Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN PENDAHULUAN

PADA PASIEN DENGAN CIDERA OTAK BERAT (COB) DI


RUANG INTALASI GAWAT DARURAT (IGD) RUMAH SAKIT
DAERAH dr. SOEBANDI JEMBER

Oleh:
Nama : UMAR SYARIF, S. Kep.

NIM : 1902093

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN dr. SOEBANDI JEMBER
YAYASAN JEMBER INTERNATIONAL SCHOOL (JIS)
2019/2020
PERSETUJUAN

Laporan pendahuluan pada kasus “Cidera Otak Berat”. Telah dibuat pada tanggal
17 februari 2020 pada pasien di ruang intalasi gawat Darurat (IGD) Rumah Sakit
Daerah dr. Soebandi Jember

Jember, februari 2020


Pembimbing Ruangan, Pembimbing Akademik,

(...........................................................) (.............................................................)
NIP. NIK.

Kepala Ruangan,

(.........................................................)
NIP.
LAPORAN PENDAHULUAN
PADA PASIEN DENGAN CIDERA OTAK BERAT

1.1 Pengertian
A. Anatomi dan Fisiologi Otak

Gambar Bagian-Bagian Otak


Otak terdiri dari neuron, glia, dan berbagai sel pendukung. Otak manusia
mempunyai berat 2% dari berat badan orang dewasa (3 pon), menerima 20%
curah jantung, memerlukan 20% pemakaian oksigen tubuh, dan sekitar 400
kilokalori energi setiap harinya. Otak merupakan jaringan yang paling banyak
memakai energi dalam seluruh tubuh manusia dan terutama berasal dari proses
metabolisme oksidasi glukosa (Muttaqin, 2008).
Otak dibagi menjadi empat bagian, yaitu cerebrum, cerebellum, brainstem
(batang otak), dan limbic system (sistem limbik) (Muttaqin, 2008).
1. Cerebrum
Cerebrum adalah bagian terbesar dari otak manusia yang juga disebut dengan
nama cerebral cortex, forebrain, atau otak depan. Cerebrum membuat manusia
memiliki kemampuan berpikir, analisa, logika, bahasa, kesadaran, perencanaan,
memori dan kemampuan visual. Cerebrum secara terbagi menjadi 4 (empat)
bagian yang disebut lobus yaitu lobus frontal, lobus parietal, lobus occipital dan
lobus temporal.
Lobus frontal merupakan bagian lobus yang terletak pada bagian depan
cerebrum. Lobus ini berhubungan dengan kemampuan membuat alasan,
kemampuan gerak, kognisi, perencanaan, penyelesaian masalah, memberi
penilaian, kreativitas, kontrol perasaan, kontrol perilaku seksual dan kemampuan
bahasa secara umum. Lobus parietal berhubungan dengan proses sensor perasaan
seperti tekanan, sentuhan dan rasa sakit. Lobus temporal berhubungan dengan
kemampuan pendengaran, pemaknaan informasi dan bahasa dalam bentuk suara.
Lobus occipital ada di bagian paling belakang, berhubungan dengan rangsangan
visual yang memungkinkan manusia mampu melakukan interpretasi terhadap
objek yang ditangkap oleh retina mata.
2. Cerebellum
Cerebellum atau otak kecil adalah bagian dari sistem saraf pusat yang terletak
di bagian belakang tengkorak (fossa posterior cranial). Semua aktivitas pada
bagian ini di bawah kesadaran (involuntary). Fungsi utama cerebelum yaitu
mengkoordinasi dan memperhalus gerakan otot serta mengubah tonus dan
kekuatan kontraksi untuk mempertahankan keseimbangan dan sikap tubuh.
Apabila terjadi cedera pada cerebelum, dapat mengakibatkan gangguan pada sikap
dan koordinasi gerak otot sehingga gerakan menjadi tidak terkoordinasi.
3. Brainstem
Batang otak (brainstem) berada di dalam tulang tengkorak atau rongga kepala
bagian dasar dan memanjang sampai ke tulang punggung atau sumsum tulang
belakang. Bagian otak ini mengatur fungsi dasar manusia termasuk pernapasan,
denyut jantung, mengatur suhu tubuh, mengatur proses pencernaan, dan
merupakan sumber insting dasar manusia yaitu fight or flight (lawan atau lari) saat
datangnya bahaya. Batang otak terdiri dari tiga bagian, yaitu:
a. Mesencephalon atau otak tengah (mid brain) adalah bagian teratas dari batang
otak yang menghubungkan cerebrum dan cerebelum. Mesencephalon
berfungsi untuk mengontrol respon penglihatan, gerakan mata, pembesaran
pupil mata, mengatur gerakan tubuh, dan fungsi pendengaran.
b. Medulla oblongata adalah titik awal saraf tulang belakang dari sebelah kiri
badan menuju bagian kanan badan, begitu juga sebaliknya. Medulla
oblongata mengontrol fungsi involunter otak (fungsi otak secara tidak sadar)
seperti detak jantung, sirkulasi darah, pernafasan, dan pencernaan.
c. Pons disebut juga sebagai jembatan atau bridge merupakan serabut yang
menghubungkan kedua hemisfer serebelum serta menghubungkan midbrain
disebelah atas dengan medula oblongata. Bagian bawah pons berperan dalam
pengaturan pernapasan. Nukleus saraf kranial V (trigeminus), VI (abdusen),
dan VII (fasialis) terdapat pada bagian ini.
4. Limbic system (sistem limbik)
Sistem limbik merupakan suatu pengelompokan fungsional yang mencakup
komponen serebrum, diensefalon, dan mesensefalon. Secara fungsional sistem
limbik berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut.
a. Suatu pendirian atau respons emosional yang mengarahkan pada tingkah laku
individu
b. Suatu respon sadar terhadap lingkungan
c. Memberdayakan fungsi intelektual dari korteks serebri secara tidak sadar dan
memfungsikan batang otak secara otomatis untuk merespon keadaan
d. Memfasilitasi penyimpanan suatu memori dan menggali kembali simpanan
memori yang diperlukan
e. Merespon suatu pengalaman dan ekspresi suasana hati, terutama reaksi takut,
marah, dan emosi yang berhubungan dengan perilaku seksual.
Otak merupakan bagian tubuh yang sangat penting yang dilindungi oleh
tulang tengkorak yang keras, jaringan pelindung, dan cairan otak. Dua macam
jaringan pelindung utama yaitu meninges dan sistem ventrikular. Meninges terdiri
dari tiga lapisan yaitu:
1. Durameter
Durameter merupakan lapisan paling luar yang tebal, keras, dan fleksibel
tetapi tidak dapat diregangkan (unstrechable).

2. Arachnoid membran
Arachnoid membran merupakan lapisan bagian tengah yang bentuknya
seperti jaringan laba-laba. Sifat lapisan ini lembut, berongga-rongga, dan terletak
dibawah lapisan durameter.
3. Piameter
Piameter merupakan lapisan pelindung yang terletak pada lapisan paling
bawah (paling dekat dengan otak, sumsum tulang belakang, dan melindungi
jaringan-jaringan saraf lain). Lapisan ini mengandung pembuluh darah yang
mengalir di otak dan sumsum tulang belakang. Antara piameter dan membran
arachnoid terdapat bagian yang disebut dengan subarachnoid space (ruang sub-
arachnoid) yang dipenuhi oleh cairan serebrospinal (CSS) (Sidharta P, Mardjono
M., 2005).

