Di Susun oleh:
Ummu Syahidah Mabruroh
Npm :18071010062/B
1.1 Latar Belakang
Sebagaimana telah kita ketahui pemidanaan bagi seorang prajurit militer hanya diatur
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM). Dilihat dari perspektif
hukum pidana KUHPM dapat dikategorikan sebagai hukum pidana khusus, Hal tersebut
disebabkan KUHPM dibentuk dan diberlakukan bagi orang-orang tertentu misalnya anggota
angkatan bersenjata yang pengaturannya dilakukan secara khusus. Dengan demikian
KUHPM merupakan kitab hukum pidana yang diberlakukan khusus bagi anggota TNI
mengandung arti bahwa hukum pidana tersebut mengatur suatu perbuatan yang hanya dapat
dilakukan oleh orang-orang tertentu (Prajurit). Kekhususan hukum pidana Militer tidak dapat
dilepaskan dari sifat dan hakekat anggota Militer itu sendiri yang bersifat khusus, sehingga
hukum pidana Militer bisa saja menyimpang dari azas-azas hukum pidana umum,
penyimpangan tersebut antara lain menyangkut sanksi pidana yang berbeda dengan stelsel
pemidanaan yang lazim berlaku bagi masyarakat umum.
Bentuk penyimpangan sanksi hukum pidana dalam KUHPM dapat dilihat dalam pasal 6
huruf a dan b yang menyatakan bahwa terdapat dua jenis hukum pidana yaitu pidana pokok
dan pidana tambahan yang dapat dikenakan terhadap anggota Militer. Pidana pokok seperti
penjatuhan pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, dan pidana tutupan. Sedangkan
pidana tambahan yaitu, pemecatan dari dinas kemiliteran dengan atau tanpa pencabutan
haknya untuk memasuki angkatan bersenjata, penurunan pangkat dan pencabutan hak. Jenis
pidana pemecatan ini bersifat murni kemiliteran (van zuiver militaire aard) yang tidak ada
dalam hukum pidana umum (KUHP).
Sejalan dengan semakin ditinggalkannya pidana mati di negara-negara maju, memang
tujuan pemidanaan tersebut tidak dapat diterapkan terhadap penjatuhan pidana mati. Negara
Belanda sebagai sumber hukum pidana di Indonesia, juga telah meninggalkan pidana mati,
namun kita justru memperbanyak undang-undang yang di dalamnya tercantum pidana
mati. Oleh karenanya apabila pidana mati tidak diterapkan lagi maka tujuan pemidanaan
yang sudah dianut secara menyeluruh di seluruh negara sebagaimana tercantum dalam
Rancangan KUHP Nasional tersebut akan menjadi berarti.[1]
Tujuan pemidanaan tersebut juga kurang dapat diterapkan dalam penjatuhan pidana
tambahan pemecatan dari dinas militer. Pidana tambahan tersebut justru dirasakan lebih berat
dari pada pidana pokok berupa perampasan kemerdekaan. Para prajurit yang dipecat
melakukan upaya banding, kasasi, PK, grasi, bahkan grasi ke-2, hanya untuk berharap tidak
dipecat dari dinas TNI.
Di satu sisi kewenangan pemecatan tersebut adalah merupakan kewenangan pejabat
administrasi dalam hal ini oleh Presiden untuk yang berpangkat Kolonel ke atas dan untuk
yang berpangkat Letkol ke bawah oleh panglima TNI atau Kas Angkatan. Di sisi lain menjadi
kewenangan hakim walaupun pada akhirnya putusan tersebut diikuti secara administrasi
Oleh karena adanya duplikasi kewenangan tersebut, dalam prakteknya sering terjadi
benturan dimana keputusan kesatuan yang melakukan PDTH telah mendahului putusan,
sedangkan keputusan tersebut didasarkan atas perbuatan tindak pidana yang justru adalah
juga sebagai dasar dilakukannya pemeriksaan di pengadilan.
