Anda di halaman 1dari 14

KEMUNGKINAN GANGGUAN

PERILAKU TIDUR REM DAN RISIKO


STROKE: SEBUAH STUDI
PROSPEKTIF.
Ma C, et al

Abstrak
Tujuan:Untuk mengetahui apakah kemungkinan gangguan
perilaku tidur REM (probable REM sleep behavior disorder =
pRBD) dikaitkan dengan peningkatan risiko pengembangan
stroke pada kohort berbasis masyarakat.
Metode:Penelitian ini melibatkan 12.003 peserta (usia rata-rata
54,0 tahun) dari Studi Kailuan, tanpa stroke, kanker, penyakit
Parkinson, demensia, dan cedera kepala pada baseline (2012).
Kami menentukan pRBD dengan menggunakan kuesioner
gangguan perilaku tidur REM (RBD) yang telah divalidasi pada
tahun 2012. Kasus insiden stroke dikonfirmasi dengan tinjauan
rekam medis. Kami menggunakan model hazard proporsional
Cox untuk memperkirakan rasio hazard (HR) dan interval
kepercayaan (IK) 95% stroke sesuai dengan status pRBD, dengan
penyesuaian beberapa ukuran tidur (yaitu insomnia, kantuk di
siang hari, durasi tidur, dengkuran, dan penggunaan hipnotik)
serta faktor perancu potensial lainnya.
Hasil:Selama 3 tahun masa tindak lanjut, kami
mendokumentasikan 159 kasus kejadian stroke. Sehubungan
dengan peserta tanpa pRBD pada baseline, peserta dengan
pRBD memiliki risiko 157% lebih tinggi (IK95%: 59%-313%) untuk
mengembangkan stroke. Kehadiran pRBD dikaitkan dengan
peningkatan risiko jenis stroke - HR yang disesuaikan adalah 1,93
(IK95% 1,07-3,46) untuk stroke iskemik dan 6,61 (IK95% 2,27-
19,27) untuk stroke hemoragik.
Kesimpulan: Kehadiran pRBD dikaitkan dengan risiko stroke
yang lebih tinggi, meliputi tipe iskemik dan hemoragik. Penelitian
selanjutnya dengan RBD yang dikonfirmasi secara klinis dan
tindak lanjut yang lebih lama akan sesuai untuk menyelidiki lebih
lanjut hubungan tersebut.

PENDAHULUAN. Gangguan perilaku tidur REM (REM sleep


behavior disorder= RBD) dikaitkan dengan sinucleinopathies,
dan sebagian besar individu dengan RBD mungkin telah atau
akan mengembangkan penyakit Parkinson (PD), demensia
dengan tubuh Lewy, atau atropi banyak organ.1-3
Synucleinopathies sering dikaitkan dengan gejala disfungsi
otonom, seperti gangguan kontrol tekanan darah dan penurunan
variabilitas denyut jantung.4,5 Secara konsekuen, individu dengan
RBD idiopatik mengalami fungsi otonom lebih buruk, meliputi
domain kardiovaskular, gastrointestinal, dan berkemih, relatif
terhadap peserta kontrol.6,7 Otonom sistem saraf dapat berperan
dalam keadaan prepatologik atau berkontribusi pada faktor
presipitasi (pencetus) fase akut stroke, seperti aterosklerosis dan
hiperaktifitas simpatis.8 Beberapa laporan kasus menunjukkan
bahwa stroke dapat menyebabkan RBD. 9-11 Pada studi cross
sectional sebelumnya, kami juga menemukan bahwa individu
dengan kemungkinan RBD (pRBD) memiliki peluang lebih tinggi
untuk beberapa faktor risiko stroke secara bersamaan, seperti
diabetes dan hiperlipidemia.12 Namun, apakah RBD dapat
memprediksi risiko stroke di masa mendatang masih belum
diketahui. RBD mungkin memiliki efek berbeda pada jenis stroke
yang berbeda. Sebagai contoh, deposisi s-synuclein terkait RBD
bisa lebih relevan dengan angiopati amiloid serebral, yang
ditetapkan sebagai penyebab utama perdarahan intraserebral
primer, terutama untuk hematoma lobar.2,13 Di sisi lain, disfungsi
otonom terkait RBD dapat menyebabkan aterosklerosis, yang
merupakan penyebab utama stroke iskemik.8 Kami berhipotesis
bahwa kehadiran RBD dapat terkait dengan risiko tinggi stroke
hemoragik iskemik dan intraserebral. Untuk menguji hipotesis ini,
kami memperluas analisis kami sebelumnya untuk memeriksa
secara prospektif apakah individu dengan riwayat pRBD (2012)
memiliki risiko stroke lebih tinggi selama 3 tahun masa tindak
lanjut di antara 12.000 orang dewasa China.

