Anda di halaman 1dari 9

1.

1 Pengertian TBC
TBC (Tuberkulosis) yang juga dikenal dengan TB adalah penyakit paru-paru akibat kuman Mycobacterium
tuberculosis. TBC akan menimbulkan gejala berupa batuk yang berlangsung lama (lebih dari 3 minggu),
biasanya berdahak, dan terkadang mengeluarkan darah.
Kuman TBC tidak hanya menyerang paru-paru, tetapi juga bisa menyerang tulang, usus, atau kelenjar.
Penyakit ini ditularkan dari percikan ludah yang keluar penderita TBC, ketika berbicara, batuk, atau
bersin. Penyakit ini lebih rentan terkena pada seseorang yang kekebalan tubuhnya rendah, misalnya
penderita HIV.

1.2 Faktor terjadinya TBC


Menurut Antoni Lamini(2002) ada 2 gejala TB yaitu : gejala umum dan gejala khusus.
Gejala umum secara klinis mempunyai gejala sebagai berikut :
1. Batuk selama lebih dari 3 minggu
2. Demam
3. Berat badan menurun tanpa sebab
4. Berkeringat waktu malam
5. Mudah capai
6. Hilangnya nafsu makan

1.3 Gejala khusus TBC dapat digambarkan sebagai berikut :


1. Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi sumbatan sebagian bronkus
(saluran yang menuju paru paru), akibat penekanan kelenjar getah bening yang membesar
2. Akan menimbulkan suara “mengi” , suar nafas melemah yang disertai sesak, kalau ada
cairan di rongga pleura (pembungkus paru paru), dapat disertai dengan keluhan sakit
dada.
3. Bila mengenai tulang maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang yang pada suatu saat
dapat membentuk saluran dan bermuara pad kulit di atasnya, pada muara ini akan keluar
cairan nanah
4. Pada anak anak dapat menegnai otak (lapisan pembungkus otak) dan disebut sebagai
menginitis (radang selaput otak), gejala adalah demam tinggi, adany penurunan
kesadaran dan kejang kejang. (http://media.neliti.com)
1.4 Mekanisme kerja TBC

