Anda di halaman 1dari 100

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Gagal nafas terjadi bilamana pertukaran oksigen terhadap
karbondioksida dalam paru-paru tidak dapat memelihara laju komsumsioksigen
dan pembentukan karbon dioksida dalam sel-sel tubuh. Sehingga menyebabkan
tegangan oksigen kurang dari 50 mmHg (Hipoksemia) dan peningkatan tekanan
karbondioksida lebih besar dari 45 mmHg (hiperkapnia). (Brunner & Sudarth,
2001).
Asma merupakan penyakit inflamasi kronik saluran napas yang
disebabkan oleh reaksi hiperresponsif sel imun tubuh seperti sel mast,
eosinofil, dan limfosit-T terhadap stimulus tertentu dan menimbulkan gejala
dyspnea, wheezing, dan batuk akibat obstruksi jalan napas yang bersifat
reversibel dan terjadi secara episodik berulang (Brunner & Suddarth, 2001).
Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) merupakan kerusakan paru
total akibat berbagai etiologi. Keadaan ini dapat dipicu oleh berbagai hal,
misalnya sepsis, pneumonia viral atau bakterial, aspirasi isi lambung, trauma
dada, syok yang berkepanjangan, terbakar, emboli lemak, tenggelam, transfusi
darah masif, bypass kardiopulmonal, keracunan O2, perdarahan pankreatitis akut,
inhalasi gas beracun, serta konsumsi obat-obatan tertentu. ADRS merupakan
keadaan darurat medis yang dipicu oleh berbagai proses akut yang berhubungan
langsung ataupun tidak langsung dengan kerusakan paru (Aryanto Suwondo,
2006).
Edema paru adalah suatu keadaan dimana terkumpulnya cairan
ekstravaskular yang patologis pada jaringan parenkim paru. Edema paru
disebabkan karena akumulasi cairan di paru-paru yang dapat disebabkan oleh
tekanan intrvaskular yang tinggi (edema paru kardiak) atau karena peningkatan
permeabilitas membran kapiler (edema paru non kardiak) yang mengakibatkan
terjadinya ekstravasasi cairan. Pada sebagian besar edema paru secara klinis
mempunyai kedua aspek tersebut di atas, sebab sangat sulit terjadi gangguan
permeabilitas kapiler tanpa adanya gangguan tekanan pada mikrosirkulasi atau

1
sebaliknya. Walaupun demikian penting sekali untuk menetapkan factor mana
yang dominan dari kedua mekanisme tersebut sebagai pedoman pengobatan.
(Sjaharudin Harun & Sally Aman Nasution,2006)
Edema paru terjadi dikarenakan aliran cairan dari pembuluh darah ke
ruang intersisial paru yang selanjutnya ke alveoli paru, melebihi aliran cairan
kembali ke darah atau melalui saluran limfatik. Edema paru terjadi ketika cairan
yang disaring ke paru lebih cepat dari cairan yang dipindahkan. Penumpukan
cairan menjadi masalah serius bagi fungsi paru karena efisiensi perpindahan gas di
alveoli tidak bisa terjadi. Struktur paru dapat menyesuaikan bentuk edema dan
yang mengatur perpindahan cairan dan protein di paru menjadi masalah yang
klasik.
Trauma thoraks adalah luka atau cedera yang mengenai rongga thorax
yang dapat menyebabkan kerusakan pada dinding thorax ataupun isi dari cavum
thorax yang disebabkan oleh benda tajam atau benda tumpul dan dapat
menyebabkan keadaan gawat thorax akut. Trauma thoraks diklasifikasikan dengan
tumpul dan tembus. Trauma tumpul merupakan luka atau cedera yang mengenai
rongga thorax yang disebabkan oleh benda tumpul yang sulit diidentifikasi
keluasan kerusakannya karena gejala-gejala umum dan rancu (Brunner &
Suddarth, 2002).
Trauma dada adalah abnormalitas rangka dada yang disebabkan oleh
benturan pada dinding dada yang mengenai tulang rangka dada, pleura paru-paru,
diafragma ataupun isi mediastinal baik oleh benda tajam maupun tumpul yang
dapat menyebabkan gangguan system pernafasan.
Kolapsnya paru atau alveolus disebut atelektasis, alveolus yang kolaps
tidak mengandung udara sehingga tidak dapat ikut serta di dalam pertukaran gas.
Kondisi ini mengakibatkan penurunan luas permukaan yang tersedia untuk proses
difusi dan kecepatan pernafasan berkurang. ( Elizabeth J.Corwin , 2009)
Atelektasis adalah pengkerutan sebagian atau seluruh paru-paru akibat
penyumbatan saluran udara ( bronkus maupun bronkiolus ) atau akibat pernafasan
yang sangat dangkal.

2
1.2 RUMUSAN MASALAH
1.2.1 Bagaimanakah konsep dasar penyakit Gagal Nafas ?
1.2.2 Bagaimanakah konsep dasar penyakit Asma Attack ?
1.2.3 Bagaimanakah konsep dasar penyakit ARDS ?
1.2.4 Bagaimanakah konsep dasar penyakit Odem Paru ?
1.2.5 Bagaimanakah konsep dasar penyakit Ateletaksis ?
1.2.6 Bagaimanakah konsep dasar penyakit Trauma Thorak ?

1.3 TUJUAN MASALAH


1.3.1 Untuk mengetahui konsep dasar penyakit Gagal Nafas
1.3.2 Untuk mengetahui konsep dasar penyakit Asma Attack
1.3.3 Untuk mengetahui konsep dasar penyakit ARDS
1.3.4 Untuk mengetahui konsep dasar penyakit Odem Paru
1.3.5 Untuk mengetahui konsep dasar penyakit Ateletaksis
1.3.6 Untuk mengetahui konsep dasar penyakit Trauma Thorak

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 PENYAKIT GAGAL NAFAS


2.1.1 PENGERTIAN
2.2 Gagal nafas adalah kegagalan sistem pernafasan untuk mempertahankan
pertukaran oksigen dankarbondioksida dalam jumlah yangdapat
mengakibatkan gangguan pada kehidupan (RS Jantung “Harapan Kita”,
2001)
2.3 Gagal nafas terjadi bilamana pertukaran oksigen terhadap
karbondioksida dalam paru-paru tidak dapat memelihara laju
komsumsioksigen dan pembentukan karbon dioksida dalam sel-sel
tubuh. Sehingga menyebabkan tegangan oksigen kurang dari 50 mmHg
(Hipoksemia) dan peningkatan tekanan karbondioksida lebih besar dari
45 mmHg (hiperkapnia). (Brunner & Sudarth, 2001)

2.1.2 PATOFISIOLOGI
Gagal nafas ada dua macam yaitu gagal nafas akut dan gagal nafas
kronik dimana masing masing mempunyai pengertian yang bebrbeda. Gagal
nafas akut adalah gagal nafas yang timbul pada pasien yang parunyanormal
secara struktural maupun fungsional sebelum awitan penyakit timbul.
Sedangkan gagal nafas kronik adalah terjadi pada pasien dengan penyakit
paru kronik seperti bronkitis kronik, emfisema dan penyakit paru hitam
(penyakit penambang batubara).Pasien mengalalmi toleransi terhadap
hipoksia dan hiperkapnia yang memburuk secara bertahap. Setelah gagal
nafas akut biasanya paru-paru kembali kekeasaan asalnya. Pada gagal nafas
kronik struktur paru alami kerusakan yang ireversibel.
Indikator gagal nafas telah frekuensi pernafasan dan kapasitas vital,
frekuensi penapasan normal ialah 16-20 x/mnt. Bila lebih dari20x/mnt
tindakan yang dilakukan memberi bantuan ventilator karena “kerja
pernafasan” menjadi tinggi sehingga timbul kelelahan. Kapasitasvital adalah
ukuran ventilasi (normal 10-20 ml/kg).

4
Gagal nafas penyebab terpenting adalah ventilasi yang tidak adekuatdimana
terjadi obstruksi jalan nafas atas. Pusat pernafasan yang mengendalikan
pernapasan terletak di bawah batang otak (pons dan medulla). Pada kasus
pasien dengan anestesi, cidera kepala, stroke, tumor otak, ensefalitis,
meningitis, hipoksia dan hiperkapnia mempunyai kemampuan menekan
pusat pernafasan. Sehingga pernafasan menjadi lambat dan dangkal. Pada
periode postoperatif dengan anestesi bisa terjadi pernafasan tidak adekuat
karena terdapat agen menekan pernafasan denganefek yang dikeluarkanatau
dengan meningkatkan efek dari analgetik opiood. Pnemonia atau dengan
penyakit paru-paru dapat mengarah ke gagal nafas akut.

5
6
2.1.3 ETIOLOGI
2.1.3.1.1.1 Depresi Sistem saraf pusat
Mengakibatkan gagal nafas karena ventilasi tidak adekuat. Pusat
pernafasan yang menngendalikan pernapasan, terletak dibawah batang
otak (pons dan medulla) sehingga pernafasan lambat dan dangkal.
2.1.3.1.1.2 Kelainan neurologis primer
Akan memperngaruhi fungsi pernapasan. Impuls yang timbul dalam
pusat pernafasan menjalar melalui saraf yang membentang dari batang
otak terus ke saraf spinal ke reseptor pada otot-otot pernafasan. Penyakit
pada saraf seperti gangguan medulla spinalis, otot-otot pernapasan atau
pertemuan neuromuslular yang terjadi pada pernapasan akan
sangatmempengaruhiventilasi.
2.1.3.1.1.3 Efusi pleura, hemotoraks dan pneumothoraks
Merupakan kondisi yang mengganggu ventilasi melalui penghambatan
ekspansi paru. Kondisi ini biasanya diakibatkan penyakti paru yang
mendasari, penyakit pleura atau trauma dan cedera dan dapat
menyebabkan gagal nafas.
2.1.3.1.1.4 Trauma
Disebabkan oleh kendaraan bermotor dapat menjadi penyebab gagal
nafas. Kecelakaan yang mengakibatkan cidera kepala, ketidaksadaran
dan perdarahan dari hidung dan mulut dapat mnegarah pada obstruksi
jalan nafas atas dan depresi pernapasan. Hemothoraks, pnemothoraks
dan fraktur tulang iga dapat terjadi dan mungkin meyebabkan gagal
nafas. Flail chest dapat terjadi dan dapat mengarah pada gagal nafas.
Pengobatannya adalah untuk memperbaiki patologi yang mendasar
2.1.3.1.1.5 Penyakit akut paru
Pnemonia disebabkan oleh bakteri dan virus. Pnemonia kimiawi atau
pnemonia diakibatkan oleh mengaspirasi uap yang mengritasi dan
materi lambung yang bersifat asam. Asma bronkial, atelektasis,
embolisme paru dan edema paru adalah beberapa kondisi lain yang
menyababkan gagal nafas.

7
2.1.4 TANDA DAN GEJALA
 Tanda Gagal nafas total
a) Aliran udara di mulut, hidung tidak dapat
didengar/dirasakan.
b) Pada gerakan nafas spontan terlihat retraksi
supra klavikuladan sela iga serta tidak ada pengembangan dada
pada inspirasi
c) Adanya kesulitasn inflasi parudalam usaha
memberikan ventilasi buatan gagal nafas parsial
d) Terdenganr suara nafas tambahan gargling,
snoring, Growing dan whizing.
e) Ada retraksi dada
 Gejala
a) Hiperkapnia yaitu penurunan kesadaran (PCO2)
b) Hipoksemia yaitu takikardia, gelisah, berkeringat atau sianosis
(PO2 menurun).

2.1.5 PEMERIKSAAN PENUNJANG


 Pemerikasan gas-gas darah arteri
Hipoksemia
Ringan : PaO2 < 80 mmHg
Sedang : PaO2 < 60 mmHg
Berat : PaO2 < 40 mmHg
 Pemeriksaan rontgen dada
Melihat keadaan patologik dan atau kemajuan proses penyakit yang
tidak diketahui
 Hemodinamik
Tipe I : peningkatan PCWP
 EKG
Mungkin memperlihatkan bukti-bukti regangan jantung di sisi kanan
Disritmia

8
2.1.6 PENGKAJIAN
Pengkajian Primer
1. Airway
 Peningkatan sekresi pernapasan
 Bunyi nafas krekels, ronki dan mengi
2. Breathing
 Distress pernapasan : pernapasan cuping hidung,
takipneu/bradipneu, retraksi.
 Menggunakan otot aksesori pernapasan
 Kesulitan bernafas : lapar udara, diaforesis, sianosis
3. Circulation
 Penurunan curah jantung : gelisah, letargi, takikardia
 Sakit kepala
 Gangguan tingkat kesadaran : ansietas, gelisah, kacau mental,
mengantuk
 Papiledema
 Penurunan haluaran urine
2.1.7 PENTALAKSANAAN MEDIS
a) Terapi oksigen
Pemberian oksigen kecepatan rendah : masker Venturi atau nasal prong
b) Ventilator mekanik dengan tekanan jalan nafas positif kontinu (CPAP)
atau PEEP
c) Inhalasi nebuliser
d) Fisioterapi dada
e) Pemantauan hemodinamik/jantung
f) Pengobatan
1. Brokodilator
2. Steroid
g) Dukungan nutrisi sesuai kebutuhan

2.1.8 ASUHAN KEPERAWATAN


Pola nafas tidak efektif b.d. penurunan ekspansi paru

9
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan pasien dapat mempertahankan
pola pernapasan yang efektif
Kriteria Hasil :
Pasien menunjukkan
 Frekuensi, irama dan kedalaman pernapasan normal
 Adanya penurunan dispneu
 Gas-gas darah dalam batas normal
Intervensi :
 Kaji frekuensi, kedalaman dan kualitas pernapasan serta pola
pernapasan.
 Kaji tanda vital dan tingkat kesasdaran setaiap jam dan prn
 Monitor pemberian trakeostomi bila PaCo2 50 mmHg atau
PaO2< 60 mmHg
 Berikan oksigen dalam bantuan ventilasi dan humidifier
sesuai dengan pesanan
 Pantau dan catat gas-gas darah sesuai indikasi : kaji
kecenderungan kenaikan PaCO2 atau kecendurungan penurunan PaO2
 Auskultasi dada untuk mendengarkan bunyi nafas setiap 1
jam
 Pertahankan tirah baring dengan kepala tempat tidur
ditinggikan 30 sampai 45 derajat untuk mengoptimalkan pernapasan
 Berikan dorongan utnuk batuk dan napas dalam, bantu pasien
untuk mebebat dada selama batuk
 Instruksikan pasien untuk melakukan pernapasan diagpragma
atau bibir
 Berikan bantuan ventilasi mekanik bila PaCO > 60 mmHg.
PaO2 dan PCO2 meningkat dengan frekuensi 5 mmHg/jam. PaO2
tidak dapat dipertahankan pada 60 mmHg atau lebih, atau pasien
memperlihatkan keletihan atau depresi mental atau sekresi menjadi
sulit untuk diatasi.

10
2.2 PENYAKIT ASMA ATTACK
2.2.1 PENGERTIAN
Asma merupakan penyakit inflamasi kronik saluran napas yang
disebabkan oleh reaksi hiperresponsif sel imun tubuh seperti sel mast,
eosinofil, dan limfosit-T terhadap stimulus tertentu dan menimbulkan gejala
dyspnea, wheezing, dan batuk akibat obstruksi jalan napas yang bersifat
reversibel dan terjadi secara episodik berulang (Brunner & Suddarth, 2001).
Asma merupakan reaksi hiperresponsif saluran napas yang berbeda-beda
derajatnya dan menimbulkan fluktuasi spontan terhadap obstruksi jalan napas
(Lewis et al., 2000).
2.2.2 FAKTOR PENCETUS
Menurut The Lung Association of Canada, ada dua faktor yang menjadi
pencetus asma yaitu Pemicu Asma (Trigger) dan Penyebab Asma (Inducer).
Sedangkan Lewis et al (2000) tidak membagi pencetus asma secara spesifik.
Menurut mereka, secara umum pemicu asma adalah:
1. Alergen
Dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu:
a. Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan seperti debu, bulu
binatang, serbuk bunga, spora jamur, bakteri dan polusi.
b. Ingestan, yang masuk melalui mulut yaitu makanan (seperti buah-
buahan dan anggur yang mengandung sodium metabisulfide) dan obat-
obatan (seperti aspirin, epinefrin, ACE- inhibitor, kromolin).
c. Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit.
Pada beberapa orang yang menderita asma respon terhadap Ig E jelas
merupakan alergen utama yang berasal dari debu, serbuk tanaman atau
bulu binatang. Alergen ini menstimulasi reseptor Ig E pada sel mast
sehingga pemaparan terhadap faktor pencetus alergen ini dapat
mengakibatkan degranulasi sel mast. Degranulasi sel mast seperti histamin
dan protease sehingga berakibat respon alergen berupa asma.
2. Olahraga
Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan
aktivitas jasmani atau olahraga yang berat. Serangan asma karena aktifitas

11
biasanya terjadi segera setelah selesai beraktifitas. Asma dapat diinduksi
oleh adanya kegiatan fisik atau latihan yang disebut sebagai Exercise
Induced Asthma (EIA) yang biasanya terjadi beberapa saat setelah
latihan.misalnya: jogging, aerobik, berjalan cepat, ataupun naik tangga dan
dikarakteristikkan oleh adanya bronkospasme, nafas pendek, batuk dan
wheezing. Penderita asma seharusnya melakukan pemanasan selama 2-3
menit sebelum latihan.
3. Infeksi bakteri pada saluran napas
Infeksi bakteri pada saluran napas kecuali sinusitis mengakibatkan
eksaserbasi pada asma. Infeksi ini menyebabkan perubahan inflamasi pada
sistem trakeo bronkial dan mengubah mekanisme mukosilia. Oleh karena
itu terjadi peningkatan hiperresponsif pada sistem bronkial.
4. Stres
Stres / gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu
juga bisa memperberat serangan asma yang sudah ada. Penderita diberikan
motivasi untuk mengatasi masalah pribadinya, karena jika stresnya belum
diatasi maka gejala asmanya belum bisa diobati.
5. Gangguan pada sinus
Hampir 30% kasus asma disebabkan oleh gangguan pada sinus, misalnya
rhinitis alergik dan polip pada hidung. Kedua gangguan ini menyebabkan
inflamasi membran mukus.
2.2.3 MANIFESTASI KLINIK
Menurut Jones dan Barlett (2001) ada beberapa gejala serangan asma, yaitu:
 Batuk. Batuk adalah respon tubuh terhadap iritasi pada saluran napas.
Pada penderita asma akan membatukkan lender untuk melonggarkan
jalan napas. Batuk akan meningkat jika berbaring.
 Mengi. Bunyi ini disebabkan oleh menyempitnya jalan napas daan
terdengar pada saat menghirup dan menghembuskan napas.
 Sesak dada dan napas pendek. Ini terutama terjadi pada latihan yang
keras. Selama serangan yang parah, cuping hidung mengembang dan
otot bantu pernapasan digunakan.
 Peningkatan denyut nadi dan kecepatan pernapasan

12
 Kulit pucat
 Keletihan
 Gelisah

2.2.4 KLASIFIKASI
Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, berat penyakit dan
pola keterbatasan aliran udara. Klasifikasi asma berdasarkan berat penyakit
penting bagi pengobatan dan perencanaan penatalaksanaan jangka panjang.
Semakin berat asma semakin tinggi tingkat pengobatan (Depkes RI, 2007).
Pengklasifikasian asma dapat dilakukan dengan pengkajian terhadap gejala
dan kemampuan fungsi paru. Semakin sering gejala yang dialami, maka
semakin parah asma tersebut. Begitu juga dengan kemampuan fungsi paru
yang diukur dengan Peak Flow Meters untuk mengetahui Peak Expiratory
Flow (PEF) dan Spyrometers untuk mengukur Force Expiratory Volume
dalam satu detik (FEV1) disertai dengan Force Vital Capacity (FVC).
Semakin rendah kemampuan fungsi paru, maka semakin parah asma tersebut
(GINA, 2004).
Menurut Somantri (2008), berdasarkan etiologinya, asma bronkial dapat
diklasifikasikan menjadi 3 tipe, yaitu:
1. Ekstrinsik (alergik)
Tipe asma ini merupakan jenis asma yang ditandai dengan reaksi alergi oleh
karena faktor-faktor pencetus yang spesifik, seperti debu, serbuk bunga, bulu
binatang, obat-obatan (antibiotik dan aspirin) dan spora jamur. Asma
ekstrinsik sering dihubungkan dengan adanya suatu predisposisi genetik
terhadap alergi. Paparan terhadap alergi akan mencetuskan serangan asma.
Gejala asma umumnya dimulai saat kanak-kanak.

2. Intrinsik (idiopatik atau non alergik)


Tipe asma ini merupakan jenis asma yang ditandai dengan adanya reaksi non
alergi yang bereaksi terhadap pencetus yang tidak spesifik atau tidak
diketahui, seperti udara dingin atau bisa juga disebabkan oleh adanya infeksi

13
saluran pernapasan, emosi dan aktivitas. Serangan asma ini menjadi lebih
berat dan sering sejalan dengan berlalunya waktu dan dapat berkembang
menjadi bronkitis kronik dan emfisema. Pada beberapa pasien, asma jenis ini
dapat berkembang menjadi asma gabungan.

