Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

Diajukan untuk memenuhi tugas

Mata Kuliah Perekonomian Indonesia

DOSEN PENGAMPU : Dedi Joko Hermawan, S.E., M.M.


NIDN. 0713129201

DISUSUN OLEH :

1. IMAMATUL KHOIRIAH 18.641.0151


2. HIMMATUR ALFIANI 18.641.0167
3. NUR AZIZAH 18.641.0177
4. M. MAULANA YUSUF R 18.641.0183

PROGRAM STUDI MANAJEMEN


FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS PANCA MARGA PROBOLINGGO

2019
Kata Pengantar

Puji syukur kami ucapkan kepada Allah swt, karena atas rahmat dan hidayah nya kami dapat
menyelesaikan tugas makalah Zakat, Wakaf dan Pajak dalam islam. Tugas ini dibuat dalam
rangka memenuhi tugas dari mata kuliah Ekonomi Syariah.

Dalam kesempatan ini kami ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak yang telah
mendukung dan membantu proses penyelesaian makalah. Kami menyadari bahwa makalah
ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu, penulis mengharapkan saran dan kritik
yang bersifat membangun dari pembaca, khususnya dari teman teman mahasiswa dan dosen
mata kuliah.

Probolinggo , 05 Desember 2019

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................i
DAFTAR ISI.................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.............................................................................1

1.1 Latar belakang..........................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................1

1.3 Tujuan ......................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN...............................................................................2

2.1 KEBIJAKAN MONETER......................................................................2


2.2 KEBIJAKAN MONETER DAN PERBANKAN...................................6

BAB III PENUTUP.....................................................................................13

3.1 KESIMPULAN.......................................................................................13

3.2 SARAN...................................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................14

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Kebijakan moneter merupakan salah satu bagian integral dari kebijakan ekonomi makro.
Kebijakan moneter ditujukan untuk mendukung tercapainya sasaran ekonomi makro, yaitu
pertumbuhan ekonomi yang tinggi, stabilitas harga, pemerataan pembangunan, dan
keseimbangan neraca pembayaran (Iswardono, 1997).

Bank Indonesia memiliki tujuan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah.
Tujuan ini sebagaimana tercantum dalam UU No. 3 tahun 2004 Pasal 7 tentang Bank
Indonesia. Hal yang dimaksud dengan kestabilan nilai rupiah antara lain adalah kestabilan
terhadap harga-harga barang dan jasa yang tercermin pada inflasi. Untuk mencapai tujuan
tersebut, sejak tahun 2005 Bank Indonesia menerapkan kerangka kebijakan moneter dengan
inflasi sebagai sasaran utama kebijakan moneter (Inflation targeting framework) dengan
menganut sistem nilai tukar yang mengambang (free floating). Peran kestabilan nilai tukar
sangat penting dalam mencapai stabilitas harga dan sistem keuangan. Oleh karenanya Bank
Indonesia juga menjalankan kebijakan nilai tukar untuk mengurangi volatilitas nilai tukar
yang berlebihan, bukan untuk mengarahkan nilai tukar pada level tertentu.

Dalam pelaksanaannya, Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk melakukan kebijakan


moneter melalui penetapan sasaran-sasaran moneter (seperti uang beredar atau suku bunga)
dengan tujuan utama menjaga sasaran laju inflasi yang ditetapkan oleh pemerintah.

2. Rumusan Masalah

1. Apa itu kebijakan moneter dan perbankan di Indonesia?

2. Bagaimana kebijakan moneter dan perbankan di Indonesia?

3. Tujuan

1. Untuk mengetahui apa itu kebijakan moneter dan perbankan di Indonesia.

2. Untuk mengetahui bagaimana kebijakan moneter dan perbankan di Indonesia.

1
BAB II

PEMBAHASAN

1. KEBIJAKAN MONETER
A. PENGERTIAN KEBIJAKAN MONETER

Kebijakan moneter sebagai salah satu bagian dari kebijakan ekonomi makro pada
dasarnya merupakan kebijakan pengendalian jumlah uang beredar agar sesuai dengan jumlah
yang dibutuhkan dalam suatu sistem perekonomian. Melalui pengendalian jumlah uang
beredar tersebut diharapkan dapat dicapai suatu tingkat pertumbuhan ekonomi tanpa
menyebabkan terjadinya inflasi akibat bertambahnya jumlah uang yang beredar yang
mendorong permintaan barang-barang atau disebut demand pull inflation.

