Anda di halaman 1dari 22

BAB III

FAKTOR PENGHAMBAT TUGAS JURUSITA/JURUSITA PENGGANTI

DALAM PEMANGGILAN PIHAK BERPERKARA DI PENGADILAN

AGAMA SEMARANG

A. Sekilas Tentang Peradilan Agama

1. Sejarah Peradilan Agama

Peradilan agama adalah proses pemberian keadilan berdasarkan

hukum agama Islam kepada orang-orang Islam yang dilakukan di

Pengadilan agama dan pengadilan agama, peradilan termasuk salah satu

dari sistem peradilan yang ada di Indonesia disamping peradilan umum.

Peradilan militer, peradilan tata usaha negara, yang merupakan pelaksana

kekuasaan kehakiman, keempat lingkungan peradilan tersebut

mempunyai kedudukan yang sama, sederajat dengan kekuasaan yang

berbeda-beda.1 Hal ini sesuai dengan undang-undang No. 14 tahun 1970.

Lembaga tahkim sebagai awal dari lembaga Peradilan Agama

Islam, sudah ada sejak datangnya Islam di tanah nusantara ini. Menurut

D. Tresna, dengan masuknya agama Islam ke Indonesia, maka tata

hukum di Indonesia mengalami perubahan, hukum Islam tidak hanya

sebagai sebuah ideologi yang menggantikan ideologi yang sudah ada

(Hindu) tetapi sebuah wujud hukum perdata yang bercorak Islam. Pada

masa pemerintahan Sultan Agung di Mataram (1613-1645), peradilan

1
M. Daud Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam Di Indonesia
,(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 250.

25
26

perdata menjadi pengadilan serambi yang dilaksanakan di serambi

masjid, yang berfungsi penasehat bagi sultan.2

Lembaga peradilan agama yang sudah ada sejak agama Islam

masuk ke Indonesia yang kemudian diakui dan dimantapkan

kedudukannya di Jawa dan di Madura tahun 1882 dan sebagian besar

karasidenan Kalimantan Selatan dan Timur 1937 dan di luar kedua

wilayah itu pada tahun 1957, suasana lemabga peradilan yang ada di

Jawa-Madura dan Karasidenan Kalimantan terbentuk dalam kondisi

kolonial, sedang yang diluar kedua daerah itu dalam suasana

kemerdekaan. Hal ini menyebabkan nama dan kekuasaannya berbeda. Di

Jawa-Madura bernama raad agama atau Priesteraad, Kalimantan Selatan

dan Timur dengan nama kerapatan Qadhi dan mahkaman syar’iyah di

luar daerah tersebut. Pada tahun 1980, Menteri Agama menyeragamkan

nama lembaga peradilan yang ada pada saat itu dengan sebuta Pengadilan

Agama. Ini berdasarkan Undang-Undang No. 14 tahun 1970, yang

menyebutkan raad agama, kerapatan qadhi dan mahkamah syar’iyah

disebut pengadilan agama.3

Nama lembaga peradilan tidak sama yaitu pengadilan agama,

tetapi kekuasaannya berbeda, Pengadilan agama di Jawa-Madura dan

sebagian karasidenan Kalimantan tidak berwenang menangani masalah

wakaf dan waris, sejak 1 April 1937 dan dalam pelaksanaan keputusan

2
Cik hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2000), Ed. Revisi, Cet. 3, hlm. 113-114.
3
M. Daud Ali, Op.cit, hlm. 251.
27

pengadilan agama tidak mempunyai kekuasaan dan juga tidak adanya

jurusita. Maka dikenal istilah fiat eksekusi (Pengukuhan dari landraad /

pengadilan negeri).4Hal ini masih berlanjut dalam pasal 63 ayat 2

Undang-undang Perkawinan nomor 1 tahun 1974.

Pada tanggal 29 Desember 1989, disahkan undang-undang

nomor 7 tahun 1989 tentang peradilan agama yang termuat dalam

lembaran negara no. 49 tahun 1989.5

2. Sekilas Tentang Peradilan Agama Semarang

Peradilan Agama Semarang masuk kelompok peradilan agama di

pulau Jawa dan Madura. Keberadaan pengadilan agama Semarang sudah

ada sebelum adanya Departemen Agama, karena masuk kelompok

peradilan pulau Jawa dan Madura maka disebut dengan nama

preesterraad atau raad agama yang bertempat di serambi masjid kauman

kota Semarang dan sebagai bukti dengan ditemukannya arsip tentang

putusan bernomor 30 tahun 1891 dengan huruf jawa.