3. Asma gabungan
Jenis asma ini merupakan bentuk asma yang paling umum dan sering
ditemukan. Asma ini mempunyai karakteristik dari bentuk alergi maupun
bentuk idiopatik atau nonalergik.

2.2.5 PATOFISIOLOGI
Kejadian patofisiologis ini mengakibatkan obstruksi jalan napas yang
memburuk saat ekspirasi. Obstruksi jalan napas menyebabkan ketidakcocokan
V/Q dan hipoksemia sejak dini. Terperangkapnya udara menyebabkan otot-
otot pernapasan berada pada posisi mekanis yang tidak menguntungkan
dengan peningkatan beban kerja pernapasan yang kemudian mengakibatkan
penurunan ventilasi dan hiperkapnia. Dengan demikian, sebagian besar pasien
dengan gejala akut mulai dengan respirasi cepat, hipoksemia, dan alkalosis
respirasi, tetapi obstruksi jalan napas persisten mengakibatkan ventilasi
dangkal yang tidak efisien dan asidosis respirasi. 

14
2.2.6 PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Spirometri
Untuk menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas.
2. Tes provokasi :
1) Untuk menunjang adanya hiperaktifitas bronkus.
2) Tes provokasi dilakukan bila tidak dilakukan lewat tes spirometri.
3) Tes provokasi bronkial seperti :
a. Tes provokasi histamine
b. Metakolin
c. Alergen
d. Kegiatan jasmani
e. Hiperventilasi dengan udara dingin
f. Inhalasi dengan aqua destilata.
4) Tes kulit : Untuk menunjukkan adanya anti bodi Ig E yang spesifik
dalam tubuh.
3. Pemeriksaan kadar Ig E total dengan Ig E spesifik dalam serum.

15
4. Pemeriksaan radiologi umumnya rontgen foto dada normal.
5. Analisa gas darah dilakukan pada asma berat.
6. Pemeriksaan eosinofil total dalam darah.
7. Pemeriksaan sputum.

2.2.7 PENGKAJIAN
1. Identitas Klien
a. Riwayat kesehatan masa lalu :
Riwayat keturunan, alergi debu, udara dingin
b. Riwayat kesehatan sekarang :
Keluhan sesak napas, keringat dingin.
c. Status mental :
Lemas, takut, gelisah
d. Pernapasan :
Perubahan frekuensi, kedalaman pernafasan.
e. Gastro intestinal :
adanya mual, muntah.
f. Pola aktivitas :
Kelemahan tubuh, cepat lelah
2. Pemeriksaan Fisik
a. Dada
1) Contour, Confek, tidak ada defresi sternum
2) Diameter antero posterior lebih besar dari diameter transversal
3) Keabnormalan struktur Thorax
4) Contour dada simetris
5) Kulit Thorax ; Hangat, kering, pucat atau tidak, distribusi warna
merata
6) RR dan ritme selama satu menit.
b. Palpasi
1) Temperatur kulit
2) Premitus : fibrasi dada
3) Pengembangan dada

16
4) Krepitasi
5) Massa
6) Edema
c. Auskultasi
1) Vesikuler
2) Broncho vesikuler
3) Hyper ventilasi
4) Rochi
5) Wheezing
6) Lokasi dan perubahan suara napas serta kapan saat terjadinya.
3. Pemeriksaan Penunjang
1) Spirometri
2) Tes provokasi
3) Pemeriksaan kadar Ig E total dengan Ig E spesifik dalam serum.
4) Pemeriksaan radiologi umumnya rontgen foto dada normal.
5) Analisa gas darah dilakukan pada asma berat.
6) Pemeriksaan eosinofil total dalam darah.
7) Pemeriksaan sputum.

2.2.8 ASUHAN KEPERAWATAN


Diagnosa:
Bersihan jalan nafas tak efektif berhubungan dengan akumulasi mukus.
Tujuan :
Dalam asuhan keperawatan 1 x 24 jam, Jalan nafas kembali efektif
Kriteria Hasil :
a. Sesak berkurang
b. Batuk berkurang
c. Klien dapat mengeluarkan sputum
d. Wheezing berkurang/hilang
e. Vital dalam batas normal
f. Keadaan umum baik.

17
Intervensi :
a. Observasi system pernafasan klien
Rasional : Beberapa derajat spasme bronkus terjadi dengan obstruksi
jalan nafas. Bunyi nafas redup dengan ekspirasi mengi (empysema), tak
ada fungsi nafas (asma berat).
b. Berikan Air Hangat
Rasional : penggunaan cairan hangat dapat menurunkan spasme
bronkus.
c. Beritahu tentang batuk efektif
Rasional : Batuk efektif akan sangat membantu dalam mengurangi
akumulasi mukus
d. Kolaborasi obat sesuai indikasi
Membebaskan spasme jalan nafas akan sangat membantu keefektifan
bersihan jalan nafas klien.

2.3 PENYAKIT ARDS


2.3.1 DEFINISI
Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) merupakan kerusakan paru
total akibat berbagai etiologi. Keadaan ini dapat dipicu oleh berbagai hal,
misalnya sepsis, pneumonia viral atau bakterial, aspirasi isi lambung, trauma
dada, syok yang berkepanjangan, terbakar, emboli lemak, tenggelam, transfusi
darah masif, bypass kardiopulmonal, keracunan O2, perdarahan pankreatitis akut,
inhalasi gas beracun, serta konsumsi obat-obatan tertentu. ADRS merupakan
keadaan darurat medis yang dipicu oleh berbagai proses akut yang berhubungan
langsung ataupun tidak langsung dengan kerusakan paru (Aryanto Suwondo,
2006)
ARDS adalah Penyakit akut dan progressive dari kegagalan pernafasan
disebabkan terhambatnya proses difusi oksigen dari alveolar ke kapiler (a-c block)
yang disebabkan oleh karena terdapatnya edema yang terdiri dari cairan koloid
protein baik interseluler maupun intra alveolar. (Prof. Dr. H. Tabrani Rab, 2000)

18
2.3.2 EPIDEMIOLOGI
ARDS (juga disebut syok paru) akibat cedera paru dimana sebelumnya
paru sehat, sindrom ini mempengaruhi kurang lebih 150.000 sampai 200.000
pasien tiap tahun, dengan laju mortalitas 65% untuk semua pasien yang
mengalami ARDS. Faktor resiko menonjol adalah sepsis. Kondisi pencetus lain
termasuk trauma mayor, KID, tranfusi darah, aspirasi tenggelam, inhalasi asap
atau kimia, gangguan metabolik toksik, pankreatitis, eklamsia, dan kelebihan
dosis obat. Perawatan akut secara khusus menangani perawatan kritis dengan
intubasi dan ventilasi mekanik (Doenges 1999 hal 217).
Penderita yang bereaksi baik terhadap pengobatan, biasanya akan sembuh
total, dengan atau tanpa kelainan paru-paru jangka panjang. Pada penderita yang
menjalani terapi ventilator dalam waktu yang lama, cenderung akan terbentuk
jaringan parut di paru-parunya. Jaringan parut tertentu membaik beberapa bulan
setelah ventilator dilepas.

2.3.3 ETIOLOGI
ARDS berkembang sebagai akibat kondisi atau kejadian berbahaya berupa
trauma jaringan paru baik secara langsung maupun tidak langsung. Penyebabnya
bisa penyakit apapun, yang secara langsung ataupun tidak langsung melukai paru-
paru:
1. Trauma langsung pada paru
a. Pneumoni virus,bakteri,fungal
b. Contusio paru
c. Aspirasi cairan lambung
d. Inhalasi asap berlebih
e. Inhalasi toksin
f. Menghisap O2 konsentrasi tinggi dalam waktu lama
2. Trauma tidak langsung
a. Sepsis
b. Shock, Luka bakar hebat, Tenggelam
c. DIC (Dissemineted Intravaskuler Coagulation)

19
d. Pankreatitis
e. Uremia
f. Overdosis Obat seperti heroin, metadon, propoksifen atau aspirin.
g. Idiophatic (tidak diketahui)
h. Bedah Cardiobaypass yang lama
i. Transfusi darah yang banyak
j. PIH (Pregnand Induced Hipertension)
k. Peningkatan TIK
l. Terapi radiasi
m. Trauma hebat, Cedera pada dada
Gejala biasanya muncul dalam waktu 24-48 jam setelah terjadinya
penyakit atau cedera. SGPA(sindrom gawat pernafasan akut) seringkali terjadi
bersamaan dengan kegagalan organ lainnya, seperti hati atau ginjal. Salah satu
faktor resiko dari SGPA adalah merokok sigaret. Angka kejadian SGPA adalah
sekitar 14 diantara 100.000 orang/tahun.

Menurut Hudak & Gallo (1997), gangguan yang dapat mencetuskan terjadinya
ARDS adalah:
Sistemik : a. Syok karena beberapa penyebab
b. Sepsis gram negative
c. Hipotermia, Hipertermia
d. Takar lajak obat (Narkotik, Salisilat, Trisiklik,
Paraquat,Metadone, Bleomisin)
e. Gangguan hematology (DIC, Transfusi massif, Bypass
kardiopulmonal)
f. Eklampsia
g. Luka bakar
Pulmonal : a. Pneumonia (Viral, bakteri, jamur, penumosistik karinii)
b. Trauma (emboli lemak, kontusio paru)
c. Aspirasi ( cairan gaster, tenggelam, cairan hidrokarbon )
d. Pneumositis
Non-Pulmonal : a. Cedera kepala

20
b. Peningkatan TIK
c. Pascakardioversi
d. Pankreatitis
e. Uremia

2.3.4 PATOFISIOLOGI
ARDS terjadi sebagai akibat cedera atau trauma pada membran alveolar
kapiler yang mengakibatkan kebocoran cairan kedalam ruang interstisiel alveolar
dan perubahan dalam jaring-jaring kapiler, terdapat ketidakseimbangan ventilasi
dan perfusi yang jelas akibat kerusakan pertukaran gas dan pengalihan ekstansif
darah dalam paru-paru. ARDS menyebabkan penurunan dalam pembentukan
surfaktan, yang mengarah pada kolaps alveolar. Komplians paru menjadi sangat
menurun atau paru-paru menjadi kaku akibatnya adalah penurunan karakteristik
dalam kapasitas residual fungsional, hipoksia berat dan hipokapnia (Brunner &
Suddart 616).
Ada 3 fase dalam patogenesis ARDS:
1. Fase Eksudatif
Fase permulaan, dengan cedera pada endothelium dan epitelium,
inflamasi, dan eksudasi cairan. Terjadi 2-4 hari sejak serangan akut.
2. Fase Proliferatif
Terjadi setelah fase eksudatif, ditandai dengan influks dan proliferasi
fibroblast, sel tipe II, dan miofibroblast, menyebabkan penebalan dinding
alveolus dan perubahan eksudat perdarahan menjadi jaringan granulasi
seluler/membran hialin. Fase proliferatif merupakan fase menentukan
yaitu cedera bisa mulai sembuh atau menjadi menetap, ada resiko terjadi
lung rupture (pneumothorax).
3. Fase Fibrotik/Recovery
Jika pasien bertahan sampai 3 minggu, paru akan mengalami remodeling
dan fibrosis. Fungsi paru berangsurangsur membaik dalam waktu 6 – 12
bulan, dan sangat bervariasi antar individu, tergantung keparahan
cederanya.

21
Perubahan patofisiologi berikut ini mengakibatkan sindrom klinis yang
dikenal sebagai ARDS (Philip etal, 1995):
a. Sebagai konsekuensi dari serangan pencetus, complement cascade menjadi aktif
yang selanjutnya meningkatkan permeabilitas dinding kapiler.
b. Cairan, lekosit, granular, eritrosit, makrofag, sel debris, dan protein bocor
kedalam ruang interstisiel antar kapiler dan alveoli dan pada akhirnya kedalam
ruang alveolar.
c. Karena terdapat cairan dan debris dalam interstisium dan alveoli maka area
permukaan untuk pertukaran oksigen dan CO2 menurun sehingga
mengakibatkan rendahnyan rasio ventilasi-perfusi dan hipoksemia.
d. Terjadi hiperventilasi kompensasi dari alveoli fungsional, sehingga
mengakibatkan hipokapnea dan alkalosis resiratorik.
e. Sel-sel yang normalnya melaisi alveoli menjadi rusak dan diganti oleh sel-sel
yang tidak menghasilkan surfaktan ,dengan demikian meningkatkan tekanan
pembukaan alveolar.
ARDS biasanya terjadi pada individu yang sudah pernah mengalami
trauma fisik, meskipun dapat juga terjadi pada individu yang terlihat sangat sehat
segera sebelum awitan, misalnya awitan mendadak seperti infeksi akut. Biasanya
terdapat periode laten sekitar 18-24 jam dari waktu cedera paru sampai
berkembang menjadi gejala. Durasi sindrom dapat dapat beragam dari beberapa
hari sampai beberapa minggu. Pasien yang tampak sehat akan pulih dari ARDS.
Sedangkan secara mendadak relaps kedalam penyakit pulmonary akut akibat
serangan sekunder seperti pneumotorak atau infeksi berat (Yasmin Asih. Hal
125).
Sebenarnya sistim vaskuler paru sanggup menampung penambahan volume darah
sampai 3 kali normalnya, namun pada tekanan tertentu, cairan bocor keluar masuk
ke jaringan interstisiel dan terjadi edema paru.( Jan Tambayog 2000, hal 109).

22
23
2.3.5 MANIFESTASI KLINIK
Ciri khas ARDS adalah hipoksemia yang tidak dapat diatasi selama
bernapas spontan. Frekuensi pernapasan sering kali meningkat secara bermakna
dengan ventilasi menit tinggi. Sianosis dapat atau tidak terjadi. Hal ini harus
diingat bahwa sianosis adalah tanda dini dari hipoksemia.

Gejala klinis utama pada kasus ARDS adalah:


a. Distres pernafasan akut: takipnea, dispnea , pernafasan menggunakan otot
aksesoris pernafasan dan sianosis sentral.
b. Batuk kering dan demam yang terjadi lebih dari beberapa jam sampai
seharian.
c. Auskultasi paru: ronkhi basah, krekels halus di seluruh bidang paru, stridor,
wheezing.
d. Perubahan sensorium yang berkisar dari kelam pikir dan agitasi sampai
koma.
e. Auskultasi jantung: bunyi jantung normal tanpa murmur atau gallop
( YasminAsih Hal 128 ).

24
Sindroma gawat pernafasan akut terjadi dalam waktu 24-48 jam setelah
kelainan dasarnya. Mula-mula penderita akan merasakan sesak nafas, bisanya
berupa pernafasan yang cepat dan dangkal. Karena rendahnya kadar oksigen
dalam darah, kulit terlihat pucat atau biru, dan organ lain seperti jantung dan otak
akan mengalami kelainan fungsi. Hilangnya oksigen karena sindroma ini dapat
menyebabkan komplikasi dari organ lain segera setelah sindroma terjadi atau
beberapa hari/minggu kemudian bila keadaan penderita tidak membaik.
Kehilangan oksigen yang berlangsung lama bisa menyebabkan komplikasi
serius seperti gagal ginjal. Tanpa pengobatan yang tepat, 90% kasus berakhir
dengan kematian. Bila pengobatan yang diberikan sesuai, 50% penderita akan
selamat. Karena penderita kurang mampu melawan infeksi, mereka biasanya
menderita pneumonia bakterial dalam perjalanan penyakitnya. Gejala lainnya
yang mungkin ditemukan:
a. Cemas, merasa ajalnya hampir tiba
b. Tekanan darah rendah atau syok (tekanan darah rendah disertai oleh
kegagalan organ lain)
c. Penderita seringkali tidak mampu mengeluhkan gejalanya karena tampak
sangat sakit.

2.3.6 PENATALAKASANAAN
Tujuan terapi
a. Tidak ada terapi yang dapat menyembuhkan, umumnya bersifat suportif
b. Terapi berfokus untuk memelihara oksigenasi dan perfusi jaringan yang
adekuat
c. Mencegah komplikasi nosokomial (kaitannya dengan infeksi)

Farmakologi
a. Inhalasi NO2 dan vasodilator lain
b. Kortikosteroid (masih kontroversial: no benefit, kecuali bagi yang
inflamasi eosinofilik)

25
c. Ketoconazole: inhibitor poten untuk sintesis tromboksan dan menghambat
biosintesis leukotrienesmungkin bisa digunakan untuk mencegah ARDS

Non-farmakologi
a. Ventilasi mekanisdgn berbagai teknik pemberian, menggunakan
ventilator, mengatur PEEP (positive-end expiratory pressure)
b. Pembatasan cairan
c. Pemberian surfaktan tidak dianjurkan secara rutin

2.3.7 PENGKAJIAN
Anamnesa :
a. Keadaan Umum:
Takipnea, dispnea, sesak nafas, pernafasan menggunakan otot aksesoris
pernafasan dan sianosis sentral.
b. Riwayat Penyakit Sekarang:
Sesak nafas, bisanya berupa pernafasan yang cepat dan dangkal. Batuk
kering dan demam yang terjadi lebih dari beberapa jam sampai
seharian. Kulit terlihat pucat atau biru.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Sepsis, Shock (hemoragi, pankreatitis hemoragik), Luka bakar hebat,
Tenggelam DIC (Dissemineted Intravaskuler Coagulation),
Pankreatitis, Uremia, Bedah Cardiobaypass yang lama, PIH (Pregnand
Induced Hipertension), Peningkatan TIK, Trauma hebat (cedera kepala,
cedera dada, rudapaksa paru), Radiasi, Fraktur majemuk (emboli lemak
berkaitan dengan fraktur tulang panjang seperti femur), Riwayat
merokok.
d. Riwayat Penyakit Keluarga
e. Riwayat Alergi

2.3.8 PEMERIKSAAN FISIK

26
B1 (Breath) : sesak nafas, nafas cepat dan dangkal, batuk kering, ronkhi
basah, krekels halus di seluruh bidang paru, stridor,
wheezing.
B2 (Blood) : pucat, sianosis (stadium lanjut), tekanan darah bisa normal
atau meningkat (terjadinya hipoksemia), hipotensi terjadi
pada stadium lanjut (shock), takikardi biasa terjadi, bunyi
jantung normal tanpa murmur atau gallop.
B3 (Brain) : kesadaran menurun (seperti bingung dan atau agitasi),
tremor.
B4 (Bowel) :-
B5 (Bladder) : -
B6 (Bone) : kemerahan pada kulit punggung setelah beberapa hari
dirawat.

2.3.9 PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK


LED : meningkat pada hampir semua kasus, jumlah eosinofilnya
normal.
Tes fungsi paru : normal atau menunjukkan defek restriktik disertai
gangguan pertukaran udara.
BGA : hasil BGA menunjukkan adanya hipoksemia.
Biopsi Darah :
PaO2/FiO2 < 200 = ARDS
PaO2/FiO2 < 300=ALI
Foto thorak dan CT : terdapat infiltrasi jaringan parut lokasi terpusat pada
region perihilir paru yang biasanya multivokal. Pada tahap lanjut, interstisial
bilatareral difus dan alveolar infiltrate menjadi bukti dan dapat melibatkan
semua lobus paru.Ukuran jantung normal, berbeda dari edema paru
kardogenik. Gas darah arteri seri membedakan gambaran kemajuan
hipoksemia, hipokapnea dapat terjadi pada tahap awal sehubungan dengan

27
hiperventilasi. Alkalosis respiratorik dapat terjadi pada tahap dini dan pada
tahap lanjut terjadi asidosis metabolik. Tes fungsi paru, Pengukuran pirau,
dan kadar asam laktat meningkat (Doenges1999 Hal 218 – 219 ).
Shunt Measurement (Qs/Qt) : tidak terdapat korelasi antara FiO2 dengan PaO2.
Alveolar-Arterial Gradient (A-a gradient)
 Berguna dalam membedakan ekstrapulmoner dan paru penyebab resp.
failure. kegagalan.
 For any age, an Aa gradient > 20 mm of Hg is always abnormal. Untuk
setiap usia, seorang Aa gradien> 20 mm Hg selalu abnormal.
A-a O2 Gradient = [ (FiO2) * (Atmospheric Pressure - H2O Pressure) - (PaCO2/0.8) ] -
PaO2 from ABG
Normal Gradient Estimate = (Age/4) + 4

High gradients result from impaired diffusion or, more commonly, by ventilation-
perfusion inequality of the "shunting" variety. A normal A-a gradient is less than
10 torr. The age (years) / 4 + 4 is another conservative estimate of a normal
gradient.

The calculations above assume 100% humidity at sea level and a respiratory
quotient of 0.8, using the alveolar gas equation to determine PAO2:
PAO2 = ( FiO2 * (760 - 47)) - (PaCO2 / 0.8)
A-a gradient = PAO2 - PaO2
Lactic Acid Level

2.3.10 ASUHAN KEPERAWATAN


Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan alveolar hipoventilasi,
penumpukan
cairan di permukaan alveoli, hilangnya surfaktan pada permukaan alveoli
ditandai
dengan: takipneu, penggunaan otot-otot bantu pernafasan, cyanosis,
perubahan ABGs,
dan A-a Gradient.

