Oleh:
Nama : UMAR SYARIF, S. Kep.
NIM : 1902093
Laporan pendahuluan pada kasus “Cidera Otak Berat”. Telah dibuat pada tanggal
17 februari 2020 pada pasien di ruang intalasi gawat Darurat (IGD) Rumah Sakit
Daerah dr. Soebandi Jember
(...........................................................) (.............................................................)
NIP. NIK.
Kepala Ruangan,
(.........................................................)
NIP.
LAPORAN PENDAHULUAN
PADA PASIEN DENGAN CIDERA OTAK BERAT
1.1 Pengertian
A. Anatomi dan Fisiologi Otak
2. Arachnoid membran
Arachnoid membran merupakan lapisan bagian tengah yang bentuknya
seperti jaringan laba-laba. Sifat lapisan ini lembut, berongga-rongga, dan terletak
dibawah lapisan durameter.
3. Piameter
Piameter merupakan lapisan pelindung yang terletak pada lapisan paling
bawah (paling dekat dengan otak, sumsum tulang belakang, dan melindungi
jaringan-jaringan saraf lain). Lapisan ini mengandung pembuluh darah yang
mengalir di otak dan sumsum tulang belakang. Antara piameter dan membran
arachnoid terdapat bagian yang disebut dengan subarachnoid space (ruang sub-
arachnoid) yang dipenuhi oleh cairan serebrospinal (CSS) (Sidharta P, Mardjono
M., 2005).
1.2 Etiologi
Cidera kepala paling sering akibat dari trauma. Mekanisme terjadinya cidera
kepala berdasarkan terjadinya benturan terbagi menjadi beberapa menurut
Dewanto, George (2009) yaitu sebagai berikut:
a. Akselerasi: Jika benda bergerak membentur kepala yang diam, misalnya pada
orang yang diam kemudian dipukul atau dilempari batu.
b. Deselerasi: Jika kepala bergerak membentur kepala yang diam, misalnya pada
kepala yang terbentur benda padat.
c. Akselerasi-deselerasi: Terjadi pada kcelakaan bermotor dengan kekerasan
fisik antara tubuh dan kendaraan yang berjalan
d. Coup-counter coup: Jika kepala terbentur dan menyebabkan otak bergerak
dalam ruang intracranial dan menyebabkan cedera pada area yang berlawanan
dengan yang terbentur dan area yang pertama terbentur.
e. Rotasional: Benturan yang menyebabkan otak berputar dalam rongga
tengkorak, yang mengakibatkan meregang dan robeknya pembuluh darah dan
neuron yang memfiksasi otak dengan bagian dalam tengkorak.
1.4 Patofisiologi
Berdasarkan patofisiologinya cedera kepala dapat digolongkan menjadi 2
proses yaitu cedera kepala primer dan cedera kepala sekunder.Cedera otak primer
adalah cedera yang terjadi saat atau bersamaan dengan kejadian trauma dan
merupakan suatu fenomena mekanik. Umumnya menimbulkan lesi permanen.
Tidak banyak yang bisa dilakukan kecuali membuat fungsi stabil, sehingga sel-sel
yang sedang sakit bisa mengalami proses penyembuhan yang optimal. Cedera
primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar pada
permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau hemoragi karena
terjatuh, dipukul, kecelakaan dan trauma saat lahir yang bisa mengakibatkan
terjadinya gangguan pada seluruh sistem dalam tubuh.
Cedera otak sekunder merupakan hasil dari proses yang berkelanjutan sesudah
atau berkaitan dengan cedera primer dan lebih merupakan fenomena metabolik
sebagai akibat, cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi
serebral dikurangi atau tak ada pada area cedera. Cidera kepala terjadi karena
beberapa hal diantanya, bila trauma ekstrakranial akan dapat menyebabkan
adanya leserasi pada kulit kepala selanjutnya bisa perdarahan karena mengenai
pembuluh darah. Karena perdarahan yang terjadi terus- menerus dapat
menyebabkan hipoksia, hiperemi peningkatan volume darah pada area
peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasiarterial, semua menimbulkan
peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan intrakranial (TIK),
adapun, hipotensi namun bila trauma mengenai tulang kepala akan
menyebabkanrobekan dan terjadi perdarahan juga. Cidera kepala intrakranial
dapat mengakibatkan laserasi, perdarahan dan kerusakan jaringan otak bahkan
bisa terjadi kerusakan susunan syaraf kranial terutama motorik yang
mengakibatkan terjadinya gangguan dalam mobilitas (Nasir Muhammad, 2012).