Pada saat Sultan Agung berkuasa di Mataram (1613-1645),

hukum Islam digunakan sebagai dasar untuk mengadili suatu perkara,

ketika Amangkurat I berkuasa menggantikan Sultan Agung (1645) maka

peradilan perdata untuk mengurangi pengaruh ulama dalam pengadilan

dan raja menjadi pucuk pimpinan.

4
Ibid, hlm. 252.
5
Eman Sulaeman, Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 Tentang Peradilan Agama dalam
Perspektif Politik Hukum, (Semarang: Program Magister Ilmu Hukum, Undip, 2002), hlm. 3.
28

Pada tahun 1747 daerah Semarang jatuh ke tangan Kompeni, dan

pengadilan landraat didirikan, dan hukum yang dipakai ialah Undang-

undang orang jawa dengan catatan dapat diterima oleh masyarakat, pada

saat yang berkuasa adalah Pakubuwono II. dan tahun 1750 telah

dikeluarkan plakat yang berisi tentang pengambilalihan perkara-perkara

yang dulu diadili oleh pengadilan landraraad, plakat tersebut berbunyi :

Dengan Demikian, maka landrraad itu menggantikan kedudukan

pengadilan perdata dulu yang kemudian di jaman Sultan Agung dirubah

menjadi peradilan serambi, pada pokoknya peraturan plakat itu adalah

lanjutan dari pengadilan di mataram, dengan pengertian bahwa landraad

di Semarang menggantikan pengadilan serambi sepanjang mengenai

daerah kekuasaan kompeni.

Dilihat dari sejarah di atas, maka pengadilan agama Semarang

sudah ada sejak Sultan Agung berkuasa di Mataram, ketika

keberadaannya sudah mantap, Pengadilan Agama Semarang ditempatkan

di Jalan Ronggolawe No. 6 Semarang Barat pada tanggal 17 Agustus

1978 sampai sekarang. Sedangkan perkembangan pengadilan agama

Semarang dapat dijelaskan sebagai berikut :

Tahun 1936 sampai 1960, KH. Muhammad Sa’ban sebagai

ketua, KH. Abdurrahman sebagia ketua pada tahun 1960-1964, pada

tahun 1964-1970 diketuai oleh KH. Ma’muri, sedangkan Darso Hartono

sebagai ketua tahun 1970 sampai de3ngan 1973, tahun 1973-1984 adalah

Harun Rosyidi sebagai ketua, Drs. H. Syamsuddin Anwar sebagai ketua


29

pada tahun 1984 sampai 1988, Drs. Imron sebagai ketua pada tahun

1988-1994, tahun 1994-1997 diketuai oleh Drs. Sudirman Malaya, SH.,

pada tahun 1997-1999 sebagai ketua aedalah H. Yahya Azul, dan Drs.

Yasmidi, SH sebagai ketua pada tahun 1999-2004, dan Drs. Ibrahim

Salim 2004 sampai sekarang.

Sedangkan susunan peradilan agama Semarang kelas AI

berdasarkan keputusan menteri Agama (KMA) No. 11 tahun 1978

tentang susunan organisasi dan tata kerja pengadilan agama dan

disempurnakan dengan buku pedoman himpunan susunan organisasi dan

tata kerja Departemen Agama di daerah tahun 1986/1987, kemudian

disempurnakan dengan adanya UU no. 7 tahun 1989 bab II tentang

susunan perngadilan dan disempurnakan lagi dengan keputusan Menteri

Agama KMA/393/1990 dan keputusan Mahkamah Agung,

KMA/003/SK/II/1992, untuk lebih jelasnya pengadilan agama Semarang.

Bagan susunan pengadilan agama terlampir.