Sasaran kebijakan moneter yang ingin dicapai oleh otoritas moneter di Indonesia pada
prinsipnya adalah pertumbuhan ekonomi, stabilitas harga dan tingkat bunga, dan
keseimbangan neraca pembayaran serta untuk mencapai pemenuhan kesempatan kerja.
Perencanaan moneter tersebut dibuat Bank Indonesia dalam bentuk program moneter yang
pada dasarnya merupakan perencanaan jumlah uang yang akan beredar pada periode tertentu
atas dasar asumsi-asumsi tertentu. Program moneter tersebut memberikan kerangka dasar
mengenai rencana yang perlu dicapai oleh Bank Indonesia dalam pelaksanaan tugas
pengendalian moneternya. Selanjutnya berdasarkan program moneter tersebut dilakukan
pemantauan secara terus menerus terhadap perkembangan besar-besaran moneter yang
dijadikan target. Bank Indonesia secara rutin mengeluarkan Statistik Ekonomi Keuangan
Indonesia baik secara mingguan maupun bulanan disamping Laporan Tahunan Bank
Indonesia. Laporan statistik tersebut memberikan informasi mengenai posisi antara lain
sebagai berikut:

a) Neraca otoritas moneter

b) Jumlah uang beredar

c) Neraca gabungan perbankan

d) Posisi likuidasi perbankan

e) Kegiatan mobilisasi dana masyarakat

f) Posisi kredit perbankan

2
g) Suku bunga

h) Pasar uang dan modal

i) Keuangan pemerintah

j) Neraca pembayaran

k) Produk domestik bruto

l) Jumlah penanaman modal dalam dan luar negeri

m) Indeks harga

n) Indikator ekonomi dan moneter internasional

Selanjutnya dari kegiatan pemantauan dapat diketahui apaka target besar-besaran moneter
tersebut dapat dicapai, kurang dari yang ditargetkan atau bahkan telah melampaui.

B. KONSEP UANG BEREDAR DAN PENGENDALIANNYA

Pengertian uang beredar yang umum digunakan di Indonesia dapat dibedakan dalam dua
kategori yaitu uang beredar dalam arti sempit atau disebut juga narrow money (M1) dan uang
beredar dalam arti luas atau broad money (M2). M1 terdiri atas uang kartal yang beredar di
masyarakat (tidak termasuk uang kartal yang ada di bank) ditambah dengan uang giral. M2
merupakan penjumlahan dari M1 ditambah tabungan dan deposito berjangka atau disebut
juga uang kuasi (quasi money).

Strategi pengendalian uang beredar dirumuskan berdasarkan penyesuaian instrumen


kebijakan moneter antara lain operasi pasar terbuka, penyesuaian ketentuan likuiditas wajib
minimum (reserve requirement), fasilitas diskonto. Di negara-negara industri, pengendalian
uang beredar dilakukan dengan menggunakan besaran moneter seperti jumlah uang beredar
atau tingkat bunga jangka panjang sebagai target antara (intermediate target).

Permasalahan yang krusial atas penggunaan strategi pengendalian moneter antara lain adalah
memilih besaran moneter yang ada, target antara mana yang bisa digunakan dalam
pengendalian moneter dimasa yang akan datang dalam situasi yang penuh ketidak pastian.
Agregat atau besaran-besaran moneter yang mungkin dapat dipertimbangkan untuk dipilih
sebagai target antara dapat digolongkan dalam dua kelompok yaitu:

3
a) Jumlah uang beredar, kredit perbankan, uang primer (likuiditas wajib perbankan dan
digolongkan sebagai M0), deposito atau disebut monetary target, dsb

b) Penghasilan yang diperoleh dari agregat moneter seperti tingkat uang pinjaman bank
atau surat berharga pemerintah.

