Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Menurut WHO, Stroke adalah manifestasi klinik dari gangguan fungsi
cerebral, baik fokal maupun global, yang berlangsung dengan cepat,
berlangsung lebih dari 24 jam atau berakhir dengan maut, tanpa
ditemukannya penyebab selain daripada gangguan vaskuler.
Stroke adalah penyakit yang merupakan penyebab kematian tersering
ketiga di negara Amerika, merupakan penyakit yang paling sering
menimbulkan kecacatan. Menurut American Heart Association, diperkirakan
terjadi 3 juta penderita stroke pertahun, dan 500.000 penderita stroke yang
baru terjadi pertahun. Sedangkan Angka kematian penderita stroke di
Amerika adalah 50-100/100.000 penderita pertahun. Angka kematian tersebut
mulai menurun sejak awal tahun 1900, dimana angka kematian sesudah tahun
1969 menurun hingga 5% pertahun. Beberapa penelitian mengatakan bahwa
hal tersebut akibat kejadian penyakit yang menurun yang disebabkan karena
kontrol yang baik terhadap faktor resiko penyakit stroke.
Serangan otak merupakan istilah kontemporer untuk stroke atau cedera
serebrovaskuler yang mengacu kepada gangguan suplai darah otak secara
mendadak sebagai akibat dari oklusi pembuluh darah parsial atau total, atau
akibat pecahnya pembuluh darah otak (Chang, 2010).
Dari beberapa pengertian stroke diatas, disimpulkan stroke non
hemoragik adalah adalah gangguan cerebrovaskular yang disebabakan oleh
sumbatnya pembuluh darah akibat penyakit tertentu seperti aterosklerosis,
arteritis, trombus dan embolus.
B. Rumusan Masalah
Bagaimana konsep dasar teori dan konsep dasar asuhan keperawatan
Stroke Non Hemoragik?
C. Tujuan
Untuk mengetahui konsep dasar teori dan konsep dasar asuhan
keperawatan Stroke Non Hemoragik.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Laporan Pendahuluan Stroke Non Hemoragik


1. Definisi
Stroke atau cedera cerebrovaskuler adalah kehilangan fungsi otak
yang diakibatkan oleh berhentinya suplai darah ke bagian otak (Smeltzer
C. Suzanne, 2012).
Stroke atau cedera cerebrovaskuler adalah gangguan neurologik
mendadak yang terjadi akibat pembatasan atau terhentinya aliran darah
melalui system suplai arteri otak (Sylvia A Price, 2016)
Stroke non hemoragik adalah sindroma klinis yang awalnya timbul
mendadak, progresi cepat berupa deficit neurologis fokal atau global
yang berlangsung 24 jam atau lebih atau langsung menimbul kematian
yang disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak non straumatik
(Arif Mansjoer, 2010)
Stroke non hemoragik merupakan proses terjadinya iskemia akibat
emboli dan trombosis serebral biasanya terjadi setelah lama beristirahat,
baru bangun tidur atau di pagi hari dan tidak terjadi perdarahan. Namun
terjadi iskemia yang menimbulkan hipoksia dan selanjutnya dapat timbul
edema sekunder. (Arif Muttaqin, 2010).

2. Klasifikasi
Klasifikasi Stroke Non Haemoragik menurut Padila, (2012) adalah :
a. Transient Ischemic Attack (TIA)
TIA adalah defisit neurologik fokal akut yang timbul karena iskemia
otak sepintas dan menghilang lagi tanpa sisa dengan cepat dalam
waktu tidak lebih dari 24 jam.
b. Reversible Iscemic Neurological Deficit (RIND)
RIND adalah defisit neurologik fokal akut yang timbul karena
iskemia otak berlangsung lebih dari 24 jam dan menghilang tanpa
sisa dalam waktu 1-3 minggu

2
c. Stroke in Evolution (Progressing Stroke)
Stroke in evolution adalah deficit neurologik fokal akut karena
gangguan peredaran darah otak yang berlangsung progresif dan
mencapai maksimal dalam beberapa jam sampe bbrpa hari
d. Stroke in Resolution
Stroke in resolution adalah deficit neurologik fokal akut karena
gangguan peredaran darah otak yang memperlihatkan perbaikan dan
mencapai maksimal dalam beberapa jam sampai bebrapa hari
e. Completed Stroke (infark serebri)
Completed stroke adalah defisit neurologi fokal akut karena oklusi
atau gangguan peredaran darah otak yang secara cepat menjadi stabil
tanpa memburuk lagi.
Sedangkan secara patogenitas menurut Tarwoto dkk, (2017) Stroke
iskemik (Stroke Non Hemoragik) dapat dibagi menjadi :
a. Stroke trombotik, yaitu stroke iskemik yang disebabkan oleh karena
trombosis di arteri karotis interna secara langsung masuk ke arteri
serebri media. Permulaan gejala sering terjadi pada waktu tidur,atau
sedang istrirahat kemudian berkembang dengan cepat,lambat laun
atau secara bertahap sampai mencapai gejala maksimal dalam
beberapa jam, kadang-kadang dalam beberapa hari (2-3 hari),
kesadaran biasanya tidak terganggu dan ada kecendrungan untuk
membaik dalam beberapa hari,minggu atau bulan.
b. Stroke embolik, yaitu stroke iskemik yang disebabkan oleh karena
emboli yang pada umunya berasal dari jantung. Permulaan gejala
terlihat sangat mendadak berkembang sangat cepat, kesadaran
biasanya tidak terganggu, kemungkinan juga disertai emboli pada
organ dan ada kecenderungan untuk membaik dalam beberapa hari,
minggu atau bulan.