3. Tugas dan Wewenang Pengadilan Agama Semarang

Tugas dan wewenang pengadilan agama Semarang sama dengan

tugas dan wewenang pengadilan agama yang dijelaskan oleh Undang-

undang dan literatur pada umumnya.

a. Tugas Pengadilan agama Semarang.

Pengadilan agama sebagai salah satu badan pelaksana

kekuasaan kehakiman, mempunyai tugas menerima, memeriksa dan


30

mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan

kepadanya.6

b. Wewenang Pengadilan agama Semarang.

1) Kekuasaan Relatif

Kekuasaan (Kompetensi) relatif pengadilan agama adalah

kekuasaan terhadap wilayah hukum dalam arti bahwa kekuasaan

pengadilan yang satu jenis dan satu tingkatan dalam perbedaanya

dengan kekuasaan pengadilan yang sama tingkatannya.7 yang

berhubungan dengan daerah kekuasaan suatu pengadilan berada

(berdiri) sesuai dengan undang-undang yang berlaku.

Kompetensi relatif ini diatur dengan undang-undang yaitu

pasal 4 ayat (1) UU No. 7 tahun 1989 yang menyatakan bahwa

pengadilan agama berkedudukan di kotamadya atau di ibu kota

kabupaten, dan wilayah hukumnya meliputi wilayah kotamadya

atau kabupaten. Akan tetapi dalam penjelasan pasal 4 ayat (1) ini

ada pengecualian, pengecualian ini dapat berupa pengalokasian

hukum yang lebih kecil dari kota atau kabupaten.8

Kompetensi relatif ini juga menyangkut tentang dimana

seharusnya seseorang mengajukan suatu masalah atau perkara dan

6
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2000), Cet. III, hlm. 1.
7
Raihan Rosyid, Hukum Agara Peradilan Agama, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2001), hlm. 25.
8
Cik Hasan Bisri, Op.cit, hlm. 218-219.
31

hasil wawancara penulis dengan Jupri Sunyoto, maka

kewenangan relatif pengadilan agama Semarang meliputi :

a) Kecamatan Gayamsari

b) Kecamatan Candisari

c) Kecamatan Gajah mungkur

d) Kecamatan Pedurungan

e) Kecamatan Tembalang

f) Kecamatan Banyumanik

g) Kecamatan Semarang Tengah

h) Kecamatan Semarang Timur

i) Kecamatan Semarang Selatan

j) Kecamatan Semarang Barat

k) Kecamatan Semarang Utara

l) Kecamatan Genuk

m) Kecamatan Gunung Pati

n) Kecamatan Mijen

o) Kecamatan Tugu

p) Kecamatan Ngaliyan.9

2) Kekuasaan Absolut

Kekuasaan (kompetensi) absolut adalah kekuasaan yang

mutlak yang berkenaan dengan jenis perkara, atau jenis

9
Wawancara dengan Drs. Jupri Sunyoto tanggal 16 juni 2004.
32

pengadilan atau tingkatan pengadilan yang berhak atas suatu

penyelesaian perkara dalam perbedaannya dengan jenis perkara

atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan lainnya.10

Dalam melaksanakan kekuasaan absolut, pengadilan

agama Semarang berdasarkan pasal 10 UU No. 14 Bab I pasal 2

jo bab III pasal 49 UU No. 7 tahun 1989 yang mana pengadilan

agama bertugas dan berwenang terhadap perkara :

a) Perkawinan

b) Kewarisan, wasiat, dan hibah

c) Wakaf dan shadaqah.11

c. Dasar Hukum Acara Pengadilan Agama Semarang

Berdasarkan pasal 54 UU No. 7 tahun 1989, maka hukum

acara PAT adalah hukum acara yang berlaku di pengadilan umum

(hukum acara peradilan umum) dan juga hukum khusus yang berlaku

di pengadilan dalam lingkungan pengadilan agama yang diatur

dengan undang-undang, yaitu :

1) HIR/R.Bg/BW/UU No. 2 tahun 1986

2) UU No. 7 tahun 1989

3) UU No. 14 tahun 1970

4) UU No. 14 tahun 1985

10
Dahlan Rasyid, Op.cit, hlm. 27
11
Bahan Penyuluhan Hukum, Departemen Agama RI, Direktorat Jenderal Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam 1999/2000 hlm. 68.
33

5) UU No. 1 tahun 1974 jo PP No. 9 tahun 1975

6) UU No. 20 tahun 1947

7) Impres No. 1 tahun 1991 (KHI)

8) Peraturan Mahkamah Agung

9) Surat Edaran Mahkamah Agung

10) Peraturan Menteri Agama

11) Keputusan Menteri Agama

12) Kitab-kitab Fikih Islam dan Hukum tidak tertulis lainnya.

