Anda di halaman 1dari 17

KEBUDAYAAN JEPANG

MAKALAH

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Bahasa Jepang, yang diampu
oleh Bapak Rizki, M.Si

Disusun oleh :

Rizal Zaelani

S1 Keperawatan (3-A)

STIKES KARSA HUSADA GARUT


2019

I
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT yang telah memberikan


kesempatan kepada penulis dalam menyelesaikan “Makalah
Budaya Jepang” ini, dengan lancar tanpa halangan yang berarti.
Makalah ini disusun dengan harapan mampu menambah dan
meningkatkan wawasan penulis pada khususnya dan pembaca
pada umumnya.

Dalam penyusunan makalah ini, tidak lupa penulis sampaikan


terima kasih kepada : Dosen mata kuliah Bahasa Jepang, teman-
teman yang senantiasa mendukung secara moril dan materil, dan
semua pihak yang secara langsung maupun tidak langsung yang
telah membantu terselesaikannya makalah ini.

Penulis sangat menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini


masih banyak kesalahan dan kekurangan. Sehingga kritik dan saran
yang membangun sangat penulis harapkan untuk kebaikan di
kemudian hari.

Akhirnya, semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.

Garut, 16 Maret 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUA...........................................................................................................1
1.1. Latar Belakang.........................................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah....................................................................................................1
1.3. Tujuan......................................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................................2
2.1. Ikebana.....................................................................................................................2
2.2. Samurai....................................................................................................................2
a. Kematian Samurai....................................................................................................8
b. Cara Kematian..........................................................................................................9
BAB III PENUTUP...............................................................................................................13
3.1. Kesimpulan............................................................................................................13
3.2. Saran......................................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................14

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Budaya adalah sesuatu yang sangat menarik jika dicermati lebih dekat yang
setiap belahan dunia memiliki ragam budaya yang menarik dan bernilai tinggi.
Budaya juga merupakan slahsatu hal yang dapat dipelajari dan diaplikasikan dalam
kehidupan sehari-hari.

Oleh karenanya, kami menyusun makalah ini dengan dasar ingin mengenal lebih
dalam kebudayaan Negara lain. Seperti hanya kebudayaan Negara Jepang yang
menjadi topic makalah kami. Sebetulnya, banyak manfaat yang dapat diambil dari
mempelajari adanya budaya. Diantaranya kita dapat menerapkan bagaimana
masyarakat jepang mempertahankan dan melestarikan kebudyaannya.

1.2. Rumusan Masalah


1. Jelaskan yang dimaksud dengan kebudayaan Jepang Ikebana !
2. Jelaskan yang dimaksud dengan kebudayaan Jepang Samurai !

1.3. Tujuan
1. Mengetahui yang dimaksud dengan kebudayaan Jepang Ikebana
2. Mengetahui yang dimaksud dengan kebudayaan Jepang Samurai

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Ikebana

Ikébana ( 生花?) adalah seni merangkai bunga yang memanfaatkan berbagai


jenis bunga, rumput-rumputan dan tanaman dengan tujuan untuk dinikmati
keindahannya. Ikebana berasal dari Jepang tapi telah meluas ke seluruh dunia. Dalam
bahasa Jepang, Ikebana juga dikenal dengan istilah kadō (華道?, ka, bunga; do, jalan
kehidupan) yang lebih menekankan pada aspek seni untuk mencapai kesempurnaan
dalam merangkai bunga.

Didalam Ikebana terdapat berbagai macam aliran yang masing-masing mempunyai


cara tersendiri dalam merangkai berbagai jenis bunga. Aliran tertentu mengharuskan
orang melihat rangkaian bunga tepat dari bagian depan, sedangkan aliran lain
mengharuskan orang melihat rangkaian bunga yang berbentuk tiga dimensi sebagai
benda dua dimensi saja.

Pada umumnya, bunga yang dirangkai dengan teknik merangkai dari Barat (flower
arrangement) terlihat sama indahnya dari berbagai sudut pandang secara tiga dimensi
dan tidak perlu harus dilihat dari bagian depan.

