Gadar bnr-1
Gadar bnr-1
2019
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Hyang Maha Esa, yeng telah memberikan kekuatan dan
kesempatan kepada kelompok sehingga makalah ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya.
Makalah dengan judul ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN KEGAWATDARURATAN
AKIBAT : TRAUMA ABDOMEN, KERACUNANA, HEMATEMISIS MELENA,
PERITORNITIS adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
keperawatan gawatdarurat serta untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman pembaca.
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan sehingga diperlukan kritik dan saran yang membangun untuk memperbaiki
makalah ini.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
JUDUL..............................................................................................................i
KATA PENGANTAR.......................................................................................ii
DAFTAR ISI.....................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................1
BAB IV PENUTUP.......................................................................................... 64
4.1 KESIMPULAN........................................................................................... 64
4.2 SARAN....................................................................................................... 64
DAFTAR PUSTAKA
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
1.4 SISTEMATIKA PENULISAN
1. BAB I PENDAHULUAN
Bab ini berisikan latarbelakang, rumusan masalah, tujuan, dan sistematika penulisan.
Bab ini berisikan tentang dasar-dasar teori yang digunakan sebagai acuan dalam
penyususnan LP
4. BAB IV PENUTUP
BAB II
2
TINJAUAN TEORITIS
2.1.1 Pengertian
Trauma abdomen adalah cedera pada abdomen, dapat berupa trauma tumpul dan
tembus serta trauma yang disengaja atau tidak disengaja, (Smeltzer, 2001).
Trauma perut merupakan luka pada isi rongga perut dapat terjadi dengan atau tanpa
tembusnya dinding perut dimana pada penanganan/penatalaksanaan lebih bersifat kedaruratan
dapat pula dilakukan tindakan laparatomi, (FKUI, 1995).
2.1.2 Etiologi
2.1.3 Patofisiologi
Bila suatu kekuatan eksternal dibenturkan pada tubuh manusia (akibat kecelakaan lalu
lintas, penganiayaan, kecelakaan olahraga dan terjatuh dari ketinggian), maka beratnya
trauma merupakan hasil dari interaksi antara faktorfaktor fisik dari kekuatan tersebut
dengan jaringan tubuh. Berat trauma yang terjadi berhubungan dengan kemampuan obyek
statis (yang ditubruk) untuk menahan tubuh. Pada tempat benturan karena terjadinya
3
perbedaan pergerakan dari jaringan tubuh yang akan menimbulkan disrupsi jaringan. Hal ini
juga karakteristik dari permukaan yang menghentikan tubuh juga penting.
Trauma juga tergantung pada elastitisitas dan viskositas dari jaringan tubuh.
Elastisitas adalah kemampuan jaringan untuk kembali pada keadaan yang sebelumnya.
Viskositas adalah kemampuan jaringan untuk menjaga bentuk aslinya walaupun ada
benturan. Toleransi tubuh menahan benturan tergantung pada kedua keadaan tersebut..
Beratnya trauma yang terjadi tergantung kepada seberapa jauh gaya yang ada akan dapat
melewati ketahanan jaringan. Komponen lain yang harus dipertimbangkan dalam beratnya
trauma adalah posisi tubuh relatif terhadap permukaan benturan.
Hal tersebut dapat terjadi cidera organ intra abdominal yang disebabkan beberapa
mekanisme:
1. Meningkatnya tekanan intra abdominal yang mendadak dan hebat oleh gaya tekan dari
luar seperti benturan setir atau sabuk pengaman yang letaknya tidak benar dapat
mengakibatkan terjadinya ruptur dari organ padat maupun organ berongga.
2. Terjepitnya organ intra abdominal antara dinding abdomen anterior dan vertebrae atau
struktur tulang dinding thoraks.
3. Terjadi gaya akselerasi-deselerasi secara mendadak dapat menyebabkan gaya robek pada
organ dan pedikel vaskuler.
d. Kontaminasi bakteri.
e. Kematian sel.
4
2. Trauma tumpul (trauma perut tanpa penetrasi kedalam rongga peritonium).
a. Kehilangan darah.
c. Kerusakan organ-organ.
d. Nyeri tekan, nyeri ketok, nyeri lepas dan kekakuan (rigidity) dinding perut.
e. Iritasi cairan usus.
Pemeriksaan khusus.
5
1. Abdomonal Paracentesis : Merupakan pemeriksaan tambahan yang sangat berguna
untuk menentukan adanya perdarahan dalam rongga peritoneum. Lebih dari100.000
eritrosit /mm dalam larutan NaCl yang keluar dari rongga peritoneum setelah
dimasukkan 100200 ml larutan NaCl 0.9% selama 5 menit, merupakan indikasi
untuk laparotomy.
2. Pemeriksaan Laparoskopi : Dilaksanakan bila ada akut abdomen untuk mengetahui
langsung sumber penyebabnya.
3. Bila dijumpai perdarahan dan anus perlu dilakukan rekto-sigmoidoskopi.
2.1.6. Penatalaksanaan.
1. Pre Hospital : Pengkajian yang dilakukan untuk menentukan masalah yang
mengancam nyawa, harus mengkaji dengan cepat apa yang terjadi dilokasi kejadian.
Paramedik mungkin harus melihat apabila sudah ditemukan luka tikaman, luka
trauma benda lainnya, maka harus segera ditangani, penilaian awal dilakukan
prosedur ABC jika ada indikasi. Jika korban tidak berespon, maka segera buka dan
bersihkan jalan napas.
a) Airway
Dengan kontrol tulang belakang. Membuka jalan napas menggunakan teknik
head tilt chin lift atau menengadahkan kepala dan mengangkat dagu,periksa adakah
benda asing yang dapat mengakibatkan tertutupnya jalan napas, muntahan, makanan,
darah atau benda asing lainnya.
b) Breathing
Dengan ventilasi yang adekuat. Memeriksa pernapasan dengan menggunakan
cara lihat dengar rasakan tidak lebih dari 10 detik untuk memastikan apakah ada
napas atau tidak. Selanjutnya lakukan pemeriksaan status respirasi korban (kecepatan,
ritme dan adekuat tidaknya pernapasan).
c) Circulation
Dengan kontrol perdarahan hebat. Jika pernapasan korban tersengal-sengal
dan tidak adekuat, maka bantuan napas dapatdilakukan. Jika tidak ada tanda-tanda
sirkulasi, lakukan resusitasi jantung paru segera. Rasio kompresi dada dan bantuan
napas dalam RJP adalah 30 : 2 (30kali kompresi dada dan 2 kali bantuan napas).
6
Bila terjadi luka tusuk, maka tusukan (pisau atau benda tajam lainnya)
tidak boleh dicabut kecuali dengan adanya tim medis.
Penanganannya bila terjadi luka tusuk cukup dengan melilitkan dengan
kain kassa pada daerah antara pisau untuk memfiksasi pisau sehingga
tidak memperparah luka.
Bila ada usus atau organ lain yang keluar, maka organ tersebut tidak
dianjurkan dimasukkan kembali kedalam tubuh, kemudian organ yang
keluar dari dalam tersebut dibalut kain bersih atau bila ada verban
steril.
Imobilisasi pasien.
Tidak dianjurkan memberi makan dan minum.
Apabila ada luka terbuka lainnya maka balut luka dengan menekang.
Kirim ke rumah sakit.
2. Hospital.
Bila ada dugaan bahwa ada luka tembus dinding abdomen, seorang ahli bedah
yang berpengalaman akan memeriksa lukanya secara lokal untuk menentukan
dalamnya luka. Pemeriksaan ini sangat berguna bila ada luka masuk dan luka keluar
yang berdekatan.
7
b). Pemeriksaan rontgen
Pemeriksaan rongten servikal lateral, toraks antero posterior dan pelvis adalah
pemeriksaan yang harus di lakukan pada penderita dengan multi trauma, mungkin
berguna untuk mengetahui udara ekstraluminal di retro peritoneum atau udara bebas
di bawah diafragma, yang keduanya memerlukan laparotomi segera.
Dilakukan pada cedera yang meliputi daerah duodenum, kolon ascendens atau
decendens dan dubur.Sumber : (Hudak & Gallo, 2001).
