Anda di halaman 1dari 61

KEPERAWATAN GAWATDARURAT

“ ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN KEGAWATDARURATAN AKIBAT : TRAUMA


ABDOMEN, KERACUNANA, HEMATEMISIS MELENA, PERITORNITIS”

OLEH KELOMPOK 07:

NI KOMANG NARIANINGSIH (16089014069)

I KADEK ROBI ERIANTO (16089014085)

KOMANG RUDI SETIAWAN (16089014086)

KOMANG TERI WICAHYANI (16089014110)

SEKOLAH TINGGI ILMU KEPERAWATAN BULELENG

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN

2019

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Hyang Maha Esa, yeng telah memberikan kekuatan dan
kesempatan kepada kelompok sehingga makalah ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya.
Makalah dengan judul “ ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN KEGAWATDARURATAN
AKIBAT : TRAUMA ABDOMEN, KERACUNANA, HEMATEMISIS MELENA,
PERITORNITIS” adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
keperawatan gawatdarurat serta untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman pembaca.

Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan sehingga diperlukan kritik dan saran yang membangun untuk memperbaiki
makalah ini.

Singaraja, 5 Maret 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

JUDUL..............................................................................................................i

KATA PENGANTAR.......................................................................................ii

DAFTAR ISI.....................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN................................................................................1

1.1 LATAR BELAKANG................................................................................1

1.2 RUMUSAN MASALAH............................................................................1

1.3 TUJUAN PENULISAN..............................................................................1

1.4 SISTEMATIKA PENULISAN...................................................................2

BAB II TINJAUAN TEORI............................................................................. 3

2.1 ASKEP TRAUMA ABDOMEN................................................................. 3

2.2 ASKEP KERACUNANA...........................................................................13

2.3 ASKEP HEMATEMISIS MELENA..........................................................27

2.4 ASKEP PERITORNITIS............................................................................ 36

BAB III LAPORAN KASUS........................................................................... 49

BAB IV PENUTUP.......................................................................................... 64

4.1 KESIMPULAN........................................................................................... 64

4.2 SARAN....................................................................................................... 64

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Abdomen adalah sebuah rongga besar yang dikelilingi oleh otot-otot perut pada
bagian ventral dan lateral, serta adanya kolumna spinalis di sebelah dorsal. Di dalam
abdomen terdapat berbagai system seperti sebagian besar system pencernaan, yang terdiri
dari : lambung, usus, dll. System perkemihan, yang terdiri dari: ginjal, kandung
kemih,dll . Gawat abdomen menggambarkan keadaan klinik akibat kegawatan dirongga
abdomen yang biasanya timbul mendadak dengan nyeri sebagai keluhan utama. Keadaan
ini memerlukan penanggulangan segera mungkin dengan tindakan berbeda.
Pada abdomen bisa disebabkan oleh trauma tumpul atau tajam. Pada trauma tumpul
biasanya menimbulkan kerusakan satu organ maupun multiple aktivitas dalam kehidupan
sehari- hari memungkinkan seseorang terkena injuri yang bisa merusak integritas kulit,
seperti luka robek atau sayatan namun ternyata diluar itu masih banyak lagi luka atau
trauma yang dapat terjadi pada daerah abdomen.
Insiden trauma abdomen meningkat setiap tahun biasanya lebih tinggi trauma tumpul
daripada trauma tusuk abdomen, trauma abdomen akan ditemukan pada 25% multi
trauma, gejala dan tanda yang ditimbulkan kadang-kadang lambat sehingga memerlukan
tingkat kewaspadaan yang tinggi untuk menetapkan diagnosa
1.2 RUMUSAN MASALAH

a. bagaimanakah askep gawatdarurat trauma abdomen?

b. bagaimanakah askep gawatdarurat keracunana?

c. bagaimanakah askep gawatdarurat hematemisis melena?

d. bagaimanakah askep gawatdarurat peritornitis?

1.3 TUJUAN PENULISAN

a. Untuk mengetahui askep gawatdarurat trauma abdomen.

b. Untuk mengetahui askep gawatdarurat keracunana.

c. Untuk mengetahui askep gawatdarurat hematemisis melena.

d. Untuk mengetahui askep gawatdarurat peritornitis.

1
1.4 SISTEMATIKA PENULISAN

Sistematika penulisan yang digunakan adalah sebagi berikut:

1. BAB I PENDAHULUAN

Bab ini berisikan latarbelakang, rumusan masalah, tujuan, dan sistematika penulisan.

2. BAB II TINJAUAN TEORI

Bab ini berisikan tentang dasar-dasar teori yang digunakan sebagai acuan dalam
penyususnan LP

3. BAB III LAPORAN KASUS

Bab ini berisikan tentang kasus

4. BAB IV PENUTUP

Bab ini berisikan kesimpulan dan saran.

BAB II

2
TINJAUAN TEORITIS

2.1 Trauma Aabdomen

2.1.1 Pengertian

Trauma abdomen adalah cedera pada abdomen, dapat berupa trauma tumpul dan
tembus serta trauma yang disengaja atau tidak disengaja, (Smeltzer, 2001).

Trauma perut merupakan luka pada isi rongga perut dapat terjadi dengan atau tanpa
tembusnya dinding perut dimana pada penanganan/penatalaksanaan lebih bersifat kedaruratan
dapat pula dilakukan tindakan laparatomi, (FKUI, 1995).

2.1.2 Etiologi

Berdasarkan mekanisme trauma, dibagi menjadi 2 yaitu :

1.Trauma tembus (trauma perut dengan penetrasi kedalam rongga peritonium).


Disebabkan oleh :

a. Luka akibat terkena tembakan

b. Luka akibat tikaman benda tajam

c. Luka akibat tusukan

2.Trauma tumpul (trauma perut tanpa penetrasi kedalam rongga peritonium).


Disebabkan oleh :

a. Terkena kompresi atau tekanan dari luar tubuh

b. Hancur (tertabrak mobil)

c. Terjepit sabuk pengaman karna terlalu menekan perut

d. Cidera akselerasi / deserasi karena kecelakaan olah raga

2.1.3 Patofisiologi

Bila suatu kekuatan eksternal dibenturkan pada tubuh manusia (akibat kecelakaan lalu
lintas, penganiayaan, kecelakaan olahraga dan terjatuh dari ketinggian), maka beratnya
trauma merupakan hasil dari interaksi antara faktor–faktor fisik dari kekuatan tersebut
dengan jaringan tubuh. Berat trauma yang terjadi berhubungan dengan kemampuan obyek
statis (yang ditubruk) untuk menahan tubuh. Pada tempat benturan karena terjadinya

3
perbedaan pergerakan dari jaringan tubuh yang akan menimbulkan disrupsi jaringan. Hal ini
juga karakteristik dari permukaan yang menghentikan tubuh juga penting.

Trauma juga tergantung pada elastitisitas dan viskositas dari jaringan tubuh.
Elastisitas adalah kemampuan jaringan untuk kembali pada keadaan yang sebelumnya.
Viskositas adalah kemampuan jaringan untuk menjaga bentuk aslinya walaupun ada
benturan. Toleransi tubuh menahan benturan tergantung pada kedua keadaan tersebut..
Beratnya trauma yang terjadi tergantung kepada seberapa jauh gaya yang ada akan dapat
melewati ketahanan jaringan. Komponen lain yang harus dipertimbangkan dalam beratnya
trauma adalah posisi tubuh relatif terhadap permukaan benturan.

Hal tersebut dapat terjadi cidera organ intra abdominal yang disebabkan beberapa
mekanisme:
1. Meningkatnya tekanan intra abdominal yang mendadak dan hebat oleh gaya tekan dari
luar seperti benturan setir atau sabuk pengaman yang letaknya tidak benar dapat
mengakibatkan terjadinya ruptur dari organ padat maupun organ berongga.