METODE. Peserta. Seperti yang dirinci dalam studi lain, 12


penelitian berbasis masyarakat ini melibatkan 12.990 orang
dewasa Tionghoa (10.725 pria dan 2.265 wanita) tanpa PD dan
demensia pada tahun 2012 (baseline) yang merupakan bagian
dari Studi Kailuan, sebuah studi pada komunitas Cina yang saat
ini masih dilakukan.14,15 Kami selanjutnya mengeksklusi peserta
dengan riwayat stroke, kanker, atau cedera kepala pada
baseline, sehingga 12.003 peserta (usia rata-rata 54 tahun)
digunakan dalam analisis penelitian ini.

Persetujuan protokol standar, registrasi, dan


persetujuan pasien. Penelitian ini disetujui secara bersama
oleh Ethics Committee of the Kailuan General Hospital dan the
Human Subjects Committee at Brigham and Women’s
Hospital/Harvard Medical School.

Penilaian kejadian stroke. Outcome meliputi kejadian


stroke pertama, baik kejadian stroke nonfatal pertama atau
kematian akibat stroke tanpa kejadian nonfatal lanjutan.
Penentuan insiden stroke telah dijelaskan dalam studi
sebelumnya.14,15 Secara singkat, semua peserta terkait dengan
Municipal Social Insurance Institution database dan Hospital
Discharge Register, yang mencakup semua peserta studi
Kailuan. Kami menggunakan ICD-10 untuk mengidentifikasi
kasus stroke yang potensial (161 untuk stroke hemoragik
intraserebral dan 163 untuk stroke iskemik). Informasi tambahan
mengenai riwayat penyakit stroke dikumpulkan melalui
kuesioner dua tahun sekali dalam Studi Kailuan sejak tahun 2006
(baseline kohort). Kematian dikumpulkan dari kantor statistik
vital provinsi. Kasusstroke potensial diidentifikasi dengan kode
ICD atau kuesioner, sebuah panel terdiri dari 3 dokter, terdiri dari
ahli saraf, ahli jantung, dan ahli radiologi, meninjau catatan
medis, dan dibutakandari status paparan. Stroke nonfatal
didefinisikan sebagai onset mendadak defisit neurologis fokal
dengan mekanisme vaskular yang berlangsung >24 jam. Stroke
fatal dikonfirmasi oleh catatan medis, laporan otopsi, dan
sertifikat kematian dengan stroke tercantum sebagai penyebab
utamanya. Stroke didiagnosis sesuai kriteria WHO 16 dan
dikonfirmasi dengan CT otak atau MRI. Dalam studi ini, kami
memasukkan 2 tipe stroke utama: hemorrhagic iskemik dan
intraserebral.

Penilaian pRBD Pada tahun 2012, kami mengumpulkan


informasi mengenai gejala RBD menggunakan kuesioner RBD
yang telah divalidasi - Hong Kong (RBDQ-HK). RBDQ-HK adalah
alat skrining versi Tionghoa untuk diagnosis RBD, terdiri dari 13
pertanyaan yang berkaitan dengan berbagai fitur klinis RBD,
yang menskrining skala kejadian seumur hidup dan frekuensi 1
tahun terakhir.17 Sebuah studi validasi sebelumnya pada populasi
umum China dan individu dengan PD dan apnea tidur obstruktif
menunjukkan sensitivitas yang kuat (82% -85%), spesifisitas
(81% -87%), konsistensi internal, dan reliabilitas test-retest
RBDQ-HK, relatif terhadap polysomnography berbasis
Diagnosis.17,18Cut point perkiraan RBD untuk skala total (kisaran
skor 0-100) adalah >18, dan titik cutoff alternatif berdasarkan 7
faktor perilaku subkelompok termasuk tidur berbicara, berteriak,
gerakan anggota badan, dan cedera terkait tidur (kisaran 0-70)
adalah >7.17