1.6 Komplikasi
1. Peningkatan tekanan intrakranial, yaitu tekanan yang terjadi pada ruang
serebral akibat bertambahnya volume otak melebihi ambang toleransi
dalam ruang kranium. Hal ini dapat disebabkan karena edema serebri
dan perdarahan serebral.
2. Edema serebri, merupakan keadaan gejala patologis, radiologis, maupun
tampilan intraoperatif dimana keadaan ini mempunyai peranan yang
sangat bermakna pada kejadian pergeseran otak (brain shift) dan peningkatan
tekanan intrakranial
3. Kompresi batang otak sehingga mengakibatkan kematian
4. Subdural Hematom
Perdarahan subdural ialah perdarahan yang terjadi diantara duramater
dan araknoid. Perdarahan subdural dapat berasal dari: Ruptur Bridging vein
yaitu vena yang berjalan dari ruangan subaraknoid atau korteks serebri
melintasi ruangan subdural dan bermuara di dalam sinus venosus dura mater,
Robekan pembuluh darah kortikal, subaraknoid, atau araknoid.
Hematoma subdural adalah penimbunan darah di dalam rongga
subdural (di antara duramater dan arakhnoid). Perdarahan ini sering terjadi
akibat robeknya vena-vena jembatan yang terletak antara kortek cerebri dan
sinus venous tempat vena tadi bermuara, namun dapat terjadi juga akibat
laserasi pembuluh arteri pada permukaan otak. Perdarahan subdural paling
sering terjadi pada permukaan lateral hemisferium dan sebagian di daerah
temporal, sesuai dengan distribusi bridging veins. Perdarahan subdural juga
menutupi seluruh permukaan hemisfer otak dan kerusakan otak dibawahnya
berat (Muttaqin, 2008).
Gambar Subdural Hematoma
5. Epidural Hematom
Epidural hematom adalah salah satu akibat yang ditimbulkan dari sebuah
traumakepala (Andrews, 2000). Epidural hematom (EDH) adalah perdarahan yang
terbentuk di ruang potensial antara tabula interna dan duramater. Paling sering
terletak diregio temporal atau temporalparietal dan sering akibat robeknya
pembuluh meningeal media. Perdarahan biasanya dianggap berasal arterial,
namun mungkin sekunder dari perdarahan vena pada 1/3 kasus (Agamanolis,
2003). Kadang-kadang, hematoma epidural mungkin akibat robeknya sinus vena,
terutama diregio parietal-oksipital atau fossa posterior (Vacca 2007, dalam
Smeltzer & Bare, 2010) . Epidural hematom adalah hematom/perdarahan yang
terletak antara durameter dan tubula interna/lapisan bawah tengkorak, dan
sering terjadi pada lobustemporal dan paretal (Smeltzer & Bare, 2010).
Epidural hematom sebagai keadaan neurologis yang bersifat emergency dan
biasanya berhubungan dengan linear fraktur yang memutuskan arteri yang lebih
besar, sehingga menimbulkan perdarahan (Japardi, 2004).
1.7 Penatalaksanaan
a. Perawatan sebelum ke Rumah Sakit
1) Stabilisasi terhadap kondisi yang mengancam jiwa dan lakukan terapi
suportif dengan mengontrol jalan nafas dan tekanan darah.
2) Berikan O2 dan monitor
3) Berikan cairan kristaloid untuk menjaga tekanan darah sistolik tidak
kurang dari 90 mmHg.
