefepim.
Trimetoprim-sulfametoksazol dosis tinggi 15 mg/kg/hari dari
komponen trimetoprim dibagi 3 - 5 dosis untuk abses otak dengan
penyebab ikardia sp. Dosis dapat diturunkan 1/2 selama 3-6 bulan
pada pasien tanpa penekanan imun dan selama 1 tahun pada pasien
dengan penekanan imun.
Tindakan Pembedahan
Aspirasi
Lebih dahulu dilakukan desinfeksi dan penentuan lokasi yang akan
diaspirasi. Dengan hasil CT Scan yang ada, dapat ditentukan secara pasti.
Dilakukan pembuisan lokal dengan memakai prokain 1 %, diinfiltrasikan ke kulit
di daerah yang akan dilakukan pengbeboran. Kemudian dibuat insisi kulit
kulit kepala sebesar 3-5 cm lapis demi lapis sampai pada periosteum. Setelah
tulang tampak jelas, daerah operasi tersebut dengan alat dibuka selebar-lebarnya.
Dengan alat dilakukan pengeboran tulang sampai terlihat duramater. Duramater
dibersihkan, kalau ada perdarahan dirawat sampai benar-benar bersih. Dengan
pisau runcing perlahan-lahan duramater diiris sampai lapisan arakniod. Setelah
korteks serebri terlihat jelas, daerah yang akan dilakukan pungsi atau aspirasi
dibakar dengan alat elektris. Dengan jarum pungsi khusus, dilakukan aspirasi
nanah pada abses. Jarum pungsi tetap di dalam kapsul abses, dengan semprit 10
cc dilakukan aspirasi berulang- ulang kemudian diirigasi dengan larutan garam
11
fisiologis sampai bersih. Akhirnya ke dalam rongga abses dimasukkan larutan 3
cc garamicin 10 mg. Dipasang drain, dan setiap hari drain diawasi dan dilakuan
irigasi dengan larutan garamicin 20 mg. Kalau sampai 3-5 hari hail dari
irigasi terlihat jernih, tidak terbentuk pernanahan baru maka drain dapat
dilepaskan. Drain dapat dipertahankan sampai garis ke-7 -10 dengan dijaga
kesterilannya.
Disamping itu sejak sebelum pembedahan penderita telah mulai diberi
antibiotika dengan dosis tinggi seperti ampicillin 6x1 g, kloramfenikol 4 x 500
mg, metronidazol 2 x 500 mg. Sampai menunggu hasil kultur, obat-obat tersebut
terus diteruskan. Pemberian antibiotika yang sesuai diberikan sampai dengan 6
minggu setelah tindakan pembedahan. Pemberian deksametason 4 x 5 mg
diturunkan perlahan-lahan setelah pembedahan.
Kraniotomi Osteoplastik
12
Tulang dikembalikan, periosteum dijahit. Kulit dijahit lapis demi lapis.
Dipasang drain subkutan.
Pemberian antibiotika diteruskan sambil menunggu hasil kultur dan
sensitivitas test. Sebagai pencegahan, diberi anti konvulsan Dilantin 5 mg/kgBB.
Setelah satu minggu kemudian, dibuat CT Scan sebagai kontrol.
13
DAFTAR PUSTAKA
14
15
16
17