3
3. Etiologi
Menurut Smeltzer, 2012 penyebab stroke non hemoragik yaitu:
a. Trombosis (bekuan darah di dalam pembuluh darah otak atau leher)
Stroke terjadi saat trombus menutup pembuluh darah, menghentikan
aliran darah ke jaringan otak yang disediakan oleh pembuluh dan
menyebabkan kongesti dan radang. Trombosis ini terjadi pada
pembuluh darah yang mengalami oklusi sehingga menyebabkan
iskemia jaringan otak yang dapat menimbulkan oedema dan kongesti
di sekitarnya. Trombosis biasanya terjadi pada orang tua yang
sedang tidur atau bangun tidur. Hal ini dapat terjadi karena
penurunan aktivitas simpatis dan penurunan tekanan darah yang
dapat menyebabkan iskemia serebral. Tanda dan gejala neurologis
seringkali memburuk pada 48 jam setelah trombosis.
b. Embolisme cerebral
Emboli serebral (bekuan darah atau material lain yang dibawa ke
otak dari bagian tubuh yang lain) merupakan penyumbatan
pembuluh darah otak oleh bekuan darah, lemak dan udara. Pada
umumnya emboli berasal dari thrombus di jantung yang terlepas dan
menyumbat sistem arteri serebral. Emboli tersebut berlangsung cepat
dan gejala timbul kurang dari 10-30 detik.
c. Iskemia
Suplai darah ke jaringan tubuh berkurang karena penyempitan atau
penyumbatan pembuluh darah.

4. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala dari stroke adalah: (Chang, 2010).
a. Kehilangan motoric
Disfungsi motorik paling umum adalah hemiplegia (paralisis pada
salah satu sisi) dan hemiparesis (kelemahan salah satu sisi) dan
disfagia

4
b. Kehilangan komunikasi
Disfungsi bahasa dan komunikasi adalah disatria (kesulitan
berbicara) atau afasia (kehilangan berbicara).
c. Gangguan persepsi
d. Meliputi disfungsi persepsi visual humanus, heminapsia atau
kehilangan penglihatan perifer dan diplopia, gangguan hubungan
visual, spesial dan kehilangan sensori.
e. Kerusakan fungsi kognitif parestesia (terjadi pada sisi yang
berlawanan).
f. Disfungsi kandung kemih meliputi: inkontinensiaurinarius transier,
inkontinensia urinarius peristen atau retensi urin (mungkin
simtomatik dari kerusakan otak bilateral), Inkontinensia
urinarius dan defekasiyang berlanjut (dapat mencerminkan
kerusakan neurologi ekstensif).
Tanda dan gejala yang muncul sangat tergantung dengan daerah otak
yang terkena:

a. Pengaruh terhadap status mental: tidak sadar, konfus, lupa tubuh


sebelah
b. Pengaruh secara fisik: paralise, disfagia, gangguan sentuhan dan
sensasi, gangguan penglihatan.
c. Pengaruh terhadap komunikasi, bicara tidak jelas, kehilangan
bahasa.

5. Patofisiologi
Infark serebral adalah berkurangnya suplai darah ke area tertentu di
otak. Luasnya infark hergantung pada faktor-faktor seperti lokasi dan
besarnya pembuluh daralidan adekdatnya sirkulasi kolateral terhadap
area yang disuplai oleh pembuluh darah yang tersumbat. Suplai darah ke
otak dapat berubah (makin lambat atau cepat) pada gangguan lokal
(trombus, emboli, perdarahan, dan spasme vaskular) atau karena
gangguan umum (hipoksia karena gangguan pant dan jantung).
Aterosklerosis sering sebagai faktor penyebab infark pad-a otak.