Penilaian parameter tidur. Informasi tentang beberapa


parameter tidur meliputi insomnia, kantuk di siang hari, durasi
tidur, mendengkur, dan penggunaan hipnotik dikumpulkan pada
tahun 2012, yang secara
rinci ditunjukkan sebagai berikut:

Insomnia. Kami menilai status insomnia peserta di akhir


bulan menggunakan Athens Insomnia Scale (AIS) yang telah
divalidasi dalam versi bahasa China,19 yang telah divalidasi di
populasi Tionghoa.20 AIS adalah kuesioner mandiri yang terdiri
dari8 pertanyaan tentang gambaran tidur.19 Cut off untuk untuk
menentukan insomnia adalah total skala > 6.19

Kantuk siang hari. Kantuk siang hari ditentukan


berdasarkan Skala Sleepiness Epworth(ESS) versi bahasa Cina.21
Semakin tinggi skor total, semakin tinggi peluangnyatertidur saat
terlibat dalam situasi tertentu dalam kehidupan sehari-hari.Total
skor > 10 menunjukkan kantuk di siang hari yang berlebihan.21
Studi validasitentang ESS di kalangan individu China telah
menghasilkan
reliabilitas test-retest yang baik (p= 0,74).22

Durasi tidur dan status mendengkur. Tahun 2012,


kami mengumupulkan durasi tidur dan status mendengkur di
malam hari dengan kuesioner,
dan selanjutnya mengkategorikan menjadi empat kelompok
durasi tidur:< 6, 6, 7, dan > 8 jam/hr, dan 3 kelompok untuk
mendengkur: tidak pernah/jarang, sesekali, dan sering
mendengkur dengan nafas berhenti.

Pada survei tahun 2014, kami menyertakan kuesioner


STOP-BANG
dan lingkar leher diukur ke sentimeter terdekat
menggunakan alat ukur oleh pekerja lapangan yang terlatih
untuk menskrining individuberisiko tinggi obstructive sleep
apnea(OSA).23 Kuesioner terdiri dari 8 item dikotomis, meliputi
mendengkur, kelelahan di siang hari, apnea teramati, tekanan
darah, indeks massa tubuh(IMT) (>35 kg/m2), umur (>50 tahun),
lingkar leher
(>40 cm), dan jenis kelamin (pria). Individu dianggap intermediat

atau berisiko tinggi OSA dengan 3 atau lebih dari 8 item yang
dinilai
positif dan berisiko rendah jika sebaliknya.23 Kuesioner STOP-
BANG
telah divalidasi di antara populasi yang berbeda, termasuk
Cina, dengan sensitivitas tinggi (91%-94%) untuk mendeteksi
OSA.24
Ada 9.311 peserta (78%) yang menyelesaikan kuesioner STOP-
BANG. Kami menggunakan beberapa imputasi untuknilai yang
hilang berdasarkan metode bersyarat yang telah dijelaskan
sebelumnya.25 Secara keseluruhan, 2.311 peserta
dipertimbangkan padarisiko OSA intermediat atau tinggi (skor
STOP-BANG > 3).23

