Anda di halaman 1dari 4

Hujan di Bulan September

Cerpen Karangan: Katai Hitam


Kategori: Cerpen Islami (Religi), Cerpen Nasihat, Cerpen Remaja
Lolos moderasi pada: 3 September 2019

Hujan ini seakan memberiku sebuah renungan. Kertas-kertas ujian yang terbayang di benakku
seakan menjadi hantaman palu untuk kepalaku. Dahiku berkenyit, kupijit perlahan pelipisku
untuk meredakan pusing. Kembali kulihat kertas ujian Kimia perdanaku di kelas sebelas,
menunjukkan rentetan soal materi favoritku. Hidrokarbon dan isomer-isomer apalah itu.

Angka merah yang tertera di pojok kanan atas kertas itu membuat kepalaku semakin berdenyut-
denyut. Aku meringis. Hasil perjuanganku selama ini hanya berbuah pahit, justru
mengantarkanku pada raut wajah kecewa Ibu. Selama ini, aku tidak pernah mendapatkan nilai di
atas KKM dan selalu remidi. Kupikir, inilah kesempatanku. Ternyata, aku hanya terlalu
berharap.

Harapan itu kandas. Padahal, Kimia adalah pelajaran favoritku. Mengapa angka lima puluh yang
ditulis dengan tinta merah itu harus menghiasi kertas ujianku? Apakah kertas itu sengaja
meledekku, tak menghargai usahaku untuk mengejar nilai yang baik?

Kuakui, aku sudah berusaha semaksimal mungkin untuk mendapatkan nilai yang jauh lebih baik.
Namun, kenapa hasil malah mengkhianati usahaku?

“Kamu kenapa, Sandra?” tanya Keira, temanku yang wajahnya tengah berseri-seri karena baru
saja mendapatkan nilai sempurna untuk ujian Kimia. “Sakit?” lanjutnya, mulai khawatir dengan
raut wajahku yang mungkin sama gelapnya dengan awan mendung di luar jendela kelas.

Aku menggeleng. Berusaha keras untuk tidak terlalu bermelankolis ria, meskipun pada akhirnya
aku tetap terlihat melankolis. Ya, hujan di bulan September ini benar-benar membuatku terbawa
suasana. Tak biasanya hujan di bulan September bisa sederas ini. Petir saling sambar
menyambar, langit menggelap dan matahari tertutup pesonanya oleh awan. Persis seperti suasana
hatiku yang kelam.

Akhirnya, Keira menanyakan hal yang benar-benar tak ingin kujawab. “Ujian Kimiamu dapat
nilai berapa?”

Sontak, terdengar suara gemuruh dari arah langit. Petir kembali menyambar, lalu lagi-lagi
terdengar suara gemuruh itu. Aku hanya membalas pertanyaan Keira dengan gelengan.

“Enggak mau jawab?” tanya Keira. Kemudian, gadis itu mengerucutkan bibir. “Aku penasaran
soalnya, Sandra. Siapa tau enggak jelek-jelek amat.”

“Yah.” Aku menghela napas sebelum akhirnya memberi tahu nilai Kimia yang memalukan itu.
“Lima puluh,” ujarku dengan berbisik.

Keira terkejut. Kaget kenapa aku bisa mendapat nilai separah itu.

“Kok bisa?” Reaksi itulah yang dia munculkan. Tepat seperti yang kuduga. “Kaget aku, Sandra.
Tapi, enggak biasanya kamu kayak gini. Kamu belajar enggak, sih?”

“Aku belajar, Keira. Aku belajar jauh lebih keras dari kalian. Tidur jam sepuluh malam, bangun
jam dua pagi untuk belajar lagi. Lelah badan, lelah pikiran. Apa itu bisa dibilang enggak
belajar?” ujarku dengan suara bergetar, sebisa mungkin kutahan emosi ini. Ya. Aku sudah belajar
terlalu keras, dan kalah telak oleh seisi kelas yang hanya belajar setengah-setengah.

Keira tak bisa berkata-kata. Karena melihatku yang mulai emosi, dia pun pergi setelah menepuk
pundakku untuk memberikan ketenangan. Aku menopang daguku dengan tangan, sikutku
menekan permukaan meja. Kutatap hujan yang tak kunjung reda dari balik jendela. Perlahan,
rangkaian peristiwa itu tersusun secara berurutan di kepalaku.

Waktu itu, aku terlalu belajar dengan keras. Aku sangat berambisi untuk mendapatkan nilai
sempurna seperti Keira saat ini. Dengan menahan kantuk, malam itu aku berkutat dengan buku
tebal itu. Sampai jam sepuluh malam, aku tertidur. Aku benar-benar lupa berdoa kepada Tuhan,
seperti yang biasa kulakukan sebelum tidur.

Mungkin Tuhan menganggap bahwa aku adalah hamba yang sombong. Berpikir bahwa
semuanya dapat berjalan dengan ambisi kuat tanpa campur tangan Tuhan. Terlalu berusaha keras
sampai melupakan Tuhan yang mampu memilih berbagai peluang sebagai kenyataan sesuai
kehendak-Nya. Terlalu lengah sampai mendapat pesan peringatan lewat angka merah yang
tertera di kertas ujian.

Saat aku tengah berkutat dengan buku Kimia, Adzan dari masjid di belakang rumahku
berkumandang. Seharusnya, aku menutup buku dan segera mengambil air wudhu untuk
sembahyang. Namun, mataku tak bisa lepas dari tulisan-tulisan di buku Kimia. Aku takut, takut
akan remidi lagi.

