Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH HUKUM MILITER

“PERBANDINGAN HUKUM KUHP DAN KUHPM”

Di Susun oleh:
Ummu Syahidah Mabruroh
Npm :18071010062/B

Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jawa Timur


2020
BAB I
PENDAHULUAN

1.1   Latar Belakang
      Sebagaimana telah kita ketahui pemidanaan bagi seorang prajurit militer hanya diatur
dalam  Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM). Dilihat dari perspektif
hukum pidana KUHPM dapat dikategorikan sebagai hukum pidana khusus, Hal tersebut
disebabkan KUHPM dibentuk dan diberlakukan bagi orang-orang tertentu misalnya anggota
angkatan bersenjata yang pengaturannya dilakukan secara khusus. Dengan demikian
KUHPM merupakan kitab hukum pidana yang diberlakukan khusus bagi anggota TNI
mengandung arti bahwa hukum pidana tersebut mengatur suatu perbuatan yang hanya dapat
dilakukan oleh orang-orang tertentu (Prajurit). Kekhususan hukum pidana Militer tidak dapat
dilepaskan dari sifat dan hakekat anggota Militer itu sendiri yang bersifat khusus, sehingga
hukum pidana Militer bisa saja menyimpang dari azas-azas hukum pidana umum,
penyimpangan tersebut antara lain menyangkut sanksi pidana yang berbeda dengan stelsel
pemidanaan yang lazim berlaku bagi masyarakat umum.
       Bentuk penyimpangan sanksi hukum pidana dalam KUHPM dapat dilihat dalam pasal 6
huruf a dan b yang menyatakan bahwa terdapat dua jenis hukum pidana yaitu pidana pokok
dan pidana tambahan yang dapat dikenakan terhadap anggota Militer. Pidana pokok seperti
penjatuhan pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, dan pidana tutupan. Sedangkan
pidana tambahan yaitu, pemecatan dari dinas kemiliteran dengan atau tanpa pencabutan
haknya untuk memasuki angkatan bersenjata, penurunan pangkat dan pencabutan hak. Jenis
pidana pemecatan ini bersifat murni kemiliteran (van zuiver militaire aard) yang tidak ada
dalam hukum pidana umum (KUHP).
       Sejalan dengan semakin ditinggalkannya pidana mati di negara-negara maju, memang
tujuan pemidanaan  tersebut tidak dapat diterapkan  terhadap penjatuhan  pidana mati. Negara
Belanda sebagai sumber hukum pidana di Indonesia, juga telah meninggalkan pidana mati,
namun kita justru memperbanyak undang-undang yang di dalamnya tercantum pidana
mati.  Oleh karenanya apabila pidana mati tidak diterapkan lagi maka tujuan pemidanaan
yang sudah dianut secara menyeluruh di seluruh negara sebagaimana tercantum dalam
Rancangan KUHP Nasional tersebut akan menjadi berarti.[1]
       Tujuan pemidanaan tersebut juga kurang dapat diterapkan dalam penjatuhan pidana
tambahan pemecatan dari dinas militer. Pidana tambahan tersebut justru dirasakan lebih berat
dari pada pidana pokok berupa perampasan kemerdekaan. Para prajurit yang dipecat
melakukan upaya banding, kasasi, PK, grasi, bahkan grasi ke-2, hanya untuk berharap tidak
dipecat dari dinas TNI.
        Di satu sisi kewenangan pemecatan tersebut adalah merupakan kewenangan pejabat
administrasi dalam hal ini oleh Presiden untuk yang berpangkat Kolonel ke atas dan untuk
yang berpangkat Letkol ke bawah oleh panglima TNI atau Kas Angkatan. Di sisi lain menjadi
kewenangan hakim walaupun pada akhirnya putusan tersebut diikuti secara administrasi
       Oleh karena adanya duplikasi kewenangan tersebut, dalam prakteknya sering terjadi
benturan dimana keputusan kesatuan yang melakukan PDTH telah mendahului putusan,
sedangkan keputusan tersebut didasarkan atas perbuatan tindak pidana yang justru adalah
juga sebagai dasar dilakukannya pemeriksaan di pengadilan.
       Sistem penjatuhan pidana tambahan pemecatan dari dinas militer, sebagai sub sistem
dalam penjatuhan pidana pada lingkungan peradilan militer memang diakui sebagai suatu
kekhususan atau khas hukum pidana militer, namun apabila dalam prakteknya justru
menimbulkan kesemrautan maka hal tersebut menjadi bertentangan dengan asas yang berlaku
dalam sisitem pemidanaan pada umumnya. 
        Apabila dalam sistem pemidanaan pada umumnya dikenal jenis-jenis pidana berupa
pidana pokok dan dan pidana tambahan dan bentuk-bentuk  pidana dari masing-masing jenis
pidana tersebut, maka hal tersebut seluruhnya dikenal sebagai pemidanaan yang menjadi
kewenangan hakim, sedangkan dalam hukum pidana militer dikenal pidana tambahan
pemecatan dari dinas militer yang walaupun dikenal sebagai khasnya militer, namun dari segi
kewenangan pada prinsipnya hal tersebut adalah kewenangan pejabat administrasi.
1.2  Perumusan Masalah
1.      Bagaimanakah pelaksanaan pidana militer menurut KUHPM?
2.      Bagaimanakah pelaksanaan pidana tambahan menurut KUHPM?
1.3  Tujuan Penulisan
1.      Untuk mendapat penjelasan dan pemahaman yang jelas tentang pelaksanaan pidana militer
menurut KUHPM
2.      Untuk mendapat penjelasan dan pemahaman yang jelas tentang pelaksanaan pidana
tambahan menurut KUHPM

