Makalah
Disusun untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Analisis Pengolahan Pangan yang dibina oleh
Dra. Hj. Nursasi Handayani, M.Si dan Yunita Rakhmawati, S.Gz., M.Kes
Disusun Oleh :
JURUSAN BIOLOGI
Januari 2020
BAB I
PENDAHULUAN
Bahan pangan tidak selalu dikonsumsi dalam bentuk segar, tetapi sering kali dalam
bentuk olahan. Hal ini dikarenakan bahan pangan segar, terutama sayuran, buah-buahan, hasil
peternakan, dan hasil perikanan mempunyai umur simpan yang relatif singkat. Bahan pangan
segar hasil panen apabila dibiarkan begitu saja akan mengalami perubahan akibat pengaruh
faktor-faktor fisiologis, mekanik, fisik, kimiawi, parasitik ataupun mikrobiologi (Buckle,
1985). Perubahan akibat dari faktor-faktor tersebut ada yang menguntungkan, tetapi lebih
banyak yang merugikan.
Pengolahan pangan adalah salah satu usaha untuk mengawetkan bahan pangan yang
bertujuan selain memperpanjang masa simpan, juga untuk penganekaragaman pangan. Selain
itu, pengolahan pangan juga bertujuan untuk dapat mengubah bahan mentah menjadi produk
yang lebih disukai konsumen atau produk yang lebih sesuai dengan kebutuhan konsumen
(Winarno, dkk., 1984). Berbagai macam pengolahan bahan pangan antara lain pengolahan
dengan suhu tinggi, suhu rendah, fermentasi, teknik radiasi, dan menggunakan prinsip fisiko-
kimia (Koeswardhani, dkk., 2006).
Pengolahan pangan dengan suhu tinggi, yaitu pengolahan yang dilakukan dengan
pemanasan di atas suhu normal atau suhu ruang, misalnya blanching, pasteurisasi dan
sterilisasi. Sebaliknya, pengolahan pangan dengan suhu rendah, yaitu fengolahan atau
pengawetan yang dilakukan pada suhu di bawah suhu normal (suhu ruang), misalnya
pendinginan dan pembekuan. Pengolahan pangan yang bertujuan mengubah komposisi
kimiawi dari bahan baku menjadi bahan pangan yang memiliki komposisi sesuai dengan yang
dikehendaki dapat dilakukan dengan cara fermentasi. Ada juga pengolahan pangan dengan
cara aplikasi teknologi menggunakan prinsip fisiko kimia, misalnya ekstrusi. Hal yang perlu
diperhatikan sebelum melakukan proses pengolahan, yaitu komposisi kimia bahan pangan itu
sendiri (Estiasi & Ahmadi, 2009).
1.2 Tujuan
Keuntungan:
- Memperoleh cita rasa khas dari zat yang terkandung dalam bahan makanan
- Metode cukup aman dan sederhana, dapat membunuh bakteri patogen
- Panas yang tinggi selama proses perebusan dapat membuat sayuran cepat matang
meskipun waktu memasak Cuma sebentar.
