Anda di halaman 1dari 7

Putusan Mahkamah Konstitusi No 100/PUU-XIII/2015 mengenai Calon Tunggal

dalam Pilkada
A. Objek permohonannya
Pasal 48 ayat (8) dan ayat (9), Pasal 50 ayat (8) dan ayat (9), Pasal 51 ayat (2),
Pasal 52 ayat (2), Pasal 54 ayat (4), ayat (5), ayat (6) UU 8/2015

B. Putusannya
Permohonan ditolak

C. Amar putusannya
“Berdasarkan seluruh uraian di atas, dalil-dalil pemohon tidak beralasan menurut
hukum sehingga permohonan Pemohon harus ditolak”

D. Pendapat tentang amar putusan


Saya setuju dengan putusan tersebut. Model pemilihan kepala daerah
langsung dan tidak langsung, masingmasing mempunyai keunggulan dan
kelemahan tersendiri. Sepanjang masa orde baru kita telah mempraktekkan
demokrasi tidak langsung, namun tetap saja tujuan bernegara seperti yang
tertuang dalam pembukaan UUD NRI Tahun 1945 belum terwujud secara nyata.
Tuntutan reformasi menghendaki rakyat dilibatkan secara langsung dalam
memilih pemimpinya dan hal ini baru terlaksana sejak bulan Juni tahun 2005
yang lalu, walaupun kita juga belum melihat perubahan secara signifikan pada
kehidupan masyarakat secara keseluruhan, tapi minimal rakyat secara
keseluruhan dapat menikmati pesta demokrasi dan memilih pemimpin mereka
secara langsung, dan pesta itu bukan hanya dinikmati oleh sebagain kecil orang
yang duduk di parlemen.
Individu yang benar-benar memiliki kekuatan otonom dalam masyarakat,
biasanya akan sangat dicintai masyarakatnya, sehingga mereka tidak mau
memilih pemimpin yang lain. Karakter yang melekat seperti ini dapat kita temui
pada diri Tri Rismaharini Walikota Surabaya, yang benar-benar bekerja untuk
rakyatnya. Kecintaan rakyat kepadanya membuat gentar calon pesaing
sehingga tidak ada yang berani untuk maju dalam pilkada serentak tahun 2015.
Walaupun akhirnya setelah perpanjangan masa pendaftaran tahap kedua
akhirnya ada calon pesaing yang muncul. Hal ini terjadi karena mereka
beranggapan akan sulit mengalahkan petahana yang mempunyai tingkat
elektabilitas yang tinggi seperti Tri Rismaharini.
Jika kita mencermati dan belajar dari prkatek ketatanegaraan asli bangsa
Indonesia, dalam hal pemilihan kepala desa, jika terdapat calon kepala desa
tunggal, maka calon kepala desa tersebut akan dilawankan dengan bumbung
kosong. Dengan melawan bumbung kosong elektabilitas dan legitimasi calon
tunggal dapat diuji, untuk membuktikan; 1). apakah benar pilihan parpol sejalan
dengan pilihan masyarakat, 2). apakah calon tunggal terjadi secara alamiah
karena kehendak demokratis partai politik ataukah karena desain dan rekayasa
politik untuk menjegal calon berkualitas hanya karena parpol tidak siap
berkompetisi secara adil. Hal itu dapat diketahui dari hasil kontes calon tunggal
dengan bumbung kosong.
Walaupun dihadapkan dengan bumbung kosong, calon tunggal tetap
harus melalui semua tahapan dalam pilkada, sehingga calon tunggal akan tetap
bekerja meyakinkan pemilih bahwa dia adalah pilihan yang tepat bagi pemilih.
Dengan begitu, calon tunggal akan tetap berkampanye dan menyampaikan visi
misinya meskipun lawannya bumbung kosong. Meskipun melawan bumbung
kosong, tidak ada jaminan bahwa calon kepala daerah yang melawan bumbung
kosong pasti akan memang. Di tahun 2013 misalnya saja, bumbung kosong
menang dalam pilkades yang diulang untuk ketiga kalinya di Desa Dlingo,
Kecamatan Mojosongo, Yogyakarta. Dalam pemilihan ketua RT di kecamatan
Keramasan Kota Palembang pada tahun 2012, juga pernah terjadi praktek calon
tunggal ketua RT yang melawan bumbung kosong. Walaupun calon ketua RT
tersebut melawan bumbung kosong, tapi semua tahapan yang harus dilalui
dalam pemilihan ketua RT tersebut tetap harus dilalui, sehingga proses
demokrasi benar-benar berjalan dan hal ini juga sekaligus secara tidak langsung
menjadi pendidikan politik bagi masyarakat setempat.
Belum diaturnya mekanisme calon tunggal yang melawan bumbung
kosong, dapat saja belajar dari praktek pilkades. Namun harus dibuatkan dasar
hukum yang bisa menjamin penerapannya dalam pilkada, dasar hukum tersbut
juga harus dalam bentuk undang-undang. Mekanismenya dibuat sama dengan
pilkades. Kalau bumbung kosong menang maka calon tunggal dinyatakan tidak
berhak untuk mengikuti pemilihan selanjutnya. Tahapan pendaftaran calon
dibuka kembali, dan memberi ruang kepada pihak lain untuk mendaftar. Dengan
demikian, akan muncul caloncalon baru sehingga mekanisme pilkada dapat
berjalan normal seperti diamanatkan dalam undang-undang. Namun, melakukan
revisi undang-undang di tengah puncak pesta yang tinggal menghitung hari,
agar semua daerah yang dijadwalkan menyelenggarakan pilkada serentak di
2015 ini tetap bisa berlangsung sesuai rencana akan sulit untuk dilakukan,
karena akan membutuhkan waktu yang panjang dan menghabiskan uang yang
tidak sedikit. Oleh karena itu alternative calon tunggal melawan bumbung
kosong juga memerlukan kalkulasi yang sangat matang jika ingin ditempuh,
kecuali jika mekanisme dan payung hukumnya sudah diatur. Di sejumlah negara
yang telah lama mempraktikkan pemilihan umum, seperti Amerika Serikat,
Kanada, Inggris, India, Malaysia, dan Filipina, masalah calon tunggal bukan hal
baru. Mereka sudah memiliki mekanisme tersendiri yang dilegatimasi dalam
undnag-undang untuk mengatasi calon tunggal. Dalam praktek kenegaraan di
Amerika, calon tersebut langsung disahkan sebagai pemenang atau dikenal
dengan istilah uncontested election. Sedangkan pada praktek ketatanegaraan di
Kanada, calon tunggal langsung aklamasi menjadi kandidat terpilih.