2. Terjepitnya organ intra abdominal antara dinding abdomen anterior dan vertebrae atau
struktur tulang dinding thoraks.

3. Terjadi gaya akselerasi-deselerasi secara mendadak dapat menyebabkan gaya robek pada
organ dan pedikel vaskuler.

2.1.4 Manifestasi Klinik

1. Trauma tembus (trauma perut dengan penetrasi kedalam rongga peritonium) :

a. Hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ

b. Respon stres simpatis.

c. Perdarahan dan pembekuan darah.

d. Kontaminasi bakteri.

e. Kematian sel.

4
2. Trauma tumpul (trauma perut tanpa penetrasi kedalam rongga peritonium).

a. Kehilangan darah.

b. Memar/jejas pada dinding perut.

c. Kerusakan organ-organ.

d. Nyeri tekan, nyeri ketok, nyeri lepas dan kekakuan (rigidity) dinding perut.
e. Iritasi cairan usus.

2.1.5 Pemeriksaan Diagnostic

1. Foto thoraks : Untuk melihat adanya trauma pada thorak.


2. Pemeriksaan Darah rutin : Pemeriksaan Hb diperlukan untuk base-linedata bila
terjadi perdarahan terus menerus. Demikian pula dengan pemeriksaan hematokrit.
Pemeriksaan leukosit yang melebihi 20.000 /mm tanpa terdapatnya infeksi
menunjukkan adanya perdarahan cukup banyak kemungkinan ruptura lienalis. Serum
amilase yang meninggi menunjukkan kemungkinan adanya trauma pankreas atau
perforasi usus halus. Kenaikan transaminase menunjukkan kemungkinan trauma pada
hepar.
3. Plain abdomen foto tegak : Memperlihatkan udara bebas dalam rongga peritoneum,
udara bebas retro perineal dekat duodenum, corpus alineum dan perubahan gambaran
usus.
4. Pemeriksaan urine rutin : Menunjukkan adanya trauma pada saluran kemih bila
dijumpai hematuri. Urine yang jernih belum dapat menyingkirkan adanya trauma
pada saluran urogenital.
5. VP (Intravenous Pyelogram) : Karena alasan biaya biasanya hanya dimintakan bila
ada persangkaan trauma pada ginjal.
6. Diagnostik Peritoneal Lavage (DPL) : Dapat membantu menemukan adanya darah
atau cairan usus dalam rongga perut. Hasilnya dapat amat membantu. Tetapi DPL
inihanya alat diagnostik. Bila ada keraguan, kerjakan laparatomi (gold standard).

Sebagai pemeriksaan tambahan pada penderita yang belum dioperasi dan


disangsikan adanya trauma pada hepar dan retro peritoneum.

Pemeriksaan khusus.

5
1. Abdomonal Paracentesis : Merupakan pemeriksaan tambahan yang sangat berguna
untuk menentukan adanya perdarahan dalam rongga peritoneum. Lebih dari100.000
eritrosit /mm dalam larutan NaCl yang keluar dari rongga peritoneum setelah
dimasukkan 100–200 ml larutan NaCl 0.9% selama 5 menit, merupakan indikasi
untuk laparotomy.
2. Pemeriksaan Laparoskopi : Dilaksanakan bila ada akut abdomen untuk mengetahui
langsung sumber penyebabnya.
3. Bila dijumpai perdarahan dan anus perlu dilakukan rekto-sigmoidoskopi.

2.1.6. Penatalaksanaan.
1. Pre Hospital : Pengkajian yang dilakukan untuk menentukan masalah yang
mengancam nyawa, harus mengkaji dengan cepat apa yang terjadi dilokasi kejadian.
Paramedik mungkin harus melihat apabila sudah ditemukan luka tikaman, luka
trauma benda lainnya, maka harus segera ditangani, penilaian awal dilakukan
prosedur ABC jika ada indikasi. Jika korban tidak berespon, maka segera buka dan
bersihkan jalan napas.
a) Airway
Dengan kontrol tulang belakang. Membuka jalan napas menggunakan teknik
‘head tilt chin lift’ atau menengadahkan kepala dan mengangkat dagu,periksa adakah
benda asing yang dapat mengakibatkan tertutupnya jalan napas, muntahan, makanan,
darah atau benda asing lainnya.
b) Breathing
Dengan ventilasi yang adekuat. Memeriksa pernapasan dengan menggunakan
cara ‘lihat – dengar – rasakan’ tidak lebih dari 10 detik untuk memastikan apakah ada
napas atau tidak. Selanjutnya lakukan pemeriksaan status respirasi korban (kecepatan,
ritme dan adekuat tidaknya pernapasan).
c) Circulation
Dengan kontrol perdarahan hebat. Jika pernapasan korban tersengal-sengal
dan tidak adekuat, maka bantuan napas dapatdilakukan. Jika tidak ada tanda-tanda
sirkulasi, lakukan resusitasi jantung paru segera. Rasio kompresi dada dan bantuan
napas dalam RJP adalah 30 : 2 (30kali kompresi dada dan 2 kali bantuan napas).

Penanganan awal trauma non- penetrasi (trauma tumpul) :


 Stop makanan dan minuman
 Imobilisasi
 Kirim ke rumah sakit

Penetrasi (trauma tajam) :

6
 Bila terjadi luka tusuk, maka tusukan (pisau atau benda tajam lainnya)
tidak boleh dicabut kecuali dengan adanya tim medis.
 Penanganannya bila terjadi luka tusuk cukup dengan melilitkan dengan
kain kassa pada daerah antara pisau untuk memfiksasi pisau sehingga
tidak memperparah luka.
 Bila ada usus atau organ lain yang keluar, maka organ tersebut tidak
dianjurkan dimasukkan kembali kedalam tubuh, kemudian organ yang
keluar dari dalam tersebut dibalut kain bersih atau bila ada verban
steril.
 Imobilisasi pasien.
 Tidak dianjurkan memberi makan dan minum.
 Apabila ada luka terbuka lainnya maka balut luka dengan menekang.
 Kirim ke rumah sakit.
2. Hospital.

a). Trauma penetrasi

Bila ada dugaan bahwa ada luka tembus dinding abdomen, seorang ahli bedah
yang berpengalaman akan memeriksa lukanya secara lokal untuk menentukan
dalamnya luka. Pemeriksaan ini sangat berguna bila ada luka masuk dan luka keluar
yang berdekatan.

b). Skrinningp emeriksaan rontgen

Foto rontgen torak tegak berguna untuk menyingkirkan kemungkinan hemo


atau pneumotoraks atau untuk menemukan adanya udara intra peritonium. Serta
rontgen abdomen sambil tidur (supine) untuk menentukan jalan peluru atau adanya
udara retro peritoneum.

c). IVP atau Urogram Excretory dan CT Scanning

Ini di lakukan untuk mengetauhi jenis cedera ginjal yang ada.


3. Penanganan pada trauma benda tumpul dirumah sakit

a). Pengambilan contoh darah dan urine

Darah di ambil dari salah satu vena permukaan untuk pemeriksaan


laboratorium rutin, dan juga untuk pemeriksaan laboratorium khusus seperti
pemeriksaan darah lengkap, potasium, glukosa, amilase.

7
b). Pemeriksaan rontgen

Pemeriksaan rongten servikal lateral, toraks antero posterior dan pelvis adalah
pemeriksaan yang harus di lakukan pada penderita dengan multi trauma, mungkin
berguna untuk mengetahui udara ekstraluminal di retro peritoneum atau udara bebas
di bawah diafragma, yang keduanya memerlukan laparotomi segera.

c). Study kontras urologi dan gastrointestinal

Dilakukan pada cedera yang meliputi daerah duodenum, kolon ascendens atau
decendens dan dubur.Sumber : (Hudak & Gallo, 2001).