1.4  Metode Penulisan
       Dalam penulisan makalah ini penulis menggunakan metode kepustakaan (library
research), yakni suatu metode yang digunakan dengan jalan mempelajari buku- buku
literatur, serta sumber-sumber lainnya dari internet, yang berkaitan dengan materi pokok
yang kemudian digunakan untuk mendukung pembahasan makalah.
1.5  Sistematika Penulisan
      Untuk memudahkan pemahaman, maka penulis menyusunnya dalam beberapa bab yang
erat kaitannya satu sama lain, dengan sistematika sebagai berikut :
BAB I Pendahuluan yang terbagi atas beberapa sub bab, yaitu :
a.       Latar belakang masalah. Dalam sub bab ini dikemukakan apa pentingnnya untuk dilakukan
pembahasan terhadap pokok permasalahan dalam makalah ini.
b.      Perumusan masalah. Menguraikan tentang landasan-landasan teoritis yang dipergunakan
untuk menunjang pembahasan.
BAB II Tinjauan Pustaka : Dalam bab dua ini diletakkan dasar-dasar umum untuk
dilakukannya pembahasan terhadap pokok permasalahan dalam bab berikut nanti. Bab ini
terdiri dari beberapa sub bagian sebagai berikut :
a.       Jenis Hakekat Pidana, dimana diuraikan tentang jenis-jenis pidana menurut KUHPM dan
Hakekat Pidana Militer.
b.      Perbandingan pidana umum dan pidana militer, mengenai perbedaan pidana antara KUHP
dengan KUHP Militer.
 BAB III  Pembahasan : Bab ini terdiri dari 2 subab yang masing-masing membahas, yaitu :
a.       Pelaksanaan pidana militer (menurut KUHPM)
b.      Pelaksanaan pidana tambahan (menurut KUHPM)
Bab IV Penutup : Bab ini terdiri dari kesimpulan dan saran-saran dari pembahasan.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1  Jenis dan Hakekat Pidana Militer

Jenis-jenis pidana militer terdapat dalam Pasal 6 KUHPM , yang terdiri dari pidana-pidana
utama dan pidana-pidana tambahan,yaitu :
1.      Pidana- pidana utama:
a.       Pidana mati;
b.      Pidana penjara;
c.       Pidana kurungan; dan
d.      Pidana tutupan (UU No.20 Tahun 1946)
2.      pidana-pidana tambahan terdiri dari;
a.       Pemecatan dari dinas militer dengan dan atau tanpa pencabutan haknya untuk  memasuki
Angkatan Bersenjata;
b.      Penurunan pangkat; dan
c.       Pencabutan hak-hak yang telah disebutkan pada Pasal 35 ayat pertama pada nomor-nomor
ke-1, ke-2, dan ke-3 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
         Pemidanaan bagi seorang militer, pada dasarnya merupakan suatu tindakan pendidikan
atau pembinaan dari pada tindakan penjeraan atau pembalasan, selama terpidana akan
diaktifkan kembali dalam dinas militer setelah selesai menjalani pidana. Seseorang militer ex
narapidana yang akan kembali aktif tersebut harus menjadi seorang militer yang baik dan
berguna baik karena kesadaran sendiri maupun sebagai hasil “tindakan pendidikan” yang ia
terima selama dalam rumah penjara militer (rumah rehabilitasi militer). Seaindainya tidak
demikian halnya, maka pemidanaan itu tiada mempunyai arti dalam rangka pengembaliannya
dalam masyarakat militer. Hal seperti ini perlu menjadi dasar pertimbangan hakim untuk
menentukan perlu tidaknya penjatuhan pidana tambahan pemecatan terhadap terpidana
disamping dasar-dasar lainnya yang sudah di tentukan. Jika terpidana adalah seorang non
militer, maka hakekatnya dan pelaksanaan pidananya sama dengan yang diatur dalam KUHP.