Sistem penjatuhan pidana tambahan pemecatan dari dinas militer, sebagai sub sistem
dalam penjatuhan pidana pada lingkungan peradilan militer memang diakui sebagai suatu
kekhususan atau khas hukum pidana militer, namun apabila dalam prakteknya justru
menimbulkan kesemrautan maka hal tersebut menjadi bertentangan dengan asas yang berlaku
dalam sisitem pemidanaan pada umumnya.
Apabila dalam sistem pemidanaan pada umumnya dikenal jenis-jenis pidana berupa
pidana pokok dan dan pidana tambahan dan bentuk-bentuk pidana dari masing-masing jenis
pidana tersebut, maka hal tersebut seluruhnya dikenal sebagai pemidanaan yang menjadi
kewenangan hakim, sedangkan dalam hukum pidana militer dikenal pidana tambahan
pemecatan dari dinas militer yang walaupun dikenal sebagai khasnya militer, namun dari segi
kewenangan pada prinsipnya hal tersebut adalah kewenangan pejabat administrasi.
1.2 Perumusan Masalah
1. Bagaimanakah pelaksanaan pidana militer menurut KUHPM?
2. Bagaimanakah pelaksanaan pidana tambahan menurut KUHPM?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk mendapat penjelasan dan pemahaman yang jelas tentang pelaksanaan pidana militer
menurut KUHPM
2. Untuk mendapat penjelasan dan pemahaman yang jelas tentang pelaksanaan pidana
tambahan menurut KUHPM
1.4 Metode Penulisan
Dalam penulisan makalah ini penulis menggunakan metode kepustakaan (library
research), yakni suatu metode yang digunakan dengan jalan mempelajari buku- buku
literatur, serta sumber-sumber lainnya dari internet, yang berkaitan dengan materi pokok
yang kemudian digunakan untuk mendukung pembahasan makalah.
1.5 Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan pemahaman, maka penulis menyusunnya dalam beberapa bab yang
erat kaitannya satu sama lain, dengan sistematika sebagai berikut :
BAB I Pendahuluan yang terbagi atas beberapa sub bab, yaitu :
a. Latar belakang masalah. Dalam sub bab ini dikemukakan apa pentingnnya untuk dilakukan
pembahasan terhadap pokok permasalahan dalam makalah ini.
b. Perumusan masalah. Menguraikan tentang landasan-landasan teoritis yang dipergunakan
untuk menunjang pembahasan.
BAB II Tinjauan Pustaka : Dalam bab dua ini diletakkan dasar-dasar umum untuk
dilakukannya pembahasan terhadap pokok permasalahan dalam bab berikut nanti. Bab ini
terdiri dari beberapa sub bagian sebagai berikut :
a. Jenis Hakekat Pidana, dimana diuraikan tentang jenis-jenis pidana menurut KUHPM dan
Hakekat Pidana Militer.
b. Perbandingan pidana umum dan pidana militer, mengenai perbedaan pidana antara KUHP
dengan KUHP Militer.
BAB III Pembahasan : Bab ini terdiri dari 2 subab yang masing-masing membahas, yaitu :
a. Pelaksanaan pidana militer (menurut KUHPM)
b. Pelaksanaan pidana tambahan (menurut KUHPM)
Bab IV Penutup : Bab ini terdiri dari kesimpulan dan saran-saran dari pembahasan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Jenis dan Hakekat Pidana Militer
Jenis-jenis pidana militer terdapat dalam Pasal 6 KUHPM , yang terdiri dari pidana-pidana
utama dan pidana-pidana tambahan,yaitu :
1. Pidana- pidana utama:
a. Pidana mati;
b. Pidana penjara;
c. Pidana kurungan; dan
d. Pidana tutupan (UU No.20 Tahun 1946)
2. pidana-pidana tambahan terdiri dari;
a. Pemecatan dari dinas militer dengan dan atau tanpa pencabutan haknya untuk memasuki
Angkatan Bersenjata;
b. Penurunan pangkat; dan
c. Pencabutan hak-hak yang telah disebutkan pada Pasal 35 ayat pertama pada nomor-nomor
ke-1, ke-2, dan ke-3 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Pemidanaan bagi seorang militer, pada dasarnya merupakan suatu tindakan pendidikan
atau pembinaan dari pada tindakan penjeraan atau pembalasan, selama terpidana akan
diaktifkan kembali dalam dinas militer setelah selesai menjalani pidana. Seseorang militer ex
narapidana yang akan kembali aktif tersebut harus menjadi seorang militer yang baik dan
berguna baik karena kesadaran sendiri maupun sebagai hasil “tindakan pendidikan” yang ia
terima selama dalam rumah penjara militer (rumah rehabilitasi militer). Seaindainya tidak
demikian halnya, maka pemidanaan itu tiada mempunyai arti dalam rangka pengembaliannya
dalam masyarakat militer. Hal seperti ini perlu menjadi dasar pertimbangan hakim untuk
menentukan perlu tidaknya penjatuhan pidana tambahan pemecatan terhadap terpidana
disamping dasar-dasar lainnya yang sudah di tentukan. Jika terpidana adalah seorang non
militer, maka hakekatnya dan pelaksanaan pidananya sama dengan yang diatur dalam KUHP.