Gambar Lapisan Meningens


Otak sangat lembut dan kenyal sehingga sangat mudah rusak. Selain
lapisan meninges, otak juga dilindungi oleh cairan serebrospinal (CSS) di
subarachnoid space. Cairan ini menyebabkan otak dapat mengapung sehingga
mengurangi tekanan pada bagian bawah otak yang dipengaruhi oleh gravitasi dan
juga meilndungi otak dari guncangan yang mungkin terjadi. CSS ini terletak
dalarn ruang-ruang yang saling berhubungan satu dengan yang lain. Ruang-ruang
ini disebut dengan ventrikel (ventricles). Ventrikel berhubungan dengan bagian
subarachnoid dan juga berhubungan dengan bentuk tabung pada canal pusat
(central canal) dari tulang belakang. Ruang terbesar yang berisi cairan terutama
ada pada pasangan ventrikel lateral (lateral ventricle). Ventrikel lateral
berhubungan dengan ventrikel ketiga (third ventricle) yang terletak di otak bagian
tengah (midbrain). Ventrikel ketiga dihubungkan ke ventrikel keempat oleh
cerebral aqueduct yang menghubungkan ujung caudal ventrikel keempat dengan
central canal. Ventrikel lateral juga membentuk ventrikel pertama dan ventrikel
kedua (Sidharta P, Mardjono M., 2005).
Gambar Vertikal Otak
Sumsum tulang belakang terletak memanjang didalam rongga tulang
belakang, mulai dari ruas-ruas tulang leher sampai ruas-ruas tulang pinggang yang
kedua. Sumsum tulang belakang terbagi menjadi dua lapis, yaitu lapisan luar
berwana putih dan lapisan dalam berwarna kelabu. Lapisan luar mengandung
serabut saraf dan lapisan dalam mengandung badan saraf. Pada sumsum tulang
belakang terdapat saraf sensorik, saraf motorik, dan saraf penghubung. Fungsinya
adalah sebagai penghantar impuls dari otakdan ke otak serta sebagai pusat
pengatur gerak refleks.
1. Sistem saraf tepi
Sistem saraf tepi tersusun dari semua saraf yang membawa pesan dari dan ke
sistem saraf pusat. Kerjasama antara sistem pusat dan sistem saraf tepi
membentuk perubahan cepat dalam tubuh untuk merespon rangsangan dari
lingkunganmu. Sistem saraf ini dibedakan menjadi sistem saraf somatis dan
sistem saraf otonom.
a. Sistem saraf somatis (saraf sadar)
Sistem saraf somatis terdiri dari 12 pasang saraf kranial dan 31 pasang saraf
sumsum tulang belakang (spinal). Kedua belas pasang saraf otak akan menuju ke
organ tertentu, misalnya mata, hidung, telinga, dan kulit. Saraf sumsum tulang
belakangkeluar melalui sela-sela ruas tulang belakang dan berhubungan dengan
bagian-bagian tubuh, antara lain kaki, tangan, dan otot lurik. Saraf-saraf dari
sistem somatis menghantarkan informasi antara kulit, sistem saraf pusat, dan otot-
otot rangka. Proses ini dipengaruhi saraf sadar sehingga dapat dikontrol untuk
menggerakkan atau tidak menggerakkan bagian-bagian tubuh di bawah
pengaruhsistem ini.

Gambar Saraf Kranial


Tabel Ringkasan Fungsi Sistem Saraf Kranial
SARAF KRANIAL KOMPONE FUNGSI
N
I Olfaktorius Sensorik Penciuman
II Optikus Sensorik Penglihatan
III Okulomotorius Motorik Mengangkat kelopak mata atas,
konstriksi pupil, sebagian besar
gerakan ekstraokular
IV Troklearis Motorik Gerakan mata ke bawah dan ke
dalam
V Trigeminus Motorik Otot temporalis dan maseter
(menutup rahang dan mengunyah)
gerakan rahang ke lateral
Sensorik - Kulit wajah, 2/3 depan kulit
kepala, mukosa mata, mukosa
hidung dan rongga mulut, lidah
dan gigi
- Refleks kornea atau refleks
mengedip, komponen sensorik
dibawa oleh saraf kranial V,
respons motorik melalui saraf
kranial VI
VI Abdusens Motorik Deviasi mata ke lateral
VII Fasialis Motorik Otot-otot ekspresi wajah termasuk
otot dahi, sekeliling mata serta
mulut, lakrimasi dan salivasi
Sensorik Pengecapan 2/3 depan lidah (rasa,
manis, asam, dan asin)
VIII Cabang Vestibularis Sensorik Keseimbangan
vestibulokoklearis
Cabang koklearis Sensorik Pendengaran
IX Glossofaringeus Motorik Faring: menelan, refleks muntah
Parotis: salivasi
Sensorik Faring, lidah posterior, termasuk
rasa pahit
X Vagus Motorik Faring: menelan, refleks muntah,
fonasi; visera abdomen
Sensorik Faring, laring: refleks muntah,
visera leher, thoraks dan abdomen
XI Asesorius Motorik Otot sternokleidomastoideus dan
bagian atas dari otot trapezius:
pergerakan kepala dan bahu
XII Hipoglosus Motorik Pergerakan lidah

2. Sistem saraf otonom


Sistem saraf otonom mengontrol kegiatan yang tidak bergantung pada
keputusan. Sistem ini mengatur kontraksi otot-otot yang tidak berada di bawah
kontrol kesadaran seperti otot jantung, sekresi semua digestif atau kelenjar
keringat, dan aktivitas organ-organ endokrin. Sistem saraf ototnom mempunyai
dua pembagian yaitu secara anatomi dan fungsional yaitu sistem saraf simpatis
dan sistem saraf parasimpatis (Smeltzer & Bare, 2010).
a. Sistem saraf simpatis
Fungsi dari sistem saraf simpatik adalah mempercepat denyut jantung,
memperlebar pembuluh darah, memperlebar bronkus, mempertinggi tekanan
darah, memperlambat gerak peristaltik, memperlebar pupil, meningkatkan
sekresi adrenalin, menghambat sekresi empedu, dan menurunkan sekresi
ludah.
b. Sistem saraf parasimpatik
Susunan saraf parasimpatik berupa jaring-jaring yang berhubung-hubungan
dengan ganglion yang tersebar di seluruh tubuh.Urat sarafnya menuju ke
organ tubuh yang dikuasai oleh susunan saraf simpatik. Sistem saraf
parasimpatik memiliki fungsi yang berkebalikan dengan fungsi sistem saraf
simpatik.
B. Pengertian Cidera Otak Berat (COB)
Cidera kepala adalah cidera yang meliputi trauma kulit kepala, tengkorak dan
otak. Cidera kepala adalah gangguan neurologic yang paling sering terjadi dan
gangguan neurologik yang serius di antara gangguan neurologik dan merupakan
proporsi epidemik sebagai akibat kecelakaan di jalan raya. Cidera otak berat atau
COB adalah kerusakan neurologis yang terjadi akibat adanya trauma pada otak
secara langsung maupun efek sekunder dari trauma yang terjadi (Price, 1995).
Cedera otak berat merupaka keadaan dimana struktur lapisan otak mengalami
cedera berkaitan dengan edema, hyperemia, hipoksia dimana pasien tidak dapat
mengikuti perintah, dengan GCS < 8 dan tidak dapat membuka mata (Prins,
2013).