5
Trombus dapat berasal dari plak arterosklerotik, atau darah dapat beku
pada area yang stenosis, tempat aliran darah mengalami pelambatan atau
terjadi turbulensi.
Trombus dapat pecah dari dinding pembuluh darah terbawa sebagai
emboli dalam aliran darah. Trombus mengakihatkan iskemia jaringan
otak yang disuplai oleh pembuluh darah yang bersangkutan dan edema
dan kongesti di sekitar area. Area edema ini menyebabkan disfungsi yang
lebih besar daripada area infark itu sendiri. Edema dapat berkurang
dalam beberapa jam atau kadang-kadang sesudah beberapa hari. Dengan
berkurangnya edema klien mulai menunjukkan perbaikan. Oleh karena
trombosis biasanya tidak fatal„ jika tidak terjadi perdarahan masif.
Oklusi pada pembuluh darah serebral oleh embolus menyebabkan edema
dan nekrosis diikuti trombosis. Jika terjadi septik infeksi akan meluas
pada dinding pembuluh darah maka akan terjadi abses atau ensefalitis,
atau jika sisa infeksi berada pada pembuluh darah yang tersumbat .
menyebabkan dilatasi aneurisma pembuluh darah. Hal ini akan
menyebabkan perdarahan serebral, jika aneurisma pecah atau rupture.
Perdarahan pada otak disebabkan oleh ruptur arteriosklerotik clan
hipertensi pembuluh darah. Perdarahan intraserebral yang sangat luas
akan lebih sering menyebabkan kematian di bandingkan keseluruhan
penyakit serebro vaskulai; karena perdarahan yang luas terjadi destruksi
massa otak, peningkatan tekanan intrakranial dan yang lebih berat dapat
menyebabkan herniasi otak pada falk serebri atau lewat foramen
magnum.
Kematian dapat disebabkan oleh kompresi batang otak, hernisfer
otak, dan perdarahan batang otak sekunder atau ekstensi perdarahan ke
batang otak. Perembesan darah ke ventrikel otak terjadi pada sepertiga
kasus perdarahan otak di nukleus kaudatus, talamus, dan pons.
Jika sirkulasi serebral terhambat, dapat berkembang anoksia
serebral: Perubahan yang disebabkan oleh anoksia serebral dapat
reversibel untuk waktu 4-6 menit. Perubahan ireversibel jika anoksia

6
lebih dari 10 menit. Anoksia serebral dapat terjadi oleh karena gangguan
yang bervariasi salah satunya henti jantung.
Selain kerusakan parenkim otak, akibat volume perdarahan yang
relatif banyak akan mengakihatkan peningkatan tekanan intrakranial dan
penurunan tekanan perfusi otak serta gangguan drainase otak. Elernen-
elemen vasoaktif darah yang keluar dan kaskade iskemik akibat
menurunnya tekanan perfusi, menyebabkan saraf di area yang terkena
darah dan sekitarnya tertekan lagi.
Jumlah darah yang keluar menentukan prognosis. Jika volume darah
lebih dari 60 cc maka risiko kematian sebesar 93% pada perdarahan
dalam dan 71% pada perdarahan lobar. Sedangkan jika terjadi perdarahan
serebelar dengan volume antara 30-60 cc diperkirakan kemungkinan
kematian sebesar 75%, namun volume darah 5 cc dan terdapat di pons
sudah berakibat fatal.
(Muttaqin, 2015).

6. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Muttaqin, (2015), pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan
ialah sebagai berikut :
a. Angiografi serebral: Membantu menentukan penyebab dari stroke
secara spesifik seperti perdarahan arteriovena atau adanya ruptur dan
untuk mencari sumber perdarahan seperti aneurisma atau malformasi
vaskular.
b. Lumbal pungsi: Tekanan yang meningkat dan disertai bercak darah
pada carran lumbal menunjukkan adanya hernoragi pada
subaraknoid atau perdarahan pada intrakranial. Peningkatan jumlah
protein menunjukkan adanya proses inflamasi. Hasil pemeriksaan
likuor merah biasanya dijumpai pada perdarahan yang masif,
sedangkan perdarahan yang kecil biasanya warna likuor masih
normal (xantokrom) sewaktu hari-hari pertama.
c. CT scan.: Pemindaian ini memperlihatkan secara spesifik letak
edema, posisi hematoma, adanya jaringan otak yang infark atau

7
iskemia, dan posisinya secara pasti. Hasil pemeriksaan biasanya
didapatkan hiperdens fokal, kadang pemadatan terlihat di ventrikel,
atau menyebar ke permukaan otak.
d. MRI: MRI (Magnetic Imaging Resonance) menggunakan gelombang
magnetik untuk menentukan posisi dan besar/luas terjadinya
perdarahan otak. Hasil pemeriksaan biasanya didapatkan area yang
mengalami lesi dan infark akibat dari hemoragik.
e. USG Doppler: Untuk mengidentifikasi adanya penyakit arteriovena
(masalah sistem karotis).
f. EEG: Pemeriksaan ini berturuan untuk melihat masalah yang timbul
dan dampak dari jaringan yang infark sehingga menurunnya impuls
listrik dalam jaringan otak.
Pemeriksaan Laboratorium:
a. Lumbal pungsi: pemeriksaan likuor merah biasanya dijumpai pada
perdarahan yang masif, sedangkan perdarahan yang kecil biasanya
warna likuor masih normal (xantokhrom) sewaktu hari-hari pertama.
b. Pemeriksaan darah rutin.
c. Pemeriksaan kimia darah: pada stroke akut dapat terjadi
hiperglikemia. Gula darah dapat mencapai 250 mg di dalam serum
dan kemudian berangsur-angsur turun kembali.
d. Pemeriksaan darah lengkap: untuk mencari kelainan pada darah itu
sendiri.

7. Penatalaksanaan Medis
Menurut Smeltzer dan Bare, (2012) penatalaksanaan stroke dapat dibagi
menjadi dua, yaitu :
a. Phase Akut :
1) Pertahankan fungsi vital seperti : jalan nafas, pernafasan,
oksigenisasi dan sirkulasi.Reperfusi dengan trombolityk atau
vasodilation : Nimotop. Pemberian ini diharapkan mencegah
peristiwa trombolitik / emobolik.