Berbeda dengan seni merangkai bunga dari Barat yang bersifat dekoratif, Ikebana
berusaha menciptakan harmoni dalam bentuk linier, ritme dan warna. Ikebana tidak
mementingkan keindahan bunga tapi pada aspek pengaturannya menurut garis linier.
Bentuk-bentuk dalam Ikebana didasarkan tiga titik yang mewakili langit, bumi, dan
manusia.

2.2. Samurai

Istilah samurai ( 侍 ), pada awalnya mengacu kepada “seseorang yang mengabdi


kepada

2
bangsawan”. Pada zaman Nara, (710 – 784), istilah ini diucapkan saburau dan
kemudian menjadi saburai. Selain itu terdapat pula istilah lain yang mengacu kepada
samurai yakni bushi. Istilah bushi ( 武 士 ) yang berarti “orang yang
dipersenjatai/kaum militer”, pertama kali muncul di dalam Shoku Nihongi ( 続日本
紀), pada bagian catatan itu tertulis “secara umum, rakyat dan pejuang (bushi) adalah
harta negara”. Kemudian berikutnya istilah samurai dan bushi menjadi sinonim pada
akhir abad ke-12 (zaman Kamakura).

Pada zaman Azuchi-Momoyama (1573 – 1600) dan awal zaman Edo (1603), istilah
saburai berubah menjadi samurai yang kemudian berubah pengertian menjadi “orang
yang mengabdi”.Namun selain itu dalam sejarah militer Jepang, terdapat kelompok
samurai yang tidak terikat/mengabdi kepada seorang pemimpin/atasan yang dikenal
dengan rōnin ( 浪 人 ). Rōnin ini sudah ada sejak zaman Muromachi (1392). istilah
rōnin digunakan bagi samurai tak bertuan pada zaman Edo (1603 – 1867).
Dikarenakan adanya pertempuran yang berkepanjangan sehingga banyak samurai
yang kehilangan tuannya. kehidupan seorang rōnin bagaikan ombak dilaut tanpa arah
tujuan yang jelas. Ada beberapa alasan seorang samurai menjadi rōnin. Seorang
samurai dapat mengundurkan diri dari tugasnya untuk menjalani hidup sebagai rōnin.
Adapula rōnin yang berasal dari garis keturunan, anak seorang rōnin secara otomatis
akan menjadi rōnin. Eksistensi rōnin makin bertambah jumlahnya diawali
berakhirnya perang Sekigahara (1600), yang mengakibatkan jatuhnya kaum
samurai/daimyo yang mengakibatkan para samurai kehilangan majikannya. Dalam
catatan sejarah militer di Jepang, terdapat data-data yang menjelaskan bahwa pada
zaman Nara (710 – 784), pasukan militer Jepang mengikuti model yang ada di Cina
dengan memberlakukan wajib militer dan dibawah komando langsung Kaisar. Dalam
peraturan yang diberlakukan tersebut setiap laki-laki dewasa baik dari kalangan
petani maupun bangsawan, kecuali budak, diwajibkan untuk mengikuti dinas militer.
Secara materi peraturan ini amat berat, karena para wakil tersebut atau kaum milter
harus membekali diri secara materi sehingga banyak yang menyerah dan tidak

3
mematuhi peraturan tersebut. Selain itu pula pada waktu itu kaum petani juga
dibebani wajib pajak yang cukup berat sehingga mereka melarikan diri dari
kewajiban ini.

Pasukan yang kemudian terbentuk dari wajib militer tersebut dikenal dengan
sakimori ( 防人) yang secara harfiah berarti “pembela”, namun pasukan ini tidak ada
hubungannya dengan samurai yang ada pada zaman berikutnya.Setelah tahun 794,
ketika ibu kota dipindahkan dari Nara ke Heian (Kyoto), kaum bangsawan menikmati
masa kemakmurannya selama 150 tahun dibawah pemerintahan kaisar. Tetapi,
pemerintahan daerah yang dibentuk oleh pemerintah pusat justru menekan para
penduduk yang mayoritas adalah petani. Pajak yang sangat berat menimbulkan
pemberontakan di daerah-daerah, dan mengharuskan petani kecil untuk bergabung
dengan tuan tanah yang memiliki pengaruh agar mendapatkan pemasukan yang lebih
besar.