4) Pakai intubasi, berikan sedasi dan blok neuromuskuler
5) Stop makanan dan minuman
6) Imobilisasi
7) Kirim kerumah sakit.
b. Perawatan di bagian Emergensi
1) Pasang oksigen (O2), monitor dan berikan cairan kristaloid untuk
mempertahankan tekanan sistolik diatas 90 mmHg.
2) Pakai intubasi, dengan menggunakan premedikasi lidokain dan obat-
obatan sedative misalnya etomidate serta blok neuromuskuler. Intubasi
digunakan sebagai fasilitas untuk oksigenasi, proteksi jalan nafas dan
hiperventilasi bila diperlukan.
3) Elevasikan kepala sekitar 30O setelah spinal dinyatakan aman atau
gunakan posis trendelenburg untuk mengurangi tekanan intra kranial dan
untuk menambah drainase vena.
4) Berikan manitol 0,25-1 gr/ kg iv. Bila tekanan darah sistolik turun sampai
90 mmHg dengan gejala klinis yang berkelanjutan akibat adanya
peningkatan tekanan intra kranial.
5) Hiperventilasi untuk tekanan parsial CO2 (PCO2) sekitar 30 mmHg
apabila sudah ada herniasi atau adanya tanda-tanda peningkatan tekanan
intrakranial (ICP).
6) Berikan phenitoin untuk kejang-kejang pada awal post trauma, karena
phenitoin tidak akan bermanfaat lagi apabila diberikan pada kejang
dengan onset lama atau keadaan kejang yang berkembang dari kelainan
kejang sebelumnya.
c. Terapi obat-obatan:
1) Gunakan Etonamid sebagai sedasi untuk induksi cepat, untuk
mempertahankan tekanan darah sistolik, dan menurunkan tekanan
intrakranial dan metabolisme otak. Pemakaian tiophental tidak
dianjurkan, karena dapat menurunkan tekanan darah sistolik. Manitol
dapat digunakan untuk mengurangi tekanan intrakranial dan
memperbaiki sirkulasi darah. Phenitoin digunakan sebagai obat
propilaksis untuk kejang – kejang pada awal post trauma. Pada beberapa
pasien diperlukan terapi cairan yang cukup adekuat yaitu pada keadaan
tekanan vena sentral (CVP) > 6 cmH2O, dapat digunakan norephinephrin
untuk mempertahankan tekanan darah sistoliknya diatas 90 mmHg.
2) Diuretik Osmotik: Misalnya Manitol : Dosis 0,25-1 gr/ kg BB iv.
Kontraindikasi pada penderita yang hipersensitiv, anuria, kongesti paru,
dehidrasi, perdarahan intrakranial yang progreasiv dan gagal jantung
yang progresiv. Fungsi: Untuk mengurangi edema pada otak,
peningkatan tekanan intrakranial, dan mengurangi viskositas darah,
memperbaiki sirkulasi darah otak dan kebutuhan oksigen.
3) Antiepilepsi. Misalnya Phenitoin : Dosis 17 mg/ kgBB iv, tetesan tidak
boleh berlebihan dari 50 (Dilantin) mg/menit. Kontraindikasi; pada
penderita hipersensitif, pada penyakit dengan blok sinoatrial, sinus
bradikardi, dan sindrom Adam-Stokes. Fungsi: Untuk mencegah
terjadinya kejang pada awal post trauma.
d. Terapi yang perlu diperhatikan
1) Airway dan Breathing
Perhatikan adanya apneu. Penderita mendapat ventilasi dengan oksigen
100% sampai diperoleh AGD dan dapat dilakukan penyesuaian yang tepat
terhadap FiO2.Tindakan hiperventilasi dilakukan hati-hati untuk mengoreksi
asidosis dan menurunkan secara cepat TIK pada penderita dengan pupil yang telah
berdilatasi. PCO2 harus dipertahankan antara 25-35 mmhg.
2) Circulation
Hipotensi dan hipoksia adalah merupakan penyebab utama terjadinya
perburukan pada cedera otak sedang. Hipotensi merupakan petunjuk adanya
kehilangan darah yang cukup berat, walaupun tidak tampak. Jika terjadi
hipotensi maka tindakan yang dilakukan adalah menormalkan tekanan darah.