Sementara itu, di Indonesia sejak digunakannya target antara dalam pengendalian moneter
maka variabel agregat moneter yang digunakan adalah jumlah uang beredar meliputi uang
primer (M0), M1 dan M2. Alasan kenapa jumlah uang beredar lebih disukai dari suku bunga
jangka panjang sebagai target atara didasarkan pada alasan historis.

C. KEBIJAKAN PENGENDALIAN UANG BEREDAR

Strategi pengendalian moneter sebelum dan setelah era deregulasi (1983) pada prinsipnya
tidak berbeda dengan cara pengendalian sebelum deregulasi dalam arti bahwa kebijakan
pengendalian moneter didasarkan pada penggunaan target moneter sebagai target antara.
Namun diantara kedua cara pengendalian tersebut terdapat beberapa perbedaan dalam
pelaksanaannya meliputi antara lain:

 Target moneter. Dalam kurun waktu sebelum deregulasi 1983, target utama yang
digunakan adalah broad money yaitu jumlah uang beredar dalam arti luas (M2).
Sementara setelah deregulasi, target antara yang digunakan tidak hanya M2 tapi juga
narrow money yaitu uang beredar dalam arti sempit (M1).
 Target operasional yaitu suatu besaran yang memiliki hubungan dengan target antara.
Sebelum deregulasi target operasional yang digunakan adalah aktiva domestik netto
perbankan atau sering juga disebut total kredit perbankan. Sementara setelah
deregulasi target operasional yang digunakan adalah agregat cadangan atau tingkat
bunga jangka pendek.

Pencapaian target operasional. Sebelum deregulasi pengendalian moneter dilakukan secara


langsung di mana target operasional ditentukan secara administratif. Instrumen kebijakan
moneter yang digunakan meliputi pagu atau ceiling kredit, pagu tingkat buga, alokasi kredit
terutama pada sektor-sektor yang berprioritas tinggi.

4
D. INSTRUMEN KEBIJAKAN MONETER

Sebelum terjadinya krisis ekonomi yang diawali dari krisis rupiah yang terjadi pada
pertengahan 1997 kemudian diikuti dengan krisis moneter dan segera menjadi krisis ekonomi
sejak akhir 1997, perekonomian Indonesia dalam beberapa tahun terakhir apabila diamati
terlihat semakin meningkatnya kepercayaan terhadap kestabilan ekonomi makro. Indikasi
tersebut dapat tercermin dari semakin terintegrasinya perekonomian Indonesia dengan
perekonomian dunia yang dibarengi dengan semakin meningkatnya aliran masuk modal
asing.

Kegiatan ekonomi Indonesia dalam tahun 1996 juga masih cukup kuat. Masih kuatnya
kegiatan ekonomi domestik ini juga akan mendorong tetap tingginya permintaan masyarakat
terhadap likuiditas. Keadaan ini apabila tidak dikendalikan secara hati-hati akan
menghasilkan pertumbuhan besar-besaran moneter yang tetap tinggi yang apabila dibiarkan
akan menyebabkan tekanan-tekanan pada harga dan neraca pembayaran.

Dalam kondisi ekonomi yang semakin kompleks pengendalian moneter tidak cukup
dilakukan hanya dengan satu atau dua instrumen saja. Berbagai instrumen kebijakan moneter
yang digunakan Bank Indonesia untuk mempengaruhi besar-besaran moneter antara lain
sebagai berikut:

Operasi pasar terbuka. Ini dilakukan melalui penjualan dan pembelian surat berharga SBI dan
SBPU. Untuk lebih mengefektifkan operasi pasar terbuka ini, Bank Indonesia telah
mengembangkan kedua instrumen tersebut dengan menambahkan fasilitas repurchase
agreement (repo) ke masing-masing instrumen sehingga saat ini dikenal SBI repo dan SBPU
repo.