13) Yurisprudensi MA.12

B. Pelaksanaan Pemanggilan Pihak Berperkara Oleh Jurusita /Jurusita

Pengganti Pengadilan Agama Semarang

1. Dasar hukum jurusita/jurusita pengganti pengadilan agama Semarang

Dalam melaksanakan tugasnya jurusita/jurusita pengganti

berdasarkan pasal 38 UU No. 7 tahun 1989 tentang keberadaan jurusita-

jurusita pengganti, pasal 39 dan 48 tentang syarat-syarat dapat diangkat

menjadi jurusita/jurusita pengganti,13 serta pasal 103 tentang tugas

jurusita / jurusita pengganti. sedangkan keberadaan jurusita/jurusita

pengganti pengadilan agama Semarang seiring dengan berlakunya UU

No. 7 tahun 1989.

12
Muktiarto, Op.cit, hlm. 12.
13
Soebyakto, tentang Kejurusitaan dalam Praktek Peradilan Perdata, hlm. 8.
34

2. Tugas dan wewenang jurusita/jurusita pengganti pengadilan agama

Semarang.

Dalam menjalankan tugasnya jurusita/jurusita pengganti

pengadilan agama Semarang sesuai dengan pasal 103:14

a. Melaksanakan semua perintah yang diberikan oleh ketua sidang

b. Menyampaikan pengumuman-pengumuman, teguran-teguran dan

pemberitahuan penetapan atau putusan pengadilan menurut cara-cara

berdasarkan ketentuan undang-undang.

c. Melakukan penyitaan atas perintah ketua pengadilan

d. Membuat berita acara penyitaan yang salinan resminya diserahkan

pada pihak-pihak yang bersangkutan.15

Kewenangan jurusita/jurusita pengganti pengadilan agama

Semarang berdasarkan pasal 103 ayat (2) UU No. 7 tahun 1989, yaitu

sesuai dengan daerah hukum pengadilan agama Semarang.

3. Personel jurusita/jurusita pengganti pengadilan agama Semarang.

Di pengadilan agama jabatan jurusita tidak ada (belum ada) akan

tetapi jabatan jurusita digabungkan dengan jabatan sekretaris/panitera,

sedangkan untuk jurusita pengganti personilnya ada 6 orang yang

diangkat dengan SK ketua pengadilan agama, Nomor :

PAK/K/6/KP.07.6/1696/2001. Keenam jurusita pengganti tersebut

14
Drs. Juprisunyato, Op.cit, tanggal 6 juni 2004.
15
Bahder J. Nasution, Hukum Acara Peradilan Agama, (Bandung: Transito, 1992), hlm.
35.
35

mempunyai tugas pemanggilan sesuai dengan yurisdiksi jurusita

pengganti pengadilan agama Semarang, yaitu :16

a. Karmo, SH., melakukan pemanggilan di kecamatan Banyumanik,

Kecamatan Tembalang, Kecamatan Candisari, Kecamatan

Pedurungan.

b. Moh. Amin, SH, melakukan tugas pemanggilan di Kecamatan

Gunungpati, Kecamatan Semarang Tengah, Kecamatan Semarang

Timur, Kecamatan Semarang Selatan.

c. Kusman, wilayah tugasnya meliputi Kecamatan Mijen, Kecamatan

Tugu, Kecamatan Ngaliyan (kecuali Purwoyoso), Kecamatan Gajah

Mungkur.

d. Ahmad Masrur, meliputi Kecamatan Semarang Utara, Kecamatan

Genuk dan kecamatan Gayamsari.

e. Sri Hidayati bertugas di kecamatan Semarang Barat (sebagian).

f. Munfati, melakukan tugasnya di kecamatan Semarang Barat

(sebagian).17

4. Pelaksanaan Pemanggilan pihak berperkara oleh jurusita/jurusita

pengganti pengadilan agama Semarang.