2.2  Perbandingan Pidana Umum dan Pidana Militer.

Terdapat perbandingan antara pidana umum dalam KUHP dan pidana militer dalam
KUHPM, yaitu:[2]
  Pelaksanaan pidana “perampasan kemerdekaan” pada militer dijalankan ditempat yang
dikuasai/dipimpin oleh militer dan lebih menitikberatkan pada pendidikan (rehabilitasi) dari
pada penjeraan, sedang untuk non militer dalam prakteknya lebih merupakan kebalikannya.
  Jenis pidana denda tidak dikenal dalam rumusn tindak pidana militer. Tetapi tidak berarti
bahwa kepada seseorang militer tidak mungkin dijatuhi pidana denda. Kecuali mengenai
tindak pidana tertentu (misalnya penyeludupan) dalam banyak hal adalah lebih bijaksana
untuk menyelesaikan suatu perkara sedemikian itu secara disiplin sekiranya sudah dapat
diperkirakan bahwa nantinya hanya akan dijatuhi pidana denda.
  Sama dengan sistem yang dianut dalam KUHP, juga yang dianut dalam KUHPM ialah, bahwa
pidana tambahan tidak boleh dijatuhkan berdiri sendiri. Dengan perkataan lain pidana
tambahan atau beberapa pidana tambahan hanya dijatuhkan bila dianggap perlu menambah
pidana pokok yang telah dijatuhkan.
  Jenis pidana tambahan pertama dan kedua dari KUHPM adalah murni bersifat kemiliteran
(van ziuver militaire aard). Pada hukum pidana umum, pengaturan mengenai penjatuhan
pidana tambahan dalam pasal-pasal tertentu dalam Buku II KUHP (dan pasal-pasal tertentu
dalam undang-undang hukum pidana lainnya). Ketentuan seperti itu tak terdapat dalam Buku
II KUHPM. Sistem yang digunakan oleh KUHPM ialah sistem umum, yaitu memberikan
kebebasan dan kepercayaan sepenuhnya kepada hakim untuk menambahkan pidana tersebut
atas dasar penelitian bahwa benar-benar terpidana itu tak layak lagi berdinas sebagai militer
(untuk pidana tambahan ke-1) atau benar-benar tak layak lagi ia tetap dalam kepangkatannya
yang semula (untuk pidana tambahan yang ke-2).
  Dalam KUHP terdapat pidana tambahan “perampasan dan pengumuman keputusan hakim”
tetapi dalam KUHPM tidak. Ini tidak berarti bahwa dua jenis pidana tambahan tersebut tak
dikenal dalam peradilan militer. Pidana tambahan perampasan selalu dapat dijatuhkan asal
saja memenuhi hal-hal yang ditentukan dalam pasal 39 KUHP melalui pasal 1 KUHPM,
sedangkan pidana tambahan pengumuman keputusan hakim harus memenuhi ketentuan-
ketentuan dalam pasal-pasal yang berhubungan dengan tindak pidana yang bersangkutan,
atau aturan-aturan umum lainnya melalui pasal 1 dan 2 KUHPM.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1  Pelaksanaan pidana militer (menurut KUHPM)

a.       Pelaksanaan Pidana Mati


       Pelaksanaan pidana mati dilakukan menurut ketentuan yang berlaku. Maksudnya
pelaksanaan pidana mati itu (Pasal 255 UU No.31 Tahun 1997) dilakukan menurut ketentuan
perundang-undangan yang berlaku dan dilaksanakan tidak di depan umum.
       Dalam ketentuan Pasal 8 dan 9 KUHPM menegaskan bahwa pidana mati yang
dijatuhkan kepada militer, sepanjang ia tidak dipecat dari dinas militer, dijalankan dengan
ditembak mati oleh sejumlah militer yang cukup. Peraturan selanjutnya tentang tata cara
menjalankan diatur dengan peraturan pemerintah. Penguburan jenasah terpidana
diselenggarakan dengan sederhana tanpa upacara militer, atau jika menjalankan pidana mati
itu dilaksanakan di perahu laut dan jauh dari pantai, jenasah terpidana terjun ke laut.
      Sekalipun pidana mati yang dijatuhkan oleh hakim sudah mempunyai kekuatan hukum
yang tetap, artinya terpidana tidak mohon naik banding, tidak mohon grasi, bahkan menerima
pidana tersebut, namun pidana mati belum boleh dilaksanakan sebelum turun keputusan
presiden mengenai pelaksanaannya. Hal ini diatur dalam Pasal 2 dan 3 UU Grasi No.3 Tahun
1950 LN No. 40 Tahun 1950. Ditempatkannya ketentuan ini dalam undang-undang grasi,
mempunyai arti bahwa walaupun terpidana tidak memohon grasi, namun demi mencegah
kesalahan yang mungkin terjadi, melalui prosedur yang ketat masih dianggap perlu untuk
meminta pendapat dan keputusan presiden. Sudah barang tentu presiden tidak boleh
mencampuri urusan pengadilan/mahkamah. Oleh karena itu kesempatan presiden untuk turut
berperan tidak dalam bentuk upaya yang lazim dalam peradilan, melainkan suatu upaya
hukum yang khas menjadi wewenang presiden (Pasal 14 UUD 1945) yang berbentuk member
pengampunan (grasi).
        Apabila keputusan presiden tidak merubah pidana mati yang dijatuhkan oleh peradilan/
mahkamah, maka pelaksanaannya diatur dalam UU No. 2 Pnps Tahun 1964. Pelaksanaan
pidana mati dilakukan dengan ditembak sampai mati. Cara-cara pelaksanaannya untuk
terpidana justisiabel peradilan sipil diatur dalam Pasal 2 sd 16 UU No.2 Pnps Tahun 1964
tersebut dan untuk terpidana justisiabel peradilan militer diatur dalam pasal 17. Beberapa
ketentuan tentang cara pelaksanaan pidana mati justisiabel peradilan militer adalah :
1)      Tempat pelaksanaan pidana mati ditentukan oleh Menhankam di daerah mahkamah yang
menjatuhkan keputusan tersebut, kecuali jika ditentukan lain. Dalam ketentuan undang-
undang ini disebut Menteri/Panglima Angkatan yang bersangkutan. Dengan peniadaan
delegasi wewenang Jaksa Tentara Agung kepada para Menteri/Panglima Angkatan (yang
sekarang hanya merupakan Kepala Staf Angkatan/ Kepala Kepolisian Negara), berdasarkan
Keppres No. 53 Tahun 1972, satu-satunya yang menerima delegasi wewenang tersebut
adalah Menhankam untuk lingkungan (peradilan) militer/ABRI.
2)      Panglima Daerah bertanggungjawab mengenai pelaksanaannya setelah mendengar saran dari
oditur militer/oditur militer tinggi yang bersangkutan dan menentukan hari/tanggal
pelaksanaan tersebut.
3)      Pelaksanaan pidana mati dilakukan oleh satu regu militer.
4)      Apabila terpidana sedang hamil harus ditunda pelaksanaannya sampai anak yang dikandung
lahir.
5)      Tiga kali 24 jam sebelum saat pelaksaan pidana mati, ormil/ormiliti yang bersangkutan harus
memberitahukan tentang pelaksaan tersebut kepada terpidana dan apabila terpidana
mengemukakan sesuatu maka pesan itu harus diterima oleh ormil/ormiliti yang bersangkutan.
6)      Ormil/ormiliti yang bersangkutan dan Panglima Daerah atau yang ditunjuknya harus
menghadiri pelaksanaan tersebut, sedangkan pembela terpidana atas permintaan sendiri dapat
menghadirinya.
7)      Pelaksanaannya tidak boleh di muka umum.
8)      Penguburan jenazah terpidana diserahkan kepada keluarga/sahabat-sahabat terpidana dan
harus dicegah pelaksanaan penguburan yang demonstratif. Dalam hal ini ada pengecualian
yaitu apabila ormil/ormiliti berpendapat bahwa penguburan itu harus diselenggarakan oleh
negara demi kepentingan umum/militer.
9)      Setelah selesai pelaksanaan pidana mati tersebut, ormil/ormiliti harus membuat berita acara
pelaksanaan pidana mati, yang kemudian isi berita acara tersebut harus disalinkan untuk
putusan mahkamah yang bersangkutan.