Penilaian kovariat potensial lainnya. Informasitentang


tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, pekerjaan, aktivitas fisik,
status merokok, dan konsumsi alkohol dikumpulkan pada tahun
2012 melalui kuesioner.12 Berat dan tinggi badan diukuroleh
pekerja lapangan terlatih selama wawancara tahun 2012. IMT
dihitung sebagai berat badan (kg) dibagi dengan kuadrat tinggi
(m2). Tekanan darah sistolik dan diastolik diukur dua kali
dari posisi duduk menggunakan sphygmomanometer
merkuri.Kami menggunakan rata-rata 2 pembacaan untuk
analisis. Hipertensididefinisikan sebagai tekanan darah sistolik
>140 mmHg atau tekanan darah diastolik >90 mmHg atau
penggunaan obat antihipertensi dalam 2 minggu terakhir tanpa
memperhatikan status tekanan darah. Prehipertensi
diklasifikasikan sebagai tekanan darah sistolik antara 120 dan
tekanan darah diastolik 139 mm Hg atau diastolik antara 80 dan
89 mmHg. Kasus infark miokard dikonfirmasi dengan review
rekam medis, seperti yang dijelaskan dalam studi lain.14 Kasus
atrial fibrillation
diidentifikasi dengan ECG dua tahunan sejak tahun 2006.
Sampel darah puasa juga dikumpulkan. Konsentrasi glukosa,
trigliserida,
kolesterol low-density lipoprotein(LDL-C), kolesterol high-density
lipoprotein
(HDL-C), dan asam urat dinilaimenggunakan autoanalyzer
(Hitachi 747; Hitachi, Tokyo, Jepang) dilaboratorium pusat Rumah
Sakit Umum Kailuan. Diabetes
didefinisikan sebagai konsentrasi glukosa darah puasa > 7,0
mmol/L atau penggunaan obat hipoglikemik oral atau
pengobatan aktif dengan insulin, dan prediabetes didefinisikan
sebagai konsentrasi gula darah puasa antara 5.6 dan 6.9 mmol/L.

Analisis statistik. Semua analisis statistik dilakukan


dengan menggunakan SAS versi 9.4 (SAS Institute, Cary, NC). Uji
hipotesis formal 2 sisi dengan tingkat signifikansi 0,05. Orang-
tahun untuk setiap peserta dihitung dari tanggal kuesioner tahun
2012 diselesaikan pada tanggal terserang stroke atau kematian,
atau 31 Desember 2014, mana saja yang lebih dulu. Kami
menggunakan model hazard proporsional Cox untuk
memperkirakan rasio hazard (HR) dan interval kepercayaan 95%
(IK) stroke berdasarkan status pRBD.
Kami menyesuaikan dengan 3 model multivariat: model 1
disesuaikan dengan usia dan jenis kelamin; model 2 disesuaikan
lebih lanjut dengan tingkat pendidikan (primer, menengah, atau
perguruan tinggi dan lebih tinggi), tingkat pendapatan (<500,
500-1,000, atau, 1, renminbi (RMB)/bln), pekerjaan (kerah
biru/kerah putih), aktivitas fisik (tidak pernah, 4 kali/minggu, atau
>4 kali/minggu), status merokok (tidak pernah, sebelumnya
merokok, atau saat ini perokok), status alkohol (tidak pernah,
sebelumnya peminum, saat ini peminum:<2, 2-4, atau > 5
porsi/hr), hipertensi (tidak, prehipertensi, atau hipertensi),
diabetes (tidak, prediabetes, atau diabetes), IMT (24, 24-28, atau
28 kg/m2), atrial fibrillation (ya/tidak), infark miokard ya/tidak),
dan konsentrasi trigliserida plasma (kuartil), LDL-C (kuartil), HDL-
C (kuartil), dan asam urat (kuartil); Model 3 lebih disesuaikan
dengan waktu tidur (< 6, 6-7, 7-8, 8-9, atau > 9 jam/hr), kantuk
di siang hari (ya/tidak), insomnia (ya/tidak), penggunaan hipnotik
(ya/tidak), dan status mendengkur (tidak pernah/jarang, kadang-
kadang, atau sering mendengkur).

Untuk menguji ketangguhan pengamatan kami, kami


melakukan analisis sensitivitas dengan menggunakan cut off
alternatif (kisaran 0-70, >7) untuk menentukan pRBD
berdasarkan 7 faktor perilaku subkelompok RBDQ-HK, termasuk
tidur berbicara, berteriak, gerakan anggota badan, dan cedera
yang berhubungan dengan tidur. Untuk meminimalkan dampak
potensial dari rujukan RBD terhadap hubungan yang diamati
antara pRBD dan stroke, kami melakukan beberapa analisis
sensitivitas dengan mengeksklusi peserta dengan gangguan
tidur lainnya (termasuk kantuk di siang hari yang berlebihan,
insomnia, dan sering mendengkur), atau yang menggunakan
hipnotik atau alkohol sebelumnya, secara terpisah. Kami juga
melakukan analisis sensitivitas dengan mengeksklusi 2.311
peserta dengan risiko OSA intermediat atau tinggi, berdasarkan
kuesioner STOP-BANG 2014.
Kami memeriksa potensi interaksi kehadiran pRBD
(ya/tidak) dengan usia (< atau > 60 tahun), jenis kelamin
(wanita/pria), kelebihan berat badan (ya/tidak, berdasarkan IMT
>25 kg/m2), hipertensi (ya/tidak), dan status merokok (tidak
pernah/pernah), terkait dengan risiko stroke, dengan
memasukkan istilah perkalian dalam model Cox, dengan
penyesuaian untuk faktor perancu potensial lainnya pada model
3.

