Cara terbaik untuk memahami anak kita adalah, mengakui emosinya (kenali
emosinya) dan beri mereka kekuatan untuk menemukan solusi atas masalah
mereka sendiri. Caranya adalah:
1. Dengarkan mereka 100%, tatap matanya dengan tatapan datar atau sayang.
(Berikan perhatian dan pengakuan)
Terkadang yang dibutuhkan anak hanya didengar saja, bukan solusinya. Hanya
memberikan perhatian 100% kita bisa terkejut, ternyata anak mau terbuka dan
mau berbagi pikiran dan perasaan. Hanya dengan berkata “hmm.. okay, begitu ya..
lalu..” Walau nampaknya sederhana, jujur ini sulit bagi kita orangtua yang terbiasa
mau ambil jalur cepat alias memberikan solusi dan menyelesaikan masalah. Ketika
hal itu kita lakukan, anak akan menutup diri dan menghindar bicara kepada kita.
Anak hanya akan meyatakan pikiran dan perasaan yang sejujurnya tanpa takut
dihakimi.
Ketika kita biarkan anak mengungkap emosi dan pikirannya dengan bebas (saat
kita ada untuk memberi dukungan emosional), kita akan melihat mereka dapat
menemukan solusi sendiri untuk permasalahan mereka. Kelebihan lainnya dari
pendekatan ini adalah anak akan mengembangkan rasa percaya diri untuk berpikir
bagi dirinya sendiri dan menghadapi tantangan – tantangan hidup.
Misal : “saya tadi berkelahi dengan Agus, disekolah”, respon kita “apa yang terjadi?
Lukamu pasti sakit sekali yah.. oh, okay”
2. Mengenali dan mengambarkan emosi.
Perlu bagi kita sesaat untuk mempelajari makna dari emosi, karena ini penting bagi
kita untuk bisa mencerminkan emosi anak dan mengerti dengan pasti apa yang
mereka rasakan. Dengan dimengertinya perasaan mereka, maka mudah bagi
mereka untuk terbuka dan bicara tentang masalah mereka. Berikut adalah emosi
yang umumnya dialami oleh manusia.
Nama Emosi dan Makna-nya :
1. Marah – Merasakan adanya ketidakadilan
2. Rasa bersalah – Kita merasa tidak adil terhadap orang lain
3. Takut – Kita diharapkan antisipasi karena sesuatum yang tak diinginkan bisa
saja terjadi
4. Frustrasi – Melakukan sesuatu berulangkali dan hasilnya tak sesuai harapan
artinya kita harus cari cara lain
5. Kecewa – Apa yang diinginkan tidak bisa terwujud
6. Sedih – Kehilangan sesuatu yang dirasa berharga
7. Kesepian – Kebutuhan akan relasi yang bermakna bukan hanya sekedar
berteman
8. Rasa tidak mampu – Kebutuhan untuk belajar sesuatu karena ada sesuatu
yang tak bisa dilakukan dengan baik
9. Rasa bosan – Kebutuhan untuk bertumbuh dan mendapatkan tantangan baru
10. Stress – Sesuatu yang terlalu menyakitkan dan harus segera dihentikan
11. Depresi – Sesuatu yang terlalu menyakitkan dan harus segera dihentikan
Dengan turut mengerti perasaan emosi anak dan membiarkan menemukan solusi
masalahnya sendiri maka anak akan merasa dipahami dan nyaman. Serta akan
tumbuh rasa percaya diri dilingkungan yang menghargai dia. Dan berikutnya akan
mudah bagi anak untuk terbuka terhadap orangtuanya, dan sikap saling percaya
antara orangtua dan anak akan terbentuk dengan baik.