b.      Pelaksanaan Pidana Penjara


      Pidana penjara adalah bentuk pidana yang berupa pembatasan kebebasan bergerak yang
dilakukan dengan menutup atau menempelkan terpidana didalam sebuah lembaga
pemasyarakatan dengan mewajibkannya untuk mentaati semua peraturan tata tertib yang
berlaku didalam lembaga pemasyarakatan tersebut.[3]
     Menurut UU No. 31 Tahun 1997 Pasal 256 ayat (1) menegaskan bahwa : “ Pidana penjara
atau kurungan dilaksanakan di Lembaga Permasyarakatan Militer atau dapat juga ditempat
lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Apabila terpidana penjara
atau kurungan dan kemudian dijatuhi pidana penjara atau sejenis, maka sebelum menjalani
pidana yang di jatuhkan itu terlebih dahulu, kemudian baru menjalani pidana dan dijatuhkan
(ayat 2). Sedangkan apabila terpidana dipecat dari Dinas Keprajuritan (ayat 3), maka pidana
yang dijatuhkan itu dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan Umum. [4]
     Adapun yang dimaksud dengan ketentuan Pasal 256 ayat (2) tersebut adalah agar pidana
itu dijalani secara berurutan atau berturut-turut secara berkesinambungan dengan tidak
terputus keseluruhan hukuman. Penjatuhan pidana sebagaimana dimaksud Pasal 256 ayat (2)
tersebut dapat beberapa macam :
1)      Dijatuhi hukuman penjara kemudian dijatuhi pula dengan hukuman kurungan.
2)      Dijatuhi hukuman kurungan kemudian dijatuhi pula hukuman penjara.
3)      Dijatuhi hukuman penjara kemudian dijatuhi pula hukuman penjara yang lain.
4)      Dijatuhi hukuman penjara kemudian dijatuhi pula hukuman tambahan, misalnya denda.
Perbedaan antara pidana penjara dengan pidana kurungan dapat diuraikan sebagai berikut:
  Pidana penjara ancaman pidana minimum satu hari dan maksimum 15 tahun, sedangkan
pidana kurungan minimum satu hari dan maksimum 1 tahun.
  Terpidana dengan pidana kurungan diberi pekerjaan yang lebih ringan, dan ia dapat
memperbaiki nasibnya dengan memperoleh kiriman makanan dan tempat tidur dari rumah.

c.       Pelaksanaan Pidana Kurungan


       Pelaksanaan pidana kurungan ditentukan dalam Pasal 14 KUHPM : “Apabila seorang
dinyatakan bersalah karena melakukan suatu kejahatan yang dirumuskan dalam undang-
undang ini dan kepadanya akan dijatuhkan pidana penjara sebagai pidana utama yang tidak
melebihi 3 bulan, hakim berhak menentukan dengan putusan bahwa pidana tersebut
dijalankan sebagai pidana kurungan”. Untuk perkara pidana yang bersifat ringan, antara lain
yang hanya diancam  dengan pidana paling lama 3 bulan akan diselesaikan dengan
pelanggaran disiplin. Namun demikian apabila suatu perkara yang seharusnya diserahkan
untuk diselesaikan dengan pelanggaran disiplin  telah dilimpahkan ke Pengadilan Militer,
maka Oditur dapat menuntut agar terdakwa dijatuhi pidana 3 bulan penjara dan dijalankan
sebagai pidana kurungan. Kalaupun Oditur tidak menuntut demikian, maka hakim dapatsaja
menjatuhkan putusannya dengan pidana kurungan.
d.      Pelaksanaan Pidana Tutupan
Pidana tutupan diatur dalam UU No 20 Tahun 1946, sebagai berikut:
         Pasal 1 menegaskan bahwa selain dari pada hukuman pokok tersebut dalam Pasal 10 huruf a
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer adalah hukum pokok baru, yaitu hukuman
tutupan yang menggantikan hukuman penjara dalam hal tersebut di Pasal 2.
         Pasal 2 ayat (1) “Dalam mengadili orang yang melakukan kejahatan yang dincam dengan
hukuman penjara, karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati, hakim boleh
menjatuhkan hukuman tutupan. Ayat (2) “ Peraturan dalam ayat (1) tidak berlaku jika
perbuatan yang merupakan kejahatan atau cara melakukan perbuatan itu atau akibat dari
perbuatan tadi adalah sedemikian sehingga hakim berpendapat bahwa hukuman penjara lebih
pada tempatnya.
         Pasal 3 ayat (1) “Barangsiapa dihukum dengan hukuman tutupan wajib menjalankan
pekerjaan yang diperintahkan kepadanya menurut peraturan yang ditetapkan berdasarkan
Pasal 5. Ayat (2) “ Menteri yang bersangkutan atau pegawai yang ditunjuknya berhak atas
permintan terhukum membebaskannya dari kewajiban yang dimaksud dalam ayat (1).
         Pasal 4 “ Semua peraturan yang mengenai hukuman penjara berlaku juga terhadap hukuman
tutupan, jika peraturan itu tidak bertentangan dengan sifat atau peraturan khusus tentang
hukuman tutupan.
         Pasal 5 ayat (1) “ Tempat untuk menjalani hukuman tutupan, cara melakukan hukuman itu
dan segala sesuatu yang perlu untuk menjalankan undang-undang ini diatur dalam Peraturan
Pemerintah. Ayat (2) “Peraturan tata tertib guna rumah buat menjalankan hukuman tutupan
diatur oleh Menteri Kehakiman dengan persetujuan Menteri Pertahanan.