8
2) Pencegahan peningkatan TIK. Dengan meninggikan kepala 15-
30 menghindari flexi dan rotasi kepala yang berlebihan,
pemberian dexamethason.
3) Mengurangi edema cerebral dengan diuretik
4) Pasien di tempatkan pada posisi lateral atau semi telungkup
dengan kepala tempat tidur agak ditinggikan sampai tekanan
vena serebral berkurang
b. Post phase akut
1) Pencegahan spatik paralisis dengan antispasmodik
2) Program fisiotherapi
3) Penanganan masalah psikososial

8. Terapi Farmakologis
a. Diuretika : untuk menurunkan edema serebral .
b. Anti koagulan: Mencegah memberatnya trombosis dan embolisasi.

B. Asuhan Keperawatan Teori


1. Pengkajian
a. Identitas Klien: Meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia
tua), jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku
bangsa, tanggal dan jam MRS, nomor register, dan diagnosis medis.
b. Keluhan utama: Sering menjadi alasan klien untuk meminta
pertolongan kesehatan adalah kelemahan anggota gerak sebelah
badan, bicara pelo, tidak dapat berkomunikasi, dan penurunan
tingkat kesadaran.
c. Riwayat penyakit sekarang: Serangan stroke hemorhagik sering
kali berlangsung sangat mendadak, pada saat klien sedang
melakukan aktivitas. Biasanya terjadi nyeri kepala, mual, muntah
bahkan kejang sampai tidak sadar, selain gejala kelumpuhan separuh
badan atau gangguan fungsi otak yang lain. Adanya penurunan atau
perubahan pada tingkat kesadaran disebabkan perubahan di dalam
intrakranial. Keluhari perubahan perilaku juga umum terjadi. Sesuai

9
perkembangan penyakit, dapat terjadi letargi, tidak responsif, dan
konia.
d. Riwayat penyakit dahulu: Adanya riwayat hipertensi, riwayat
stroke sebelumnya, diabetes melitus, penyakit jantung, anemia,
riwayat trauma kepala, kontrasepsi oral yang lama, penggunaan
obat-obat anti koagulan, aspirin, vasodilator, obat-obat adiktif, dan
kegemukan. Pengkajian pemakaian obat-obat yang sering digunakan
klien, seperti pemakaian obat antihipertensi, antilipidemia,
penghambat beta, dan lainnya. Adanya riwayat merokok,
penggunaan alkohol dan penggunaan obat kontrasepsi oral.
Pengkajian riwayat ini dapat mendukung pengkajian dari riwayat
penyakit sekarang dan merupakan data dasar untuk mengkaji lebih
jauh dan untuk memberikan tindakan selanjutnya.
e. Riwayat penyakit keluarga: Biasanya ada riwayat keluarga yang
menderita hipertensi, diabetes melitus, atau adanya riwayat stroke
dari generasi terdahulu.
f. Pengkajian psikososiospiritual: Pengkajian psikologis klien stroke
meliputi beberapa dimensi yang memungkinkan perawat untuk
rnemperoleh persepsi yang jelas mengenai status emosi, kognitif,
dan perilaku klien. Pengkajian mekanisme koping yang digunakan
klien juga penting untuk menilai respons emosi klien terhadap
penyakit yang dideritanya dan perubahan peran klien dalam keluarga
dan masyarakat serta respons atau pengaruhnya dalam kehidupan
sehari-harinya, baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat.
Apakah ada dampak yang timbul pada klien yaitu timbul seperti
ketakutan akan kecacatan, rasa cemas, rasa ketidakmarnpuan untuk
melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya
yang salah (gangguan citra tubuh). Adanya perubahan hubungan dan
peran karena klien mengalami kesulitan untuk berkomunikasi akibat
gangguan bicara. Pola persepsi dan konsep diri menunjukkan klien
merasa tidak berdaya, tidak ada harapan, rnudah marah, dan tidak
kooperatif. Dalam pola penanganan stres, klien biasanya mengalami

10
kesulitan untuk memecahkan masalah karena gangguan proses
berpikir dan kesulitan berkomunikasi. Dalam pola rata nilai dan
kepercayaan, klien biasanya jarang melakukan ibadah spiritual
karena tingkah laku yang tidak stabil dan kelemahan/kelumpuhan
pada salah satu sisi tubuh. Oleh karena klien harus menjalani rawat
inap, maka apakah keadaan ini memberi dampak pada status
ekonomi klien karena biaya perawatan dan pengobatan memerlukan
dana yang tidak sedikit. Stroke memang suatu penyakit yang sangat
mahal. Biaya untuk pemeriksaan, pengobatan, dan perawatan dapat
mernengaruhi keuangan keluarga sehingga faktor biaya ini dapat
memengaruhi stabilitas emosi serta pikiran klien dan keluarga.
Perawat juga memasukkan pengkajian terhadap fungsi neurologis
dengan dampak gangguan neurologis yang akan terjadi pada gaya
hidup individu. Perspektif keperawatan dalam mengkaji terdiri atas
dua masalah: keterbatasan yang diakibatkan.oleh defisit neurolcgis
dalam hubungannya dengan peran sosial klien dan rencana
pelayanan yang akan mendukung adaptasi pada gangguan
neurologis di dalam sistem dukungan individu.
g. Pemeriksaan Fisik: Setelah melakukan anamnesis yang mengarah
pada keluhan-keluhan klien, pemeriksaan fisik sangat berguna untuk
mendukung data dari pengkajian anamnesis. Pemeriksaan fisik
sebaiknya dilakukan secara per sistem (B1-B6) dengan fokus
pemeriksaan fisik pada pemeriksaan B3 (Brain) yang terarah dan
dihubungkan dengan keluhan-keluhan dari klien.
1) B1 (Breathing): Pada inspeksi didapatkan klien batuk,
peningkatan produksi sputum, sesak napas, penggunaan otot
bantu napas, dan peningkatan frekuensi pernapasan. Auskultasi
bunyi napas tambahan seperti ronkhi pada klien dengan
peningkatan produksi sekret dan kemampuan batuk yang
menurun yang sering didapatkan pada klien stroke dengan
penurunan tingkat kesadaran koma. Pada klien dengan tingkat
kesadaran compos mends, pengkajian inspeksi pernapasannya