2.1.7. Komplikasi
2. Lambat : infeksi.
3. Trombosis Vena.
4. Emboli Pulmonar.
6. Pneumonia.
7. Tekanan ulserasi.
8. Atelektasis.
9. Sepsis.
1. Pengkajian.
Dasar pemeriksaan fisik head to toe harus dilakukan dengan singkat tetapi
menyeluruh dari bagian kepala ke ujung kaki. Pengkajian data dasar menurut Brunner
& Suddart (2001), adalah :
a. Aktifitas / istirahat
Data Subyektif : Pusing, sakit kepala,nyeri, mulas
Data Obyektif : Perubahan kesadaran, masalah dalam keseimbangan cedera
(trauma).
8
b .Sirkulasi
i. Keamanan
Data Subyektif : Trauma baru / trauma karena kecelakaan.
Data Obyektif : Dislokasi gangguan kognitif, gangguan rentang gerak
2. Diagnosa.
a. Nyeri berhubungan dengan adanya trauma abdomen atau luka penetrasi abdomen.
b. Defisit Volume cairan dan elektrolit berhubungan dengan perdarahan.
3. Intervensi dan Implementasi .
Perencanaan
Diagnosis
NOC NIC
Nyeri NOC : NIC:
berhubungan { Pain Level I. Pain Managemen
dengan agen { Pain control Lakukan pengkajian nyeri secara
injuri(fisik/luka { Comfort level komprehensif termasuk lokasi,
tusuk) Kriteria Hasil: karakteristik, durasi,frekuensi,kualitas
dan faktor presipitasi.
Mampu mengontrol nyeri Observasi reaksi non verbal dari
(tahu penyebab nyeri, ketidaknyamanan
mampu menggunakan Gunakan tehnik komunikasi terapeutik
9
tehnik nonfarmakologi untuk mengetahui nyeri pasien
untuk mengurangi nyeri, Evaluasi bersama pasien dan tim
mencari bantuan), kesehatan lain tentang ketidakefektifan
Melaporkan nyeri kontrol nyeri
berkurang dengan berikan dukungan terhadap pasien dan
menggunakan keluarga
menegemen nyeri Berikan informasi tentang nyeri
Menyatakan rasa nyaman Ajarkan penggunaan tehnik non
setelah nyeri berkurang farmakologi
Tanda vital dalam rentang Berikan analgesik sesuai anjuran
normal Beritahu dokter jika tindakan tidak
berhasil atau terjadi keluhan
Monitor kenyamanan pasien terhadap
managemen nyeri
Perencanaan
Diagnosis
NOC NIC
Defisit volume NOC: NIC :
cairan b/d Fluid balance Fluid management
kehilangan Hydration Pertahankan catatan intake dan output
volume cairan Nutritional Status : Foodyang akurat
secara aktif. and Fluid Intake Monitor status hidrasi ( kelembaban
membran mukosa, nadi adekuat, tekanan
Definisi : Kriteria Hasil : darah ortostatik ), jika diperlukan
Penurunan cairan Mempertahankan urine Monitor hasil lAb yang sesuai dengan
intravaskuler, output sesuai dengan usiaretensi cairan (BUN , Hmt , osmolalitas
interstisial, dan BB, BJ urine normal,urin )
dan/atau HT normal Monitor vital sign
intrasellular. Ini Tekanan darah, nadi, suhu Kolaborasi pemberian cairan IV
mengarah ke tubuh dalam batas normal Monitor status nutrisi
dehidrasi, Tidak ada tanda tanda Berikan cairan
kehilangan cairan dehidrasi, Elastisitas turgor Berikan diuretik sesuai interuksi
dengan kulit baik, membran Berikan cairan IV pada suhu ruangan
pengeluaran mukosa lembab, tidak ada Dorong masukan oral
sodium rasa haus yang berlebihan Berikan penggantian nesogatrik
sesuai output
Kolaborasi dokter jika tanda cairan
berlebih muncul meburuk
Atur kemungkinan tranfusi
Persiapan untuk tranfusi
11
2.2. Intoxicasi / Keracunan
2.2.1 Definisi
Intoksikasi adalah masuknya zat racun kedalam tubuh baik melalui saluran
pencernaan, saluran nafas, atau melalui kulit atau mukosa yang menimbulkan gejala klinis.
Racun adalah zat yang ketika ditelan, terhisap, diabsorpsi, menempel pada kulit, atau
dialirkan didalam tubuh dalam jumlah yang relative kecil menyebabkan cedera dari tubuh
dengan adanya reaksi kimia. Reaksi kimia racun mengganggu sistem kardiovaskular,
pernapasan sistem saraf pusat, hati, pencernaan (GI), dan ginjal (Nurarif & Kusuma, 2013).
Insektisida adalah bahan-bahan kimia bersifat racun yang dipakai untuk membunuh
serangga. Organofosfat adalah insektisida yang paling toksik di antara jenis pestisida lainnya
dan sering menyebabkan keracunan pada manusia (Arisman, 2008).
2.2.2 Etiologi
Penyebab keracunan ada beberapa macam dan akibatnya bisa mulai yang ringan
sampai yang berat.
1) Keracunan Hidrokarbon.
Kelompok hidrokarbon yang sering menyebabkan keracunan adalah
minyak tanah, bensin, minyak cat ( tinner ) dan minyak untuk korek api
(Arisman, 2008).
2) Keracunan Makanan.
Keracunan Jamur : Keracunan setelah memakan jamur belakangan ini
sering terjadi. Ada jamur yang mengandung racun amanitin dan
muskarin dimana muskarin merupakan zat alkaloid beracun yang
menyebebkan paralisis otot dan bereaksi sangat cepat.
Keracunan Makanan Kaleng : Disebabkan oleh kuman Clostridium
botulinum, terdapat dalam makanan kaleng yang diawetkan dan
dikalengkan secara tidak sempurna sehingga tercemar kuman tersebut.
12
Keracunan Jengkol : Pada keracunan jengkol terjadi penumpukan
kristal asam pada tubuli, ureter dan urethrae. Keluhan terjadi 5 - 12 jam
sesudah makan jengkol.
Keracunan Ketela Pohon : Dapat terjadi karena ada ketela pohon yang
mengandung asam sianida (HCN) atau sianogenik glikosida. Ketela
pohon pahit mengandung lebih dari 50mg HCN per 100gr ketela pohon
segar.
Keracunan Makanan yang Terkontaminasi : Tidak jarang terjadi
keracunan bahan makanan yang tercemar oleh kuman, parasit, virus,
maupun bahan kimia. Kuman-kuman yang dapat menyebabkan
keracunan bahan makanan ialah Staphilococcus, Salmonella,
Clostridium Botulinum, E. Coli, Proteus, Klebsiella, Enterobacter, dll.
Tercemarnya makanan biasanya melalui lalat, udara, kotoran rumah
tangga, dan terutama melalui juru masak yang menjadi pembawa
kuman. Kuman yang masuk kedalam makanan cepat memperbanyak
diri dan memproduksi toksin. Akibat keracunan tergantung dari
virulensi dan banyaknya kuman, sifat kuman ialah tidak tahan panas
(Arisman, 2008).
3) Keracunan Bahan Kimia
Keracunan Arsen : Lebih dari 20 abad yang lalu arsen digunakan baik
oleh orang yunani maupun roma untuk pengobatan maupun sebagai
racun. Pada saat ini tidak banyak obat mengandung arsen, akan tetapi
kadang-kadang dipakai pada pembuatan beberapa herbisida dan
peptisida. Arsen dapat juga ditemukan sebagai hasil sampingan dari
peleburan timah, seng, dan logam lainnya (Arisman, 2008).
Keracunan Asam Basa : Zat asam kuat seperti asam sulfat, asam
klorida dan zat basa kuat seperti KOH, NaOH banyak dipakai sebagai
bahan kimia untuk keperluan rumah tangga, seperti pembersih
porselen, bahan anti sumbat saluran air, pembasmi serangga, maupun
untuk memasak seperti cuka bibit (Arisman, 2008).
Keracunan Insektisida (Pestisida) : Walaupun tujuan pemakaian
insektisida itu untuk membasmi berbagai macam serangga seperti
kecoa dan sebagainya. Bahan-bahan demikian dapat pula membunuh
manusia. Pestisida yang termasuk ke dalam golongan organofosfat
antara lain : Azinophosmethyl, Chloryfos, Demeton Methyl,
13
Dichlorovos, Dimethoat, Disulfoton, Ethion, Palathion, Malathion,
Parathion, Diazinon, Chlorpyrifos. Dengan demikian jika barang
tersebut tidak disimpan di tempat yang aman dan jauh dari jangkauan
anak-anak, maka kejadian keracuan baik melalui kontak maupun
inhalasi dan minum tidak dapat dihindarkan. Untuk menanggulangi
kejadian keracunan insektisida tidak mudah karena bahan kimia yang
dipergunakan oleh tiap produsen tidak sama (Prijanto, 2009).