Caranya setelah kita mendengar dan mengerti perasaan dan emosi anak, serta
menanyakan solusi terbaik menurut anak (jika anak sudah mampu berpikir untuk
solusi) tanyakan “bolehkah Papa/Mama usul?” setelah ada ijin dari anak maka
berikan masukan yang Anda rasa paling mujarab. Terkadang cara pandang anak
tidak sama dengan orangtua, kita tahu jika anak memilih solusi yang kurang tepat
(menurut orangtua) dengan nilai, norma yang berlaku di lingkungan sosial maka
kita bisa “menggiringnya” dengan mudah karena langkah 1 dan 2 sudah dilakukan.
Tentunya dengan model komunikasi yang sopan dan tetap menghargai anak.
Pintu gerbang kekerasan hati anak akan terbuka lebar saat kita mau menerima dan
mengerti anak kita, dan anak akan mempersilahkan kita masuk dan bertamu
didalam lubuk hatinya yang paling dalam. Ditempat itulah kita dapat meletakan
pesan, arahan dan masukan positif bagi kebaikan masa depan anak.
1. Anak Usia Dini Yang Overactive
- Jangan Banyak Melarang. Karena berisiko cedera maka wajar kalau orang tua
punya rasa kawatir dan banyak melarang, bahka ada juga orang tua yang sudah
mulai melarang ketika anak baru ancang-ancang. Melarang sebenarnya bisa
berdampak pada 2 hal, yaitu pertama: anak menjadi punya ketakutan berlebihan
hingga tidak berani melakukan aktivitas lain yang cukup menantang. Hal ini
berakibat lebih jauh kepada dibayangi rasa bersalah dan takut gagal, yang
akibatnya si anak menjadi tidak berani mencoba hal-hal baru. Dengan kata lain ia
tumbuh menjadi anak yang pasif dan tidakpunya ide atau gagasa yang kreatif.
Kedua: melakukan sembunyi-sembunyi atau di saat tidak dilihat orang tuanya, hal
ini lebih berbahaya karena tanpa pengawasan.
- Beri Peringatan. Daripada melarang lebih baik memberikan peringatan. Misalnya,
“Kalau Adik manjat pagar, nanti kaki adik bisa terluka oleh besi runcing itu! Sakit
kan?” Bila cara ini masih tidak mempan, coba alihkan perhatiannya dengan
menawarkan aktivitas yang lain yang sama-sama menantang namun relatif lebih
aman.
- Beri Reward. Beri reward berupa puijan atau pelukan atas keberhasilan atau apa
pun yang telah dilakukan si kecil dengan baik. Sebaliknya bila anak menemui
kegagalan saat melakukan aktifitas tertentu, besarkan semangatnya agar mau
bangkit lagi dan termotivasi untuk mencoba kembali.
- Beri Kesempatan. Dengan memberi kesempatan pada si kecil untuk memanjat,
selama tidak membahayakan dirinya sebenarnya memiliki manfaat besar. Minimal
kehidupan emosionalnya jadi lebih baik, rasa percaya diri makin mantab. Karena
anak jadi punya kebanggaan tersendiri bahwa dia mampu melakukan aktifitas lain.
- Jangan Panik. Orang tua sering panik hingga berteriak ketika anak melakukan
tindakan berbahaya seperti memanjat, lari atau koprol. Padahal, berteriak panik
ketika anak sudah mulai berguling atau manjat justru hanya akan membuat anak
panik. Teriakan orang tua bisa saja menyebabkan gerakannya jadi kaku/tidak
terkontrol yang berakibat ia justru jatuh atau terkilir. Jadi coba sikapi dengan
santai, kemudian sigap di sampingnya menjaga kemungkinan yang terjadi.
2. Anak sulit berimajinasi saat menggambar
Program ini menggambarkan upaya seorang guru Taman kanak-kanak untuk
mengatasi anak yang sulit berimajinasi pada saat menggambar. Strategi yang
diterapkan guru tersebut anatara lain: memberikan kebebasan kepada anak untuk
menggambar sesuatu sesuai dengan minat anak, mengajak anak keluar kelas,
kemudian meminta anak untuk bercerita dan menggambarkan apa yang ditemukan
di lapangan.