Anda di halaman 1dari 30

1

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Populasi rentan atau populasi beresiko adalah kondisi yang mempengaruhi
kondisi seseorang atau populasi untuk menjadi sakit atau sehat (Kaakinen,
Hanson, Birenbaum dalam Stanhope & Lancaster, 2004). Pandera
mengkategorikan faktor resiko kesehatan antara lain genetik, usia, karakteristik
biologi, kesehatan individu, gaya hidup dan lingkungan. Jika seseorang dikatakan
rawan apabila mereka berhadapan dengan penyakit, bahaya, atau outcome
negatif. Faktor pencetusnya berupa genetik, biologi atau psikososial. Populasi
rawan atau rentan merupakan kelompok-kelompok sosial yang memiliki
peningkatan risiko yang relatif atau rawan untuk menerima pelayanan kesehatan.
Kenyataan menunjukan bahwa Indonesia memiliki banyak peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang Kelompok Rentan, tetapi tingkat
implementasinya sangat beragam. Sebagian undang-undang sangat lemah
pelaksanaannya, sehingga keberadaannya tidak memberi manfaat bagi
masyarakat. Disamping itu, terdapat peraturan perundang-undangan yang belum
sepenuhnya mengakomodasi berbagai hal yang berhubungan dengan kebutuhan
bagi perlindungan kelompok rentan. Keberadaan masyarakat kelompok rentan
yang merupakan mayoritas di negeri ini memerlukan tindakan aktif untuk
melindungi hak-hak dan kepentingan-kepentingan mereka melalui penegakan
hukum dan tindakan legislasi lainnya. Hak asasi orang-orang yang diposisikan
sebagai masyarakat kelompok rentan belum terpenuhi secara maksimal, sehingga
membawa konsekuensi bagi kehidupan diri dan keluarganya, serta secara tidak
langsung juga mempunyai dampak bagi masyarakat.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan agregat populasi rentan?
2. Apa yang dimaksud dengan populasi rentan penyakit mental ?
3. Apa yang dimaksud dengan populasi rentan kecacatan ?

1
2

4. Apa yang dimaksud populasi rentan terlantar ?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui tentang agregat populasi rentan
2. Untuk mengatahui tentang populasi rentan penyakit mental
3. Untuk mengetahui populasi rentan kecacatan
4. Untuk mengtahui populasi rentan terlantar
3

BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Populasi Rentan

Gambar 2.1 komunitas


Pengertian Kelompok Rentan tidak dirumuskan secara eksplisit dalam
peraturan perundang-undangan, seperti tercantum dalam Pasal 5 ayat (3)
Undang-Undang No.39 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa setiap orang yang
termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan
perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya. Dalam penjelasan pasal
tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan kelompok masyarakat yang
rentan, antara lain, adalah orang lanjut usia, anakanak, fakir miskin, wanita hamil
dan penyandang cacat. Sedangkan menurut Human Rights Reference disebutkan,
bahwa yang tergolong ke dalam Kelompok Rentan adalah:
1) Refugees (pengungsi)
2) Internally Displaced Persons (IDPs) (orang orang yang terlantar)
3) National Minoritie (kelompok minoritas)
4) Migrant Workers (pekerja migran )
5) Indigenous Peoples (orang pribumi/penduduk asli dari tempat
pemukimannya)
6) Children (anak)
7) Women (wanita)
4

Menurut Departeman Hukum dan Hak Asasi Manusia, kelompok rentan


adalah semua orang yang menghadapi hambatan atau keterbatasan dalam
menikmati standar kehidupan yang layak bagi kemanusiaan dan berlaku umum
bagi suatu masyarakat yang berperadaban. Jadi kelompok rentan dapat
didefinisikan sebagai kelompok yang harus mendapatkan perlindungan dari
pemerintah karena kondisi sosial yang sedang mereka hadapi.
Menurut Undang-undang No.4 tahun 1997 yang dimaksud dengan
penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan atau
3
mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan
baginya untuk melakukan kegiatan secara selayaknya. Dari sisi
pengelompokkannya, maka penyandang cacat dapat dikelompokkan menjadi 3
(tiga) hal : Penyandang cacat fisik, Penyandang cacat mental, Penyandang cacat
fisik dan mental.

2.2 Gangguan Mental (Mental Disorder)

Gambar 2.2 Gangguan Mental


1) Definisi Gangguan Mental (Mental Disorder)
Istilah gangguan mental (mental disorder) atau gangguan jiwa merupakan
istilah resmi yang digunakan dalam PPDGJ (Pedoman Penggolongan
Diagnostik Gangguan Jiwa). Definisi gangguan mental (mental disorder)
dalam PPDGJ II yang merujuk pada DSM-III adalah:
5

“Gangguan mental (mental disorder) atau gangguan jiwa adalah sindrom


atau pola perilaku, atau psikologik seseorang, yang secara klinik cukup
bermakna, dan secara khas berkaitan dengan suatu gejala penderitaan
(distress) atau hendaya (impairment/disability) di adalm satu atau lebih fungsi
yang penting dari manusia. Sebagai tambahan, disimpulkan bahwa disfungsi
itu adalah disfungsi dalam segi perilaku, psikologik, atau biologik, dan
gangguan itu tidak semata-mata terletak di dalam hubungan orang dengan
masyarakat”. (Maslim, tth:7).
Dari penjelasan di atas, kemudian dirumuskan bahwa di dalam konsep
gangguan mental (mental disorder) terdapat butir-butir sebagai berikut:
(1) Adanya gejala klinis yang bermakna, berupa: Sindrom atau pola
perilaku Sindrom atau pola psikologik
(2) Gejala klinis tersebut menimbulkan “penderitaan” (distress), antara lain
berupa: rasa nyeri, tidak nyaman, tidak tentram, terganggu, disfungsi
organ tubuh, dll.
(3) Gejala klinis tersebut menimbulkan “disabilitas” (disability) dalam
aktivitas kehidupan sehari-hari yang biasa dan diperlukan untuk
perawatan diri dan kelangsungan hidup (mandi, berpakaian, makan,
kebersihan diri, dll). (Maslim, tth:7).
Secara lebih luas gangguan mental (mental disorder) juga dapat
didefinisikan sebagai bentuk penyakit, gangguan, dan kekacauan fungsi
mental atau kesehatan mental, disebabkan oleh kegagalan mekanisme adaptasi
dari fungsi-fungsi kejiwaan/mental terhadap stimuli ekstern dan ketegangan-
ketegangan; sehingga muncul gangguan fungsional atau struktural dari satu
bagian, satu orang, atau sistem kejiwaan/mental (Kartono, 2000:80). Pendapat
yang sejalan juga dikemukakan Chaplin (1981) (dalam Kartono, 2000:80),
yaitu:
“Gangguan mental (mental disorder) ialah sebarang bentuk
ketidakmampuan menyesuaikan diri yang serius sifatnya terhadap tuntutan
dan kondisi lingkungan yang mengakibatkan ketidakmampuan tertentu.
6

