Anda di halaman 1dari 17

Bab 2

Tipologi dan Motivasi Wisatawan

A. Tipologi Wisatawan

Menurut Cohen (dalam Pitana 2005) bahwa Tipologi wisatawan dikelompokan


atas dasar jenis interaksinya antara lain yaitu
1. Drifter
Wisatawan yang ingin mengunjungi destinasi dimana mereka belum
mengetahui tentang kondisi destinasi sebelumnya. Pada dasarnya seseorang
melakukan kegiatan wisata melalui tahap perencanaan yang meliputi
pencarian informasi tentang kondisi destinasi. Jenis wisatawan ini pada
umumnya mengunjungi destinasi transit atau ampiran sebagai kegiatan untuk
melakukan eksplorasi.
2. Explorer
Wisatawan mengatur perjalanan sendiri, mengikuti jalan yang tidak umum,
menginginkan interaksi dengan komunitas lokal, serta memanfaatkan fasilitas
yang disediakan oleh komunitas lokal, karakter seperti ini biasanya dimiliki
oleh wisatawan yang memiliki jiwa petualang, selalu memperhatikan atraksi
yang sifatnya masih alami, otentik, orisional, unik, dan memiliki nilai historis
serta budaya. Tujuan utamanya yaitu melakukan pelestarian terhadap alam
dan budaya. Wisatawan jenis ini sering disebut sebagai wisatawan yang
berkualitas karena selain melakukan pelestarian alam mereka juga melakukan
penelitian dan pengkayaan diri.
3. Mass Tourist Individual
Wisatawan masal atau rombongan dengan mengunjungi destinasi yang sudah
banyak dikunjungi wisatawan pada umumnya. Jenis wisatawan seperti ini
banyak dijumpai di suatu kawasan destinasi yang dapat menampung serta
melakukan aktivitas wisata dalam jumlah yang banyak, misalnya kawasan
pesisir pantai Parangtritis yang terbentang luas, dimana wisatawan sering
melakukan kegiatan yang sifatnya rekreatif, senang-senang, foto-foto,
berkendara motor, berenang bahkan aktivitasnya justru mengancam
lingkungan.

Hanya untuk Mahasiswa Pariwisata S1 - STP AMPTA Jogja - Prihatno Page 1


4. Mass Tourist-Organized
Wisatawan yang sanggup melakukan perjalanannya bila menggunakan jasa
pengaturan perjalanan wisata. Jenis wisatawan ini tidak berbeda jauh dengan
jenis wisatawan masal, karena mereka berkunjung secara rombongan yang
tidak terpisahkan, sekecil mungkin menghindari atraksi yang menantang,
memperhatikan faktor kenyamanan keamanan dan selalu dipandu oleh
pemandu wisata, serta menuntut fasilitas yang mirip dengan tempat
tinggalnya.

B. Motivasi Wisatawan

Meningkatnya kesejahteraan masyarakat yang ditandai dengan peningkatkan


pendidikan, pemerataan penghasilan, ketersediaan waktu luang akan
membentuk suatu kebutuhan dan keinginan seseorang untuk melakukan
kegiatan berwisata atau lebih dikenal dengan istilah permintaan wisata yang
pada akhirnya akan membentuk motivasi wisata. Dengan meningkatnya tingkat
pendidikan akan mempengaruhi semakin luasnya wawasan seseorang. Rasa
ingin tahu terhadap sesuatu hal yang baru, pendalaman nilai-nilai luhur,
keinginan untuk memberikan kontribusi positif terhadap alam dan budaya
merupakan faktor yang mendorong seseorang untuk melakukan kegiatan wisata.

Pada abad ke-17 kegiatan wisata hanya dapat dilakukan oleh kaum bangsawan
namun setelah terjadi Revolusi Industri (perubahan sosial) yang melahirkan
masyarakat baru yang sejahtera (bukan bangsawan). Salah satu bentuk dari
perubahannya yaitu dengan ditetapkannya hari libur secara legal atau hari libur
nasional. Dengan demikian setiap pekerja buruh memiliki waktu luang untuk
beristirahat dengan harapan akan memulihkan kondisinya sehingga produktivitas
kerja akan meningkat. Rasa jenuh menghadapi rutinitas kerja merupakan faktor
pendorong yang sangat kuat, tetapi tanpa adanya ketersediaan waktu luang
belum menjamin munculnya motivasi berwisata.

Indonesia yang semula menetapkan 6 hari kerja sekarang sudah banyak instansi
yang menetapkan 5 hari kerja ditambah dengan penambahan hari libur nasional
seperti perayaan Imlek. Dengan adanya hari libur nasional khususnya pada
perayaan hari raya dimana setiap instansi wajib memberikan tunjungan kepada
karyawannya, maka faktor penetapan hari libur ditambah dengan tunjangan hari
raya (THR) merupakan variabel yang mempengaruhi kebutuhan dan keinginan

Hanya untuk Mahasiswa Pariwisata S1 - STP AMPTA Jogja - Prihatno Page 2


wisatawan. Disamping masih ada variabel yang lain yaitu kondisi daerah asal
wisatawan yang dirasa tidak nyaman seperti kondisi iklim, alam, budaya atau
politik, sehingga mereka ingin mencari kondisi yang lebih baik dari tempat
tinggalnya.