2.1.7. Komplikasi

1. Segera : hemoragi, syok, dan cedera.

2. Lambat : infeksi.

3. Trombosis Vena.

4. Emboli Pulmonar.

5. Stress Ulserasi dan perdarahan.

6. Pneumonia.

7. Tekanan ulserasi.

8. Atelektasis.

9. Sepsis.

2.1.8. Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian.
Dasar pemeriksaan fisik ‘head to toe’ harus dilakukan dengan singkat tetapi
menyeluruh dari bagian kepala ke ujung kaki. Pengkajian data dasar menurut Brunner
& Suddart (2001), adalah :
a. Aktifitas / istirahat
Data Subyektif : Pusing, sakit kepala,nyeri, mulas
Data Obyektif : Perubahan kesadaran, masalah dalam keseimbangan cedera
(trauma).

8
b .Sirkulasi

Data Obyektif : Kecepatan (bradipneu, takhipneu), pola napas (hipoventilasi,


hiperventilasi, dll).
c. Integritas ego
Data Subyektif : Perubahan tingkah laku / kepribadian (tenang atau dramatis)
Data Obyektif : Cemas, bingung, depresi.
d. Eliminasi
Data Subyektif : Inkontinensia kandung kemih / usus atau mengalami
gangguan fungsi.
e. Makanan dan cairan
Data Obyektif : Mengalami distensi abdomen
f. Neurosensori
Data Subyektif : Kehilangan kesadaran sementara,vertigo
Data Obyektif : Perubahan kesadaran bisa sampai koma, perubahan
statusmental, kesulitan dalam menentukan posisi tubuh
g. Nyeri dan kenyamanan.
Data Subyektif : Sakit pada abdomen dengan intensitas dan lokasi yang
berbeda, biasanya lama.
Data Obyektif : Wajah meringis, gelisah, merintih.
h. Pernafasan
Data Subyektif : Perubahan pola nafas.

i. Keamanan
Data Subyektif : Trauma baru / trauma karena kecelakaan.
Data Obyektif : Dislokasi gangguan kognitif, gangguan rentang gerak
2. Diagnosa.
a. Nyeri berhubungan dengan adanya trauma abdomen atau luka penetrasi abdomen.
b. Defisit Volume cairan dan elektrolit berhubungan dengan perdarahan.
3. Intervensi dan Implementasi .

Perencanaan
Diagnosis
NOC NIC
Nyeri NOC : NIC:
berhubungan { Pain Level I. Pain Managemen
dengan agen { Pain control  Lakukan pengkajian nyeri secara
injuri(fisik/luka { Comfort level komprehensif termasuk lokasi,
tusuk) Kriteria Hasil: karakteristik, durasi,frekuensi,kualitas
dan faktor presipitasi.
Mampu mengontrol nyeri Observasi reaksi non verbal dari
(tahu penyebab nyeri, ketidaknyamanan
mampu menggunakan Gunakan tehnik komunikasi terapeutik

9
tehnik nonfarmakologi untuk mengetahui nyeri pasien
untuk mengurangi nyeri, Evaluasi bersama pasien dan tim
mencari bantuan), kesehatan lain tentang ketidakefektifan
Melaporkan nyeri kontrol nyeri
berkurang dengan berikan dukungan terhadap pasien dan
menggunakan keluarga
menegemen nyeri  Berikan informasi tentang nyeri
Menyatakan rasa nyaman Ajarkan penggunaan tehnik non
setelah nyeri berkurang farmakologi
Tanda vital dalam rentang Berikan analgesik sesuai anjuran
normal  Beritahu dokter jika tindakan tidak
berhasil atau terjadi keluhan
 Monitor kenyamanan pasien terhadap
managemen nyeri

II. Analgesik administration

 Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas,


dan derajatnyeri sebelum pemberian
obat
 Cek instruksi dokter tentang jenis obat,
dosis, dan frekuensi
 Cek riwayat alergi
 Pilih analgesik yang diperlukan atau
kombinasi analgesik ketika pemberian
lebih dari satu
 Tentukan Pilihan analgesik tergantung
tipe dan beratnya nyeri
 Tentukan analgesik pilihan, rute
pemberian, dan dosis optimal
 Pilih rute pemberian secara IV, IM
untuk pengobatan nyeri secara teratur
 Monitor vital sign sebelum dan sesudah
pemberian analgesik
10
 Berikan analgesik tepat waktu terutama
saat nyeri hebat
 Evaluasi keefektifan analgesik, tanda
dan gejala (efek samping)

Perencanaan
Diagnosis
NOC NIC
Defisit volume NOC: NIC :
cairan b/d Fluid balance Fluid management
kehilangan Hydration Pertahankan catatan intake dan output
volume cairan Nutritional Status : Foodyang akurat
secara aktif. and Fluid Intake Monitor status hidrasi ( kelembaban
membran mukosa, nadi adekuat, tekanan
Definisi : Kriteria Hasil : darah ortostatik ), jika diperlukan
Penurunan cairan Mempertahankan urine Monitor hasil lAb yang sesuai dengan
intravaskuler, output sesuai dengan usiaretensi cairan (BUN , Hmt , osmolalitas
interstisial, dan BB, BJ urine normal,urin )
dan/atau HT normal Monitor vital sign
intrasellular. Ini Tekanan darah, nadi, suhu Kolaborasi pemberian cairan IV
mengarah ke tubuh dalam batas normal Monitor status nutrisi
dehidrasi, Tidak ada tanda tanda Berikan cairan
kehilangan cairan dehidrasi, Elastisitas turgor Berikan diuretik sesuai interuksi
dengan kulit baik, membran Berikan cairan IV pada suhu ruangan
pengeluaran mukosa lembab, tidak ada Dorong masukan oral
sodium rasa haus yang berlebihan Berikan penggantian nesogatrik
sesuai output
Kolaborasi dokter jika tanda cairan
berlebih muncul meburuk
Atur kemungkinan tranfusi
Persiapan untuk tranfusi

11
2.2. Intoxicasi / Keracunan
2.2.1 Definisi
Intoksikasi adalah masuknya zat racun kedalam tubuh baik melalui saluran
pencernaan, saluran nafas, atau melalui kulit atau mukosa yang menimbulkan gejala klinis.
Racun adalah zat yang ketika ditelan, terhisap, diabsorpsi, menempel pada kulit, atau
dialirkan didalam tubuh dalam jumlah yang relative kecil menyebabkan cedera dari tubuh
dengan adanya reaksi kimia. Reaksi kimia racun mengganggu sistem kardiovaskular,
pernapasan sistem saraf pusat, hati, pencernaan (GI), dan ginjal (Nurarif & Kusuma, 2013).
Insektisida adalah bahan-bahan kimia bersifat racun yang dipakai untuk membunuh
serangga. Organofosfat adalah insektisida yang paling toksik di antara jenis pestisida lainnya
dan sering menyebabkan keracunan pada manusia (Arisman, 2008).

2.2.2 Etiologi

Penyebab keracunan ada beberapa macam dan akibatnya bisa mulai yang ringan
sampai yang berat.

1) Keracunan Hidrokarbon.
Kelompok hidrokarbon yang sering menyebabkan keracunan adalah
minyak tanah, bensin, minyak cat ( tinner ) dan minyak untuk korek api
(Arisman, 2008).
2) Keracunan Makanan.
 Keracunan Jamur : Keracunan setelah memakan jamur belakangan ini
sering terjadi. Ada jamur yang mengandung racun amanitin dan
muskarin dimana muskarin merupakan zat alkaloid beracun yang
menyebebkan paralisis otot dan bereaksi sangat cepat.
 Keracunan Makanan Kaleng : Disebabkan oleh kuman Clostridium
botulinum, terdapat dalam makanan kaleng yang diawetkan dan
dikalengkan secara tidak sempurna sehingga tercemar kuman tersebut.