Pada dasarnya pemanggilan pihak-pihak berperkara di

pengadilana gama Semarang berdasarkan dengan / sesuai dengan

undang-undang yang berlaku, yaitu :18

16
Drs. Jupri Sunyato, Op.cit, 6 Juni 2004.
17
Dokumen Yurisdiksi Jurusita Pengganti Pengadilan agama Semarang.
18
Drs. Jupri Sunyato, Op.cit, 6 Juni 2004.
36

a. Setelah hakim ketua menerima berkas perkara dari ketua pengadilan

agama, kemudian hakim /ketua majlis dengna bermusyawarah

dengan hakim anggota menetapkan hari dan tanggal serta jam

perkara akan disidangkan dan memerintahkan agar para pihak

dipanggil untuk hadir sesuai hari, tanggal dan jam yang ditentukan.

b. Penetapan dan perintah tersebut dituangkan dalam penetapan hari

sidang” (PHS) yang ditandatangani oleh hakim dan ketua majelis,

dalam hal ini hakim harus mempertimbangkan :

1) Ketentuan 30 hari untuk sidang pertama dari tanggal pendaftaran

perkara

2) Jarak antara pihak-pihak yang berperkara dengan pengadilan

agama.

3) Asas kepatutan memanggil yaitu tidak kurang dari 3 hari kerja

dari hari sidang.

PHS tersebut harus menyebutkan :

1) Adanya perintah penyerahan sehelai surat gugatan/permohonan

kepada tergugat/ termohon.

2) Ada pemberitahuan bahwa tergugat/termohon boleh mengajukan

jawaban tertulis

3) Pemberitahuan bahwa yang bersangkutan boleh membawa saksi-

saksi dan alat bukti lainnya.

c. Hakim /ketua majelis menandatangani formulir PGL 1 dan 2


37

d. Berdasarkan perintah hakim, maka jurusita/jurusita pengganti ke

kasir untuk meminta ongkos pemanggilan.

e. Relaas harus menyebutkan :

1. Penyerahan sehelai salinan surat gugatan / permohonan kepada

tergugat/termohon.

2. Pemberitahuan bahwa tergugat / termohon boleh mengajukan

jawaban tertulis.

3. Pemberitahuan para pihak yang bersangkutan boleh membawa

saksi dan bukti yang diperlukan.

f. Pemanggilan disampaikan langsung pada yang bersangkutan dan

kemudian yang dipanggil menandatangani relaas tersebut dan bila

tidak bertemu, relaas disampaikan lewat kepala desa/lurah serta

berita acara harus dibubuhi cap dinas, bila yang bersangkutan atau

kepala desa tidak mau menandatangani atau tidak mau memberikan

cap dinas, maka hal ini dicatat oleh jurusita/jurusita pengganti

kemudian jurusita /jurusita pengganti menandatangani relaas dan

tidak mengurangi keabsahan surat panggilan.

g. Bila pemanggilan lewat lurah atau kepala desa, maka lurah / kepala

desa wajib menyampaikan relaas tersebut.

h. Tenggang waktu pemanggilan sekurang-kurangnya 3 hari sebelum

sidang dibuka.

i. Apabila yang dipanggil tidak diketahui, tidak jelas atau tidak

memiliki tempat tinggal yang tetap, maka :


38

1) Perkara perceraian dan pembatalan nikah, maka mengikuti

ketentuan pasal 27 PP No. 9 / 1975

2) Perkara yang lain, maka mengikuti pasal 390 HIR/pasal 718

R.Bg. lewat bupati/walikota tempat tinggal penggugat6 dengan

menempelkan di papan pengumuman dan papan pengumuman

Pendailan Agama dan bila yang dipanggil telah meninggal dunia,

maka panggilan disampaikan kepada ahli warisnya, bila ahli

waris tidak diketahui maka dipakai ketentuan pada no. 9 dalam

perkara perceraian yang bersangkutant elah men inggal, maka hal

itu dicatat, sebagai dasar hakim untuk menggugurkan perkara.

j. Apabila yang dipanggil menunjuk kuasa hukum maka relaas

disampaikan kepada kuasa hukumnya.

k. Jurusita/jurusita pengganti menyerahkan relaas tersebut kepada

majelis hakim yang memeriksa perkara.

l. Apabila yang dipanggil berada di luar yuridiksi pengadilan agama

lain, maka jurusita/jurusita pengganti pengadilan agama Semarang

meminta bantuan kepada pengadilan agama y ang lain dimana

terpanggil bertempat tinggal.