2.2.3 Klasifikasi
1. Keracunan Hidrokarbon.
2. Keracunan Makanan.
3. Keracunan Bahan Kimia.
14
Gejala klinik : Penglihatan kabur, refleks cahaya menurun atau negatif,
midriasis dan kelumpuhan otot-otot mata, Kelumpuhan saraf-saraf otak
yang bersifat simetrik, dysphagia, dysarthria, kelumpuhan (general
paralyse).
c. Keracunan Jengkol
Gejala klinik : Sakit pinggang, nyeri perut, muntah, hematuria, oliguria
sampai anuria dan urin berbau jengkol, dapat terjadi gagal ginjal akut.
d. Keracunan Ketela Pohon
Gejala klinis : Tergantung pada kandungan asam sianida (HCN), kalau
banyak dapat menyebabkan kematian dengan cepat, penderita merasa
mual, perut terasa panas, pusing, lemah dan sesak, kejang, lemas,
berkeringat, mata menonjol, midriasis, mulut berbusa bercampur darah,
warna kulit merah bata (pada orang kulit putih) dan sianosis.
e. Keracunan Makanan yang Terkontaminasi
Gejala timbul 3-24 jam setelah makan makanan yang tercemar kuman
terdiri dari mual muntah, diare, sakit perut, disertai pusing dan lemas
(Arisman, 2008).
4. Keracunan Bahan Kimia.
a. Keracunan Arsen
Gejala klinis keracunan akut : Dalam 1 jam setelah menelan arsen
sudah timbul : Rasa tidak enak dalam perut, bibir terasa terbakar, sukar
menelan kemudian disusul sakit pada lambung dengan muntah-muntah dan
diare berat, adakalanya terdapat pula : oliguria sampai anuria, kejang otot dan
rasa haus.
Gejala klinis keracunan kronis : Otot-otot lemah, gatal-gatal, pigmentasi,
keratosis kulit dan edema (Arisman, 2008).
b. Keracunan Asam Basa
Gejala : zat asam atau basa kuat dapat merusak epitel atau mukosa dan
disebut bahan korosif. Bahan ini akan membuat nekrosis di bagian tubuh yang
terkena, seperti kulit dan mata jika tersiram, saluran pernafasan jika terhirup,
saluran pencernaan seperti kulit mukosa mulut, esofagus, lambung jika
terminum. Dalam fase penyembuhan pada lokasi luka akan terbentuk jaringan
granulasi yang akan menyebabkan stiktura (peradangan pada esofagus karena
akumulasi jaringan parut) dan stenosis, sehingga menimbulkan kesukaran
menelan. Untuk menghindarkan kejadian ini maka pada keracunan demikian
tindakan cepat dan tepat sangatlah penting (Arisman, 2008).
c. Keracunan Insektisida
15
Gejala keracunan organofosfat akan berkembang selama pemaparan
atau 12 jam kontak. Pestisida yang masuk ke dalam tubuh akan mengalami
perubahan secara hidrolisa di dalam hati dan jaringan-jaringan lain. Hasil dari
perubahan / pembentukan ini mempunyai toksisitas rendah dan akan keluar
melalui urine.
2.2.5 Patofisiologi
16
Hadirnya pestisida golongan organofosfat di dalam tubuh juga akan menghambat
aktifitas enzim asetilkholinesterase, sehingga terjadi akumulasi substrat (asetilkholin) pada
sel efektor. Keadaan tersebut diatas akan menyebabkan gangguan sistem syaraf, baik sistem
saraf pusat, sistem saraf simpatis dan parasimpatis yang berupa aktifitas kolinergik secara
terus menerus akibat asetilkholin yang tidak dihidrolisis. Gangguan ini selanjutnya akan
dikenal sebagai tanda-tanda atau gejala keracunan (Prijanto, 2009).
2.2.7 Penatalaksanaan.
a. Pengobatan simtomatis
Gangguan sistem pernafasan dan sirkulasi : RJP
Gangguan sistem susunan saraf pusat : Kejang : beri diazepam atau
fenobarbital, Odem otak : beri manitol atau dexametason.
Gejala : mual, muntah, nyeri perut, hipersalivasi, nyeri kepala, mata
miosis, kekacauan mental, bronchokonstriksi, hipotensi, depresi
pernafasan dan kejang. Tindakan : Atropin 2 mg tiap 15 menit sampai
pupil melebar. Atropin berfungsi untuk menghentikan efek
acetylcholine pada reseptor muscarinik, tapi tidak bisa menghentikan
efek nikotinik. Pada usia < 12 tahun pemberian atropin diberikan
dengan dosis 0,05 mg/kgBB, IV perlahan dilanjutkan dengan 0,02-
0,05mg/kgBB setiap 5-20 menit sampai atropinisasi sudah adekuat
atau dihentikan bila : 1) Kulit sudah hangat, kering dan kemerahan 2)
Pupil dilatasi (melebar) 3) Mukosa mulut kering 4) Heart rate
meningkat. Pada anak usia > 12 tahun diberikan 1 - 2 mg IV dan
disesuaikan dengan respon penderita. Pengobatan maintenance
dilanjutkan sesuai keadaan klinis penderita, atropin diteruskan selama
24 jam kemudian diturunkan secara bertahap. Meskipun atropin sudah
17
diberikan masih bisa terjadi gagal nafas karena atropin tidak
mempunyai pengaruh terhadap efek nikotinik (kelumpuhan otot)
organofosfat.
Antiemetik : zat-zat yang digunakan untuk menghambat muntah. Obat
antiemetik adalah : Antagonis reseptor 5-hydroxy-tryptamine yang
menghambat reseptor serotonin di Susunan Syaraf Pusat (SSP) dan
saluran cerna. Obat ini dapat digunakan untuk pengobatan post-
operasi, dan gejala mual dan muntah akibat keracunan. Beberapa
contoh obat yang termasuk golongan ini adalah : Domperidon,
Ondansentron, Dolasetron .
b. Pengobatan Supportif
Tujuan dari terapi suportif adalah adalah untuk mempertahankan
homeostasis fisiologis sampai terjadi detoksifikasi lengkap dan untuk
mencegah serta mengobati komplikasi sekunder seperti aspirasi, ulkus
dekubitus, edema otak & paru, pneumonia, rhabdomiolisis (kumpulan gejala
yang ditimbulkan karena gangguan dalam sel-sel otot), gagal ginjal, sepsis,
dan disfungsi organ menyeluruh akibat hipoksia atau syok berkepanjangan.
Terapi : Hipoglikemia : glukosa 0,5-1g /kgBB IV, Kejang : diazepam 0,2-
0,3mg /kgBB IV.
c. Kosongkan lambung (efektif bila racun tertelan sebelum 4 jam) dengan cara :
Dimuntahkan : Bisa dilakukan dengan cara mekanik (menekan reflek
muntah di tenggorokan), atau pemberian air garam atau sirup ipekak.
Kontraindikasi : cara ini tidak boleh dilakukan pada keracunan zat
korosif (asam/basa kuat, minyak tanah, bensin), kesadaran menurun
dan penderita kejang.
Bilas lambung : 1) Pasien telungkup, kepala dan bahu lebih rendah. 2)
Pasang NGT dan bilas dengan : air, larutan norit, Natrium bicarbonat 5
%, atau asam asetat 5 %. 3) Pembilasan sampai 20 X, rata-rata volume
250 cc. 4) Kontraindikasi : keracunan zat korosif & kejang (Arisman,
2009).
A. Pengkajian
a). Identitas Klien
b). Identitas Penanggung Jawab
c). Primer Survey
18
Airway (A) : Kaji apakah terdapat sumbatan karena edema (inflamasi) saluran
pernapasan akibat dari keracunan gas (inhalasi) atau reaksi alergi berat.
Breathing (B) : Nafas cepat atau lambat, keracunan asetaminofen dapat
menyebabkan depresi pusat nafas.
Circulation (C) : Kaji jika ada reaksi perdarahan lambung karena keracunan
zat korosif atau zat racun lain yang teringesti, kaji jika ada mual-muntah, tanda
dehidrasi, diare/GE.