Terdapat perbandingan antara pidana umum dalam KUHP dan pidana militer dalam
KUHPM, yaitu:[2]
Pelaksanaan pidana “perampasan kemerdekaan” pada militer dijalankan ditempat yang
dikuasai/dipimpin oleh militer dan lebih menitikberatkan pada pendidikan (rehabilitasi) dari
pada penjeraan, sedang untuk non militer dalam prakteknya lebih merupakan kebalikannya.
Jenis pidana denda tidak dikenal dalam rumusn tindak pidana militer. Tetapi tidak berarti
bahwa kepada seseorang militer tidak mungkin dijatuhi pidana denda. Kecuali mengenai
tindak pidana tertentu (misalnya penyeludupan) dalam banyak hal adalah lebih bijaksana
untuk menyelesaikan suatu perkara sedemikian itu secara disiplin sekiranya sudah dapat
diperkirakan bahwa nantinya hanya akan dijatuhi pidana denda.
Sama dengan sistem yang dianut dalam KUHP, juga yang dianut dalam KUHPM ialah, bahwa
pidana tambahan tidak boleh dijatuhkan berdiri sendiri. Dengan perkataan lain pidana
tambahan atau beberapa pidana tambahan hanya dijatuhkan bila dianggap perlu menambah
pidana pokok yang telah dijatuhkan.
Jenis pidana tambahan pertama dan kedua dari KUHPM adalah murni bersifat kemiliteran
(van ziuver militaire aard). Pada hukum pidana umum, pengaturan mengenai penjatuhan
pidana tambahan dalam pasal-pasal tertentu dalam Buku II KUHP (dan pasal-pasal tertentu
dalam undang-undang hukum pidana lainnya). Ketentuan seperti itu tak terdapat dalam Buku
II KUHPM. Sistem yang digunakan oleh KUHPM ialah sistem umum, yaitu memberikan
kebebasan dan kepercayaan sepenuhnya kepada hakim untuk menambahkan pidana tersebut
atas dasar penelitian bahwa benar-benar terpidana itu tak layak lagi berdinas sebagai militer
(untuk pidana tambahan ke-1) atau benar-benar tak layak lagi ia tetap dalam kepangkatannya
yang semula (untuk pidana tambahan yang ke-2).