Sumber gangguan/kekacauannya bisa bersifat psikogenis atau organis,


mencakup kasus-kasus reaksi psikopatis dan reaksi-reaksi neurotis yang
gawat”.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa gangguan mental (mental
disorder) adalah ketidakmampuan seseorang atau tidak berfungsinya segala
potensi baik secara fisik maupun phsikis yang menyebabkan terjadinya
gangguan dalam jiwanya.
2) Macam-Macam Gangguan Mental (Mental Disorder).
Dalam menjelaskan macam-macam gangguan mental (mental disorder),
penulis merujuk pada PPDGJ III (dalam Rusdi Maslim, tth:10), yang
digolongkan sebagai berikut:
(1) Gangguan mental organik dan simtomatik;
Gangguan mental organik adalah gangguan mental yang berkaitan dengan
penyakit atau gangguan sistematik atau otak yang dapat di diagnosis
secara tersendiri. Sedangkan gangguan simtomatik adalah gangguan yang
diakibatkan oleh pengaruh otak akibat sekunder dari penyakit atau
gangguan sistematik di luar otak (extracerebral). (Maslim, tth:22).
(2) Gangguan mental dan perilaku akibat zat psikoaktif.
Gangguan yang disebabkan karena penggunaan satu atau lebih zat
psikoaktif (dengan atau tidak menggunakan resep dokter). (Maslim,
tth:36).
(3) Gangguan skizofrenia dan gangguan waham.
Gangguan skizofrenia adalah gangguan yang pada umumnya ditandai
oleh penyimpangan yang fundamental dan karakteristik dari pikiran dan
persepsi, serta oleh afek yang tidak wajar (inappropriate) atau tumpul
(blunted).” (Maslim, tth:46).
Sedangkan gangguan waham adalah gejala ganguan jiwa di mana jalan
pikirannya tidak benar dan penderita itu tidak mau di koreksi bahwa hal
itu tidak betul; suatu jalan pikiran yang tidak beralasan. (Sudarsono,
1993:272).
7

(4) Gangguan suasana perasaan (mood/afektif).


Gangguan suasana perasaan (mood/afektif) adalah perubahan suasana
perasaan (mood) atau afek, biasanya kearah depresi (dengan atau tanpa
anxietas yang menyertainya), atau kearah elasi (suasana perasaan yang
meningkat). (Maslim, tth:60).
(5) Gangguan neurotik, somatoform dan gangguan stres.
Gangguan neurotik, somatoform dan gangguan stes merupakan satu
kesatuan dari gangguan jiwa yang disebabkan oleh faktor psikologis.
(Maslim, tth:72).
(6) Sindrom perilaku yang berhubungan dengan gangguan fisiologis dan
faktor fisik.
Gangguan mental yang biasanya ditandai dengan mengurangi berat badan
dengan segaja, dipacu dan atau dipertahankan oleh penderita (Maslim,
tth:90).
(7) Gangguan kepribadian dan perilaku masa dewasa
Suatu kondisi klinis yang bermakna dan pola perilaku yang cenderung
menetap, dan merupakan ekspresi dari pola hidup yang khas dari
seseorang dan cara-cara berhubungan dengan diri-sendiri maupun orang
lain (Maslim, tth:102).
(8) Retardasi mental
Retardasi mental adalah keadaan perkembangan jiwa yang terhenti atau
tidak lengkap, terutama ditandai oleh terjadinya hendaya keterampilan
selama masa perkembangan sehingga berpengaruh pada tingkat
keceradsan secara menyeluruh (Maslim, tth:119).
(9) Gangguan perkembangan psikologis.
Gangguan yang disebabkan kelambatan perkembangan fungsifungsi yang
berhubungan erat dengan kematangan biologis dari susunan saraf pusat,
dan berlangsung secara terus menerus tanpa adanya remisi dan
kekambuhan yang khas. Yang dimaksud “yang khas” ialah hendayanya
berkurang secara progresif dengan bertambahnya usia anak (walaupun
8

defisit yang lebih ringan sering menetap sampai masa dewasa) (Maslim,
tth:122).
(10) Gangguan perilaku dan emosional dengan onset masa kanakkanak.
Gangguan yang dicirikan dengan berkurangnya perhatian dan aktivitas
berlebihan. Berkurangnya perhatian ialah dihentikannya terlalu dini
tugas atau suatu kegiatan sebelum tuntas/selesai. Aktivitas berlebihan
(hiperaktifitas) ialah bentuk kegelisahan yang berlebihan, khususnya
dalam situasi yang menuntut keadaan yang relatif tenang (Maslim,
tth:136).
Berkaitan dengan pemaparan di atas, Sutardjo A. Wiramihardja (2004:15-
16), mengungkapkan bahwa gangguan mental (mental disorder) memiliki
rentang yang lebar, dari yang ringan sampai yang berat. Secara ringkas
dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a) Gangguan emosional (emotional distubance) merupakan integrasi
kepribadian yang tidak adekuat (memenuhi syarat) dan distress
personal. Istilah ini lebih sering digunakan untuk perilaku maladaptif
pada anak-anak.
b) Psikopatologi (psychopathology), diartikan sama atau sebagai kata lain
dari perilaku abnormal, psikologi abnormal atau gangguan mental.
c) Sakit mental (mental illenes), digunakan sebagai kata lain dari
gangguan mental, namun penggunaannya saat ini terbatas pada
gangguan yang berhubungan dengan patologi otak atau disorganisasi
kepribadian yang berat.
d) Gangguan mental (mental disorder) semula digunakan untuk nama
gangguan-gangguan yang berhubungan dengan patologi otak, tetapi
saat ini jarang digunakan. Nama inipun sering digunakan sebagai
istilah yng umum untuk setiap gangguan dan kelainan.
e) Ganguan prilaku (behavior disorder), digunakan secara khusus untuk
gangguan yang berasal dari kegagalan belajar, baik gagal mempelajari
9