1.2 Etiologi
Cidera kepala paling sering akibat dari trauma. Mekanisme terjadinya cidera
kepala berdasarkan terjadinya benturan terbagi menjadi beberapa menurut
Dewanto, George (2009) yaitu sebagai berikut:
a. Akselerasi: Jika benda bergerak membentur kepala yang diam, misalnya pada
orang yang diam kemudian dipukul atau dilempari batu.
b. Deselerasi: Jika kepala bergerak membentur kepala yang diam, misalnya pada
kepala yang terbentur benda padat.
c. Akselerasi-deselerasi: Terjadi pada kcelakaan bermotor dengan kekerasan
fisik antara tubuh dan kendaraan yang berjalan
d. Coup-counter coup: Jika kepala terbentur dan menyebabkan otak bergerak
dalam ruang intracranial dan menyebabkan cedera pada area yang berlawanan
dengan yang terbentur dan area yang pertama terbentur.
e. Rotasional: Benturan yang menyebabkan otak berputar dalam rongga
tengkorak, yang mengakibatkan meregang dan robeknya pembuluh darah dan
neuron yang memfiksasi otak dengan bagian dalam tengkorak.

Klasifikasi cidera otak menerut mekanisme terjadinya adalah sebagai berikut:


a) Cedera percepatan (aselerasi) terjadi jika benda yang sedang bergerak
membentur kepala yang diam, seperti trauma akibat pukulan benda tumpul,
atau karena kena lemparan benda tumpul.
b) Cedera perlambatan (deselerasi) adalah bila kepala membentur objek
yang secara relatif tidak bergerak, seperti badan mobil atau tanah. Kedua
kekuatan ini mungkin terjadi secara bersamaan bila terdapat gerakan kepala
tiba-tiba tanpa kontak langsung, seperti yang terjadi bila posisi badan diubah
secara kasar dan cepat. Kekuatan ini bisa dikombinasi dengan
pengubahan posisi rotasi pada kepala, yang menyebabkan trauma regangan
dan robekan pada substansi alba dan batang otak.
c) Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar
pada permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau hemoragi.
d) Cedera sekunder, sebagai akibat dapat terjadi sebagai kemampuan
autoregulasi serebral. Konsekuensinya meliputi hiperemi (peningkatan
volume darah) pada area peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi
arterial, semua menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya
peningkatan tekanan intrakranial (TIK). Beberapa kondisi yang dapat
menyebabkan cedera otak sekunder meliputi hipoksia, hiperkarbia, dan
hipotensi (Dewanto, George, 2009).
Klasifikasi berdasarkan keparahan ini dibagi menurut GCS atau tingkat kesadaran.
Klasifikasinya adalah sebagai berikut:
a) Cedera Otak Ringan (COR) : GCS 13- 15, dapat terjadi kehilangan kesadaran
(pinsan) kurang dari 30 menit atau mengalami amnesia retrograde. Tidak ada
fraktur tengkorak, tidak ada kontusio cerebral maupun hematoma.
b) Cedera Otak Sedang (COS) : GCS 9- 12, kehilangan kesadaran atau amnesia
retrograd lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam. Dapat mengalami
fraktur tengkorak.
c) Cedera Otak Berat (COB) : GCS 3-8, kehilangan kesadaran dan atau terjadi
amnesia lebih dari 24 jam. Dapat mengalami kontusio cerebral, laserasi atau
hematoma intracranial.

1.3 Manifestasi Klinis


Menurut Nasir Muhammad (2012) tanda dan gejala dan beratnya cidera kepala
dapat diklasifikasikan berdasarkan skor GCS yang dikelompokkan menjadi tiga
yaitu :
a. Cidera kepala ringan dengan nilai GCS = 14-15
Klien sadar, menuruti perintah tetapi disorientasi, tidak kehilangan kesadaran,
tidak ada intoksikasi alkohol atau obat terlarang, klien dapat mengeluh nyeri
kepala dan pusing, klien dapat menderita laserasi, dan hematoma kulit kepala.
b. Cidera kepala sedang dengan nilai GCS = 9-13
Klien dapat atau bisa juga tidak dapat menuruti perintah, namun tidak
memberi respon yang sesuai dengan pernyataan yang diberikan, amnesia
pasca trauma, muntah, tanda kemungkinan fraktur cranium (tanda Battle,
mata rabun, hemotimpanum, otorea atau rinorea cairan serebro spinal), dan
kejang.
c. Cidera kepala berat dengan nilai GCS ≤ 8.
Penurunan kesadaran secara progresif, tanda neurologis fokal, cidera kepala
penetrasi atau teraba fraktur depresi cranium, kehilangan kesadaran lebih dari
24 jam, disertai kontusio cerebral, laserasi, hematoma intrakrania dan edema
serebral. Perdarahan intrakranial dapat terjadi karena adanya pecahnya
pembuluh darah pada jaringan otak. Lokasi yang paling sering adalah lobus
frontalis dan temporalis. Lesi perdarahan dapat terjadi pada sisi benturan
(coup) atau pada sisi lainnya (countrecoup).

1.4 Patofisiologi
Berdasarkan patofisiologinya cedera kepala dapat digolongkan menjadi 2
proses yaitu cedera kepala primer dan cedera kepala sekunder.Cedera otak primer
adalah cedera yang terjadi saat atau bersamaan dengan kejadian trauma dan
merupakan suatu fenomena mekanik. Umumnya menimbulkan lesi permanen.
Tidak banyak yang bisa dilakukan kecuali membuat fungsi stabil, sehingga sel-sel
yang sedang sakit bisa mengalami proses penyembuhan yang optimal. Cedera
primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar pada
permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau hemoragi karena
terjatuh, dipukul, kecelakaan dan trauma saat lahir yang bisa mengakibatkan
terjadinya gangguan pada seluruh sistem dalam tubuh.
Cedera otak sekunder merupakan hasil dari proses yang berkelanjutan sesudah
atau berkaitan dengan cedera primer dan lebih merupakan fenomena metabolik
sebagai akibat, cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi
serebral dikurangi atau tak ada pada area cedera. Cidera kepala terjadi karena
beberapa hal diantanya, bila trauma ekstrakranial akan dapat menyebabkan
adanya leserasi pada kulit kepala selanjutnya bisa perdarahan karena mengenai
pembuluh darah. Karena perdarahan yang terjadi terus- menerus dapat
menyebabkan hipoksia, hiperemi peningkatan volume darah pada area
peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasiarterial, semua menimbulkan
peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan intrakranial (TIK),
adapun, hipotensi namun bila trauma mengenai tulang kepala akan
menyebabkanrobekan dan terjadi perdarahan juga. Cidera kepala intrakranial
dapat mengakibatkan laserasi, perdarahan dan kerusakan jaringan otak bahkan
bisa terjadi kerusakan susunan syaraf kranial terutama motorik yang
mengakibatkan terjadinya gangguan dalam mobilitas (Nasir Muhammad, 2012).