28
Intervensi dan Rasional
1. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan alveolar hipoventilasi,
penumpukan cairan di permukaan alveoli, hilangnya surfaktan pada
permukaan alveoli ditandai dengan: takipneu, penggunaan otot-otot bantu
pernafasan, cyanosis, perubahan ABGs, dan A-a Gradient.
Tujuan :
- Pasien dapat memperlihatkan ventilasi dan oksigenasi yang adekuat
dengan nilai ABGs normal
- Bebas dari gejala distress pernafasan
Kriteria hasil :
 Mempertahankan fungsi pernafasan yang adekuat dengan ditandai
tidak adanya dipsneu; frekuensi& GDA dalam batas normal.

Intervensi Rasional
MANDIRI
- Kaji status pernafasan, catat Takipneu adalah mekanisme
peningkatan respirasi atau perubahan kompensasi untuk hipoksemia dan
pola nafas. peningkatan usaha nafas.

Suara nafas mungkin tidak sama atau


- Catat ada tidaknya suara nafas dan tidak ada ditemukan. Crakles terjadi
adanya bunyi nafas tambahan seperti karena peningkatan cairan di
crakles, dan wheezing. permukaan jaringan yang disebabkan
oleh peningkatan permeabilitas
membran alveoli – kapiler. Wheezing
terjadi karena bronchokontriksi atau
adanya mukus pada jalan nafas.

- Kaji adanya cyanosis. Selalu berarti bila diberikan oksigen


(desaturasi 5 gr dari Hb) sebelum
cyanosis muncul. Tanda cyanosis

29
dapat dinilai pada mulut, bibir yang
indikasi adanya hipoksemia sistemik,
cyanosis perifer seperti pada kuku dan
ekstremitas adalah vasokontriksi.

- Observasi adanya somnolen, Hipoksemia dapat menyebabkan


confusion, apatis, dan iritabilitas dari miokardium.
ketidakmampuan beristirahat.
Menyimpan tenaga pasien,
-Berikan istirahat yang cukup dan mengurangi penggunaan oksigen.
nyaman.

Memaksimalkan pertukaran oksigen


KOLABORASI secara terus menerus dengan tekanan
-Berikan humidifier oksigen dengan yang sesuai.
masker CPAP jika ada indikasi.
Peningkatan ekspansi paru
- Berikan pencegahan IPPB. meningkatkan oksigenasi.

Memperlihatkan kongesti paru yang


- Review X-ray dada. progresif.

Untuk mencegah ARDS.


-Berikan obat-obat jika ada indikasi
seperti steroids, antibiotik,
bronchodilator dan ekspektorant.

2.4 PENYAKIT ODEM PARU


2.4.1 DEFINISI
Edema paru adalah suatu keadaan dimana terkumpulnya cairan
ekstravaskular yang patologis pada jaringan parenkim paru. Edema paru
disebabkan karena akumulasi cairan di paru-paru yang dapat disebabkan oleh
tekanan intrvaskular yang tinggi (edema paru kardiak) atau karena peningkatan

30
permeabilitas membran kapiler (edema paru non kardiak) yang mengakibatkan
terjadinya ekstravasasi cairan. Pada sebagian besar edema paru secara klinis
mempunyai kedua aspek tersebut di atas, sebab sangat sulit terjadi gangguan
permeabilitas kapiler tanpa adanya gangguan tekanan pada mikrosirkulasi atau
sebaliknya. Walaupun demikian penting sekali untuk menetapkan factor mana
yang dominan dari kedua mekanisme tersebut sebagai pedoman pengobatan.
(Sjaharudin Harun & Sally Aman Nasution,2006)
Edema paru terjadi dikarenakan aliran cairan dari pembuluh darah ke
ruang intersisial paru yang selanjutnya ke alveoli paru, melebihi aliran cairan
kembali ke darah atau melalui saluran limfatik. Edema paru terjadi ketika
cairan yang disaring ke paru lebih cepat dari cairan yang dipindahkan.
Penumpukan cairan menjadi masalah serius bagi fungsi paru karena efisiensi
perpindahan gas di alveoli tidak bisa terjadi. Struktur paru dapat menyesuaikan
bentuk edema dan yang mengatur perpindahan cairan dan protein di paru
menjadi masalah yang klasik.
Peningkatan tekanan edema paru disebabkan oleh meningkatnya
keseimbangan kekuatan yang mendorong filtrasi cairan di paru. Fitur penting
dari edema ini adalah keseimbangan aliran cairan dan protein ke dalam paru
utuh secara fungsional. Peningkatan tekanan edema sering disebut kardiogenik,
tekanan tinggi, hidrostatik, atau edema paru sekunder tapi lebih efektifnya
disebut keseimbangan edema paru terganggu karena tahanan keseimbangan
pergerakan antara cairan dan zat terlarut di dalam paru.

2.4.2 PATOFISIOLOGI
Edema, pada umumnya, berarti pembengkakan. Ini secara khas terjadi
ketika cairan dari bagian dalam pembuluh darah merembes kedalam jaringan
sekelilingnya, menyebabkan pembengkakan. Ini dapat terjadi karena terlalu
banyak tekanan dalam pembuluh darah atau tidak ada cukup protein dalam
aliran darah untuk menahan cairan dalam plasma (bagian dari darah yang tidak
mengandung sel-sel darah).
Edema paru adalah istilah yang digunakan ketika edema terjadi di paru.
Area yang ada diluar pembuluh darah kapiler paru ditempati oleh kantong-

31
kantong udara yang sangat kecil yang disebut alveoli. Ini adalah tempat dimana
oksigen dari udara diambil oleh darah yang melaluinya, dan karbondioksida
dalam darah dikeluarkan kedalam alveoli untuk dihembuskan keluar. Alveoli
normalnya mempunyai dinding yang sangat tipis yang mengizinkan pertukaran
udara ini, dan cairan biasanya dijauhkan dari alveoli kecuali dinding-dinding
ini kehilangan integritasnya. Edema paru terjadi ketika alveoli dipenuhi dengan
cairan yang merembes keluar dari pembuluh darah dalam paru sebagai ganti
udara. Ini dapat menyebabkan persoalan pertukaran gas (oksigen dan
karbondioksida), berakibat pada kesulitan bernapas dan oksigenasi darah yang
buruk. Adakalanya, ini dapat dirujuk sebagai “air di dalam paru” ketika
menggambarkan kondisi ini pada pasien.
Faktor-faktor yang membentuk dan merubah formasi cairan di luar
pembuluh darah dan di dalam paru di tentukan dengan keseimbangan cairan
yang dibuat oleh starling.
Qf = kf ⌠(pmv – ppmv) – σ(πmv - πpmv)⌡
Qf = aliran cairan transvaskuler;
Kf = koefisien filtrasi;
Pmv = tekanan hidrostatik pembuluh kapiler;
Ppmv = tekanan hidrostatik pembuluh kapiler intersisial;
Σ = koefisien refleksi osmosis;
Πmv = tekanan osmotic protein plasma;
Πpmv = tekanan osmotic protein intersisial.
Peningkatan tekanan hidrostatik kapiler paru dapat terjadi pada
peningkatan tekanan vena paru tanpa adanya gangguan fungsi ventrikel kiri
(stenosis mitral); peningkatan tekanan vena paru sekunder oleh karena
gangguan fungsi ventrikel kiri; peningkatan tekanan kapiler paru sekunder oleh
karena peningkatan tekanan arteri pulmonalis. Penurunan tekanan onkotik
plasma pada hipoalbuminemia sekunder oleh karena penyakit ginjal, hati, atau
penyakit nutrisi.
Peningkatan tekanan negatif interstisial pada pengambilan terlalu cepat
pneumotorak atau efusi pleura (unilateral); tekanan pleura yang sangat negatif
oleh karena obstruksi saluran napas akut bersamaan dengan peningkatan

32
volume akhir ekspirasi (asma).

33
2.4.3 KLASIFIKASI
Edema paru dapat disebabkan oleh banyak faktor yang berbeda. Ia
dapat dihubungkan dengan gagal jantung, disebut cardiogenic pulmonary
edema (edema paru kardiak), atau dihubungkan pada sebab-sebab lain, dirujuk

34
sebagai non-cardiogenic pulmonary edema (edema paru nonkardiak).
Diagnosis banding edema paru kardiak dan nonkardiak

Edema paru kardiak Edema paru nonkardiak


Riwayat Penyakit :
Penyakit Jantung Akut Penyakit Dasar di luar Jantung
Pemeriksaan Klinik :
Akral dingin Akral hangat
S3 gallop/Kardiomegali Pulsasi nadi meningkat
Distensi vena jugularis Tidak terdengar gallop
Ronki basah Tidak ada distensi vena jugularis
Ronki kering
Tes Laboratorium :
EKG : Iskhemia/infark EKG : biasanya normal
Ro : distribusi edema perihiler Ro : distribusi edema perifer
Enzim jantung mungkin meningkat Enzim jantung biasanya normal
Tekanan Kapiler Paru > 18mmHg Tekanan Kapiler Paru < 18mmHg
Intrapulmonary shunting : meningkat Intrapulmonary shunting : sangat
ringan meningkat
Cairan edema/protein serum < 0,5 Cairan edema/serum protein > 0,7

Klasifikasi Edema Paru


Disertai perubahan tekanan kapiler
Kardiak
Gagal ventrikel kiri
Penyakit katup mitral
Penyakit pada vena pulmonal
Penyakit oklusi vena primer
Mediastinitis sklerotik kronik
Aliran vena pulmonal yang abnormal
Stenosis atau atresi vena congenital
Neurogenik
Trauma kepala

35
Tekanan intrakranial meningkat
Tekanan kapiler normal
Ketoasidosis diabetik
Feokromositoma
Pankreatitis
Obstruksi saluran nafas
Penurunan tekanan onkotik kapiler

Secara patofisiologi penyakit dasar penyebab edema paru kardiak dibagi


menjadi 3 kelompok : Peningkatan afterload (Pressure overload) : terjadi
beban yang berlebihan terhadap ventrikel pada saat sistolik. Contohnya ialah
hipertensi dan stenosis aorta; Peningkatan preload (Volume overload) : terjadi
beban yang berlebihan saat diastolik. Contohnya ialah insufisiensi mitral,
insufisiensi aorta, dan penyakit jantung dengan left-to-right shunt (ventricular
septal defect); Gangguan kontraksi otot jantung primer : pada infark miokard
akut jaringan otot yang sehat berkurang, sedangkan pada kardiomiopati
kongestif terdapat gangguan kontraksi otot jantung secara umum.
Penyebab edema paru non kardiak secara patofisiologi dibagi menjadi :
Peningkatan permeabilitas kapiler paru (ARDS) : tenggelam, inhalasi bahan
kimia, dan trauma berat; Peningkatan tekanan kapiler paru : pada sindrom
vena kava superior, pemberian cairan berlebih, dan transfusi darah; penurunan
tekanan onkotik plasma : sindrom nefrotik dan malnutrisi.
Klasifikasi edema paru berdasarkan mekanisme pencetus
1. Ketidak-seimbangan Starling Forces:
 Peningkatan tekanan kapiler paru:
Edema paru akan terjadi hanya apabila tekanan kapiler pulmonal
meningkat sampai melebihi tekanan osmotic koloid plasma, yang
biasanya berkisar 28 mmHg pada manusia. Sedangkan nilai normal
dari tekanan vena pulmonalis adalah antara 8-12 mmHg, yang
merupakan batas aman dari mulai terjadinya edema paru tersebut.
Etiologi dari keadaan ini antara lain:
a) Peningkatan tekanan vena paru tanpa adanya gangguan fungsi
ventrikel kiri (stenosis mitral).

36
b) Peningkatan tekanan vena paru sekunder oleh karena gangguan
fungsi ventrikel kiri.
c) Peningkatan tekanan kapiler paru sekunder oleh karena
peningkatan tekanan arteria pulmonalis (over perfusion
pulmonary edema).
 Penurunan tekanan onkotik plasma.
Hipoalbuminemia sekunder oleh karena penyakit ginjal, hati, protein-
losing enteropaday, penyakit dermatologi atau penyakit nutrisi.Tetapi
hipoalbuminemia saja tidak menimbulkan edema paru, diperlukan
juga peningkatan tekanan kapiler paru. Peningkatan tekanan yang
sedikit saja pada hipoalbuminemia akan menyebabkan edema paru.
 Peningkatan tekanan negatif intersisial:
Edema paru dapat terjadi akibat perpindahan yang cepat dari udara
pleural, contoh yangs erring menjadi etiologi adalah:
a) Pengambilan terlalu cepat pneumotorak atau efusi pleura
(unilateral).
b) Tekanan pleura yang sangat negatif oleh karena obstruksi saluran
napas akut bersamaan dengan peningkatan end-expiratory
volume (asma).
 Peningkatan tekanan onkotik intersisial.
Sampai sekarang belum ada contoh secara percobaan maupun klinik.

2. Perubahan permeabilitas membran alveolar-kapiler (Adult Respiratory


Distress Syndrome)
Keadaan ini merupakan akibat langsung dari kerusakan pembatas antara
kapiler dan alveolar.Cukup banyak kondisi medis maupun surgical
tertentu yang berhubungan dengan edema paru akibat kerusakan
pembatas ini daripada akibat ketidakseimbangan Starling Force.
 Pneumonia (bakteri, virus, parasit).
 Bahan toksik inhalan (phosgene, ozone, chlorine, NO).
 Bahan asing dalam sirkulasi (bisa ular, endotoksin bakteri, alloxan,
alpha-naphthyl thiourea).

37
 Aspirasi asam lambung.
 Pneumonitis radiasi akut.
 Bahan vasoaktif endogen (histamin, kinin).
 Disseminated Intravascular Coagulation.
 Imunologi: pneumonitis hipersensitif, obat nitrofurantoin,
leukoagglutinin.
 Shock Lung oleh karena trauma di luar toraks.
 Pankreatitis Perdarahan Akut.
3. Insufisiensi Limfatik:
 Post Lung Transplant.
 Lymphangitic Carcinomatosis.
 Fibrosing Lymphangitis (silicosis).
4. Tak diketahui/tak jelas
 High Altitude Pulmonary Edema.
 Neurogenic Pulmonary Edema.
 Narcotic overdose.
 Pulmonary embolism
 Eclampsia
 Post cardioversion
 Post Anesthesia
 Post Cardiopulmonary Bypass
(Sjaharudin Harun & Sally Aman Nasution,2006)

2.4.4 MANIFESTASI KLINIK EDEMA PARU


Manifestasi dapat dicari dari keluhan, tanda fisik dan perubahan
radiografi (foto toraks).Gambaran dapat dibagi 3 stadium, meskipun
kenyataannya secara klinik sukar dideteksi dini.Secara patofisiologi edema
paru kardiogenik ditandai dengan transudasi cairan dengan kandungan protein
yang rendah ke paru, akibat terjadinya peningkatan tekanan di atrium kiri dan

38
sebagian kapiler paru.Transudasi ini terjadi tanpa perubahan pada
permeabilitas atau integritas dari membran alveoli-kapiler, dan hasil akhir yang
terjadi adalah penurunan kemampuan difusi, hipoksemia dan sesak
nafas.Seringkali keadaan ini berlangsung dengan derajat yang berbeda-beda.
Stadium 1.  Adanya distensi dan pembuluh darah kecil paru yang prominen
akan memperbaiki pertukaran gas di paru dan sedikit meningkatkan
kapasitas difusi gas CO. Keluhan pada stadium ini mungkin hanya
berupa adanya sesak napas saat bekerja. Pemeriksaan fisik juga tak
jelas menemukan kelainan, kecuali mungkin adanya ronkhi pada
saat inspirasi karena terbukanya saluran napas yang tertutup pada
saat inspirasi.
Stadium 2. Pada stadium ini terjadi edema paru intersisial. Batas pembuluh
darah paru menjadi kabur, demikian pula hilus juga menjadi kabur
dan septa interlobularis menebal (garis Kerley B). Adanya
penumpukan cairan di jaringan kendor intersisial, akan lebih
memperkecil saluran napas kecil, terutama di daerah basal oleh
karena pengaruh gravitasi. Mungkin pula terjadi refleks
bronkhokonstriksi.Sering terdapat takhipnea. Meskipun hal ini
merupakan tanda gangguan fungsi ventrikel kiri, tetapi takhipnea
juga membantu memompa aliran limfe sehingga penumpukan
cairan intersisial diperlambat. Pada pemeriksaan spirometri hanya
terdapat sedikit perubahan saja.
Stadium 3. Pada stadium ini terjadi edema alveolar. Pertukaran gas sangat
terganggu, terjadi hipoksemia dan hipokapnia. Penderita nampak
sesak sekali dengan batuk berbuih kemerahan. Kapasitas vital dan
volume paru yang lain turun dengan nyata. Terjadi right-to-left
intrapulmonary shunt. Penderita biasanya menderita hipokapnia,
tetapi pada kasus yang berat dapat terjadi hiperkapnia dan acute
respiratory acidemia. Pada keadaan ini morphin hams digunakan
dengan hati-hati.Edema Paru yang terjadi setelah Infark Miokard
Akut biasanya akibat hipertensi kapiler paru.Namun percobaan
pada anjing yang dilakukan ligasi arteriakoronaria, terjadi edema

39
paru walaupun tekanan kapiler paru normal, yang dapat dicegah
dengan pemberian indomethacin sebelumnya. Diperkirakan bahwa
dengan menghambat cyclooxygenase atau cyclic phosphodiesterase
akan mengurangi edema' paru sekunder akibat peningkatan
permeabilitas alveolar-kapiler; pada manusia masih memerlukan
penelitian lebih lanjut. Kadangkadang penderita dengan Infark
Miokard Akut dan edema paru, tekanan kapiler pasak parunya
normal; hal ini mungkin disebabkan lambatnya pembersihan cairan
edema secara radiografimeskipun tekanan kapiler paru sudah turun
atau kemungkinan lain pada beberapa penderita terjadi peningkatan
permeabilitas alveolar-kapiler paru sekunder oleh karena adanya isi
sekuncup yang rendah seperti pada cardiogenic shock lung.
(Sjaharudin Harun & Sally Aman Nasution,2006)

2.4.5 DIAGNOSIS DAN ETIOLOGI


Edema paru kardiogenik merupakan gejala yang dramatik kejadian
gagal jantung kiri.Hal ini diakibatkan oleh gangguan pada jalur keluar atrium
kiri, peningkatan volume yang berlebihan di ventrikel kiri, disfungsi diastolic
atau sistolik dari ventrikel kiri atau obstruksi pada pada jalur keluar pada
ventrikel kiri.Peningkatan tekanan di atrium kiri dan tekanan baji paru
mengawali terjadinya edema paru kardiogenik tersebut.Akibat akhir yang
ditimbulkan adalah keadaan hipoksia berat.Bersamaan dengan hal tersebut
terjadi juga rasa takut pada pasien karena kesulitan bernafas, yang berakibat
peningkatan denyut jantung dan tekanan darah sehingga mengurangi
kemampuan pengisian dari ventrikel kiri. Dengan peningkatan rasa tidak
nyaman dan usaha bernapas yang harus kuat akan menambah beban pada
jantung sehingga fungsi kardiak akan semakin menurun, dan diperberat oleh
keadaan hipoksia. Bila kejadian ini tidak diatasi dengan segera, tingkat
mortalitas edema paru kardiogenik masih tinggi.(Sjaharudin Harun & Sally
Aman Nasution,2006)

Manefestasi klinis dapat diketahui dari:

40
Anamnesis.Edema paru kardiak berbeda dari ortopnea dan paroksismal
nocturnal dyspnea, karena kejadiannya yang bisa sangat cepat dan
terjadinya hipertensi pada kapiler paru secara ekstrim. Keadaan ini
merupakan pengalaman yang menakutkan bagi pasien karena mereka
merasa ketakutan, batu-batuk dan seperti seorang yang akan tenggelam.
Pasien biasnaya dalam posisi duduk agar dapat mempergunakan otot-
otot bantu nafas dengan lebih baik saat respirasi, atau sedikit
membungkuk ke depan, sesak hebat, mungkin disertai sianosis, sering
berkeringat dingin, batuk dengan sputum yang berwarna kemerahan
(frothy sputum).
Pemeriksaan fisik. Dapat ditemukan frekuensi nafas yang meningkat, dilatasi
alae nasi, akan terlihat retraksi inspirasi pada sela intercostal dan fossa
supraklavikula yang menunjukkan tekanan negative intrapleural yang
besar dibutuhkan pada saat inspirasi. Pemeriksaan pada paru akan
terdengar ronki basah kasar setengah lapangan paru atau lebih, sering
disertai wheezing. Pemeriksaan jantung dapat ditemukan protodiastolik
gallop, bunyi jantung II pulmonal mengeras, dan tekanan darah dapat
meningkat.
Radiologis.Pada foto toraks menunjukkan hilus yang melebar dan densitas
meningkat disertai tanda bendungan paru, akibat edema interstisial atau
alveolar.
Foto thoraks.Pulmonary edema secara khas didiagnosa dengan X-ray dada.
Radiograph (X-ray) dada yang normal terdiri dari area putih
terpusat yang menyinggung jantung dan  pembuluh-pembuluh
darah utamanya plus tulang-tulang dari vertebral
column,dengan bidang-bidang paru yang menunjukan sebagai bidang-
bidang yang lebih gelap pada setiap sisi, yang dilingkungi oleh struktur-
struktur tulang dari dinding dada.X-ray dada yang khas dengan
pulmonary edema mungkin menunjukan lebih  banyak tampakan
putih pada kedua bidang-bidang paru daripada biasanya. Kasus-
kasusyang lebih parah dari pulmonary edema dapat
menunjukan opacification (pemutihan) yang signifikan pada