Dalam KUHP terdapat pidana tambahan “perampasan dan pengumuman keputusan hakim”
tetapi dalam KUHPM tidak. Ini tidak berarti bahwa dua jenis pidana tambahan tersebut tak
dikenal dalam peradilan militer. Pidana tambahan perampasan selalu dapat dijatuhkan asal
saja memenuhi hal-hal yang ditentukan dalam pasal 39 KUHP melalui pasal 1 KUHPM,
sedangkan pidana tambahan pengumuman keputusan hakim harus memenuhi ketentuan-
ketentuan dalam pasal-pasal yang berhubungan dengan tindak pidana yang bersangkutan,
atau aturan-aturan umum lainnya melalui pasal 1 dan 2 KUHPM.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Pelaksanaan pidana militer (menurut KUHPM)
b. Penurunan Pangkat
Penurunan pangkat dapat diputuskan oleh hakim yang diatur dalam ketentuan Pasal 28
KUHPM berikut ini :
- Pasal 28 ayat (1) : (Diubah dengan UU No. 39 Tahun 1947). Pada setiap pemindaan terhadap
seseorang perwira atau bintara, yang berdasarkan tindakan yang dilakukan itu oleh hakim
mempertimbangkannya sebagai tidak pantas atau tidak layak untuk memakai sesuatu
pangkat; dalam hal ini terhadap terpidana dalam putusan itu diturunkan pngkatnya sampai
kedudukan (pangkat) prajurit, dengan sekaligus menentukan tingkatannya, apabila pada
bagian Angkatan Perang dimana ia termasuk, para tamtama dibagi dalam tingkatan;
- Pasal 28 ayat (2) : pada setiap pemidanaan terhadap tamtama, yang termasuk pada
suatu bagian Angkatan Perang dimana para Tamtama dibagi dalam tingkatan, yang
berdasarkan tindakan yang dilakukan itu, oleh hakim mempertimbangkannya sebagai tidak
pantas atau tidak layak untuk tetap pada tingkatan yang ditetapkan kepadanya; dalam hal ini
terhadap terpidana dalam putusan itu ditentukan pada tingkatan terendah yang mana ia
termasuk.
c. Pencabutan Hak
Dalam Pasal 30 KUHPM, menegaskan : “pencabutan-pencabutan hak tersebut Pasal 35
ayat pertama nomor ke-1 dan ke-3 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dan apabila
terpidana bukan militer, termasuk juga hak tersebut nomor ke-2 dari ayat tersebut, dapat
dijatuhkan pada pemidanaan karena kejahatan yang sengaja dilakukan yang dirumuskan
dalam kitab undang-undang ini”. Pasal 31 KUHPM menegaskan : “barangsiapa yang dicabut
haknya seperti tersebut Pasal 35 ayat pertama nomor 2 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana, setelah melewati jangka waktu pencabutan, hanya dalam keadaan-keadaan yang luar
biasa saja atas pertimbangan Menteri Pertahanan dan Keamanan dapat di panggil untuk
memenuhi dinas militer yang diharuskan baginya dalam masa dinasnya, atau dapat diijinkan
untuk mengadakan ikatan pada dinas militer sukarela.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
- Pidana mati yang dijatuhkan kepada militer, sepanjang ia tidak dipecat dari dinas militer,
dijalankan dengan ditembak mati oleh sejumlah militer yang cukup. Pidana mati dilakukan
menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan dilaksanakan tidak di depan
umum. Sekalipun sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, namun pidana mati belum
boleh dilaksanakan sebelum turun keputusan presiden mengenai pelaksanaanya (grasi).
- Pidana penjara atau kurungan dilaksanakan di Lembaga Permasyarakatan Militer atau dapat
juga ditempat lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Apabila
terpidana penjara atau kurungan dijatuhi pidana penjara atau sejenis, maka sebelum menjalani
pidana yang di jatuhkan itu terlebih dahulu, kemudian baru menjalani pidana dan dijatuhkan.
Sedangkan apabila terpidana dipecat dari Dinas Keprajuritan, maka pidana yang dijatuhkan
itu dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan Umum.
- Pidana kurungan ditetapkan apabila seseorang dinyatakan bersalah karena melakukan suatu
kejahatan dan kepadanya dijatuhkan pidana penjara sebagai pidana utama yang tidak
melebihi 3 bulan.
- Hukuman tutupan dapat menggantikan hukuman penjara apabila terdorong oleh maksud
yang patut dihormati, hakim boleh menjatuhkan hukuman tutupan.