e.       Pelaksanaan Pidana Bersyarat


        Dalam ketentuan Pasal 257 Undang-Undang Peradilan Militer No. 31 Tahun 1997,
menegaskan bahwa dalam hal pengadilan menjatuhkan pidana bersyarat, pelaksanaannya
dilakukan dengan pengawasan serta pengamatan yang sungguh-sungguh dan menurut
ketentuan undang-undang ini. Adapun yang dimaksud dengan pidana bersyarat adalah
hukuman yang dijatuhkan kepada terpidana tidak perlu dijalani, kecuali ada perintah lain dari
hakim, disebabkan terpidana sebelum masa percobaan habis, melakukan perbuatan pidana
atau telah melanggar syarat-syarat yang telah ditentukan dalam putusan. Dalam menjatuhkan
putusan, hakim dapat menentukan syarat-syarat khusus yaitu mengenai :[5]
         Ganti rugi sebagian/seluruhnya dari akibat tindak pidana yang dilakukan oleh terpidana
         Tingkah laku terpidana selama atau sebagian dari masa percobaan
Yang melakukan pengawasan supaya syarat-syarat baik umum maupun khusus dipenuhi
adalah pejabat yang berwenang melaksanakan putusan, ialah Oditur Militer yang
bersangkutan. Hakim dapat pula merubah syarat khusus dan/atau memperpanjang masa
percobaan, yaitu :
  Atas usul pejabat yang berwenang menyuruh menjalankan perintah (oditur militer yang
bersangkutan), atau
  Atas permintaan terpidana.
Atas usul pejabat yang berwenang menyuruh menjalankan perintah (oditur yang
bersangkutan), hakim berwenang menegur atau memerintahkan kepada oditur militer supaya
pidana/putusan dijalankan oleh terpidana karena :[6]
-          Terpidana selama masa percobaan melakukan suatu tindak pidana untuk mana ia telah
dijatuhi pidana dan telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, atau
-          Terpidana tidak memenuhi salah satu syarat lainnya, atau
-          Terpidana selama masa percobaan, dijatuhi pidana dan telah mempunyai kekuatan hukum
yang tetap, karena melakuakan suatu tindak pidana sebelum masa percobaan dimulai.
Sepanjang terpidana tidak melanggar syarat-syarat yang telah ditentukan,pidana yang telah
dijatuhkan tidak perlu dijalankan walau pada dasarnya percobaan baik syarat umum maupun
syarat khusus juga merupakan hukuman bagi terpidana.
Adapun masa percobaan yang ditentukan dalam putusan hakim adalah :
1)      Dalam waktu 3 (tiga) bulan
2)      Dalam waktu 6 (enam) bulan
3)      Dalam waktu 1 (satu) tahun
4)      Dalam waktu 2 (dua) tahun, atau
5)      Paling lama dalam waktu 3 (tiga) tahun
Apabila jangka waktu masa percobaan telah habis, kemudian terpidana melakukan tindak
pidana lagi, maka tindak pidana yang telah dilakukan dengan masa percobaan tersebut tidak
perlu dijalani.
Ketentuan pidana bersyarat ini diatur dalam Pasal 15 s/d 20 KUHPM sebagai berikut :
-          Pasal 15: hak yang dimaksud pada Pasal 14 a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, hanya
digunakan apabila tidak akan bertentangan dengan kepentingan militer.
-          Pasal 16: dalam perintah kepada terpidana yang dimaksudkan pada Pasal 14 a Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana, jika terpidana adalah militer, harus selalu ikut ditetapkan
sebagai persyaratan umum bahwa sebelum habis masa percobaan terpidana tidak akan
melakukan pelanggaran disiplin militer yang tercantum pada Pasal 2 nomor 1, Kitab Undang-
Undang Disiplin Militer yang bersifat berat, dengan demikian pula mengenai pelanggaran
disiplin militer yang tercantum pada nomor 2 s/d 6 Pasal tersebut.
-          Pasal 17: jika terpidana adalah militer, maka usul yang dimaksud pada ayat (1) Pasal 14 f
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dibuat berdasarkan keputusan dari Panglima/Perwira
Komandan langsungnya, keputusan mana tidak boleh diambil sebelum meminta pendapat
dari pejabat yang berhak mengajukan usulan tersebut.
-          Pasal 18: apabila pemerintah diberikan untuk menjalani pidana sesuai Pasal 14 f Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana, kepada terpidana yang pada saat itu bukan seorang militer
atau tidak sedang dalam dinas yang sebenarnya, hakim dapat menentukan bahwa pidana-
pidana tambahan yang dimaksu dengan Pasal 6 b nomor 1 dan 2 tidak dijalankan.
-          Pasal 19: (diubah dengan Undang-Undang No. 39 Tahun 1947). Apabila perintah yang
dimaksudkan pada Pasal 14 a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana telah diberikan oleh
suatu mahkamah militer luar biasa atau khusus telah ditiadakan/dihentikan, maka yang
dianggap sebagai pejabat yang dimaksud pada pasal 14 d Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana adalah Jaksa Tentara Agung/Oditur Jenderal dan hak-hak yang dirumuskan pada Pasal
14 e dan f Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dilaksanakan oleh Mahkamah Militer
Agung.
-          Pasal 20: apabila diberikan suatu tugas untuk member bantuan atau pertolongan sesuai
dengan Pasal 14 d ayat 2 atau Pasal 15 a ayat (4) KUHP, maka tindakan-tindakan yang
berhubungan dengan itu harus dengan persetujuan Panglima/Perwira Komandan langsung,
jika terpidana bersyarat berada dalam dinas yang sebenarnya.