Menurut Somantri (2008), infeksi diawali karena seseorang menghirup basil Mycobacterium
tuberculosis. Bakteri menyebar melalui jalan napas menuju alveoli lalu berkembang biak dan
terlihat bertumpuk.
Perkembangan Mycobacterium tuberculosis juga dapat menjangkau sampai ke area lain dari paru
(lobus atas). Basil juga menyebar melalui sistem limfe dan aliran darah ke bagian tubuh lain
(ginjal, tulang dan korteks serebri) dan area lain dari paru (lobus atas). Selanjutnya sistem
kekebalan tubuh memberikan respons dengan melakukan reaksi inflamasi. Neutrofil dan
makrofag melakukan aksi fagositosis (menelan bakteri), sementara limfosit spesifik-tuberkulosis
menghancurkan (melisiskan) basil dan jaringan normal. Infeksi awal biasanya timbul dalam
waktu 2-10 minggu setelah terpapar bakteri.Interaksi antara Mycobacterium tuberculosis dan
sistem kekebalan tubuh pada masa awal infeksi membentuk sebuah massa jaringan baru yang
disebut granuloma.
Granuloma terdiri atas gumpalan basil hidup dan mati yang dikelilingi oleh makrofag seperti
dinding. Granuloma selanjutnya berubah bentuk menjadi massa jaringan fibrosa. Bagian tengah
dari massa tersebutdisebut ghon tubercle. Materi yang terdiri atas makrofag dan bakteri yang
menjadi nekrotik yang selanjutnya membentuk materi yang berbentukseperti keju (necrotizing
caseosa).Hal ini akan menjadi klasifikasi dan akhirnya membentuk jaringan kolagen, kemudian
bakteri menjadi nonaktif.
Menurut Widagdo (2011), setelah infeksi awaljika respons sistem imun tidak adekuat maka
penyakit akan menjadi lebih parah. Penyakit yang kian parah dapat timbul akibat infeksi ulang
atau bakteri yang sebelumnya tidak aktif kembali menjadi aktif, Pada kasus ini, ghon tubercle
mengalami ulserasi sehingga menghasilkan necrotizing caseosa di dalam bronkus.Tuberkel yang
ulserasi selanjutnya menjadi sembuh dan membentuk jaringan parut.Paru-paru yang terinfeksi
kemudian meradang, mengakibatkan timbulnya bronkopneumonia, membentuk tuberkel, dan
seterusnya.Pneumonia seluler ini dapat sembuh dengan sendirinya. Proses ini berjalan terus dan
basil terus difagosit atau berkembang biak di dalam sel. Makrofag yang mengadakan infiltrasi
menjadi lebih panjang dan sebagian bersatu membentuk sel tuberkel epiteloid yang dikelilingi
oleh limfosit (membutuhkan 10-20 hari).
Daerah yang mengalami nekrosis dan jaringan granulasi yang dikelilingi sel epiteloid dan
fibroblas akan memberikan respons berbeda kemudian pada akhirnya membentuk suatu kapsul
yang dikelilingi oleh tuberkel.
Penyebaran Mycobacterium Tuberculosis Pada Orang Dewasa
Sumber penyebaran adalah individu actively-infected (penderita TBC aktif). Pada waktu batuk
atau bersin, penderita ini menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan dahak).
Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa
jam. Seseorang dapat terinfeksi jika droplet
tersebut terhirup ke dalam saluran pernafasan. Setelah kuman TBC masuk ke dalam tubuh
manusia melalui pernafasan, kuman TBC tersebut dapat menyebar dari paru ke bagian tubuh
lainnya yaitu melalui sistem peredaran darah,sistem saluran limfe, saluran nafas atau penyebaran
langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya
Daya penularan atau penyebaran dari seorang penderita TBC aktif ditentukan oleh banyaknya
kuman yang dikeluarkan paru-paru penderita. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan
dahak, makin tinggi tingkat penularan penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif
(tidak terlihat kuman), maka penderita tersebut dianggap tidak menular. Kemungkinan seseorang
terinfeksi TBC ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya menghirup udara
tersebut (Http://e-journal.unair.ac.id)

1.5 Obat obatan untuk pasien TBC

Untuk membasmi bakteri M. tuberculosis, obat-obatan TBC yang diberikan adalah antibiotik dan


anti infeksi sintesis. Terdapat 5 jenis obat TBC yang umum diresepkan, yaitu isoniazid,
rifampicin, pyrazinamide, ethambutol, dan streptomycin. Kelima jenis obat TBC ini biasa
disebut dengan obat primer, atau obat lini pertama.

Sesuai dengan prinsip pengobatan yang telah dijelaskan sebelumnya, obat-obatan tersebut akan
diberikan dalam bentuk kombinasi. Tergantung pada kondisi pasien, kombinasi obat TBC yang
diberikan pun mungkin akan berbeda-beda.

Kemudian, apabila pasien telah mengalami resistensi obat, atau obat lini pertama TBC tidak
memberikan efek apapun, dokter akan meresepkan obat-obatan TBC lini kedua sebagai
alternatif.

1. Isoniazid (INH)

Isoniazid adalah obat TBC yang paling murah tapi efektif untuk membunuh bakteri penyebab
TBC dibanding obat lainnya, seperti rifampicin dan streptomycin. Obat ini bisa membunuh 90%
kuman TB dalam beberapa hari pertama setelah mulai dosis.
Dosis isoniazid untuk pengobatan TBC biasanya sekitar 300 mg untuk orang dewasa, dan anak-
anak 10 mg per berat badan hingga 300 mg. Obat ini diminum satu kali sehari, atau sesuai
anjuran dokter.

