Anda di halaman 1dari 13

MACAM-MACAM METODE PENGOLAHAN PANGAN

Makalah

Disusun untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Analisis Pengolahan Pangan yang dibina oleh
Dra. Hj. Nursasi Handayani, M.Si dan Yunita Rakhmawati, S.Gz., M.Kes

Disusun Oleh :

Kelompok 4 Offering Pangan 2017

Annisah Rachmawati Ariyadi (170342615556)

Farida Ariyani (170342615518)

Shania Alifah Rahman (170342615591)

UNIVERSITAS NEGERI MALANG

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

JURUSAN BIOLOGI

Januari 2020
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bahan pangan tidak selalu dikonsumsi dalam bentuk segar, tetapi sering kali dalam
bentuk olahan. Hal ini dikarenakan bahan pangan segar, terutama sayuran, buah-buahan, hasil
peternakan, dan hasil perikanan mempunyai umur simpan yang relatif singkat. Bahan pangan
segar hasil panen apabila dibiarkan begitu saja akan mengalami perubahan akibat pengaruh
faktor-faktor fisiologis, mekanik, fisik, kimiawi, parasitik ataupun mikrobiologi (Buckle,
1985). Perubahan akibat dari faktor-faktor tersebut ada yang menguntungkan, tetapi lebih
banyak yang merugikan.

Suatu bahan pangan dikatakan rusak apabila menunjukkan adanya penyimpangan


konsistensi yang melewati batas yang dapat diterima secara normal oleh pancaindra atau
parameter lain. Bahan yang secara normal berkonsistensi kental tetapi dalam keadaannya
berkonsistensi encer berrati telah terjadi suatu penyimpangan yang menunjukkan adanya
suatu kerusakan. Jika dilihat dari penyebbanya maka kerusakkan bahan pangan dapat dibagi
menjadi beberapa jenis yaitu kerusakan mikrobiologis, biologis, fisik, kimia, dan mekanis.
Kerusakan mikrobiologis disebabkan oleh mikroorganisme seperti kapang, bakteri dan
khamir. Umumnya bakteri mudah merusak bahan-bahan pangan yang banyak mengandung
protein dan berkadar air tinggi. Sedangkan kapang menyerang bahan yang banyak
mengandung gula (Fennema, 1996). Kerusakan biologis disebabkan oleh kerusakan fisiologis
(reaksi metabolism atau enzim degradasi), serangga dan binatang pengerat. Sedangkan
kerusakan fisik disebabkan oleh perlakuan fisik seperti kegosongan saat penggorengan atau
pembakaran terlalu lama (Samsudin, 2003).

Pengolahan pangan adalah salah satu usaha untuk mengawetkan bahan pangan yang
bertujuan selain memperpanjang masa simpan, juga untuk penganekaragaman pangan. Selain
itu, pengolahan pangan juga bertujuan untuk dapat mengubah bahan mentah menjadi produk
yang lebih disukai konsumen atau produk yang lebih sesuai dengan kebutuhan konsumen
(Winarno, dkk., 1984). Berbagai macam pengolahan bahan pangan antara lain pengolahan
dengan suhu tinggi, suhu rendah, fermentasi, teknik radiasi, dan menggunakan prinsip fisiko-
kimia (Koeswardhani, dkk., 2006).
Pengolahan pangan dengan suhu tinggi, yaitu pengolahan yang dilakukan dengan
pemanasan di atas suhu normal atau suhu ruang, misalnya blanching, pasteurisasi dan
sterilisasi. Sebaliknya, pengolahan pangan dengan suhu rendah, yaitu fengolahan atau
pengawetan yang dilakukan pada suhu di bawah suhu normal (suhu ruang), misalnya
pendinginan dan pembekuan. Pengolahan pangan yang bertujuan mengubah komposisi
kimiawi dari bahan baku menjadi bahan pangan yang memiliki komposisi sesuai dengan yang
dikehendaki dapat dilakukan dengan cara fermentasi. Ada juga pengolahan pangan dengan
cara aplikasi teknologi menggunakan prinsip fisiko kimia, misalnya ekstrusi. Hal yang perlu
diperhatikan sebelum melakukan proses pengolahan, yaitu komposisi kimia bahan pangan itu
sendiri (Estiasi & Ahmadi, 2009).