3.2  Pelaksanaan Pidana Tambahan

a.       Pemecatan dari Dinas Militer.


       Beberapa ketentuan yang dijadikan dasar  hukum  pemecatan kepada Prajurit TNI dapat
kita lihat sebagai berikut:
  Pasal 26 ayat (1) menentukan bahwa Pemecatan dari dinas militer dengan atau tanpa
mencabutan hak untuk memasuki Angkatan Bersenjata, selain dari pada yang ditentukan
dalam Pasal 39, dapat dijatuhkan oleh hakim berbarengan dengan setiap putusan penjatuhan
pidana mati atau pidana penjara kepada seseorang militer yang berdasarkan kejahatan yang
dilakukan dipandangnya tidak layak lagi tetap dalam kalangan militer. Pemecatan tersebut
menurut hukum berakibat hilangnya semua hak-hak yang diperolehnya dari Angkatan
Bersenjata selama dinasnya yang dahulu, dengan pengecualian bahwa hak pensiun hanya
akan hilang dalam hal-hal yang disebutkan dalam peraturan pensiun yang berlaku bagi
terpidana (ayat 2). Apabila pemecatan tersebut berbarengan dengan pencabutan hak untuk
memasuki Angkatan Bersenjata, menurut hukum juga berakibat hilangnya hak untuk
memiliki dan memakai bintang-bintang, tanda-tanda kehormatan medali-medali atau tanda-
tanda pengenalan, sepanjang kedua-duanya yang disebut terakhir diperolehnya berkenaan
dengan dinasnya yang dahulu (ayat 3).
  Pasal 27 : ( Diubah dengan UU No.39 Tahun 1947). “Jika pemecatan dari dinas militer telah
dijatuhkan tanpa pencabutan hak untuk memasuki Angkatan Bersenjata, maka siterpecat
hanya dalam keadaan-keadaan yang luar biasa saja atas pertimbangan Menteri Pertahanan
dan Keamanan dapat dipanggil untuk memenuhi dinas militer yang diharuskan baginya
dalam masa dinasnya atau dapat diijinkan untuk mengadakan ikatan dinas militer sukarela”.
Untuk memahami lebih jelas tentang ketentuan-ketentuan pidana tambahan pemecatan dari
dinas militer tersebut, maka harus diketahui isi dari pasal-pasal berikut ini :
-          Pasal 39 KUHPM menentukan: berbarengan dengan keputusan penjatuhan pidana mati atau
pidana penjara seumur hidup, kecuali yang ditentukan dalam Pasal 67 KUHP, tidak boleh
dijatuhkan lainnya, selain dari pada pemecatan dari dinas militer dengan pencabutan hak
untuk memasuki Angkatan Bersenjata.
-          Pasal 67 KUHP menentukan: berbarengan dengan putusan penjatuhan dengan pidana mati
atau pidana  penjara seumur hidup tidak boleh dijatuhkan pidana-pidana lainnya, selain dari
pada pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang yang telah disita sebelumnya
dan pengumuman keputusan hakim.
Dilihat dari hubungan antara pasal 39 KUHPM dengan pasal 67 KUHP  tersebut, maka pasal
39 KUHPM telah memperluas pasal 67 KUHP tersebut dengan membolehkan berbarengan
dengan penjatuhan pidana mati atau penjara seumur hidup adalah pemecatan dari dinas
militer dengan pencabutan hak untuk memasuki Angkatan Bersenjata.
Beberapa pokok-pokok yang perlu diperhatikan dalam penjatuhan pidana tambahan
pemecatan ini yaitu antara lain :
  Apabila diperbandingkan dengan ketentuan pasal 35 (1) ke-1 dan ke  -2 KUHP dengan
pasal  26 KUHPM maka pada pasal 35 KUHP harus dikaitkan dengan ketentuan pasal 36 dan
38 KUHP dimana  ditentukan bahwa pencabutan hak memegang jabatan atau hak untuk
memasuki Angkatan Bersenjata hanya boleh dalam hal-hal pemidanaan karena kejahatan-
kejahatan   tertentu  saja  dan   hakim  harus  menentukan lamanya   pencabutan  itu berlaku.
Sedangkan dalam KUHPM hal-hal tersebut disimpangi yaitu penjatuhan pemecatan tersebut
tidak hanya karena kejahatan tertentu saja, melainkan setiap kejahatan dan tidak diharuskan
menentukan lamanya pencabutan, yang berarti dapat berlaku seumur hidup. Di dalam ayat (2)
pasal 35 KUHP disebutkan, Hakim tidak berwenang memecat seorang pejabat dari
jabatannya jika dalam aturan-aturan khusus ditentukan penguasa lain untuk pemecatan itu.
  Pasal 26 KUHPM dalam rangka penjatuhan pidana tambahan pemecatan dari dinas militer
dengan atau tanpa pencabutan hak untuk memasuki Angkatan Bersenjata secara berbarengan
dengan pidana utama, justru tidak memperbedakan pidana penjara seumur hidup dengan
pidana penjara sementara. Artinya baik berbarengan dengan pidana penjara seumur hidup
ataupun dengan pidana penjara sementara (misalnya 3 tahun) hakim militer berhak
menjatuhkan pidana pemecatan tersebut. Dalam hal ini tidak ditentukan batas maksimum dari
(pidana utama) pidana penjara tersebut untuk dapat dibarengkan/digabungkan dengan pidana
tambahan pemecatan tersebut.
  Pidana tambahan tersebut dapat dijatuhkan oleh hakim militer bukan saja atas dasar kejahatan-
kejahatan yang terdapat dalam KUHPM. Tetapi juga atas dasar kejahatan-kejahatan baik
umum maupun militer yang diancam dengan pidana mati atau penjara. Dalam rangka
koneksitas hakim sipil tidak dapat menjatuhkan pidana pemecatan tersebut, karena
pedomannya adalah KUHP, dan apabila dipandang perlu dilakukan pemecatan dilalui  secara
administrasi.
  Pandangan hakim militer mengenai kejahatan yang dilakukan  oleh terdakwa berdasarkan
penilaian tidak layak lagi dipertahankan dalam kehidupan masyarakat militer harus tercakup
atau tersirat suatu makna, bahwa apabila tidak dijatuhkan pidana pemecatan, maka kehadiran
terpidana nantinya dalam masyarakat militer setelah ia selesai menjalani pidananya, akan
menggoncangkan sendi-sendi ketertiban dalam masyarakat.