Putusan Mahkamah Konstitusi No 71/PUU-XIV/2016 mengenai terpidana atau


terdakwa sebagai calon kepala daerah
A. Objek permohonannya
 Pasal 7 ayat (2) huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2014 tentan Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi
undang-Undang
 Pasal 163 ayat (7) dan ayat (8) serta Pasal 164 ayat (7) dan ayat (8)
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentan
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi undang-Undang
B. Putusannya
Permohonan dikabulkan untuk sebagian;

C. Amar putusannya
1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;
2. Menyatakan Pasal 7 ayat (2) huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi
UndangUndang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor
130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5898)
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara
bersyarat sepanjang frasa “tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” dalam
norma Undang-Undang a quo tidak dimaknai “tidak pernah sebagai
terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana
penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali terhadap terpidana yang
melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam
pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam
hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang
berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa”. Sehingga Pasal a quo
selengkapnya adalah “tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan
tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau
lebih, kecuali terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan
dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan
sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya
mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang
berkuasa atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur
mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana”;
3. Menyatakan Pasal 163 ayat (7) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi
UndangUndang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor
130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5898)
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara
bersyarat sepanjang kata “terdakwa” tidak dimaknai “terdakwa karena
melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima)
tahun atau lebih atau karena melakukan tindak pidana korupsi, tindak pidana
terorisme, tindak pidana makar, tindak pidana terhadap keamanan negara,
dan/atau tindak pidana karena melakukan perbuatan lain yang dapat
memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia, kecuali tindak pidana
kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang
dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena
pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang
sedang berkuasa”.
4. Menyatakan Pasal 163 ayat (8) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi
UndangUndang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor
130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5898)
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara
bersyarat sepanjang kata “terpidana” dalam norma Undang-Undang a quo
tidak dimaknai “terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang
diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih atau karena
melakukan tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, tindak pidana
makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau tindak pidana
karena melakukan perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara
Kesatuan Republik Indonesia, kecuali tindak pidana kealpaan dan tindak
pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai
tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai
pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa”.
5. Menyatakan permohonan Pemohon terhadap Pasal 164 ayat (7) dan ayat (8)
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 130, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5898) tidak dapat diterima;
6. Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya;
7. Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik
Indonesia sebagaimana mestinya.