HASIL

Dibandingkan dengan peserta tanpa pRBD, peserta


dengan pRBD lebih cenderung laki-laki, kerah biru (dibandingkan
dengan pekerjaan kerah putih), peminum alkohol, perokok, pada
tingkat pendidikan dan aktivitas fisik yang lebih rendah, dan
memiliki LDL-C lebih tinggi dan HDL-C dan konsentrasi asam urat
rendah (tabel 1). Ukuran tidur tidak normal, seperti kantuk di
siang hari, insomnia, dan mendengkur, juga terkait secara
signifikan dengan kemungkinan lebih tinggi terkena pRBD (tabel
1).

Selama 3 tahun masa tindak lanjut, kami


mendokumentasikan 159 kasus kejadian stroke. Sehubungan
dengan peserta tanpa pRBD, pasien dengan pRBD memiliki risiko
157% lebih tinggi (IK95% 39%-313%) untuk mengembangkan
stroke selama masa tindak lanjut, setelah disesuaikan dengan
usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan,
pekerjaan, aktivitas fisik, status merokok, status alkohol,
hipertensi, diabetes, BMI, konsentrasi lipid plasma dan asam
urat, fibrilasi atrium, infark miokard, dan tindakan tidur lainnya
(tabel 2). Kehadiran pRBD dikaitkan dengan peningkatan risiko
jenis stroke dan hubungan tersebut lebih kuat untuk stroke
hemoragik, relatif terhadap stroke iskemik (tabel 2).

Hasil tidak berubah secara material dalam analisis


sensitivitas dengan menggunakan definisi alternatif pRBD dan
mengeksklusi tiruan RBD (tabel 3). Penyesuaian lebih lanjut
dengan tekanan darah sistolik dan diastolik tidak secara material
mengubah hubungan yang diamati antara pRBD dan stroke (data
tidak ditunjukkan). Interaksi antara pRBD dan faktor risiko stroke
lainnya (usia lanjut, jenis kelamin laki-laki, kelebihan berat
badan, hipertensi, dan merokok) tidak signifikan (p untuk
interaksi > 0,1 untuk semua faktor) (tabel e-1 di Neurology.org).

PEMBAHASAN

Dalam penelitian prospektif berbasis komunitas ini, lebih


dari 12.000 orang dewasa Tionghoa dilibatkan, kami mengamati
bahwa peserta dengan riwayat pRBD kurang lebih 1,5 kali lebih
mungkin mengalami stroke, termasuk tipe iskemik dan
hemoragik, tidak bergantung pada faktor penentu potensial,
yang terdiri dari usia, jenis kelamin, obesitas, hipertensi, dan
status merokok. Mengeksklusi RBD tiruan tidak mengubah
hubungan yang signifikan antara pRBD dan risiko stroke.

Meskipun RBD sebelum stroke belum pernah diteliti


sebelumnya, hubungan cross-sectional antara RBD dan stroke
dilaporkan pada penelitian sebelumnya.9-11,26 Misalnya, dalam
sebuah penelitian yang menyertakan 119 pasien China dengan
stroke, 11% memiliki RBD dan keberadaan RBD secara signifikan
terkait dengan infark batang otak dan volume infark yang lebih
kecil.26 Pada studi kontrol kasus multisenter lainnya yang
menyertakan 318 kasus RBD idiopatik dan 318 kontrol yang
sesuai (181 kontrol gangguan tidur dan 137 sukarelawan sehat),
kasus RBD melaporkan lebih banyak penyakit kardiovaskular
(rasio odds [OR ] 1,6; IK95% 1,0-2,5) relatif terhadap kontrol, dan
hubungan menjadi lebih kuat ketika 181 subjek kontrol dengan
gangguan tidur dieksklusi (OR 2,4; IK95% 1,3-4,6).27 Dalam studi
yang sama, korelasi antara RBD dan kemungkinan yang lebih
tinggi untuk memiliki penyakit serebrovaskular yang dilaporkan
secara mandiri juga diamati (OR 1,3; IK95% 0,7-2,6), meskipun
hubungannya tidak signifikan, yang dapat disebabkan karena
kecilnya kasus penyakit serebrovaskular (n = 38) dan kesalahan
klasifikasi karena sifat pelaporan mandiri.27