Fasilitas diskonto. Fasilitas diskonto ini disediakan bagi bank-bank dalam rangka
memperlancar pengaturan likuiditas sehari-hari, khususnya bank yang menghadapi maturity
mismatch antara penanam dan pendananya. Fasilitas diskonto dilakukan dengan cara
penjualan surat berharga repo atau penjaminan surat berharga. Surat berharga yang dewasa
ini dapat dipergunakan adalah SBI dan atau SBPU yang diendos oleh bank lain.

Giro Wajib Minimum (GWM). Untuk pertama kalinya sejak Pakto 1988 Bank Indonesia
menggunakan GWM untuk mengerem pertumbuhan besar-besaran moneter yang masih

5
tinggi yaitu dengan menetapkan GWM menjadi 3% pada Februari 1996 (ketentuan likuiditas
wajib minimum sebelumnya menurut Pakto 1988 adalah 2%). GWM pada dasarnya adalah
sejumlah minimum dana yang harus selalu tersedia pada saldo giro setiap bank pada Bank
Indonesia. Keharusan menyediakan sejumlah minimum dana ini juga disebut likuiditas wajib
minimum (statutory reserve requirement) yang saat ini sebesar 5% dari dana pihak ketiga
yang dihimpun berlaku sejak April 1997.

Persuasi moral. Kebijakan ini dilakukan oleh Bank Indonesia dengan meminta atau
mengimbau bank-bank untuk selalu mempertimbangkan kondisi makro ekonomi maupun
kondisi mikro masing-masing bank dalam menyusun rencana ekspansi kredit yang realitas.
Kebijakan persuasi moral atau moral suasion ini pada dasarnya dimaksudkan untuk
mendorong perbankan agar senantiasa menerapkan prinsip kehati-hatian dalam memberikan
kredit, namun dengan tetap memberikan kebebasan bagi perbankan untuk tumbuh dan
berkembang berdasarkan mekanisme pasar.

2. KEBIJAKAN MONETER DAN PERBANKAN

Perkembangan moneter dan perbankan di Indonesia sejak orde baru pada dasarnya dapat
digolongkan dalam 3 periode, yaitu:

Periode stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi. Kebijakan moneter dan perbankan pada periode
stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi di awal orde baru pada dasarnya untuk mengatasi kondisi
ekonomi yang sangat memprihatinkan saat itu. meskipun tidak ada angka inflasi yang pasti
dan disepakati namun berbagai pengamat memperkirakan tingkat inflasi berkisar 650%
pertahun, suatu angka yang fantastis dibandingkan dengan kondisi perekonomian negara-
negara tetangga saat itu. Untuk menghambat laju inflasi tersebut pemerintah mengupayakan
pengendalian tingkat inflasi kebatas yang lebih aman, meningkatkan ekspor, dan
mencukupkan sandang bagi masyarakat. Dalam rangka mengendalikan inflasi diambil dua
kebijakan pokok. Pertama mengubah kebijakan anggaran defisit menjadi anggaran
berimbang. Kedua, menjalankan kebijakan kredit yang sangat ketat dan kualitatif. Pada
periode ini pula pemerintah, sebagai bagian dari penataan kembali ekonomi, dilakukan pula
penataan sistem perbankan dengan mengeluarkan Undang-undang No. 14 Tahun 1967
tentang Pokok-pokok Perbankan dan Undang-undang No. 13 Tahun 1968 tentang Bank
Indonesia.

6
Periode saat ekonomi ditunjang sektor minyak. Kebijakan pemerintah dalam upaya
mobilisasi dana masyarakat sebagai sumber pembiayaan pembangunan disertai dengan
penyediaan Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) yang berbunga rendah memperbesar
kemampuan perbankan dalam penyaluran kredit. Penyediaan KLBI dalam jumlah besar
akibat besarnya penerimaan negara dari hasil ekspor minyak pada pertengahan dekade 1970-
an yang dikenal dengan istilah “boom minyak”, mendorong tingginya kembali tingkat inflasi.
Kebijakan moneter yang ditempuh pada periode boom minyak ini antara lain:

a) Menetapkan pagu kredit (credit ceiling) dan aktiva lainnya.

b) Menaikkan bunga kredit.

c) Menaikkan bunga deposito.

d) Menaikkan ketentuan cadangan likuiditas wajib.