Kelemahan:
- Air perebus terkontaminasi oleh lapisan panci yang dapat larut, oleh sebab itu bahan
dan alat perebus harus sesuai sehingga tidak menimbulkan reaksi yang berbahaya
- Makanan terlihat kurang menarik apabila proses perebusan lama karena terjadi
perubahan warna sayuran hijau menjadi kusam dan kekuning-kekuningan
f. Pengukusan
Proses pengolahan bahan pangan atau proses pemasakan dengan cara
pemanasan telah banyak dilakukan oleh masyarakat, baik pada skala rumah tangga
maupun skala industri (Aisyah, et al., 2014). Proses pemasakan dengan pemanasan
berkaitan dengan suhu dan lama waktu dalam memasak, suhu yang tinggi dan waktu
memasak yang terlalu lama akan mengakibatkan terdenaturasinya kandungan protein
dan zat gizi lain dalam bahan pangan (Nguju, et al., 2018). Proses pemasakan dengan
pemanasan yang paling umum dilakukan adalah dengan pengukusan. Pengukusan
merupakan proses pemasakan dengan metode uap air panas yang dihasilkan oleh air
mendidih (Aisyah, et al., 2014). Menurut Harris dan Karmas (1989) pengukusan
adalah proses pemanasan yang sering diterapkan pada sistem jaringan sebelum
pembekuan, pengeringan, dan pengalengan. Tujuan proses pengukusan bergantung
pada tahapan selanjutnya, misalnya pengukusan sebelum pembekuan atau
pengeringan berfungsi untuk menonaktifkan enzim pada bahan pangan yang akan
menyebabkan perubahan warna, cita rasa, atau nilai gizi yang tidak diinginkan selama
penyimpanan. Pengukusan sebelum dilakuakn proses pengalengan berfungsi untuk
pelayuan jaringan sebelum penutupan kaleng dan menonaktifkan enzim (Harris &
Karmas, 1989).
Pemasakan dengan cara dikukus menyebabkan melelehnya lemak pada proses
pemasakan, tetapi kadar air lebih banyak dibandingkan dengan cara dipanggang atau
digoreng sehingga lemaknya relatif masih tinggi. Jika dibandingkan dengan proses
pegolahan bahan pangan dengan cara dipanggang atau digoreng, kadar air pada bahan
pangan (daging) pada proses pengukusan akan lebih tinggi karena terdapat
penambahan kadar air pada proses pengukusan (Nguju, et al., 2018). Proses
pengolahan dengan cara dikukus merupakan perlakuan yang terbaik untuk
menurunkan kadar kolesterol, karena kolesterol larut bersama dengan terlepasnya uap
air (Riyanto dkk., 2007). Pada penelitian yang dilakukan oleh Nguju, et al (2018)
bahwa pemasakan dengan cara dikukus menghasilkan skor rasa pada uji organoleptik
lebih tinggi dibandingkan dengan proses pemasakan dengan cara direbus, disebabkan
karena daging mengalami pematangan ketika air telah mendidih dan menghasilkan
uap air, sehingga daging yang dikukus lebih sedikit kehilangan vitamin dan zat gizi
lainya dibandingkan dengan daging yang direbus.
Penelitian yang dilakukan oleh Sulthoniyah, et al (2013) pada uji pengaruh suhu
pengukusan terhadap kadar albumin, protein, lemak, dan kadar air yaitu pada
pengukusan ikan gabus menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu pengukusan yang
digunakan rata-rata kadar albumin akan semakin rendah. Proses pengukusan dengan
menggunakan suhu yang tinggi menyebabkan kadar albumin menjadi rendah
dibandingkan dengan perlakuan yang lain. Selain itu, salah satu jenis asam amino
yang menyusun protein albumin pada ikan gabus dan kacang tanah yaitu lisin dapat
dengan mudah mengalami kerusakan karena panas. Semakin tinggi suhu pengukusan
yang digunakan mengakibatkan kadar protein pada abon ikan gabus semakin
menurun. Semakin tinggi suhu pengukusan, maka akan semakin menurunkan kadar
lemak pada ikan, dikarenakan lemak mengalami kerusakan dan jumlahnya menurun.
Hal ini sesuai dengan pendapat Palupi et al (2007) bahwa tingkat kerusakan lemak
bervariasi tergantung suhu yang digunakan dan waktu pengolahan. Sementara untuk
kadar air, semakin tinggi suhu pada proses pengukusan akan semakin meningkatkan
kadar air dalam makanan. Hal ini disebabkan proses pengukusan dengan suhu yang
semakin tinggi menyebabkan ikatan antara komponen bahan pangan pecah seperti
karbohidrat, lemak, dan protein, sehingga air akan berikatan dengan bahan tersebut
dan menyebabkan kadar airnya meningkat.
Pada tahap pengukusan, tinggi suhu cukup sampai mencapai titik didih saja.