D. Pendapat tentang amar putusan

Saya setuju dengan putusan tersebut. Kebebasan dari hak politik dan sipil
mencakup hak-hak yang memungkinkan warga negara ikut berpartisipasi dalam
kehidupan politik. Hak politik mencakup hak untuk mengambil bagian dalam
pemerintahan dan memberikan suara dalam pemilihan umum yang berkala
dengan hak suara yang universal dan setara. Hak sipil adalah hak warga negara
(civil/civis) untuk menikmati kebebasan dalam berbagai macam hal, seperti hak
untuk hidup, hak memperoleh pendidikan, hak untuk memiliki harta benda, hak
untuk berusaha, hak untuk mengeluarkan pendapat secara lisan maupun tulisan,
hak atas kebebasan beragama dan lain-lain.
Pencabutan Hak Politik bagi terpidana ]merupakan salah satu bentuk
pembatasan terhadap Hak Asasi Manusia yang telah di atur secara tegas dalam
konstitusi Indonesia, pencabutan hak politik bukan saja melanggar HAM akan
tetapi lebih dari pada itu Negara telah melakukan diskriminasi terhadap warga
Negara yang pada hakikatnya UUD 1945 telah jelas mengatur dan melindungi
HAM rakyat Indonesia, dalam pasal 28 I ayat 4 menyatakan bahwa:
“Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia
adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.”
Sebagaimana telah disebutkan di atas, seseorang bisa tercabut hak-hak
sipil dan politiknya dalam kondisi-kondisi tertentu salahs atunya ketia ia
ditetapkan sebagai narapidana dalam suatu putusan pengadilan yang
berkekuata hukum tetap. Pembatasan demikian memang dimungkinkan dan
tidak bertentangan dengan hak-hak asasi manusia. Salah satu kondisi
pembatasan itu memang dimungkinkan bagi para mantan pelaku tindakan
kriminal. Dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang berlaku,
terdapat pembatasan hak politik mantan narapidana. Salah satu pembatasan itu
bisa ditemui dalam hal menduduki jabatan publik.
Perihal terpidana yang mengajukan diri sebagai calon kepala daerah
merupakan hak politik dari terpidana tersebut untuk dipilih dalam pemilu, dan
hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan.
Ikut sertanya mantan narapidana tersebut merupakan HAM mendasar, bahwa
manusia mempunyai hak dan kewajiban yang sama, dan dijamin dalam
Deklarasi HAM, Konvensi Internasional, UUD NRI 1945, dan berbagai peraturan
perundang-undangan nasional lainnya. Pada prinsipnya tiap hak yang dimiliki
oleh seseorang sebagai subjek hukum di dalam satu masyarakat dengan serta
merta membawa kewajiban-kewajiban tertentu, baik terhadap seluruh
masyarakat atau negara yang melindunginya selaku warga negara maupun
terhadap sesama manusia. Setiap warga negara juga berhak memperoleh
kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Oleh karena itu, seharusnya
terpidana juga berhak mencalonkan dirinya sebagai anggota legislatif.
Pasal 43 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 pada bagian kedelapan
sebagaimana telah dijelaskan di atas mengatur tentang Hak Turut Serta dalam
Pemerintahan. Ketentuan tersebut merupakan landasan penting bagi warga
masyarakat yang memberikan kesempatan bagi warga untuk melaksanakan hak
asasinya dalam partisipasi publik pada proses penyelenggaraan pemerintah
yang demokratis di Indonesia. Bahwa semua warga negara akan diperlakukan
sama dalam penyelenggaraan negara. Persamaan tersebut mengimplikasikan
bahwa semua lapisan masyarakat mempunyai hak yang sama untuk
mendapatkan kesempatan dalam penyelenggaraan pemerintahan tanpa adanya
pembedaan.

Anda mungkin juga menyukai