Lakukan pemberian cairan untuk mengganti volume yang hilang sementara
penyebab hipotensi dicari.
3) Disability (pemeriksaan neurologis)
Pada penderita hipotensi pemeriksaan neurologis tidak dapat dinilai sebagai
data akurat, karena penderita hipotensi yang tidak menunjukkan respon
terhadap stimulus apapun, ternyata menjadi normal kembali segera tekanan
darahnya normal. Pemeriksaan neurologis meliputi pemeriksaan GCS dan
reflek cahaya pupil. GCS diukur untuk menilai respon pasien yang
menunjukkan tingkat kesadaran pasien. GCS didapat dengan berinteraksi
dengan pasien, secara verbal atau dengan rangsang nyeri pada pangkal kuku
atau anterior ketiak. Pada pasien dengan cedera otak sedang perlu dilakukan
pemeriksaan GCS setiap setengah jam sekali idealnya. Untuk mendapatkan
keseragaman dari penilaian tingkat kesadaran secara kwantitatif (yang
sebelumnya tingkat kesadaran diukur secara kwalitas seperti apatis, somnolen
dimana pengukuran seperti ini didapatkan hasil yang tidak seragam antara
satu pemeriksaan dengan pemeriksa yang lain) maka dilakukan pemeriksaan
dengan skala kesadaran secara glasgow, ada 3 macam indikator yang
diperiksa yaitu reaksi membuka mata, reaksi verbal, reaksi motorik.
Glasgow Coma Scale Nilai
Respon membuka mata (E)
Buka mata spontan 4
Buka mata bila dipanggil/rangsangan suara 3
Buka mata bila dirangsang nyeri 2
Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun 1
2. Etiologi
Menurut Nasir Muhammad (2012) penyebab terjadi perdarahan di otak dapat
disebebkan oleh berbagai hal, diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Penyakit pembuluh darah kecil: aterosklerosis, amiloid angiopati, genetik
b. Malformasi pembuluh darah: malformasi arteriovenous, malfomasi cavernous
c. Aneurisma intracranial
d. Penakit vena : sinus serebral/ trombosis vena, dural arteriovenous fistula
e. Reversible cerebral
f. Sindrom vasokontriksi
g. Sindrom moyamoya
h. Inflamasi: vaskulitis, aneurisma mikotik
i. Penyakit maligna: tumor otak, metastasis serebral
j. Koagulopati: genetik, diturunkan/iatrogenik
k. Pengobatan vasoaktif
l. Serangan jantung karena perdarahan
m. Trauma kepala : fraktur tengkorak dan luka penetrasi (luka tembak) dapat
merusak arteri dan menyebabkan perdarahan.
n. Hipertensi : peningkatan tekanan darah menyebabkan penyempitan arteri
yang kemudian pecahnya arteri di otak
o. Terapi pengenceran darah : obat seperti coumadin, heparin, dan warafin yang
digunakan untuk pengobatan jantung dan kondisi stroke
p. Kehamilan: eklamsia, trombosis vena
q. Merokok
r. Tidak diketahui
3. Manifestasi Klinik
Intracerebral hemorrhage mulai dengan tiba-tiba. Dalam sekitar setengah
orang, hal itu diawali dengan sakit kepala berat, seringkali selama aktifitas.
Meskipun begitu, pada orang tua, sakit kepala kemungkinan ringan atau tidak ada
Dugaan gejala terbentuknya disfungsi otak dan menjadi memburuk sebagaimana
peluasan pendarahaan.