Dikarenakan keadaan negara yang tidak aman, penjarahan terhadap tuan tanah pun
terjadi baik di daerah dan di ibu kota yang memaksa para pemilik shoen (tanah milik
pribadi) mempersenjatai keluarga dan para petaninya. Kondisi ini yang kemudian
melahirkan kelas militer yang dikenal dengan samurai.Kelompok toryo (panglima
perang) dibawah pimpinan keluarga Taira dan Minamoto muncul sebagai pemenang
di Jepang bagian Barat dan Timur, tetapi mereka saling memperebutkan kekuasaan.
Pemerintah pusat, dalam hal ini keluarga Fujiwara, tidak mampu mengatasi polarisasi
ini, yang mengakibatkan berakhirnya kekuasaan kaum bangsawan. Kaisar Gonjo
yang dikenal anti-Fujiwara, mengadakan perebutan kekuasaan dan memusatkan
kekuasaan politiknya dari dalam o-tera yang dikenal dengan insei seiji. Kaisar
Shirakawa,menggantikan kaisar Gonjo akhirnya menjadikan o-tera sebagai markas
politiknya. Secara lihai, ia memanfaatkan o-tera sebagai fungsi keagamaan dan fungsi
politik.Tentara pengawal o-tera, souhei ( 僧 兵 ) pun ia bentuk, termasuk memberi
sumbangan tanah (shoen) pada o-tera. Lengkaplah sudah o-tera memenuhi syarat
sebagai “negara” di dalam negara. Akibatnya, kelompok kaisar yang anti

4
pemerintahan o-tera mengadakan perlawanan dengan memanfaatkan kelompok Taira
dan Minamoto yang sedang bertikai.Keterlibatan Taira dan Minamoto dalam
pertikaian ini berlatar belakang pada kericuhan yang terjadi di istana menyangkut
perebutan tahta, antara Fujiwara dan kaisar yang pro maupun kotra terhadap o-tera.
Perang antara Minamoto, yang memihak o-tera melawan Taira, yang memihak istana,
muncul dalam dua pertempuran besar yakni Perang Hogen (1156) dan Perang Heiji
(1159). Peperangan akhirnya dimenangkan oleh Taira yang menandai perubahan
besar dalam struktur kekuasaan politik. Untuk pertama kalinya, kaum samurai
muncul sebagai kekuatan politik di istana.Taira pun mengangkat dirinya sebagai kuge
( 公家- bangsawan kerajaan), sekaligus memperkokoh posisi samurai-nya. Sebagian
besar keluarganya diberi jabatan penting dan dinobatkan sebagai bangsawan
Keangkuhan keluarga Taira akhirnya melahirkan konspirasi politik tingkat tinggi
antara keluarga Minamoto (yang mendapat dukungan dari kaum bangsawan) dengan
kaisar Shirakawa, yang pada akhirnya mengantarkan keluarga Minamoto mendirikan
pemerintahan militer pertama di Kamakura (Kamakura Bakufu; 1192 – 1333).

Ketika Minamoto Yoritomo wafat pada tahun 1199, kekuasaan diambil alih oleh
keluarga Hojo yang merupakan pengikut Taira. Pada masa kepemimpinan keluarga
Hojo (1199 -1336), ajaran Zen masuk dan berkembang di kalangan samurai. Para
samurai mengekspresikan Zen sebagai falsafah dan tuntunan hidup mereka.Pada
tahun 1274, bangsa Mongol datang menyerang Jepang. Para samurai yang tidak
terbiasa berperang secara berkelompok dengan susah payah dapat mengantisipasi
serangan bangsa Mongol tersebut. Untuk mengantisipasi serangan bangsa Mongol
yang kedua (tahun 1281), para samurai mendirikan tembok pertahanan di teluk
Hakata (pantai pendaratan bangsa mongol) dan mengadopsi taktik serangan malam.
Secara menyeluruh, taktik berperang para samurai tidak mampu memberikan
kehancuran yang berarti bagi tentara Mongol, yang menggunakan taktik pengepungan
besar-besaran, gerak cepat, dan penggunaan senjata baru (dengan menggunakan
mesiu). Pada akhirnya, angin topanlah yang menghancurkan armada Mongol, dan

5
mencegah bangsa Mongol untuk menduduki Jepang. Orang Jepang menyebut angin
ini kamikaze (dewa angin).Dua hal yang diperoleh dari penyerbuan bangsa Mongol
adalah pentingnya mobilisasi pasukan infantri secara besar-besaran, dan kelemahan
dari kavaleri busur panah dalam menghadapi penyerang. Sebagai akibatnya, lambat
laun samurai menggantikan busur-panah dengan “pedang” sebagai senjata utama
samurai. Pada awal abad ke-14, pedang dan tombak menjadi senjata utama di
kalangan panglima perang. Pada zaman Muromachi (1392 – 1573), diwarnai dengan
terpecahnya istana Kyoto menjadi dua, yakni Istana Utara di Kyoto dan Istana Selatan
di Nara.