Adanya waktu luang, ketersediaan biaya, pendidikan, rasa jenuh, relaksasi,


mencari hal yang baru, yang berbeda, yang lebih baik dari tempat tinggalnya
khususnya berkaitan dengan iklim, alam dan budaya merupakan faktor
pendorong bagi seseorang untuk melakukan kegitan wisata dan sebagai faktor
penarik untuk menuju ke destinasi. Adapun sebagai motivasi seseorang
melakukan perjalanan dipengaruhi oleh dua faktor yaitu:
1. Faktor Intrinsik
Menurut hirarki Maslow bahwa motivasi yang terbentuk karena adanya
kebutuhan dan keinginan manusia yang dimulai kebutuhan fisiologis,
kebutuhan akan keamanan, kebutuhan sosial, kebutuhan prestis, kebutuhan
aktualisasi diri. Kebutuhan sosial dan kebutuhan aktualisasi diri lebih dominan
mempengaruhi sesorang untuk melakukan perjalanan, seperti wisatawan
dengan motivasi budaya memiliki keinginan beritegrasi dengan masyarakat
lokal dengan saling menerima dan menghargai. Fenomena mudik dengan
mengunjungi kerabat sanak saudaranya merupakan kebutuhan untuk
sosialisasi dan aktualisasi, keinginan untuk kembali bertemu dengan orang-
orang lama yang sempat terpisah.
2. Faktor Ekstrinsik
Motivasi yang terbentuk karena pengaruh faktor eksternal antara lain:
rutinitas kerja, tekanan keluarga sosial. Motivasi berwisata untuk melepaskan
diri dari rutinitas, bermanfaat untuk mengembalikan keharmonisan, sehingga
pariwisata dapat disebut sebagai salah satu bentuk terapi sosial (Krippendorf;
Sharpley dalam Pitana, 2005)

Bahwa sebenarnya motivasi sesorang melakukan kegiatan wisata tidak hanya


dipengaruhi oleh satu kebutuhan tetapi merupakan perpaduan dari beberapa
hirarki kebutuhan dan faktor secara ekstrinsik.

Sedangkan menurut Richardson dan Fluker (dalam Pitana : 2005) motivasi


perjalanan wisata dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor pendorong (push) dan
faktor penarik (pull) :

Hanya untuk Mahasiswa Pariwisata S1 - STP AMPTA Jogja - Prihatno Page 3


1. Faktor pendorong (push)
Merupakan faktor internal dalam diri individu seseorang yang umumnya
bersifat sosial psikologis seperti; melepas rutinitas, rasa bosan, berintekasi
dengan teman saudara, atau orang baru, mencari kebersamaan, sesuatu
yang baru kaitannya dengan pengkayaan diri.
2. Faktor penarik (pull)
Merupakan faktor eksternal yang melekat pada citra destinasi antara lain
yaitu faktor keindahan atraksi, lokasi yang mudah ditempuh, tersedianya
sarana prasarana. Adapun faktor tersebut menjadi atribut penentu daya tarik
wisata yang mendorong wisatawan untuk memilih destinasi.

Dengan adanya faktor penarik maka calon wisatawan sudah dihadapkan dengan
sebuah pilihan destinasi, berbeda dengan faktor pendorong dimana calon
wisatawan belum dihadapkan dengan pilihan destinasi. Melihat tipologi
wisatawan berdasarkan motivasi seharusnya juga memperhatikan sesuai
kebutuhan dan keinginan wisatawan secara mikro yaitu dengan memadukan
berbagai karakteristik wisatawan yang sifatnya multidimensi (Shapley, 1994).
Karena kebutuhan setiap wisatawan berebeda-beda. Perbedaan tersebut
disebabkan oleh faktor yang terdiri dari ; faktor sosio demografis-geografis dan
psikografis.
1. Faktor sosio demografis dan geografis
Menurut Heath dan Wall (1992) bahwa faktor sosial ekonomi dan demografis
meliputi usia, daerah asal, pekerjaan, pendidikan, penghasilan, status
perkawinan. Sedangkan faktor geografis berkaitan dengan faktor latar
belakang budaya dan kebiasan wisatawan karena menyangkut kondisi asal
tempat tinggal wisatawan. Adapun karakter secara umum untuk wisatawan :
a. Usia
Usia muda memilih destinasi dalam bentuk petualangan yang
berhubungan dengan alam (Mill dan Morrison, 1985). Mereka cenderung
melakukan perjalanan sendiri, fasilitas pelayanan yang murah dan
memiliki kecenderungan yang buruk dalam bertingkah laku (Marpaung,
2000). Pasangan suami istri muda memiliki kecenderungan
menghilangkan kejenuhan terhadap aktivitas sehari-hari serta memainkan
peranannya sebagai orang tua dalam menciptakan suasana keharmonisan
dengan menikmati udara, pemandangan dan sarana bermain anak-anak.
Wisatawan ini banyak mengunjugi obyek yang tidak terlalu beresiko.