12
 Keracunan Jengkol : Pada keracunan jengkol terjadi penumpukan
kristal asam pada tubuli, ureter dan urethrae. Keluhan terjadi 5 - 12 jam
sesudah makan jengkol.
 Keracunan Ketela Pohon : Dapat terjadi karena ada ketela pohon yang
mengandung asam sianida (HCN) atau sianogenik glikosida. Ketela
pohon pahit mengandung lebih dari 50mg HCN per 100gr ketela pohon
segar.
 Keracunan Makanan yang Terkontaminasi : Tidak jarang terjadi
keracunan bahan makanan yang tercemar oleh kuman, parasit, virus,
maupun bahan kimia. Kuman-kuman yang dapat menyebabkan
keracunan bahan makanan ialah Staphilococcus, Salmonella,
Clostridium Botulinum, E. Coli, Proteus, Klebsiella, Enterobacter, dll.
Tercemarnya makanan biasanya melalui lalat, udara, kotoran rumah
tangga, dan terutama melalui juru masak yang menjadi pembawa
kuman. Kuman yang masuk kedalam makanan cepat memperbanyak
diri dan memproduksi toksin. Akibat keracunan tergantung dari
virulensi dan banyaknya kuman, sifat kuman ialah tidak tahan panas
(Arisman, 2008).
3) Keracunan Bahan Kimia
 Keracunan Arsen : Lebih dari 20 abad yang lalu arsen digunakan baik
oleh orang yunani maupun roma untuk pengobatan maupun sebagai
racun. Pada saat ini tidak banyak obat mengandung arsen, akan tetapi
kadang-kadang dipakai pada pembuatan beberapa herbisida dan
peptisida. Arsen dapat juga ditemukan sebagai hasil sampingan dari
peleburan timah, seng, dan logam lainnya (Arisman, 2008).
 Keracunan Asam Basa : Zat asam kuat seperti asam sulfat, asam
klorida dan zat basa kuat seperti KOH, NaOH banyak dipakai sebagai
bahan kimia untuk keperluan rumah tangga, seperti pembersih
porselen, bahan anti sumbat saluran air, pembasmi serangga, maupun
untuk memasak seperti cuka bibit (Arisman, 2008).
 Keracunan Insektisida (Pestisida) : Walaupun tujuan pemakaian
insektisida itu untuk membasmi berbagai macam serangga seperti
kecoa dan sebagainya. Bahan-bahan demikian dapat pula membunuh
manusia. Pestisida yang termasuk ke dalam golongan organofosfat
antara lain : Azinophosmethyl, Chloryfos, Demeton Methyl,

13
Dichlorovos, Dimethoat, Disulfoton, Ethion, Palathion, Malathion,
Parathion, Diazinon, Chlorpyrifos. Dengan demikian jika barang
tersebut tidak disimpan di tempat yang aman dan jauh dari jangkauan
anak-anak, maka kejadian keracuan baik melalui kontak maupun
inhalasi dan minum tidak dapat dihindarkan. Untuk menanggulangi
kejadian keracunan insektisida tidak mudah karena bahan kimia yang
dipergunakan oleh tiap produsen tidak sama (Prijanto, 2009).

2.2.3 Klasifikasi

Menurut Arisman, 2008 keracunan dibagi menjadi 3 yaitu :

1. Keracunan Hidrokarbon.
2. Keracunan Makanan.
3. Keracunan Bahan Kimia.

2.2.4 Manifestasi Klinik

1. Gejala yang paling menonjol.


Menurut Nurarif & Kusuma 2013, dalam buku Aplikasi Asuhan
Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC gejala yang
paling menonjol pada keracunan meliputi :
1) Kelainan visus.
2) Hiperaktivitas kelenjar ludah dan keringat.
3) Gangguan saluran pencernaan .
4) Kerusakan bernafas.
2. Keracunan Hidrokarbon.
a. Gejala klinik : terutama terjadi sebagai akibat dari iritasi pulmonal dan
depressi susunan saraf pusat.
b. Iritasi pulmonal : Batuk, sesak, retraksi, tachipneu, cyanosis, batuk darah
dan udema paru. Pada pemeriksaan foto thorak bisa didapatkan adanya
infiltrat di kedua lapangan paru, effusi pleura atau udema paru.
c. Depresi CNS (Central Nervous System) / SSP (Sistem Saraf Pusat) : Terjadi
penurunan kesadaran mulai dari apatis sampai koma, kadang-kadang disertai
kejang.
d. Gejala-gejala GI Tract : Mual, muntah, nyeri perut dan diare (Arisman,
2008).
3. Keracunan Makanan.
a. Keracunan Jamur
Gejala klinik : Rasa mual, Muntah, Sakit perut, Mengeluarkan banyak
ludah dan keringat, Miosis, Diplopia, Bradikardi sampai konfusi (Kejang).
b. Keracunan Makanan Kaleng

14
Gejala klinik : Penglihatan kabur, refleks cahaya menurun atau negatif,
midriasis dan kelumpuhan otot-otot mata, Kelumpuhan saraf-saraf otak
yang bersifat simetrik, dysphagia, dysarthria, kelumpuhan (general
paralyse).
c. Keracunan Jengkol
Gejala klinik : Sakit pinggang, nyeri perut, muntah, hematuria, oliguria
sampai anuria dan urin berbau jengkol, dapat terjadi gagal ginjal akut.
d. Keracunan Ketela Pohon
Gejala klinis : Tergantung pada kandungan asam sianida (HCN), kalau
banyak dapat menyebabkan kematian dengan cepat, penderita merasa
mual, perut terasa panas, pusing, lemah dan sesak, kejang, lemas,
berkeringat, mata menonjol, midriasis, mulut berbusa bercampur darah,
warna kulit merah bata (pada orang kulit putih) dan sianosis.
e. Keracunan Makanan yang Terkontaminasi
Gejala timbul 3-24 jam setelah makan makanan yang tercemar kuman
terdiri dari mual muntah, diare, sakit perut, disertai pusing dan lemas
(Arisman, 2008).
4. Keracunan Bahan Kimia.
a. Keracunan Arsen
Gejala klinis keracunan akut : Dalam 1 jam setelah menelan arsen
sudah timbul : Rasa tidak enak dalam perut, bibir terasa terbakar, sukar
menelan kemudian disusul sakit pada lambung dengan muntah-muntah dan
diare berat, adakalanya terdapat pula : oliguria sampai anuria, kejang otot dan
rasa haus.
Gejala klinis keracunan kronis : Otot-otot lemah, gatal-gatal, pigmentasi,
keratosis kulit dan edema (Arisman, 2008).
b. Keracunan Asam Basa
Gejala : zat asam atau basa kuat dapat merusak epitel atau mukosa dan
disebut bahan korosif. Bahan ini akan membuat nekrosis di bagian tubuh yang
terkena, seperti kulit dan mata jika tersiram, saluran pernafasan jika terhirup,
saluran pencernaan seperti kulit mukosa mulut, esofagus, lambung jika
terminum. Dalam fase penyembuhan pada lokasi luka akan terbentuk jaringan
granulasi yang akan menyebabkan stiktura (peradangan pada esofagus karena
akumulasi jaringan parut) dan stenosis, sehingga menimbulkan kesukaran
menelan. Untuk menghindarkan kejadian ini maka pada keracunan demikian
tindakan cepat dan tepat sangatlah penting (Arisman, 2008).
c. Keracunan Insektisida

15
Gejala keracunan organofosfat akan berkembang selama pemaparan
atau 12 jam kontak. Pestisida yang masuk ke dalam tubuh akan mengalami
perubahan secara hidrolisa di dalam hati dan jaringan-jaringan lain. Hasil dari
perubahan / pembentukan ini mempunyai toksisitas rendah dan akan keluar
melalui urine.

Adapun 3 gejala keracunan pestisida golongan organofosfat yaitu :

 Gejala awal akan timbul : mual/rasa penuh di perut, muntah, rasa


lemas, sakit kepala dan gangguan penglihatan.
 Gejala lanjutan yang ditimbulkan adalah keluar ludah yang berlebihan,
pengeluaran lendir dari hidung (terutama pada keracunan melalui
hidung), kejang usus dan diare, keringat berlebihan, air mata yang
berlebihan, kelemahan yang disertai sesak nafas, akhirnya kelumpuhan
otot rangka.
 Gelaja sentral yan ditimbulkan adalah, sukar bicara, kebingungan,
hilangnya reflek, kejang dan koma.
 Kematian, apabila tidak segera di beri pertolongan berakibat kematian
dikarenakan kelumpuhan otot pernafasan (Prijanto, 2009).