Periode deregulasi perbankan. Memasuki dekade 1980-an ekonomi Indonesia mengalami


resesi sebagai da,pak dari resesi dunia. Produk domestik bruto turun drastis menjadi hanya
2,2% dibandingkan rata-rata 7,7% pada tahun-tahun sebelumnya, bahkan pernah mencapai
9,9% pada tahun 1980. Sementara itu, neraca pembayaran terus meburuk dan bahkan terjadi
defisit sebesar USD 1,930 juta pada tahun 1982. Untuk mengatasi kondisi ekonomi yang
semakin memburuk tersebut, pemerintah melakukan perubahan kebijakan di bidang ekonomi
termasuk moneter dan perbankan. Kebijakan-kebijakan yang ditempuh pemerintah pada saat
itu antara lain:

a) Penyesuaian nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat pada bulan Maret 1983
dari Rp 700 menjadi Rp 970.

b) Penjadwalan ulang proyek-proyek yang menggunakan devisa dalam jumlah besar.

c) Melakukan deregulasi sektor moneter dan perbankan dengan berbagai jenis paket
kebijakan.

7
A. PENGATURAN BANK DENGAN PRINSIP KEHATI-HATIAN (PRUDENT
BANKING)

Struktur pasar keuangan (financial markets) yang sehat ditunjang oleh pelaku pasar yang
sehat pula akan membantu berbagai langkah stabilitas ekonomi mencapai sasarannya. Oleh
karena itu dibutuhkan pelaku pasar keuangan yang mampu menangkap sinyal-sinyak indikatif
yang diisyaratkan otoritas perusahaan. Sejalan dengan itu Bank Indonesia harus terus
berupaya meningkatkan profesionalisme pelaku dalam sektor perbankan agar dapat
menciptakan bankir yang tangguh dan profesional. Melihat jumlah kantor bank yang semakin
bertambah, Bank Indonesia jelas memiliki keterbatasan dalam melakukan pengawasan.
Untuk itu Bank Indonesia mengembangkan pola pembinaan dan pengawasan yang mengarah
pada industri perbankan yang mampu mengatur sendiri dalam menerapkan pelaksanaan
prinsip kehati-hatian.

B. PENILAIAN AKTIVA PRODUKTIF

Aktiva produktif atau earning assets perbankan yang dilakukan penilaian adalah mengenai
kualitasnya yang meliputi penanaman dana, baik dalam rupiah maupun dalam valuta asing,
dalam bentuk kredit dan surat berharga. Dalam rangka melakukan monitoring terhadap
kinerja kegiatan bank terutama disisi aktivanya, berdasarkan Surat Keputusan Direksi Bank
Indonesia No. 30/267/KEP/DIR tanggal 27 Februari 1998 menetapkan suatu ketentuan yang
berkaitan dengan penilaian terhadap penanaman dana bank dalam bentuk aktiva produktif.

C. LIKUIDASI BANK

Likuidasi adalah tindakan pemberesan berupa penyelesaian seluruh hak dan kewajiban bank
sebagai akibat pembubaran badan hukum bank. Likuidasi bank dilakukan dengan cara
pencairan harta dan atau penagihan piutang kepada para debitur, diikuti dengan pembayaran
kewajiban bank kepada para kreditur dan hasil pencairan dan atau penagihan tersebut.

Ketentuan likuidasi bank diatur dalam Pasal 37 UU No. 10 Tahun 1998. Menurut ketentuan
bahwa dalam hal suatu bank mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan
usahanya, dan atau membahayakan sistem perbankan, Bank Indonesia dapat melakukan
beberapa tindakan yang dipandang perlu.