5. Penetapan pemanggilan / pemberitahuan kejurusitaan dan panjar biaya

perkara pengadilan agama Semarang

Dasar hukum pola tentang keuangan perkara berdasarkan pasal

121 ayat 4 dan pasal 145 (4) R.Bg. yaitu biaya perkara yang dasarnya
39

ditentukan oleh ketua pengadilan agama, dalam hal ini ada azas “Tidak

ada biaya tidak ada perkara”, maka suatu perkara dapat didaftarkan bila

sudah dibayar, kecuali perkara prodeo yang diatur dengan pasal 237 HIR

dan 273 RBg.

Biaya perkara yang dimaksud dalam pasal 121 HIR dan 145 RBg

dijelaskan oleh Mahkamah agung dengan surat No. 43/TUADA/AG/III-

UM/XI/1992 tanggal 23 Nopember 1992 adalah biaya kepaniteraan dan

biaya proses.

a. Biaya kepaniteraan meliputi:

1) Biaya pendaftaran perkara tingkat pertama

2) Biaya redaksi

3) Biaya pencatatan permohonan banding

4) Biaya pencatatan permohonan kasasi

5) Biaya pencatatan permohonan peninjauan kembali

6) Biaya pencatatan permohonan sita konservatoir

7) Biaya pencatatan permohonan sita revindikatoir

8) Biaya pencatatan permohonan pencabutan sita

9) Biaya pencatatan permohonan lelang.

b. Biaya Proses meliputi :

1) Biaya panggilan penggugat, tergugat, dan saksi-saksi

2) Biaya panggilan saksi ahli

3) Biaya pengambilan sumpah

4) biaya penyitaan
40

5) biaya eksekusi

6) biaya pemeriksaan tempat

7) Biaya untuk menyampaikan amar putusan

8) Biaya lain-lain atas perintah ketua pengadilan.19

6. Penetapan Radius biaya pemanggilan / pemberitahuan kejurusitaan

pengadilan agama Semarang.

Bahwa pengadilan agama Semarang menggunakan radius II

dalam menetapkan ongkos kejurusitaan, sebesar Rp. 30.000 (tigapuluh

ribu rupiah), ini berdasarkan pasal 3 dan 4 ayat (1) SK Menteri Agama

Republik Indonesia No. 299 tahun 2002 tanggal 5 Juni 2002 tentang

biaya perkara di pengadilan agama dan SK Ketua Pengadilan Agama

Semarang nomor PA/6/K/KU/03.2/260/2003, tetapi di pengadilan agama

dalam prakteknya, ongkos perkara untuk penyampaian relaas hanya

sebesar Rp. 10.000, yang Rp. 20.000 masuk kas pengadilan.

7. Penetapan panjar biaya perkara pada pengadilan agama Semarang.

Berdasarkan surat keputusan ketua pengadilan agama Semarang

nomor : PA.K/6/K/KU/03.2/261/2003 menetapkan tentang biaya perkara

pada pengadilan agama Semarang sebagai berikut :

surat keputusan ketua pengadilan agama Semarang nomor

PA/K/6/K/KU 03.2/261/2003.

19
Dokumen Surat Keputusan Ketua Pengadilan Semarang No.
PAK/6/K/KU/0.3.2/260/2003.
41

NO URAIAN BIAYA KETERANGAN

I Panjar biaya perkara tingkat Untuk cerai talak

pertama cerai talak/cerai gugat ditambah

1 PNB 26.000 panggilan 1

2 Administrasi 50.000 pemohon dan 1

3 LAPP 24.000 termohon

4 Panggilan pemohon / penggugat

(2x) 60.000

5 Panggilan termohon / tergugat

(3x) 90.000

6 Materai 6.000 .

Jumlah 256.000

II Panjar Biaya perkara waris,

wasiat, hibah dan shadaqah

PNBP 26.000 seorang

Administrasi 50.000

LAPP 24.000 seorang

Panggilan penggugat (2x) 60.000

Panggilan tergugat (3x) 90.000

Materai 6.000

Jumlah 256.000
42

8. Faktor Penghambat tugas Jurusita/jurusita pengganti dalam pemanggilan

pihak berperkara di pengadilan agama Semarang.