1.5 Pemeriksaan Penunjang


1. Pemeriksaan Laboratorium
Adapun pemeriksaan laboratorium darah yang berguna pada kasus cedera
kepala yaitu :
a) Hemoglobin sebagai salah satu fungsi adanya perdarahan yang berat
b) Leukositosis untuk salah satu indikator berat ringannya cedera kepala yang
terjadi.
c) Golongan Darah persiapan bila diperlukan transfusi darah pada kasus
perdarahan yang berat.
d) GDS memonitor agar jangan sampai terjadi hipoglikemia maupun
hiperglikemia.
e) Fungsi Ginjal memeriksa fungsi ginjal, pemberian manitol tidak boleh
dilakukan pada fungsi ginjal yang tidak baik.
f) Analisa Gas Darah PCO2 yang tinggi dan PO2 yang rendah akan
memberikan prognosis yang kurang baik, oleh karenanya perlu dikontrol PO2
tetap > 90 mmHg, SaO2 > 95 % dan PCO2 30-50 mmHg. Atau mengetahui
adanya masalah ventilasi perfusi atau oksigenisasi yang dapat meningkatkan
TIK.
g) Elektrolit adanya gangguan elektrolit menyebabkan penurunan kesadaran.
h) Toksikologi mendeteksi obat yang mungkin menimbulkan penurunan
kesadaran.
2. Pemeriksaan Radiologi
a) CT Scan adanya nyeri kepala, mual, muntah, kejang, penurunan kesadaran,
mengidentifikasi adanya hemoragi, pergeseran jaringan otak.
b) Angiografi Serebral menunjukkan kelainan sirkulasi cerebral seperti
pergeseran cairan otak akibat oedema, perdarahan, trauma.
c) EEG (Electro Encephalografi) memperlihatkan keberadaan/perkembangan
gelombang patologis.
d) MRI (Magnetic Resonance Imaging) mengidentifikasi perfusi jaringan otak,
misalnya daerah infark, hemoragik.
e) Sinar X mendeteksi adanya perubahan struktur tulang tengkorak.
f) Test Orientasi dan Amnesia Galveston (TOAG) untuk menentukan apakah
pasien trauma kepala sudah pulih daya ingatnya.

1.6 Komplikasi
1. Peningkatan tekanan intrakranial, yaitu tekanan yang terjadi pada ruang
serebral akibat bertambahnya volume otak melebihi ambang toleransi
dalam ruang kranium. Hal ini dapat disebabkan karena edema serebri
dan perdarahan serebral.
2. Edema serebri, merupakan keadaan gejala patologis, radiologis, maupun
tampilan intraoperatif dimana keadaan ini mempunyai peranan yang
sangat bermakna pada kejadian pergeseran otak (brain shift) dan peningkatan
tekanan intrakranial
3. Kompresi batang otak sehingga mengakibatkan kematian
4. Subdural Hematom
Perdarahan subdural ialah perdarahan yang terjadi diantara duramater
dan araknoid. Perdarahan subdural dapat berasal dari: Ruptur Bridging vein
yaitu vena yang berjalan dari ruangan subaraknoid atau korteks serebri
melintasi ruangan subdural dan bermuara di dalam sinus venosus dura mater,
Robekan pembuluh darah kortikal, subaraknoid, atau araknoid.
Hematoma subdural adalah penimbunan darah di dalam rongga
subdural (di antara duramater dan arakhnoid). Perdarahan ini sering terjadi
akibat robeknya vena-vena jembatan yang terletak antara kortek cerebri dan
sinus venous tempat vena tadi bermuara, namun dapat terjadi juga akibat
laserasi pembuluh arteri pada permukaan otak. Perdarahan subdural paling
sering terjadi pada permukaan lateral hemisferium dan sebagian di daerah
temporal, sesuai dengan distribusi bridging veins. Perdarahan subdural juga
menutupi seluruh permukaan hemisfer otak dan kerusakan otak dibawahnya
berat (Muttaqin, 2008).
Gambar Subdural Hematoma
5. Epidural Hematom
Epidural hematom adalah salah satu akibat yang ditimbulkan dari sebuah
traumakepala (Andrews, 2000). Epidural hematom (EDH) adalah perdarahan yang
terbentuk di ruang potensial antara tabula interna dan duramater. Paling sering
terletak diregio temporal atau temporalparietal dan sering akibat robeknya
pembuluh meningeal media. Perdarahan biasanya dianggap berasal arterial,
namun mungkin sekunder dari perdarahan vena pada 1/3 kasus (Agamanolis,
2003). Kadang-kadang, hematoma epidural mungkin akibat robeknya sinus vena,
terutama diregio parietal-oksipital atau fossa posterior (Vacca 2007, dalam
Smeltzer & Bare, 2010) . Epidural hematom adalah hematom/perdarahan yang
terletak antara durameter dan tubula interna/lapisan bawah tengkorak, dan
sering terjadi pada lobustemporal dan paretal (Smeltzer & Bare, 2010).
Epidural hematom sebagai keadaan neurologis yang bersifat emergency dan
biasanya berhubungan dengan linear fraktur yang memutuskan arteri yang lebih
besar, sehingga menimbulkan perdarahan (Japardi, 2004).

Gambar Epidural Hematoma

1.7 Penatalaksanaan
a. Perawatan sebelum ke Rumah Sakit
1) Stabilisasi terhadap kondisi yang mengancam jiwa dan lakukan terapi
suportif dengan mengontrol jalan nafas dan tekanan darah.
2) Berikan O2 dan monitor
3) Berikan cairan kristaloid untuk menjaga tekanan darah sistolik tidak
kurang dari 90 mmHg.
4) Pakai intubasi, berikan sedasi dan blok neuromuskuler
5) Stop makanan dan minuman
6) Imobilisasi
7) Kirim kerumah sakit.
b. Perawatan di bagian Emergensi
1) Pasang oksigen (O2), monitor dan berikan cairan kristaloid untuk
mempertahankan tekanan sistolik diatas 90 mmHg.
2) Pakai intubasi, dengan menggunakan premedikasi lidokain dan obat-
obatan sedative misalnya etomidate serta blok neuromuskuler. Intubasi
digunakan sebagai fasilitas untuk oksigenasi, proteksi jalan nafas dan
hiperventilasi bila diperlukan.
3) Elevasikan kepala sekitar 30O setelah spinal dinyatakan aman atau
gunakan posis trendelenburg untuk mengurangi tekanan intra kranial dan
untuk menambah drainase vena.
4) Berikan manitol 0,25-1 gr/ kg iv. Bila tekanan darah sistolik turun sampai
90 mmHg dengan gejala klinis yang berkelanjutan akibat adanya
peningkatan tekanan intra kranial.
5) Hiperventilasi untuk tekanan parsial CO2 (PCO2) sekitar 30 mmHg
apabila sudah ada herniasi atau adanya tanda-tanda peningkatan tekanan
intrakranial (ICP).
6) Berikan phenitoin untuk kejang-kejang pada awal post trauma, karena
phenitoin tidak akan bermanfaat lagi apabila diberikan pada kejang
dengan onset lama atau keadaan kejang yang berkembang dari kelainan
kejang sebelumnya.
c. Terapi obat-obatan:
1) Gunakan Etonamid sebagai sedasi untuk induksi cepat, untuk
mempertahankan tekanan darah sistolik, dan menurunkan tekanan
intrakranial dan metabolisme otak. Pemakaian tiophental tidak
dianjurkan, karena dapat menurunkan tekanan darah sistolik. Manitol
dapat digunakan untuk mengurangi tekanan intrakranial dan
memperbaiki sirkulasi darah. Phenitoin digunakan sebagai obat
propilaksis untuk kejang – kejang pada awal post trauma. Pada beberapa
pasien diperlukan terapi cairan yang cukup adekuat yaitu pada keadaan
tekanan vena sentral (CVP) > 6 cmH2O, dapat digunakan norephinephrin
untuk mempertahankan tekanan darah sistoliknya diatas 90 mmHg.
2) Diuretik Osmotik: Misalnya Manitol : Dosis 0,25-1 gr/ kg BB iv.
Kontraindikasi pada penderita yang hipersensitiv, anuria, kongesti paru,
dehidrasi, perdarahan intrakranial yang progreasiv dan gagal jantung
yang progresiv. Fungsi: Untuk mengurangi edema pada otak,
peningkatan tekanan intrakranial, dan mengurangi viskositas darah,
memperbaiki sirkulasi darah otak dan kebutuhan oksigen.
3) Antiepilepsi. Misalnya Phenitoin : Dosis 17 mg/ kgBB iv, tetesan tidak
boleh berlebihan dari 50 (Dilantin) mg/menit. Kontraindikasi; pada
penderita hipersensitif, pada penyakit dengan blok sinoatrial, sinus
bradikardi, dan sindrom Adam-Stokes. Fungsi: Untuk mencegah
terjadinya kejang pada awal post trauma.
d. Terapi yang perlu diperhatikan
1) Airway dan Breathing
Perhatikan adanya apneu. Penderita mendapat ventilasi dengan oksigen
100% sampai diperoleh AGD dan dapat dilakukan penyesuaian yang tepat
terhadap FiO2.Tindakan hiperventilasi dilakukan hati-hati untuk mengoreksi
asidosis dan menurunkan secara cepat TIK pada penderita dengan pupil yang telah
berdilatasi. PCO2 harus dipertahankan antara 25-35 mmhg.
2) Circulation
Hipotensi dan hipoksia adalah merupakan penyebab utama terjadinya
perburukan pada cedera otak sedang. Hipotensi merupakan petunjuk adanya
kehilangan darah yang cukup berat, walaupun tidak tampak. Jika terjadi
hipotensi maka tindakan yang dilakukan adalah menormalkan tekanan darah.
Lakukan pemberian cairan untuk mengganti volume yang hilang sementara
penyebab hipotensi dicari.
3) Disability (pemeriksaan neurologis)
Pada penderita hipotensi pemeriksaan neurologis tidak dapat dinilai sebagai
data akurat, karena penderita hipotensi yang tidak menunjukkan respon
terhadap stimulus apapun, ternyata menjadi normal kembali segera tekanan
darahnya normal. Pemeriksaan neurologis meliputi pemeriksaan GCS dan
reflek cahaya pupil. GCS diukur untuk menilai respon pasien yang
menunjukkan tingkat kesadaran pasien. GCS didapat dengan berinteraksi
dengan pasien, secara verbal atau dengan rangsang nyeri pada pangkal kuku
atau anterior ketiak. Pada pasien dengan cedera otak sedang perlu dilakukan
pemeriksaan GCS setiap setengah jam sekali idealnya. Untuk mendapatkan
keseragaman dari penilaian tingkat kesadaran secara kwantitatif (yang
sebelumnya tingkat kesadaran diukur secara kwalitas seperti apatis, somnolen
dimana pengukuran seperti ini didapatkan hasil yang tidak seragam antara
satu pemeriksaan dengan pemeriksa yang lain) maka dilakukan pemeriksaan
dengan skala kesadaran secara glasgow, ada 3 macam indikator yang
diperiksa yaitu reaksi membuka mata, reaksi verbal, reaksi motorik.
Glasgow Coma Scale Nilai
Respon membuka mata (E)
Buka mata spontan 4
Buka mata bila dipanggil/rangsangan suara 3
Buka mata bila dirangsang nyeri 2
Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun 1