Selama 60 tahun terjadi perselisihan sengit antara Istana Utara melawan Istana
Selatan (nambokuchō tairitsu).Pertentangan ini memberikan dampak terhadap
semakin kuatnya posisi kaum petani dan tuan tanah daerah (shugo daimyō) dan
semakin lemahnya shogun Ashikaga di pemerintahan pusat. Pada masa ini, Ashikaga
tidak dapat mengontrol para daimyō daerah. Mereka saling memperkuat posisi dan
kekuasaannya di wilayah masing-masing. Setiap Han13 seolah terikat dalam sebuah
negara-negara kecil yang saling mengancam. Kondisi ini melahirkan krisis panjang
dalam bentuk perang antar tuan tanah daerah atau sengoku jidai (1568 – 1600). Tetapi
krisis panjang ini sesungguhnya merupakan penyaringan atau kristalisasi tokoh
pemersatu nasional, yakni tokoh yang mampu menundukkan tuan-tuan tanah daerah,
sekaligus menyatukan Jepang sebagai “negara nasional” di bawah satu pemerintahan
pusat yang kuat. Tokoh tersebut adalah Jenderal Oda Nobunaga dan Toyotomi
Hideyoshi.Oda Nobunaga, seorang keturunan daimyo dari wilayah Owari dan
seorang ahli strategi militer, mulai menghancurkan musuh-musuhnya dengan cara
menguasai wilayah Kinai, yaitu Osaka sebagai pusat perniagaan, Kobe sebagai pintu
gerbang perdagangan dengan negara luar, Nara yang merupakan “lumbung padi”, dan
Kyoto yang merupakan pusat pemerintahan Bakufu Muromachi dan istana
kaisar.Strategi terpenting yang dijalankannya adalah Oda Nobunaga dengan
melibatkan agama untuk mencapai ambisinya. Pedagang portugis yang membawa

6
agama Kristen, diberi keleluasaan untuk menyebarkan agama itu di seluruh Jepang.
Tujuan strategis Oda dalam hal ini adalah agar ia secara leluasa dapat memperoleh
senjata api yang diperjualbelikan dalam kapal-kapal dagang Portugis, sekaligus
memonopoli perdagangan dengan pihak asing.

Dengan memiliki senjata api (yang paling canggih pada masa itu), Oda akan dapat
menundukkan musuh-musuhnya lebih cepat dan mempertahankan wilayah yang telah
dikuasainya serta membentuk pemerintahan pusat yang kokoh. Oda Nobubunaga
membangun benteng Azuchi Momoyama pada tahun 1573 setelah berhasil
menjatuhkan Bakufu Muromachi. Strategi Oda dengan melindungi agama Kristen
mendatangkan sakit hati bagi pemeluk agama Budha. Pada akhirnya, ia dibunuh oleh
pengikutnya sendiri, Akechi Mitsuhide, seorang penganut agama Budha yang fanatik,
pada tahun 1582 di Honnoji, sebelum ia berhasil menyatukan seluruh
Jepang.Toyotomi Hideyoshi, yang merupakan pengikut setia Oda, melanjutkan
penyatuan Jepang, dan tugasnya ini dituntaskan pada tahun 1590 dengan
menaklukkan keluarga Hojo di Odawara dan keluarga Shimaru di Kyushu tiga tahun
sebelumnya. Terdapat dua peraturan penting yang dikeluarkan Toyotomi : taiko
kenchi (peraturan kepemilikan tanah) dan katana garirei (peraturan perlucutan
pedang) bagi para petani. Kedua peraturan ini secara strategis bermaksud
“mengontrol” kekayaan para tuan tanah dan mengontrol para petani agar tidak
melakukan perlawanan atau pemberontakan bersenjata. Keberhasilan Toyotomi
menaklukkan seluruh tuan tanah mendatangkan masalah tersendiri. Semangat menang
perang dengan energi pasukan yang tidak tersalurkan mendatangkan ancaman internal
yang menjurus kepada disintegrasi bagi keluarga militer yang tidak puas atas
kemenangan Toyotomi. Dalam hal inilah Toyotomi menyalurkan kekuatan dahsyat
tersebut untuk menyerang Korea pada tahun 1592 dan 1597. Sayang serangan ini
gagal dan Toyotomi wafat pada tahun 1598, menandakan awal kehancuran bakufu
Muromachi.Kecenderungan terdapat perilaku bawahan terhadap atasan yang dikenal
dengan istilah gekokujō ini telah muncul tatkala Toyotomi menyerang Korea. Ketika