Disability (D) : Kaji GCS, penurunan kesadaran akibat racun, reaksi pupil
terhadap cahaya, dan dilatasi pupil.
d). Secondary Survey
Exposure (E) : Kaji apakah terdapat luka atau lesi luar akibat terpapar racun
(tersiram zat kimia).
Fluid, Farenheit (F) : Observasi output urine jika terdapat dehidrasi atau tanda-
tanda syok (urine output : 1-2cc/kgBB/jam).
Get Vital Sign (G) : Kaji tanda-tanda vital, dan perubahanya secara teratur.
Lakukan bilas lambung segera untuk mengeliminasi racun.
Head To toe, History (H) : Monitoring kerja jantung jika keracunan
asetominopen.
B. Diagnosa Keperawatan (NANDA 2012-2014 & Aplikasi Asuhan Keperawatan
Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC 2013) :
1. Pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi, Ansietas.
2. Resiko tinggi cedera berhubungan dengan respon saraf autonom pada perubahan
status sistem yang tiba-tiba .
3. Nyeri akut berhubungan dengan peningkatan tekanan vaskular cerebral.
4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan.
C. Intervensi dan Implementasi
19
hipoksia yang lain. pengembangan atau tidak ada
dada pada lobus,
- Pertahankan segmen paru,
posisi tidur yang atau seluruh
nyaman, biasanya area paru
dengan ( unilateral ).
peninggian kepala Area atelektasi
tempat tidur tidak ada bunyi
- Berikan nafas, dan pada
tambahan O2 area yang
kolaps menurun
bunyinya,
Evaluasi juga
dilakukan untuk
area yang bajk
pertukaran
gasnya dan
memberikan
data evaluasi
perbaikan
pneumotorak
- Pengembangan
dada sama
dengan ekspansi
paru.
- Meningkatkan
inspirasi
maksimal,
meningkatkan
ekspansi paru
- Hipoksia pada
susunan saraf
pusat
mengakibatkan
20
depres
pernafasan
21
menurunkan
cemas yang
dialami pasien,
dan pasien mau
kooperatif
dalam setiap
tindakan yang
diberikan
22
pernafasan, langsung yang
tekanan darah dialami. Sakit
- Berikan kepala mungkin
kompres bersifat akut
lembab/kering atau kronis, jadi
pada kepala, manifestasi
leher sesuai fisiologinya
dengan dapat muncul
kebutuhan atau tidak
pasien - Kompres
- Kolaborasi mampu
dengan dokter meningkatkan
dalam sirkulasi dan
pemberian obat mampu
analgetik menimbulkan
seperti relaksasi
asetaminofen, - Penangan
ponstan, dan pertama pada
sebagainya sakit kepala
- Kolaborasi secara umum
dalam hanua kadang-
pemberian O2 kadang
sesuai dengan bermanfaat pada
indikasi sakit kepala
karena
gangguan
vaskuler
- Pemendekan
serangan sakit
kepala 60 % -
70% pada
beberapa pasien
dapat
menurunkan
23
hipoksia yang
berhubungan
dengan
perubahan
tekanan
vaskuler
cerebral
24
2.3 Hematemesis Melena.
2.3.1 Definisi
Hematemesis adalah muntah darah dan melena adalah pengeluaran faeses atau tinja
yang berwarna hitam seperti ter yang disebabkan oleh adanya perdarahan saluran makan
bagian atas. Warna hematemesis tergantung pada lamanya hubungan atau kontak antara darah
dengan asam lambung dan besar kecilnya perdarahan, sehingga dapat berwarna seperti kopi
atau kemerahmerahan dan bergumpal-gumpal.
Biasanya terjadi hematemesis bila ada perdarahan di daerah proksimal jejunum dan
melena dapat terjadi tersendiri atau bersama-sama dengan hematemesis. Paling sedikit terjadi
perdarahan sebanyak 50-100 ml, baru dijumpai keadaan melena. Banyaknya darah yang
keluar selama hematemesis atau melena sulit dipakai sebagai patokan untuk menduga besar
kecilnya perdarahan saluran makan bagian atas. Hematemesis dan melena merupakan suatu
keadaan yang gawat dan memerlukan perawatan segera di rumah sakit.
2.3.2 Etiologi
1) Kelainan di esophagus
Varises esophagus : Penderita dengan hematemesis melena yang disebabkan
pecahnya varises esofagus, tidak pernah mengeluh rasa nyeri atau pedih di
epigastrum. Pada umumnya sifat perdarahan timbul spontan dan masif. Darah
25
yang dimuntahkan berwarna kehitam-hitaman dan tidak membeku karena
sudah bercampur dengan asam lambung.
Karsinoma esophagus : Karsinoma esofagus sering memberikan keluhan
melena daripada hematemesis. Disamping mengeluh disfagia,badan mengurus
dan anemis, hanya seseklai penderita muntah darah dan itupun tidak masif.
Pada endoskopi jelas terlihat gambaran karsinoma yang hampir menutup
esofagus dan mudah berdarah yang terletak di sepertiga bawah esofagus.
Sindroma Mallory-Weiss : Sebelum timbul hematemesis didahului
muntahmuntah hebat yang pada akhirnya baru timbul perdarahan, misalnya
pada peminum alkohol atau pada hamil muda. Biasanya disebabkan oleh
karena terlalu sering muntah-muntah hebat dan terus menerus. Bila penderita
mengalami disfagia kemungkinan disebabkan oleh karsinoma esofagus.
Esofagitis korosiva : Pada sebuah penelitian ditemukan seorang penderita
wanita dan seorang pria muntah darah setelah minum air keras untuk patri.
Dari hasil analisis air keras tersebut ternyata mengandung asam sitrat dan
asam HCl, yang bersifat korosif untuk mukosa mulut, esofagus dan lambung.
Disamping muntah darah penderita juga mengeluh rasa nyeri dan panas seperti
terbakar di mulut. Dada dan epigastrum.
Esofagitis dan tukak esophagus : Esofagitis bila sampai menimbulkan
perdarahan lebih sering bersifat intermittem atau kronis dan biasanya ringan,
sehingga lebih sering timbul melena daripada hematemsis. Tukak di esofagus
jarang sekali mengakibatkan perdarahan jika dibandingkan dengan tukak
lambung dan duodenum.
2) Kelainan di Lambung
Gastritis erisova hemoragika : Hematemesis bersifat tidak masif dan timbul
setelah penderita minum obat-obatan yang menyebabkan iritasi lambung.
Sebelum muntah penderita mengeluh nyeri ulu hati. Perlu ditanyakan juga
apakah penderita sedang atau sering menggunakan obat rematik (NSAID +
steroid) ataukah sering minum alkohol atau jamu-jamuan.
Tukak lambung : Penderita mengalami dispepsi berupa mual, muntah, nyeri
ulu hatidan sebelum hematemesis didahului rasa nyeri atau pedih di
epigastrum yang berhubungan dengan makanan. Sesaat sebelum timbul
hematemesis karena rasa nyeri dan pedih dirasakan semakin hebat. Setelah
muntah darah rasa nyeri dan pedih berkurang. Sifat hematemesis tidak begitu
masif dan melene lebih dominan dari hematemesis.
26
Karsinoma lambung : Insidensi karsinoma lambung di negara kita tergolong
sangat jarang dan pada umumnya datang berobat sudah dalam fase lanjut, dan
sering mengeluh rasa pedih, nyeri di daerah ulu hati sering mengeluh merasa
lekas kenyang dan badan menjadi lemah. Lebih sering mengeluh karena
melena.
3) Penyakit darah: leukemia, DIC (disseminated intravascular coagulation),
purpura trombositopenia dan lain-lain.
4) Penyakit sistemik lainnya: uremik, dan lain-lain.
5) Pemakaian obat-obatan yang ulserogenik: golongan salisilat, kortikosteroid,
alkohol, dan lain-lain.
Gejala-gejala intestinal yang tidak khas seperti anoreksia, mual, muntah dan
diare
Demam, berat badan turun, lekas lelah.
Ascites, hidratonaks dan edema.
Ikterus, kadang-kadang urin menjadi lebih tua warnanya atau kecoklatan.
Hematomegali, bila telah lanjut hati dapat mengecil karena fibrosis. Bila
secara klinis didapati adanya demam, ikterus dan asites, dimana demam bukan
oleh sebab-sebab lain, ditambahkan sirosis dalam keadaan aktif. Hati-hati akan
kemungkinan timbulnya prekoma dan koma hepatikum.