2.2.5 Patofisiologi

Organofosfat adalah persenyawaan yang tergolong antikholinesterase. Dampak


organofosfat terhadap kesehatan bervariasi, antara lain tergantung dari golongan, intensitas
pemaparan, jalan masuk dan bentuk sediaan. Dalam tubuh manusia diproduksi asetikolin dan
enzim kholinesterase. Enzim kholinesterase berfungsi memecah asetilkolin menjadi kolin dan
asam asetat. Asetilkolin dikeluarkan oleh ujung-ujung syaraf ke ujung syaraf berikutnya,
kemudian diolah dalam Central nervous system (CNS) dan akhirnya terjadi gerakan-gerakan
tertentu yang dikoordinasikan oleh otak. Apabila tubuh terpapar organofosfat, maka
mekanisme kerja enzim kholinesterase terganggu, dengan akibat adanya ganguan pada sistem
syaraf. Ketika pestisida organofosfat memasuki tubuh manusia atau hewan, pestisida
menempel pada enzim kholinesterase. Karena kholinesterase tidak dapat memecahkan
asetilkholin, impuls syaraf mengalir terus (konstan) menyebabkan suatu twiching yang cepat
dari otot-otot dan akhirnya mengarah kepada kelumpuhan. Pada saat otot-otot pada sistem
pernafasan tidak berfungsi terjadilah kematian.

16
Hadirnya pestisida golongan organofosfat di dalam tubuh juga akan menghambat
aktifitas enzim asetilkholinesterase, sehingga terjadi akumulasi substrat (asetilkholin) pada
sel efektor. Keadaan tersebut diatas akan menyebabkan gangguan sistem syaraf, baik sistem
saraf pusat, sistem saraf simpatis dan parasimpatis yang berupa aktifitas kolinergik secara
terus menerus akibat asetilkholin yang tidak dihidrolisis. Gangguan ini selanjutnya akan
dikenal sebagai tanda-tanda atau gejala keracunan (Prijanto, 2009).

2.2.6 Pemeriksaan Penunjang.

Pemeriksaan laboratorium dengan pemeriksaan lengkap (urin, gula darah, cairan


lambung, analisa gas darah, darah lengkap, osmolalitas serum, elektrolit, urea, kreatinin,
glukosa, transaminase hati). EKG, untuk melihat dan memantau kerja dari jantung, Foto
toraks/abdomen, untuk melihat apakah terjadi perubahan pada organ pernafasan dan organ
pencernaan, Tes toksikologi kuantitatif.

2.2.7 Penatalaksanaan.

a. Pengobatan simtomatis
 Gangguan sistem pernafasan dan sirkulasi : RJP
 Gangguan sistem susunan saraf pusat : Kejang : beri diazepam atau
fenobarbital, Odem otak : beri manitol atau dexametason.
 Gejala : mual, muntah, nyeri perut, hipersalivasi, nyeri kepala, mata
miosis, kekacauan mental, bronchokonstriksi, hipotensi, depresi
pernafasan dan kejang. Tindakan : Atropin 2 mg tiap 15 menit sampai
pupil melebar. Atropin berfungsi untuk menghentikan efek
acetylcholine pada reseptor muscarinik, tapi tidak bisa menghentikan
efek nikotinik. Pada usia < 12 tahun pemberian atropin diberikan
dengan dosis 0,05 mg/kgBB, IV perlahan dilanjutkan dengan 0,02-
0,05mg/kgBB setiap 5-20 menit sampai atropinisasi sudah adekuat
atau dihentikan bila : 1) Kulit sudah hangat, kering dan kemerahan 2)
Pupil dilatasi (melebar) 3) Mukosa mulut kering 4) Heart rate
meningkat. Pada anak usia > 12 tahun diberikan 1 - 2 mg IV dan
disesuaikan dengan respon penderita. Pengobatan maintenance
dilanjutkan sesuai keadaan klinis penderita, atropin diteruskan selama
24 jam kemudian diturunkan secara bertahap. Meskipun atropin sudah

17
diberikan masih bisa terjadi gagal nafas karena atropin tidak
mempunyai pengaruh terhadap efek nikotinik (kelumpuhan otot)
organofosfat.
 Antiemetik : zat-zat yang digunakan untuk menghambat muntah. Obat
antiemetik adalah : Antagonis reseptor 5-hydroxy-tryptamine yang
menghambat reseptor serotonin di Susunan Syaraf Pusat (SSP) dan
saluran cerna. Obat ini dapat digunakan untuk pengobatan post-
operasi, dan gejala mual dan muntah akibat keracunan. Beberapa
contoh obat yang termasuk golongan ini adalah : Domperidon,
Ondansentron, Dolasetron .
b. Pengobatan Supportif
Tujuan dari terapi suportif adalah adalah untuk mempertahankan
homeostasis fisiologis sampai terjadi detoksifikasi lengkap dan untuk
mencegah serta mengobati komplikasi sekunder seperti aspirasi, ulkus
dekubitus, edema otak & paru, pneumonia, rhabdomiolisis (kumpulan gejala
yang ditimbulkan karena gangguan dalam sel-sel otot), gagal ginjal, sepsis,
dan disfungsi organ menyeluruh akibat hipoksia atau syok berkepanjangan.
Terapi : Hipoglikemia : glukosa 0,5-1g /kgBB IV, Kejang : diazepam 0,2-
0,3mg /kgBB IV.
c. Kosongkan lambung (efektif bila racun tertelan sebelum 4 jam) dengan cara :
 Dimuntahkan : Bisa dilakukan dengan cara mekanik (menekan reflek
muntah di tenggorokan), atau pemberian air garam atau sirup ipekak.
Kontraindikasi : cara ini tidak boleh dilakukan pada keracunan zat
korosif (asam/basa kuat, minyak tanah, bensin), kesadaran menurun
dan penderita kejang.
 Bilas lambung : 1) Pasien telungkup, kepala dan bahu lebih rendah. 2)
Pasang NGT dan bilas dengan : air, larutan norit, Natrium bicarbonat 5
%, atau asam asetat 5 %. 3) Pembilasan sampai 20 X, rata-rata volume
250 cc. 4) Kontraindikasi : keracunan zat korosif & kejang (Arisman,
2009).

2.2.8 Asuhan Keperawatan

A. Pengkajian
a). Identitas Klien
b). Identitas Penanggung Jawab
c). Primer Survey

18
 Airway (A) : Kaji apakah terdapat sumbatan karena edema (inflamasi) saluran
pernapasan akibat dari keracunan gas (inhalasi) atau reaksi alergi berat.
 Breathing (B) : Nafas cepat atau lambat, keracunan asetaminofen dapat
menyebabkan depresi pusat nafas.
 Circulation (C) : Kaji jika ada reaksi perdarahan lambung karena keracunan
zat korosif atau zat racun lain yang teringesti, kaji jika ada mual-muntah, tanda
dehidrasi, diare/GE.
 Disability (D) : Kaji GCS, penurunan kesadaran akibat racun, reaksi pupil
terhadap cahaya, dan dilatasi pupil.
d). Secondary Survey
 Exposure (E) : Kaji apakah terdapat luka atau lesi luar akibat terpapar racun
(tersiram zat kimia).
 Fluid, Farenheit (F) : Observasi output urine jika terdapat dehidrasi atau tanda-
tanda syok (urine output : 1-2cc/kgBB/jam).
 Get Vital Sign (G) : Kaji tanda-tanda vital, dan perubahanya secara teratur.
Lakukan bilas lambung segera untuk mengeliminasi racun.
 Head To toe, History (H) : Monitoring kerja jantung jika keracunan
asetominopen.
B. Diagnosa Keperawatan (NANDA 2012-2014 & Aplikasi Asuhan Keperawatan
Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC 2013) :
1. Pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi, Ansietas.
2. Resiko tinggi cedera berhubungan dengan respon saraf autonom pada perubahan
status sistem yang tiba-tiba .
3. Nyeri akut berhubungan dengan peningkatan tekanan vaskular cerebral.
4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan.
C. Intervensi dan Implementasi