Biasanya, obat ini digabungkan dengan obat anti tuberkulosis lainnya. Isoniazid memiliki sifat
bakterisid dan lebih efektif terhadap bakteri yang sedang dalam keadaan aktif berkembang. Obat
ini bekerja dengan cara mengganggu sintesa mycolic acid, yaitu senyawa yang berperan dalam
membangun dinding bakteri.

Beberapa efek samping yang mungkin ditimbulkan oleh pengobatan TBC dengan isoniazid
meliputi:

 Efek neurologis, seperti gangguan penglihatan, vertigo, insomnia, euforia, perubahan


tingkah laku, depresi, gangguan ingatan, gangguan otot
 Hipersentivitas, seperti demam, menggigil, kulit kemerahan, pembengkakan kelenjar
getah bening, vaskulitis (peradangan pembuluh darah)
 Efek hematologis, seperti anemia, hemolisis (kerusakan sel darah
merah), trombositopenia (penurunan kadar trombosit)
 Gangguan saluran pencernaan: mual, muntah, sembelit, nyeri ulu hati
 Hepatotoksisitas: kerusakan hati yang disebabkan oleh zat kimia dalam obat
 Efek samping lainnya: sakit kepala, jantung berdebar, mulut kering, retensi urin, rematik

Apabila Anda menderita penyakit hati kronis, masalah fungsi ginjal, atau riwayat kejang, ada
baiknya pemberian isoniazid harus lebih berhati-hati. Selain itu, peminum alkohol, penderita
berusia di atas 35 tahun, serta wanita hamil harus mendapat pengawasan khusus.

2. Rifampicin

Rifampicin bisa membunuh kuman yang tidak dapat dibunuh oleh obat isoniazid. Rifampicin
harus diminum bersama dengan obat anti TBC lainnya.

Untuk orang dewasa dan anak-anak yang beranjak dewasa, dosis obat adalah sebanyak 600 mg
satu kali sehari, atau 600 mg 2-3 kali seminggu. Sementara itu, bayi dan anak-anak diberikan
dosis yang tergantung pada berat badannya, yang biasanya berkisar antara 7,5-15 mg per kg berat
badan.
Serupa dengan isoniazid, rifampicin memiliki sifat bakterisid. Namun, rifampicin dapat
membunuh bakteri bersifat semi-dorman yang biasanya tidak bereaksi terhadap isoniazid. Obat
ini bekerja dengan cara mengganggu kerja enzim bakteri.

Beberapa efek samping yang mungkin dapat muncul akibat pengobatan TBC dengan rifampicin
adalah:

 Gangguan pencernaan: panas di perut, sakit perut, mual, muntah, kembung, anoreksia,
kejang perut, diare
 Gangguan sistem saraf pusat: mengantuk, letih, sakit kepala, pusing, bingung, sulit
berkonsentrasi, gangguan penglihatan, otot mengendur
 Hipersensitivitas: demam, sariawan, hemolisis, pruritus, gagal ginjal akut
 Urin berubah warna akibat zat berwarna merah di dalam obat rifampicin
 Risiko terjadinya hepatotoksisitas
 Gangguan lainnya gangguan menstruasi, hemoptisis (batuk berdarah)

Namun jangan khawatir karena efek samping ini bersifat sementara. Rifampicin juga berisiko
apabila dikonsumsi ibu hamil karena meningkatkan peluang kelahiran dengan masalah tulang
belakang (spina bifida).

3. Pyrazinamide

Pyrazinamide bekerja dengan cara membunuh bakteri yang berada dalam sel dengan pH asam.
Penggunaannya juga harus dibarengi dengan obat TBC lainnya.

Dosis untuk orang dewasa dan anak adalah sebanyak 15-30 mg per kg berat badan, dan diminum
satu hari sekali. Atau bisa juga diberikan sebanyak 50-70 mg per kg berat badan selama 2-3
minggu. 