Dalam melaksanakan tugasnya, jurusita/jurusita pengganti dalam

pemanggilan pihak-pihak berperkara di pengadilan agama Semarang

harus sesuai dengan peraturan dan undang-undang yang berlaku,

tentunya tidak semukdah yang dibayangkan, sesuai dengan undang-

undang, tetapi banyak hambatan dan kesulitan yang menghambat tugas

jurusita/jurusita pengganti, hambatan tersebut juga menghambat jalannya

proses pemanggilan para pihakyang berperkara.

Sedangkan hambatan-hambatan tersebut yang dapat terungkap

oleh penulis meiputi beberapa faktor, yaitu :

a. Minimnya pemahaman masyarakat tentang prosedur pemanggilan

pada khususnya dan hukum pada umumnya.

b. Kurangnya koordinasi dengan instansi lain (kelurahan).

c. Kurangnya sarana penunjang.

d. Kurang efektifnya koordinasi antara para pejabat kepaniteraan baik

secara vertikal maupun horizontal.

e. Kleadaan lingkungan dan alam.

Ad. 1. Minimnya pemahaman masyaraka tentang prosedur pemanggilan

pada khususnya dan hukum pada umumnya.

Dari wawancara penulis dengan salah satu jurusita

pengganti, bahwa ketika jurusita pengganti dari pengadilan


43

agama datang kepada pihak yang dipanggil dengan membawa

surat panggilan (surat panggilan untuk menghadiri sidang, karena

yang bersangkutan telah digugat oleh isterinya). Pihak yang

dipanggil kemudian marah-marah, dia beranggapan bahwa

petugas pengadilan tersebut telah membantu / berpihak pada

isterinya yang menggugat pihak suami yang dipanggil tersebut.20

Hal yang sama dikatakan oleh Tahir dalah satu jurusita

pengganti, pihak yang dipanggil untuk menghadiri sidang dalam

hal ini suami sebagai tergugat sering salah paham dengan jurusita

pengganti yang bertugas mengantarkan relaas dengan jurusita

pengganti yang bertugas mengantarkan relaas panggilan, bahkan

pihak yang dipanggil ini tidak jarang memaki-maki

danmenantang berkelahi.21 Dan ada juga pihak yang menerima

surat panggilan tetapi tidak mau menandatangani tanda terima

dari relaas tersebut, serta ada seseorang yang mau menerima

surat panggilan tersebut, padahal dia bukan pihak yang

dipanggil.22

Ad. 2. Kurangnya koordinasi dengan instansi lain (kelurahan)

Kurangnya kesadaran dan instansi kelurahan / desa

tentang prosedur pemanggilan dan dari pihak kelurahan

(perangkat kelurahan/desa) ada perasaan bahwa kelurahan dan

20
Wawancara dengan M. Amim, 15 Maret 2004.
21
Wawancara dengan Tahir, SH, tanggal 8 Juni 2004
22
Partisipasi penulis dalam pemanggilan dengan Tahir, SH, Loc.cit.
44