Respon verbal (V)


Komunikasi verbal baik, jawaban tepat 5
Bingung, disorientasi waktu, tempat, dan orang 4
Kata-kata tidak teratur 3
Suara tidak jelas 2
Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun 1
Respon motorik (M)
Mengikuti perintah 6
Dengan rangsangan nyeri, dapat mengetahui tempat rangsangan 5
Dengan rangsangan nyeri, menarik anggota badan 4
Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi fleksi abnormal 3
Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi ekstensi abnormal 2
Dengan rangsangan nyeri, tidak ada reaksi 1
C. Konsep Dasar ICH
1. Pengertian ICH
Perdarahan intracerebral adalah perdarahan yang terjadi pada jaringan otak
biasanya akibat robekan pembuluh darah yang ada dalam jaringan otak. Secara
klinis ditandai dengan adanya penurunan kesadaran yang kadang-kadang disertai
lateralisasi, pada pemeriksaan CT Scan didapatkan adanya daerah hiperdens yang
indikasi dilakukan operasi jika Single, Diameter lebih dari 3 cm, Perifer, Adanya
pergeseran garis tengah, Secara klinis hematom tersebut dapat menyebabkan
gangguan neurologis/lateralisasi. Operasi yang dilakukan biasanya adalah
evakuasi hematom disertai dekompresi dari tulang kepala. Faktor-faktor yang
menentukan prognosenya hampir sama dengan faktor-faktor yang menentukan
prognose perdarahan subdural (Prins, 2013).
Intra cerebral hematom adalah perdarahan kedalam substansi otak. Hemorragi
ini biasanya terjadi dimana tekanan mendesak kepala sampai daerah kecil dapat
terjadi pada luka tembak ,cidera tumpul (Dewanto, George, 2009).
Intra secerebral hematom adalah pendarahan dalam jaringan otak itu sendiri.
Hal ini dapat timbul pada cidera kepala tertutup yang berat atau cidera kepala
terbuka .intraserebral hematom dapat timbul pada penderita stroke hemorgik
akibat melebarnya pembuluh nadi. (Sidharta P, Mardjono M., 2005.).

2. Etiologi
Menurut Nasir Muhammad (2012) penyebab terjadi perdarahan di otak dapat
disebebkan oleh berbagai hal, diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Penyakit pembuluh darah kecil: aterosklerosis, amiloid angiopati, genetik
b. Malformasi pembuluh darah: malformasi arteriovenous, malfomasi cavernous
c. Aneurisma intracranial
d. Penakit vena : sinus serebral/ trombosis vena, dural arteriovenous fistula
e. Reversible cerebral
f. Sindrom vasokontriksi
g. Sindrom moyamoya
h. Inflamasi: vaskulitis, aneurisma mikotik
i. Penyakit maligna: tumor otak, metastasis serebral
j. Koagulopati: genetik, diturunkan/iatrogenik
k. Pengobatan vasoaktif
l. Serangan jantung karena perdarahan
m. Trauma kepala : fraktur tengkorak dan luka penetrasi (luka tembak) dapat
merusak arteri dan menyebabkan perdarahan.
n. Hipertensi : peningkatan tekanan darah menyebabkan penyempitan arteri
yang kemudian pecahnya arteri di otak
o. Terapi pengenceran darah : obat seperti coumadin, heparin, dan warafin yang
digunakan untuk pengobatan jantung dan kondisi stroke
p. Kehamilan: eklamsia, trombosis vena
q. Merokok
r. Tidak diketahui

3. Manifestasi Klinik
Intracerebral hemorrhage mulai dengan tiba-tiba. Dalam sekitar setengah
orang, hal itu diawali dengan sakit kepala berat, seringkali selama aktifitas.
Meskipun begitu, pada orang tua, sakit kepala kemungkinan ringan atau tidak ada
Dugaan gejala terbentuknya disfungsi otak dan menjadi memburuk sebagaimana
peluasan pendarahaan.
Beberapa gejala, seperti lemah, lumpuh, kehilangan perasa, dan mati rasa,
seringkali mempengaruhi hanya salah satu bagian tubuh. orang kemungkinan
tidak bisa berbicara atau menjadi pusing. Penglihatan kemungkinan terganggu
atau hilang. Mata bisa di ujung perintah yang berbeda atau menjadi lumpuh. Pupil
bisa menjadi tidak normal besar atau kecil. Mual, muntah, serangan, dan
kehilangan kesadaran adalah biasa dan bisa terjadi di dalam hitungan detik sampai
menit. Menurut Corwin (2009) manifestasi klinik dari dari Intra cerebral
Hematom yaitu :
a. Kesadaran mungkin akan segera hilang, atau bertahap seiring dengan
membesarnya hematom.
b. Pola pernapasaan dapat secara progresif menjadi abnormal.
c. Respon pupil mungkin lenyap atau menjadi abnormal.
d. Dapat timbul muntah-muntah akibat peningkatan tekanan intra cranium.
e. Perubahan perilaku kognitif dan perubahan fisik pada berbicara dan gerakan
motorik dapat timbul segera atau secara lambat.
f. Nyeri kepala dapat muncul segera atau bertahap seiring dengan peningkatan
tekanan intra cranium.