Efek samping yang khas dalam penggunaan obat ini adalah peningkatan asam urat dalam darah
(hiperurisemia). Itu sebabnya pengidap TBC yang diresepkan obat ini harus juga rutin kontrol
kadar asam uratnya. Selain itu, kemungkinan penderita juga akan mengalami anoreksia,
hepatotoksisitas, mual, dan muntah.
4. Ethambutol

Ethambutol diberikan khusus untuk pasien dengan risiko terjadinya resistensi obat TBC. Namun,
jika risiko resistensi obat termasuk rendah, pengobatan TBC dengan ethambutol dapat
dihentikan.

Dosis untuk orang dewasa dan anak di atas 13 tahun adalah sebanyak 15-25 mg per kg berat
badan, dan diminum sebanyak 1 kali sehari. Penambahan dosis biasanya dilakukan secara
bertahap. Ethambutol juga harus dikombinasikan dengan pengobatan TBC lainnya.

Cara kerja ethambutol bersifat bakteriostatik, yaitu dengan menghambat pertumbuhan bakteri M.
tuberculosis yang resisten terhadap obat isoniazid dan streptomycin. Obat TBC ini juga
menghalangi pembentukan dinding sel oleh mycolic acid.

Obat TBC ini tidak boleh diberikan untuk bayi dan anak-anak di bawah 13 tahun. Efek samping
yang mungkin akan timbul adalah gangguan penglihatan, buta warna, penyempitan jarak
pandang, sakit kepala, mual, muntah, serta sakit perut.

5. Streptomycin
Berbeda dengan keempat obat TBC sebelumnya yang diminum lewat mulut, obat TBC
jenis streptomycin ini diberikan lewat suntikan ke jaringan otot. Obat ini tersedia dalam bentuk
serbuk untuk disuntikkan bersamaan dengan Aqua Pro Injeksi dan Spuit.

Dosis yang biasanya diberikan untuk orang dewasa adalah 15 mg/kg berat badan per hari, atau
25-30 mg/kg berat badan dalam 2-3 kali seminggu. Untuk pasien anak-anak, dosisnya adalah 20-
40 mg/kg berat badan, atau 25-30 mg/kg berat badan sebanyak 2-3 kali seminggu.

Cara kerja obat TBC ini adalah dengan membunuh bakteri yang sedang membelah diri, yaitu
dengan menghambat proses sintesis protein bakteri.

Biasanya obat TBC jenis suntik ini diberikan jika sudah mengalami penyakit TB untuk kedua
kali atau tidak sembuh dengan obat minum.

Pemberian obat TBC ini harus memerhatikan apakah penderita memiliki gangguan ginjal, sedang
hamil, atau memiliki gangguan pendengaran. (DepKes, 2006, Pedoman Nasional
Penanggulangan Tuberkulosis, Departemen Kesehatan RI, Jakarta)

6. Obat-obatan lini kedua (second-line drugs)

Saat ini, semakin banyak bakteri yang resisten atau kebal terhadap obat TBC lini pertama. Hal
ini kemungkinan disebabkan oleh penggunaan obat TBC yang kurang tepat, baik oleh tim medis
maupun pasien.

Meskipun kasus kejadiannya masih cukup rendah, namun kasus resistensi terhadap obat TBC
isoniazid dan rifampicin ternyata cukup tinggi. Maka itu, World Health Organization (WHO)
merekomendasikan penggunaan obat-obatan TBC lini kedua, yang meliputi:

 Capreomycin
 Cycloserine
 Para-aminosalicylic acid (PAS)
 Ethionamide
 Amikacin
 Kanamycin
 Ciprofloxacin
 Ofloxacin
 Levofloxacin

Pengobatan TBC lini kedua ini cenderung lebih mahal, menimbulkan lebih banyak efek samping,
serta membutuhkan waktu yang relatif lebih lama, yaitu sekitar 18-20 bulan. Selain itu, jika tidak
ditangani dengan kombinasi pengobatan TBC yang tepat, penderita TBC resisten obat berpotensi
terancam nyawanya. (Http://e-journal.unair.ac.id)
Pengobatan untuk TBC laten

TBC laten adalah kondisi di mana tubuh telah terpapar bakteri M. tuberculosis, namun bakteri
tersebut masih dalam kondisi “tertidur”. Sehingga, tubuh Anda tidak menunjukkan gejala-gejala
infeksi atau penyakit TBC aktif.