11
tidak ada kelainan. Palpasi toraks didapatkan taktil premitus
seimbang kanan dan kiri. Auskultasi tidak didapatkan bunyi
napas tambahan.
2) B2 (Blood): Pengkajian pada sistem kardiovaskular didapatkan
renjatan (syok hipovolemik) yang sering terjadi pada klien
stroke. Tekanan darah biasanya terjadi peningkatan dan dapat
terjadi hipertensi masif (tekanan darah >200 mmHg).
3) B3 (Brain): Stroke menyebabkan berbagai defisit neurologis,
bergantung pada lokasi lesi (pembuluh darah mana yang
tersumbat), ukuran area yang perfusinya tidak adekuat, dan
aliran darah kolateral (sekunder atau aksesori). Lesi otak yang
rusak tidak dapat membaik sepenuhnya. Pengkajian B3 (Brain)
merupakan pemeriksaan fokus dan lebih lengkap dibandingkan
pengkajian pada sistem lainnya.
4) B4 (Bladder): Setelah stroke klien mungkin mengalami
inkontinensia urine sementara karena konfusi, ketidakmampuan
mengomunikasikan kebutuhan, dan ketidakmampuan untuk
mengendalikan kandung kemih karena kerusakan kontrol
motorik dan postural. Kadang kontrol sfingter urine eksternal
hilang atau berkurang. Selama periode ini, dilakukan kateterisasi
intermiten dengan teknik steril. Inkontinensia urine yang
berlanjut menunjukkan kerusakan neurologis luas.
5) B5 (Bowel) Didapatkan adanya keluhan kesulitan menelan,
nafsu makan menurun, mual muntah pada fase akut. Mual
sampai muntah disebabkan oleh peningkatan produksi asam
lambung sehingga menimbulkan masalah pemenuhan nutrisi.
Pola defekasi biasanya terjadi konstipasi akibat penurunan
peristaltik usus. Adanya inkontinensia alvi yang berlanjut
menunjukkan kerusakan neurologis luas.
6) B6 (Bone): Stroke adalah penyakit UMN dan mengakibatkan
kehilangan kontrol volunter terhadap gerakan motorik. Oleh
karena neuron motor atas menyilang, gangguan kontrol motor

12
volunter pada salah satu sisi tubuh dapat menunjukkan
kerusakan pada neuron motor atas pada sisi yang berlawanan
dari otak. Disfungsi motorik paling umum adalah hemiplegia
(paralisis pada salah satu sisi) karena lesi pada sisi otak yang
berlawanan. Hemiparesis atau kelemahan salah satu sisi tubuh,
adalah tanda yang lain. Pada kulit, jika klien kekurangan 02
kulit akan tampak pucat dan jika kekurangan cairan maka turgor
kulit akan buruk. Selain itu, perlu juga dikaji tanda-tanda
dekubitus terutama pada daerah yang menonjol karena klien
stroke mengalami masalah mobilitas fisik. Adanya kesulitan
untuk beraktivitas karena kelemahan, kehilangan sensori atau
paralise/ hemiplegi, serta mudah lelah menyebabkan masalah
pada pola aktivitas dan istirahat.
h. Pengkajian Tingkat Kesadaran: Kualitas kesadaran klien
merupakan parameter yang paling mendasar dan parameter yang
paling penting yang membutuhkan pengkajian. Tingkat keterjagaan
klien dan respons terhadap lingkungan adalah indikator paling
sensitif untuk disfungsi sistem persarafan. Beberapa sistem
digunakan untuk membuat peringkat perubahan dalam kewaspadaan
dan keterjagaan. Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran klien stroke
biasanya berkisar pada tingkat letargi, stupor, dan semikomatosa.
Jika klien sudah mengalami koma maka penilaian GCS sangat
penting untuk menilai tingkat kesadaran klien dan bahan evaluasi
untuk pemantauan pemberian asuhan.
i. Pengkajian Fungsi Serebral: Pengkajian ini meliputi status mental,
fungsi intelektual, kemampuan bahasa, lobus frontal, dan hemisfer.
1) Status Mental: Observasi penampilan, tingkah laku, nilai gaya
bicara, ekspresi wajah, dan aktivitas motorik klien. Pada klien
stroke tahap lanjut biasanya status mental klien mengalami
perubahan.
2) Fungsi Intelektual: Didapatkan penurunan dalam ingatan dan
memori, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Penurunan