Ada beberapa mekanisme biologis yang bisa menjelaskan


hubungan yang diamati antara RBD dan stroke. Asosiasi bisa jadi
karena perubahan yang lebih mendalam, akibat gangguan
tidur.Memang, tidur yang buruk atau tidak cukup telah dikaitkan
dengan berbagai konsekuensi otonom dan metabolik, seperti
diabetes28,29 dan kanker.30 Fragmentasi tidur dapat menyebabkan
peningkatan output simpatik, seperti perubahan variabilitas
denyut jantung dan regulasi suhu, dan penurunan sekresi
hormonal serta fungsi imun.31Seiring waktu, hiperaktif selama
tidur ini dapat digeneralisasi menjadi aktivitas overaktivitas
simpatik siang hari yang sedang berlangsung, sehingga
meningkatkan tekanan kardiovaskular.8 Hubungan signifikan
antara faktor risiko kardiovaskular dan pRBD diamati pada 2
penelitian cross-sectional sebelumnya.12,32 Namun, dalam
penelitian ini, setelah kami mengendalikan faktor-faktor
kardiovaskular tersebut, hubungan yang signifikan antara pRBD
dan stroke tetap bertahan, menunjukkan bahwa pRBD dapat
menjadi faktor risiko stroke di luar faktor konvensional ini. Selain
itu, peningkatan risiko ini mungkin berasal dari RBD sendiri atau
mungkin dari gangguan tidur komorbid lainnya, sepertiOSA. 33,34
Kami mengamati hubungan yang kuat antara pRBD dan
stroke hemoragik. Asosiasi ini tidak dapat dijelaskan oleh faktor-
faktor di atas saja. Ada kemungkinan kelainan hemodinamik
akibat gangguan tidur juga bisa berperan. Kami juga dapat
berspekulasi bahwa hubungan tersebut disebabkan oleh fakta
bahwa pasien dengan RBD lebih cenderung mengalami cedera
pada malam hari.35 Meskipun kami mengeksklusi individu dengan
cedera kepala, berdasarkan penelaahan rekam medis, kami tidak
dapat mengesampingkan kemungkinan perumusan residu luka
ringan terkait RBD. Penjelasan potensial lainnya adalah bahwa
gejala yang kita anggap sebagai pRBD sebenarnya adalah gairah
yang dipicu oleh OSA, seperti yang dijelaskan di atas. Namun,
hubungan yang kuat antara pRBD dan stroke hemoragik tetap
sama setelah kita mengeksklusi peserta yang mendengkur
secara rutin pada baseline (HR disesuaikan 7.17) atau mereka
yang memiliki OSA intermediat atau berisiko tinggi selama tindak
lanjut (HR disesuaikan 8.07), menunjukkan bahwa efek OSA pada
asosiasi yang diamati mungkin kecil atau rendah. Menariknya,
relatif terhadap mereka yang berisiko rendah terhadap OSA,
individu dengan risiko OSA intermediat/tinggi lebih mungkin
mengalami insiden stroke (1,80% vs 0,63%) dan pRBD (5,41% vs
4,79%).