Kelainan pembuluh darah seperti kolateral-kolateral didinding, koput medusa,
wasir dan varises esofagus.
Kelainan endokrin yang merupakan tanda dari hiperestrogenisme yaitu:
Impotensi, atrosi testis, ginekomastia, hilangnya rambut axila dan pubis.
Amenore, hiperpigmentasi areola mamae . Spider nevi dan eritema,
Hiperpigmentasi .
2.3.4 Patofisiologi
Penyebab terjadinya hematemesis melena salah satunya yaitu aspirin, OAINS, stres,
kortikosteroid, rokok, asam lambung, infeksi H.Pylori dapat mengakibatkan erosi pada
mukosa lambung sampai mencapai mukosa muskularis disertai dengan kerusakan
kemampuan mukosa untuk mensekresi mukus sebagai pelindung. Hal ini akan menimbulkan
27
peradangan pada sel yang akan menjadi granulasi dan akhirnya menjadi ulkus, dan dapat
mengakibatkan hemoragi gastrointestinal.
Penyebab hematemesis melena yang lainnya adalah alkohol dan hipertensi portal
berat dan berkepanjangan yang dapat menimbulkan saluran kolateral bypass : melalui vena
koronaria lambung ke dalam vena esofagus subepitelial dan submukosal dan akan menjadi
varises pada vena esofagus. Vena-vena yang melebar dan berkeluk-keluk terutama terlatak di
submukosa esofagus distal dan lambung proksimal, disertai penonjolan tidak teratur mukosa
diatasnya ke dalam lumen. Dapat mengalami ulserasi superficial yang menimbulkan radang,
beku darah yang melekat dan kemungkinan ruptur, mengakibatkan hemoragi gastrointestinal.
Gagal hepar sirosis kronik, kematian sel dalam hepar termasuk penyebab
hematemesis melena yang dapat mengakibatkan peningkatan tekanan vena porta. Sebagai
akibatnya terbentuk saluran kolateral pada dinding abdominal anterior. Dengan meningkatnya
tekanan dalam vena ini, maka vena tersebut menjadi mengembang oleh darah dan membesar.
Pembuluh yang berdilatasi ini disebut varises dan dapat pecah, mengakibatkan hemoragi
gastrointestinal.
Hemoragi gastrointestinal dapat menimbulkan hematemesis melena. Hematemesis
biasanya bersumber di atas ligamen Treitz (pada jungsi denojejunal). Dari hematemesis akan
timbul muntah darah. Muntah dapat berwarna merah terang atau seperti kopi, tergantung dari
jumlah kandungan lambung pada saat perdarahan dan lamanya darah telah berhubungan
dengan sekresi lambung. Asam lambung mengubah hemoglobin merah terang menjadi
hematin coklat dan menerangkan tentang warna seperti kopi drainase yang dikeluarkan.
Cairan lambung yang berwarna merah marun atau merah terang diakibatkan dari perdarahan
hebat dan sedikit kontak dengan asam lambung. Sedangkan melena terjadi apabila darah
terakumulasi dalam lambung dan akhirnya memasuki traktus intestinal. Feses akan seperti ter.
Feses ter dapat dikeluarkan bila sedikitnya 60 ml darah telah memasuki traktus intestinal.
1) Pemeriksaan tinja : Makroskopis dan mikroskopis, ph dan kadar gula jika diduga ada
intoleransi gula, biakan kuman untuk mencari kuman penyebab dan uji resistensi
terhadap berbagai antibiotika (pada diare persisten).
2) Pemeriksaan laboratorium : Pemeriksaan laboratorium yang dianjurkan yaitu
pemeriksaan darah rutin berupa hemoglobin, hematokrit, leukosit, trombosit,
pemeriksaan hemostasis lengkap untuk mengetahui adanya kelainan hemostasis,
28
pemeriksaan fungsi hati untuk menunjang adanya sirosis hati, pemeriksaan fungsi
ginjal untuk menyingkirkan adanya penyakit gagal ginjal kronis, pemeriksaan adanya
infeksi Helicobacter pylori.
3) Pemeriksaan esofagogastroduodenoskopi : Merupakan pemeriksaan penunjang yang
paling penting karena dapat memastikan diagnosis pecahnya varises esofagus atau
penyebab perdarahan lainnya dari esofagus, lambung dan duodenum.
4) Kontras Barium (radiografi) : Bermanfaat untuk menentukan lesi penyebab
perdarahan. Ini dilakukan atas dasar urgensinya dan keadaan kegawatan.
5) Ongiografi : Bermanfaat untuk pasien-pasien dengan perdarahan saluran cerna yang
tersembunyi dari visual endoskopik.
Pengobatan penderita perdarahan saluran makan bagian atas harus sedini mungkin
dan sebaiknya diraat di rumah sakit untuk mendapatkan pengawasan yang teliti dan
pertolongan yang lebih baik. Pengobatan penderita perdarahan saluran makan bagian atas
meliputi :
29
2. Pemasangan pipa naso-gastrik Tujuan pemasangan pipa naso gastrik adalah untuk
aspirasi cairan lambung, lavage (kumbah lambung) dengan air , dan pemberian
obatobatan. Pemberian air pada kumbah lambung akan menyebabkan
vasokontriksi lokal sehingga diharapkan terjadi penurunan aliran darah di mukosa
lambung, dengan demikian perdarahan akan berhenti. Kumbah lambung ini akan
dilakukan berulang kali memakai air sebanyak 100150 ml sampai cairan aspirasi
berwarna jernih dan bila perlu tindakan ini dapat diulang setiap 1-2 jam.
Pemeriksaan endoskopi dapat segera dilakukan setelah cairan aspirasi lambung
sudah jernih.
30
menanggulangi perdarahan saluran makan bagian atas yang disebabkan pecahnya
varises esofagus.
2.3.7 Komplikasi
Syok hipovolemik.
Anemia.
A. Pengkajian
B. Diagnosa Keperawatan
1. Risiko kekurangan volume cairan (00028) berhubungan dengan kehilangan
berlebihan melalui rute normal.
2. Resiko ketidakefektifan perfusi gastrointestinal (00202) berhubungan
dengan ketidakstabilan hemodinamik.
3. Ketidakseimbangan Nutrisi (00002) kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan ketidakmampuan untuk mencerna makanan.
C. Intervensi
31
muntah-muntah darah, RR, nadi dan
12345
suhu
Intensitas dari
Mengkaji tanda dan
muntah-muntah
gejala dari
12345
Darah dalam ketidakseimbangan
feses (emesis) cairan
12345 Control kehilangan
Keseimbangan Cairan cairan
Kolaborasi dengan
(0601). NOC, hal 370
dokter dan farmasi
Tekanan darah tentang pemberian
12345
Tekanan nadi terapi pengganti cairan.
12345 Kolaborasi bersama
Pemasukan dan farmasi dan dokter
pengeluaran tentang pemberian
cairan selama 24 transfuse darah
jam
12345
Turgor kulit
12345
2 Resiko Setelah dilakukan Penurunan perdarahan :
ketidakefektifan tindakan selama 1 x 24 gastrointestinal (4022). NIC
perfusi jam, resiko hal 175
gastrointestinal ketidakeektifan perfusi
Mengkaji tanda dan
(00202) gastrointestinal dapat
gejala dari perdarahan
berhubungan teratasi dengan kategori Lakukan pemeriksaan
dengan : lanjutan untuk melihat
ketidakstabilan adanya emesis, feses,
Fungsi gastrointestinal
hemodinamik. sputum, cairan dan
(1015), NOC hal 373
Kekuatan makan luka
12345 Mengkaji status nutrisi
Temperature
pasien dengan
axila
memasang NGT
12345
Menjelaskan kepada
Level aktivitas
12345 pasien atau keluarga
Nyeri tekan
tentang diagnosa
epigastrium
penyakit pasien.
32
12345
3 Ketidakseimbang Setelah dilakukan
an Nutrisi tindakan 1 x 24 jam
(00002) kurang kekurangan Nutrisi Memberikan intake
dari kebutuhan dapat teratasi dengan makanan yang tinggi
tubuh kategori : zat besi
berhubungan Memberikan makanan
2.4. Peritonitis
2.4.1. Pengertian
33
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa peritonitis adalah radang selaput perut
atau inflamasi peritoneum baik bersifat primer atau sekunder, akut atau kronis yang
disebabkan oleh kontaminasi isi usus, bakteri atau kimia.