1.2 Tujuan

Untuk menjelaskan berbagai macam metode pengolahan pangan.


BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Pengolahan Makanan dengan Suhu Tinggi


Pada mulanya proses pemanasan bertujuan untuk menghilangkan atau mengurangi
aktivitas bioogis yang tidak diinginkan seperti aktivitas enzim dan mikroba. Selama proses
pemanasan terjadi juga kerusakan zat gizi seperti vitamin (misalnya asam askorbat) dan
faktor yang mempengaruhi mutu makanan yaitu warna, tekstur, cita rasa. Menurut
Wibowotomo (2001) macam-macam pengolahan makanan dengan suhu tinggi ada 3, yaitu
blanching, pasteurisasi, dan sterilisasi.
a. Blanching
Blanching merupakan pemanasan bahan pangan dengan uap atau air panas secara
langsung pada suhu kurang dari 100OC selama 10 menit. Proses ini biasa dilakukan
sebelum bahan dikalengkan, dikeringkan, dan dibekukan. Tujuan blanching
tergantung dari proses selanjutnya, misal proses pengeringan dan pembekuan,
blanching bertujuan menginaktifkan enzin yang tidak diinginkan yang dapat merubah
warna, tekstur, cita rasa maupun nilai gizi selama penyimpanan. Sedangkan
pengalengan, blanching bertujuan untuk melayukan jaringan tanaman, menghilangkan
gas dari dalam jaringan, menginaktifkan enzim dan menaikkan suhu awal sebelum
disterilisasi.
b. Pateurisasi
Pasteurisasi merupakan proses pemanasan dengan suhu kurang dari 100OC tetapi
waktunya berbeda tergantung suhu yang dipakai. Semakin tinggi suhu yang dipakai
maka semakin singkat waktu proses pemanasannya. Tujuan pasteurisasi adalah untuk
menginaktifkan sel-sel vegetatif mikroba patogen. Terdapat 3 cara yang bisa
dilakukan dalam proses pasteurisasi:
1. LTLT (Low Temperature Long Time)
Menggunakan suhu rendah waktu lama (62,8 OC selama 30 menit)
2. HTST (High Temperature Short Time)
Menggunakan suhu tinggi waktu pendek (71,7 OC selama 15 detik sampai
beberapa menit)
3. UHT (Ultra High Temperature)
Menggunakan suhu tinggi dalam waktu beberapa detik (130-150 OC selama 1-3
detik)
c. Sterilisasi
Sterilisasi bertujuan untuk membunuh semua mikroba termasuk sporanya dapat juga
mencegah terjadinya pembusukan selama penyimpanan. Pemanasan pada proses
sterilisasi dilakukan pada suhu diatas 100 OC (110-121 OC) selama 30 menit. Alat yang
biasa digunakan untuk sterilisasi yaitu: sterilizer/autoclave/retort. Proses sterilisasi
banyak diterapkan pada produk-produk makanan kaleng atau pembotolan.
d. Pemanggangan (Roasting)
Pemanggangan dapat dilakukan dengan cara dibakar langsung diatas api
dengan menggunakan suatu alat juga bisa dilakukan dalam oven. Penggunaan suhu
dan waktu pemanggangan dapat mempengaruhi karakteristik dan tingkat kematangan
produk yang dihasilkan. Pemanggangan terlalu lama dapat menyebabkan bahan
pangan menjadi keras. Suhu dan waktu pemanggangan dapat mempengaruhi adonan
membentuk produk yang diinginkan, berdasarkan penelitian yang dilakukan dan
mendapatkan data jika suhu pemanggangan dapat mempengaruhi waktu yang
dibutuhkan untuk menghasilkan produk sesuai yang diinginkan, selain itu ketebalan
bahan pangan saat pemanggangan sangat mempengaruhi tingkat kematangan produk
yang dihasilkan. Semakin tebal produk yang dipanggang maka penguapan airnya
sedikit sedangkan bila bahan yang dipanggang tipis maka penguapan airnya banyak