Hanya untuk Mahasiswa Pariwisata S1 - STP AMPTA Jogja - Prihatno Page 4


b. Jenis Kelamin
Menurut Pearce dan Caltabino (dalam Ross 1998) mengatakan bahwa
wisatawan dari kalangan laki-laki lebih memperhatikan kebutuhan cinta
dan rasa menjadi bagian dari kelompok. Bagi wisatawan perempuan lebih
tertarik pada pusat perbelanjaan, rumah makan, dan cenderung mudah
lelah (Marpaung, 2000)
c. Tingkat pendidikan
Berhubungan dengan bentuk kegiatan serta motif dalam berwisata.
Bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan wisatawan maka tingkat
keterlibatan wisatawan terhadap aktivitas berwisata akan semakin tinggi.
Aktivitasnya berkaitan dengan bentuk permainan olah raga, budaya, serta
mengunjungi hutan yang masih liar.
d. Status perkawinan
Wisatawan yang belum menikah tentunya memiliki waktu luang yang lebih
untuk melakukan aktivitas diluar rumah, dibandingkan dengan yang
berstatus sudah menikah. Aktivitasnya baik secara individu maupun
berkelompok biasanya dilakukan untuk tujuan kepuasan diri sendiri, tetapi
setelah menikah dan mempunyai anak, hal ini akan membawa perubahan
di dalam kebiasaan berwisata, yaitu untuk kepuasan sebagai orang tua
(Mill dan Morrison, 1985).
e. Jenis Pekerjaan
Bagi kalangan pegawai swasta, kunjungan mereka sebatas melepas
rutinitas serta mengisi waktu luang disaat hari libur yaitu pada hari Sabtu
dan Minggu. Bagi kalangan wiraswasta, kecenderungan mereka tidak
berbeda dengan karyawan perusahaan, hanya saja mereka memiliki
waktu yang lebih luang daripada karyawan swasta, serta bentuk
kunjungannya lebih bersifat individual. Atraksi alam cenderung
dimanfaatkan kalangan mahasiswa dan pelajar.
f. Tingkat penghasilan
Tingkat penghasilan merupakan faktor yang mampu membentuk
permintaan wisatawan terhadap kegiatan berwisata. Jumlah uang yang
harus dibelanjakan untuk segala aktivitas selama melakukan perjalanan,
merupakan faktor yang sangat dipertimbangkan (Mill dan Morrison, 1985).
Secara umum permintaan wisatawan berhubungan dengan penghasilan
dapat dilihat dari seberapa besar uang yang dibelanjakan, lama tinggal
serta pemilihan tempat berlibur (Bull,1995). Apabila suatu destinasi
didominasi oleh wisatawan dari kelompok usia muda yang diantaranya

Hanya untuk Mahasiswa Pariwisata S1 - STP AMPTA Jogja - Prihatno Page 5


belum memiliki penghasilan, maka perlu adanya penyesuaian harga
terhadap produk yang ditawarkan kepada wisatawan, tentunya dengan
harga yang lebih menjangkau wisatawan.

2. Faktor psikografis
Menurut Payne (2000) faktor psikografis terpusat pada karakteristik gaya
hidup dan kepribadian wisatawan. Dimensi gaya hidup meliputi aktivitas
wisatawan dalam berwisata, ketertarikan serta tanggapan wisatawan
terhadap kualitas destinasi (Heath, 1992). Cooper (1993) mengatakan bahwa
karakteristik wisatawan salah satunya berkaitan dengan pemilihan
transportasi, bentuk kunjungan serta biaya rekreasi. Dengan demikian faktor
psikografis meliputi :
a. Sumber informasi
Sumber informasi yang diperoleh wisatawan tentang gambaran destinasi,
dapat diperoleh dari; teman keluarga, guru, travel agent, pengelola
destinasi, dinas pariwisata, tourist information centre, sedangkan media
yang digunakan berupa; internet, televisi, radio, surat kabar, majalah,
atau brosur. Di dalam industri pariwisata sumber informasi dibagi menjadi
2 lingkungan yaitu lingkungan komersil dan sosial, adapun yang disebut
lingkungan komersil yaitu sebuah organisasi, lembaga atau individu yang
memiliki kepentingan ekonomi dibidang usaha pariwisata antara lain yaitu
travel agent, pengelola kawasan, dinas pariwisata. Sedangkan lingkungan
sosial yaitu sebuah organisasi, lembaga atau individu yang tidak memiliki
kepentingan ekonomi dalam lingkup pariwisata antara lain yaitu :
lingkungan keluarga, teman, kerabat, saudara, guru dan dosen.
b. Pengalaman berkunjung
Pengalaman berwisata dibedakan menjadi dua yaitu ; 1) Pengalaman
berkunjung ke destinasi yang sama yaitu berkunjung ke destinasi yang
sama secara berulang-ulang atau lebih dari satu kali. 2) Pengalaman
berkunjung ke destinasi yang menyerupai atau sejenis dengan destinasi
yang hendak dikunjungi.
c. Motif berwisata
Motif seseorang berwisata biasanya dalam bentuk rencana kegiatan yang
akan dilakukan di destinasi misalnya; rencana kegiatan untuk rekreasi,
senang senang, jalan-jalan, berburu, penelitian, berziarah, mengunjugi
kerabat, kemping, treking, heking.