2.4.2. Etiologi
2.4.3. Patofisiologi
Awal pembentukan abses melibatkan pelepasan bakteri dan agen potensi abses menuju
kelingkungan steril. Pertahanan tubuh tidak dapat mengeliminasi agen infeksi dan
mencoba mengontrol penyebaran melalui sistem kompartemen. Proses ini dibantu oleh
kombinasi faktor-faktor yang memiliki fitur yang umum, yaitu fagositosis. Kontaminasi
transien bakteri pada peritoneal (yang disebabkan oleh penyakit viseral primer)
merupakan kondisi umum. Resultan paparan antigen bakteri telah ditunjukkan untuk
mengubah respon imun ke inokulasi peritoneal berulang. Hal ini dapat mengakibatkan
peningkatan insidensi pembentukan abses.
Pembentukan abses merupakan strategi pertahanan tubuh untuk mencegah penyebaran
infeksi, namun proses ini dapat mengakibatkan infeksi persisten dan sepsis yang
mengancam jiwa.Selanjutnya abses yang terbentuk diantara perlekatan fibrinosa,
menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya. Perlekatan biasanya menghilang
bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita-pita fibrosa. Bila bahan yang
menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum, maka aktivitas motilitas usus
menurun dan meningkatkan risiko ileus paralitik.
Respon peradangan peritonitis juga menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan
membran mengalami kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi dengan cepat dan
agresif, maka dapat menimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai mediator, misalnya
interleukin, dapat memulai respons hiperinflamatorius sehingga membawa ke
perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak organ. Oleh karena itu tubuh mencoba
untuk mengimpensasi dengan cara retensi cairan dan elektrolit oleh ginjal, produk
34
buangan juga ikut menumpuk. Takikardia awalnya meningkatkan curah jantung, tetapi
kemudian akan segera terjadi bradikardia begitu terjadi hypovolemia.
Organ-organ di dalam kavum peritoneum termasuk dinding abdomen mengalami
edema. Edema disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler organ-organ
tersebut meninggi. Pengumpulan cairan didalam rongga peritoneum dan lumen-lumen
usus, serta edema seluruh organ intraperitoneal dan edema dinding abdomen termasuk
jaringan retroperitoneal menyebabkan hopovolemik. Hipovolemik bertambahan dengan
adanya kenaikan suhu, intake yang tidak ada, serta muntah. Terjebaknya cairan dirongga
peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut meningkatkan tekanan intraabdomen, membuat
usaha pernapasan penuh menjadi sulit, dan menimbulkan penurunan perfusi.
Peritonitis tersier mewakili peritonitis yang bersifat persisten atau rekuren. Pasien
dengan peritonitis tersier biasanya hadir dengan abses, atau phlegmon, dengan atau tanpa
fistula. Peritonitis tersier berkembang lebih sering pada pasien dengan kondisi penyakit
signifikan yang sudah ada sebelumnya dan pada pasien dengan penurunan fungsi imun.
Meskipun jarang diamati pada peritonitis tanpa komplikasi, insiden peritonitis tersier
pada pasien memerlukan masuk ICU pada peritonitis yang parah dapat mencapai 50-74%.
Peritonitis disebabkan oleh kebocoran dari organ abdomen kedalam rongga abdomen
biasanya sebagai akibat dari inflamasi, infeksi, iskemia, trauma atau perforasi tumor.
Terjadi proliferasi bakterial. Terjadi edema jaringan, dan dalam waktu singkat terjadi
eksudasi cairan. Cairan dalam rongga peritonial menjadi keruh dengan peningkatan
jumlah protein, sel darah putih, debris seluler, dan darah. Respons segera dari saluran
usus adalah hipermotilitas, diikuti
oleh ileus peralitik, disertai akumulasi udara dan cairan dalam usus. (Brunner dan
Suddarth, 2001).
2.4.5. Komplikasi
a) Sepsis adalah penyebab umum dari kematian pada peritonitis.
b) Syok dapat diakibatkan dari septikemia atau hipovolemia.
c) Proses inflamasi dapat menyebabkan obstruksi usus, yang terutama
berhubungan dengan terjadinya perlekatan usus.
2.4.7. Penatalaksanaan.
1) Penggantian cairan, koloid, dan elektrolit adalah fokus utama dari
penatalaksanaan medis. Beberapa liter larutan isotonik diberikan. Hipovolemia
terjadi karena sejumlah besar cairan dan elektrolit bergerak dari lumen usus
kedalam rongga peritoneal dan menurunkan cairan dalam ruang vaskuler.
2) Analgestik diberikan untuk mengatasi nyeri.
3) Antiemetik dapat diberikan sebagai terapi untuk mual dan muntah.
4) Intubasi usus dan pengisapan membantu dalam menghilangkan distensi
abdomen dan dalam meningkatkan fungsi usus. Cairan dalam rongga abdomen
dapat menyebabkan distres pernapasan.
36
5) Terapi oksigen dengan kanula rasal atau masker akan meningkatkan
oksigenisasi secara adekuat, tetapi kadang-kadang intubasi jalan napas dan
bantuan ventilasi diperlukan.
6) Terapi antibiotik masif biasanya dimulai di awal pengobatan peritonitis. Dosis
besar dari antibiotik spektrum luas diberikan secara intravena sampai
organisme penyebab infeksi diidentifikasi dan terapi antibiotik khusus yang
tepat dapat dimulai.
7) Tindakan bedah mencakup mengangkat materi terinfeksi dan memperbaiki
penyebab. Tindakan pembedahan diarahkan pada eksisi (apendiks), reseksi
dengan atau tanpa anastomosis (usus), memperbaiki (perforasi), dan drainase
(abses). Pada sepsis yang luas, perlu dibuat diversi fekal.
A. Pengkajian.
1. Biodata/ identitas pasien :
Nama, umur, jenis kelamin, agama, pekerjaan,no medrek,diagnose, tanggal
masuk, dan alamat.
2. Riwayat penyakit.
a) Keluhan utama : Nyeri abdomen. Keluhan nyeri dapat bersifat akut,
awalnya rasa sakit sering kali membosankan dan kurang terlokalisasi
(peritoneum viseral). Kemudian berkembang menjadi mantap, berat,
dan nyeri lebih terlokalisasi (peritoneum parietal). Jika tidak terdapat
proses infeksi, rasa sakit menjadi berkurang. Pada beberapa penyakit
tertentu (misalnya: perforasi lambung, pankreatitis akut berat, iskemia
usus) nyeri abdomen dapat digeneralisasi dari awal.
b) Riwayat kesehatan sekarang : Didapat keluhan lainnya yang menyertai
nyeri, seperti peningkatan suhu tubuh, mual, dan muntah. Pada kondisi
lebih berat akan didapatkan penurunan kesadaran akibat syok sirkulasi
dari septicemia .
c) Riwayat kesehatan dahulu : Penting untuk dikaji dalam menentukan
penyakit dasar yang menyebabkan kondisi peritonitis. Untuk
memudahkan anamnesis, perawat dapat melihat pada tabel. Penyebab
dari peritonitis sebagai bahan untuk mengembangkan pernyataan.
Anamnesis penyakit sistemik, seperti DM, hipertensi dan tuberkulosis
dipertimbangkan sebagai sarana pengkajian preoperatif.
37
d) Riwayat kesehatan keluarga : Dikaji untuk mengetahui riwayat
kesehatan keluarga yang meliputi pola makan, gaya hidup atau pun
penyakit yang sering diderita keluarga sehingga dapat menyebabkan
peritonitonitie seperti apendiksitis,ulkus
peptikum,gastritis,diverticulosis,dan lain-lain.
3. Pengkajian psikososial
Didapatkan peningkatan kecemasan karena nyeri abdomen dan rencana
pembedahan, serta perlunya pemenuhan informasi prabedah.
4. Pemeriksaan fisik.
Didapatkan sesuai dengan manisfestasi klinis yang muncul.
a) Keadaan umum : pasien terlihat lemah dan kesakitan.
b) TTV mengalami perubahan sekunder dari nyeri dan gangguan
hemodinamik.
c) Suhu badan meningkat ≥38,5oC dan terjadi takikardia, hipotensi,
pasien tampak legarti serta syok hypovolemia.
d) Pemeriksaan fisik yang dilakukan :
Inspeksi : pasien terlihat kesakitan dan lemah. Distensi
abdomen didapatkan pada hampir semuja pasien dengan
peritonitis dengan menunjukkan peningkatan kekakuan
dinding perut. Pasien dengan peritonitis berat sering
menghindari semua gerakan dan menjaga pinggul tertekuk
untuk mengurangi ketegangan dinding perut. Perut sering
mengembung disertai tidak adanya bising usus. Temuan ini
mencerminkan ileus umum. Terkadang, pemeriksaan perut
juga mengungkapkan peradangan massa.