b.      Penurunan Pangkat
Penurunan pangkat dapat diputuskan oleh hakim yang diatur dalam ketentuan Pasal 28
KUHPM berikut ini :
-          Pasal 28 ayat (1) : (Diubah dengan UU No. 39 Tahun 1947). Pada setiap pemindaan terhadap
seseorang perwira atau bintara, yang berdasarkan tindakan yang dilakukan itu oleh hakim
mempertimbangkannya sebagai tidak pantas atau tidak layak untuk memakai sesuatu
pangkat; dalam hal ini terhadap terpidana dalam putusan itu diturunkan pngkatnya sampai
kedudukan (pangkat) prajurit, dengan sekaligus menentukan tingkatannya, apabila pada
bagian Angkatan Perang dimana ia termasuk, para tamtama dibagi dalam tingkatan;
-          Pasal 28 ayat (2) : pada setiap pemidanaan terhadap tamtama, yang termasuk pada
suatu  bagian Angkatan Perang dimana para Tamtama dibagi dalam tingkatan, yang
berdasarkan tindakan yang dilakukan itu, oleh hakim mempertimbangkannya sebagai tidak
pantas atau tidak layak untuk tetap pada tingkatan yang ditetapkan kepadanya; dalam hal ini
terhadap terpidana dalam putusan itu ditentukan pada tingkatan terendah yang mana ia
termasuk.
c.       Pencabutan Hak
       Dalam Pasal 30 KUHPM, menegaskan : “pencabutan-pencabutan hak tersebut Pasal 35
ayat pertama nomor ke-1 dan ke-3 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dan apabila
terpidana bukan militer, termasuk juga hak tersebut nomor ke-2 dari ayat tersebut, dapat
dijatuhkan pada pemidanaan karena kejahatan yang sengaja dilakukan yang dirumuskan
dalam kitab undang-undang ini”. Pasal 31 KUHPM menegaskan : “barangsiapa yang dicabut
haknya seperti tersebut Pasal 35 ayat pertama nomor 2 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana, setelah melewati jangka waktu pencabutan, hanya dalam keadaan-keadaan yang luar
biasa saja atas pertimbangan Menteri Pertahanan dan Keamanan dapat di panggil untuk
memenuhi dinas militer yang diharuskan baginya dalam masa dinasnya, atau dapat diijinkan
untuk mengadakan ikatan pada dinas militer sukarela.
BAB IV
PENUTUP