Hanya untuk Mahasiswa Pariwisata S1 - STP AMPTA Jogja - Prihatno Page 6


d. Bentuk kunjungan
Kunjungan dapat dilakukan dalam bentuk rombongan besar secara masal,
secara kelompok kecil atau secara berpasangan bahkan dilakukan
sendirian.
e. Pengaturan kunjungan
Bagi wisatawan yang memiliki jiwa petualang, atau bagi yang sudah
mengenal tentang kondisi destinasi cenderung melakukan kegiatan wisata
tanpa menggunakan jasa pengaturan biro perjalanan (secara individu)
namun sebaliknya pengaturan kunjungan melalui biro perjalanan sangat
dibutuhkan bagi wisatawan yang memiliki pertimbangan kenyamanan dan
keamanan.
f. Penggunaan transportasi
Transportasi seperti; kendaraan umum atau pribadi antara lain bus, kapal,
mobil, sepeda motor juga dipengaruhi oleh bentuk kunjungan, pengaturan
kunjungan, motif kunjungan, serta gaya hidup dimana faktor
pertimbangannya antara lain yaitu jaminan keamanan, ketepatan waktu,
biaya, serta memiliki kegunaan dalam menciptakan kenyamanan dari
tiap masing-masing obyek yang akan disinggahi (Bull, 1995).
g. Penggunaan Akomodasi
Akomodasi yang digunakan misalnya : wisma, guest house, hotel, Hal
yang patut diperhatikan selain pelayanan yang baik dan makanan yang
bergizi sehat, yaitu akomodasi yang aman serta sanitasi yang baik
(Douglas dalam Fandeli, 2000). Faktor keamanan bagi wisatawan yang
sudah berkeluarga memiliki pertimbangan yaitu meliputi bebas gangguan
jasmani, rohani dan harta benda dari sikap masyarakat dan dalam
penggunakan fasilitas yang ada. Bagi wisatawan ini sangat menuntut
sebuah pelayanan yang lengkap menyerupai tempat tinggal mereka.
Sedangkan bagi mereka yang menginap dengan motif petualang justru
menghendaki fasilitas yang alami, tenang serta jauh dari segala aktivitas
wisatawan yang lainnya.
h. Lama tinggal
Bull (1995) mengatakan bahwa lama tinggal wisatawan menunjukan rasa
ketertarikan wisatawan terhadap produk wisata. Khusunya untuk
wisatawan yang memiliki minat khusus, motif penelitian, motif pendidikan
dan budaya karena mereka akan lebih mengeksplorasi atraksi secara
mendalam, khususnya bagi wisatawan yang cenderung menyenangi jiwa

Hanya untuk Mahasiswa Pariwisata S1 - STP AMPTA Jogja - Prihatno Page 7


petualang akan membutuhkan waktu yang cukup lama mengingat medan
dan jarak tempuh cukup jauh.
i. Aktivitas atau kegiatan berwisata
Antara motif berwisata dengan kegiatan wisata belum tentu sama,
kecenderungan aktivitas yang hendak dilakukan tidak sama dengan motif
wisata merupakan hal yang wajar, apalagi di suatu kawasan banyak
atraksi yang ditawarkan. Misalnya motif semula hanya sekedar berziarah,
namun pada saat sampai di destinasi ternyata dihadapkan dengan
banyaknya atraksi yang ditawarkan seperti pertunjukan seni, atraksi satwa
liar, kegiatan terapi kesehatan yang secara keseluruhan ternyata mampu
merangsang wisatawan untuk mengkonsumsi sarana tersebut.
Sebenarnya fenomena seperti ini justru diharapkan oleh pihak pengelola
karena akan membawa dampak positif secara ekonomi. Karena semakin
banyak wisatawan melakukan aktivitasnya akan semakin banyak waktu
serta uang belanja yang dikeluarkan.

Seluruh aspek psikografis selalu dipengaruhi oleh gaya hidup wisatawan.


Menurut Plog (dalam Coltman, 1989) bahwa Pola perilaku wisatawan saat berada
di destinasi tidak lepas dari faktor kepribadian yang digolongkan berdasarkan
perilaku psychocentric dan allocentric. Adapun penggolongan ke dalam dua
kelompok tersebut masih dianggap terlalu sederhana, dalam kenyataannya
wisatawan cenderung menggabungkan dari ke dua faktor tersebut, bahkan
wisatawan masal dapat berubah menjadi seorang petualang atau sebaliknya
mereka yang sering berpetualang sendiri ke daerah yang tidak biasa dikunjungi
suatu saat mereka berjalan berasama rombongan keluarganya. Sedangkan
penggabungan dari kedua karakter allocentric dan psychocentric disebut mid
centric. Berikut ini adalah perbandingan karakter antara allocentric dan
psychocentric.

Hanya untuk Mahasiswa Pariwisata S1 - STP AMPTA Jogja - Prihatno Page 8


Tabel
Penggolongan Kepribadian Wisatawan
Berdasarkan Perilaku Psychocentric dan Allocentric