Auskultasi : penurunan atau hilangnya bising usus
merupakan salah satu tanda ileus obstruktif.
Palpasi : nyeri tekan abdomen (tenderness), peningkatan
suhu tubuh, adanya darah atau cairan dalam rongga
peritoneum akan memberikan tanda-tanda rangsangan
peritoneum. Rangsangan peritoneum menimbulkan nyeri
tekan dan defans muskular. Pekak hati dapat menghilang
akibat udara bebas dibawah diafragma. Pemeriksaan rektal
dapat memunculkan nyeri abdomen, colok dubur ke arah
kanan mungkin mengindikasikan apendisitis dan apabila
bagian anterior penuh dapat mengindikasikan sebuah
38
abses.Pada pasien wanita, pemeriksaan bimanual vagina
dilakukan untuk mendeteksi penyakit radang panggul
(misalnya endometritis, salpingo-ooforitis, abses tuba-
ovarium), tetapi temuan sering sulit diinterprestasikan
dalam peritonitis berat
Perkusi : nyeri tekuk dan bunyi timpani terjadi adanya
flatulen.
5. Pemeriksaan diagnostic
b) Pemeriksaan radiografik
39
kasus anterior perforasi lambung dan duodenum, tetapi jauh
lebih jarang dengan perforasi dari usus kecil dan usus besar,
serta tidak biasa dengan appendiks perforasi. Tegak film
berguna untuk mengidentifikasi udara bebas di bawah
diafragma (paling sering disebalah kanan) sebagai indikasi
adanya viskus berlubang.
Computed tomography scan (CT scan) : CT scan abdomen
dan panggul tetap menjadi studi diagnostik pilihan untuk
abses peritoneal. CT scan ditunjukkan dalam semua kasus
dimana diagnosis tidak dapat dibangun atas dasar klinis dan
temuan foto polos abdomen. Abses peritoneal dan cairan
lain dapat diambil untuk diagnostik atau terapi dibawah
bimbingan CT scan.
Magnetic Resonance Imaging (MRI) : MRI adalah suatu
modalitas pencitraan muncul untuk diagnostis dicurigai
abses intra-abdomen. Abses abdomen menunjukkan
penurunan itensitas sinyal pada gambar T1-weighted dan
homogen atau peningkatan intensitas sinyal heterogen pada
gambar T2-weighted.
B. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri b.d infeksi, inflamasi intestinal, abses abdomen ditandai dengan nyeri
tekan pada abdomen.
b. Risiko tinggi ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d
kurangnya asupan makanan yang adekuat ditandai dengan mual, muntah dan
anoreksia.
c. Risiko ketidakseimbangan cairan dan elektrolit b.d keluarnya cairan tubuh
ditandai dengan muntah yang berlebihan.
d. Risiko tinggi syok hipovolemik b.d penurunan volume darah, sekunder
dari syok sepsis ditandai dengan mual, muntah, dan demam.
40
Diagnose Perencanaan
A.
keperawatan Tujuan Intervensi
1 Nyeri b.d Tupan : Setelah dilakukan
1. Kaji nyeri
infeksi, tindakan keperawatan 3 x dengan
inflamasi 24 jam diharapkan nyeri pendekatan
intestinal, abses hilang PQRST
abdomen Tupen : Dalam waktu 1 x
ditandai dengan 24 jam nyeri berkurang atau
nyeri tekan teradaptasi
pada abdomen Kriteria evaluasi :
Secara subjektif
pernyataan nyeri berkurang
atau teradaptasi
Skala nyeri 0-1 (0-4)
TTV dalam batas normal,
wajah pasien rileks
2. Beri oksigen
nasal apabila
skala nyeri ≥ 4 (0-
5)
3. Istirahatkan
pasien pada saat
nyeri muncul
4. Atur posisi
fisiologis
5. Berikan
kompres hangat
pada abdomen
6. Kolaburasi :
Berikan analgesic
41
2. Risiko tinggi Tujuan : setelah 3 x 24 jam
1. Kaji dan berikan
ketidakseimban pada pasien nonbedah dan nutrisi sesuai
gan nutrisi setelah 7 x 24 jam tingkat toleransi
BAB III
PEMBAHASAN KASUS
3.1 Asuhan Keperawatan pada pasien dengan Diagnosa Medis Intoksitikasi.
Medication/ Pengobatan :
42
kesehatan terdahulu
Nafas
Gerakan dinding dada: Simetris Asimetris
Irama Nafas : Cepat Dangkal Normal
Pola Nafas : Teratur Tidak Teratur
Jenis : Dispnoe Kusmaul Cyene Stoke
Lain
Suara Nafas : Vesikuler Stidor Wheezing Ronchi
Sesak Nafas : Ada TidakAda
Cuping hidung Ada Tidak Ada
43
Retraksi otot bantu nafas : Ada Tidak Ada
Pernafasan : Pernafasan Dada Pernafasan Perut
RR : 35 x/mnt
Keluhan Lain:
Masalah Keperawatan: - gangguan pertukaran gas.
Apatis Koma
GCS : Eye : Verbal : Motorik :
Pupil : Isokor Unisokor Pinpoint
Medriasis
Refleks Cahaya: Ada Tidak Ada
Refleks fisiologis: Patela (+/-) Lain-lain
44
Refleks patologis : Babinzky (+/-) Kernig (+/-) Lain-
lain ... ..
4 4
Kekuatan Otot :4
4
Keluhan Lain :
Masalah Keperawatan:-
45
Monitoring Jantung : Sinus Bradikardi Sinus Takikardi
Saturasi O2 :
%
Kateter Urine : Ada Tidak
FIVE INTERVENSI
Regio :
Skala :
Timing :
Lain-lain :-
Masalah Keperawatan:
Pemeriksaan SAMPLE/KOMPAK
HEAD TO TOE
46
tambahan
i. Abdomen dan Pinggang : Tidak terdapat lesi,
pergerakan dinding abdomen normal, bising usus
normal 17x/menit, tidak terdengar bunyi pekak pada
abdomen, tidak terdapat nyeri tekan pada daerah
abdomen dan pinggang
j. Pelvis dan Perineum : Tidak terkaji
k. Ekstremitas : Terdapat lesi pada ekstremitas atas
kanan dan kiri
Ada Tidak
INSPEKSI BACK/ POSTERIOR SURFACE
Jejas :
Deformitas : Ada Tidak
Tenderness : Ada Tidak
Crepitasi : Ada Tidak
Laserasi : Ada Tidak
Lain-lain : ... ...
Masalah Keperawatan:
Data Tambahan :
Pengkajian Bio, Psiko, Sosio, Ekonomi, Spritual & Secondary
Survey
Pemeriksaan Penunjang :
Tanggal : 28 November 2018
Hasil pemeriksaan : EKG, Lab, CT Scan, Rontegn dll
Terapi Medis :
1. Dexketoprofen 1 amp (2ml)
2. Infus RL
3. KIE
47
4. Observasi keadaan pasienselama 6 jam
2. Analisa Data
48
No Data Fokus Analisis MASALAH
Data Subyektif dan Problem dan KEPERAWATA
Obyektif etiologi N
(pathway)
1. Ds: Px Mengatakan sulit intoksikasi Ketidakefektifan
untuk bernafas. intektisida pola nafas
organofosfat
Px mengatakan
merasa seperti hambatan aktifitas
tercekik. enzim
asetilkolinesterase
akumulasi
asetilkolin pada
Do: Perubahan kedalaman ujung saraf
pernapasan.
Takipnea efek stimulasi
Suara nafas abnormal nikotinik
muskarinik pada
system saraf pusat
agitasi , gagal
nafas
intoksitask
Ds: Px mengatakan intektisida Gangguan
2. Pertukaran Gas
penglihatannya kabur organofosfat
Do: p H darah arteri abnormal
hambatan aktivasi
Dyspnea enzim
Hipoksia asektilkolinestera
Takikardi se
Somnolen
akumlasi
asektilkolin pada
ujung saraf
efek stimulasi
nikotinik
muskarinik pada
system saraf
simpatis
takikardi,hiperten
si,midriasi
49
3. Diagnosa keperawatan
1). Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi, Ansietas.