7
itu, Tokugawa Ieyasu mulai memperkuat posisinya di Jepang bagian timur,
khususnya di Edo (Tokyo). Kemelut ini menyulut perang besar antara kelompok-
kelompok daimyo yang memihak Toyotomi melawan daimyo yang memihak
Tokugawa di medan perang Sekigahara pada tahun 1600. Kemenangan berada di
pihak Tokugawa di susul dengan didirikannya bakufu Edo pada tahun 1603.

a. Kematian Samurai
Kematian dianggap sebagai jalan yang mulia bagi seorang samurai daripada
tindakan pahlawan-pahlawan lain. Cara kematian dianggap suatu hal yang
sangat penting bagi seorang samurai. Ajaran yang menerangkan mengenai
“mati yang terbaik” telah ditulis di dalam sebuah buku, Hagakure pada kurun
ke-18. Ditulis lama selepas tentera samurai berangkat ke medan peperangan,
Hagakure - buku tersebut dikatakan telah membawa semangat dan panji
samurai ke arah kemelaratan dan kesesatan. Tidak dapat dinafikan, wujudnya
satu idealisme yang baik di dalam buku tersebut tetapi telah telah
disalahtafsirkan oleh para samurai kerana kekaburan maksud kalimatnya.
Malah, contoh utama yang boleh dipaparkan di sini terletak di Bab
Pendahuluan buku Hagakure itu sendiri: “Jalan Samurai ditemui dalam
kematian. Apabila tiba kepada kematian, yang ada di sini hanya pilihan yang
pantas untuk kematian.”Baris-baris kalimat di atas kemudian menjadi ayat-
ayat yang paling popular dalam kebanyakan buku dan majalah mengenai
samurai atau budaya bela diri masyarakat Jepang. Petikan di bawah
merupakan antara isi kandungan buku Hagakure: “Kita semua mau hidup.
Dalam kebanyakan perkara kita melakukan sesuatu berdasarkan apa yang kita
suka. Tetapi sekiranya tidak mencapai tujuan kita dan terus untuk hidup
adalah sesuatu tindakan yang pengecut. Tiada keperluan untuk malu dalam
soal ini. Ini adalah Jalan Samurai (Bushido). Jika sudah ditetapkan jantung
seseorang untuk setiap pagi dan malam, seseorang itu akan dapat hidup
walaupun jasadnya sudah mati, dia telah mendapat kebebasan dalam Jalan

8
tersebut. Keseluruhan hidupnya tidak akan dipersalahkan dan dia akan
mencapai apa yang dihajatinya.”Buku Hagakure telah mempengaruhi
kehidupan para samurai. Kematian Nobufusa dan Taira Tomomori juga
dipengaruhi oleh buku ini. Taira Tomomori boleh dianggap sebagai Jeneral
Taira yang paling agung, telah membunuh diri kerana nasihatnya telah
diabaikan pada saat-saat akhir ketika Perang Gempei. Pada pengakhiran
konfrontasi ketika Perang Gempei, Tomomori telah mendesak rajanya,
Munemori, supaya menyingkirkan seorang jeneral yang diragui kesetiaannya.
Munemori telah menolak usulnya, dan ketika berlangsungnya Pertempuran
Dan no Ura (1185), jeneral tersebut telah mengkhianati perjuangan Taira.
Lantaran kecewa karena nasehat pentingnya diabaikan, Tomomori membuat
keputusan untuk menamatkan riwayatnya sendiri. Seterusnya kita akan
bincangkan mengenai Dua Kematian Cara Samurai iaitu Mati Di Medan
Pertempuran dan Seppuku.
b. Cara Kematian
1. Mati di medan pertempuran