Tak terasa, Adzan telah lewat. Interval Adzan dan Iqamah pun tak kuhiraukan. Tanpa sadar, aku
lebih takut pada hal yang bersifat duniawi. Setidaknya, aku berdoa untuk itu. Namun, kutegaskan
sekali lagi bahwa aku terlalu sombong. Merasa takut, dan tidak mengadukan ketakutanku ke
Sang Penentu Segalanya. Pengatur sistem di alam semesta ini, termasuk nasibku kelak.

Pintu kamarku terbuka. Ibu menengokku yang tengah berkutat dengan buku Kimia di atas meja
belajar, wajahnya menyunggingkan senyum.

“Sandra, Ibu mau ke warung dulu sebentar. Kamu jangan lupa sembahyang, ya.”

Aku mengangguk. “Oke, Bu.”

Akhirnya, setelah terdengar suara pintu rumah yang dikunci dari luar, aku masih belum keluar
dari kamar untuk sembahyang. Buku Kimia masih bersamaku, dan tanganku sibuk membolak-
balik halaman buku itu.

Sampai Ibu pulang pun, aku masih asyik berkutat dengan buku.

“Sandra, udah sembahyang, Nak?” tanya Ibu.

Aku hanya mengangguk asal, lalu Ibu mengelus puncak kepalaku. Terasa sangat lembut dan
hangat, membuatku ingin membahagiakannya dengan nilai-nilaiku yang tidak lagi di bawah
KKM. Ya, aku tidak ingin lagi menjadi anak yang payah.

“Ibu lebih bangga kalau kamu rajin sembahyang, dan mencintai Tuhan,” ujar Ibu tiba-tiba.

Sontak, di dada terasa sesak. Aku sama sekali belum sembahyang karena sibuk belajar. Hamba
macam apakah aku ini? Mengandalkan usaha sendiri tanpa meminta bantuan Tuhan.

“Kamu belajar terlalu keras, Sandra. Ibu takut kalau kamu bakal lupa sama yang Di Atas.”

Setelah mengatakan hal yang begitu menusuk hati terdalam, Ibu berjalan meninggalkan
kamarku. Tak lupa, Ibu menutup pintunya. Aku meringis. Tetap saja, aku tak boleh remidi lagi.
Ujian Kimia adalah satu-satunya kesempatanku, dan aku tidak boleh menyia-nyiakan
kesempatan itu dengan mendapat nilai di bawah KKM

Tak terasa, begitu kerasnya aku belajar sehingga tak mendengar Adzan Isya yang berkumandang.
Akhirnya, ketika jam di dinding menunjukkan pukul sepuluh malam, aku tertidur. Sesaat
sebelum tertidur, sempat terlintas di pikiranku kata-kata Ibu.
“Kamu belajar terlalu keras, Sandra. Ibu takut kalau kamu bakal lupa sama yang Di Atas.”

Kembali kutatap kertas ujian Kimiaku dengan tatapan nanar. Namun, aku mulai menyadari
sebuah hal kecil. Manusia yang hanya berusaha tanpa berdoa kepada Tuhannya adalah makhluk
sombong. Seperti aku, mereka akan berusaha terlalu keras sampai melupakan kekuatan seuntai
doa.

Mungkin kertas itu adalah sebuah teguran halus dari Tuhan. Sebuah peringatan sekaligus
pemberi pelajaran dalam kehidupan yang fana ini. Mengajarkan bahwa usaha yang tidak
dibarengi dengan doa akan menjadi sia-sia, justru menunjukkan setitik kesombongan.

Hujan di bulan September ini kembali turun, menunjukkan kuasa Tuhan. Untunglah aku sudah
pulang ke rumah dan kini sedang duduk di atas kasur, memelototi kertas ujianku. Ibu pun masuk
ke dalam kamar. Cepat-cepat kusembunyikan kertas ujian itu di belakang punggungku, namun
terlambat.

“Kertas apa yang kamu sembunyiin itu, Sandra?” tanya Ibu dengan nada tegas. “Sini Ibu lihat.”

Aku menyerahkan kertas ujian itu dengan pasrah. Dalam hati, aku memohon. Semoga aku tidak
berlama-lama melihat raut wajah kecewa Ibu untuk yang kesekian kalinya. Ya, jantungku ini
begitu berdebar-debar menantikan reaksi Ibu. Terlebih lagi ketika melihat Ibu yang tampak
serius memerhatikan kertas ujianku.

Tanpa diduga, Ibu malah duduk di sampingku dan merangkulku. “Kamu tau apa yang kurang
dari usaha kerasmu itu?” tanyanya lembut.

Aku mengangguk. “Ya. Aku terlalu sibuk belajar sampai lupa berdoa,” wajahku menunduk.

“Nah, benar, Sandra. Kita harus berusaha, tapi jangan lupa berdoa. Dengan berdoa, kita tidak
akan lupa bahwa sejatinya yang menentukan hasil usaha kita adalah Tuhan. Kamu kemarin lupa
sembahyang Isya? Sembahyang Tahajud? Bahkan Subuh?”

Aku mengangguk lemah. Ibu pun menghela napas. “Sandra, gimana nilaimu enggak hancur
begini? Kamu sudah melupakan Tuhan, dan sekarang Tuhan memberikan teguran halus,” ujar
Ibu kecewa. “Ibu kecewa sama kamu. Lain kali, jangan lupa sembahyang. Mengerti?”

Sebelum aku sempat menanggapi, Ibu sudah beranjak dari sisiku dan berjalan meninggalkan
kamar. Aku hanya duduk diam, wajahku tertunduk karena penyesalan yang kurasakan ini. Hujan
turun semakin deras di luar. Sampai aku menyadari suatu hal.

Hari ini, Tuhan sudah memberiku pelajaran yang begitu berharga lewat Ibu, dan kertas ujian itu.
Cerpen

Oleh

Heri Prayogi
Kelas : VII-4

T.A2019/2020

Anda mungkin juga menyukai