khususnya mereka bukanlah bawahan dari pengadilan agama

Semarang, sehingga mereka enggan bila diminta untuk

menyampaikan surat panggilan tersebut kepada warganya,

ditambah bahwa di kota Semarang pada khususnya, pejabat

kelurahan (lurah) sering berganti-ganti yang menjabat. Hal ini

menyebabkan lurah tidak mengetahui secara pasti domisili

warganya yang mendapat surat panggilan.23 Kurangnya jumlah

personil dari kelurahan juga menjadi alasan dari pihak kelurahan,

sehingga mereka enggan untuk membantu pelaksanaan

pemanggilan pihak yang dipangil oleh pengadilan agama

Semarang, dan juga sikap acuh dari perangkat kelurahan / desa.24

dan juga bila kepala kelurahan dan perangkat kelurahan tidak ada

atau sedang sibuk.25

Ad. 3. Kurangnya sarana penunjang

Sarana penunjang sangat membantu kelancaran kerja

jurusita/jurusita pengganti dalam memanggil pihak-pihak yang

berperkara, tetapi dipengadilan agama tidaka da sarana

penunjang (fasilitas transportasi), dan fasilitas yang ada di

pengadilan agama Semarang bagi jurusita/jurusita pengganti

adalah uang untuk biaya transportasi yang besarnya Rp. 10.000

rupiah yang sebenarnya sebesar Rp. 30.000 rupiah.26

23
Wawancara dengan Karmo, M tanggal 1 Juni 2004.
24
Wawancara dengan Muh. Amin, SH., tanggal 1 Juni 2004.
25
Wawancara dengan Jupri Sunyoto, tanggal 30 Juni 2004.
26
Jupri Sunyoto, Loc.cit.
45

Ad. 4. Kurang efektifnya koordinasi antara pejabat kepaniteraan baik

secara vertikal atau horizontal.

Faktor penghambat ini datang dari dalam instansi

pengadilan agama sendiri, ini terjadi karena kurangnya disiplin

para pejabat danpersonil baik bidang kepaniteraan atau

jurusita/jurusita pengganti dan juga dengan bidang-bidang yang

lain. Ini terlihat dengan addanya pemanggilan yang harus

disampaikan dengan ketentuan bahwa pemanggilan harus

dilaksanakan tiga (3) hari sebelum hari sidang perkara dibuka,

tetapi pada pemanggilan dilaksanakan satu hari sebelum hari

sidang dibuka (tepatnya sidang tanggal 9 Juni hari Rabu akan

tetapi relaas panggilan baru diberikan tanggal 8 Juni 2004, hari

selasa.27

Ad. 5. Keadaan lingkungan dan alam.

Lingkungan dan alam adalah faktor penghambat yang

sangat dominan karena lingkungan alam ini sebagai akibat

interaksi manusia dan alam, penghambat yang datang dari

lingkungan berupa petugas pengadilan agama bekerja

(melaksanakan pemanggilan) pada jam-jam kerja, sedangkan

pada jam kerja yaitu antara pukul 08.00 sampai pukul 04.00

WIB, pada umumnya orang-orang /menduduki suatu tempat

27
Observasi dan Partisipasi serta wawancara penulis dengan Tahir SH., tanggal 8 Juni
2004.
46

(daerah) juga bekerja. Hal ini juga terjadi pada penduduk di

daerah Semarang yang merupakan daerah hukum pengadilan

agama Semarang.28

Hal yang sama juga penulis lihat saat ikut melaksanakan

pemanggilan, para pihak berperkara di kelurahan Bulu Selatan.

Sedang alam juga memberi hambatan bagi pelaksanaan tugas

jurusita/jurusita pengganti dalam pemanggilan pihak berperkara,

hal ini penulis rasakan pada saat mengikuti pemanggilan pihak

berperkara di daerah Bulu Selatan dan Semarang Utara, keadaan

tata ruang dan penataan rumah-rumah pendudukdan luasnya

daerah serta rumah-rumah penduduk tersebut sangat padat

sehingga banyak gang-gang sebagai jalan menyebabkan

terjadinya kesulitan dalam menemukan domisili pihak yang

dipanggil, dan hujan yang sering terjadi di daerah Semarang

yang menyebabkan banjir, yang mana banjir ini menyebabkan

ruas-ruas jalan terendam air sehingga tidak dapat dilalui serta

letak daerah Semarang bagian Utara yang sering terkena rob.

Sedangkan untuk Semarang sebagian berupa perbukitan yang

bila ada hujan mengakibatkan jalan-jalan licin untuk daerah yang

terpencil yang belum ada pengerasan jalan.29

28
Wawancara pra penelitian dengan Muh. Amin, tanggal 15 Maret 2004.
29
Wawancara dengan Jupri Sunyoto, SH., tanggal 16 Juni 2004.

Anda mungkin juga menyukai