2). Gangguan Pertukaran Gas berhubungan dengan Ventilasi-Perfusi.
4. Intervensi Keperawatan
- Mengurangi rasa
sakit yang
dirasakan
- Menunjukkan
2. keadaan/respon
Setelah dilakukan Monitor ttv
asuhan klien dan untuk
Atur posisi klien menentukan
keperawatan
menjadi semi- tindakan
selama 1x6 jam
fowler
diharapkan
50
No Tujuan dan Intervensi Rasional Paraf
Kriteria Hasil
Dx (NIC)
(NOC)
pertukaran gas Monitor respirasi selanjutnya
klien kembali dan status O2 - Posisi semi-flower
normal dengan Kolaborasi dapat
kriteria hasil : untukpemberian memaksimalkan
O2 sesuai ventilasi dan
- Ttv dalam
indikasi. meningkatkan
rentang kerja otot-otot
normal
- Tidak ada - Melihat
sianosis dan perkembangan
dispnea status O2
- Untuk
menentukan
kebutuhan O2
klien
5. Implementasi
51
No Tgl/
Implementasi Respon Paraf
jam
DS: -
DO: pasien nampak
lemas, TD: 130/80
mmHg
Berikan terapi O2 sesuai N=97x/mnt,
indikasi RR=32x/mnt, S=37
DS: -
DO: pasien tampak
menggunakan O2.
2 23 JAN
2018
Monitor ttv
12.00 DS: -
WITA DO: pasien nampak
lemas, TD: 130/80
mmHg
N=103x/mnt,
RR=22x/mnt, S=37
Atur posisi pasien menjadi
52
No Tgl/
Implementasi Respon Paraf
jam
semi-flower DS: -
DO: pasien tampak
diposisikan setengah
duduk.
Monitor respirasi dan status
O2
DS: -
DO: pasien tampak
menggunakan selang
O2
53
6. Evaluasi.
No Tgl / Diagnosa
Keperawatan Catatan Perkembangan Paraf
jam
54
yang paling toksik di antara jenis pestisida lainnya dan sering menyebabkan keracunan pada
manusia (Arisman, 2008).
Organofosfat adalah persenyawaan yang tergolong antikholinesterase. Dampak
organofosfat terhadap kesehatan bervariasi, antara lain tergantung dari golongan, intensitas
pemaparan, jalan masuk dan bentuk sediaan. Dalam tubuh manusia diproduksi asetikolin dan
enzim kholinesterase. Enzim kholinesterase berfungsi memecah asetilkolin menjadi kolin dan
asam asetat. Asetilkolin dikeluarkan oleh ujung-ujung syaraf ke ujung syaraf berikutnya,
kemudian diolah dalam Central nervous system (CNS) dan akhirnya terjadi gerakan-gerakan
tertentu yang dikoordinasikan oleh otak. Apabila tubuh terpapar organofosfat, maka
mekanisme kerja enzim kholinesterase terganggu, dengan akibat adanya ganguan pada sistem
syaraf. Ketika pestisida organofosfat memasuki tubuh manusia atau hewan, pestisida
menempel pada enzim kholinesterase. Karena kholinesterase tidak dapat memecahkan
asetilkholin, impuls syaraf mengalir terus (konstan) menyebabkan suatu twiching yang cepat
dari otot-otot dan akhirnya mengarah kepada kelumpuhan. Pada saat otot-otot pada sistem
pernafasan tidak berfungsi terjadilah kematian. Hadirnya pestisida golongan organofosfat di
dalam tubuh juga akan menghambat aktifitas enzim asetilkholinesterase, sehingga terjadi
akumulasi substrat (asetilkholin) pada sel efektor. Keadaan tersebut diatas akan menyebabkan
gangguan sistem syaraf, baik sistem saraf pusat, sistem saraf simpatis dan parasimpatis yang
berupa aktifitas kolinergik secara terus menerus akibat asetilkholin yang tidak dihidrolisis.
Gangguan ini selanjutnya akan dikenal sebagai tanda-tanda atau gejala keracunan (Prijanto,
2009).
Berdasarkan tinjauan teori yang ada, terdapat beberapa masalah keperawatan diantaranya
adalah sebagai berikut : Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi,
Ansietas. Gangguan Pertukaran Gas berhubungan dengan Ventilasi-Perfusi.
Dari hasil analisa kelompok didapatkan dua diagnosa keperawatan yang mengacu pada
kasus Tn.P yaitu Ketidakefektipan pola nafas berhubungan dengan Hiperventilasi,ansietas yg
ditandai dengan pasien tampak sesak dan kebingungan,RR ; 35X/menit,TD : 130/90mmHG ,
dan Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ventilasi perfusi yang ditandai dengan
pasien tampak pucat dan kesadaran menurun,TTV ; 130/90mmHG,nadi : 103x/menit,RR :
32x/menit.
Alasan kelompok mengangkat diagnosa tersebut karena pada kasus Tn.P
didapatkan pengkajian seperti berikut yakni px tampak lemas (TTV : TD : 110/80
mmHG,N:103x/menit, RR: 32x/menit dan GDS :49mg/dl)..
55
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 1x6 jam diharapkan
Ketidakefektipan pola nafas kembali normal dengan kriteria hasil: TD: 120/80 mmHg,N:
80x/mnt,RR: 22x/mnt, S: 360 C,Tekanan systole dan diastole dalam rentang normal,
Tidak ada tanda tanda gangguan pernafasan. Intervensi yang di berikan yaitu :Monitor
TTV klien, Posisikan klien posisi semipowler, Berikan informasi keluarga klien tentang
penyakit klien, Kolaborasi dengan dokter tentang pemberian obat
antibiotic.Implementasi yang diberikan sesuai dengan intervensi. Evaluasi akhir pada
Tn.P setelah 6 jam adalah Tn.P mengatakan masihsesak dan sedikit pusing,masalah
belum teratasi lanjutkan intervensi,lakukan pemberian O2sesuai indikasi dan
kolaborasikan pada dokter dalam pemberian obat.
Setelah dilakukan tindakan 1x6 jam maka diharapkan pola napas klien kembali
efektif dengan criteria hasil : TD: 120/80 mmHg, N: 80x/mnt, RR: 22x/mnt, S: 36 0 C,
Tn.P mengatakan masi sesak dan blom bias berafas secara normal,masalah belum
teratasi,Lanjutkan intervensi : posisika pasiaen semi flower,berikan O2 sesuai indikasi
dan kolaborasikan dengan dokter dalam pemberian obat.
56
BAB IV
Penutup
A. Kesimpulan
Kasus gawat darurat yang memerlukan tindakan segera dimana pasien berada
dalam ancaman kematian krena adanya gangguan hemodinamik adalah trauma
abdomen di mana secara anatomi organ-organ yang berada di rongga abdomen adalah
organ-organ pencernaan. Selain trauma abdomen kasus-kasus kegawatdaruratan pada
system pencernaan salah satunya perdarahan saluran cerna baik saluran cerna atas
maupun bawah. Bila dibiarkan akan berakibat fatal bagi korban atau pasien bahkan
bisa menimbulkan kematian.
Selain trauma abdomen, keracunanan yang dapat menganggu kesehatan
bahkan dapat menyebabkan kematian akibat adanya reaksi kimia didalam tubuh. Oleh
karena itu kita perlu memahami penanganan kegawatdaruratan pada siste pencernaan
secara cepat, cermat dan tepat. Sehingga hal tersebut dapat kita hindari.
B. Saran.
1. Untuk pasien
Pasien diharapkan senantiasa menjaga kesehatan, menjaga pola makan serta
mengerti factor apa saja pencetus terjadinya gangguan system pencernaan. Klien
juga diharapkan mampu melakukan pencegahan dan pengobatan awal jika terjadi
hal tersebut.
2. Untuk perawat
Bagi teman sejawat agar lebih memahami konsep dasar penyakit pada system
pencernaan dan menerapkan askep secara komprehensif.
3. Untuk pendidikan
Untuk institusi diharapkan lebih banyak menyediakan literature terkait masalah
ini.
DAFTAR PUSTAKA
57
Eko,Wahyu. 2012. Penyakit Penyebab Kematian Tertinggi di Indonesia. diakses tanggal 25
pebruari 2018. Jam 19.30. http://www.kpindo.com/artike
58