dalam Pilkada
A. Objek permohonannya
Pasal 48 ayat (8) dan ayat (9), Pasal 50 ayat (8) dan ayat (9), Pasal 51 ayat (2),
Pasal 52 ayat (2), Pasal 54 ayat (4), ayat (5), ayat (6) UU 8/2015
B. Putusannya
Permohonan ditolak
C. Amar putusannya
“Berdasarkan seluruh uraian di atas, dalil-dalil pemohon tidak beralasan menurut
hukum sehingga permohonan Pemohon harus ditolak”
C. Amar putusannya
1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;
2. Menyatakan Pasal 7 ayat (2) huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi
UndangUndang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor
130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5898)
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara
bersyarat sepanjang frasa “tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” dalam
norma Undang-Undang a quo tidak dimaknai “tidak pernah sebagai
terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana
penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali terhadap terpidana yang
melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam
pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam
hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang
berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa”. Sehingga Pasal a quo
selengkapnya adalah “tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan
tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau
lebih, kecuali terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan
dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan
sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya
mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang
berkuasa atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur
mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana”;
3. Menyatakan Pasal 163 ayat (7) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi
UndangUndang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor
130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5898)
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara
bersyarat sepanjang kata “terdakwa” tidak dimaknai “terdakwa karena
melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima)
tahun atau lebih atau karena melakukan tindak pidana korupsi, tindak pidana
terorisme, tindak pidana makar, tindak pidana terhadap keamanan negara,
dan/atau tindak pidana karena melakukan perbuatan lain yang dapat
memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia, kecuali tindak pidana
kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang
dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena
pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang
sedang berkuasa”.
4. Menyatakan Pasal 163 ayat (8) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi
UndangUndang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor
130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5898)
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara
bersyarat sepanjang kata “terpidana” dalam norma Undang-Undang a quo
tidak dimaknai “terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang
diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih atau karena
melakukan tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, tindak pidana
makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau tindak pidana
karena melakukan perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara
Kesatuan Republik Indonesia, kecuali tindak pidana kealpaan dan tindak
pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai
tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai
pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa”.
5. Menyatakan permohonan Pemohon terhadap Pasal 164 ayat (7) dan ayat (8)
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 130, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5898) tidak dapat diterima;
6. Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya;
7. Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik
Indonesia sebagaimana mestinya.
Saya setuju dengan putusan tersebut. Kebebasan dari hak politik dan sipil
mencakup hak-hak yang memungkinkan warga negara ikut berpartisipasi dalam
kehidupan politik. Hak politik mencakup hak untuk mengambil bagian dalam
pemerintahan dan memberikan suara dalam pemilihan umum yang berkala
dengan hak suara yang universal dan setara. Hak sipil adalah hak warga negara
(civil/civis) untuk menikmati kebebasan dalam berbagai macam hal, seperti hak
untuk hidup, hak memperoleh pendidikan, hak untuk memiliki harta benda, hak
untuk berusaha, hak untuk mengeluarkan pendapat secara lisan maupun tulisan,
hak atas kebebasan beragama dan lain-lain.
Pencabutan Hak Politik bagi terpidana ]merupakan salah satu bentuk
pembatasan terhadap Hak Asasi Manusia yang telah di atur secara tegas dalam
konstitusi Indonesia, pencabutan hak politik bukan saja melanggar HAM akan
tetapi lebih dari pada itu Negara telah melakukan diskriminasi terhadap warga
Negara yang pada hakikatnya UUD 1945 telah jelas mengatur dan melindungi
HAM rakyat Indonesia, dalam pasal 28 I ayat 4 menyatakan bahwa:
“Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia
adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.”
Sebagaimana telah disebutkan di atas, seseorang bisa tercabut hak-hak
sipil dan politiknya dalam kondisi-kondisi tertentu salahs atunya ketia ia
ditetapkan sebagai narapidana dalam suatu putusan pengadilan yang
berkekuata hukum tetap. Pembatasan demikian memang dimungkinkan dan
tidak bertentangan dengan hak-hak asasi manusia. Salah satu kondisi
pembatasan itu memang dimungkinkan bagi para mantan pelaku tindakan
kriminal. Dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang berlaku,
terdapat pembatasan hak politik mantan narapidana. Salah satu pembatasan itu
bisa ditemui dalam hal menduduki jabatan publik.
Perihal terpidana yang mengajukan diri sebagai calon kepala daerah
merupakan hak politik dari terpidana tersebut untuk dipilih dalam pemilu, dan
hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan.
Ikut sertanya mantan narapidana tersebut merupakan HAM mendasar, bahwa
manusia mempunyai hak dan kewajiban yang sama, dan dijamin dalam
Deklarasi HAM, Konvensi Internasional, UUD NRI 1945, dan berbagai peraturan
perundang-undangan nasional lainnya. Pada prinsipnya tiap hak yang dimiliki
oleh seseorang sebagai subjek hukum di dalam satu masyarakat dengan serta
merta membawa kewajiban-kewajiban tertentu, baik terhadap seluruh
masyarakat atau negara yang melindunginya selaku warga negara maupun
terhadap sesama manusia. Setiap warga negara juga berhak memperoleh
kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Oleh karena itu, seharusnya
terpidana juga berhak mencalonkan dirinya sebagai anggota legislatif.
Pasal 43 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 pada bagian kedelapan
sebagaimana telah dijelaskan di atas mengatur tentang Hak Turut Serta dalam
Pemerintahan. Ketentuan tersebut merupakan landasan penting bagi warga
masyarakat yang memberikan kesempatan bagi warga untuk melaksanakan hak
asasinya dalam partisipasi publik pada proses penyelenggaraan pemerintah
yang demokratis di Indonesia. Bahwa semua warga negara akan diperlakukan
sama dalam penyelenggaraan negara. Persamaan tersebut mengimplikasikan
bahwa semua lapisan masyarakat mempunyai hak yang sama untuk
mendapatkan kesempatan dalam penyelenggaraan pemerintahan tanpa adanya
pembedaan.