41
paru-paru dengan visualisasi yang minimal dari bidang-
bidang paru yang normal. Pemutihan ini mewakili pengisian
dari alveoli sebagai akibat dari  pulmonary edema, namun ia
mungkin memberikan informasi yang minimal tentang
penyabab yang mungkin mendasarinya.
Laboratorium.Kelainan pemeriksan laboratorium sesuai dengan penyakit
dasar. Uji diagnostic yang dapat dipergunakan untuk membedakan
dengan penyakit lain misalnya asma bronkial adalah pemeriksaan kadar
BNP (brain natriuretic peptide) plasma. Pemeriksaan ini dapat
dilakukan dengan cepat dan dapat menyingkirkan penyebab dyspnea
lain seperti asma bronkial akut. Pada kadar BNP plasma yang
menengah atau sedang dan gambaran radiologis yang tidak spesifik,
harus dipikirkan penyebab lain yang dapat mengakibatkan terjadinya
gagal jantung tersebut, misalnya restriksi pada aliran darah di katup
mitral yang harus dievaluasi dengan pemeriksaan penunjang lain seperti
ekokardiografi.
EKG. Pemeriksaan EKG bisa normal atau seringkali didapatkan tanda-tanda
iskemia atau infark pada infark miokard akut dengan edema paru.Pasien
dengan krisis hipertensi gambaran elektrokardiografi biasanya
menunjukkan gambaran hipertrofi ventrikel kiri. Pasien dengan edema
paru kardiogenik tetapi yang non-iskemik biasanya menunjukkan
gambaran gelombang T negatif yang lebar dengan QT memanjang yang
khas, dimana akan membaik dalam 24 jam setelah klinis stabil dan
menghiland dalam 1 minggu. Penyebab dari keadaan non-iskemik ini
belum diketahui tetapi ada beberapa keadaan yang dikatakan dapat
menjadi penyebab, antara lain: iskemia sub-endokardial yang
berhubungan dengan peningkatan tekanan pada dinding, peningkatan
akut tonus simpatis kardiak atau peningkatan elektrikal akibat
perubahan metabolik atau katekolamin.
Ekokardiografi. Gambaran penyebab gagal jantung: kelainan katup, hipertrofi
ventrikel (hipertensi), segmental wall motion abnormally (Penyakit
Jantung Koroner), dan umumnya ditemukan dilatasi ventrikel kiri dan

42
atrium kiri. Alat-alat diagnostiklain yang digunakan dalam menilai
penyebab yang mendasari dari pulmonary edema termasuk pengukuran
dari plasma B-type natriuretic peptide (BNP) atau N-terminal pro-
BNP. Ini adalah penanda protein (hormon) yang akan timbul
dalam darah yang disebabkan oleh peregangan dari kamar-kamar
jantung.Peningkatan dari BNP nanogram (sepermilyar gram) per liter
lebih besar dari beberaparatus (300 atau lebih) adalah sangat
tinggi menyarankan cardiac pulmonary edema. Pada sisi lain,
nilai-nilai yang kurang dari 100 pada dasarnya
menyampingkan gagal jantung sebagai penyebabnya. Metode-
metode yang lebih invasif adakalanya diperlukan untuk
membedakanantara cardiac dan noncardiac pulmonary edema
pada situasi-situasi yang lebih rumit dan kritis.Pulmonary artery
catheter (Swan-Ganz) adalah tabung yang panjang dan
tipis(kateter) yang disisipkan kedalam vena-vena besar
dari dada atau leher dan dimajukanmelalui kamar-kamar sisi
kanan dari jantung dan diletakkan kedalam kapiler-
kapiler paru atau pulmonary capillaries (cabang-cabang yang
kecil dari pembuluh-pembuluhdarah dari  paru-paru).Alat ini
mempunyai kemampuan secara langsung dalam pembuluh-
pembuluh paru, disebut pulmonary artery wedge
pressure.Wedge pressure dari 18 mmHg atau lebih tinggi adalah
konsisten dengan cardiogenic pulmonary edema, sementara wedge
pressure yang kurang dari 18 mmHg biasanya menyokong non-
cardiogenic cause of pulmonary edema. Penempatan kateter Swan-Ganz
dan interpretasi data dilakukan hanya pada intensive care unit (ICU)
setting.

2.4.6 PENATALAKSANAAN

43
 Letakkan pasien dalam posisi duduk sehingga meningkatkan volume dan
kapasitas vital paru, mengurangi usaha otot pernafasan, dan menurunkan
aliran darah vena balik ke jantung.
 Sungkup O2 dengan dosis 6-10 L/menit diberikan bersamaan dengan
pemasangan jalur IV dan monitor EKG (O, I, M). Nonrebreather mask with
reservoir O2 dapat menyalurkan 90-100% O2.
 Oksimetri denyut dapat memberi informasi keberhasilan terapi walaupun
saturasi O2 kurang akurat karena terjadi penurunan perfusi perifer. Oleh
karena itu, dianjurkan melakukan pemeriksaan analisis gas darah untuk
mengetahui ventilasi dan asam basa.
 Tekanan ekspirasi akhir positif (positive end expiratory pressure) dapat
diberikan untuk mencegah kolaps alveoli dan memperbaiki pertukaran gas.
 Kantung nafas-sungkup muka menggantikan simple mask bila terjadi
hipoventilasi.
 Continuous positive airway pressure diberikan bila pasien bernafas spontan
dengan sungkup muka atau pipa endotrakea.
 Intubasi dilakukan bila PaO2 tidak dapat dipertahankan di atas 60 mmHg
walau telah diberikan O2 100%, munculnya gejala hipoksi serebral,
meningkatnya PCO2 dan asidosis secara progresif.
 Bila TD 70-100 mmHg disertai gejala-gejala dan tanda syok, berikan
Dopamin 2-20mcg/kgBB/menit IV. Bila tidak membaik dengan Dopamin
dosis >20 mcg/kg/mnt segera tambahkan Norephinephrine 0,5-30
mcg/menit IV, sedangkan Dopamine diturunkan sampai 10
mcg/kgBB/menit. Bila tanpa gejala syok berikan Dobutamine 2-20
mcg/kgBB/menit IV.
 Bila TD > 100 mmHg, nitrogliserin paling efektif mengurangi edema paru
karena mengurangi preload, diberikan 2 tablet masing-masing 0,4 mg
sublingual atau semprot, dapat diulang 5-10 menit bila TD tetap >90-100
mmHg. Isosorbide semprot oral bisa diberikan tetapi nitrogliserin pasta
transkutan atau isosorbid oral kurang dianjurkan karena vasokonstriksi
perifer tidak memungkinkan penyerapan yang optimal.

44
 Furosemide adalah obat pokok pada Edema paru, diberikan IV 0,5-1,0
mg/kg. Efek bifasik dicapai pertama dalam 5 menit terjadi venodilatasi
sehingga aliran (preload). Efek kedua adalah diuresis yang mencapai
puncaknya setelah 30-60 menit. Efektifitas furosemide tidak harus dicapai
dengan diuresis berlebihan. Bila furosemide sudah rutin diminum
sebelumnya maka dosis bisa digandakan. Bila dalam 20 menit belum
didapat hasil yang diharapkan, ulangi IV dua kali dosis awal dan dosis bisa
lebih tinggi bila retensi cairan menonjol dan bila fungsi ginjal terganggu.
 Morfin sulfate diencerkan dengan 9cc NaCl 0,9%, berikan 2-4 mg IV bila
TD >100mmHg. Obat ini merupakan salah satu obat pokok pada edema
paru namun dianjurkan diberikan di rumah sakit. Efek venodilator
meningkatkan kapasitas vena, mengurangi aliran darah balik ke vena sentral
dan paru, mengurangi tekanan pengisian ventrikel kiri (preload), dan juga
mempunyai efek vasodilator ringan sehingga afterload berkurang. Efek
sedasi dari morfin sulfat menurunkan aktifitas tulang-otot dan tenaga
pernafasan.
(Santoso Karo et al, 2008)

2.4.7 ASUHAN KEPERAWATAN


 Pengkajian
a) Umur:
Klien dewasa dan bayi cenderung mengalami dibandingkan
remaja/dewasa muda
b) Riwayat masuk:
Klien  biasanya dibawa ke rumah sakit setelah sesak nafas, cyanosis
atau batuk-batuk disertai dengan demam tinggi/tidak. Kesadaran
kadang sudah menurun dan dapat terjadi dengan tiba-tiba pada trauma.
Berbagai etiologi yang mendasar dengan masing-masik tanda klinik
mungkin menyertai klien
c) Riwayat penyakit dahulu:

45
Predileksi penyakit sistemik atau berdampak sistemik seperti sepsis,
pancreatitis, Penyakit paru, jantung serta kelainan organ vital bawaan
serta penyakit ginjal mungkin ditemui pada klien.
d) Pemeriksaan fisik
 Sistem Integumen
Subyektif: -
Obyektif: kulit pucat, cyanosis, turgor menurun (akibat dehidrasi
sekunder), banyak keringat , suhu kulit meningkat, kemerahan
 Sistem Pulmonal
Subyektif : sesak nafas, dada tertekan
Obyektif: pernafasan cuping hidung, hiperventilasi, batuk
(produktif/nonproduktif), sputum banyak, penggunaan otot bantu
pernafasan, pernafasan diafragma dan perut meningkat, Laju
pernafasan meningkat, terdengar stridor, ronchii pada lapang paru,
 Sistem Cardiovaskuler
Subyektif: sakit dada
Obyektif: denyut nadi meningkat, pembuluh darah vasokontriksi,
kualitas darah menurun, Denyut jantung tidak teratur, suara jantung
tambahan
 Sistem Neurosensori
Subyektif: gelisah, penurunan kesadaran, kejang
Obyektif: GCS menurun, refleks menurun/normal, letargi
 Sistem Musculoskeletal
Subyektif : lemah, cepat lelah
Obyektif: tonus otot menurun, nyeri otot/normal, retraksi paru dan
penggunaan otot aksesoris pernafasan
 Sistem genitourinaria
Subyektif         : -
Obyektif          : produksi urine menurun/normal,
 Sistem digestif
Subyektif         : mual, kadang muntah
Obyektif          : konsistensi feses normal/diare

46
e) Studi Laboratorik  :
1. Hb                                : menurun/normal
2. Analisa Gas Darah      : acidosis respiratorik, penurunan kadar
oksigen darah, kadar karbon darah meningkat/normal
3. Elektrolit                     : Natrium/kalsium menurun/normal

 Diagnosa yang mungkin muncul


1. Ketidakefektifan pola nafas  berhubungan dengan kelelahan dan
pemasangan alat bantu nafas
2. Gangguan pertukaran Gas berhubungan dengan distensi kapiler
pulmonar

47
Rencana Tindakan
No Diagnosa Tujuan & KH Intervensi Rasional
1 Ketidakefektifan Pola nafas 1. Berikan HE pada 1. Informasi yang
pola nafas kembali efektif pasien tentang adekuat dapat
berhubungan setelah penyakitnya membawa pasien lebih
dengan keadaan dilakukan kooperatif dalam
tubuh yang tindakan memberikan terapi
lemah keperawatan 2. Atur posisi semi 2. Jalan nafas yang
selama 3 × 24 fowler longgar dan tidak ada
jam, dengan sumbatan proses
kriteria hasil: respirasi dapat berjalan
- Tidak terjadi dengan lancar.
hipoksia atau 3. Observasi tanda dan 3. Sianosis merupakan
hipoksemia gejala sianosis salah satu tanda
- Tidak sesak manifestasi
- RR normal ketidakadekuatan
(16-20 × / 4. Berikan terapi suply O2 pada jaringan
menit) oksigenasi tubuh perifer .
- Tidak terdapat 4. Pemberian oksigen
kontraksi otot secara adequat dapat
bantu nafas mensuplai dan
- Tidak terdapat memberikan cadangan
sianosis 5. Observasi tanda- oksigen, sehingga
tanda vital mencegah terjadinya
hipoksia.
5. Dyspneu, sianosis
merupakan tanda
terjadinya gangguan
nafas disertai dengan
6. Observasi timbulnya kerja jantung yang
gagal nafas. menurun timbul
takikardia dan capilary
refill time yang
memanjang/lama.

48
6. Ketidakmampuan
7. Kolaborasi dengan tubuh dalam proses
tim medis dalam respirasi diperlukan
memberikan intervensi yang kritis
pengobatan dengan menggunakan
alat bantu pernafasan
(mekanical
ventilation).
7. Pengobatan yang
diberikan berdasar
indikasi sangat
membantu dalam
proses terapi
keperawatan

2 Gangguan Fungsi 1. Berikan HE pada 1. Informasi yang


pertukaran Gas pertukaran gas pasien tentang adekuat dapat
berhubungan dapat maksimal penyakitnya membawa pasien lebih
dengan distensi setelah kooperatif dalam
kapiler dilakukan memberikan terapi
pulmonar tindakan 2. Atur posisi pasien 2. Jalan nafas yang
keperawatan semi fowler longgar dan tidak ada
selama 3 × 24 sumbatan proses
jam dengan respirasi dapat berjalan
kriteria hasil: 3. Bantu pasien dengan lancer
- Tidak terjadi untuk melakukan 3. Posisi yang berbeda
sianosis reposisi secara menurunkan resiko
- Tidak sesak sering perlukaan akibat
- RR normal 4. Berikan terapi imobilisasi
(16-20 × / oksigenasi 4. Pemberian oksigen
menit) secara adequat dapat
- BGA normal: mensuplai dan
 partial memberikan cadangan
pressure of oksigen, sehingga

49
oxygen 5. Observasi tanda – mencegah terjadinya
(PaO2): 75- tanda vital hipoksia
100 mm Hg 5. Dyspneu, sianosis
 partial merupakan tanda
pressure of terjadinya gangguan
carbon nafas disertai dengan
dioxide 6. Kolaborasi kerja jantung yang
(PaCO2): 35- dengan tim medis menurun timbul
45 mm Hg dalam takikardia dan capilary
 oxygen memberikan refill time yang
content pengobatan memanjang/lama.
(O2CT): 15- 6. Pengobatan yang
23% diberikan berdasar
 oxygen indikasi sangat
saturation membantu dalam
(SaO2): 94- proses terapi
100% keperawatan
 bicarbonate
(HCO3): 22-
26 mEq/liter
 pH: 7.35-
7.45

2.5 PENYAKIT ATELETAKSIS


2.5.1 PENGERTIAN
Atelektasis adalah pengembangan tak sempurna atau kempisnya (kolaps)
bagianparu yang seharusnya mengandung udara. (staf pengajar ilmu kes anak FKUI,
1985).
Kolapsnya paru atau alveolus disebut atelektasis, alveolus yang kolaps tidak
mengandung udara sehingga tidak dapat ikut serta di dalam pertukaran gas. Kondisi
ini mengakibatkan penurunan luas permukaan yang tersedia untuk proses difusi dan
kecepatan pernafasan berkurang. ( Elizabeth J.Corwin , 2009)

50
Atelektasis adalah pengkerutan sebagian atau seluruh paru-paru akibat
penyumbatan saluran udara ( bronkus maupun bronkiolus ) atau akibat pernafasan
yang sangat dangkal.

2.5.2 ETIOLOGI
a. atelektasis bawaan
Sering ditemukan pada bayi yang ditemukan mati atau bayi yang
mati segerasetelah lahir jika sebelum sempat terjadi tangisyang
pertama. Atelektasis bawaan
yangprimersering dijumpai padaotopsi bayi premature, diduga penyebabnya adala
hkarena jaringan paru atau diafragma atau otot pernafasan yang belum matur.
b. atelektasis didapat
Atelectasis ini relative sering terjadi pada bayi dan anak. Kempis
paru dapatterjadi karena beberapa halyangsifatnya eksternal (dari luar paru)dan
internal (daridalam paru).
Penyebab eksternal diantaranya ialah:
1) Gangguan pada bentuk dan gerakan dinding toraks, misalnya deformitas padat
ulang rusuk dan tulang punggung, kelainan neuromuscular
dan mungkin terjadikarena pembalut yang
terlalu kencang setelah suatu operasi
2) Gangguan pada diafragma,
misal karena paralisi saraf frenikus atau karenatekanan dari rongga abdomen.
3) Gangguan yang langsung mempengaruhi pengembangan paru,
misal efusipleural pneumotoraks, tumor intra toraks, hernia diafragmatika dan
lain-lain
Tekanan langsung terhadap bronkus atau alveolus, misalnya karenapembesara
n getah bening, tumor intratoraks dan lain-lain.
4) Penyebab internal yang
utama adalah adanya sumbatan didalam bronkus ataubronkiolus, antara lain
dapat terjadi oleh mukus, jaringan neoplasma jaringangranulomatous, absespar
u, bronchitis menaun dan lain-lain

2.5.3 PATOFISIOLOGI

51
Pada saat terjadi sumbatan pada bronkus, udara bagian paru yang
bersangkuatanakan terjebak.
Lambat laun udara tersebut akan dihisap oleh aliran darah yang
melaluidaerah itu. Cepat lambatnya atau luas tidaknya atelectasis yang
terjadi akantergantung oleh beberapa hal, misalnya: susunan gas yang
ada didalam udara yang terjebak, yaitu oksigenakan lebih cepat diserap dari pada
nitrogen atau helium, adatidaknya saluran yang dapat meloloskan udara yang
terjebak itu dan kemungkinan yang dapat terjadi adalah adanya ventilasi korateral
sehinga udara dapat lolos melalui pori yang terdapat antara alveoli atau melalui fistula
bronkiolo-alveolar yang terjadi antara daerah atelektasis dengan daerah paru
disekelilingnya yang tak terjadi penyumbatan.
Adanya masa intratoraks dapat menyebabkan terjadinya kempis paru karenapen
ekanan langsung oleh masa tersebut terhadap paru misal oleh tumor
atau saluranpencernaan yang masuk kedalam rongga toraks karena adanya hernia
diafrakmatikaatau eventerasi diafragma. Meningginya tekanan intrapleural dapat pula
menyebabkanterjadinya atelektasis,
misal bila terjadi pengumpulan udara, darah, eksudat dan lain lain dalam rongga
pleura.
Kelainan yang dapat menimbulkan kempis paru ialah kelainan yang sifatnya
non-obstruktif. Hal yang
cukup dikenal karena sering dijumpai pada bayi baru lahiradalah atelektasis yang
disebabkan oleh defek pada lapisan alveoli yang dikenaldengan nama surfaktan.
Dalam keadaan normal, surfaktan sanggup mencegahkempisnya alveoli
karena tegangan permukaan yang
diciptakannya dapatmengimbangi perubahan tekanan didalam alveoli itu sendiri.
Kelainan non-obstruktiflain yang dapat menimbulkan atelektasis adalah kelain
neuromuscular, missalkelumpuhan diafragma,otot interkosta dan lain-lain.
Daerah atelectasis tidak mengandung udara. Terdapat kongesti sehingga tampak
berwarna merah tua dan berkonsisten sikenyal. Jaringan paru disekitarnya dapat
normal dan mungkin juga terjadi emfisema. Kalau daerah atelectasis itu luas sehingga
melibatkan lebih dari 1 lobus maka sering terjadi emfisema kompensasi pada lobus
lain yang tidak terkena         atelectasis.