Sebagaimana pejuang-pejuang Islam yang menganggap mati syahid dalam


peperangan untuk membela Islam sebagai satu kemuliaan, begitu juga dengan
para samurai. Mati dibunuh di medan perang adalah lebih baik daripada hidup
tetapi ditangkap oleh musuh. Salah seorang samurai yang terkenal, Uesugi
Kenshin sempat meninggalkan pesanan kepada para pengikutnya sebelum
mati: “Seseorang yang tidak mau mati karena tertusuk panah musuh tidak
akan mendapat perlindungan daripada Tuhan. Bagi kamu yang tidak mau mati
karena dipanah oleh tentara biasa, karena mau mati di tangan pahlawan yang
handal atau terkenal, akan mendapat perlindungan Tuhan.”Tidak ada samurai
yang pernah terhindar daripada bayangan maut semasa di medan perang.
Kebanyakan nama besar dalam dunia samurai tumbang di medan perang.

9
Ayah Uesugi Kenshin terbunuh di dalam pertempuran, sebagaimana Imagawa
Yoshimoto, Ryuzoji Takanobu, Saito Dosan, Uesugi Tomosada... sementara
yang lain telah mengambil keputusan untuk membunuh diri selepas
perjuangan mereka telah dipatahkan, dari zaman Minamoto Yorimasa (kurun
ke-12) sampai pada zaman Sue Harukata (kurun ke-16). Kebiasaanya,
seseorang samurai akan membuat puisi kematian ketika menjelang maut.

2. Seppuku

Tindakan dimana seseorang menyobek perutnya, sebagai suatu cara


membunuh diri. Merupakan unsur yang paling popular dalam mitos samurai.
Bagi seorang samurai, membunuh diri adalah lebih baik daripada membiarkan
ditangkap, karena sekiranya samurai itu masih hidup dan ditangkap, ia
dianggap membawa malu kepada nama keluarga dan raja. Di Barat, cara
membunuh diri ini dipanggil Hara-kiri (artinya tindakan Membunuh Diri
dengan membelah perut – tetapi istilah ini tidak digunakan oleh para samurai),
tidak diketahui kapan istilah itu digunakan. Walau bagaimana pun, seperti
yang tercatat dalam sejarah, Seppuku ini mula dilakukan oleh Minamoto
Tametomo dan Minamoto Yorisama pada akhir kurun ke-12. Dari sinilah
asalnya seorang samurai memilih cara ini karena lebih mudah melakukan
dibandingkan membunuh diri dengan cara memenggal kepala sendiri. Ada
juga yang mengatakan bahawa dengan melakukan seppuku, iaitu dengan
membelah perut adalah merupakan cara yang paling jujur untuk mati. Ini
karena, dia sebelum mati akan merasai kesakitan yang amat sangat dan ini
mungkin tidak berani dihadapi oleh kebanyakan orang. Oleh karena itu, mati
dengan cara seppuku dianggap sebagai suatu keberanian dan kehormatan.Pada
zaman Edo, seppuku telah menjadi sebagai salah satu upacara terhormat
dalam kebudayaan Jepang. Mula-mula, karpet tatami putih akan dikeluarkan,
kemudian satu bantal yang besar akan diletakkan di atasnya .