- Pidana bersyarat adalah hukuman yang dijatuhkan kepada terpidana tidak perlu dijalani,
kecuali ada perintah lain dari hakim, disebabkan terpidana sebelum masa percobaan habis,
melakukan perbuatan pidana atau telah melanggar syarat-syarat yang telah ditentukan dalam
putusan. Dalam menjatuhkan putusan, hakim dapat menentukan syarat-syarat khusus yaitu
mengenai ganti rugi sebagian/seluruhnya dari akibat tindak pidana yang dilakukan oleh
terpidana, dan tingkah laku terpidana selama atau sebagian dari masa percobaan.
- Pemecatan menurut hukum berakibat hilangnya semua hak-hak yang diperolehnya dari
Angkatan Bersenjata selama dinasnya yang dahulu, dengan pengecualian bahwa hak pensiun
hanya akan hilang dalam hal-hal yang disebutkan dalam peraturan pensiun yang berlaku bagi
terpidana. Apabila pemecatan berbarengan dengan pencabutan hak untuk memasuki
Angkatan Bersenjata, maka menurut hukum berakibat hilangnya hak untuk memiliki dan
memakai bintang-bintang, tanda-tanda kehormatan medali-medali atau tanda-tanda
pengenalan, sepanjang kedua-duanya yang disebut terakhir diperolehnya berkenaan dengan
dinasnya yang dahulu.
- Pada setiap pemindaan terhadap seseorang perwira atau bintara, yang berdasarkan tindakan
yang dilakukan itu oleh hakim mempertimbangkannya sebagai tidak pantas atau tidak layak
untuk memakai sesuatu pangkat; dalam hal ini terhadap terpidana dalam putusan itu
diturunkan pngkatnya sampai kedudukan (pangkat) prajurit, dengan sekaligus menentukan
tingkatannya, apabila pada bagian Angkatan Perang dimana ia termasuk, para tamtama dibagi
dalam tingkatan. Pada setiap pemidanaan terhadap tamtama, yang termasuk pada
suatu bagian Angkatan Perang dimana para Tamtama dibagi dalam tingkatan, yang
berdasarkan tindakan yang dilakukan itu, oleh hakim mempertimbangkannya sebagai tidak
pantas atau tidak layak untuk tetap pada tingkatan yang ditetapkan kepadanya, dalam hal ini
terhadap terpidana dalam putusan itu ditentukan pada tingkatan terendah yang mana ia
termasuk.
- Setelah melewati jangka waktu pencabutan, hanya dalam keadaan-keadaan yang luar biasa
saja atas pertimbangan Menteri Pertahanan dan Keamanan dapat di panggil untuk memenuhi
dinas militer yang diharuskan baginya dalam masa dinasnya, atau dapat diijinkan untuk
mengadakan ikatan pada dinas militer sukarela.
4.2 Saran
- Pasal 26 ayat (1) jo Pasal 6 huruf b ke-1 KUHPM sebagai dasar hukum pemecatan dari
dinas Militer bukan merupakan ketentuan yang harus dicantumkan dalam surat dakwaan
apabila Terdakwa akan dijatuhkan pidana tambahan pemecatan.
- Pidana tambahan pemecatan dari dinas Militer dapat diajukan upaya hukum kasasi dengan
mengesampingkan ketentuan Pasal 45 A Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 jo
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung Republik Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
A.Hamzah & A Sumangelipu. 1985. Pidana Mati di Indonesia di Masa Laku, Kini dan di
Masa Depan. Ghalia Indonesia. Jakarta.
Priyatno, Dwidja. 2006. Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia. Refika Aditama.
Bandung.
Materi kuliah. Tanpa Tahun. Hukum Pidana Militer.FH Unsrat, Manado.
Prinst, Darmawan .2003. Peradilan Militer. Citra aditya bakti. Bandung.
Sianturi, S.R. 1985. Hukum Pidana Militer Di Indonesia, Edisi Revisi, BPK. Gunung Mulia,
Jakarta.
Undang-Undang No. 39 Tahun 1947 Kitab Undang-Undang Pidana Militer.
Undang-Undang No. 31 Tahun 1997 Tentang Hukum Acara Pidana Militer
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Grasi.
Undang-Undang No. 20 Tahun 1946 Tentang Pidana Tutupan.