52
53
2.5.4 GEJALA KLINIS
Gejala klinis sangat berfariasi, tergantung pada sebab dan luas atelectasis. Pada
umumnya atelectasis yang terjadi pada penyakit tuberkolosis, limfoma, neoplasma,
asma dan penyakit yang disebabkan oleh infeksi misalnya bronchitis,
bronkopneumonia dan lain-lain jarang menimbulkan gejala klinis yang jelas, kecuali
bila terjadi obstuksi pada bronkus utama. Jika daerah atelectasis itu luas dan terjadi
dengan cepat, akan terjadi dispnu dengan pola pernafasan yang cepat dan dangkal ,
takikardi dan sering terjadi sianosis. Pada perkusi redup dan mungkin pula normal
bila terjadi emfisema kompensasi. Pada atelectasis yang luas atau atelectasis yang
melibatkan lebih dari 1 lobus , bising nafas akan melemah atau sama sekali tidak
terdengar. Kalau diteliti lebih lanjut biasanya akan diketahui adanya perbedaan gerak
dinding toraks, gerak sela iga dan diafragma. Pada perkusi mungkin batas jantung dan
mediastinum akan bergeser, letak diafragma mungkin meninggi. Pada anak yang sehat
tapi tiba-tiba menderita sesak nafas disertai sianosis, kita harus waspada terhadap
terjadinya atelectasis yang luas atau massif yang disebabkan oleh penyumbatan salah
satu bronkus utama oleh benda asing.
Atelektasis dapat terjadi secara perlahan dan hanya menyebabkan sesak nafas yang
ringan.
Gejalanya bisa berupa :
a. Gangguan Pernafasan
b. Nyeri Dada
c. Batuk
Jika disertai infeksi, bisa terjadi demam dan peningkatan denyut jantung, kadang-
kadang sampai terjadi syok (tekanan darah sangat rendah).
2.5.5 DIAGNOSIS
Diagnosis biasanya ditegakkan dengan mudah berdasarkan gambaran
radiologis. Kadang-kadang pemeriksaan fisis yang teliti dapat pula menentukan
adanya dan letak daerah atelektasis. Pemeriksaan khusus misalnya bronkoskopi dan
bronkografi, dapat dengan tepat menentukan cabang bronkus yang tersumbat.
Kolaps dapat didiagnosa dengan adanya :
a. Peningkatan densitas dan menggerombolnya pembuluh darah paru
b. Perubahan letak hilus atau fisura ( keatas atau ke bawah ). Pada keadaan normal
letak hilus kanan lebih rendah dari hilus kiri

54
c. Pergeseran trakea, mediastinum atau fisura interlobaris ke arah bagian paru yang
kolaps
d. Sisa paru bisa amat berkembang ( over-expanded ) dan demikian menjadi
hipertranslusen.  
2.5.6 PENGOBATAN
Tujuan pengobatan adalah mengeluarkan dahak dari paru-paru dan kembali
mengembangkan jaringan paru yang terkena.
Tindakan yang biasa dilakukan :
a. Berbaring pada sisi paru-paru yang sehat sehingga paru-paru yang terkena
kembali bisa mengembang
b. Menghilangkan penyumbatan, baik melalui bronkoskopi maupun prosedur lainnya
c. Latihan menarik nafas dalam ( spirometri insentif )
d. Perkusi (menepuk-nepuk) dada untuk mengencerkan dahak
e. Postural drainase
f. Antibiotik diberikan untuk semua infeksi
g. Pengobatan tumor atau keadaan lainnya
h. Pada kasus tertentu, jika infeksinya bersifat menetap atau berulang, menyulitkan
atau menyebabkan perdarahan, maka biasanya bagian paru-paru yang terkena
mungkin perlu diangkat. Setelah penyumbatan dihilangkan, secara bertahap
biasanya paru-paru yang mengempis akan kembali mengembang, dengan atau
tanpa pembentukan jaringan parut ataupun kerusakan lainnya.
Pemeriksaan bronkoskopi harus segera dilakukan, apabila atelektasis terjadi
karena penyumbatan oleh benda asing. Juga harus dilakukan pada atelektasis yang
terisolasi dan telah berlangsung lama. Pada saat itu pula sekaligus dilakukan
penghisapan lendir yang menyumbat bronkus tersebut. Pada pemeriksaan dengan
bronkoskop fiberoptik selain penghisapan lendir sekaligus dapat dilakukan
pengambilan benda asing yang menyumbat bronkus atau biopsi terhadap jaringan
yang menyumbat yang dicurigai sebagai penyebab obstruksi. Oksigen harus diberikan
pada penderita yang sesak dan sianotik.
Fisioterapi yang meliputi perubahan posisi, masase, latihan pernafasan, disertai
pemberian mukolitik yang tepat sangat membantu dalam pengembangan kembali paru
yang kempis. Kadang-kadang diperlukan juga respirator untuk
melakukan ”Intermiten Positive Pressure Breathing” (IPPB). Pada infeksi yang
kronis harus dilakukan pemeriksaan bakteriologis byang lebih teliti. Jika dengan
55
pengobatan tersebiut di atas belum juga membawa perbaikan, dapat diulang
pemeriksaan bronkoskopi dan pemberian antibiotika.  Kadang-kadang diperlukan juga
bronkodilator dan kortikosteroid untuk membantu pengeluaran lendir.
2.5.7 PENCEGAHAN
Ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk mencegah terjadinya atelektasis :
a. Setelah menjalani pembedahan, penderita harus didorong untuk bernafas dalam,
batuk teratur dan kembali melakukan aktivitas secepat mungkin. Meskipun
perokok memiliki resiko lebih besar, tetapi resiko ini bisa diturunkan dengan
berhenti merokok dalam 6-8 minggu sebelum pembedahan.
b. Seseorang dengan kelainan dada atau keadaan neurologis yang menyebabkan
pernafasan dangkal dalam jangka lama, mungkin akan lebih baik bila
menggunakan alat bantu mekanis untuk membantu pernafasannya. Mesin ini akan
menghasilkan tekanan terus-menerus ke paru-paru, sehingga meskipun pada akhir
dari suatu pernafasan, saluran pernafasan tidak dapat menciut.
2.5.8 ASUHAN KEPERAWATAN
Pengkajian
1. Indentitas
Nama,Umur, terjadi pada bayi yang baru lahir, anak-anak atau pada usia
tuaJenis kelamin bisa terjadi pada pria dan wanita, Pekerjaan, biasanya terjadi pada
orang yang bekerja pada daerah dengan polusi tinggi
2. Keluhan utama
pada atelektasis keluhan utama yang dirasakan adalah
a. Sesak nafas
b. Nyeri dada
3. Riwayat penyakit sekarang
Pasien merasakan sesak nafas, setelah beraktivitas dan merasakan nyeri dada
pada bagian yang terkena atelektasis
4. Riwayat penyakit keluarga
Pasien tidak mempunyai penyakit menurun
5. Riwayat penyakit dahulu
Pada saat lahir pasien pernah mengalami kelainan yaitu setelah lahir belum
sempat terjadi tangis yang pertama
6. Riwayat psiko social
a. Pasien merasakan cemas karena mengalami nyeri
b. Pasien jarang berkomunikasi dengan lingkungan sekitar
7. Pola aktivitas sehari-hari
a. Mobilisasi berkurang karena pasien sesak nafas jika pasien banyak melakukan
aktivitas
b. Pola istirahat, tidur pasien menjadi berkurang atau tidak teratur
c. Pemasukan nutrisi dan cairan berkurang
8. Pemeriksaan Fisik

56
Pemeriksaan thoraks yang cermat, yang mencakup inspeksi, palpasi, perkusi
dan auskultasi, seringkali menunjukkan diagnosis kelainan paru yang terjadi. Hasil
pemeriksaan fisik pada atelektasis (obstruksi lobaris) yang sering ditemukan adalah :
a. Tanda-tanda vital
TD : hipertensi
S    : hipertermi >39°C
RR : dipsnea 30x/mnt
N   : takikardi 130x/mnt
b. Inspeksi      →  berkurangnya gerakan pada sisi yang sakit,
adanya sianosis pada bibir dan ujung jari
pasien terlihat pucat
c. Palpasi       →  fremitus berkurang, trakea dan jantung bergeser
d. Perkusi       →  batas jantung dan mediastinumm akan bergeser
letak diagfragma meninggi
e. Auskultasi →  suara nafas melemah,dan terdengar ronki
9. Pemeriksaan Penunjang
a. Rontgen dada
Menunjukan adanya daerah bebas udara di paru-paru
b. CT scan
Menentukan penyebab terjadinya penyumbatan
c. GDA
Untuk menunjukan derajat hipoksemia dan keadekuatan ventilasi alveolar

Diagnosa keperawatan
1. Gangguan pertukaran gas b.d ventilasi dan perfusi tidak seimbang
2. Ketidakefektifan pola nafas b.d pola nafas cepat dan dangkal
3. Ketidakafektifan bersihan jalan nafas b.d akumulasi mukus pada bronkus
4. Gangguan perfusi jaringan b.d oksigen jaringan menurun;sianosis

Implementasi

No Diagnosa Tujuan/kriteria hasil intervensi


keperawatan
1 Gangguan pertukaran tujuan: setelahmandiri
gas b.d ventilasi dan dilakukan tindakankaji frekuensi
perfusi tidak keperawatan selamakedalaman pernafasan .
seimbang 1×24 jam pasienR/untuk mengevaluasi derajat
menunjukan perbaikandistres pernafasan pernafasan
ventilasi danatau proses penyakit .
oksigenasi jaringan tinggikan kepala tempat
kriteria hasil: tidur bantu pasien memilih
pertukaran gas dapatposisi yang mudah untuk
dipertahankan bernafas.dorong pasien untuk
penafasan dalam atau nafas
bibir.
R/pengiriman oksigen dapat
di perbaiki dengan posisi
duduk tinggi dan latihan
nafas  untuk menurunkan
kolaps jalan nafas.

57
Auskultasi bunyi
nafas,cacat area penurunan
aliran udara /bunyi
tambahan ,
(ronki,mengi,redup).
R/bunyi nafas mungkin redup
karena penurunan aliran
udara,adanya mengi
mengindikasikan spasme
bronkus.
Palpasi fremitus (getaran
vibrasi pada saat palpasi)
R/penurunan getaran fibrasi
diduga ada pengumpulan
cairan.
Evaluasi tingkat toleransi
aktivitas.
R/selama distres pernafasan
berat/akut ,pasien secara total
tidak mampu melakukan
aktivitas sehari – hari
Awasi tanda – tanda
vital dan irama jantung.
R/takikardia dan perubahan
tekanan darah yang dapat
menunjukan adanya
hipoksemia sistemik pada
fungsi jantung.
Kolaborasi
Awasi /gambaran seri
GDA dan nadi
R/PaCO2 biasanya
meningkat
(bronchitis,emfisema)dan
PaCO2 secara umum
menurun ,sehingga terjadi
hipoksia .
Berika oksigen
tambahan sesuai degan
indikasi hasil GDA dan 
toleransi pasien.
R/memperbaiki atau
mencegah memburuknya
hipoksia
Bantu intubasi ,berikan
/pertahankan ventilasi
mekanik
R/terjadinya kegagalan nafas
yang akan datang
memerlukan upaya

58
penyelamatan hidup.
2 Ketidakefektifan pola Pola nafas kembali 1. Berikan HE pada pasien
nafas efektif setelah tentang penyakitnya
dilakukan tindakan R/ Informasi yang adekuat
keperawatan selama 3 dapat membawa pasien lebih
× 24 jam, dengan kooperatif dalam
kriteria hasil: memberikan terapi
-    Tidak terjadi 2. Atur posisi semi fowler
hipoksia atau R/ Jalan nafas yang longgar
hipoksemia dan tidak ada sumbatan
-    Tidak sesak proses respirasi dapat
-    RR normal (16-20 × / berjalan dengan lancar.
menit) 3. Observasi tanda dan gejala
-    Tidak terdapat sianosis
kontraksi otot bantu R/ Sianosis merupakan salah
nafas satu tanda manifestasi
Tidak terdapat sianosis ketidakadekuatan suply O2
pada jaringan tubuh perifer

4. Berikan terapi oksigenasi


R/ Pemberian oksigen secara
adequat dapat mensuplai dan
memberikan cadangan
oksigen, sehingga mencegah
terjadinya hipoksia.

5. Observasi tanda-tanda vital


R/ Dyspneu, sianosis
merupakan tanda terjadinya
gangguan nafas disertai
dengan kerja jantung yang
menurun timbul takikardia
dan capilary refill time yang
memanjang/lama.

6. Observasi timbulnya gagal


nafas.
R/ Ketidakmampuan tubuh
dalam proses respirasi
diperlukan intervensi yang
kritis dengan menggunakan
alat bantu pernafasan
(mekanical ventilation).
7. Kolaborasi dengan tim medis
dalam memberikan
pengobatan
R/ Pengobatan yang
diberikan berdasar indikasi
sangat membantu dalam
proses terapi keperawatan

59
3 Ketidakafektifan Tujuan : Mandiri
bersihan jalan nafas setelah dilakukanauskultasi bunyi
b.d akumulasi mukus tindakan keperawatannafas.catat adanya bunyi
pada bronkus selama 1×24 jamnafas ,misal: mengi ,ronki.
pasien menunjukanR/beberapa derajat spasme
perilaku mencapaibronkus terjadi dengan
bersihan jalan nafas. obtruksi jalan nafas
kriteria hasil: dan terdapat nafas
Klien dapatadventisius.
mempertahankan jalankaji frekwensi
nafas secara efektif kedalaman  pernafasan dan
gerakan dada
R/pernafasan dangkal dan
gerakan dada tidak simetris
sering terjadi karena
ketidaknyamanan  gerakan
dinding dada/cairan paru.
   berikan cairan sedikitnya
2500 ml/hari ,kecuali kontra
indikasi,tawarkan air hangat.
R/cairan (khususnya air
hangat)memobilisasi
observasi warna
kulit,membran mukosa,dan
kuku
R/sianosis kuku menunjukan
adanya
vasokontruksi,sianosis
membram mukosa dan kulit
sekitar  mulut menunjukan
hipoksemia sistemik
Kolaborasi
Berikan obat sesuai indikasi
  bronkodilator,mis :egonis
:epinefrin (adrenalin
,vaponefrin ) Xantin
,mis:aminofilin ,oxtrifilin.
 R/merilekskan otot halus dan
menurunkan kongesti lokal
  berikan humidikasi
tambahan,mis:nebulizer
ultranik,humidifier aerosol    
ruangan
R/kelembaban menurunkan
kekentalan sekret dan
mempermudah     
pengeluaran  secret.
  berikan pengobatan
pernafasan ,mis ;fisioterapi
dada

60
R/drainase postural dan
perkusi bagian penting untuk
mengencerkan      secret.dan
memperbaiki ventilasi pada
segmen

4 Gangguan perfusi Tujuan: selama 1.    Kaji adanya perubahan


jaringan dilakukan tindakan kesadaran.
keperawatan tidak 2.    Inspeksi adanya pucat,
terjadi penurunan cyanosis, kulit yang dingin
perfusi jaringan. dan penurunan kualitas nadi
perifer.
3.    Kaji adanya tanda Hopmans
(pain in calf on
dorsoflextion), erythema,
edema.
4.    Kaji respirasi (irama,
kedalam dan usaha
pernafasan).
5.    Kaji fungsi gastrointestinal
(bising usus, abdominal
distensi, constipasi).
6.    Monitor intake dan out put.
7.    Kolaborasi dalam:
Pemeriksaan AGD(Analisa
Gas Darah),BUN (Blad Urea
Nitrogen), Serum ceratinin
dan elektrolit.

2.6 PENYAKIT TRAUMA THORAK


2.6.1 DEFINISI
Trauma thoraks adalah luka atau cedera yang mengenai rongga thorax yang dapat
menyebabkan kerusakan pada dinding thorax ataupun isi dari cavum thorax yang
disebabkan oleh benda tajam atau benda tumpul dan dapat menyebabkan keadaan gawat
thorax akut. Trauma thoraks diklasifikasikan dengan tumpul dan tembus. Trauma tumpul
merupakan luka atau cedera yang mengenai rongga thorax yang disebabkan oleh benda
tumpul yang sulit diidentifikasi keluasan kerusakannya karena gejala-gejala umum dan
rancu (Brunner & Suddarth, 2002).
Trauma dada adalah abnormalitas rangka dada yang disebabkan oleh benturan pada
dinding dada yang mengenai tulang rangka dada, pleura paru-paru, diafragma ataupun isi
mediastinal baik oleh benda tajam maupun tumpul yang dapat menyebabkan gangguan
system pernafasan.

61
Kecelakaan tabrakan mobil, terjatuh dari sepeda motor adalah mekanisme yangpaling
umum dari trauma tumpul dada. Mekanisme yang paling umum untuk trauma tembus
dada termasuk luka tembak dan luka tusuk (Brunnar& Suddart, 2001).

2.6.2 KLASIFIKASI
Trauma thorax dapat dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu trauma tembus dan
trauma tumpul.
a. Trauma tembus (tajam)
 Terjadinya diskontinuitas dinding thorax (laserasi) langsung akibat penyebab
trauma
 Terutama akibat tusukan benda tajam (pisau, kaca, dsb) atau peluru
 Sekitar 10-30% memerlukan operasi thorakotomi
 Yang termasuk trauma tembus adalah: pneumothorax terbuka, hemothorax,
trauma tracheobronkial, contusion paru, rupture diafragma, trauma mediastinal
b. Trauma tumpul
 Tidak terjadi diskontinuitas dinding thorax
 Terutama akibat kecelakaan lalu-lintas, terjatuh, olahraga, crush atau blast
injuries
 Kelainan tersering akibat trauma tumpul thorax adalah kontusio paru
 Sekitar <10% yang memerlukan operasi thorakotomi
 Yang termasuk trauma tumpul adalah: tension pneumothorax, trauma
tracheobronkial, flail chest, rupture diafragma, trauma mediastinal, fraktur
costae

2.6.3 ETIOLOGI
Trauma pada thorax dapat dibagi 2 yaitu oleh karena trauma tumpul dan trauma
tajam. Penyebab trauma thorax tersering adalah karena kecelakaan kendaraan bermotor
(63-78%). Dalam trauma akibat kecelakaan, ada lima jenis tabrakan (impact) yang
berbeda, yaitu depan, samping, belakang, berputar dan terguling. Oleh karena itu harus
dipertimbangkan untuk mendapatkan riwayat yang lengkap karena setiap orang memiliki
pola trauma yang berbeda. Penyebab trauma thorax oleh karena trauma tajam dibedakan
menjadi 3, berdasarkan tingkat energinya yaitu: trauma tusuk atau tembak dengan energy

62
rendah, berenergi sedang dengan kecepatan kurang dari 1500 kaki per derti (seperti
pistol) dan trauma thorax oleh karena proyektil berenergi tinggi (senjata militer) dengan
kecepatan melebihi 3000 kaki per detik. Penyebab trauma thorax yang lain oleh karena
adanya tekanan yang berlebihan pada paru-paru bisa menimbulkan pecah atau
pneumothorax (seperti pada scuba).
Mekanisme Trauma
Akselerasi
 Kerusakan yang terjadi merupakan akibat langsung dari penyebab trauma. Gaya
perusak berbanding lurus dengan massa dan percepatan (akselerasi); sesuai dengan
hokum Newton II (Kerusakan yang terjadi juga bergantung pada luas jaringan tubuh
yang menerima gaya perusak dari trauma tersebut).
 Pada luka tembak perlu diperhatikan jenis senjata dan jarak tembak; penggunaan
senjata dengan kecepatan tinggi seperti senjata milter high velocity (>3000 ft/sec)
pada jarak dekat akan mengakibatkan kerusakan dan peronggaan yang jauh lebih
luas dibandingkan besar lubang masuk peluru.

Deselerasi
 Kerusakan yang terjadi akibat mekanisme deselerasi dari jaringan. Biasanya terjadi
pada tubuh yang bergerak dan tiba-tiba terhenti akibat trauma. Kerusakan terjadi
oleh karena pada saat trauma, organ-organ dalam mobile (seperti bronchus,
sebagian aorta, organ vicera, dsb) masih bergerak dan gaya yang merusak terjadi
akibat tumbukan pada dinding thorax/ rongga rubuh lain atau oleh karena tarikan
dari jaringan pengikat organ tersebut.

Torsio dan rotasi


 Gaya torsio dan rotasio yang terjadi umumnya diakibatkan oleh adanya deselerasi
organ-organ dalam yang sebagian strukturnya memiliki jaringan pengikat/ fiksasi,
seperti Isthmus aorta, bronchus utama, diafragma atau atrium. Akibat adanya
deselarasi yang tiba-tiba, organ-organ tersebut dapat terpilin atau terputar dengan
jaringan fiksasi sebagai titik tumpu atau porosnya.

Blast injury
 Kerusakan jaringan pada blast injury terjadi tanpa adanya kontak langsung dengan
penyebab trauma. Seperti pada ledakan bom.
 Gaya merusak diterima oleh tubuh melalui penghantaran gelombang energy.

63
2.6.4 PATOFISIOLOGI
Dada merupakan organ besar yang membuka bagian dari tubuh yang sangat
mudah terkena tumbukan luka.Karena dada merupakan tempat jantung, paru dan
pembuluh darah besar.Trauma dada sering menyebabkan gangguan ancaman
kehidupan.Luka pada rongga thorak dan isinya dapat membatasi kemampuan jantung
untuk memompa darah atau kemampuan paru untuk pertukaran udara dan osigen darah.
Bahaya utama berhubungan dengan luka dada biasanya berupa perdarahan dalam dan
tusukan terhadap organ
Luka dada dapat meluas dari benjolan yang relatif kecil dan goresan yang dapat
mengancurkan atau terjadi trauma penetrasi. Luka dada dapat berupa penetrasi atau non
penetrasi ( tumpuln ). Luka dada penetrasi mungkin disebabkan oleh luka dada yang
terbuka, memberi keempatan bagi udara atmosfir masuk ke dalam permukaan pleura dan
mengganggua mekanisme ventilasi normal. Luka dada penetrasi dapat menjadi kerusakan
serius bagi paru, kantung dan struktur thorak lain.