kompetensi yang dibutuhkan ataupun gagal dalam mempelajari pola


penanggulangan masalah yang maladaptif.
f) Gila (insanity), merupakan istilah hukum yang mengidentifikasikan
bahwa individu secara mental tidak mampu untuk mengelolah
masalah-masalahnya atau melihat konsekuensikonsekuensi dari
tindakannya. Istilah ini menunjuk pada gangguan mental yang serius
terutama penggunaan istilah yang bersangkutan dengan pantas
tidaknya seseorang yang melakukan tindak pidana di hukum atau
tidak.
3) Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Timbulnya Gangguan Mental (Mental
Disorder)
Untuk mendapatkan jawaban mengenai faktor faktor-faktor yang
mempengaruhi timbulnya gangguan mental (mental disorder), maka yang
perlu ditelusuri pertama kali adalah faktor dominan yang dapat mempengaruhi
kepribadian seseorang. Dalam hal ini, penulis merujuk pada pendapat Kartini
Kartono (1982:81), yang membagi faktor dominan yang mempengaruhi
timbulnya gangguan mental (mental disorder) ke dalam dua faktor, yaitu:
(1) Faktor Organis (somatic), misalnya terdapat kerusakan pada otak dan
proses dementia.
(2) Faktor-faktor psikis dan struktur kepribadiannya, reaksi neuritis dan
reaksi psikotis pribadi yang terbelah, pribadi psikopatis, dan lain-lain.
Kecemasan, kesedihan, kesakitan hati, depresi, dan rendah diri bisa
menyebabkan orang sakit secara psikis, yaitu yang mengakibatkan
ketidakseimbangan mental dan desintegrasi kepribadiannya. Maka sruktur
kepribadian dan pemasakan dari pengalaman-pengalaman dengan cara
yang keliru bisa membuat orang terganggu psikisnya. Terutama sekali
apabila beban psikis ternyata jauh lebih berat dan melampaui
kesanggupan memikul beban tersebut.
(3) Faktor-faktor lingkungan (milieu) atau faktor-faktor sosial. Usaha
pembangunan dan modernisasi, arus urbanisasi dan industialisasi
10

menyebabkan problem yang dihadapi masyarakat modern menjadi sangat


kompleks. Sehingga usaha penyesuaian diri terhadap perubahan-
perubahan sosial dan arus moderenisasi menjadi sangat sulit. Banyak
orang mengalami frustasi, konflik bathin dan konflik terbuka dengan
orang lain, serta menderita macam-macam gangguan psikis.
4) Pencegahan Gangguan Mental
Tujuan utama pencegahan gangguan mental adalah membimbing mental
yang sakit agar menjadi sehat mental danmenjaga mental yang sehat agar
tetap sehat. Namun sebelumnya akan penulis paparkan terlebih dahulu tentang
pengertian pencegahan gangguan mental.
(1)Pengertian Pencegahan Gangguan Mental
Dalam dunia kesehatan mental pencegahan didefinisikan sebagai upaya
mempengaruhi dengan cara yang positif dan bijaksana dari lingkungan
yang dapat menimbulkan kesulitan atau kerugian. (Prayitno, 1994:205).
Sementara AF. Jaelani (2000:87), berpendapat bahwa pencegahan
mempunyai pengertian sebagai metode yang digunakan manusia untuk
menghadapi diri sendiri dan orang lain guna meniadakan atau mengurangi
terjadinya gangguan kejiwaan. Dengan demikian pencegahan gangguan
mental didasarkan pada upaya individu terhadap diri dan orang lain untuk
menekan serendah mungkin agar tidak terjadi gangguan mental sesuai
dengan kemampuannya.
(2)Upaya pencegahan
Banyak para ahli yang memberikan metode upaya pencegahan mulai dari
faktor yang mempengaruhi sampai akibat yang ditimbulkan. Pada dasarnya
upaya pencegahan ialah didasarkan pada prinsip-prinsip kesehatan mental.
Prinsip-prinsip yang dimaksud adalah:
a) Gambaran dan sikap baik terhadap diri-sendiri
Orang yang memiliki kemampuan mnyesuaikan diri, baik dengan diri
sendiri maupun hubungan dengan orang lain, hubungan dengan alam
lingkungan, serta hubungan dengan Tuhan. Hal ini dapat diperoleh
11

dengan cara penerimaan diri, keyakinan diri dan kepercayaan kepada


diri-sendiri (Yahya, 1993:83).
b) Keterpaduan atau integrasi diri
Berarti adanya keseimbangan antara kekuatan-kekuatan jiwa dalam diri,
kesatuan pandangan (falsafah dalam hidup) dan kesanggupan mengatasi
ketegangan emosi (stres) (Yahya, 1993:84).
c) Pewujudan diri (aktualisasi diri)
Merupakan sebuah proses pematangan diri dapat berarti sebagai
kemampuan mempengaruhi potensi jiwa dan memiliki gambaran dan
sikap yang baik terhadap diri-sendiri serta meningkatkan motivasi dan
semangat hidup. Oleh karena itu, agar terhindar dari gangguan mental,
maka sedapat mungkin mengaktualisasikan diri dan memenuhi
kebutuhan dengan baik dan memuaskan (Kartono, 1986:231). Dengan
demikian upaya pencegahan dapat berhasil apabila manusia dapat
berpotensi untuk menjadikan dirinya sebagai yang terbaik dan tidak
hanya pasrah pada kemampuan dasar manusia seperti menggembangkan
bakat dan sebagainya.
d) Kemampuan menerima orang lain
Melakukan aktivitas sosial dan menyesuaikan diri dengan lingkunagn
tempat tinggal. Lingkungan di samping sebagai faktor penyebab
timbulnya gangguan mental, juga memiliki peran penting dalam usaha
mencegah timbulnya gangguan mental. Sebab bagi individu yang tidak
mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya, dapat menyebabkan
timbulnya kecemasan dan kesulitan dalam mengahadapi tuntutan dan
persoalan yang dapat terjadi setiap hari. (Syukur, 2000:13). Dalam
ungkapan kata lain disebtkan bahwa mereka yang tidak mempunyai
ikatan status di masyarakat dan mereka yang tidak mempunyai fungsi
atau peran dalam masyarakat lebih mudah mengalami gangguan
kejiwaan. (Hawari, 1999:11). Sebagai upaya pencegahannya manusia
12

sedapat mungkin menghindarinya, yaitu dengan melakukan aktivitas


sosial dalam masyarakat, dan lain sebagainya.
e) Agama dan falsafah hidup.
Dalam hal ini agama berfungsi sebagai therapy bagi jiwa yang gelisah
dan terganggu. Selain itu agama juga berperan sebagai alat pencegah
(preventif) terhadap kemungkinan gangguan mental dan merupakan
faktor pembinaan (konstruktif) bagi kesehatan mental. (Daradjat,
1975:80). Dengan keyakinan beragama, berarti seseorang telah hidup
dekat dengan Tuhan serta tekun menjalankan agama. Pada akhirnya
akan terwujud kesehatan mental secara utuh. Sedangkan falsafah hidup
merupakan wujud dari kumpulan prinsip atau nilai-nilai. Sehingga setiap
orang berusaha sesuai dengan ketentuannya. Dengan demikian apabila
seseorang memiliki falsafah hidup, maka akan dapat menghadapi
tantangannya dengan mudah (Fahmi, 1982:92).