4. Patofisiologi
Perdarahan intraserebral ini dapat disebabkan oleh karena ruptur arteria
serebri yang dapat dipermudah dengan adanya hipertensi. Keluarnya darah dari
pembuluh darah didalam otak berakibat pada jaringan disekitarnya atau
didekatnya, sehingga jaringan yang ada disekitarnya akan bergeser dan tertekan.
Darah yang keluar dari pembuluh darah sangat mengiritasi otak, sehingga
mengakibatkan vosospasme pada arteri disekitar perdarahan, spasme ini dapat
menyebar keseluruh hemisfer otak dan lingkaran willisi, perdarahan aneorisma-
aneorisma ini merupakan lekukan-lekukan berdinding tipis yang menonjol pada
arteri pada tempat yang lemah. Makin lama aneorisme makin besar dan kadang-
kadang pecah saat melakukan aktivitas. Dalam keadaan fisiologis pada orang
dewasa jumlah darah yang mengalir ke otak 58 ml/menit per 100 gr jaringan otak.
Bila aliran darah ke otak turun menjadi 18 ml/menit per 100 gr jaringan otak akan
menjadi penghentian aktifitas listrik pada neuron tetapi struktur sel masih baik,
sehingga gejala ini masih revesibel. Oksigen sangat dibutuhkan oleh otak
sedangkan O2 diperoleh dari darah, otak sendiri hampir tidak ada cadangan O2
dengan demikian otak sangat tergantung pada keadaan aliran darah setiap saat.
Bila suplay O2 terputus 8-10 detik akan terjadi gangguan fungsi otak, bila lebih
lama dari 6-8 menit akan tejadi jelas/lesi yang tidak putih lagi (ireversibel) dan
kemudian kematian. Perdarahan dapat meninggikan tekanan intrakranial dan
menyebabkan ischemi didaerah lain yang tidak perdarahan, sehingga dapat
berakibat mengurangnya aliran darah ke otak baik secara umum maupun lokal.
Timbulnya penyakit ini sangat cepat dan konstan dapat berlangsung beberapa
menit, jam bahkan beberapa hari. (Corwin, 2009).
5. Pemeriksaan Penunjang
1. CT-scan: memperhatikan adanya edema, hematoma.

2. Pungsi lumbal: menunjukkan adanya tekanan normal dan biasanya ada


thrombosis, emboli serebral, dan TIA (Transient Ischaemia Attack) atau
serangan iskemia otak sepintas. Tekanan meningkat dan cairan yang
mengandung darah menunjukkan adanya hemoragik subarakhnoid atau
perdarahan intra kranial. Kadar protein total meningkat pada kasus
thrombosis sehubungan dengan adanya proses inflamasi.
3. MRI (Magnetic Resonance Imaging): menunjukkan daerah yang mengalami
infark, hemoragik, dan malformasi arteriovena.
4. EEG (Electroencephalography): mengidentifikasi penyakit didasarkan pada
gelombang otak dan mungkin memperlihatkan daerah lesi yang spesifik.
5. Sinar X: menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pineal daerah yang
berlawanan dari massa yang meluas, kalsifikasi karotis interna terdapat pada
thrombosis serebral.

6. Terapi yang dilakukan menurut (Corwin, 2009)


Pendarahan intracerebral lebih mungkin menjadi fatal dibandingkan stroke
ischemic. Pendarahan tersebut biasanya besar dan catastrophic, khususnya pada
orang yang mengalami tekanan darah tinggi yang kronis. Lebih dari setengah
orang yang mengalami pendarahan besar meninggal dalam beberapa hari. Mereka
yang bertahan hidup biasanya kembali sadar dan beberapa fungsi otak bersamaan
dengan waktu. Meskipun begitu, kebanyakan tidak sembuh seluruhnya fungsi
otak yang hilang.
Pengobatan pada pendarahan intracerebral berbeda dari stroke ischemic.
Anticoagulant (seperti heparin dan warfarin), obat-obatan trombolitik, dan obat-
obatan antiplatelet (seperti aspirin) tidak diberikan karena membuat pendarahan
makin buruk. Jika orang yang menggunakan antikoagulan mengalami stroke yang
mengeluarkan darah, mereka bisa memerlukan pengobatan yang membantu
penggumpalan darah seperti :
a. Vitamin K, biasanya diberikan secara infuse.
b. Transfusi atau platelet. Transfusi darah yang telah mempunyai sel darah dan
pengangkatan platelet (plasma segar yang dibekukan).
c. Pemberian infus pada produk sintetis yang serupa pada protein di dalam darah
yang membantu darah untuk menggumpal (faktor penggumpalan).
Operasi untuk mengangkat penumpukan darah dan menghilangkan tekanan di
dalam tengkorak, bahkan jika hal itu bisa menyelamatkan hidup, jarang dilakukan
karena operasi itu sendiri bisa merusak otak. Juga, pengangkatan penumpukan
darah bisa memicu pendarahan lebih, lebih lanjut kerusakan otak menimbulkan
kecacatan yang parah. Meskipun begitu, operasi ini kemungkinan efektif untuk
pendarahan pada kelenjar pituitary atau pada cerebellum. Pada beberapa kasus,
kesembuhan yang baik adalah mungkin.
Menurut Corwin (2009) menyebutkan penatalaksanaan untuk Intra Cerebral
Hematom adalah sebagai berikut :
a. Observasi dan tirah baring terlalu lama.
b. Ligasi pembuluh yang pecah dan evakuasi hematom secara bedah.
c. Mungkin diperlukan ventilasi mekanis.
d. Untuk cedera terbuka diperlukan antibiotiok.
e. Metode-metode untuk menurunkan tekanan intra kranium termasuk
pemberian diuretik dan obat anti inflamasi.
f. Pemeriksaan Laboratorium seperti:CT-Scan,Thorax foto, dan laboratorium
lainnya yang menunjang.