64
2.6.5 MANIFESTASI KLINIS
1) Tamponade jantung
Trauma tajam didaerah perikardium atau yang diperkirakan menembus jantung.
 Gelisah.
 Pucat,
 Keringat dingin.
 Peninggian TVJ (tekanan vena jugularis).
 Pekak jantung melebar.
 Bunyi jantung melemah.
 Terdapat tanda-tanda paradoxical pulse pressure.
 ECG terdapat low voltage seluruh lead.
 Perikardiosentesis keluar darah
2) Hematotoraks :
 Pada WSD darah yang keluar cukup banyak dari WSD.
 Gangguan pernapasan
3) Pneumothoraks :
 Nyeri dada mendadak dan sesak napas.
 Gagal pernapasan dengan sianosis.
 Kolaps sirkulasi.

65
Dada atau sisi yang terkena lebih resonan pada perkusi dan suara napas yang
terdengar jauh atau tidak terdengar sama sekali.
pada auskultasi terdengar bunyi klik. Jarang terdapat luka rongga dada, walaupun
terdapat luka internal hebat seperti aorta yang ruptur.Luka tikaman dapat penetrasi
melewati diafragma dan menimbulkan luka intra-abdominal.
Tanda-tanda dan gejala umum pada trauma thorak :
1. Ada jejas pada thorak
2. Nyeri pada tempat trauma, bertambah saat inspirasi
3. Pembengkakan lokal dan krepitasi pada saat palpasi
4. Pasien menahan dadanya dan bernafas pendek
5. Dispnea, hemoptisis, batuk dan emfisema subkutan
6. Penurunan tekanan darah
7. Peningkatan tekanan vena sentral yang ditunjukkan oleh distensi vena leher
8. Bunyi muffle pada jantung
9. Perfusi jaringan tidak adekuat
10. Pulsus paradoksus (tekanan darah sistolik turun dan berfluktuasi dengan pernapasan)
dapat terjadi dini pada tamponade jantung

2.6.6 PEMERIKSAAN PENUNJANG


2.7 Radiologi: X-foto thoraks 2 arah (PA/AP dan lateral)
2.8 Gas darah arteri (GDA), mungkin normal atau menurun.
2.9 Torasentesis: menyatakan darah/cairan serosanguinosa.
2.10 Hemoglobin: mungkin menurun.
2.11 Pa Co2 kadang-kadang menurun.
2.12 Pa O2 normal / menurun.
2.13 Saturasi O2 menurun (biasanya).
2.14 Toraksentesis: menyatakan darah/cairan.
2.15 Bila pneumotoraks < 30% atau hematothorax ringan (300cc) terap simtomatik,
observasi.
2.16 Bila pneumotoraks > 30% atau hematothorax sedang (300cc) drainase cavum pleura
dengan WSD, dainjurkan untuk melakukan drainase dengan continues suction unit.
2.17 Pada keadaan pneumothoraks yang residif lebih dari dua kali harus dipertimbangkan
thorakotomi.

66
2.18 Pada hematotoraks yang massif (terdapat perdarahan melalui drain lebih dari 800 cc
segera thorakotomi.
2.6.7 PENATALAKSANAAN
1) Bullow Drainage / WSD
Pada trauma toraks, WSD dapat berarti:
a. Diagnostik:
Menentukan perdarahan dari pembuluh darah besar atau kecil, sehingga
dapat ditentukan perlu operasi torakotomi atau tidak, sebelum penderita jatuh
dalam shock.
b. Terapi:
Mengeluarkan darah atau udara yang terkumpul di rongga
pleura.Mengembalikan tekanan rongga pleura sehingga "mechanis of
breathing" dapat kembali seperti yang seharusnya.
c. Preventive:
Mengeluarkan udaran atau darah yang masuk ke rongga pleura sehingga
"mechanis of breathing" tetap baik.
2) Perawatan WSD dan pedoman latihanya:
a. Mencegah infeksi di bagian masuknya slang.
Mendeteksi di bagian dimana masuknya slang, dan pengganti verband 2
hari sekali, dan perlu diperhatikan agar kain kassa yang menutup bagian
masuknya slang dan tube tidak boleh dikotori waktu menyeka tubuh pasien.
b. Mengurangi rasa sakit dibagian masuknya slang. Untuk rasa sakit yang hebat
akan diberi analgetik oleh dokter.
c. Dalam perawatan yang harus diperhatikan:
 Penetapan slang.
Slang diatur se-nyaman mungkin, sehingga slang yang dimasukkan
tidak terganggu dengan bergeraknya pasien, sehingga rasa sakit di bagian
masuknya slang dapat dikurangi.
 Pergantian posisi badan.
Usahakan agar pasien dapat merasa enak dengan memasang bantal
kecil dibelakang, atau memberi tahanan pada slang, melakukan pernapasan
perut, merubah posisi tubuh sambil mengangkat badan, atau menaruh bantal
di bawah lengan atas yang cedera.

67
d. Mendorong berkembangnya paru-paru.
 Dengan WSD/Bullow drainage diharapkan paru mengembang.
 Latihan napas dalam.
 Latihan batuk yang efisien : batuk dengan posisi duduk, jangan batuk waktu
slang diklem.
 Kontrol dengan pemeriksaan fisik dan radiologi.
e. Perhatikan keadaan dan banyaknya cairan suction.
Perdarahan dalam 24 jam setelah operasi umumnya 500 - 800 cc. Jika
perdarahan dalam 1 jam melebihi 3 cc/kg/jam, harus dilakukan torakotomi. Jika
banyaknya hisapan bertambah/berkurang, perhatikan juga secara bersamaan
keadaan pernapasan.
f. Suction harus berjalan efektif:
Perhatikan setiap 15 - 20 menit selama 1 - 2 jam setelah operasi dan
setiap 1 - 2 jam selama 24 jam setelah operasi.
 Perhatikan banyaknya cairan, keadaan cairan, keluhan pasien, warna muka,
keadaan pernapasan, denyut nadi, tekanan darah.
 Perlu sering dicek, apakah tekanan negative tetap sesuai petunjuk jika
suction kurang baik, coba merubah posisi pasien dari terlentang, ke 1/2
terlentang atau 1/2 duduk ke posisi miring bagian operasi di bawah atau di
cari penyababnya misal : slang tersumbat oleh gangguan darah, slang
bengkok atau alat rusak, atau lubang slang tertutup oleh karena
perlekatanan di dinding paru-paru.
g. Perawatan "slang" dan botol WSD/ Bullow drainage.
o Cairan dalam botol WSD diganti setiap hari , diukur berapa cairan yang
keluar kalau ada dicatat.
o Setiap hendak mengganti botol dicatat pertambahan cairan dan adanya
gelembung udara yang keluar dari bullow drainage.
o Penggantian botol harus "tertutup" untuk mencegah udara masuk yaitu
meng"klem" slang pada dua tempat dengan kocher.
o Setiap penggantian botol/slang harus memperhatikan sterilitas botol dan
slang harus tetap steril.
o Penggantian harus juga memperhatikan keselamatan kerja diri-sendiri,
dengan memakai sarung tangan.

68
o Cegah bahaya yang menggangu tekanan negatip dalam rongga dada, misal :
slang terlepas, botol terjatuh karena kesalahan dll.
h. Dinyatakan berhasil, bila:
o Paru sudah mengembang penuh pada pemeriksaan fisik dan radiologi.
o Darah cairan tidak keluar dari WSD / Bullow drainage.
o Tidak ada pus dari selang WSD.
3) Therapy
 Chest tube / drainase udara (pneumothorax).
 WSD (hematotoraks).
 Pungsi.
 Torakotomi.
 Pemberian oksigen.
 Antibiotika.
 Analgetika.
 Expectorant.

2.6.8 KOMPLIKASI
1. Iga : fraktur multiple dapat menyebabkan kelumpuhan rongga dada.
2. Pleura, paru-paru, bronkhi: hemo/hemopneumothoraks-emfisema pembedahan.
3. Jantung: tamponade jantung; ruptur jantung; ruptur otot papilar; ruptur klep jantung.
4. Pembuluh darah besar: hematothoraks.
5. Esofagus: mediastinitis.
6. Diafragma: herniasi visera dan perlukaan hati, limpa dan ginjal (Mowschenson, 1990).

2.6.9 ASUHAN KEPERAWATAN


Pengkajian adalah langkah awal dan dasar dalam proses keperawatan secara
menyeluruh (Boedihartono, 1994 : 10).
Pengkajian pasien dengan trauma thoraks (. Doenges, 1999) meliputi :
 Aktivitas/ istirahat
Gejala: dipnea dengan aktivitas ataupun istirahat.
 Sirkulasi
Tanda: Takikardia ; disritmia ; irama jantunng gallops, nadi apical berpindah, tanda
Homman ; TD : hipotensi/hipertensi ; DVJ.

69
 Integritas ego
Tanda: ketakutan atau gelisah.
 Makanan dan cairan
Tanda: adanya pemasangan IV vena sentral/infuse tekanan.
 Nyeri/ketidaknyamanan
Gejala: nyeri uni laterl, timbul tiba-tiba selama batuk atau regangan, tajam dan nyeri,
menusuk-nusuk yang diperberat oleh napas dalam, kemungkinan menyebar ke leher,
bahu dan abdomen.
Tanda: berhati-hati pada area yang sakit, perilaku distraksi, mengkerutkan wajah.
 Pernapasan
Gejala: kesulitan bernapas; batuk; riwayat bedah dada/trauma, penyakit paru kronis,
inflamasi/ infeksi paru, penyakit interstitial menyebar, keganasan; pneumothoraks
spontan sebelumnya, PPOM.
Tanda: Takipnea; peningkatan kerja napas; bunyi napas turun atau tak ada; fremitus
menurun; perkusi dada hipersonan; gerakkkan dada tidak sama; kulit pucat, sianosis,
berkeringat, krepitasi subkutan; mental ansietas, bingung, gelisah, pingsan;
penggunaan ventilasi mekanik tekanan positif.
 Keamanan
Gejala: adanya trauma dada ; radiasi/kemoterapi untuk kkeganasan.
 Penyuluhan/pembelajaran
Gejala: riwayat factor risiko keluarga, TBC, kanker ; adanya bedah
intratorakal/biopsy paru.

Diagnosa Keperawatan
1) Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan ekpansi paru yang tidak maksimal
karena akumulasi udara/cairan.
2) Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan peningkatan sekresi
sekret dan penurunan batuk sekunder akibat nyeri dan keletihan.
3) Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan dan reflek spasme otot sekunder.
4) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan trauma mekanik terpasang bullow
drainage.

70
5) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan ketidakcukupan kekuatan dan
ketahanan untuk ambulasi dengan alat eksternal.
6) Risiko infeksi berhubungan dengan tempat masuknya organisme sekunder terhadap
trauma.
Intervensi Keperawatan

1) Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan ekspansi paru yang tidak maksimal
karena trauma.
Tujuan: Pola pernapasan efektive.
Kriteria hasil:
 Memperlihatkan frekuensi pernapasan yang efektive.
 Mengalami perbaikan pertukaran gas-gas pada paru.
 Adaptive mengatasi faktor-faktor penyebab.
Intervensi :
a) Berikan posisi yang nyaman, biasanya dnegan peninggian kepala tempat tidur.
Balik ke sisi yang sakit. Dorong klien untuk duduk sebanyak mungkin.
R/ Meningkatkan inspirasi maksimal, meningkatkan ekpsnsi paru dan ventilasi
pada sisi yang tidak sakit.
b) Obsservasi fungsi pernapasan, catat frekuensi pernapasan, dispnea atau
perubahan tanda-tanda vital.
R/ Distress pernapasan dan perubahan pada tanda vital dapat terjadi sebgai akibat
stress fifiologi dan nyeri atau dapat menunjukkan terjadinya syock sehubungan
dengan hipoksia.
c) Jelaskan pada klien bahwa tindakan tersebut dilakukan untuk menjamin
keamanan.
R/ Pengetahuan apa yang diharapkan dapat mengurangi ansietas dan
mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana teraupetik.
d) Jelaskan pada klien tentang etiologi/faktor pencetus adanya sesak atau kolaps
paru-paru.
R/ Pengetahuan apa yang diharapkan dapat mengembangkan kepatuhan klien
terhadap rencana teraupetik.
e) Pertahankan perilaku tenang, bantu pasien untuk kontrol diri dnegan
menggunakan pernapasan lebih lambat dan dalam.

71
R/ Membantu klien mengalami efek fisiologi hipoksia, yang dapat
dimanifestasikan sebagai ketakutan/ansietas.
f) Perhatikan alat bullow drainase berfungsi baik, cek setiap 1 – 2 jam:
 Periksa pengontrol penghisap untuk jumlah hisapan yang benar.
R/ Mempertahankan tekanan negatif intrapleural sesuai yang diberikan, yang
meningkatkan ekspansi paru optimum/drainase cairan.
 Periksa batas cairan pada botol penghisap, pertahankan pada batas yang
ditentukan.
R/ Air penampung/botol bertindak sebagai pelindung yang mencegah udara
atmosfir masuk ke area pleural.
 Observasi gelembung udara botol penempung.
R/ gelembung udara selama ekspirasi menunjukkan lubang angin dari
penumotoraks/kerja yang diharapka.Gelembung biasanya menurun seiring
dnegan ekspansi paru dimana area pleural menurun. Tak adanya gelembung
dapat menunjukkan ekpsnsi paru lengkap/normal atau slang buntu.

 Posisikan sistem drainage slang untuk fungsi optimal, yakinkan slang tidak
terlipat, atau menggantung di bawah saluran masuknya ke tempat drainage.
Alirkan akumulasi dranase bela perlu.
R/ Posisi tak tepat, terlipat atau pengumpulan bekuan/cairan pada selang
mengubah tekanan negative yang diinginkan.
 Catat karakter/jumlah drainage selang dada.
R/ Berguna untuk mengevaluasi perbaikan kondisi/terjasinya perdarahan
yang memerlukan upaya intervensi.
g) Kolaborasi dengan tim kesehatan lain :
 Dengan dokter, radiologi dan fisioterapi.
o Pemberian antibiotika.
o Pemberian analgetika.
o Fisioterapi dada.
o Konsul photo toraks.
R/ Mengevaluasi perbaikan kondisi klien atas pengembangan parunya.

72
2) Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan peningkatan sekresi sekret
dan penurunan batuk sekunder akibat nyeri dan keletihan.
Tujuan: Jalan napas lancar/normal
Kriteria hasil:
 Menunjukkan batuk yang efektif.
 Tidak ada lagi penumpukan sekret di sal. pernapasan.
 Klien nyaman.
Intervensi :
a) Jelaskan klien tentang kegunaan batuk yang efektif dan mengapa terdapat
penumpukan sekret di sal. pernapasan.
R/ Pengetahuan yang diharapkan akan membantu mengembangkan kepatuhan
klien terhadap rencana teraupetik.
b) Ajarkan klien tentang metode yang tepat pengontrolan batuk.
R/ Batuk yang tidak terkontrol adalah melelahkan dan tidak efektif,
menyebabkan frustasi.
 Napas dalam dan perlahan saat duduk setegak mungkin.
R/ Memungkinkan ekspansi paru lebih luas.
 Lakukan pernapasan diafragma.
R/ Pernapasan diafragma menurunkan frek.napas dan meningkatkan
ventilasi alveolar.
 Tahan napas selama 3 - 5 detik kemudian secara perlahan-lahan, keluarkan
sebanyak mungkin melalui mulut.
 Lakukan napas ke dua , tahan dan batukkan dari dada dengan melakukan 2
batuk pendek dan kuat.
R/ Meningkatkan volume udara dalam paru mempermudah pengeluaran
sekresi sekret.
c) Auskultasi paru sebelum dan sesudah klien batuk.
R/ Pengkajian ini membantu mengevaluasi keefektifan upaya batuk klien.
d) Ajarkan klien tindakan untuk menurunkan viskositas sekresi : mempertahankan
hidrasi yang adekuat; meningkatkan masukan cairan 1000 sampai 1500 cc/hari
bila tidak kontraindikasi.
R/ Sekresi kental sulit untuk diencerkan dan dapat menyebabkan sumbatan
mukus, yang mengarah pada atelektasis.

73
e) Dorong atau berikan perawatan mulut yang baik setelah batuk.
R/ Hiegene mulut yang baik meningkatkan rasa kesejahteraan dan mencegah bau
mulut.
f) Kolaborasi dengan tim kesehatan lain :
Dengan dokter, radiologi dan fisioterapi.
o Pemberian expectoran.
o Pemberian antibiotika.
o Fisioterapi dada.
o Konsul photo toraks.
R/ Expextorant untuk memudahkan mengeluarkan lendir dan menevaluasi
perbaikan kondisi klien atas pengembangan parunya.

3) Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan dan reflek spasme otot sekunder.
Tujuan: Nyeri berkurang/hilang.
Kriteria hasil:
 Nyeri berkurang/ dapat diadaptasi.
 Dapat mengindentifikasi aktivitas yang meningkatkan/ menurunkan nyeri.
 Pasien tidak gelisah.
Intervensi:
a) Jelaskan dan bantu klien dengan tindakan pereda nyeri nonfarmakologi dan non
invasif.
R/ Pendekatan dengan menggunakan relaksasi dan nonfarmakologi lainnya telah
menunjukkan keefektifan dalam mengurangi nyeri.
 Ajarkan Relaksasi : Tehnik-tehnik untuk menurunkan ketegangan otot
rangka, yang dapat menurunkan intensitas nyeri dan juga tingkatkan
relaksasi masase.
R/ Akan melancarkan peredaran darah, sehingga kebutuhan O2 oleh jaringan
akan terpenuhi, sehingga akan mengurangi nyerinya.
 Ajarkan metode distraksi selama nyeri akut.
R/ Mengalihkan perhatian nyerinya ke hal-hal yang menyenangkan.
 Berikan kesempatan waktu istirahat bila terasa nyeri dan berikan posisi yang
nyaman ; misal waktu tidur, belakangnya dipasang bantal kecil.

74
R/ Istirahat akan merelaksasi semua jaringan sehingga akan meningkatkan
kenyamanan.
b) Tingkatkan pengetahuan tentang : sebab-sebab nyeri, dan menghubungkan
berapa lama nyeri akan berlangsung.
R/ Pengetahuan yang akan dirasakan membantu mengurangi nyerinya. Dan dapat
membantu mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana teraupetik.
c) Kolaborasi denmgan dokter, pemberian analgetik.
R/ Analgetik memblok lintasan nyeri, sehingga nyeri akan berkurang.
d) Observasi tingkat nyeri, dan respon motorik klien, 30 menit setelah pemberian
obat analgetik untuk mengkaji efektivitasnya. Serta setiap 1 - 2 jam setelah
tindakan perawatan selama 1 - 2 hari.
R/ Pengkajian yang optimal akan memberikan perawat data yang obyektif untuk
mencegah kemungkinan komplikasi dan melakukan intervensi yang tepat.
4) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan trauma mekanik terpasang bullow
drainage.
Tujuan: Mencapai penyembuhan luka pada waktu yang sesuai.
Kriteria Hasil:
 Tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus.
 Luka bersih tidak lembab dan tidak kotor.
 Tanda-tanda vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi.
Intervensi:
a) Kaji kulit dan identifikasi pada tahap perkembangan luka.
R/ mengetahui sejauh mana perkembangan luka mempermudah dalam
melakukan tindakan yang tepat.
b) Kaji lokasi, ukuran, warna, bau, serta jumlah dan tipe cairan luka.
R/ mengidentifikasi tingkat keparahan luka akan mempermudah intervensi.
c) Pantau peningkatan suhu tubuh.
R/ suhu tubuh yang meningkat dapat diidentifikasikan sebagai adanya proses
peradangan.
d) Berikan perawatan luka dengan tehnik aseptik. Balut luka dengan kasa kering
dan steril, gunakan plester kertas.
R/ tehnik aseptik membantu mempercepat penyembuhan luka dan mencegah
terjadinya infeksi.

75
e) Jika pemulihan tidak terjadi kolaborasi tindakan lanjutan, misalnya debridement.
R/ agar benda asing atau jaringan yang terinfeksi tidak menyebar luas pada area
kulit normal lainnya.
f) Setelah debridement, ganti balutan sesuai kebutuhan.
R/ balutan dapat diganti satu atau dua kali sehari tergantung kondisi parah/ tidak
nya luka, agar tidak terjadi infeksi.
g) Kolaborasi pemberian antibiotik sesuai indikasi.
R/ antibiotik berguna untuk mematikan mikroorganisme pathogen pada daerah
yang berisiko terjadi infeksi.

5) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan ketidakcukupan kekuatan dan


ketahanan untuk ambulasi dengan alat eksternal.
Tujuan: pasien akan menunjukkan tingkat mobilitas optimal.
Kriteria hasil:
 Penampilan yang seimbang..
 Melakukan pergerakkan dan perpindahan.
 Mempertahankan mobilitas optimal yang dapat di toleransi, dengan
karakteristik :
0 = mandiri penuh
1 = memerlukan alat Bantu.
2 = memerlukan bantuan dari orang lain untuk bantuan, pengawasan, dan
pengajaran.
3 = membutuhkan bantuan dari orang lain dan alat Bantu.
4 = ketergantungan; tidak berpartisipasi dalam aktivitas.
Intervensi:
a) Kaji kebutuhan akan pelayanan kesehatan dan kebutuhan akan peralatan.
R/ mengidentifikasi masalah, memudahkan intervensi.
b) Tentukan tingkat motivasi pasien dalam melakukan aktivitas.
R/ mempengaruhi penilaian terhadap kemampuan aktivitas apakah karena
ketidakmampuan ataukah ketidakmauan.
c) Ajarkan dan pantau pasien dalam hal penggunaan alat bantu.
R/ menilai batasan kemampuan aktivitas optimal.
d) Ajarkan dan dukung pasien dalam latihan ROM aktif dan pasif.