Beberapa gejala, seperti lemah, lumpuh, kehilangan perasa, dan mati rasa,
seringkali mempengaruhi hanya salah satu bagian tubuh. orang kemungkinan
tidak bisa berbicara atau menjadi pusing. Penglihatan kemungkinan terganggu
atau hilang. Mata bisa di ujung perintah yang berbeda atau menjadi lumpuh. Pupil
bisa menjadi tidak normal besar atau kecil. Mual, muntah, serangan, dan
kehilangan kesadaran adalah biasa dan bisa terjadi di dalam hitungan detik sampai
menit. Menurut Corwin (2009) manifestasi klinik dari dari Intra cerebral
Hematom yaitu :
a. Kesadaran mungkin akan segera hilang, atau bertahap seiring dengan
membesarnya hematom.
b. Pola pernapasaan dapat secara progresif menjadi abnormal.
c. Respon pupil mungkin lenyap atau menjadi abnormal.
d. Dapat timbul muntah-muntah akibat peningkatan tekanan intra cranium.
e. Perubahan perilaku kognitif dan perubahan fisik pada berbicara dan gerakan
motorik dapat timbul segera atau secara lambat.
f. Nyeri kepala dapat muncul segera atau bertahap seiring dengan peningkatan
tekanan intra cranium.
4. Patofisiologi
Perdarahan intraserebral ini dapat disebabkan oleh karena ruptur arteria
serebri yang dapat dipermudah dengan adanya hipertensi. Keluarnya darah dari
pembuluh darah didalam otak berakibat pada jaringan disekitarnya atau
didekatnya, sehingga jaringan yang ada disekitarnya akan bergeser dan tertekan.
Darah yang keluar dari pembuluh darah sangat mengiritasi otak, sehingga
mengakibatkan vosospasme pada arteri disekitar perdarahan, spasme ini dapat
menyebar keseluruh hemisfer otak dan lingkaran willisi, perdarahan aneorisma-
aneorisma ini merupakan lekukan-lekukan berdinding tipis yang menonjol pada
arteri pada tempat yang lemah. Makin lama aneorisme makin besar dan kadang-
kadang pecah saat melakukan aktivitas. Dalam keadaan fisiologis pada orang
dewasa jumlah darah yang mengalir ke otak 58 ml/menit per 100 gr jaringan otak.
Bila aliran darah ke otak turun menjadi 18 ml/menit per 100 gr jaringan otak akan
menjadi penghentian aktifitas listrik pada neuron tetapi struktur sel masih baik,
sehingga gejala ini masih revesibel. Oksigen sangat dibutuhkan oleh otak
sedangkan O2 diperoleh dari darah, otak sendiri hampir tidak ada cadangan O2
dengan demikian otak sangat tergantung pada keadaan aliran darah setiap saat.
Bila suplay O2 terputus 8-10 detik akan terjadi gangguan fungsi otak, bila lebih
lama dari 6-8 menit akan tejadi jelas/lesi yang tidak putih lagi (ireversibel) dan
kemudian kematian. Perdarahan dapat meninggikan tekanan intrakranial dan
menyebabkan ischemi didaerah lain yang tidak perdarahan, sehingga dapat
berakibat mengurangnya aliran darah ke otak baik secara umum maupun lokal.
Timbulnya penyakit ini sangat cepat dan konstan dapat berlangsung beberapa
menit, jam bahkan beberapa hari. (Corwin, 2009).
5. Pemeriksaan Penunjang
1. CT-scan: memperhatikan adanya edema, hematoma.
e. Bladder : Pada cidera kepala dan abdomen sering terjadi gangguan berupa
retensi, inkontinensia urin, ketidakmampuan menahan miksi.
f. Bowel : Terjadi penurunan fungsi pencernaan: bising usus lemah, mual,
muntah (mungkin proyektil), kembung dan mengalami perubahan selera.
Gangguan menelan (disfagia) dan terganggunya proses eliminasi alvi.
g. Bone :Pasien cidera kepala sering datang dalam keadaan parese, paraplegi.
Pada kondisi yang lama dapat terjadi kontraktur karena imobilisasi dan dapat
pula terjadi spastisitas atau ketidakseimbangan antara otot-otot antagonis
yang terjadi karena rusak atau putusnya hubungan antara pusat saraf di otak
dengan refleks pada spinal selain itu dapat pula terjadi penurunan tonus otot.
h. Terapi, pemeriksaan penunjang & laboratorium