Ada kemungkinan juga bahwa faktor yang sama yang


meningkatkan risiko RBD juga dapat meningkatkan risiko
angiopati amiloid serebral - penyebab umum perdarahan
intraserebral pada lanjut usia dan yang diamati pada kira-kira
25% individu dengan PD.36 Dalam sebuah penelitian terbaru,
fragmentasi tidur yang lebih tinggi dikaitkan dengan jumlah
infark makroskopis postmortem yang lebih tinggi dan
aterosklerosis yang lebih parah. Namun, tetap tidak diketahui
apakah amyloid angiopathy memiliki peran dalam patogenesis
RBD. Karena sejumlah kecil insiden kasus stroke hemoragik (n =
23) selama masa tindak lanjut, hubungan kuat yang diamati
antara pRBD dan stroke hemoragik bisa terjadi, setidaknya
sampai batas tertentu, atau karena kebetulan. Studi lebih lanjut
diperlukan untuk menggeneralisir temuan kami dan
mengeksplorasi mekanisme biologis potensial yang
mendasarinya.

Studi kami memiliki beberapa keterbatasan. Status RBD


ditentukan oleh kuesioner yang dilaporkan sendiri, tanpa
verifikasi melalui evaluasi klinis atau polisomnografi. Untuk
alasan ini, kami menggunakan pRBD dalam laporan ini. Untuk
mengurangi efek misklasifikasi status RBD yang potensial, kami
mengendalikan ukuran tidur lainnya, seperti kantuk di siang hari,
insomnia, dan mendengkur, yang bisa meniru gejala RBD. Lebih
jauh, tidak termasuk peserta dengan gangguan menyerupai RBD
tidak secara material mengubah signifikansi hasil, menunjukkan
bahwa efek faktor-faktor ini pada hubungan pRBD-stroke adalah
kecil sampai atau lemah. Residu faktor perancu adalah
kekhawatiran lain. Kami tidak mengumpulkan informasi tentang
depresi atau penggunaan antidepresan, yang dikaitkan dengan
RBD27 dan stroke.38 Demikian pula, kami tidak mengumpulkan
informasi mengenai penyakit arteri koroner lainnya (misalnya
angina) selain infark miokard. Adanya pembaur residual dapat
menyebabkan overestimasi hubungan yang diamati. Selanjutnya,
kami tidak mengumpulkan informasi rinci tentang OSA sampai
tahun 2014, dan hanya memiliki 78% peserta dengan status OSA
yang diketahui, yang mungkin akan menghasilkan bias seleksi
potensial. Namun, kami menggunakan beberapa imputasi untuk
nilai yang hilang ini dan menghasilkan hasil yang serupa setelah
kami menyesuaikan status OSA atau mengeksklusi mereka yang
dipertimbangkan pada risiko OSA intermediat atau tinggi. Kami
mengakui bahwa analisis imputasi mungkin tidak cukup untuk
mengatasi bias karena nilai STOPBANG mungkin tidak hilang
secara acak. Selanjutnya, status OSA diperoleh dengan
kuesioner, bukan pengujian standar emas, yang dapat
mengenalkan kesalahan klasifikasi. Kami tidak dapat memeriksa
hubungan jenis kelamin karena ukuran sampel wanita kecil.
Selain itu, penelitian ini dilakukan di Kota Tangshan, sebuah kota
industri di Cina utara. Hasil kami mungkin kurang bisa
digeneralisasi ke lokasi dan populasi lain, seperti Kaukasia.
Selanjutnya, masa tindak lanjut agak singkat dan kami hanya
memeriksa efek jangka pendek pRBD. Kami juga tidak dapat
mengesampingkan kemungkinan keberadaan pRBD sebagai
outcome stroke lacunar yang tidak terdiagnosis dalam sistem
nigrostriatal.

Kelebihan penelitian kami meliputi pengumpulan data


yang ketat untuk semua variabel di antara peserta, tindak lanjut
yang konsisten, dan perbandingan subjek dalam desain
longitudinal. Secara keseluruhan, dalam penelitian prospektif
berbasis populasi ini, kami mengamati bahwa peserta dengan
pRBD memiliki peningkatan risiko terkena stroke, baik iskemik
maupun hemoragik, selama 3 tahun masa tindak lanjut.
Penelitian terdahulu dengan RBD yang dikonfirmasi secara klinis,
tindak lanjut yang lebih lama, dan ukuran spesifik risiko
perdarahan (seperti gradient echosequencepada MRI untuk
mengevaluasi potensi komorbid angiopati serebral amiloid) akan
tepat untuk meneliti lebih lanjut hubungan ini.

Anda mungkin juga menyukai