f) Pengawasan diri
Agar dapat terhindar dari gangguan mental, maka sedapat mukin
melindungi diri dari dorongan dan keinginan atau berbuat maksiat
dengan mengawasi diri kita. Secara umum orang yang wajar adalah
orang yang mampu mengendalikan keinginannya dan mampu menunda
sebagian dari pemenuhan kebutuhannya, serta bersedia meninggalkan
kelezatankelezatan dengan segera, demi untuk mencapai keuntungan
(pahala) yang lebih lama sifatnya serta lebih kekal. (Fahmi, 1982:114).
Manfaat lain dari pengawasan diri adalah menghindarkan seseorang dari
perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan norma dan adat yang
berlaku. Berdasarkan pada eksplorasi di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa pencegahan gangguan mental dimaksudkan untuk mewujudkan
kesehatan mental yang didasarkan pada kemauan dan kemampuan setiap
pribadi untuk merubah dari masalah yang buruk agar menjadi baik.
13

2.3 Penyandang Cacat / Disabilitas

Gambar 2.3 Penyandang Cacat / Disabilitas


1) Pengertian Penyandang Disabilitas
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia1 penyandang diartikan dengan orang
yang menyandang (menderita) sesuatu. Sedangkan disabilitas merupakan kata
bahasa Indonesia yang berasal dari kata serapan bahasa Inggris disability
(jamak: disabilities) yang berarti cacat atau ketidakmampuan.
Menurut Peraturan Daerah Provinsi Lampung Nomor 10 Tahun 2013 tentang
Pelayanan dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas, penyandang
disabilitas adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental
yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya
untuk melakukan kegiatan secara selayaknya, yang terdiri dari: penyandang
disabilitas fisik, penyandang disabilitas mental serta penyandang disabilitas
fisik dan mental. Orang berkebutuhan khusus (disabilitas) adalah orang yang
hidup dengan karakteristik khusus dan memiliki perbedaan dengan orang pada
umumnya. Karena karakteristik yang berbeda inilah memerlukan pelayanan
khusus agar dia mendapatkan hak-haknya sebagai manusia yang hidup di
muka bumi ini.Orang berkebutuhan khusus memiliki defenisi yang sangat
luas, mencakup orang-orang yang memiliki cacat fisik, atau kemampuan IQ
(Intelligence Quotient) rendah, serta orang dengan permasalahan sangat
kompleks, sehingga fungsi-fungsi kognitifnya mengalami gangguan.
14

Penyandang Cacat dalam pokok-pokok konvensi point 1 (pertama)


pembukaan memberikan pemahaman, yakni; Setiap orang yang mempunyai
kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat menganggu atau merupakan
rintangan dan hamabatan baginya untuk melakukan secara selayaknya, yang
terdiri dari, penyandang cacat fisik; penyandang cacat mental; penyandang
cacat fisik dan mental.

Menurut Peraturan Daerah Provinsi Lampung Nomor 10 Tahun 2013 tentang


Pelayanan dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas, penyandang
disabilitas adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental
yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya
untuk melakukan kegiatan secara selayaknya, yang terdiri dari: penyandang
disabilitas fisik, penyandang disabilitas mental serta penyandang disabilitas
fisik dan mental.

Orang berkebutuhan khusus (disabilitas) adalah orang yang hidup dengan


karakteristik khusus dan memiliki perbedaan dengan orang pada umumnya.
Karena karakteristik yang berbeda inilah memerlukan pelayanan khusus agar
dia mendapatkan hak-haknya sebagai manusia yang hidup di muka bumi
ini.Orang berkebutuhan khusus memiliki defenisi yang sangat luas, mencakup
orang-orang yang memiliki cacat fisik, atau kemampuan IQ (Intelligence
Quotient) rendah, serta orang dengan permasalahan sangat kompleks,
sehingga fungsi-fungsi kognitifnya mengalami gangguan.
2) Jenis-jenis Disabilitas
Terdapat beberapa jenis orang dengan kebutuhan khusus/disabilitas. Ini berarti
bahwa setiap penyandang disabilitas memiliki defenisi masing-masing yang
mana kesemuanya memerlukan bantuan untuk tumbuh dan berkembang secara
baik. Jenis-jenis penyandang disabilitas 5 :
1. Disabilitas Mental. Kelainan mental ini terdiri dari:
a) Mental Tinggi.
15

Sering dikenal dengan orang berbakat intelektual, di mana selain


memiliki kemampuan intelektual di atas rata-rata dia juga memiliki
kreativitas dan tanggungjawab terhadap tugas.
b) Mental Rendah
Kemampuan mental rendah atau kapasitas intelektual/IQ
(Intelligence Quotient) di bawah rata-rata dapat dibagi menjadi 2
kelompok yaitu anak lamban belajar (slow learnes) yaitu anak
yang memiliki IQ (Intelligence Quotient) antara 70-90. Sedangkan
anak yang memiliki IQ (Intelligence Quotient) di bawah 70
dikenal dengan anak berkebutuhan khusus.
c) Berkesulitan Belajar Spesifik
Berkesulitan belajar berkaitan dengan prestasi belajar
(achievment) yang diperoleh
2. Disabilitas Fisik. Kelainan ini meliputi beberapa macam, yaitu7:
a. Kelainan Tubuh (Tuna Daksa)
Tunadaksa adalah individu yang memiliki gangguan gerak yang
disebabkan oleh kelainan neuro-muskular dan struktur tulang yang
bersifat bawaan, sakit atau akibat kecelakaan (kehilangan organ
tubuh), polio dan lumpuh.
b. Kelainan Indera Penglihatan (Tuna Netra)
Tunanetra adalah individu yang memiliki hambatan dalam
penglihatan. Tunanetra dapat diklasifikasikan kedalam dua
golongan yaitu: buta total (blind) dan low vision.
c. Kelainan Pendengaran (Tunarungu)
Tunarungu adalah individu yang memiliki hambatan dalam
pendengaran baik permanen maupun tidak permanen. Karena
memiliki hambatan dalam pendengaran individu tunarungu
memiliki hambatan dalam berbicara sehingga mereka biasa disebut
tunawicara.
16

d. Kelainan Bicara (Tunawicara)