Allocentric Psychocentric
-Melakukan perjalanan jauh, yang -Lama tinggal disestinasi cukup
memakan waktu lama serta singkat
sanggup tinggal lebih lama di
destinasi
-Membelanjakan uangnya dalam -Sedikit membelanjakan uangnya
jumlah yang banyak, khususnya
untuk masyarakat lokal
-Destinasi yang dikunjungi masih -Mencari destinasi yang aman,
belum berkembang, terbelakang nyaman menyerupai tempat
dan tidak lazim seperti destinasi tinggalnya
pada umumnya
-Keterlibatan pada kegiatan sehari-
hari masyarakat cukup tinggi -Aktivitasnya sebatas melepas
-Cenderung mencari destinasi yang rutinitas, rekreasi, bersenang-
masih baru atau belum banyak senang
dikunjungi wisatawan untuk -Cenderung mengunjungi destinasi
pengkayaan diri yang sama atau serupa
-Banyak meluangkan waktu untuk -Destinasi yang dikunjungi bersifat
mengeksplorasi daerah yang tourist spot, banyak menawarkan
dikunjungi atraksi wisata yang sifatnya masal

Hanya untuk Mahasiswa Pariwisata S1 - STP AMPTA Jogja - Prihatno Page 9


C. Tahapan Berwisata

Wisatawan dalam melakukan kegiatan wisata, dipastikan melalui beberapa


tahapan, yaitu berawal dari posisi wisatawan masih berada di daerah tempat
tinggalnya, menuju ke destinasi, sampai pada destinasi hingga kembali pulang ke
daerah asalnya
Gambar
Tahapan Berwisata

Motivasi
dan biaya

Tahap Antisipasi/ekspektasi
Wisatawan berada di daerah asalnya
1. Mencari Informasi
2. Pemilihan destinasi
3.Keputusan perjalanan

Sumber Informasi Pengalaman berwisata


1. Lingkungan Komersil Tahap travel to 1. Destinasi yang sama
2. Lingkungan Sosial Perjalanan Menuju destinasi 2. Destinasi sejenis
Transportasi Pengemudi, pelayanan tour
leader, guide, stewardes

Transport lokal Restoran, Hotel


Transportasi, tour leader Pelayanan Frontlinner,
Pengemudi, guide, Housekeeper, waiter/ss,
stewardessMakanan, minuman, kamar
Tahap On Site
Melakukan kegiatan saat
berada di destinasi

Tempat Belanja Kawasan Wisata


Pelayanan pedagang Pelayanan pengelola
Souvenir Foto, informasi,
komunitas lokal

Tahap Travel Home


Perjalanan pulang
Transportasi Pengemudi, tour leader,
guide, stewardes

Tahap Recalling
Berada di daerah asal
Mengenang dan mengingat
Bercerita dan rekomendasi
Souvenir, Foto; sebagai buah tangan

Hanya untuk Mahasiswa Pariwisata S1 - STP AMPTA Jogja - Prihatno Page 10


Berdasarkan gambar tersebut diatas menunjukan bahwa wisatawan pada saat
hendak melakukan perjalanan selalu dihadapkan pada tahap antisipasi atau
ekspektasi. Pada tahap tersebut aktivitas yang dilakukan oleh wisatawan antara
lain yaitu 1) mencari sumber informasi tentang karakter destinasi, 2) kualitas
daya tarik, 3) transportasi menuju destinasi, 4) akomodasi, 5) biaya perjalanan,
6) waktu yang dibutuhkan, 7) kemungkinan buruk yang muncul, dll.

Informasi yang dibutuhkan dapat bersumber dari lingkungan komersil dan sosial
(Mill dan Morrison, 1985) yang dimaksud lingkungan komersil antara lain yaitu :
travel agent, Dinas Pariwisata, pengelola destinasi, serta seluruh pengusaha
pariwisata. Informasi ini dikelola oleh organisasi atau perusahaan yang bergerak
secara komersil dibidang jasa pelayanan wisata dengan menawarkan informasi
menarik agar wisatawan dapat memutuskan pilihannya. Media yang digunakan
misalnya seperti brosur, leaflet, internet, surat kabar dsb, sedangkan dari
lingkungan sosial yaitu informasi bersumber dari kerabat, teman, keluarga, atau
guru dimana informasi tersebut diperoleh tanpa adanya unsur komersil dan
informasinya cenderung lebih obyektif dan meyakinkan. Adapun media yang
digunakan biasanya dalam bentuk surat kabar, buku, film dsb. Dengan demikian
calon wisatawan cenderung lebih memilih informasi yang bersumber dari
lingkungan sosial, karena dianggap lebih obyektif dan sebagian besar
informasinya terbentuk dari pengalamannya berdasarkan kepuasan yang mereka
peroleh, serta informasi berdasarkan data-data yang akurat.

Pengalaman berwisata juga sangat mempengaruhi tahapan seseorang


melakukan berwisata, semakin banyak seseorang memiliki pengalaman
berwisata, maka faktor pertimbangannya akan semakin selektif. Pengalaman
berwisata dibagi menjadi dua yaitu:
1. Pengalaman berkunjung ke destinasi yang sama
Wisatawan melakukan kunjungan secara berulang-ulang ke destinasi yang
sama, misalnya wisatawan yang memiliki banyak pengalaman berkunjung ke
Dunia Fantasi (DuFan), maka dapat dikatakan wisatawan tersebut cenderung
merasa puas, karena selalu melakukan kunjungannya secara berulang-ulang
atau lebih dari satu kali. Adapun sebagai pertimbangan untuk melakukan
kunjungan ulangnya ke Dufan yaitu tentang ada tidaknya penambahan
wahana baru yang lebih menarik atau ada tidaknya perbaikan fasilitas. Bagi
wisatawan yang sama sekali belum pernah berkunjung ke DuFan tentu
memiliki pertimbangan yang lebih dari sekedar terpenuhinya harapan