4.1            Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
-          Pidana mati yang dijatuhkan kepada militer, sepanjang ia tidak dipecat dari dinas militer,
dijalankan dengan ditembak mati oleh sejumlah militer yang cukup. Pidana mati dilakukan
menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan dilaksanakan tidak di depan
umum. Sekalipun sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, namun pidana mati belum
boleh dilaksanakan sebelum turun keputusan presiden mengenai pelaksanaanya (grasi).
-          Pidana penjara atau kurungan dilaksanakan di Lembaga Permasyarakatan Militer atau dapat
juga ditempat lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Apabila
terpidana penjara atau kurungan dijatuhi pidana penjara atau sejenis, maka sebelum menjalani
pidana yang di jatuhkan itu terlebih dahulu, kemudian baru menjalani pidana dan dijatuhkan.
Sedangkan apabila terpidana dipecat dari Dinas Keprajuritan, maka pidana yang dijatuhkan
itu dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan Umum.
-          Pidana kurungan ditetapkan apabila seseorang dinyatakan bersalah karena melakukan suatu
kejahatan dan kepadanya dijatuhkan pidana penjara sebagai pidana utama yang tidak
melebihi 3 bulan.
-          Hukuman tutupan dapat menggantikan hukuman penjara apabila terdorong oleh maksud
yang patut dihormati, hakim boleh menjatuhkan hukuman tutupan.
-          Pidana bersyarat adalah hukuman yang dijatuhkan kepada terpidana tidak perlu dijalani,
kecuali ada perintah lain dari hakim, disebabkan terpidana sebelum masa percobaan habis,
melakukan perbuatan pidana atau telah melanggar syarat-syarat yang telah ditentukan dalam
putusan. Dalam menjatuhkan putusan, hakim dapat menentukan syarat-syarat khusus yaitu
mengenai ganti rugi sebagian/seluruhnya dari akibat tindak pidana yang dilakukan oleh
terpidana, dan tingkah laku terpidana selama atau sebagian dari masa percobaan.
-          Pemecatan menurut hukum berakibat hilangnya semua hak-hak yang diperolehnya dari
Angkatan Bersenjata selama dinasnya yang dahulu, dengan pengecualian bahwa hak pensiun
hanya akan hilang dalam hal-hal yang disebutkan dalam peraturan pensiun yang berlaku bagi
terpidana. Apabila pemecatan berbarengan dengan pencabutan hak untuk memasuki
Angkatan Bersenjata, maka menurut hukum berakibat hilangnya hak untuk memiliki dan
memakai bintang-bintang, tanda-tanda kehormatan medali-medali atau tanda-tanda
pengenalan, sepanjang kedua-duanya yang disebut terakhir diperolehnya berkenaan dengan
dinasnya yang dahulu.
-          Pada setiap pemindaan terhadap seseorang perwira atau bintara, yang berdasarkan tindakan
yang dilakukan itu oleh hakim mempertimbangkannya sebagai tidak pantas atau tidak layak
untuk memakai sesuatu pangkat; dalam hal ini terhadap terpidana dalam putusan itu
diturunkan pngkatnya sampai kedudukan (pangkat) prajurit, dengan sekaligus menentukan
tingkatannya, apabila pada bagian Angkatan Perang dimana ia termasuk, para tamtama dibagi
dalam tingkatan. Pada setiap pemidanaan terhadap tamtama, yang termasuk pada
suatu  bagian Angkatan Perang dimana para Tamtama dibagi dalam tingkatan, yang
berdasarkan tindakan yang dilakukan itu, oleh hakim mempertimbangkannya sebagai tidak
pantas atau tidak layak untuk tetap pada tingkatan yang ditetapkan kepadanya, dalam hal ini
terhadap terpidana dalam putusan itu ditentukan pada tingkatan terendah yang mana ia
termasuk.
-          Setelah melewati jangka waktu pencabutan, hanya dalam keadaan-keadaan yang luar biasa
saja atas pertimbangan Menteri Pertahanan dan Keamanan dapat di panggil untuk memenuhi
dinas militer yang diharuskan baginya dalam masa dinasnya, atau dapat diijinkan untuk
mengadakan ikatan pada dinas militer sukarela.

4.2 Saran
-          Pasal 26 ayat (1)  jo Pasal  6 huruf b ke-1  KUHPM  sebagai dasar hukum pemecatan dari
dinas Militer bukan merupakan ketentuan yang harus dicantumkan dalam surat dakwaan
apabila  Terdakwa  akan dijatuhkan pidana tambahan pemecatan.

-          Pidana tambahan pemecatan dari dinas Militer dapat diajukan upaya hukum  kasasi dengan
mengesampingkan ketentuan  Pasal 45 A Undang-Undang  Nomor  5  Tahun 2004  jo
Undang-Undang  Nomor  3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung Republik Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA
                                                                                                                                
A.Hamzah & A Sumangelipu. 1985. Pidana Mati di Indonesia di Masa Laku, Kini dan di
Masa Depan. Ghalia Indonesia. Jakarta.
Priyatno, Dwidja. 2006. Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia. Refika Aditama.
Bandung.
Materi kuliah. Tanpa Tahun. Hukum Pidana Militer.FH Unsrat, Manado.
Prinst, Darmawan .2003. Peradilan Militer. Citra aditya bakti. Bandung.
Sianturi, S.R. 1985. Hukum Pidana Militer Di Indonesia, Edisi Revisi, BPK. Gunung Mulia,
Jakarta.
Undang-Undang No. 39 Tahun 1947 Kitab Undang-Undang Pidana Militer.
Undang-Undang No. 31 Tahun 1997 Tentang Hukum Acara Pidana Militer
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Grasi.
Undang-Undang No. 20 Tahun 1946 Tentang Pidana Tutupan.

Anda mungkin juga menyukai