Adalah seseorang yang mengalami kesulitan dalam
mengungkapkan pikiran melalui bahasa verbal, sehingga sulit
bahkan tidak dapat dimengerti oleh orang lain. Kelainan bicara ini
dapat dimengerti oleh orang lain. Kelainan bicara ini dapat bersifat
fungsional di mana kemungkinan disebabkan karena
ketunarunguan, dan organik yang memang disebabkan adanya
ketidaksempurnaan organ bicara maupun adanya gangguan pada
organ motorik yang berkaitan dengan bicara.
3. Tunaganda (disabilitas ganda).Penderita cacat lebih dari satu
kecacatan (yaitu cacat fisik dan mental)

2.4 Tunawisma/ Gelandangan

Gambar 2.4 gelandangan


1) Definisi
Homeless atau tunawisma menggambarkan seseorang yang tidak memiliki
tempat tinggal secara tetap maupun yang hanya sengaja dibuat untuk tidur.
Tunawisma biasanya di golongkan ke dalam golongan masyarakat rendah dan
tidak memiliki keluarga.
17

Masyarakat yang menjadi tunawisma bisa dari semua lapisan masyarakat


seperti orang miskin, anak-anak, masyarakat yang tidak memiliki keterampilan,
petani, ibu rumah tangga, pekerja sosial, tenaga kesehatan profesional serta
ilmuwan. Beberapa dari mereka menjadi tunawisma karena kemiskinan atau
kegagalan sistem pendukung keluarga mereka. Selain itu alasan lain menjadi
tunawisma adalah kehilangan pekerjaan, ditinggal oleh keluarga, kekerasan
dalam rumah tangga, pecandu alkohol, atau cacat. Walaupun begitu apapun
penyebabnya, tunawisma lebih rentan terhadap masalah kesehatan dan akses ke
pelayanan perawatan kesehatan berkurang.
2) Faktor Penyebab Munculnya Tunawisma
(1)Kemiskinan
Kemiskinan merupakan faktor dominan yang menyebabkan banyaknya
gelandangan, pengemis dan anak jalanan. Kemiskinan dapat memaksa
seseorang menjadi gelandangan karena tidak memiliki tempat tinggal yang
layak, serta menjadikan mengemis sebagai pekerjaan. Ketidakmampuan
seseorang untuk mencukupi kebutuhan hidupnya dan keluarga membuatnya
dalam garis kemiskinan. Penghasilan yang tidak menentu berbanding terbalik
dengan pengeluaran membuat seseorang rela menjadi tunawisma untuk tetap
bertahan hidup.Selain itu anak dari keluarga miskin menghadapi risiko yang
lebih besar untuk menjadi anak jalanan karena kondisi kemiskinan yang
menyebabkan mereka kerap kali kurang terlindung.
(2) Rendah tingginya pendidikan
Rendahnya pendidikan sangat berpengaruh terhadap kesejahteraan
seseorang. Pendidikan sangat berpengaruh terhadap persaingan didunia kerja.
Seseorang dengan pendidikan rendah akan sangat sulit mendapatkan sebuah
pekerjaan yang layak. Sedangkan mereka juga memerlukan biaya untuk
mencukupi semua kebutuhan hidupnya. Pada umumnya tingkat pendidikan
gelandangan dan pengemis relatif rendah sehingga menjadi kendala bagi
mereka untuk memperoleh pekerjaan yang layak.
(3) Keluarga
18

Keluarga adalah tempat seseorang mendapatkan kasih sayang dan


perlindungan yang lebih daripada lingkungan lain. Namun, hubungan keluarga
yang tidak harmonis atau anak dengan keluarga broken home membuat mereka
merasa kurang perhatian,kemyamanan dan ketenangan sehingga mereka
cenderung mencari kebebasan, belas kasih dan ketenangan dari orang lain.
(4) Umur
Umur yang semakin rentan serta kemampuan fisik yang menurun,
membuat seseorang lebih sulit mendapatkan pekerjaan. Hal ini menyebabkan
mereka sulit untuk memenuhi kebutuhannya. Menjadi tunawisma merupakan
alternatif terakhir mereka untuk bertahan hidup.

(5) Cacat Fisik


Kondisi fisik yang tidak sempurna membuat seseorang sulit
mendapatkan pekerjaan. Kebanyakan seserang yang memiliki cacat fisik
memilih menjadi tunawisma untuk dapat bertahan hidup. Menurut Kolle
(Riskawati dan Syani ( 2012 )) kondisi kesejahteraan seseorang dapat diukur
melalui kondisi fisiknya seperti kesehatan.
(6) Rendahnya ketrampilan
Ketrampilan sangatlah penting dalam kehidupan,dengan ketrampilan
seseorang dapat memiliki asset produksi. Namun, ketrampilan perlu digali
salah satunya melalui pendidikan serta membutuhkan modal pendukung
untuk dikembangkan. Hal inilah yang menjadi penghambat seseorang dalam
mengembangkan ketrampilan yang dimilki. Ketidakberdayaan inilah yang
membuat seseorang memilih menjadi tunawisma untuk bertahan hidup. Pada
umumnya gelandangan dan pengemis tidak memiliki keterampilan yang
sesuai dengan tuntutan pasar kerja.
(7) Masalah sosial budaya
Ada beberapa faktor sosial budaya yang menagkibatkan seseorang
menjadi gelandangan dan pengemis. Antara lain:
a. Rendahnya harga diri.
19

Rendahnya harga diri kepada sekelompok orang, mengakibatkan mereka


tidak memiliki rasa malu untk meminta-minta. Dalam hal ini, harga diri
bukanlah sesuatu yang berharga bagi mereka. Hal ini dibuktikan dengan
banyaknya tunawisma yang berusia produktif.
b. Sikap pasrah pada nasib.
Mereka manggap bahwa kemiskinan adalah kondisi mereka sebagai
gelandangan dan pengemis adalah nasib, sehingga tidak ada kemauan
untuk melakuan perubahan.
c. Kebebasan dan kesenangan hidup mengelandang.

(8) Faktor Lingkungan


Menjadi gelandangan dan pengemis dapat disebabkan oleh faktor lingkungan
yang mendukungnya. Contohnya saja jika bulan ramadhan banyak sekali ibu-ibu
rumah tangga yang bekerja sebagai pengemis. Momen ini digunakan mereka
mencari uang untuk membantu suaminya mencari nafkah. Tentu hal ini akan
mempengaruhinya untuk melakukan pekerjaan yang sama, terlebih lagi melihat
penghasilan yang didapatkan lumayan untuk emmenuhi kebutuhan hidup.
(9) Letak Geografis

Kondisi wilayah yang tidak dapat diharapkan potensi alamnya membuat


masyarakat yang tinggal di daerah tersebut mengalami kemiskinan dan membuat
masyarakat harus meninggalkan tempat tersebut untuk mencari peruntungan lain.
Akan tetapi, keputusannya untuk pindah ke kota lebih memperburuk keadaan.
Tidak adanya potensi yang alam sedia untuk diolah membuat masyarakat
tersebut semakin masuk dalam garis kemiskinan, dan membuatnya menjadi
gelandangan. Oleh karena itu ia lebih memilih menjadi pengemis sehingga
kebutuhan hidupnya sedikit terpeuhi dengan uang hasil meminta-minta

