PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dewasa ini kita mengenal istilah “fundamentalisme Islam” atau “Islam
fundamentalis”. Istilah ini cukup populer dalam dunia media massa, baik yang berskala
nasional maupun internasional. Istilah “fundamentalisme Islam” atau “Islam fundamentalis”
ini banyak dilontarkan oleh kalangan pers terhadap gerakan-gerakan kebangkitan Islam
kontemporer semacam Hamas, Hizbullah, Al-Ikhwanul Muslimin, Jemaat Islami, dan Hizbut
Tahrir Al-Islamy. Penggunaan istilah fundamentalisme yang ‘dituduhkan’ oleh media massa
terhadap gerakan-gerakan kebangkitan Islam kontemporer tersebut, disamping bertujuan
memberikan gambaran yang ‘negatif’ terhadap berbagai aktivitas mereka, juga bertujuan
untuk menjatuhkan ‘kredibilitas’ mereka di mata dunia.
Sebagaian umat Islam menafsirkan syariat-syariat Islam yang berlaku dengan batasan-
batasan yang begitu keras. Hal tersebut tentu saja akan menimbulkan fundamentalisme Islam,
di mana syariat-syariat Islam mempunyai aturan yang sangat mengikat kuat bagi para
pemeluknya. Aturan yang mengikat kuat tersebut akan menimbulkan masalah yang cukup
kompleks.
B. Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini antara lain :
D. Rumusan Masalah
Bagaimanakah sesungguhnya fundamentalisme Islam yang terjadi di Indonesia
E. Manfaat
Dengan penulisan makalah ini penulis berharap makalah ini dapat :
Di kamus besar bahasa Indonesia menyebutkan kata “fundamental” sebagai kata sifat
yang memberikan pengertian “bersifat dasar (pokok); mendasar”, diambil dari kata
“fundament” yang berarti dasar, asas, alas, fondasi, ( Kamus Besar Bahasa Indonesia,
1990:245 ). Dengan demikian fundamentalisme dapat diartikan dengan paham yang berusaha
untuk memperjuangkan atau menerapkan apa yang dianggap mendasar.
Istilah fundamentalisme pada mulanya juga digunakan untuk menyebut penganut Katholik
yang menolak modernitas dan mempertahankan ajaran ortodoksi agamanya, saat ini juga
digunakan oleh penganut agama-agama lainnya yang memiliki kemiripan, sehingga ada juga
fundamentalisme Islam, Hindu, dan juga Buddha.
Dalam keadaan runyam, Khawarij yang awalnya masuk golongan Ali membelot dan
muncul secara independen ke permukaan sejarah klasik Islam. Dengan latar belakang
kekecewaan mendalam atas roman ganas dua kelompok yang berseteru, mereka berpendapat
bahwa Ali dan Muawiyah kafir dan halal darahnya. Kemudian Ali mereka bunuh, sedangkan
Muawiyah masih tetap hidup. (as-Syahrustani,t.t.:131-137)
Pertama, mereka cenderung melakukan interpretasi literal terhadap teks-teks suci agama dan
menolak pemahaman kontekstual atas teks agama karena pemahaman seperti itu dianggap
mereduksi kesucian agama.
Kaum fundamentalis mengklaim kebenaran tunggal. Menurut mereka, kebenaran hanya ada
di dalam teks dan tidak ada kebenaran di luar teks bahkan kebenaran hanya ada pada
pemahaman mereka terhadap apa yang dianggap sebagai prinsip-prinsip agama. Mereka tidak
memberi ruang kepada pemahaman dan penafsiran selain mereka. Sikap yang demikian ini
adalah sikap otoriter.
Kedua, mereka menolak pluralisme dan relativisme. Bagi kaum fundamentalis, pluralism
merupakan produk yang keliru dari pemahaman terhadap teks suci. Pemahaman dan sikap
yang tidak selaras dengan pandangan kaum fndamentalis merupakan bentuk dari relativisme
keagamaan, yang terutama muncul tidak hanya karena intervensi nalar terhadap teks kitab
suci, tetapi juga karena perkembangan sosial kemasyarakatan yang telah lepas dari kendali
agama.
Ketiga, mereka memonopoli kebenaran atas tafsir agama. Kaum fundamentalis cenderung
menganggap dirinya sebagai penafsir yang paling benar sehingga memandang sesat aliran
yang tidak sepaham dengan mereka. Di dalam khasanah Islam perbedaan tafsir merupakan
suatu yang biasa, sehingga dikenal banyak mazhab. 4 mahzab terbesar di Indonesia adalah
Ikhwanul Muslimin, Salafi atau Wahabi, Hizbut Tahrir, dan Habib.
Sikap keagamaan yang seperti ini berpotensi untuk melahirkan kekerasan. Dengan dalih atas
nama agama, atas nama membela Islam, atas nama Tuhan mereka melakukan tindakan
kekerasan, pengrusakan, penganiayaan, dan bahkan sampai pembunuhan.
Pertama, konsep Din wa Daulah (agama dan negara). Dalam konsep ini Islam dipahami
sebagai sistem hidup total, yang secara universal dapat diterapkan pada semua keadaan,
waktu, dan tempat. Pemisahan antara agama dan negara tidak dapat diterima oleh kelompok
fundamentalis, sehingga agama dan negara dipahami secara integralistik.
Kedua, kembali pada al-Quran dan sunnah. Dalam konsep ini umat Islam diperintahkan
untuk kembali kepada akar-akar Islam awal dan praktik nabi yang puritan dalam mencari
keaslian (otentitas) dan pembaruan. Jika umat Islam tidak kembali ke ‘jalan yang benar’ dari
para pendahulu mereka maka mereka niscaya tidak akan selamat. Kembali kepada al-Quran
dan Sunnah dipahami secara skriptual dan totalistik.