dan bahan pangan menjadi cepat matang. Tujuan dari proses pemanggangan yaitu
untuk meningkatkan sifat sensori dan memperbaiki cita rasa dari bahan pangan.
Pemanggangan dapat menghancurkan mikroorganisme serta menurunkan aktivitas air
sehingga dapat mengawetkan makanan (Fellows, 2000).
Proses pemanggangan berpengaruh terhadap kadar air, lemak, protein, dan
mineral pada bahan pangan. Semakin lama waktu pemanggangan kadar air semakin
menurun. Hal ini terjadi karena panas yang disalurkan melalui alat pemanggangan
akan menguapkan air yang terdapat dalam bahan yang dipanggang (Sitoresmi, 2012).
Tingkat penurunan kadar lemak bervariasi tergantung pada suhu dan waktu yang
digunakan. Pada dasarnya lemak tidak tahan panas, selama proses pengolahan lemak
akan mencair bahkan menguap (volatile). Semakin tinggi suhu dan lama
pemanggangan kadar protein makin berkurang. Penurunan kadar protein yang terjadi
diduga akan semakin besar sejalan dengan bertambahnya waktu pemanggangan. Hal
ini sesuai dengan penelitian Effendi (2009), semakin lama pemanggangan maka
semakin menurun kadar protein kasarnya yang mengakibatkan jumlah air bebas
hilang dan terjadinya koagulasi sehingga tekstur semakin memadat, seiring dengan
berlangsungnya pemanggangan protein akan mengalami denaturasi, sehingga
membentuk struktur yang lebih sederhana.
Perlakuan suhu dan lama pemanggangan tidak merusak kandungan mineral.
Menurut Palupi, dkk (2007), pada umumnya garam-garam mineral tidak berpengaruh
secara signifikan dengan perlakuan kimia dan fisik selama pengolahan. Adanya
oksigen dapat menyebabkan kemungkinan beberapa mineral bervalensi lebih tinggi.
e. Perebusan (Boiling)
Boiling adalah proses memasak makanan di dalam air mendidih, atau
memasakmakanan berbasis pada cairan. Boiling adalah mengolah bahan makanan
dengan cairan yang sedang mendidih (suhu 100 ºC). Ciri air yang sedang mendidih
ialah cairan akan menggelembung besar dan memecah diatas permukaan (quick
bubbling) dan jumlah cairan lebih banyak dari pada jumlah bahan makanan yang
dimasak. Cairan yang bias dipakai: air, susu, kaldu, santan. Perebusan dapat
menyebabkan kehilangan zat gizi karena selama proses perebusan bahan pangan
terendam dalam air sehingga beberapa zat gizi larut air seperti protein ikut terlarut
dalam air perebusan. Faktor yang mempengaruhi kehilangan zat gizi selama proses
perebusan adalah luas permukaan bahan, konsentrasi zat terlarut dalam air perebusan
dan adanya pengadukan air (Harris & Karmas, 1989).
Penelitian oleh Blessing & Gregory (2010) menyebutkan perebusan dengan
waktu yang lebih lama dapat meningkatkan kadar penyerapan air, protein kasar dan
kandungan karbohidrat. Kandungan protein akan semakin terdenaturasi sehingga
pecah menjadi asamasam amino yang lebih mudah tercerna. Hal serupa dilaporkan
oleh Anwa, dkk. (2007) bahwa perlakuan pemanasan dapat meningkatkan tingkat
kecernaan protein dengan terbukanya struktur-struktur protein akibat terjadinya
denaturasi. Namun, Famurewa & Raji (2011) berpendapat bahwa perlakuan
pemanasan dapat menyebabkan penurunan kualitas protein akibat proses denaturasi
dan reaksi Maillard pada suhu tinggi. Penggunaan metode perebusan dalam
pengolahan pangan memiliki kelebihan dan kekurangan sebagai berikut:

Keuntungan:

- Bahan makanan menjadi lebih mudah dicerna

- Metode ini cocok untuk memasak dalam skala besar

- Memperoleh cita rasa khas dari zat yang terkandung dalam bahan makanan
- Metode cukup aman dan sederhana, dapat membunuh bakteri patogen

- Panas yang tinggi selama proses perebusan dapat membuat sayuran cepat matang
meskipun waktu memasak Cuma sebentar.

Kelemahan:

- Kehilangan vitamin yang mudah larut dalam air

- Air perebus terkontaminasi oleh lapisan panci yang dapat larut, oleh sebab itu bahan
dan alat perebus harus sesuai sehingga tidak menimbulkan reaksi yang berbahaya

- Makanan terlihat kurang menarik apabila proses perebusan lama karena terjadi
perubahan warna sayuran hijau menjadi kusam dan kekuning-kekuningan
f. Pengukusan
Proses pengolahan bahan pangan atau proses pemasakan dengan cara
pemanasan telah banyak dilakukan oleh masyarakat, baik pada skala rumah tangga
maupun skala industri (Aisyah, et al., 2014). Proses pemasakan dengan pemanasan
berkaitan dengan suhu dan lama waktu dalam memasak, suhu yang tinggi dan waktu
memasak yang terlalu lama akan mengakibatkan terdenaturasinya kandungan protein
dan zat gizi lain dalam bahan pangan (Nguju, et al., 2018). Proses pemasakan dengan
pemanasan yang paling umum dilakukan adalah dengan pengukusan. Pengukusan
merupakan proses pemasakan dengan metode uap air panas yang dihasilkan oleh air
mendidih (Aisyah, et al., 2014). Menurut Harris dan Karmas (1989) pengukusan
adalah proses pemanasan yang sering diterapkan pada sistem jaringan sebelum
pembekuan, pengeringan, dan pengalengan. Tujuan proses pengukusan bergantung
pada tahapan selanjutnya, misalnya pengukusan sebelum pembekuan atau
pengeringan berfungsi untuk menonaktifkan enzim pada bahan pangan yang akan
menyebabkan perubahan warna, cita rasa, atau nilai gizi yang tidak diinginkan selama
penyimpanan. Pengukusan sebelum dilakuakn proses pengalengan berfungsi untuk
pelayuan jaringan sebelum penutupan kaleng dan menonaktifkan enzim (Harris &
Karmas, 1989).
Pemasakan dengan cara dikukus menyebabkan melelehnya lemak pada proses
pemasakan, tetapi kadar air lebih banyak dibandingkan dengan cara dipanggang atau
digoreng sehingga lemaknya relatif masih tinggi. Jika dibandingkan dengan proses
pegolahan bahan pangan dengan cara dipanggang atau digoreng, kadar air pada bahan
pangan (daging) pada proses pengukusan akan lebih tinggi karena terdapat
penambahan kadar air pada proses pengukusan (Nguju, et al., 2018). Proses
pengolahan dengan cara dikukus merupakan perlakuan yang terbaik untuk
menurunkan kadar kolesterol, karena kolesterol larut bersama dengan terlepasnya uap
air (Riyanto dkk., 2007). Pada penelitian yang dilakukan oleh Nguju, et al (2018)
bahwa pemasakan dengan cara dikukus menghasilkan skor rasa pada uji organoleptik
lebih tinggi dibandingkan dengan proses pemasakan dengan cara direbus, disebabkan
karena daging mengalami pematangan ketika air telah mendidih dan menghasilkan
uap air, sehingga daging yang dikukus lebih sedikit kehilangan vitamin dan zat gizi