Suhu yang terlalu tinggi akan menurunkan mutu rupa dan tekstur bahan (Anwar, et
al., 2018). Penelitian yang dilakukan oleh Anwar, et al (2018) membuktikan bahwa
kadar protein pada proses pengukusan lebih tinggi dibandingkan dengan perebusan,
yaitu sekitar 13,64%, sementara pada proses perebusan didapatkan kadar protein
sebesar 13,31%. Hal tersebut terjadi karena pada tahap perebusan, sebagian protein
pada ikan ikut larut bersama dengan air selama proses perebusan berlangsung,
sedangkan pada proses pengukusan, kadar protein tidak banyak mengalami
penyusutan dikarenakan pada proses pengukusan daging ikan tidak bersentuhan
secara langsung dengan air seperti pada saat perebusan. Manurut Anwar, et al (2018),
kadar lemak pada proses pengukusan lebih tinggi dibandingkan dengan kadar lemak
pada proses perebusan. Hal tersebut terjadi karena pada saat perebusan, lemak pada
daging ikan ikut larut bersama dengan air yang dipanaskan.
Aisyah, Y., Rasdiansyah., & Muhaimin. 2014. Pengaruh Pemanasan Terhadap Aktivitas
Antioksidan Pada Beberapa Jenis Sayuran. Jurnal Teknologi dan Industri Pertanian
Indonesia.
Anwa, E. P., Auta, J., Abudullahi, S. A., Bolorunduro, P. I. 2007. Effect of Processing on
Seeds of Albizzia Lebbeck: Proximate Analysis and Phytochemical Screening. Res. J.
Bio Sci., 2(1): 41-44.
Anwar, C., Irhami., & Kemalawaty, M. 2018. Pengaruh Jenis Ikan dan Metode Pemasakan
terhadap Mutu Abon Ikan. FishtecH – Jurnal Teknologi Hasil Perikanan ISSN: 2 302 –
6936, Vol. 7 , No. 2 : 1 38 - 1 47, November 2018.
Estiasih, T. & Ahmadi. 2009. Teknologi Pengolahan Pangan. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Fellow, A. P. 2000. Food Processing Technology, Principles and Practice. England: Pub.
Lim. Cambridge.
Fennema, O. R. 1996. Food Chemistry 3th edition. New York: Marcel Dekker Inc.
Harris, R. S. & Karmas, E. 1989. Evaluasi Gizi Pada Pengolahan Bahan Pangan. Bandung:
Institut Teknologi Bandung.
Nguju, A. L., Kale, P. R., Sabtu, B, 2018. Pengaruh Cara Memasak yang Berbeda terhadap
Kadar Protein, Lemak, Kolesterol, dan Rasa Daging Sapi Bali. Jurnal Nukleus
Peternakan. Volume 5, No. 1:17 – 23.
Palupi, dkk. 2007. Pengaruh Pengolahan Terhadap Nilai Gizi Pangan. Bogor: Departemen
Ilmu & Teknologi Pangan-IPB.
Sitoresmi, M. A. 2012. Pengaruh Lama Pemanggangan dan Ukuran Tebal Tempe Terhadap
Komposisi Proksimat Tempe Kedelai. Surakarta: Universitas Muhammadiyah
Surakarta.
Sulthoniyah, S. T. M., Sulistiyati, T. D., & Suprayitno, E. 2012. Pengaruh Suhu Pengukusan
Terhadap Kandungan Gizi dan Organoleptik Abon Ikan Gabus (Ophiocephalus
Striatus). THPI Student Journal, Vol. I No. 1 Pp 33-45 Universitas Brawijaya.
Wibowotomo, Budi. 2001. Pengawetan Makanan. Departemen Pendidikan Nasional.
Universitas Negeri Malang.
Winarno, F.G., Fardiaz, S. & Fardiaz, D. 1984. Pengantar Teknologi Pangan. Jakarta:
Penerbit Gramedia.