DIAGNOSA TUJUAN KRITERIA INTERVENSI RASIONALIS


HASIL ASI
1.Pola nafas tidak Pola nafas -Pasien mampu- Pantau - Pengkajian
efektif efektif mempertahankan tingkat/kedalaman yang berulang
berhubungan pola nafas yang dan pola kali sangat
dengan efektif dengan pernafasan. Catat penting karena
hiperventilasi,ans tingkat pernafasan periode apnea, kadar toksisiras
ietas. yang normal. pernafasan mungkin
- Paru-paru pasien Cheyne-Stokes berubah secara
bersih , bebas dari- Auskultasi drastis.
cianosis, dan tanda- bunyi nafas - Bunyi nafas
tanda / gejala-gejala- Catat dapat menurun

19
hipoksia yang lain. pengembangan atau tidak ada
dada pada lobus,
- Pertahankan segmen paru,
posisi tidur yang atau seluruh
nyaman, biasanya area paru
dengan ( unilateral ).
peninggian kepala Area atelektasi
tempat tidur tidak ada bunyi
- Berikan nafas, dan pada
tambahan O2 area yang
kolaps menurun
bunyinya,
Evaluasi juga
dilakukan untuk
area yang bajk
pertukaran
gasnya dan
memberikan
data evaluasi
perbaikan
pneumotorak
- Pengembangan
dada sama
dengan ekspansi
paru.
- Meningkatkan
inspirasi
maksimal,
meningkatkan
ekspansi paru
- Hipoksia pada
susunan saraf
pusat
mengakibatkan
20
depres
pernafasan

22.Resiko tinggi Tidak - Trauma pada - Pasang bantalan - Mengurangi


cedera terjadi pasien tidak terjadi lunak atau terjadinya
berhubungan cedera - Pasien mengerti penghalang pada trauma akibat
dengan respon tentang keadaan tempat tidur jatuh dari
saraf autonom pada sakit yang - Pantau adanya tempat tidur saat
perubahan status dialaminya saat ini kejang / kedutan pengobatan
sistem yang tiba- - Pasien kooperatif pada kaki, tangan karena pasien
tiba dalam setiap dan wajah mengalami
tindakan yang - Pertahankan tirah penurunan
diberikan baring selama ketajaman
fase akut. Berikan pandang
bantuan pada - Mencerminkan
pasien sesuai adanya hipoksia
kebutuhannya pada ssp yang
- Berikan dapat
penjelasan pada mempengaruhi
pasien tentang apa kerja saraf-
yang sedang saraf yang lain
dialami dan apa termasuk saraf
tujuan seyiap penglihatan
tindakan yang ( pasien menjadi
diberikan buta )
- Menurunkan
resiko terjatuh/
trauma
- Akan mampu
meningkatkan
kesadaran
pasien tentang
keadaannya saat
ini dan mampu

21
menurunkan
cemas yang
dialami pasien,
dan pasien mau
kooperatif
dalam setiap
tindakan yang
diberikan

33.Nyeri akut Nyeri - Pasien mampu - Teliti keluhan- Nyeri


berhubungan berkurang melaporkan tingkat nyei, catat merupakan
dengan nyeri yang intensitasnya pengalaman
peningkatan berkurang atau (dengan skala 0 subjektif dan
tekanan vaskular hilang – 10) , harus dijelaskan
cerebral - Pasien relaks, tidak karakteristiknya oleh pasien.
gelisah dan tidak ( berdenyut, Identifikasi
menunjukkan konstan) lokasi, karakteristik
gejala-gejala nyeri lamanya, faktor nyeri dan faktor
non verbal lainnya yang yang
memperburuk berhubungan
atau merupakan
meredakannya merupakan
- Observasi suatu hal yang
tanda – tanda amat penting
nyeri non untuk memilih
verbal seperti intervensi yang
ekspresi wajah, cocok dan dapat
posisi tubuh, mengevaluasi
gelisah, keefektifan
menangis/merin terapi yang
gis, menarik diberikan
diri, perubahan- Merupakan
frekuensi indikator/derajat
jantung, nyeri yang tidak

22
pernafasan, langsung yang
tekanan darah dialami. Sakit
- Berikan kepala mungkin
kompres bersifat akut
lembab/kering atau kronis, jadi
pada kepala, manifestasi
leher sesuai fisiologinya
dengan dapat muncul
kebutuhan atau tidak
pasien - Kompres
- Kolaborasi mampu
dengan dokter meningkatkan
dalam sirkulasi dan
pemberian obat mampu
analgetik menimbulkan
seperti relaksasi
asetaminofen, - Penangan
ponstan, dan pertama pada
sebagainya sakit kepala
- Kolaborasi secara umum
dalam hanua kadang-
pemberian O2 kadang
sesuai dengan bermanfaat pada
indikasi sakit kepala
karena
gangguan
vaskuler
- Pemendekan
serangan sakit
kepala 60 % -
70% pada
beberapa pasien
dapat
menurunkan
23
hipoksia yang
berhubungan
dengan
perubahan
tekanan
vaskuler
cerebral

44.Intoleransi Dapat - Pasien mampu


aktivitas beraktivita berpartisispasi
berhubungan s dan dalam aktifitas
dengan kelemahan. mobilisasi yang
dengan diinginkan/diperl
normal ukan
- Pasien mampu
melaporkan
peningkatan
dalam toleransi
aktifitas yang
dapat diukur
- Pasien mampu
menunjukkan
penurunan dalam
tanda-tanda
intoleransi
fisiologis

24
2.3 Hematemesis Melena.

2.3.1 Definisi

Hematemesis adalah muntah darah dan melena adalah pengeluaran faeses atau tinja
yang berwarna hitam seperti ter yang disebabkan oleh adanya perdarahan saluran makan
bagian atas. Warna hematemesis tergantung pada lamanya hubungan atau kontak antara darah
dengan asam lambung dan besar kecilnya perdarahan, sehingga dapat berwarna seperti kopi
atau kemerahmerahan dan bergumpal-gumpal.

Biasanya terjadi hematemesis bila ada perdarahan di daerah proksimal jejunum dan
melena dapat terjadi tersendiri atau bersama-sama dengan hematemesis. Paling sedikit terjadi
perdarahan sebanyak 50-100 ml, baru dijumpai keadaan melena. Banyaknya darah yang
keluar selama hematemesis atau melena sulit dipakai sebagai patokan untuk menduga besar
kecilnya perdarahan saluran makan bagian atas. Hematemesis dan melena merupakan suatu
keadaan yang gawat dan memerlukan perawatan segera di rumah sakit.