8
Suatu bank dikatakan mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya
apabila berdasarkan penilaian Bank Indonesia, kondisi usaha bank semakin memburuk,
antara lain ditandai dengan menurunnya permodalan, kualitas aset, likuiditas, dan rentabilitas
serta pengelolaan bank yang tidak dilakukan berdasarkan prinsip kehati-hatian dan prinsip-
prinsip perbankan yang sehat. Sedangkan bank yang diperkirakan membahayakan sistem
perbankan adalah apabila tingkat kesulitan yang dialami dalam melakukan kegiatan usaha
bank tidak mampu memenuhi kewajiban-kewajibannya kepada bank lain, sehingga pada
gilirannya akan menimbulkan dampak berantai kepada bank-bank lain.

D. KONDISI PERBANKAN ERA KRISIS MONETER

Tahun 1997/1998 merupakan tahun yang terberat dalam tiga puluh tahun pelaksanaan
pembangunan ekonomi Indonesia. Diawali oleh krisis nilai tukar yang terjadi pada tahun
1997. Sejak itu, kinerja perekonomian Indonesia menurun tajam dan berubah menjadi krisis
yang berkepanjangan di berbagai bidang. Proses penyebaran krisis berkembang cepat
mengingat tingginya keterbukaan perekonomian Indonesia dan ketergantungan pada sektor
luar negeri yang cukup besar. Krisis tersebut berkembang semakin parah karena terdapatnya
berbagai kelemahan mendasar di dalam perekonomian nasional terutama di tingkat mikro.

Untuk mengatasi krisis yang semakin dalam, pemerintah telah menempuh berbagai upaya.
Akan tetapi, upaya-upaya tersebut tidak begitu menunjukkan hasilnya karena adanya krisis
kepercayaan terhadap kemampuan pengelolaan dan prospek perekonomian semakin
melemah. Dengan semakin parahnya krisis yang terjadi, kegiatan intermediasi di sektor
keuangan, terutama perbankan, terganggu sehingga aliran dana untuk membiayai kegiatan
investasi dan produksi mengalami berbagai hambatan.

Kelemahan fundamental mikroekonomi juga tercermin pada kerapuhan (fragility) yang


terdapat dalam sektor keuangan, khususnya perbankan. Sebagian dari kerapuhan tersebut
terkait dengan kondisi makroekonomi yang kurang stabil terutama berupa gejolak nilai tukar
rupiah dan tingginya suku bunga. Ketidak stabilan makroekonomi dan respons kebijakan
yang diambil pemerintah menyebabkan bank sangat sulit melakukan penilaian yang akurat
megenai risiko kredit dan risiko pasar.

Besarnya tekanan arus modal keluar (capital outflow) yang dipicu oleh krisis keuangan di
negara-negara tetangga, antara lain misalnya Thailand, telah menyebabkan merosotnya nilai

9
tukar rupiah. Melemahnya nilai tukar rupiah tersebut sangat dipengaruhi oleh permintaan
dolar yang semakin besar untuk memenuhi kewajiban utang luar negeri yang segera jatuh
tempo, membiayai impor, serta tujuan-tujuan spekulatif terhadap rupiah. Untuk mengatasi
krisis tersebut Bank Indonesia telah melakukan berbagai langkah antara lain melebarkan
rentang intervensi nilai tukar rupiah terhadap dollar dari 8% menjadi 12% yang disertai
intervensi baik di pasar forward maupun spot. Sistem nilai tukar mengambang bebas
diterapkan dan intervensi di pasar valuta asing ditingkatkan.

Sebagai langkah awal dalam rangka penyehatan di bidang perbankan, pada tanggal 1
November 1997, setelah dilakukan penelitian dan pemeriksaan yang cermat oleh Bank
Indonesia pemerintah kemudian mencabut izin usaha 16 bank yang dinyatakan insolvent.
Upaya ini semula dimaksudkan untuk memulihkan kepercayaan kepada perbankan, telah
ditanggapi secara negatiif oleh masyarakat berupa penarikan dana secara besar-besaran dan
pemindahan dana dari bank yang dianggap kurang sehat ke bank yang sehat. Perkembangan
ini menyebabkan sejumlah bank mengalami kesulitan likuiditas, sehingga banyak bank yang
melanggar ketentuan Giro Wajib Minimum. Sejumlah bank bahkan mengalami saldo negatif
atas rekening gironya di Bank Indonesia. Untuk menghindari terjadinya dampak berantai
(contageon effect) terhadap bank-bank lain yang pada gilirannya menimbulkan risiko yang
lebih besar terhadap sistem perbankan secara keseluruhan (systematic risk).