Ketiga, puritanisme dan keadilan sosial. Nilai-nilai budaya barat ditolak karena dianggap
sesuatu yang asing bagi Islam. Media massa diupayakan untuk menyebarkan nilai praktik
Islam yang otentik dari pada menyebar pengaruh budaya asing yang sekuler. Hal ini
mensyaratkan penegakan keadilan sosial ekonomi sehingga doktrin tentang zakat sangat
ditekankan sehingga mampu memajukan kesejahteraan sosial dan mampu memperbaiki
kesenjangan kelas di kalangan umat.
Keempat, berpegang teguh pada kedaulatan syariat Islam. Tujuan utama umat Islam adalah
menegakkan kedaulatan Tuhan di muka bumi ini. Tujuan ini bias dicapai dengan membangun
tatanan Islam yang memposisikan syariat sebagai undang-undang tertinggi. Dari pemahaman
ini maka agenda formalisasi syariat Islam menjadi entry point bagi terbentuknya negara
Islam sehingga syariat Islam benar-benar dapat diperlakukan dalam hukum positif, baik
hukum perdata maupun jinayat.
Kelima, menempatkan jihad sebagai instrumen gerakan. Umat Islam diperintahkan untuk
membangun masyarakat ideal sebagaimana telah digariskan dan sesuai dengan syariat Islam.
Oleh sebab itu diperlukan adanya upaya menghancurkan kehidupan jahiliyah dan
menaklukkan kekuasaan-kekuasaan duniawi melalui jihad atau perang suci.
Keenam, perlawanan terhadap Barat yang hagemonik dan menentang keterlibatan mendalam
dari pihak Barat untuk urusan dalam negeri negara-negara Islam. Mereka merasa harus
mendeklarasikan perlawanan terhadap Barat karena umat Islam sudah diperlakukan dengan
tidak adil, baik secara politik, ekonomi, maupun budaya.
Ideologi-ideologi itulah yang menyatukan gerakan-gerakan Islam di berbagai negara
termasuk Indonesia. Yang membedakan di antara mereka barangkali terletak pada bentuk
artikulasi gerakan. Dalam hal ini mereka tergantung pada problem yang dihadapi di negara
masing-masing. Di Indonesia sendiri, antara Hizbut Tahrir Indonesia, Majelis Mujahidin
Indonesia, dan Front Pembela Islam memiliki kesamaan ideologi, namun cara
menterjemahkan ideologi dan praktik gerakannya satu sama lain berbeda-beda.
Makna fundamentalis Islam bukan berarti seseorang sebagai teroris dan anti-Amerika
Serikat (AS), tetapi Muslim yang bersedia melaksanakan nilai-nilai yang terkandung dalam
al-Quran dan Sunnah Nabi secara konsisten. Melaksanakan nilai Islam mulai dari dasar
secara konsisten sehingga pandangan bahwa Islam menakutkan tidak benar, justru ajaran
Islam bersikap toleran dan membawa rahmat bagi umat manusia dan seluruh alam ( Ahmad
Sumargono, 2000 ).
Dan apapun ideologi yang mereka anut dan sebarkan, seharusnya kita biarkan hidup bebas
pula. Sebab, menganut ideologi apapun, atau tidak menganut ideologi apapun, dalam koridor
kebebasan berfikir dan berekspresi, sejatinya hak asasi manusia juga.
Namun bila hak kebebasan itu telah mereka salah gunakan dalam kehidupan sosial-
politik, maka pelanggaran itu perlu ditindak. Semisal memaksa individu dan kelompok lain
untuk menerapkan keyakinan dan konsep muslim fundamentalis, tanpa kontrak sosial dan
perbincangan yang jelas. Sebab, hal itu telah menjurus pada pelanggaran hak asasi manusia
dan telah menodai nilai penting kontrak sosial dan konstitusi.
Dengan demikian, kita dapat menyimpulkan bahawa sikap yang seharusnya kita
terapkan untuk menghadapi timbulnya fenomena muslim fundamentalis berikut pemikiran
dan tindakannya adalah sikap terbuka dan kritis. Terbuka dalam menerima fenomena
fundamentalisme sebagai kebebasan berfikir dan berekspresi dan kritis apabila tindakan
mereka telah jauh menyimpang dan melanggar hak asasi umat muslim yang lain.
Selain itu, kita juga dapat mengambil pelajaran berharga dari sikap dan kegiatan kaum
fundamentalis. Anggota-anggota mereka terlihat mempunyai kesetiaan yang kuat pada
prinsip yang dianut.
Dari militansi yang terlihat dalam kelompok fundamentalis dapat diambil pelajaran
akan semangat kerja, kemauan untuk bekerja keras. Kemalasan dan kelemahan semangant
merupakan penyakit yang menimpa kaum muslimin negeri ini untuk waktu yang cukup lama.
Fundamentalisme mengajak kita untuk berbuat, untuk tidak diam saja karena pilihan lainnya
adalah perubahan ke arah yang lebih buruk.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari makalah yang telah dipaparkan di atas, dapat diambil kesimpulan :
DOSEN PEMBIMBING
MUCHAROBIN, S.Pd. I
DISUSUN OLEH
CATUR PAMUNGKAS
2018/2019
MAKALAH
FUNDAMETALISME DALAM ISLAM
DI INDONESIA
DOSEN PEMBIMBING
MUCHAROBIN, S.Pd. I
DISUSUN OLEH
CATUR PAMUNGKAS
2018/2019