1.8 Konsep Keperawatan


1.8.1 Pengkajian
a. Identitas Klien: untuk mengkaji status klien (nama, umur, jenis kelamin,
agama, pendidikan, alamat, pekerjaan, status perkawinan)
b. Riwayat kesehatan: diagnosa medis, keluhan utama, riwayat penyakit
sekarang, riwayat kesehatan terdahulu terdiri dari penyakit yang pernah
dialami, alergi, imunisasi, kebiasaan/pola hidup, obat-obatan yang digunakan,
riwayat penyakit keluarga
c. Pengkajian Keperawatan (11 pola Gordon)
d. Pemeriksaan fisik
1. Keadaan umum, tanda vital
2. Pengkajian Fisik (inspeksi, palpasi, perkusi, auskultasi): kepala, mata,
telinga, hidung, mulut, leher, dada, abdomen, urogenital, ekstremitas, kulit
dan kuku, dan keadaan lokal.
Perlu dilakukan pengkajian yang lebih menyeluruh dan mendalam dari
berbagai aspekuntuk mengetahui permasalahan yang ada pada klien
dengan cidera otak berat dan trauma pada abdomen, sehingga dapat
ditemukan masalah-masalah yang ada pada klien. Prinsip umum yang
dapat dilakukan untuk mengkaji permasalahan pada pasien yaitu dengan
B6:
a) Breathing : Kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguan
irama jantung, sehingga terjadi perubahan pada pola napas,
kedalaman, frekuensi maupun iramanya, bisa berupa Cheyne Stokes
atau Ataxia breathing. Napas berbunyi, stridor, ronkhi, wheezing
(kemungkinankarena aspirasi), cenderung terjadi peningkatan
produksi sputum pada jalan napas. Trauma tumpul pada abdomen
dapat menimbulkan munculnya pembengkakan organ intraabdomen
sehingga terjadi kompresi diafragma yang dapat menimbulkan
frekuensi pernapasan meningkat.
b) Blood:Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah
bervariasi. Tekanan pada pusat vasomotor akan meningkatkan
transmisi rangsangan parasimpatik ke jantung yang akan
mengakibatkan denyut nadi menjadi lambat, merupakan tanda
peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan frekuensi jantung
(bradikardia, takikardia yang diselingi dengan bradikardia, disritmia).
Kerusakan jaringan vaskuler pada abdomen dapat menyebabkan
terjadinya perdarahan masif sehingga terjadi potensial komplikasi
perdarahan intraabdomen.
c) Brain: Gangguan kesadaran merupakan salah satu bentuk manifestasi
adanya gangguan otak akibat cidera kepala. Kehilangan kesadaran
sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinitus,
kehilangan pendengaran, baal pada ekstrimitas.
Bila perdarahan hebat/luas dan mengenai batang otak akan terjadi
gangguan pada nervus cranialis, maka dapat terjadi :
1) Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi,
pemecahan masalah, pengaruh emosi/tingkah laku dan memori)
2) Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan
sebagian lapang pandang, foto fobia
3) Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri), deviasi pada mata.
4) Terjadi penurunan daya pendengaran, keseimbangan tubuh.
5) Sering timbul hiccup/cegukan oleh karena kompresi pada nervus
vagusmenyebabkan kompresi spasmodik diafragma.
6) Gangguan nervus hipoglosus. Gangguan yang tampak lidah jatuh kesalah satu
sisi, disfagia, disatria, sehingga kesulitan menelan.
7) Pemeriksaan GCS

8) Pengkajian Syaraf Kranial

e. Bladder : Pada cidera kepala dan abdomen sering terjadi gangguan berupa
retensi, inkontinensia urin, ketidakmampuan menahan miksi.
f. Bowel : Terjadi penurunan fungsi pencernaan: bising usus lemah, mual,
muntah (mungkin proyektil), kembung dan mengalami perubahan selera.
Gangguan menelan (disfagia) dan terganggunya proses eliminasi alvi.
g. Bone :Pasien cidera kepala sering datang dalam keadaan parese, paraplegi.
Pada kondisi yang lama dapat terjadi kontraktur karena imobilisasi dan dapat
pula terjadi spastisitas atau ketidakseimbangan antara otot-otot antagonis
yang terjadi karena rusak atau putusnya hubungan antara pusat saraf di otak
dengan refleks pada spinal selain itu dapat pula terjadi penurunan tonus otot.
h. Terapi, pemeriksaan penunjang & laboratorium

1.8.2 Diagnosa Keperawatan


a. Gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penurunan aliran
darah ke otak
b. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler,
kompresi diafragma, ekspansi paru tidak maksimal
c. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan akumulasi sekret
d. Ketidakseimbangan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan
tubuh berhubungan dengan penurunan kesadaran dan mual muntah yang terus
menerus
e. Nyeri akut berhubungan dengan terputusnya kontinuitas jaringan, penekanan
reseptor nyeri
f. Resiko infeksi berhubungan dengan terputusnya kontinuitas jaringan tulang,
jaringan kulit, otot, dan laserasi pembuluh darah
g. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual muntah yang terus
menerus
h. Gangguan persepsi sensori berhubungan dengan penurunan kesadaran
i. Resiko cedera berhubungan dengan penurunan kesadaran
j. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan akumulasi sekret
pada jalan napas
k. Resiko kerusakan integritas kulit berhubuingan dengan imobilisasi dalam
waktu yang lama
l. Nausea berhubungan dengan distress pada lambung
1.8.3 Perencanaan
No Diagnosa Tujuan Intervensi Rasional
1 Gangguan perfusi NOC: Tissue Perfusion: NIC: 1. Mengetahui status sirkulasi
jaringan serebral Cerebral Circulatory Precaution perifer dan adanya kondisi
berhubungan dengan Kriteria hasil: 1. Kaji sirkulasi perifer secara abnormal pada tubuh
penurunan aliran 1. menunjukkan perfusi komprehensif (nadi perifer, edema, 2. Mengetahui adanya perubahan
darah ke otak jaringan membaik TD dalam CRT, warna, dan suhu ekstremitas) akibat gangguan sirkulasi
batas normal, tidak ada 2. Kaji kondisi ekstremitas meliputi perifer
keluhan sakit kepala. kemerahan, nyeri, atau 3. Menghindari cedera untuk
2. Tanda-tanda vital stabil pembengkakan meminimalkan luka
3. Tidak menunjukkan adanya 3. Hindarkan cedera pada area 4. Posisi trendelenberg akan
gangguan perfusi meliputi dengan perfusi yang minimal meningkatkan TIK sehingga
disorientasi, kebingungan, 4. Hindarkan klien dari posisi memperparah kondisi klien
maupun nyeri kepala trendelenberg yang meningkatkan 5. Mengurangi penekanan agar
TIK perfusi tidak terganggu
5. Hindarkan adanya penekanan pada 6. Obat-obatan untuk
area cedera meningkatkan sattus perfusi
6. Pertahankan cairan dan obat- 7. Mengurangi kecemasan
obatan sesuai program keluarga
7. Health education tentang keadaan 8. Membantu mempercepat
dan kondisi pasien kepada keluarga kesembuhan klien
8. Kolaborasi pemberian terapi
medikamentosa
2 Pola napas tidak Respiratory status : Ventilation Respiratory monitoring
efektif berhubungan Status sistem pernapasan : 1. Monitor kecepatan, frekuensi, 1. Mengetahui kondisi
dengan kerusakan ventilasi kedalaman dan kekuataan ketika pernapasan pasien
neuromuskuler Pola napas pasien adekuat pasien bernapas 2. Mengetahui keadaaan paru dan
ditandai dengan: 2. Monitor hasil pemeriksaan jantung pasien
1. Pasien bernapas tanpa rontgen dada 3. Mengetahui suara napas pasien
kesulitan 3. Monitor suara napas pasien 4. Mengetahui kondisi pasien
2. Menunjukkan perbaikan 4. Kaji dan pantau adanya perubahan untuk menentukan intervensi
pernapasan dalam pernapasan selanjutnya sesuai indikasi
3. Paru-paru bersih pada 5. Monitor sekret yang dikeluarkan 5. Untuk memantau kondisi
pemeriksaan auskultasi oleh pasien pasien (suara napas pasien)
4. Kadar PO2 dan PCO2 6. Health education tentang keadaan untuk menentukan intervensi
dalam batas normal dan kondisi pasien kepada sesuai indikasi
keluarga 6. Mengurangi kecemasan
7. Kolaborasi pemberian terapi keluarga
medikamentosa 7. Membantu penyembuhan klien
3 Ketidakefektifan NOC : NIC : 1. Menjaga kebersihan oral
bersihan jalan napas 1. Respiratory status : Airway suction mencegah penumpukan sputum
berhubungan dengan Ventilation 1. Pastikan kebutuhan oral / tracheal 2. Mengetahui ada tidaknya
akumulasi sekret 2. Respiratory status : Airway suctioning sputum
patency 2. Auskultasi suara nafas sebelum dan 3. Informed consent tindakan
3. Aspiration Control sesudah suctioning. 4. Menampung O2 sebagai
Kriteria Hasil : 3. Informasikan pada klien dan cadangan
1. Mendemonstrasikan batuk keluarga tentang suctioning 5. O2 masih ada untuk pernapasan
efektif dan suara nafas yang 4. Minta klien nafas dalam sebelum 6. Mencegah infeksi
bersih, tidak ada sianosis dan suction dilakukan. 7. Memberikan waktu pasien
dyspneu (mampu 5. Berikan O2 dengan menggunakan untuk istirahat
mengeluarkan sputum, nasal untuk memfasilitasi suksion 8. Mengetahui status oksigen
mampu bernafas dengan nasotrakeal pasien
mudah, tidak ada pursed 6. Gunakan alat yang steril setiap 9. Mencegah hipoksia yang
lips) melakukan tindakan berlebihan
2. Menunjukkan jalan nafas 7. Anjurkan pasien untuk istirahat dan
yang paten (klien tidak napas dalam setelah kateter
merasa tercekik, irama nafas, dikeluarkan dari nasotrakeal
frekuensi pernafasan dalam 8. Monitor status oksigen pasien
rentang normal, tidak ada 9. Hentikan suction dan berikan
suara nafas abnormal) oksigen apabila pasien 1. Membuat jalan napas paten
3. Mampu mengidentifikasikan menunjukkan bradikardi, 2. Memposisikan yang nyaman
dan mencegah factor yang peningkatan saturasi O2, dll. untuk ventilasi
dapat menghambat jalan Airway Management 3. Mengetahui status respirasi
nafas 1. Buka jalan nafas, guanakan teknik pasien adekuat atau tidak
chin lift atau jaw thrust bila perlu 4. Membantu jalan napas supaya
2. Posisikan pasien untuk paten
memaksimalkan ventilasi 5. Membantu mengeluarkan
3. Identifikasi pasien perlunya sputum
pemasangan alat jalan nafas buatan 6. Mencegah penumpukan sputum
4. Pasang mayo bila perlu didalam paru
5. Lakukan fisioterapi dada jika perlu 7. Mengetahui adanya suara
6. Keluarkan sekret dengan batuk atau tambahan
suction 8. Mencegah jalan napas tidak
7. Auskultasi suara nafas, catat buntu
adanya suara tambahan 9. Vasodilatasi paru
8. Lakukan suction pada mayo 10. Mencegah gesekan yang
9. Berikan bronkodilator bila perlu berlebihan
10. Berikan pelembab udara kassa 11. Menjaga balance cairan
basah NaCl lembab 12. Mengetahui status oksigen
11. Atur intake untuk cairan pasien
mengoptimalkan keseimbangan.
12. Monitor respirasi dan status O2