10
Para saksi pembunuhan akan berdiri di sebelah samurai tersebut (pelaku
seppuku), bergantung kepada pentingnya kematian (sebagai satu nilai
penghormatan kepada pelaku seppuku). Samurai yang menjalani seppuku,
memakai baju kimono putih, akan duduk berlutut (seiza) di atas bantal
tersebut. Di sebelah kiri, pada jarak kira-kira satu meter dari samurai tersebut,
seorang kaishakunin, atau `kedua’ akan turut berlutut. Kaishakunin atau
`Kedua’ adalah sahabat akrab kepada samurai yang telah meninggal kerana
melakukan seppuku. Karena perbuatan ini dianggap tidak senonoh dan amat
memalukan (tabu), maka hanya orang-orang yang layak dan terpilih
(berkesanggupan untuk melakukan tugas membantu) saja yang akan menjadi
kaishakunin.Di depan samurai (pelaku seppuku) ini akan ada sebilah pisau
bersarung yang terletak di dalam talam. Apabila samurai tersebut merasakan
dia telah siap, samurai tersebut akan menanggalkan kimononya dan
membebaskan bagian perutnya. Kemudian dia akan mengangkat pisau dengan
sebelah tangan, manakala sebelah tangan lagi menanggalkan sarung pisau
tersebut dan meletakkannya ke tepi.Apabila dia telah bersedia, dia akan
mengarahkan mata pisau tersebut pada sebelah kiri perut, dan
menggoreskannya ke kanan. Selepas itu, pisau tersebut akan diputar dalam
keadaan masih terbenam di dalam perut dan ditarik ke atas. Kebanyakan
samurai tidak sanggup lagi untuk melakukan tindakan ini, maka ketika inilah
kaishakunin (artinya kedua) akan memenggal kepala samurai tersebut setelah
melihat sejauh mana kesakitan yang terpapar pada wajahnya.Tindakan yang
dilakukan sampai selesai dikenali sebagai jumonji (crosswise), sayatan
bintang, dan seandainya samurai (pelaku seppuku) dapat melakukannya, maka
seppuku yang dilakukannya dianggap amat bernilai dan disanjung tinggi.
Seppuku juga mempunyai nama-nama tertentu, bergantung kepada fungsi atau
sebab melakukannya:

11
Junshi : Dilakukan sebagai tanda kesetiaan kepada raja, apabila raja tersebut
meninggal. Pada zaman Edo, junshi telah diharamkan karena dianggap sia-sia
dan merugikan karena negara akan banyak kehilangan perwira yang setia.
Semasa kematian Maharaja Meiji pada 1912, Jeneral Nogi Maresue telah
melakukan junshi.

Kanshi: Membunuh diri semasa demonstrasi. Tidak begitu popular,


melibatkan seseorang yang melakukan seppuku sebagai tanda peringatan
kepada seseorang raja apabila segala bentuk musyawarah (persuasion) gagal.
Hirate Nakatsukasa Kiyohide (1493-1553) telah melakukan kanshi untuk
mengubah prinsip dan pemikiran Oda Nobunaga.

Sokotsu-shi: Seseorang samurai akan melakukan seppuku sebagai tanda


menebus kesalahannya. Ini merupakan sebab yang paling popular dalam
melakukan seppuku. Antara samurai yang melakukan sokotsu-shi ini
termasuklah Jeneral Takeda, Yamamoto Kansuke Haruyuki (1501-1561),
karena telah membuat satu rencana yang akhirnya meletakkan posisi rajanya
di dalam bahaya.

12
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Demikian makalah ini kami sususun, mohon maaf bila banyak kekurangan. Namun
ada beberapa point yang dapat kami simpulkan yang berupa penilaian atau
argumentasi terhadap budaya jepang.

1. Keanekaragaman buadaya jepang memiliki nilai esensi yang tinggi


dengan karakteristik yang berbeda-beda.
2. Indonesia perlu memaplikasikan program-program masyarakat jepang
dalam mempertahankan budyanya.
3. Kebudayaan jepang memiliki nilai budaya yang tinggi, yang sampai
sekarang masih mengkombinasikan budaya tradisionalnya ditengah
zaman modern saat ini.
4. Kebudayaan Jepang sangat tertata, rapih dan lebih tradisionalis

3.2. Saran

Semoga makalah ini dapat memberikan inspirasi bagi kita semua untuk selalau
menjaga dan melestarikan budaya agar dapat menjadi buah tangan bagi cucu kita
nanti. Terimakasih atas semua pihak yang telah mendukung tersusunya makalah ini.

13
DAFTAR PUSTAKA

Tomio Takahashi. Sei-i Taishōgun mō hitotsu no kokkashuken. Chūkōshinso, 1987.

Adji Prakoso. KEBUDAYAAN JEPANG. Dikases dari : https://adji-


pras.blogspot.com/2015/02/kebudayaan-jepang-samurai.html#.XgsP1dIzbIU

14

Anda mungkin juga menyukai