13
kemampuan berhitung dan kalkulasi. Pada beberapa kasus klien
mengalami brain damage yaitu kesulitan untuk mengenal
persamaan dan perbedaan yang tidak begitu nyata.
3) Kemampuan Bahasa: Penurunan kemampuan bahasa tergantung
daerah lesi yang memengaruhi fungsi dari serebral. Lesi pada
daerah hemisfer yang dominan pada bagian posterior dari girus
temporalis superior (area Wernicke) didapatkan disfasia
reseptif, yaitu klien tidak dapat memahami bahasa lisan atau
bahasa tertulis. Sedangkan lesi pada bagian posterior dari girus
frontalis inferior (area Broca) didapatkan disfagia ekspresif,
yaitu klien dapat mengerti, tetapi tidak dapat menjawab dengan
tepat dan bicaranya tidak lancar. Disartria (kesulitan berbicara),
ditunjukkan dengan bicara yang sulit dimengerti yang
disebabkan oleh paralisis otot yang bertanggung jawab untuk
menghasilkan bicara. Apraksia (ketidakmampuan untuk
melakukan tindakan yang dipelajari sebelumnya), seperti terlihat
ketika klien mengambil sisir dan berusaha untuk menyisir
rambutnya.
4) Lobus Frontal: Kerusakan fungsi kognitif dan efek psikologis
didapatkan jika kerusakan telah terjadi pada lobus frontal
kapasitas, memori, atau fungsi intelektual kortikal yang lebih
tinggi mungkin rusak. Disfungsi ini dapat ditunjukkan dalam
lapang perhatian terbatas, kesulitan dalam pemahaman, lupa,
dan kurang motivasi, yang menyebabkan klien ini menghadapi
masalah frustrasi dalam program rehabilitasi mereka. Depresi
umum terjadi dan mungkin diperberat oleh respons alamiah
klien terhadap penyakit katastrofik ini. Masalah psikologis lain
juga umum terjadi dan dimanifestasikan oleh emosi yang labil,
bermusuhan, frustrasi, dendam, dan kurang kerja sama.
5) Hemisfer Stroke hemisfer kanan didapatkan hemiparese sebelah
kiri tubuh, penilaian buruk dan mempunyai kerentanan terhadap
sisi kolateral sehingga kemungkinan terjatuh ke sisi yang

14
berlawanan tersebut. Pada stroke hemifer kiri, mengalami
hemiparese kanan, perilaku lambat dan sangat hati-hati, kelainan
bidang pandang sebelah kanan, disfagia global, afasia, dan
mudah frustrasi.
j. Pengkajian Saraf Kranial
1) Saraf I: Biasanya pada klien stroke tidak ada kelainan pada
fungsi penciuman.
2) Saraf II. Disfungsi persepsi visual karena gangguan jaras sensori
primer di antara mata dan korteks visual. Gangguan hubungan
visual-spasial (mendapatkan hubungan dua atau lebih objek
dalam area spasial) sering terlihat pada Mien dengan hemiplegia
kiri. Klien mungkin tidak dapat memakai pakaian tanpa bantuan
karena ketidakmampuan untuk mencocokkan pakaian ke bagian
tubuh.
3) Saraf III, IV, dan VI. Jika akibat stroke mengakibatkan paralisis,
padasatu sisi otot-otot okularis didapatkan penurunan
kemampuan gerakan konjugat unilateral di sisi yang sakit.
4) Saraf V. Pada beberapa keadaan stroke menyebabkan paralisis
saraf trigenimus, penurunan kemampuan koordinasi gerakan
mengunyah, penyimpangan rahang bawah ke sisi ipsilateral,
serta kelumpuhan satu sisi otot pterigoideus internus dan
eksternus.
5) Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah
asimetris, dan otot wajah tertarik ke bagian sisi yang sehat.
6) Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli
persepsi.
7) Saraf IX dan X. Kemampuan menelan kurang baik dan kesulitan
membuka mulut.
8) Saraf XI. Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan
trapezius.
9) Saraf XII. Lidah simetris, terdapat deviasi pada satu sisi dan
fasikulasi, serta indra pengecapan normal.