4 Ketidakseimbangan NOC : NIC :


pemenuhan 1. Nutritional Status : Food Nutrition Management
kebutuhan nutrisi and Fluid Intake 1. Pasang pipa lambung 1. Memenuhi kebuthan nutrisi
kurang dari Kriteria Hasil : sesuai indikasi, periksa posisi pipa pasien
kebutuhan tubuh 1. Adanya peningkatan berat lambung setiap akan memberikan 2. Untuk mencegah terjadinya
berhubungan dengan badan sesuai dengan tujuan makanan regurgitasi dan aspirasi
penurunan kesadaran 2. Berat badan ideal sesuai 2. Tinggikan bagian 3. Mengetahui jumlah intake
dengan tinggi badan kepala tempat tidur setinggi 30 harian pasien
3. Mampu mengidentifikasi derajat 4. Mengetahui adanya tidaknya
kebutuhan nutrisi 3. Catat makanan yang perdarahan gastrointestinal
4. Tidak ada tanda tanda masuk 5. Meningkatkan pengetahuan
malnutrisi 4. Kaji cairan gaster, keluarga
5. Tidak terjadi penurunan muntahan 6. Memenuhi kebutuhan nutrisi
berat badan yang berarti 5. Health education harian pasien
tentang diet dengan keluarga
6. Kolaborasi dengan ahli
gizi dalam pemberian diet yang
sesuai dengan kondisi pasien
5 Nyeri akut NOC : NIC : a. Membantu dalam menentukan
berhubungan dengan - Pain level Pain Management status nyeri pasien dan menjadi
terputusnya - Pain control a. Kaji karakteristik pasien secara data dasar untuk intervensi dan
kontinuitas jaringan - Comfort level PQRST monitoring keberhasilan
Kriteria hasil: b. Lakukan manajemen nyeri sesuai intervensi
a. Mampu mengontrol nyeri skala nyeri misalnya pengaturan b. Meningkatkan rasa nyaman
(tahu penyebab nyeri, posisi fisiologis dengan mengurangi sensasi
mampu menggunakan teknik c. Ajarkan teknik relaksasi seperti tekan pada area yang sakit
nonfarmakologi untuk nafas dalam dan distraksi pada saat c. Hipoksemia lokal dapat
mengurangi nyeri) rasa nyeri datang (jika pasien sadar menyebabkan rasa nyeri dan
b. Melaporkan bahwa nyeri dan kooperatif) peningkatan suplai oksigen
berkurang dengan d. Beri manajemen sentuhan berupa pada area nyeri dapat
menggunakan manajemen pemijatan ringat pada area sekitar membantu menurunkan rasa
nyeri nyeri nyeri
c. Mampu mengenali nyeri e. Kolaborasi dengan pemberian d. Meningkatkan respon aliran
(skala, intensitas, frekuensi analgesik secara periodik darah pada area nyeri dan
dan tanda nyeri) merupakan salah satu metode
d. Menyatakan rasa nyaman pengalihan perhatian
setelah nyeri berkurang e. Mempertahankan kadar obat
dan menghindari puncak
periode nyeri
DAFTAR PUSTAKA

Bulechek, M. B., Butcher, K. H., Dochterman, M. J., & Wagner, M. C. 2015.


Nursing Interventions Classification. Yogyakarta: El-Sevier.
Dewanto, George. 2009. Panduan Praktis Diagnosis & Tata Laksana
Penyakit Saraf. Jakarta: EGC.
Herdman, T. H., & Kamitsuru, S. 2018. NANDA- I Diagnosis Keperawatan
Definisi Dan Klasifikasi 2018-2020. Jakarta: EGC.
Moorhead, S., Jhonson. M., Maas, L. M., & Swanson, E. 2015. Nursing Ourcame
Classification. Yogyakrta: El-Sevier.
Muttaqin, A. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan
Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.
Nasir Muhammad. 2012. Asuhan Keperawatan Pada Ny. A. Dengan Cedera
Kepala Sedang (CKS) Di Instalasi Gawat Darurat RSUD Sragen.
Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Price, Sylvia Anderson, dan Wilson, Lorraine M. 2006. Patofisiologi: Konsep
Klinis Proses-Proses Penyakit. Volume II. Edisi VI. Jakarta: EGC.
Prins. 2013. The Pathophysiology of Traumatic Brain Injury At A Glance.
Disease Models & Mecanisms. (6), 1307-1315.
Sidharta P, Mardjono M. 2005. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat.
Smeltzer, Bare. 2010. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Brunner &
Suddarth. Jakarta: EGC.
Tarwoto. 2007. Keperawatan Medikal Bedah Gangguan Sistem Persarafan.
Jakarta: CV Segung Seto.

Anda mungkin juga menyukai