Hanya untuk Mahasiswa Pariwisata S1 - STP AMPTA Jogja - Prihatno Page 11


terhadap kualitas wahana yang ditawarkan, tetapi juga pertimbangan yang
sifatnya antisipatif terhadap kemungkinan munculnya akibat buruk terhadap
penggunaan wahana tersebut.
2. Pengalaman berkunjung ke destinasi serupa
Artinya wisatawan memang sama sekali belum pernah mengunjungi destinasi
yang akan dikunjunginya, namun wisatawan tersebut sudah memiliki
beberapa pengalaman mengunjungi destinasi yang sejenis. Dalam proses ini
wisatawan akan membanding destinasi yang akan dikunjunginya dengan
destinasi sejenis yang pernah dikunjungi. Dengan demikian akan
mempengaruhi proses di tahap ekspektasi misalnya wisatawan yang memiliki
banyak pengalaman ke Disneyland kemudian hendak pertama kali
mengunjungi DuFan, tentu berbeda dengan wisatawan yang berpengalaman
mengunjungi Kid Fun dan hendak ke DuFan. Keduanya sama-sama memiliki
tujuan yang sama yaitu DuFan namun memiliki pengalaman berwisata yang
berbeda tetapi serupa. Bagi wisatawan yang pernah berkunjung ke
Disneyland tentu memiliki harapan yang lebih kecil saat ke DuFan karena
mereka akan membandingkan destinasi sebelumnya yang secara kualitas
lebih menarik dibandingkan dengan DuFan. Berbeda dengan wisatawan yang
memiliki pengalaman berkunjung ke Kid Fun, mereka cenderung memiliki
harapan yang lebih besar karena kualitas daya tarik Kid Fun masih rendah
dibandingkan dengan DuFan. Dengan demikian langkah persiapannya pun
berbeda.

Setelah segala informasi berikut pertimbangan biaya, waktu serta gambaran


kualitas atraksi dirasa sudah cukup maka langkah selanjutnya yaitu pemilihan
destinasi dan keputusan untuk melakukan perjalanan; misalnya booking atau
menyiapkan segala perlengkapan kebutuhan. Tahap selanjutnya yaitu melakukan
perjalanan ke destinasi, tahap inilah wisatawan dihadapkan dengan kondisi
nyata, dimana wisatawan mulai membandingkan antara apa yang diharapkan
dengan kondisi yang sebenarnya. Sebagai pertimbangannya antara lain yaitu
kesesuaian jarak, waktu tempuh, pemandangan yang dilalui, serta kesesuaian
tarif transportasi dimana wisatawan tidak sekedar sampai ke destinasi tepat
waktu tetapi juga bagaimana wisatawan mendapatkan pelayanan yang
memuaskan dari seorang pengemudi stewardess, tour leader, ataupun tour
guide.

Hanya untuk Mahasiswa Pariwisata S1 - STP AMPTA Jogja - Prihatno Page 12


Pada saat wisatawan berada di destinasi kemungkinan isu yang muncul akan
semakin kompleks, karena terjadi proses interaksi antara wisatawan dengan
berbagai pihak yang terkait dalam kegiatan wisata antara lain yaitu: pengelola
destinasi, penyedia jasa transport lokal, pelayanan staf hotel/restoran, penjual
cenderamata serta komunitas lokal. Apa yang menjadi harapan wisatawan pada
saat berada di tahap antisipasi/ekspektasi harus sama dengan kondisi destinasi
yang sebenarnya (tahap on site). Dengan demikian sumber informasi memiliki
peran yang sangat vital. Hendaknya informasi yang diberikan kepada wisatawan
tentang kondisi destinasi harus sesuai dengan kondisi sebenarnya. Jangan
sampai informasi yang dikemas bersifat hiperbola dan bombastis karena akan
menciptakan tingkat harapan wisatawan yang berlebihan, sehingga pada saat
wisatawan dihadapkan dengan kondisi nyata maka akan merasa dikecewakan,
karena apa yang diharapkan terlalu besar dibandingkan dengan kondisi
sebenarnya. Hingga kini kasus tersebut masih sering terjadi khususnya informasi
yang bersumber dari lingkungan komersil, demi mendapatkan tingkat kunjungan
serta tingkat belanja wisatawan. Mereka sengaja mengemas informasi yang tidak
proporsional, tidak sesuai dengan kondisi nyata, dan terlalu berlebihan dimana
penyajian informasinya hanya dari aspek yang baik-baik saja.

Tahap wisatawan kembali pulang, berbeda dengan perjalanan saat menuju


destinasi, karena pada tahap ini wisatawan sudah mendapatkan segala
pengalamannya, bagi wisatawan yang merasa puas pada saat berada di destinasi
tentu akan merasa nyaman jika melakukan perjalanan pulang, namun sebaliknya
bila wisatawan sudah merasa kecewa maka sebaik apapun pelayanan yang
diberikan dalam perjalanan tetap tidak akan memberikan kesan positif.