E. KEBIJAKAN PEMULIHAN PERBANKAN

Dengan terus menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap perbankan dan kian


meningkatnya penarikan dana masyarakat dari perbankan disamping bertambahnya jumlah
non performing assets terutama portofolio kredit bank (non performing loan), semakin
memperburuk kondisi perbankan. Jumlah bank yang mengalami kesulitan semakin bertambah
yang berakhir dengan pengambilalihan atau bank take over (BTO), pembekuan kegiatan
operasional (BBO) atau bank beku kegiatan usaha (BBKU).

Menyadari bahwa krisis yang terjadi telah semakin memburuk, pemerintah mempercepat dan
memperluas cakupan program stabilisasi reformasi ekonomi dengan melakukan
penandatanganan memorandum kesepakatan (letter of intent) dengan IMF pada tanggal 15
Januari 1998. Khusus untuk moneter, pemerintah mengarahkan kebijakan pada upaya untuk
mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada perbankan.

10
F. PROGRAM PENJAMINAN TERHADAP KEWAJIBAN PERBANKAN

Dalam ragka usaha pemulihan kepercayaan para deposan dan kreditur baik dalam negeri
maupun luar negeri terhadap sistem perbankan Indonesia dan dalam rangka membangun
kembali sistem perbankan yang sehat sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, pemerintah
menetapkan untuk melaksanakan program yang komprehensif pemulihan sistem perbankan.
Program ini meliputi dua unsur utama, yaitu. Pertama, penyediaan jaminan penuh oleh
pemerintah kepada seluruh nasabah deposan dan kreditur bank umum nasional. Kedua,
pemerintah membentuk Badan Penyehatan Nasional. Program penjaminan ini pada dasarnya
adalah pemerintah menjamin seluruh dana masyarakat deposan dan kreditur bank yang
berbadan hukum Indonesia dijamin pengembaliannya oleh pemerintah. Jaminan berlaku atas
kewajiban baik dalam rupiah maupun dalam valuta asing. Pengecualian terhadap jaminan
tersebut berlaku sama untuk bank swasta maupun bank pemerintah. Jaminan tersebut berlaku
pula untuk bank-bank yang sedang dalam proses restrukturisasi (merger, akuisisi, konsolidasi
dan sebagainya).

G. PEMBENTUKAN BADAN PENYEHATAN PERBANKAN NASIONAL (BPPN)

Dalam rangka mengatasi dampak yang ditimbulkan oleh gejolak moneter dan untuk
meningkatkan kepercayaan masyarakat khususnya terhadap sistem perbankan nasional,
pemerintah telah memberikan jaminan terhadap kewajiban pembayaran bank umum kepada
seluruh deposan dan kreditur sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Presiden Nomor 26
Tahun 1998. Sebagai pelaksanaan jaminan pemerintah terhadap kewajiban bank tersebut di
atas, maka dalam rangka pengawasan, pembinaan dan upaya penyehatan bank, dibentuk
Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) pada tanggal 27 Januari 1998 dengan
Keputusan Presiden Nomor 27 Tahun 1998 yang kemudian dikukuhkan dalam Undang-
undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang perbankan. Sebagai tindak lanjut dari pendirian BPPN, pihak BPPN dan Bank
Indonesia sebagai pengawas bank telah bekerjasama menetapkan suatu kebijakan strategis
yang komprehensif dalam penyehatan bank. Penjabaran kebijakan tersebut dilakukan sejalan
dengan jaminan yang telah diberikan pemerintah atas keamanan dana para deposan dan
kreditur bank.