76
R/ mempertahankan /meningkatkan kekuatan dan ketahanan otot.
e) Kolaborasi dengan ahli terapi fisik atau okupasi.
R/ sebagai suaatu sumber untuk mengembangkan perencanaan dan
mempertahankan/meningkatkan mobilitas pasien.

6) Risiko infeksi berhubungan dengan tempat masuknya organisme sekunder terhadap


trauma.
Tujuan: infeksi tidak terjadi / terkontrol.
Kriteria hasil:
 Tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus.
 Luka bersih tidak lembab dan tidak kotor.
 Tanda-tanda vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi.

Intervensi:
a) Pantau tanda-tanda vital.
R/ mengidentifikasi tanda-tanda peradangan terutama bila suhu tubuh meningkat.
b) Lakukan perawatan luka dengan teknik aseptik.
R/ mengendalikan penyebaran mikroorganisme patogen.
c) Lakukan perawatan terhadap prosedur inpasif seperti infus, kateter, drainase luka,
dll.
R/ untuk mengurangi risiko infeksi nosokomial.
d) Jika ditemukan tanda infeksi kolaborasi untuk pemeriksaan darah, seperti Hb dan
leukosit.
R/ penurunan Hb dan peningkatan jumlah leukosit dari normal bisa terjadi akibat
terjadinya proses infeksi.
e) Kolaborasi untuk pemberian antibiotik.
R/ antibiotik mencegah perkembangan mikroorganisme patogen.

77
BAB III
PEMBAHASAN KASUS

3.1 ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN Tn.M DENGAN DIAGNOSA


EDEMA PARU DIRUANG INTALASI GAWAT DARURAT RSUD
KABUPATEN BULELENG PADA TANGGAL 9 MARET 2019

1. PENGKAJIAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT/IGD/TRIAGE

Tgl/ Jam : 9 Maret 2019 No. RM : 60-4199


Triage : ATS /5 level Diagnosis Medis :Edema Paru
Transportasi : Ambulan/Mobil Pribadi/ Lain-lain … …
IDENTITAS

Nama : Mulyadi Jenis Kelamin :P


Umur : 20 Tahun Alamat : Ds. Sawan
Agama : Hindu Status Perkawinan : Lajang
Pendidikan : SMA Sumber Informasi : Keluarga

78
Pekerjaan : Pelajar Hubungan : Ibu
Suku/ Bangsa : Indonesia
Triage : prioritas 2 (indikasi)

Keluhan Utama : Keluarga Px mengatakan


pasien selalu merasakan sesak dan sulit malakukan pekerjaan.

Mekanisme Cedera (Trauma) :

Sign/ Tanda Gejala : Px sesak, pernapasan


20x/menit, tubuh berkeringat, napas cepat, nyeri dada.
RIWAYAT SAKIT & KESEHATAN

Allergi : Px tidak memiliki riwayat


alergi

Medication/ Pengobatan : Morfin, furosemide.

Past Medical History : Px tidak memiliki riwayat


kesehatan terdahulu

Last Oral Intake/Makan terakhir: Px mengatakan makan


terakhir pada saat ia akan berangkat kesekolah sekitar pukul
06.00 Wita.

Event leading injury : Px mengatakan tidak pernah


mengalami kecelakaan sebelumnya.

Penggunaan Cervikal Collar :..........


Jalan Nafas :  Paten  Tidak Paten
Obstruksi :  Lidah  Cairan  Benda Asing
 Tidak Ada
 Muntahan  Darah  Oedema
AIRWAY

Suara Nafas : Snoring Gurgling Stridor Tidak ada


Keluhan Lain: ... ...

Masalah Keperawatan: -

:  Spontan  Tidak Spontan


BREATHING

Nafas
Gerakan dinding dada:  Simetris  Asimetris
Irama Nafas :  Cepat  Dangkal  Normal
Pola Nafas :  Teratur  Tidak Teratur
Jenis :  Dispnoe  Kusmaul  Cyene Stoke
 Lain
Suara Nafas :  Vesikuler  Stidor  Wheezing  Ronchi

79
Sesak Nafas :  Ada  TidakAda
Cuping hidung  Ada  Tidak Ada
Retraksi otot bantu nafas :  Ada  Tidak Ada
Pernafasan :  Pernafasan Dada  Pernafasan Perut
RR : 20 x/mnt
Keluhan Lain:
Masalah Keperawatan: -

Nadi :  Teraba  Tidak teraba  N: 80 x/mnt


Tekanan Darah : 130/90 mmHg
Pucat :  Ya  Tidak
Sianosis :  Ya  Tidak
CRT : < 2 detik > 2 detik
Akral :  Hangat  Dingin  S: 360C
CIRCULATION

Pendarahan :  Ya, Lokasi: mata kiri Jumlah 150cc Tidak


ada
Turgor :  Elastis  Lambat
Diaphoresis: Ya Tidak
Riwayat Kehilangan cairan berlebihan:  Diare  Muntah 
Luka bakar
Keluhan Lain: -
Masalah Keperawatan: -

Kesadaran:  Composmentis  Delirium  Somnolen 


Apatis  Koma
GCS :  Eye :3  Verbal : 4  Motorik : 6
Pupil :  Isokor  Unisokor  Pinpoint 
Medriasis
Refleks Cahaya:  Ada  Tidak Ada
DISABILITY

Refleks fisiologis:  Patela (+/-)  Lain-lain … …


Refleks patologis :  Babinzky (+/-) Kernig (+/-)  Lain-
lain ... ..
Kekuatan Otot : 4 4
Keluhan Lain : Ada4 hematoma
4
Masalah Keperawatan:
Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral

80
Deformitas :  Ya  Tidak  Lokasi ... ...
Contusio :  Ya  Tidak  Lokasi ... ...
Abrasi :  Ya  Tidak  Lokasi ... ...
EXPOSURE

Penetrasi :  Ya  Tidak  Lokasi ... ...


Laserasi :  Ya  Tidak  Lokasi ... ...
Edema :  Ya  Tidak  Lokasi ... ...
Luka Bakar :  Ya  Tidak  Lokasi ... ...
Grade : ... ... %
Jika ada luka/ vulnus, kaji:
Luas Luka : 5cm
Warna dasar luka: Merah
Kedalaman : -
Lain-lain : ... ...
Masalah Keperawatan: Resiko Infeksi

Monitoring Jantung :  Sinus Bradikardi  Sinus


Takikardi
FIVE INTERVENSI

Saturasi O2 : … …%
Kateter Urine :  Ada  Tidak
Pemasangan NGT :  Ada, Warna Cairan Lambung : ... ... 
Tidak
Pemeriksaan Laboratorium : (terlampir)
Lain-lain: ... ...
Masalah Keperawatan:-

Nyeri :  Ada  Tidak


Problem : Terjatuh dari motor
GIVE COMFORT

Qualitas/ Quantitas : Seperti ditusuk-tusuk


Regio : Daerah mata kiri
Skala :6
Timing : Sewaktu-waktu
Lain-lain :-
Masalah Keperawatan: Nyeri akut

81
Pemeriksaan SAMPLE/KOMPAK
(Fokus pemeriksaan pada daerah trauma/sesuai kasus non
trauma)
Kepala dan wajah :
a. Kepala: Nampak hematome pada belakang kepala,
terdapat nyeri tekan.
b. Wajah : Terdapat benjolan pada area wajah kiri dan
bengkak pada wajah kanan, terdapat nyeri tekan
c. Mata: Terdapat hematome pada mata kiri, terdapat nyeri
tekan
d. Hidung: Tidak terdapat lesi, tidak terdapat nyeri tekan
e. Mulut : Tidak terdapat lesi, tidak terdapat nyeri tekan
f. Telinga : Tidak terdapat lesi, tidak terdapat nyeri tekan
HEAD TO TOE

g. Leher : Tidak terdapat lesi, tidak terdapat nyeri tekan,


vena jugularis teraba
h. Dada : Tidak terdapat lesi, pergerakan dinding dada
simetris, tidak terdapat nyeri tekan, terdengar bunyi
sonor, bunyi jantung normal tidak terdapat bunyi nafas
tambahan
i. Abdomen dan Pinggang : Tidak terdapat lesi,
pergerakan dinding abdomen normal, bising usus
normal 17x/menit, tidak terdengar bunyi pekak pada
abdomen, tidak terdapat nyeri tekan pada daerah
abdomen dan pinggang
j. Pelvis dan Perineum : Tidak terkaji
k. Ekstremitas : Terdapat lesi pada ekstremitas atas
kanan dan kiri

Masalah Keperawatan: Kerusakakan integritas kulit

 Ada  Tidak
INSPEKSI BACK/ POSTERIOR SURFACE

Jejas :
Deformitas :  Ada  Tidak
Tenderness :  Ada  Tidak
Crepitasi :  Ada  Tidak
Laserasi :  Ada  Tidak
Lain-lain : ... ...

Masalah Keperawatan:

Data Tambahan :
Pengkajian Bio, Psiko, Sosio, Ekonomi, Spritual & Secondary
Survey

82
Pemeriksaan Penunjang :
Tanggal : 28 November 2018
Hasil pemeriksaan : EKG, Lab, CT Scan, Rontegn dll

Terapi Medis :
1. Dexketoprofen 1 amp (2ml)
2. Infus RL
3. KIE
4. Observasi keadaan pasienselama 6 jam

83
2. ANALISA DATA

Nama : Mulyadi No. RM : 60-4199


Umur : 20 tahun Diagnosa medis : Edema Paru
Ruang rawat : IGD Alamat : Ds. Sawan

No Data Fokus Analisis MASALAH


Data Subyektif dan Problem dan KEPERAWATA
Obyektif etiologi N
(pathway)
1. Ds : Keluarga Px mengatakan Gangguan Ketidakefektifan
pasien selalu merasakan sesak pertukaran gas pola nafas
dan sulit malakukan berhubungan
pekerjaan. Gangguan difusi dengan keadaan
Do : Px terlihat pucat dan dan retensi O2 tubuh yang
lemas. Hipoksia Jaringan lemah
Wheezing (+) di seluruh Penurunan curah
lapang paru jantung
RR : 40 x/menit O2 CO2
TD : 130/60 mmhg
N : 90 x/menit Ketidak
S : 36.7 C efektifan pola
nafas

DIAGNOSA KEPERAWATAN DAN PRIORITAS MASALAH (BERDASARKAN


YANG MENGANCAM)

1) Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan keadaan tubuh yang lemah.

84
3. INTERVENSI KEPERAWATAN

Nama : Mulyadi No. RM : 60-4199


Umur : 20 tahun Diagnosa medis :Edema Paru
Ruang rawat : IGD Alamat : Ds. Sawan

No Tujuan dan Intervensi Rasional Paraf


Dx Kriteria Hasil (NIC)
(NOC)
Pola nafas 8. Berikan HE pada 8. Informasi yang
1. kembali efektif pasien tentang adekuat dapat
setelah dilakukan penyakitnya membawa pasien
tindakan
lebih kooperatif
keperawatan
9. Atur posisi semi dalam
selama 3 × 24
jam, dengan fowler memberikan
kriteria hasil: terapi
- Tidak terjadi 10. Observasi 9. Jalan nafas yang
hipoksia atau tanda dan gejala longgar dan tidak
hipoksemia sianosis ada sumbatan
- Tidak sesak proses respirasi
- RR normal (16- 11. Berikan dapat berjalan
20 × / menit) terapi oksigenasi dengan lancar.
- Tidak terdapat 10. Sianosis
12. Observasi
kontraksi otot merupakan salah
tanda-tanda vital
bantu nafas satu tanda
manifestasi
ketidakadekuatan
suply O2 pada
13. Observasi
jaringan tubuh
timbulnya gagal
perifer .
nafas.
11. Pemberian
oksigen secara
adequat dapat
mensuplai dan
memberikan
cadangan
oksigen, sehingga
mencegah
terjadinya
hipoksia.
12. Dyspneu,
sianosis
merupakan tanda
terjadinya

85
No Tujuan dan Intervensi Rasional Paraf
Dx Kriteria Hasil (NIC)
(NOC)
gangguan nafas
disertai dengan
kerja jantung
yang menurun
timbul takikardia
dan capilary refill
time yang
memanjang/lama.
13. Ketidakmam
puan tubuh dalam
proses respirasi
diperlukan
intervensi yang
kritis dengan
menggunakan
alat bantu
pernafasan
(mekanical
ventilation).
14. Pengobatan
yang diberikan
berdasar indikasi
sangat membantu
dalam proses
terapi
keperawatan

86
4. IMPLEMENTASI KEPERAWATAN

Nama : Mulyadi No. RM : 60-4199


Umur : 20 tahun Diagnosa medis : Edema Paru
Ruang rawat : IGD Alamat : Ds. Sawan

No Tgl/
Implementasi Respon Paraf
jam
1. 10 1. Berikan HE (healt 1. Px dan keluarganya
Maret Education) pada pasien sudah mengerti tentang
2019 tentang penyakitnya penyakit yang di alami.
10.00
WITA 2. Atur posisi semi fowler2.      2. Pasien Sudah dalam
posisi semi fowler
3.Observasi tanda dan
gejala sianosis 3.      3.Di kuku px terdapat
sianosis sedikit.
4.Berikan terapi
oksigenasi 4.      4.Klien terpasang O2
nasal.
5.Observasi tanda-tanda
vital 5.    5.kesaradaran compos
mentis, tidak sesak.
6.Observasi timbulnya
gagal nafas. TTV :
TD : 120/60 mmhg
Suhu : 36.5 C
Rr : 25x/menit
N : 80x/menit
6.Tidak ada tanda gagal
nafas. RR : 25x/menit

87
5. EVALUASI KEPERAWATAN

Nama : Mulyadi No. RM : 60-4199


Umur : 20 tahun Diagnosa medis : Edema Paru
Ruang rawat : IGD Alamat : Ds. Sawan

No Tgl / Diagnosa
Catatan Perkembangan Paraf
jam Keperawatan
1. 10 Edema Paru S: Px mengatakan keadaanya
Maret sudah membaik dan nafasnya
2019 tidak sesak lagi.
O: warna kuku px sudah
merah dan normal dan tidak
11.00 Nampak sianosis.
WITA A: Masalah sudah teratasi,
pasien sudah bisa beristirahat.
P: Pertahankan Intervensi.
-Lakukan pemeriksaan berkala
kepada pasien.
-Lanjutkan pemberian terapi
obat.

88
3.2 Hasil Dan Pembahasan
Edema paru merupakan kondisi yang disebabkan oleh kelebihan cairan di paru-paru. Edema
paru disebabkan oleh ketidakseimbangan starling forces, perubahan permeabilitas membran
alveolar-kapiler (adult respiratory distress syndrome), insufisiensi limfatik, dan penyebab
yang tidak diketahui/ tak jelas. Edema paru dibedakan menjadi 2 sebab kardiogenik dan  non-
kardiogenik. Edema Paru terjadi ketika alveoli dipenuhi dengan kelebihan cairan yang
merembes keluar dari pembuluh-pembuluh darah dalam paru sebagai gantinya udara.
Manifestasi klinis dari edema paru dibagi dalam 3 kategori yakni stadium 1, stadium 2, dan
stadium 3.Diagnosa penunjang untuk edema paru dapat diperoleh dari pemeriksaan fisik,
elektrokardiografi, pemeriksaan laboratorium, pulmonary artery catheter (swan-ganz),
ekokardiografi, dan pengukuran plasma b-type natriuretic peptide (BNP). Untuk
penatalaksaan pada pasien dengan edema paru disesuaikan dengan gejala yang timbul

89
EDEMA PARU KARDIOGENIK AKUT

Starry H. Rampengan
Bagian Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah
Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado
Email: starry8888@yahoo.com

Abstract:
Acute cardiogenic pulmonary edema is a common disease, harmful and lethal with a
mortality rate 10-20%. Cardiogenic pulmonary edema or edema volume overload due to
an increase of pulmonary capillary hydrostatic pressure that causes the increase of
transvascular fluid filtration. The increase of pulmonary capillary hydrostatic pressure is
usually caused by the increase of pressure in the pulmonary veins that occur due to the
increase of left ventricular end-diastolic pressure and left atrial pressure. Clinical features
of cardiogenic pulmonary edema are inter alia shortness of breath that is associated with a
history of chest pain and heart disease. Cardiogenic pulmonary edema is one of medical
emergencies that need early medical treatment after the diagnosis is established. The
management includes supportive treatment to maintain lung function (such as gas
exchange, organ perfusion), where as the main cause should be investigated and treated as
soon as possible whenever possible. The principle of management are adequate oxygen
distribution, fluid restriction, and maintain cardiovascular function. The initial
consideration are clinical evaluation, ECG, chest x-ray and blood gas analysis.
Keywords: acute cardiogenic pulmonary edema, management

Abstrak:
Edema paru kardiogenik akut merupakan penyakit yang sering terjadi, merugikan dan
mematikan dengan tingkat kematian 10-20 %. Edema paru kardiogenik atau edema
volume overload terjadi karena peningkatan tekanan hidrostatik dalam kapiler paru yang
menyebabkan peningkatan filtrasi cairan transvaskular. Peningkatan tekanan hidrostatik
kapiler paru biasanya disebabkan oleh meningkatnya tekanan di vena pulmonalis yang
terjadi akibat meningkatnya tekanan akhir diastolik ventrikel kiri dan tekanan atrium kiri.

90
Gambaran klinis edema paru kardiogenik yaitu adanya sesak napas tiba-tiba yang
dihubungkan dengan riwayat nyeri dada dan adanya riwayat sakit jantung. Edema paru
kardiogenik merupakan salah satu kegawatan medis yang perlu penanganan medis secepat
mungkin setelah ditegakkan diagnosis. Penatalaksanaan utama meliputi pengobatan
suportif yang ditujukan terutama untuk mempertahankan fungsi paru (seperti pertukaran
gas, perfusi organ), sedangkan penyebab utama juga harus diselidiki dan diobati segera
bila memungkinkan. Prinsip penatalaksanaan meliputi pemberian oksigen yang adekuat,
restriksi cairan, mempertahankan fungsi kardiovaskular. Pertimbangan awal yaitu evaluasi
klinis, EKG, foto toraks dan AGDA.
Kata kunci: edema paru kardiogenik akut, tatalaksana

Edema paru kardiogenik disebabkan oleh peningkatan tekanan hidrostatik kapiler paru
yang dapat terjadi akibat perfusi berlebihan baik dari infus darah maupun produk darah dan
cairan lainnya, sedangkan edema paru nonkardiogenik disebabkan oleh peningkatan
permeabilitas kapiler paru antara lain pada pasca transplantasi paru dan reekspansi edema
paru, termasuk cedera iskemiareperfusi-dimediasi.1,3-5 Walaupun penyebab edema paru
kardiogenik dan nonkardiogenik berbeda, namun keduanya memiliki penampilan klinis yang
serupa sehingga menyulitkan dalam menegakkan diagnosisnya.6 Terapi yang tepat
dibutuhkan untuk menyelamatkan pasien dari kerusakan lanjut akibat gangguan
keseimbangan cairan di paru.1,3,4,7

Menurut penelitian pada tahun 1994, secara keseluruhan terdapat 74,4 juta penderita edema
paru di seluruh dunia. Di Inggris terdapat sekitar 2,1 juta penderita edema paru yang
memerlukan pengobatan dan pengawasan secara komprehensif. Di Amerika Serikat
diperkirakan 5,5 juta penduduk menderita edema paru. Di Jerman penderita edema paru
sebanyak 6 juta penduduk. Ini merupakan angka yang cukup besar yang perlu mendapat
perhatian dari medik di dalam merawat penderita edema paru secara komprehensif.
Di Indonesia, edema paru pertama kali terdeteksi pada tahun 1971. Sejak itu penyakit
tersebut dilaporkan di berbagai daerah sehingga sampai tahun 1980 sudah mencakup seluruh
propinsi di Indonesia. Sejak pertama kali ditemukan, jumlah kasus menunjukkan
kecenderungan meningkat baik dalam jumlah maupun luas wilayah. Di Indonesia insiden
tersebar terjadi pada 1998 dengan incidence rate (IR) = 35,19 per 100.000 penduduk dan
CFR = 2%. Pada tahun 1999 IR menurun tajam sebesar 10,17%, namun pada tahuntahun
berikutnya IR cenderung meningkat yaitu 15,99 % (tahun 2000), 19,24 % (tahun 2002), dan

91
23,87 % (tahun 2003).2,8 Edema paru kardiogenik akut (Acute cardiogenic pulmonary
edema/ACPE) sering terjadi, dan berdampak merugikan dan mematikan dengan tingkat
kematian 1020%.9

PATOFISIOLOGI
Dalam keadaan normal di dalam paru terjadi aliran yang kontinyu dari cairan dan protein
intravaskular ke jaringan interstisial dan kembali ke sistem aliran darah melalui saluran limf
yangn memenuhi hukum
Starling Q = K (Pc-Pt) - d (c-t).4,5,7
Edema paru terjadi bila cairan yang difiltrasi oleh dinding mikrovaskuler lebih banyak
daripada yang bisa dikeluarkan yang berakibat alveoli penuh terisi cairan sehingga tidak
memungkinkan terjadinya pertukaran gas.4-7 Faktor-faktor penentu yang berperan disini yaitu
perbedaan tekanan hidrostatik dan onkotik dalam lumen kapiler dan interstisial, serta
permeabilitas sel endotel terhadap air, larutan, dan molekul besar seperti protein plasma.
Adanya ketidakseimbangan dari satu atau lebih dari faktor-faktor diatas akan menimbulkan
terjadinya edema paru.7
Pada edema paru kardiogenik (volume overload edema) terjadinya peningkatan tekanan
hidrostatik dalam kapiler paru menyebabkan peningkatan filtrasi cairan transvaskular. Bila
tekanan interstisial paru lebih besar daripada tekanan intrapleural maka cairan bergerak
menuju pleura viseral yang menyebabkan efusi pleura. Bila permeabilitas kapiler endotel
tetap normal, maka cairan edema yang meninggalkan sirkulasi memiliki kandungan protein
rendah. Peningkatan tekanan hidrostatik kapiler paru biasanya disebabkan oleh
meningkatnya tekanan di vena pulmonalis yang terjadi akibat meningkatnya tekanan akhir
diastolik ventrikel kiri dan tekanan atrium kiri (>25 mmHg). Dalam keadaan normal tekanan
kapiler paru berkisar 8-12 mmHg dan tekanan osmotik koloid plasma 28 mmHg.1,3,7,10,11
Kejadian tersebut akan menimbulkan lingkaran setan yang terus memburuk oleh proses-
proses sebagai berikut:
1. Meningkatnya kongesti paru menyebabkan desaturasi dan menurunnya pasokan
oksigen miokard memperburuk fungsi jantung.
2. Hipoksemia dan meningkatnya cairan di paru menimbulkan vasokonstriksi pulmonal
sehingga meningkatkan tekanan ventrikel kanan yang melalui mekanisme interdependensi
ventrikel akan semakin menurunkan fungsi ventrikel kiri.
3. Insufisiensi sirkulasi menyebabkan asidosis sehingga memperburuk fungsi jantung.