Lansia di atas 65 tahun perlu mendapatkan pengawasan lebih lanjut karena obat-obatan tersebut
berpotensi menyebabkan kerusakan hati.

Biasanya, TBC laten akan ditangani dengan kombinasi obat rifampicin dan isoniazid selama 3
bulan. Dalam beberapa kasus, dokter juga mungkin akan meresepkan obat TBC isoniazid saja
dan harus minum obat tersebut selama 6 bulan. (jurnal.unpad.ac.id)

Yang harus diperhatikan sebelum mengonsumsi obat TBC

Sebelum menjalani pengobatan TBC, terdapat beberapa kondisi yang memerlukan


perhatian khusus.Misalnya, wanita hamil yang menderita TBC. Saat hamil, dokter tidak akan
meresepkan obat TBC jenis streptomycin karena berpotensi menembus dinding plasenta janin.
Kondisi tersebut berisiko menyebabkan gangguan pendengaran dan keseimbangan pada janin.

Selain itu, jika sedang memakai alat kontrasepsi, seperti pil atau suntikan KB,harus menghindari
pengobatan TBC dengan rifampicin. Rifampicin berpotensi menurunkan kinerja alat kontrasepsi
yang sedang digunakan.

Obat TBC jenis isoniazid, rifampicin, dan pyrazinamide harus diberikan dengan dosis
sewajarnya pada penderita gangguan ginjal. Selain itu, penggunaan rifampicin juga berpotensi
mengganggu obat oral anti diabetes yang dikonsumsi oleh penderita diabetes.

Bagaimana Anda tahu Anda sudah tidak perlu menjalani pengobatan TBC? Anda akan
dinyatakan sembuh apabila telah mengonsumsi obat TBC sampai habis, dan hasil kultur dahak
Anda negatif setelah diperiksa setidaknya 2 kali berturut-turut.

1.6 Pencegahan Tuberkulosis TBC (Tuberkulosis)


Salah satu langkah untuk mencegah TBC (tuberkulosis) adalah dengan menerima vaksin
BCG (Bacillus Calmette-Guerin). Di Indonesia, vaksin ini termasuk dalam daftar imunisasi
wajib dan diberikan sebelum bayi berusia 2 bulan. Bagi yang belum pernah menerima vaksin
BCG, dianjurkan untuk melakukan vaksin bila terdapat salah satu anggota keluarga yang
menderita TBC.
TBC juga dapat dicegah dengan cara yang sederhana, yaitu mengenakan masker saat berada di
tempat ramai dan jika berinteraksi dengan penderita TBC, serta sering mencuci tangan.
Walaupun sudah menerima pengobatan, pada bulan-bulan awal pengobatan (biasanya 2 bulan),
penderita TBC juga masih dapat menularkan penyakit.
Jika menderita TBC, langkah-langkah di bawah ini sangat berguna untuk mencegah penularan,
terutama pada orang yang tinggal serumah dengan penderita TBC:

 Tutupi mulut saat bersin, batuk, dan tertawa gunakan tisu untuk menutup mulut, buanglah
segera setelah digunakan.
 Tidak membuang dahak atau meludah sembarangan.
 Pastikan rumah memiliki sirkulasi udara yang baik, misalnya dengan sering membuka
pintu dan jendela agar udara segar serta sinar matahari dapat masuk.
 Jangan tidur sekamar dengan orang lain, sampai dokter menyatakan TBC yang Anda
derita tidak lagi menular

(https://repository.ugm.ac.id/273526/1/Draft%20Buku%20Antituberkulosis
%2014%20Desember.pdf)

Anda mungkin juga menyukai