(10) Lemahnya penangan masalah gelandangan dan pengemis


20

Penanganan masalah gelandangan dan pengemis yang dilakukan oleh


pemerintah hanya setengah hati. Selama ini penanganan yang telah nyata
dilakukan adalah razia, rehabilitasi dalam panti sosial, kemudian setelah itu
dipulangkan ketempat asalnya. Pada kenyataannnnya, penanganan ini tidak
menimbulkan efek jera bagi mereka sehingga suatu saat mereka akan kembali
lagi menjadi gelandangan dan pengemis. pada proses penanganan hal yang
dilakukan adalah setelah dirazia mereka dibawa kepanti sosial untuk mendapat
binaan, bagi yang sakit dan yang berusia renta akan tetap tinggal di panti sosial
sedangkan yang lainnya akan dipulangkan. Proses ini dirasakan terlalu mudah
dan enak bagi gelandangan dan pengemis sehingga ia tidak perlu takut apabila
terjaring razia lagi. hal inilah yang membuat mereka terus mengulang kegiatan
yang sama yakni menjadi gelandangan dan pengemis.
3) Faktor Perilaku Dan Psikososial Yang Menyebabkan Masalah Kesehatan Pada
Tunawisma
(1)Kemiskinan, antara lain mengakibatkan:
a) Makanan yang tidak cukup atau makanan yang kurang gizi
b) Persediaan air yang kurang, sanitasi yang jelek dan perumahan yang tidak
layak.
c) Tidak mendapatkan pelayanan yang baik.
(2)Gender
Adalah peran masing-masing pria dan wanita berdasarkan jenis kelamin
menurut budaya yang berbeda-beda. Gender sebagai suatu kontruksi sosial
mempengaruhi tingkat kesehatan, dan karena peran jender berbeda dalam
konteks cross cultural berarti tingkat kesehatan wanita juga berbeda-beda.
(3)Pendidikan yang rendah
Kemiskinan mempengaruhi kesempatan untuk mendapatkan
pendidikan. Kesempatan untuk sekolah tidak sama untuk semua tetapi tergantung
dari kemampuan membiayai. Dalam situasi kesulitan biaya biasanya anak laki-
laki lebih diutamakan karena laki-laki dianggap sebagai pencari nafkah utama
dalam keluarga. Dalam hal ini bukan indikator kemiskinan saja yang
21

berpengaruh tetapi juga jender berpengaruh pula terhadap pendidikan. Tingkat


pendidikan ini mempengaruhi tingkat kesehatan. Orang yang berpendidikan
biasanya mempunyai pengertian yang lebih besar terhadap masalah-masalah
kesehatan dan pencegahannya. Minimal dengan mempunyai pendidikan yang
memadai seseorang dapat mencari liang, merawat diri sendiri, dan ikut serta
dalam mengambil keputusan dalam keluarga dan masyarakat.
(4) Kawin muda
Di negara berkembang termasuk Indonesia kawin muda pada wanita masih
banyak terjadi (biasanya di bawah usia 18 tahun). Hal ini banyak kebudayaan
yang menganggap kalau belum menikah di usia tertentu dianggap tidak laku.
Ada juga karena faktor kemiskinan, orang tua cepat-cepat mengawinkan
anaknya agar lepas tanggung jawabnya dan diserahkan anak wanita tersebut
kepada suaminya. Ini berarti wanita muda hamil mempunyai resiko tinggi pada
saat persalinan. Di samping itu resiko tingkat kematian dua kali lebih besar dari
wanita yang menikah di usia 20 tahunan. Dampak lain, mereka putus sekolah,
pada akhirnya akan bergantung kepada suami baik dalam ekonomi dan
pengambilan keputusan.
(5) Seks bebas
Dari perilaku seksual usia dini Anak jalanan perempuan, yang mulai seks
bebas yaitu anak-anak jalanan dengan usia dibawah 14 tahun dan ada yang
melakukan dengan saudaranya sendiri. Hal ini menyebabkan anak jalanan
rentan terhadap penyakit kelamin misalnya HIV atau AIDS.
(6) Penggunaan Drugs
Anak jalanan perempuan rela melakukan hal apapun ( merampas, mencuri,
membeli, hubungan seks) yang penting bisa mendapatkan uang untuk membeli
minuman keras, pil dan zat aditif lainnya. Mereka menggunakan itu karena
ingin menumbuhkan keberanian saat melakukan kegiatan di jalanan. (P. Agus.
A., 2015)
(7) Eksploitasi Seksual
22

Keberadaan anak jalanan perempuan yang tinggal dijalanan sangat rentan


terhadap eksploitasi khususnya eksploitasi seksual seperti pelecehan,
penganiyaan secara seksual, pemerkosaan, penjerumusan anak dalam prostitusi
dan adanya indikasi perdagangan anak keluar daerah khususnya Riau dan
Batam.
4) Masalah Kesehatan Pada Tunawisma
(1) Gangguan Fisik Akut
Pada umumnya tunawisma akan mengalami gangguan fisik akut seperti:
Gangguan fisik akut Gangguan fisik kronik
ISPA (infeks sistem pernfasan atas) Kecanduan alkohol dan zat lain
Trauma-cedera ringan hingga berat Hipertensi
Penyakit kulit Gangguan pencernaan
TBC Gangguan sistem saraf tepi
Terserng kutu dan tungau Masalah gigi
Gizi buruk/ kekurangan gizi Diabetes melitus
- HIV/AIDS
(2) Masalah Kesehatan pada Tunawisma Anak-Anak
Selain masalah kesehatan fisik, masalah lain juga banyak timbul seperti :
1) Kegelisahan
2) Tidak mendapatkan/tidak lengkap untuk imunisasi
3) Masalah bahasa dan berbicara
4) Penyakit pernafasan atas dan asma
5) Infeksi telinga
6) Gangguan pencernaan/mata
7) Trauma
8) Terserang kutu rambut
(3)Masalah kesehatan yang berhubungan dengan kehamilan
1) Perawatan pre-natal yang kurang baik
2) Kurang nutrisi
3) Komplikasi kehamilan
(4)Masalah kesehatan mental
1) Skizofrenia
23