15
k. Pengkajian Sistem Motorik: Stroke adalah penyakit saraf motorik
atas (UMN) dan mengakibatkan kehilangan kontrol volunter
terhadap gerakan motorik. Oleh karena UMN bersilangan, gangguan
kontrol motor volunter pada salah satu sisi tubuh dapat menunjukkan
kerusakan pada UMN di sisi yang berlawanan dari otak
l. Pengkajian Sistem Sensorik: Dapat terjadi hemihipestesi. Pada
persepsi terdapat ketidakmampuan untuk menginterpretasikan
sensasi. Disfungsi persepsi visual karena gangguan jaras sensori
primer di antara mata dan korteks visual.
Menurut Doenges (2012) data dasar pengkajian pada pasien NHS yaitu:
a. Aktivitas/ istirahat
Gejala: merasa kesulitan untuk melakukan aktivitas karena
kelemahan, kehilangan sensasi atau paralisis (hemiplegia)
Tanda: gangguan tonus otot, hemiplagia, dan terjadi kelemahan
umum, gangguan pengelihatan, gangguan tingkat kesadaran.
b. Sirkulasi
Gejala: adanya penyakit jantung , polisitemia, riwayat hipotensi
postural,
Tanda: hipertensi arterial,nadi bisa bervariasi karena pengaruh
jantung, disaritmia, perubahan EKG
c. Integritas ego
Gejala: perasaan tidak berdaya, perasaan putus asa
Tanda: emosi yang labil dan ketidaksiapan untuk marah, sedih dan
gembira, kesulitan untuk mengekspresikan diri.
d. Eliminasi
Gejala: perubahan pola berkemih, seperti inkontinensia urine, anuria,
distensi abdomen, bising usus negatif
e. Makanan/ cairan
Gejala: nafsu makan hilang, mual selama fase akut (peningkatan
TIK), kehilangan sensasi (rasa kecap) pada lidah, pipi, dan
tenggorok, disfagia, ada riwayat diabetes, peningkatan lemak dalam
darah.

16
Tanda: kesulitan menelan (gangguan pada refleks palatum dan
faringeal)
f. Neurosensori
Gejala : sinkope/ pusing, sakit kepala, kelemahan/ kesemutan/ kebas,
sisi yang terkena terlihat seperti mati/ lumpuh, pengelihatan
menurun, pengelihatan ganda, atau gangguan yang lain, gangguan
pengecapan.
Tanda: status mental/ kesadaran; biasanya terjadi koma pada tahap
awal haemorhagic, pada wajah terjadi paralisis atau parese
(ipsilateral), afasia, kehilangan kemampuan untuk mengenali /
menghayati masuknya rangsang visual, apraksia
g. Nyeri/ kenyamanan
Gejala: sakit kepala dengan intensitas yang berbeda-beda
Tanda: tingkah laku yang stabil, gelisah, ketegangan pada otot.
h. Pernapasan
Gejala: merokok
Tanda: ketidakmampuan menelan/ batuk/ hambatan jalan napas
i. Kemanan
Tanda: motorik/ sensorik akan masalah dengan pengelihatan,
perubahan persepsi terhadap orientasi tempat tubuh (stroke kanan),
kesulitan untuk melihat objek dari sisi kiri (pada stroke kanan),
kesulitan menelan, tidak mampu memenuhi kebutuhan nutrisi secara
mandiri.
j. Interaksi sosial
Tanda: masalah bicara, ketidakmampuan untuk berkomunikasi.
2. Diagnosa
a. Nyeri Akut berhubungan dengan agens cedera biologis (mis: infeksi,
iskemia, nioplasma). (12,1,00132)
b. Hambatan komunikasi verbal b.d gangguan persepsi. (5,5,00051)
c. Defisit perawatan diri: eliminasi berhubungan dengan gangguan
neuromuscular (4.5.000110)
d. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan tirah baring ( 4,3,00154)

17
3. Intervensi

NO DIAGNOSA INTERVENSI RASIONAL


1. Nyeri akut berhubungan dengan a. Kaji keadaan umum a. Mengevaluasi
agen cedera biologis dan TTV keadaan umum
(12,1,00132) b. Kaji skala nyeri pada b. untuk
Tujuan: klien mengevaluasi
Setelah dilakukan tindakan c. Kaji lokasi pada keefektifan dari
keperawatan selama 3x24 jam, nyeri terapi yang
nyeri dapat berkurang dengan d. Ajarkan tehnik diberikan
kriteria hasil: relaksasi nafas c. mengevaluasi
a. Mengenali kapan nyeri dalam tempat dimana
terjadi e. Kolaborasi dengan nyeri dirasakan
b. Menggambarkan factor dokter dalam d. mengurangi
penyebab pemberian analgetik nyeri yang
c. Melaporkan nyeri yang dirasakan
terkontrol e. pemberian obat
d. Menggunakan tindakan dapat dengan
pencegahan tanpa analgesic cepat
mengurangi rasa
nyeri pasien.

2. Hambatan komunikasi verbal a. Kaji tipe/ derajat a. Membantu


b.d gangguan persepsi disfungsi, seperti menentukan
(5,5,00051) pasien tampak tidak daerah dan
Tujuan: memahami kata, atau kerusakan
Setelah dilakukan tindakan mengalami kesulitan serebral yang
keperawatan selama 3x24 jam, berbicara atau terjadi dan
Mengindikasikan pemahaman membuat pengertian kesulitan pasien
tentang masalah komunikasi, sendiri. dalam beberapa
dengan kriteria hasil: b. Minta pasien untuk atau seluruh
a. pertukaran pesan yang mengucapkan kata tahap proses
akurat dengan orang lain sederhana seperti komunikasi.