92
Keluarnya cairan edema dari alveoli paru tergantung pada transpor aktif ion Na+ dan Cl-
melintasi barier epitel yang terdapat pada membran apikal sel epitel alveolar tipe I dan II
serta epitel saluran napas distal. Ion Na+ secara aktif ditranspor keluar ke ruang insterstisial
oleh kerja Na/K-ATPase yang terletak pada membran basolateral sel tipe II. Air secara pasif
mengikuti, kemungkinan melalui aquaporins yang merupakan saluran air
pada sel tipe I.10

Edema paru kardiogenik dapat terjadi akibat dekompensasi akut pada gagal jantung kronik
maupun akibat gagal jantung akut pada infark miokard dimana terjadinya bendungan dan
peningkatan tekanan di jantung dan paru akibat melemahnya pompa jantung.11 Kenaikan
tekanan hidrostatik kapiler paru menyebabkan transudasi cairan ke dalam ruang interstisial
paru, dimana tekanan hidrostatik kapiler paru lebih tinggi dari tekanan osmotik koloid
plasma. Pada tingkat kritis, ketika ruang interstitial dan perivaskular sudah terisi, maka
peningkatan tekanan hidrostatik menyebabkan penetrasi cairan ke dalam ruang alveoli.
Terdapat tiga tingkatan fisiologi dari akumulasi cairan pada edema paru kardiogenik:7,12

Tingkat 1: Cairan dan koloid berpindah dari kapiler paru ke interstisial paru tetapi
terdapat peningkatan cairan yang keluar dari aliran limfatik.
Tingkat 2: Kemampuan pompa sistem limfatik telah terlampaui
sehingga cairan dan koloid mulai terakumulasi pada ruang interstisial sekitar
bronkioli, arteriol, dan venula.
Tingkat 3: Peningkatan akumulasi cairan menyebabkan terjadinya edema alveoli. Pada
tahap ini mulai terjadi gangguan pertukaran gas.

ETIOLOGI

Edema paru biasanya diakibatkan oleh peningkatan tekanan pembuluh kapiler paru dan
permeabilitas kapiler alveolar. Edema paru akibat peningkatan permeabilitas kapiler paru
sering disebut acute respiratory distress syndrome (ARDS).8
Pada keadaan normal terdapat keseimbangan tekanan onkotik (osmotik) dan hidrostatik
antara kapiler paru dan alveoli. Tekanan hidrostatik yang meningkat pada gagal jantung
menyebabkan edema paru, sedangkan pada gagal ginjal terjadi retensi cairan yang
menyebabkan volume overload dan diikuti edema paru. Hipoalbuminemia pada sindrom
nefrotik atau malnutrisi menyebabkan tekanan onkotik menurun sehingga terjadi edema paru.
Pada tahap awal edema paru terdapat peningkatan kandungan cairan di jaringan interstisial
93
antara kapiler dan alveoli. Pada edema paru akibat peningkatan permeabilitas kapiler paru
perlu dipikirkan bahwa kaskade inflamasi timbul beberapa jam kemudian yang berasal dari
suatu fokus kerusakan jaringan tubuh. Neutrofil yang teraktivasi akan beragregasi dan
melekat pada sel endotel yang kemudian menyebabkan pelepasan berbagai toksin, radikal
bebas, dan mediator inflamasi seperti asam arakidonat, kinin, dan histamin. Proses kompleks
ini dapat diinisiasi oleh berbagai macam keadaan atau penyakit dengan hasil akhir kerusakan
endotel yang berakibat peningkatan permeabilitas kapiler alveolar. Alveoli menjadi terisi
penuh dengan eksudat yang kaya protein dan banyak mengandung neutrofil dan sel-sel
inflamasi sehingga terbentuk membran hialin.

GAMBARAN KLINIS
Gambaran klinis edema paru yaitu dari anamnesis ditemukan adanya sesak napas yang
bersifat tiba-tiba yang dihubungkan dengan riwayat nyeri dada dan riwayat sakit jantung.
Perkembangan edema paru bisa berangsur-angsur atau tiba-tiba seperti pada kasus edema
paru akut. Selain itu, sputum dalam jumlah banyak, berbusa dan berwarna merah jambu.
Gejala-gejala umum lain yang mungkin ditemukan ialah: mudah lelah, lebih cepat merasa
sesak napas dengan aktivitas yang biasa (dyspnea on exertion), napas cepat (takipnea),
pening, atau kelemahan. Tingkat oksigenasi darah yang rendah (hipoksia) mungkin terdeteksi
pada pasien dengan edema paru. Pada auskultasi dapat didengar suara-suara paru yang
abnormal, seperti ronki atau crakles.1,3,8

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis, yaitu:

1. Pemeriksaan foto toraks menunjukkan kardiomegali (pada pasien dengan CHF) dan
adanya edema alveolar disertai efusi pleura dan infiltrasi bilateral dengan pola butterfly,
gambaran vaskular paru dan hilus yang berkabut serta adanya garis-garis Kerley b di
interlobularis. Gambaran lain yang berhubungan dengan penyakit jantung berupa
pembesaran ventrikel kiri sering dijumpai. Efusi pleura unilateral juga sering dijumpai
dan berhubungan dengan gagal jantung kiri.1,3

2. EKG menunjukan gangguan pada jantung seperti pembesaran atrium kiri,


pembesaran ventrikel kiri, aritmia, miokard iskemik maupun infark.3
3. Ekokardiografi dilakukan untuk mengetahui apakah ada penurunan fungsi dari
ventrikel kiri dan adanya kelainan katup-katup jantung.3,13

94
4. Pemeriksaan laboratorium enzim jantung perlu dilakukan untuk membantu
menegakkan diagnosis infark miokard. Peningkatan kadar brain natriuretic peptide (BNP)
di dalam darah sebagai respon terhadap peningkatan tekanan di ventikel; kadar BNP >500
pg/ml dapat membantu menegakkan diagnosis edema paru kardiogenik.13,15,16

5. Analisis gas darah (AGDA) dapat memperlihatkan penurunan PO 2 dan PCO2 pada
keadaan awal tetapi pada perkembangan penyakit selanjutnya PO 2 semakin menurun
sedangkan PCO2 meningkat. Pada kasus yang berat biasanya dijumpai hiperkapnia dan
asidosis respiratorik.1,3,13
pw
6. Kateterisasi jantung kanan: Pengukuran P (pulmonary capillary wedge pressure)
melalui kateterisasi jantung kanan merupakan baku emas untuk pasien edema paru
pw
kardiogenik yaitu berkisar 25-35 mmHg sedangkan pada pasien ARDS P 0-18
mmHg.3,13

7. Kadar protein cairan edema: Pengukuran rasio konsentrasi protein cairan edema
dibandingkan protein plasma dapat digunakan untuk membedakan edema paru
kardiogenik dan non-kardiogenik. Bahan pemeriksaan diambil dengan pengisapan cairan
edema paru melalui pipa endotrakeal atau bronkoskop dan pengambilan plasma. Pada
edema paru kardiogenik, konsentrasi protein cairan edema relatif rendah dibanding
plasma (rasio <0,6). Pada edema paru nonkardiogenik konsentrasi protein cairan edema
relatif lebih tinggi (rasio >0,7) karena sawar mikrovaskular berkurang.14

PENATALAKSANAAN

Edema paru kardiogenik merupakan salah satu kegawatan medis yang perlu penanganan
secepat mungkin setelah ditegakkan diagnosis.3 Penatalaksanaan utama meliputi pengobatan
suportif yang ditujukan terutama untuk mempertahankan fungsi paru (seperti pertukaran gas,
perfusi organ), sedangkan penyebab utama juga harus diselidiki dan diobati sesegera
mungkin bila memungkinkan.1,13

Prinsip penatalaksanaan meliputi pemberian oksigen yang adekuat, restriksi cairan, dan
mempertahankan fungsi kardiovaskular.1,13 Pertimbangan awal ialah dengan evaluasi klinis,
EKG, foto toraks, dan AGDA (Gambar 1).1

95
Suplementasi oksigen

Hipoksemia umum pada edema paru merupakan ancaman utama bagi susunan saraf pusat,
baik berupa turunnya kesadaran sampai koma maupun terjadinya syok.Oleh karena itu
suplementasi oksigen merupakan terapi intervensi yang penting untuk meningkatkan
pertukaran gas dan menurunkan kerja pernapasan, mengoptimalisasi unit fungsional paru
sebanyak mungkin, serta mengurangi overdistensi
alveolar.13
Pada kasus ringan oksigen bisa diberikan dengan kanul hidung atau masker muka (face
mask). Continuous positive airway pressure (CPAP) sangat membantu pada pasien edema
paru kardiogenik.1,13 Masip et al. mendapatkan bahwa penggunaan CPAP menurunkan
kebutuhan akan intubasi dan angka mortalitas.17

Pada pasien dengan edema paru kardiogenik akut, induksi ventilasi noninvasif dalam
gangguan pernapasan dan
gangguan metabolik meningkat lebih cepat daripada terapi oksigen standar tetapi tidak
berpengaruh terhadap mortalitas jangka pendek.18 Ventilasi non-invasif dengan CPAP telah
terbukti menurunkan intubasi endotrakeal dan kematian pada pasien dengan edema paru akut
kardiogenik.19 Menurut penelitian Agarwal et al., noninvasive pressure support ventilation
(NIPSV) tampaknya aman dan berkhasiat sebagai CPAP, daripada jika bekerja dengan titrasi
pada tekanan tetap.19

Penelitian Winck et al. mendukung penggunaan CPAP dan non-invasive positive pressure
ventilation (NPPV) pada edema paru akut kardiogenik. Kedua teknik tersebut dipakai untuk
menurunkan need for endotracheal intubation (NETI) dan kematian dibandingkan standard
medical therapy (SMT), serta tidak menunjukkan peningkatan risiko infark miokard akut.
CPAP dianggap sebagai intervensi pertama dari NPPV yang tidak menunjukkan khasiat yang
lebih baik bahkan pada pasien dengan kondisi lebih parah, tetapi lebih murah dan lebih
mudah untuk diimplementasikan dalam praktek klinis.20 Intubasi dan penggunaan ventilasi
mekanik dengan positive end-expiratory pressure (PEEP) diperlukan pada kasus yang
berat.11,13

96
OBAT-OBATAN

Obat-obatan yang menurunkan preload


Nitrogliserin (NTG) dapat menurunkan preload secara efektif, cepat, dan efeknya dapat
diprediksi. Pemberian NTG secara intra vena diawali dengan dosis rendah (20µg/menit) dan
kemudian dinaikkan secara bertahap (dosis maksimal 200µg/menit).1,13

Loop diuretics (furosemide) dapat menurunkan preload melalui 2 mekanisme, yaitu: diuresis
dan venodilatasi. Dosis furosemide dapat diberikan per oral 20-40 mg/hari pada keadaan
yang ringan hingga 5-40 mg/jam secara infus pada keadaan yang berat.1,13

Morfin sulfat digunakan untuk menurunkan preload dengan dosis 3 mg secara intra vena dan
dapat diberikan berulang.1,13

Obat-obatan yang menurunkan afterload


Angiotensin-converting enzyme inhibitors (ACE inhibitors) menunurunkan after load, serta
memperbaiki volume sekuncup dan curah jantung. Pemberian secara intra vena (enalapril
1,25 mg) ataupun sublingual (captopril 25 mg) akan memperbaiki keluhan pasien. Pada suatu
meta analisis didapati bahwa pemberian ACE inhibitors akan menurunkan angka
mortalitas.1,13

Obat-obatan golongan inotropik


Obat-obatan golongan inotropik diberikan pada edema paru kardiogenik yang mengalami
hipotensi, yaitu dobutamin 2-20 µg/kg/menit atau dopamin 3-20
µg/kg/menit.1,13

SIMPULAN
Edema paru kardiogenik (edema volume overload) terjadi karena peningkatan tekanan
hidrostatik kapiler paru yang menyebabkan filtrasi cairan trasvaskular. Pada anamnesis
ditemukan adanya sesak napas tiba-tiba yang dihubungkan dengan nyeri dada dan adanya
riwayat sakit jantung. Edema paru karidogenik merupakan salah satu kegawatan medis yang
memerlukan penanganan medis secepat mungkin setelah ditegakkan diagnosis.
Penatalaksanaan meliputi pemberian oksigen yang adekuat, restriksi cairan, mempertahankan

97
fungsi kardiovaskular dengan obat-obatan inotropik, serta obat-obatan yang menurunkan
preload (nitrat, morfin dan diuretik) dan afterload (ACE inhibitor).

DAFTAR PUSTAKA
1. Mattu A, Martinez JP, Kelly BS. Modern management of cardiogenic pulmonary
edema. Emerg Med Clin N Am.
2005;23:1105-25.
2. Harun S, Sally N. Edema paru akut. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (Edisi ke-5). Jakarta:
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. 2009; p. 1651-3.
3. Ware LB, Matthay MA. Acute pulmonary edema. N Engl J Med. 2005;353:278896.
4. Nendrastuti H, Mohamad S. Edema paru akut, kardiogenik dan non kardiogenik.
Majalah Kedokteran Respirasi. 2010;1(3):10.
5. Majoli F, Monti L, Zanierato M, Campana C, Mediani S,
Tavazzi L, et al. Respiratory fatigue in patients with acute cardiogenic pulmonary edema.
Eur Heart J. 2004;6: F74-80.
6. Prendergast TJ, Ruoss SJ. Pulmonary disease. In: Mc Phee SJ, Lingappa VR,
Ganong WF editors. Pathophysiology of Disease, an Introduction to Clinical Medicine
(Fourth Edition). New York: Mc-Graw-Hill; 2003. p. 247-51.
7. Murray JF. Pulmonary edema: pathophysiology and diagnosis. Int J
Tuberc Lung Dis. 2011;15(2):155-160.
8. Soemantri. Cardiogenic pulmonary edema. Naskah Lengkap PKB XXVI Ilmu
Penyakit Dalam 2011. FK UNAIRRSUD Dr. Soetomo, 2011. p.113-9.
9. Bestern AD. Noninvasive ventilation for cardiogenic pulmonary edema: froth and
bubbles? Am J Respir Crit Care Med, 2003.

10. Nieminen MS, Bohm M, Cowie MR,


Drexler H, Filippatos GS, Jondeau G, et al. Executive summary of the guidelines on
the diagnosis and treatment of acute heart failure. Eur Heart J. 2005;26:384-416.
11.Harun S.Edema paru akut. In: Sudoyo AW, Markum HMS, Setiati S, Alwi I, Gani RA,
Sumaryono, editors. Naskah lengkap Pertemuan Ilmiah Tahunan Ilmu Penyakit Dalam 1998.
Jakarta: Bagian IPD FKUI; 1998. p. 97-101.

98
BAB IV
PENUTUP

4.1 KESIMPULAN
Gagal nafas adalah kegagalan sistem pernafasan untuk mempertahankan pertukaran
oksigen dankarbondioksida dalam jumlah yangdapat mengakibatkan gangguan pada
kehidupan (RS Jantung “Harapan Kita”, 2001). Gagal nafas ada dua macam yaitu gagal nafas
akut dan gagal nafas kronik dimana masing masing mempunyai pengertian yang bebrbeda.
Gagal nafas akut adalah gagal nafas yang timbul pada pasien yang parunyanormal secara
struktural maupun fungsional sebelum awitan penyakit timbul. Sedangkan gagal nafas kronik
adalah terjadi pada pasien dengan penyakit paru kronik seperti bronkitis kronik, emfisema
dan penyakit paru hitam (penyakit penambang batubara).
Asma merupakan reaksi hiperresponsif saluran napas yang berbeda-beda derajatnya
dan menimbulkan fluktuasi spontan terhadap obstruksi jalan napas (Lewis et al., 2000).
Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, berat penyakit dan pola keterbatasan aliran
udara. Klasifikasi asma berdasarkan berat penyakit penting bagi pengobatan dan perencanaan
penatalaksanaan jangka panjang. Semakin berat asma semakin tinggi tingkat pengobatan
(Depkes RI, 2007). Pengklasifikasian asma dapat dilakukan dengan pengkajian terhadap
gejala dan kemampuan fungsi paru. Semakin sering gejala yang dialami, maka semakin parah
asma tersebut.
ARDS adalah Penyakit akut dan progressive dari kegagalan pernafasan disebabkan
terhambatnya proses difusi oksigen dari alveolar ke kapiler (a-c block) yang disebabkan oleh
karena terdapatnya edema yang terdiri dari cairan koloid protein baik interseluler maupun
intra alveolar. (Prof. Dr. H. Tabrani Rab, 2000). Penderita yang bereaksi baik terhadap
pengobatan, biasanya akan sembuh total, dengan atau tanpa kelainan paru-paru jangka
panjang. Pada penderita yang menjalani terapi ventilator dalam waktu yang lama, cenderung
akan terbentuk jaringan parut di paru-parunya. Jaringan parut tertentu membaik beberapa
bulan setelah ventilator dilepas.
Edema paru terjadi dikarenakan aliran cairan dari pembuluh darah ke ruang intersisial
paru yang selanjutnya ke alveoli paru, melebihi aliran cairan kembali ke darah atau melalui
saluran limfatik. Edema paru terjadi ketika cairan yang disaring ke paru lebih cepat dari
cairan yang dipindahkan. Penumpukan cairan menjadi masalah serius bagi fungsi paru karena
efisiensi perpindahan gas di alveoli tidak bisa terjadi. Struktur paru dapat menyesuaikan

99
bentuk edema dan yang mengatur perpindahan cairan dan protein di paru menjadi masalah
yang klasik.
Kolapsnya paru atau alveolus disebut atelektasis, alveolus yang kolaps tidak
mengandung udara sehingga tidak dapat ikut serta di dalam pertukaran gas. Kondisi ini
mengakibatkan penurunan luas permukaan yang tersedia untuk proses difusi dan kecepatan
pernafasan berkurang. ( Elizabeth J.Corwin , 2009)
Trauma dada adalah abnormalitas rangka dada yang disebabkan oleh benturan pada
dinding dada yang mengenai tulang rangka dada, pleura paru-paru, diafragma ataupun isi
mediastinal baik oleh benda tajam maupun tumpul yang dapat menyebabkan gangguan
system pernafasan. Penyebab trauma thorax oleh karena trauma tajam dibedakan menjadi 3,
berdasarkan tingkat energinya yaitu: trauma tusuk atau tembak dengan energy rendah,
berenergi sedang dengan kecepatan kurang dari 1500 kaki per derti (seperti pistol) dan
trauma thorax oleh karena proyektil berenergi tinggi (senjata militer) dengan kecepatan
melebihi 3000 kaki per detik.

4.2 SARAN

Semoga makalah ini mampu menambah informasi tentang teori dalam keperawatan
keluarga, dan juga mampu membantu mahasiswa dalam praktik di dalam tatanan
keperawatan keluarga sehingga mampu memberikan asuhan keperawatan keluarga yang baik.

100

Anda mungkin juga menyukai