11
H. PROGRAM REKAPITALISASI PERBANKAN

Program restrukturisasi yang merupakan upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk
memulihkan kondisi perbankan yang terpuruk sebagai dampak dari krisis moneter yang
berkepanjangan sehingga menjadi krisis ekonomi. Sejak berlangsungnya krisis eknonomi,
sektor perbankan menghadapi berbagai masalah yang cukup serius. Pada akhir tahun 1997
dan awal 1998, seperti telah dijelaskan sebelumnya kepercayaan masyarakat terhadap
perbankan merosot dengan pesat, para deposan dan penabung melakukan penarikan
bersamaan (rush), bank-bank mengalami kesulitan likuiditas. Hal tersebut semakin
meningkatkan ketidak percayaan masyarakat terhadap perbankan yang jelas dapat menjurus
kepada runtuhnya sistem perbankan nasional, yang pada gilirannya akan mengakibatkan
macetnya sistem pembayaran dan perekonomian. Untuk menghindari kemungkinan itu, maka
pada akhir Januari 1998 ditempuh kebijakan penyelamatan dengan memberikan jaminan
kepada para penabung, deposan dan kreditur bank. Dengan kebijakan ini maka bank-bank
yang mengalami likuiditas dapat meminta bantuan likuiditas dari Bank Indonesia (BLBI).

Tahapan rekapitulasi. Tahapan-tahapan dalam rangka pelaksanaan program rekapitulasi


meliputi pemeriksaan kondisi keuangan bank (due diligence), pengelompokan bank atas
dasar kondisi permodalannya, penilaian terhadap rencana kerja (business plan) bank,
penilaian fit and proper test pemegang saham pengendali dan pengurus bank, serta
penyetoran modal dan pengikatan perjanjian bagi bank-bank yang memenuhi persyaratan.

12
BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan

Kebijakan moneter sebagai salah satu bagian dari kebijakan ekonomi makro pada dasarnya
merupakan kebijakan pengendalian jumlah uang beredar agar sesuai dengan jumlah yang
dibutuhkan dalam suatu sistem perekonomian. Sasaran kebijakan moneter yang ingin dicapai
oleh otoritas moneter di Indonesia pada prinsipnya adalah pertumbuhan ekonomi, stabilitas
harga dan tingkat bunga, dan keseimbangan neraca pembayaran serta untuk mencapai
pemenuhan kesempatan kerja.

Perkembangan moneter dan perbankan di Indonesia sejak orde baru pada dasarnya dapat
digolongkan dalam 3 periode, yaitu:

Periode stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi. Kebijakan moneter dan perbankan pada periode
stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi di awal orde baru pada dasarnya untuk mengatasi kondisi
ekonomi yang sangat memprihatinkan saat itu.

Periode saat ekonomi ditunjang sektor minyak. Kebijakan pemerintah dalam upaya
mobilisasi dana masyarakat sebagai sumber pembiayaan pembangunan disertai dengan
penyediaan Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) yang berbunga rendah memperbesar
kemampuan perbankan dalam penyaluran kredit

Periode deregulasi perbankan. Memasuki dekade 1980-an ekonomi Indonesia mengalami


resesi sebagai da,pak dari resesi dunia. Produk domestik bruto turun drastis menjadi hanya
2,2% dibandingkan rata-rata 7,7% pada tahun-tahun sebelumnya, bahkan pernah mencapai
9,9% pada tahun 1980.

2. Saran

Dengan adanya makalah ini kami berharap dapat membantu pembaca untuk memahami
tentang Kebijakan Moneter dan Perbankan Di Indonesia dengan baik. Namun kami sadar
bahwa dalam makalah ini masih terdapat kekurangan-kekurangan. Oleh karena itu kami
mengharapkan bantuan pembaca untuk memberikan saran, kritik,dan masukan agar tugas ini

13
bisa menjadi lebih baik lagi. Terima kasih atas perhatiannya, kami tunggu saran dari
pembaca.
DAFTAR PUSTAKA

http://sujanae.blogspot.com/2011/12/bab-i-pendahuluan-pembangunan-ekonomi.html

14

Anda mungkin juga menyukai