2.3.2 Etiologi

1) Kelainan di esophagus
 Varises esophagus : Penderita dengan hematemesis melena yang disebabkan
pecahnya varises esofagus, tidak pernah mengeluh rasa nyeri atau pedih di
epigastrum. Pada umumnya sifat perdarahan timbul spontan dan masif. Darah

25
yang dimuntahkan berwarna kehitam-hitaman dan tidak membeku karena
sudah bercampur dengan asam lambung.
 Karsinoma esophagus : Karsinoma esofagus sering memberikan keluhan
melena daripada hematemesis. Disamping mengeluh disfagia,badan mengurus
dan anemis, hanya seseklai penderita muntah darah dan itupun tidak masif.
Pada endoskopi jelas terlihat gambaran karsinoma yang hampir menutup
esofagus dan mudah berdarah yang terletak di sepertiga bawah esofagus.
 Sindroma Mallory-Weiss : Sebelum timbul hematemesis didahului
muntah–muntah hebat yang pada akhirnya baru timbul perdarahan, misalnya
pada peminum alkohol atau pada hamil muda. Biasanya disebabkan oleh
karena terlalu sering muntah-muntah hebat dan terus menerus. Bila penderita
mengalami disfagia kemungkinan disebabkan oleh karsinoma esofagus.
 Esofagitis korosiva : Pada sebuah penelitian ditemukan seorang penderita
wanita dan seorang pria muntah darah setelah minum air keras untuk patri.
Dari hasil analisis air keras tersebut ternyata mengandung asam sitrat dan
asam HCl, yang bersifat korosif untuk mukosa mulut, esofagus dan lambung.
Disamping muntah darah penderita juga mengeluh rasa nyeri dan panas seperti
terbakar di mulut. Dada dan epigastrum.
 Esofagitis dan tukak esophagus : Esofagitis bila sampai menimbulkan
perdarahan lebih sering bersifat intermittem atau kronis dan biasanya ringan,
sehingga lebih sering timbul melena daripada hematemsis. Tukak di esofagus
jarang sekali mengakibatkan perdarahan jika dibandingkan dengan tukak
lambung dan duodenum.
2) Kelainan di Lambung
 Gastritis erisova hemoragika : Hematemesis bersifat tidak masif dan timbul
setelah penderita minum obat-obatan yang menyebabkan iritasi lambung.
Sebelum muntah penderita mengeluh nyeri ulu hati. Perlu ditanyakan juga
apakah penderita sedang atau sering menggunakan obat rematik (NSAID +
steroid) ataukah sering minum alkohol atau jamu-jamuan.
 Tukak lambung : Penderita mengalami dispepsi berupa mual, muntah, nyeri
ulu hatidan sebelum hematemesis didahului rasa nyeri atau pedih di
epigastrum yang berhubungan dengan makanan. Sesaat sebelum timbul
hematemesis karena rasa nyeri dan pedih dirasakan semakin hebat. Setelah
muntah darah rasa nyeri dan pedih berkurang. Sifat hematemesis tidak begitu
masif dan melene lebih dominan dari hematemesis.

26
 Karsinoma lambung : Insidensi karsinoma lambung di negara kita tergolong
sangat jarang dan pada umumnya datang berobat sudah dalam fase lanjut, dan
sering mengeluh rasa pedih, nyeri di daerah ulu hati sering mengeluh merasa
lekas kenyang dan badan menjadi lemah. Lebih sering mengeluh karena
melena.
3) Penyakit darah: leukemia, DIC (disseminated intravascular coagulation),
purpura trombositopenia dan lain-lain.
4) Penyakit sistemik lainnya: uremik, dan lain-lain.
5) Pemakaian obat-obatan yang ulserogenik: golongan salisilat, kortikosteroid,
alkohol, dan lain-lain.

2.3.3 Manifestasi Klinik

Gejala terjadi akibat perubahan morfologi dan lebih menggambarkan beratnya


kerusakan yang terjadi dari pada etiologinya. Didapatkan gejala dan tanda sebagai berikut :

 Gejala-gejala intestinal yang tidak khas seperti anoreksia, mual, muntah dan
diare
 Demam, berat badan turun, lekas lelah.
 Ascites, hidratonaks dan edema.
 Ikterus, kadang-kadang urin menjadi lebih tua warnanya atau kecoklatan.
 Hematomegali, bila telah lanjut hati dapat mengecil karena fibrosis. Bila
secara klinis didapati adanya demam, ikterus dan asites, dimana demam bukan
oleh sebab-sebab lain, ditambahkan sirosis dalam keadaan aktif. Hati-hati akan
kemungkinan timbulnya prekoma dan koma hepatikum.
 Kelainan pembuluh darah seperti kolateral-kolateral didinding, koput medusa,
wasir dan varises esofagus.
 Kelainan endokrin yang merupakan tanda dari hiperestrogenisme yaitu:
Impotensi, atrosi testis, ginekomastia, hilangnya rambut axila dan pubis.
Amenore, hiperpigmentasi areola mamae . Spider nevi dan eritema,
Hiperpigmentasi .

2.3.4 Patofisiologi

Penyebab terjadinya hematemesis melena salah satunya yaitu aspirin, OAINS, stres,
kortikosteroid, rokok, asam lambung, infeksi H.Pylori dapat mengakibatkan erosi pada
mukosa lambung sampai mencapai mukosa muskularis disertai dengan kerusakan
kemampuan mukosa untuk mensekresi mukus sebagai pelindung. Hal ini akan menimbulkan

27
peradangan pada sel yang akan menjadi granulasi dan akhirnya menjadi ulkus, dan dapat
mengakibatkan hemoragi gastrointestinal.
Penyebab hematemesis melena yang lainnya adalah alkohol dan hipertensi portal
berat dan berkepanjangan yang dapat menimbulkan saluran kolateral bypass : melalui vena
koronaria lambung ke dalam vena esofagus subepitelial dan submukosal dan akan menjadi
varises pada vena esofagus. Vena-vena yang melebar dan berkeluk-keluk terutama terlatak di
submukosa esofagus distal dan lambung proksimal, disertai penonjolan tidak teratur mukosa
diatasnya ke dalam lumen. Dapat mengalami ulserasi superficial yang menimbulkan radang,
beku darah yang melekat dan kemungkinan ruptur, mengakibatkan hemoragi gastrointestinal.
Gagal hepar sirosis kronik, kematian sel dalam hepar termasuk penyebab
hematemesis melena yang dapat mengakibatkan peningkatan tekanan vena porta. Sebagai
akibatnya terbentuk saluran kolateral pada dinding abdominal anterior. Dengan meningkatnya
tekanan dalam vena ini, maka vena tersebut menjadi mengembang oleh darah dan membesar.
Pembuluh yang berdilatasi ini disebut varises dan dapat pecah, mengakibatkan hemoragi
gastrointestinal.
Hemoragi gastrointestinal dapat menimbulkan hematemesis melena. Hematemesis
biasanya bersumber di atas ligamen Treitz (pada jungsi denojejunal). Dari hematemesis akan
timbul muntah darah. Muntah dapat berwarna merah terang atau seperti kopi, tergantung dari
jumlah kandungan lambung pada saat perdarahan dan lamanya darah telah berhubungan
dengan sekresi lambung. Asam lambung mengubah hemoglobin merah terang menjadi
hematin coklat dan menerangkan tentang warna seperti kopi drainase yang dikeluarkan.
Cairan lambung yang berwarna merah marun atau merah terang diakibatkan dari perdarahan
hebat dan sedikit kontak dengan asam lambung. Sedangkan melena terjadi apabila darah
terakumulasi dalam lambung dan akhirnya memasuki traktus intestinal. Feses akan seperti ter.
Feses ter dapat dikeluarkan bila sedikitnya 60 ml darah telah memasuki traktus intestinal.

2.3.5 Pemeriksaan penunjang

1) Pemeriksaan tinja : Makroskopis dan mikroskopis, ph dan kadar gula jika diduga ada
intoleransi gula, biakan kuman untuk mencari kuman penyebab dan uji resistensi
terhadap berbagai antibiotika (pada diare persisten).
2) Pemeriksaan laboratorium : Pemeriksaan laboratorium yang dianjurkan yaitu
pemeriksaan darah rutin berupa hemoglobin, hematokrit, leukosit, trombosit,
pemeriksaan hemostasis lengkap untuk mengetahui adanya kelainan hemostasis,

28
pemeriksaan fungsi hati untuk menunjang adanya sirosis hati, pemeriksaan fungsi
ginjal untuk menyingkirkan adanya penyakit gagal ginjal kronis, pemeriksaan adanya
infeksi Helicobacter pylori.
3) Pemeriksaan esofagogastroduodenoskopi : Merupakan pemeriksaan penunjang yang
paling penting karena dapat memastikan diagnosis pecahnya varises esofagus atau
penyebab perdarahan lainnya dari esofagus, lambung dan duodenum.
4) Kontras Barium (radiografi) : Bermanfaat untuk menentukan lesi penyebab
perdarahan. Ini dilakukan atas dasar urgensinya dan keadaan kegawatan.
5) Ongiografi : Bermanfaat untuk pasien-pasien dengan perdarahan saluran cerna yang
tersembunyi dari visual endoskopik.