18
b. tidak terhambat “pus” b. Mengidentifikasi
menggunakan komunikasi c. Anjurkan adanya disartria
verbal maupun non verbal pengunjung untuk sesuai komponen
mempertahankan motorik dari
usahanya untuk bicara seperti
berkomunikasi lidah yang dapat
dengan pasien mempengaruhi
artikulasi
c. mengurangi
isolasi sosial
pasien dan
meningkatkan
penciptaan
komunikasi yang
efektif.
3. Defisit perawatan diri: eliminasi a. Kaji kemampuan dan a. membantu dalam
berhubungan dengan gangguan tingkat kekurangan merencanakan
neuromuscular (4.5.000110) untuk menentukan pemenuhan
Tujuan: kebutuhan sehari- kebutuhan secara
Setelah dilakukan tindakan hari individual
keperawatan selama 3x24 jam, b. Ajarkan kepada b. Menjaga agar
deficit peraatan diri dapat anggota keluarga pasien dapat
teratasi dengan kriteria hasil: untuk peningkatan mandiri
a. Melakukan aktivitas kemandirian c. penting bagi
perawatan diri dalam c. Anjurkan keluarga pasien untuk
tingkat kemampuan sendiri. pasien untuk melakukan
b. Mengidentifikasi sumber menghindari sebanyak
komunitas/ pribadi melakukan sesuatu mungkin untuk
memberikan bantuan sesuai untuk pasien yang diri sendiri untuk
kebutuhan. dapat dilakukan memperthakanka
sendiri, berikan n harga diri dan
bantuan sesuai meningkatkan
kebutuhan. pemulihan.

19
d. Pertahankan d. perlu mengetahui
dukungan, sikap pemberi asuhan
yang tegas, beri yang akan
pasien waktu yang membantu
cukup untuk pasien secara
mengerjakan konsisten.
aktivitasnya.
4. Intoleransi aktivitas a. Bantu aktivitas fisik a. Untuk
berhubungan dengan secara teratur, menghindari
hemiparese dan tirah baring misalnya ambulasi, terjadinya resiko
(4,3,00154) berpindah, berputar kerusakan
Tujuan: dan kebersihan diri integritas kulit
Setelah dilakukan tindakan sesuai dengan pada pasien
keperawatan selama 3x24 jam, kebutuhan tirah baring
intoleransi aktivitas dapat b. Instruksikan pasien b. Terciptanya
teratasi dengan kriteria hasil: dan keluarga untuk tindakan
a. kemudahan dalam melaksanakan mandiri bagi
melakukan aktivitas hidup aktivitas yang pasien dan
harian diinginkan keluarga
b. kemampuan untuk c. Bantu klien untuk c. Mengidentifikasi
berbicara ketika melakukan memilih aktivitas aktivitas klien
aktivitas fisik yang bermakna sesuai dengan
c. kemudahan bernafas ketika d. Berkolaborasi keadaan kondisi
beraktivitas dengan ahli terapi pasien dengan
fisik jika memang tepat
diperlukan d. Mempermudah
proses
penyembuhan
kemampuan
gerak klien

BAB III

20
PENUTUP

A. Kesimpulan
Stroke non hemoragik adalah sindroma klinis yang awalnya timbul
mendadak, progresi cepat berupa deficit neurologis fokal atau global yang
berlangsung 24 jam atau lebih atau langsung menimbul kematian yang
disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak non straumatik.
Stroke non hemoragik merupakan proses terjadinya iskemia akibat
emboli dan trombosis serebral biasanya terjadi setelah lama beristirahat, baru
bangun tidur atau di pagi hari dan tidak terjadi perdarahan. Namun terjadi
iskemia yang menimbulkan hipoksia dan selanjutnya dapat timbul edema
sekunder.
Selain kerusakan parenkim otak, akibat volume perdarahan yang relatif
banyak akan mengakihatkan peningkatan tekanan intrakranial dan penurunan
tekanan perfusi otak serta gangguan drainase otak. Elernen-elemen vasoaktif
darah yang keluar dan kaskade iskemik akibat menurunnya tekanan perfusi,
menyebabkan saraf di area yang terkena darah dan sekitarnya tertekan lagi.
Dari beberapa pengertian stroke diatas, disimpulkan stroke non
hemoragik adalah adalah gangguan cerebrovaskular yang disebabakan oleh
sumbatnya pembuluh darah akibat penyakit tertentu seperti aterosklerosis,
arteritis, trombus dan embolus.

B. Saran
Diharapkan agar laporan ini dapat digunakan sebagai acuan untuk
menentukan diagnose serta intervensi yang tepat untuk pasien dengan Stroke
Non Hemoragik

21
DAFTAR PUSTAKA

Chang, Ester . 2010 . Patofisiologi : Aplikasi Pada Praktik Keperawatan. Jakarta:


EGC.

Mansjoer, A dkk. 2010. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid Kedua.


Jakarta: Media Aesculapius FKUI

Muttaqin, Arif. 2010. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem


Persarafan. Jakarta: Salemba Medika

Padila. 2012. Buku Ajar: Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta: Nuha


Medika.

Price, SA dan Wilson, 2016. Patofisiologi: Konsep klinis proses- proses penyakit
ed. 6 vol.1. Jakarta: EGC.

Smeltzer C. Suzanne, Brunner & Suddarth. 2012.Buku Ajar Keperawatan


Medikal Bedah. Jakarta: EGC.

Tarwoto, 2017. Keperawatan Medikal Bedah: Gangguan Sistem Persyarafan .


Jakarta: Sagung Seto.

22

Anda mungkin juga menyukai