lainya dibandingkan dengan daging yang direbus.
Penelitian yang dilakukan oleh Sulthoniyah, et al (2013) pada uji pengaruh suhu
pengukusan terhadap kadar albumin, protein, lemak, dan kadar air yaitu pada
pengukusan ikan gabus menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu pengukusan yang
digunakan rata-rata kadar albumin akan semakin rendah. Proses pengukusan dengan
menggunakan suhu yang tinggi menyebabkan kadar albumin menjadi rendah
dibandingkan dengan perlakuan yang lain. Selain itu, salah satu jenis asam amino
yang menyusun protein albumin pada ikan gabus dan kacang tanah yaitu lisin dapat
dengan mudah mengalami kerusakan karena panas. Semakin tinggi suhu pengukusan
yang digunakan mengakibatkan kadar protein pada abon ikan gabus semakin
menurun. Semakin tinggi suhu pengukusan, maka akan semakin menurunkan kadar
lemak pada ikan, dikarenakan lemak mengalami kerusakan dan jumlahnya menurun.
Hal ini sesuai dengan pendapat Palupi et al (2007) bahwa tingkat kerusakan lemak
bervariasi tergantung suhu yang digunakan dan waktu pengolahan. Sementara untuk
kadar air, semakin tinggi suhu pada proses pengukusan akan semakin meningkatkan
kadar air dalam makanan. Hal ini disebabkan proses pengukusan dengan suhu yang
semakin tinggi menyebabkan ikatan antara komponen bahan pangan pecah seperti
karbohidrat, lemak, dan protein, sehingga air akan berikatan dengan bahan tersebut
dan menyebabkan kadar airnya meningkat.
Pada tahap pengukusan, tinggi suhu cukup sampai mencapai titik didih saja.
Suhu yang terlalu tinggi akan menurunkan mutu rupa dan tekstur bahan (Anwar, et
al., 2018). Penelitian yang dilakukan oleh Anwar, et al (2018) membuktikan bahwa
kadar protein pada proses pengukusan lebih tinggi dibandingkan dengan perebusan,
yaitu sekitar 13,64%, sementara pada proses perebusan didapatkan kadar protein
sebesar 13,31%. Hal tersebut terjadi karena pada tahap perebusan, sebagian protein
pada ikan ikut larut bersama dengan air selama proses perebusan berlangsung,
sedangkan pada proses pengukusan, kadar protein tidak banyak mengalami
penyusutan dikarenakan pada proses pengukusan daging ikan tidak bersentuhan
secara langsung dengan air seperti pada saat perebusan. Manurut Anwar, et al (2018),
kadar lemak pada proses pengukusan lebih tinggi dibandingkan dengan kadar lemak
pada proses perebusan. Hal tersebut terjadi karena pada saat perebusan, lemak pada
daging ikan ikut larut bersama dengan air yang dipanaskan.

Gambar 1. Perbandingan lama pemanasan pada perebusan, pengukusan, dan penumisan


(penggorengan). Sumber: (Aisyah, et al., 2014).
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Aisyah, et al (2014) pada pengaruh
pemanasan terhadap sayuran membuktikan bahwa sayuran yang direbus akan lebih
cepat masak dibandingkan dengan sayuran yang dikukus. Hal tersebut terjadi karena
pada saat dikukus, sayuran tidak mengalami kontak langsung dengan air sebagai
medium penghantar panas, sehingga suhu pemasakan kurang merata jika
dibandingkan dengan memasak sayuran dengan proses perebusan.