Tahap recalling yaitu tahap dimana wisatawan sudah kembali berada di daerah
asalnya. Mereka akan mengingat segala peristiwa yang telah dialami selama
perjalananya. Kesan positif yang mereka alami akan menjadi cerita, referensi dan
sebagai sumber informasi bagi wisatawan berikutnya. Melalui foto dan
pemberian souvenir kepada relasinya menjadikan bukti pengalaman perjalanan
sebagai wujud eksistensi dirinya. Tahap seperti menjadi acuan bagi tahap
antisipasi atau ekspektasi bagi wisatawan berikutnya. Idealnya para pengusaha
selalu memperhatikan pengalaman wisatawan, agar menjadi sarana promosi
yang murah dan lebih dipercaya wisatawan. Karena informasi yang bersumber
dari lingkungan sosial memiliki kesan yang obyektif dibanding dengan lingkungan
komersil. Tahapan wisatawan tersebut merupakan suatu rangkaian kegiatan

Hanya untuk Mahasiswa Pariwisata S1 - STP AMPTA Jogja - Prihatno Page 13


yang saling berkaitan dan merupakan suatu sistem perkaitan sosial. Pada
hakekatnya pariwisata meliputi komponen masalah perpindahan sementara dari
tempat semula menuju ke suatu destinasi wisata yang melibatkan beberapa
industri dengan demikian pariwisata dapat dikatakan sebagai mobilitas spasial
dan sebagai industri.

D. Klasifikasi Motif dan Tipe Wisata

Demikian beragamnya motif wisata yang mendorong seseorang melakukan


perjalanan wisata, Akan tetapi tidak ada kepastian apakah semua jenis motif
wisata telah atau dapat diketahui. Pada hakikatnya motif orang untuk
mengadakan perjalanan wisata itu tidak terbatas dan tidak dapat dibatasi.
McIntosh mengklasifikasikan motif-motif wisata yang dapat diduga menjadi
empat (4) kelompok, yaitu:
1. Motif Fisik, yaitu motif-motif yang berhubungan dengan kebutuhan
badaniah, seperti olahraga, istirahat, kesehatan dan sebagainya;
2. Motif budaya, yang harus diperhatikan disini adalah yang bersifat budaya
seperti, sekedar untuk mengenal atau memahami tata cara dan kebudayaan
bangsa atau daerah lain: kebiasaannya, kehidupannya sehari-hari,
kebudayaannya yang berupa bangunan, musik, tarian dan sebagainya;
3. Motif Interpersonal, yang berhubungan dengan keinginan untuk bertemu
dengan keluarga, teman, tetangga, atau sekedar dapat melihat tokoh-tokoh
terkenal: penyanyi, penari, bintang film, tokoh politik dan sebagainya;
4. Motif status atau motif prestise.Banyak orang beranggapan bahwa orang
yang pernah mengunjungi tempat lain itu dengan sendirinya melebihi
sesamanya yang tidak bepergian. Orang yang pernah bepergian ke daerah-
daerah lain dianggap atau merasa dengan sendirinya naik gengsinya atau
statusnya.

Klasifikasi McIntosh tersebut sudah tentu dapat disubklasifikasikan menjadi


kelompok-kelompok motif yang lebih kecil.Motif-motif yang lebih kecil tersebut
digunakan untuk menentukan tipe perjalanan wisata.Misalnya, tipe wisata
rekreasi, olahraga, ziarah, kesehatan.

Dibawah ini tercantum sejumlah subkelas motif wisata serta tipe wisatanya yang
sering disebut-sebut sebagai berikut:

Hanya untuk Mahasiswa Pariwisata S1 - STP AMPTA Jogja - Prihatno Page 14


1. Motif Bersenang-senang atau Tamasya.Motif bersenang-senang atau
tamasya, melahirkan tipe wisata tamasya. Wisatawan tipe ini ingin
mengumpulkan pengalaman sebanyak-banyaknya, mendengarkan dan
menikmati apa saja yang menarik perhatian. Ia tidak terikat pada satu
sasaran yang sudah ditentukan dari rumah. Wisatawan tamasya
berpindah-pindah dari tempat yang satu ke tempat yang lain dengan
menikmati pemandangan alam, adat kebiasaan setempat, pesta rakyat,
hiruk pikuk kota besar atau ketenangan tempat yang sepi, monumen,
peninggalan sejarah dan sebagainya. Wisatawan tipe ini sukar dibedakan
dari tipe wisatawan tipe berikutnya.
2. Motif Rekreasi.Motif rekreasi dengan tipe wisata rekreasi ialah kegiatan
yang menyelenggarakan kegiatan yang menyenangkan yang dimaksudkan
untuk memulihkan kesegaran jasmani dan rohani manusia. Kegiatan-
kegiatannya dapat berupa olahraga (tenis, berkuda, mendaki gunung),
membaca, mengerjakan hobi dan sebagainya; juga dapat diisi dengan
perjalanan tamasya singkat untuk menikmati keadaan di sekitar tempat
menginap (Sightseeing). Bedanya dengan wisatawan tipe wisata tamasya
adalah; wisatawan tipe rekreasi biasanya menghabiskan waktunya di satu
tempat saja, sedang wisatawan tamasya berpindah-pindah tempat.
3. Motif Kebudayaan. Dalam tipe wisata kebudayaan orang tidak hanya
sekedar mengunjungi suatu tempat untuk menyaksikan dan menikmati
atraksi, akan tetapi lebih dari itu. Ia mungkin datang untuk mempelajari
atau mengadakan penelitian tentang keadaan setempat. Seniman-
seniman sering mengadakan perjalanan wisata untuk memperkaya diri,
menambah pengalaman dan mempertajam kemampuan penghayatannya.
Pelukis-pelukis sering menjelajahi daerah-daerah tertentu untuk mencari
dan mengumpulkan obyek lukisan. Mereka itu semua mengadakan
perjalanan berdasarkan motif kebudayaan. Jelaslah bahwa atraksi tidak
selalu berupa kebudayaan, dapat juga berupa keindahan alam, atau
seniman, atau guru yang terkenal, untuk mengadakan wawancara,
bertukar pikiran dan sebagainya. Dalam wisata budaya itu juga termasuk
kunjungan wisatawan ke berbagai peristiwa khusus (special events)
seperti upacara keagamaan, penobatan raja, pemakaman tokoh tersohor,
pertunjukan rombongan kesenian yang terkenal dan sebagainya.
4. Wisata Olahraga. Wisata olahraga ialah pariwisata di mana wisatawan
mengadakan perjalanan wisata karena motif olahraga. Wisata olahraga ini
merupakan bagian yang penting dalam kegiatan pariwisata. Olahraga