2) Gangguan bipolar
3) Depresi
4) Gangguan kecemasan dan kepribadian antisosial
5) Kepribadian yang kacau
5) Peran Perawat Di Area Homeless (Tunawisma)
(1) Perawat sebagai pemberi perawatan
Para tunawisma biasanya banyak mengalami kurang perhatian dari orang
tua dan lingkungan. Alhasil banyak masalah yang terjadi pada tunawisma baik
dari segi kesehatan fisik, psikologis dan sosial. Peran perawat disini adalah
memberikan asuhan keperawatan kepada mereka yang mengalami masalah
kesehatan secara holistik atau menyeluruh.
(2) Perawat sebagai pendidik
Salah satu faktor penyebab dari tunawisma adalah rendahnya pendidikan
mereka yang membuat mereka menjadi miskin. Oleh karena itu, perawat
menjelaskan kepada mereka informasi seputar kesehatan dan menanamkan gaya
hidup sehat. Diharapkan para tunawisma tersebut dapat merubah perilaku
mereka untuk mencapai tingkat kesehatan yang maksimal.
(3) Perawat sebagai pengamat kesehatan (monitoring)
Perawat memonitoring perubahan-perubahan yang terjadi pada tunawisma.
Bentuk monitoring dapat berupa observasi, kunjungan rumah, pertemuan atau
pengumpulan data.
(4) Perawat sebagai panutan (role model)
Perawat dapat memberikan contoh yang baik dalam bidang kesehatan
kepada masyarakat tunawisma tatacara hidup sehat yang dapat ditiru dan
dicontoh oleh mereka.
(5) Perawat sebagai komunikator
Peran sebagai komunikator merupakan pusat dari seluruh peran perawat
yang lain. Perawat memberikan perawatan yang efektif, memberikan
pembuatan keputusan antara individu dan keluarga, memberikan perlindungan
bagi para tunawisma dari ancaman terhadap kesehatan dan kehidupannya.
24

Semua itu dilakukan dengan komunikasi yang jelas agar kualitas kehidupan
mereka terpenuhi.
(6) Perawat sebagai rehabilitator
Rehabilitasi merupakan proses dimana individu kembali ke tingkat fungsi
maksimal setelah sakit, kecelakaan atau kejadian yang menimbulkan
ketidakberdayaan lainnya. Seringkali tunawisma mengalami gangguan fisik dan
emosi yang mengubah kehidupan mereka dan perawat membantu mereka untuk
beradaptasi semaksimal mungkin dengan keadaan tersebut.

6) Level Pencegahan Homeless (Tunawisma)


(1) Pencegahan Primer
Tujuan dalam pencegahan primer adalah menjaga tunawisma agar tetap berada
di rumah. Langkah untuk pencegahan primer yaitu:
a) Bantuan finansial
Memberikan pelayanan publik untuk mencegah terjadinya bantuan publik,
mengetahui tersedianya dana, dan mengajukan permohonan untuk
mendapatkan bantuan bagi tunawisma yang membutuhkan.
b) Bantuan hukum
Membantu tunawisma untuk berkonsultasi secara hukum agar tidak
terjadinya pengusiran.
c) Saran finansial
Menyediakan program konseling keuangan secara gratis kepada tunawisma.
d) Program relokasi
Memberikan dana yang dibutuhkan bagi tunawisma untuk membayar rumah
dan kebutuhan dasar.

(2) Pencegahan Sekunder


Memfokuskan pada populasi tunawisma dengan mendaftar segala kebutuhan
serta pelayanan kesehatan. Dalam hal ini, para tunawisma sulit mengakses
khususnya system pelayanan kesehatan karena mereka tidak memiliki tempat
25

atau alamat yang tetap, sehingga dengan tujuan mengeluarkan populasi tersebut
dari kondisi tersebut dan mengatasi dampak yang timbul akibat menjadi
tunawisma. Langkah untuk pencegahan sekunder ialah :
a) Membutuhkan rumah tradisional tanpa dipungut biaya yang rendah dan
menimbulkan persoalan umum bagi populasi tunawisma adalah mereka
menjalani medikasi dan regimen terapi.
b) Obat – obatan yang dapat disimpan dengan mudah
c) Mengikuti dan mempelajari makanan yang disediakan ditempat
penampungan agar tunawisma tetap mendapatkan asupan makanan sesuai
yang ada di tempat penampungan tersebut.
d) Memberikan vitamin kepada tunawisma untuk mengompensasi defisit nutrisi
e) Memahami dan memfasilitasi bahwa para tunawisma selalu melakukan
usaha terbaik untuk mengikuti program terapi
f) Mengidentifikasi faktor – faktor yang menghambat para tunawisma agar
tetap mendapatkan pelayanan kesehatan
(3) Pencegahan tersier (Rehabilitasi)
Pencegahan tersier adalah pencegahan untuk mengurangi ketidakmampuan dan
mengadakan rehabilitasi (Budiarto,2003). Langkah pencegahan tersier pada
tunawisma antara lain:
a) Bimbingan mental
Bimbingan mental ini dilakukan secara intensif oleh pihak dinas sosial kepada
para PMKS. Bagian ini merupakan bagian yang sangat penting guna
menumbuhkan rasa percaya diri serta spiritualitas para gelandangan dan
pengemis. Karena pada dasarnya mereka memiliki semangat dan rasa
percaya diri yang selama ini tersimpan jauh di dalam dirinya. Selain itu
mereka juga mempunyai potensi yang cukup besar, hanya saja belum
memiliki penyaluran atau sarana penghantar dalam memanfaatkan potensi-
potensi tersebut. Pada saat pertama kali para gelandangan dan pengemis
(gepeng) yang tercakup dalam razia, keadaan mereka sangat
memprihatinkan, ada yang memasang muka memelas ada juga yang dengan
26

santainya mengikuti semua proses dalam therapy ini, dalam therapy individu
dilakukan pengecekan terhadap semua gelandangan dan pengemis (gepeng)
satu persatu secara psikis.
b) Bimbingan kesehatan
Sebelum pihak dinas kesehatan melakukan bimbingan kesehatan, terlebih
dahulu para penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) diberikan
fasilitas penanganan kesehatan yaitu pemeriksaan kesehatan bagi mereka
yang sedang sakit. Kemudian kegiatan bimbingan kesehatan dimulai dengan
penyadaran tentang pentingnya kesehatan badan atau jasmani. Mulai dari hal
kecil seperti pentingnya mandi, gosok gigi dan memakai pakaian bersih.
Melihat selama ini kehidupan di jalanan yang sangat keras dan serba tidak
sehat, para gelandangan dan pengemis (gepeng) tentu masih merasa
kesulitan untuk menerapkan gaya hidup sehat sehingga apa yang diperoleh
dalam bimbingan kesehatan tidak diterapkan sepenuhnya dalam kehidupan
mereka.
c) Bimbingan ketertiban
Bimbingan ketertiban ini diisi oleh Satpol PP yang dilakukan 1 bulan sekali,
dengan tujuan memberikan pengarahan tentang tata tertib lalu lintas, serta
peraturan di jalan raya, sehingga para gelandangan dan pengemis tidak lagi
berkeliaran dijalan raya, karena keberadaan mereka di jalanan sangat
mengganggu keamanan serta ketertiban lalu lintas. Dalam proses bimbingan
ketertiban ini biasanya pihak dinas sosial mendatangkan narasumber dari
Satpol PP atau pihak kepolisian setempat. Menurut pengamatan peneliti pada
saat pertama mengikuti wejangan dari pak polisi para gelandangan dan
pengemis (gepeng) terlihat sangat antusias. Mungkin mereka takut
berhadapan dengan polisi, karena pada dasarnya para gelandangan dan
pengemis (gepeng) dijalanan sangat berhati-hati terhadap polisi, takut
ditangkap dan kemudian dipenjarakan.
d) Bimbingan keagamaan
27