2.2 Pengolahan Makanan dengan Suhu Rendah


Bahan pangan mempunyai suhu optimum untuk berlangsungnya proses metaboisme
normal. Penyimpanan yang lebih tinggi dari suhu optimum akan mempercepat proses
metabolisme yang mengarah pada pembusukan. Sedangkan suhu rendah dibawah 15 OC
merupakan suhu pendinginan efektif untuk pengawetan jangka pendek. Setiap penurunan
suhu 8 OC laju metaboisme akan berkurang setengahnya (wibowotomo, 2001). Faktor-faktor
yang dapat mempengaruhi mutu akhir makanan dengansuhu rendah misalnya kelembapan
lingkungan, suhu penyimpanan dan fluktuasi suhu, mutu makanan, waktu penyimpanan.
Pengolahan makanan dalam suhu rendah ada 2 yaitu:
a. Pendinginan
Penyimpanan dingin merupakan menyimpan makanan pada suhu -2 OC sampai 10 OC
yang diharapkan dapat memperpanjang masa simpan makanan. Penyimpanan suhu
rendah dapat memperlambat aktivitas metabolisme dan terhambatnya pertumbuhan
mikroba dan dapat mencegah reaksi kimia serta kehilangan air dari bahan makanan.
b. Pembekuan
Pembekuan merupakan penyimpanan makanan dalam keadaan beku, biasanya pada
suhu -12 OC sampai -40 OC. Pembekuan cepat (quick freezing) dilakukan pada suhu
-24 OC sampai -40 OC dalam waktu kurang dari 30 menit. Sedangkan pembekuan
lambat berlangsung selama 30-72 jam. Pembekuan cepat mempunyai beberapa
kelebihan dibandingkan cara lambat karena kristal es yang terbentuk kecil-kecil
sehingga kerusakan mekanis yang terjadi lebih sedikit, pencegahan pertumbuhan
mikroba juga berlangsung cepat dan kegiatan enzim cepat terhenti. Makanan yang
dubekukan dengan cara cepat mempunyai mutu ebih baik daripada pembekuan
lambat.
2.3 Pengolahan Makanan dengan Fermentasi
Fermentasi merupakan pengawetan makanan yang menggunakan mikroba tertentu
untuk menghasilkan asam atau komponen lain yang dapat menghambat mikroba perusak.
Asam yang terbnetuk sebagai hasil metabolisme mikroba inilah yang menyebabkan makanan
yang difermentasi menjadi awet. Organisme yang berperan dalam fermentasi makanan terdiri
dari golongan bakteri, kapang, khamir. Dalam pengawetan makanan terdapat 3 jenis
fermentasi, yaitu fermentasi alkoho, fermentasi asam laktat, fermentasi asam asetat.
Fermentasi asam asetat dan akohol menggunakan gula sebagai substrat. Sedangkan
fermentasi asam laktat menggunakan garam sebagai substrat. Faktor yang mempengaruhi
proses fermentasi adalah kondisi lingkungan, jumlah dan jenis mikroorganisme, kebersihan,
konsentrasi dan dustribusi substrat, suhu, dan penutupan wadah.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pengolahan pangan adalah salah satu usaha untuk mengawetkan bahan pangan yang
bertujuan untuk memperpanjang masa simpan dan mengubah bahan mentah menjadi produk
olahan yang dapat meningkatkan minat konsumen. Proses pengolahan pangan dengan suhu
tinggi, meliputi; blanching, pasteurisasi, sterilisasi, pemanggangan (roasting), perebusan, dan
pengukusan. Pengolahan pangan dengan suhu rendah, meliputi; pendinginan dan pembekuan.
Terdapat juga pengolahan pangan dengan cara fermentasi. Masing-masing proses pengolahan
pangan dengan suhu tinggi tersebut akan memengaruhi zat gizi pada bahan pangan.
Pengolahan dengan suhu rendah (dibawah suhu 15°C bertujuan untuk pengawetan jangka
pendek), sementara pengolahan dengan fermentasi bertujuan untuk mengawetkan makanan
yang menggunakan mikroba tertentu untuk menghasilkan asam atau komponen lain yang
dapat menghambat mikroba perusak.
DAFTAR RUJUKAN