Hanya untuk Mahasiswa Pariwisata S1 - STP AMPTA Jogja - Prihatno Page 15


dewasa ini merata di kalangan rakyat dan tersebar di seluruh dunia,
dengan bermacam-macam organisasi baik yang bersifat nasional maupun
internasional. Dalam hubungan dengan olahraga, harus dibedakan antara
pesta olahraga atau pertandingan olahraga (sporting events).
5. Wisata Bisnis. Bisnis merupakan motif dalam wisata bisnis. Banyak
hubungan terjadi antara orang-orang bisnis. Ada kunjungan bisnis, ada
pertemuan-pertemuan bisnis, ada pekan raya dagang yang perlu
dikunjungi dan sebagainya, ada yang besar, ada yang kecil. Semua
peristiwa itu mengundang kedatangan orang-orang bisnis, baik dari dalam
maupun dari luar negeri. Arus wisatawan itu tidak hanya bertambah besar
pada waktu peristiwa-peristiwa itu terjadi.
6. Wisata Konvensi. Banyak pertemuan-pertemuan nasional maupun
internasional untuk membicarakan bermacam-macam masalah: Kelaparan
dunia, pelestarian hutan, pemberantasan penyakit tertentu, sekadar untuk
pertemuan tahunan antara ahli-ahli di bidang tertentu, dan sebagainya.
Perjalanan wisata yang timbul karenanya pada umumnya disebut wisata
konvensi.
7. Motif Spiritual. Motif spiritual dan wisata spiritual merupakan salah satu
tipe wisata yang tertua. Sebelum orang mengadakan perjalanan untuk
rekreasi, bisnis, olahraga dan sebagainya, orang sudah mengadakan
perjalanan untuk berziarah (pariwisata ziarah) atau untuk keperluan
keagamaan lain. Tempat-tempat ziarah di Palestina, Roma, Mekkah dan
Madinah merupakan tempat-tempat tujuan perjalanan pariwisata yang
penting.
8. Motif Interpersonal. Istilah ini belum mapan dalam literatur
kepariwisataan. Maksudnya jelas, yaitu bahwa orang dapat mengadakan
perjalanan untuk bertemu dengan orang lain: orang dapat tertarik oleh
orang lain untuk mengadakan perjalanan wisata, atau dengan istilah
kepariwisataan: manusia pun dapat merupakan atraksi wisata.
9. Motif Kesehatan. Wisata kesehatan (health tourism) pada zaman dahulu
merupakan tipe wisata yang penting sekali. Selalu ada kegiatan-kegiatan
yang berhubungan dengan pariwisata di tempat-tempat sumber air
mineral (spa) yang dianggap memiliki khasiat untuk menyembuhkan
penyakit. Atau wisata kesehatan seperti yang sekarang sering dilakukan
pasien Indonesia yang berobat ke Singapura, Jepang, check up ke
Amerika Serikat, dan sebagainya. Perjalanan pasien-pasien tersebut
adalah perjalanan wisata kesehatan.

Hanya untuk Mahasiswa Pariwisata S1 - STP AMPTA Jogja - Prihatno Page 16


10. Wisata Sosial (Social Tourism). Wisata yang dimaksud bukanlah wisata
yang berdasarkan motif sosial. Seperti motif wisata pada umumnya, motif
wisata sosial ialah reakreasi, bersenang-senang (pleasure tourism) atau
sekadar mengisi waktu libur. Akan tetapi perjalanannya dilaksanakan
dengan bantuan pihak-pihak tertentu yang diberikan secara sosial.
Bantuan itu dapat berupa kendaraan, tempat penginapan seperti wisma
peristirahatan atau hotel, yang hanya menarik sewa yang rendah sekali.
Sebagai contohnya, wisata sosial buruh suatu pabrik untuk mengisi waktu
liburan yang diberi subsidi oleh perusahaan, berupa angkutan, makan,
dan wisma peristirahatan.
( R.G. Soekadijo, Anatomi Pariwisata)

Hanya untuk Mahasiswa Pariwisata S1 - STP AMPTA Jogja - Prihatno Page 17

Anda mungkin juga menyukai