Bimbingan keagamaan dilakukan secara intensif oleh pihak dinas sosial,


guna untuk menguatkan kembali spiritualitas para gelandangan dan
pengemis.
7) Perspektif Homeless Atau Gelandangan Di Indonesia
1. UUD 1945
Undang - Undang Dasar 1945 adalah Landasan konstitusional Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Para pendiri negeri ini telah merumuskannya,
sejak Bangsa Indonesia Merdeka dari jajahan para kolonialisme. UUD 1945
adalah sebagai hukum dasar tertinggi dalam penyelenggaraan kehidupan
berbangsa dan bernegara. UUD 1945 telah di amandemen empat kali pada
tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002 yang telah menghasilkan rumusan Undang -
Undang Dasar yang jauh lebih kokoh menjamin hak konstitusional warga
negara dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Namun,
di Indonesia masih banyak terdapat gelandangan, pengemis, masyarakat dalam
keadaan fakir, miskin dan terlantar. Dalam UUD 1945 Pasal 34 Ayat 1
berbunyi “Fakir Miskin dan anak - anak yang terlantar dipelihara oleh negara”.
2. Program atau kebijakan pemerintah tentang penanggulangan homeless atau
gelandangan di Indonesia
Dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 31 Tahun 1980, gelandangan dan
pengemis tidak sesuai dengan norma kehidupan bangsa Indonesia yang
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, karena itu perlu diadakan usaha-usaha
penanggulangan. Penanggulangan tersebut bertujuan untuk memberikan
rehabilitasi kepada gelandangan dan/atau pengemis agar mereka mampu
mencapai taraf hidup, kehidupan, dan penghidupan yang layak sebagai seorang
warna negara Republik Indonesia.Dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 31
Tahun 1980 pasal 1, 5 dan 6, ada beberapa usaha untuk menanggulangi
gelandangan adalah sebagai berikut :
1) Usaha preventif
Adalah usaha secara terorganisir yang meliputi penyuluhan, bimbingan,
latihan, dan pendidikan, pemberian bantuan, pengawasan serta pembinaan
28

lanjut kepada berbagai pihak yang ada hubungannya dengan pergelandangan


dan pengemisan sehingga akan tercegah terjadinya :
a. Pergelandangan dan pengemisan oleh individu atau keluarga-keluarga
terutama yang sedang berada dalam keadaan sulit penghidupannya
b. Meluasnya pengaruh dan akibat adanya pergelandangan dan pengemisan
di dalam masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban dan
kesejahteraan pada umumnya
c. Pergelandangan dan pengemisan kembali oleh para gelandangan dan
pengemis yang telah direhabilitir dan telah ditransmigrasikan ke daerah
pemukiman baru ataupun telah dikembalikan ke tengah masyarakat.
Dalam hal ini, usaha yang di maksud adalah dengan :
1. Penyuluhan dan bimbingan sosial
2. Pembinaan sosial
3. Bantuan sosial
4. Perluasan kesempatan kerja
5. Pemukiman lokal
6. Peningkatan derajat kesehatan
2) Usaha represif
adalah usaha-usaha yang terorganisir, baik melalui lembaga maupun bukan
dengan maksud menghilangkan pergelandangan dan pengemisan, serta
mencegah meluasnya di dalam masyarakat. Usaha represif yang di lakukan
sesuai PP No. 31 Tahun1980 Pasal 9 adalah razia, penampungan sementara
untuk di seleksi, dan pelimpahan. Dalam pasal 12 disebutkan bahwa setelah
gelandangan di seleksi, tindakan selanjutnya terdiri dari :
a. Dilepaskan dengan syarat
b. Dimasukkan dalam panti sosial
c. Dikembalikan kepada orang tua/wali/keluarga/kampung halamannya
d. Diserahkan ke pengadilan
e. Diberikan pelayanan kesehatan
3) Usaha Rehabilitatif
29

adalah usaha-usaha yang terorganisir meliputi usaha-usaha penyantunan,


pemberian latihan dan pendidikan, pemulihan kemampuan dan penyaluran
kembali baik ke daerah-daerah pemukiman baru melalui transmigrasi maupun
ke tengah-tengah masyarakat, pengawasan serta pembinaan lanjut, sehingga
dengan demikian para gelandangan dan pengemis, kembali memiliki
kemampuan untuk hidup secara layak sesuai dengan martabat manusia
sebagai Warganegara Republik Indonesia.
Dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 31 Tahun 1980 pasal 7 di jelaskan
bahwa pelaksanaan penanggulangan gelandangan di atur lebih lanjut oleh
Menteri Sosial, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi, baik secara bersama-sama atau sendiri-sendiri sesuai dengan
bidang tugas masing-masing.

BAB 3

PENUTUP
30

3.1 Kesimpulan

Populasi rentan atau populasi beresiko adalah kondisi yang mempengaruhi kondisi
seseorang atau populasi untuk menjadi sakit atau sehat (Kaakinen, Hanson,
Birenbaum dalam Stanhope & Lancaster, 2004). Pandera mengkategorikan faktor
resiko kesehatan antara lain genetik, usia, karakteristik biologi, kesehatan individu,
gaya hidup dan lingkungan. Jika seseorang dikatakan rawan apabila mereka
berhadapan dengan penyakit, bahaya, atau outcome negatif. Faktor pencetusnya
berupa genetik, biologi atau psikososial. Populasi rawan atau rentan merupakan
kelompok-kelompok sosial yang memiliki peningkatan risiko yang relatif atau rawan
untuk menerima pelayanan kesehatan.

3.2 Saran

Penulis menyadari bahwa banyak kekurangan dalam makalah ini, kiranya pembaca
dapat memberikan kritik dan saran untuk mengembangka makalah ini agar dapat
lebih baik lagi.

29

Anda mungkin juga menyukai