Aisyah, Y., Rasdiansyah., & Muhaimin. 2014. Pengaruh Pemanasan Terhadap Aktivitas
Antioksidan Pada Beberapa Jenis Sayuran. Jurnal Teknologi dan Industri Pertanian
Indonesia.
Anwa, E. P., Auta, J., Abudullahi, S. A., Bolorunduro, P. I. 2007. Effect of Processing on
Seeds of Albizzia Lebbeck: Proximate Analysis and Phytochemical Screening. Res. J.
Bio Sci., 2(1): 41-44.

Anwar, C., Irhami., & Kemalawaty, M. 2018. Pengaruh Jenis Ikan dan Metode Pemasakan
terhadap Mutu Abon Ikan. FishtecH – Jurnal Teknologi Hasil Perikanan ISSN: 2 302 –
6936, Vol. 7 , No. 2 : 1 38 - 1 47, November 2018.

Blessing, I. A. & Gregory, I. O. 2010. Effect of Processing on The Proximate Composition of


The Dehulled and Undehulled Mungbean [Vigna radiata (L.) Wilczek] Flours.
Journal of Nutrition, 9 (10) : 1006-1016.

Buckle, K. A. 1985. Ilmu Pangan. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.

Effendi, M. S. 2009. Teknologi Pengolahan dan Pengawetan Pangan. Bandung: CV


Alfabeta.

Estiasih, T. & Ahmadi. 2009. Teknologi Pengolahan Pangan. Jakarta: PT Bumi Aksara.

Famurewa, J. A. V. & Raji, A. O. 2011. Effect of drying methods on the physico-chemical


properties of soyflour. African Journal of Biotechnology, 10(25) : 5015-5019.

Fellow, A. P. 2000. Food Processing Technology, Principles and Practice. England: Pub.
Lim. Cambridge.

Fennema, O. R. 1996. Food Chemistry 3th edition. New York: Marcel Dekker Inc.

Harris, R. S. & Karmas, E. 1989. Evaluasi Gizi Pada Pengolahan Bahan Pangan. Bandung:
Institut Teknologi Bandung.

Koeswardhani, dkk., 2006. Pengantar Teknologi Pangan. Jakarta: Universitas Terbuka.

Nguju, A. L., Kale, P. R., Sabtu, B, 2018. Pengaruh Cara Memasak yang Berbeda terhadap
Kadar Protein, Lemak, Kolesterol, dan Rasa Daging Sapi Bali. Jurnal Nukleus
Peternakan. Volume 5, No. 1:17 – 23.
Palupi, dkk. 2007. Pengaruh Pengolahan Terhadap Nilai Gizi Pangan. Bogor: Departemen
Ilmu & Teknologi Pangan-IPB.

Samsudin, R. 2003. Pengaruh Penggorengan Terhadap Kualitas Protein Beberapa Jenis


Ikan. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Sitoresmi, M. A. 2012. Pengaruh Lama Pemanggangan dan Ukuran Tebal Tempe Terhadap
Komposisi Proksimat Tempe Kedelai. Surakarta: Universitas Muhammadiyah
Surakarta.

Sulthoniyah, S. T. M., Sulistiyati, T. D., & Suprayitno, E. 2012. Pengaruh Suhu Pengukusan
Terhadap Kandungan Gizi dan Organoleptik Abon Ikan Gabus (Ophiocephalus
Striatus). THPI Student Journal, Vol. I No. 1 Pp 33-45 Universitas Brawijaya.
Wibowotomo, Budi. 2001. Pengawetan Makanan. Departemen Pendidikan Nasional.
Universitas Negeri Malang.
Winarno, F.G., Fardiaz, S. & Fardiaz, D. 1984. Pengantar Teknologi Pangan. Jakarta:
Penerbit Gramedia.

Anda mungkin juga menyukai