2.3.6. Penatalaksanaan Medis

Pengobatan penderita perdarahan saluran makan bagian atas harus sedini mungkin
dan sebaiknya diraat di rumah sakit untuk mendapatkan pengawasan yang teliti dan
pertolongan yang lebih baik. Pengobatan penderita perdarahan saluran makan bagian atas
meliputi :

1. Pengawasan dan pengobatan umum


 Penderita harus diistirahatkan mutlak, obat-obat yang menimbulkan efek
sedatif morfin, meperidin dan paraldehid sebaiknya dihindarkan.
 Penderita dipuasakan selama perdarahan masih berlangsung dan bila
perdarahan berhenti dapat diberikan makanan cair.
 Infus cairan langsung dipasang dan diberilan larutan garam fisiologis
selama belum tersedia darah.
 Pengawasan terhadap tekanan darah, nadi, kesadaran penderita dan bila
perlu dipasang CVP monitor.
 Pemeriksaan kadar hemoglobin dan hematokrit perlu dilakukan untuk
mengikuti keadaan perdarahan.
 Transfusi darah diperlukan untuk menggati darah yang hilang dan
mempertahankan kadar hemoglobin 50-70 % harga normal.
 Pemberian obat-obatan hemostatik seperti vitamin K, 4 x 10 mg/hari,
karbasokrom (Adona AC), antasida dan golongan H2 reseptor antagonis
(simetidin atau ranitidin) berguna untuk menanggulangi perdarahan.
 Dilakukan klisma atau lavemen dengan air biasa disertai pemberian
antibiotika yang tidak diserap oleh usus, sebagai tindadakan sterilisasi
usus. Tindakan ini dilakukan untuk mencegah terjadinya peningkatan
produksi amoniak oleh bakteri usus, dan ini dapat menimbulkan
ensefalopati hepatik.

29
2. Pemasangan pipa naso-gastrik Tujuan pemasangan pipa naso gastrik adalah untuk
aspirasi cairan lambung, lavage (kumbah lambung) dengan air , dan pemberian
obatobatan. Pemberian air pada kumbah lambung akan menyebabkan
vasokontriksi lokal sehingga diharapkan terjadi penurunan aliran darah di mukosa
lambung, dengan demikian perdarahan akan berhenti. Kumbah lambung ini akan
dilakukan berulang kali memakai air sebanyak 100150 ml sampai cairan aspirasi
berwarna jernih dan bila perlu tindakan ini dapat diulang setiap 1-2 jam.
Pemeriksaan endoskopi dapat segera dilakukan setelah cairan aspirasi lambung
sudah jernih.

3. Pemberian pitresin (vasopresin) Pitresin mempunyai efek vasokoktriksi, pada


pemberian pitresin per infus akan mengakibatkan kontriksi pembuluh darah dan
splanknikus sehingga menurunkan tekanan vena porta, dengan demikian
diharapkan perdarahan varises dapat berhenti. Perlu diingat bahwa pitresin dapat
menrangsang otot polos sehingga dapat terjadi vasokontriksi koroner, karena itu
harus berhati-hati dengan pemakaian obat tersebut terutama pada penderita
penyakit jantung iskemik. Karena itu perlu pemeriksaan elektrokardiogram dan
anamnesis terhadap kemungkinan adanya penyakit jantung koroner/iskemik.

4. Pemasangan balon SB Tube Dilakukan pemasangan balon SB tube untuk penderita


perdarahan akibat pecahnya varises. Sebaiknya pemasangan SB tube dilakukan
sesudah penderita tenang dan kooperatif, sehingga penderita dapat diberitahu dan
dijelaskan makna pemakaian alat tersebut, cara pemasangannya dan kemungkinan
kerja ikutan yang dapat timbul pada waktu dan selama pemasangan.

Beberapa peneliti mendapatkan hasil yang baik dengan pemakaian SB tube


ini dalam menanggulangi perdarahan saluran makan bagian atas akibat pecahnya
varises esofagus. Komplikasi pemasangan SB tube yang berat seperti laserasi dan
ruptur esofagus, obstruksi jalan napas tidak pernah dijumpai. 5. Pemakaian bahan
sklerotik Bahan sklerotik sodium morrhuate 5 % sebanyak 5 ml atau sotrdecol 3
% sebanyak 3 ml dengan bantuan fiberendoskop yang fleksibel disuntikan
dipermukaan varises kemudian ditekan dengan balon SB tube. Tindakan ini tidak
memerlukan narkose umum dan dapat diulang beberapa kali. Cara pengobatan ini
sudah mulai populer dan merupakan salah satu pengobatan yang baru dalam

30
menanggulangi perdarahan saluran makan bagian atas yang disebabkan pecahnya
varises esofagus.

6. Tindakan operasi Bila usaha-usaha penanggulangan perdarahan diatas mengalami


kegagalan dan perdarahan tetap berlangsung, maka dapat dipikirkan tindakan
operasi . Tindakan operasi yang basa dilakukan adalah : ligase varises esofagus,
transeksi esofagus, pintasan porto-kaval. Operasi efektif dianjurkan setelah 6
minggu perdarahan berhenti dan fungsi hari membaik.

2.3.7 Komplikasi

 Syok hipovolemik.
 Anemia.

2.3.8 Asuhan Keperawatan

A. Pengkajian
B. Diagnosa Keperawatan
1. Risiko kekurangan volume cairan (00028) berhubungan dengan kehilangan
berlebihan melalui rute normal.
2. Resiko ketidakefektifan perfusi gastrointestinal (00202) berhubungan
dengan ketidakstabilan hemodinamik.
3. Ketidakseimbangan Nutrisi (00002) kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan ketidakmampuan untuk mencerna makanan.

C. Intervensi

N MASALAH NOC (Nursing NIC (Nursing Intervention


O KEPERAWATA Outcomes Classification)
N Classification)
1 Risiko Setelah dilakukan Management
kekurangan tindakan selama 1 x 24 cairan/elektrolit (2080).
volume cairan jam, risiko kekurangan NOC hal 368
(00028) volume cairan dapat
 Memberikan cairan
berhubungan teratasi dengan kategori
pengganti
dengan :  Tetap melakukan
kehilangan pengkajian dan
Nausea & vomiting
berlebihan mengontrol input dan
severity (2107).
melalui rute output cairan
NOC,hal 511
normal.  Frekuensi dari  Mengkaji tekanan

31
muntah-muntah darah, RR, nadi dan
12345
suhu
 Intensitas dari
 Mengkaji tanda dan
muntah-muntah
gejala dari
12345
 Darah dalam ketidakseimbangan
feses (emesis) cairan
12345  Control kehilangan
Keseimbangan Cairan cairan
 Kolaborasi dengan
(0601). NOC, hal 370
dokter dan farmasi
 Tekanan darah tentang pemberian
12345
 Tekanan nadi terapi pengganti cairan.
12345  Kolaborasi bersama
 Pemasukan dan farmasi dan dokter
pengeluaran tentang pemberian
cairan selama 24 transfuse darah
jam
12345
 Turgor kulit
12345
2 Resiko Setelah dilakukan Penurunan perdarahan :
ketidakefektifan tindakan selama 1 x 24 gastrointestinal (4022). NIC
perfusi jam, resiko hal 175
gastrointestinal ketidakeektifan perfusi
 Mengkaji tanda dan
(00202) gastrointestinal dapat
gejala dari perdarahan
berhubungan teratasi dengan kategori  Lakukan pemeriksaan
dengan : lanjutan untuk melihat
ketidakstabilan adanya emesis, feses,
Fungsi gastrointestinal
hemodinamik. sputum, cairan dan
(1015), NOC hal 373
 Kekuatan makan luka
12345  Mengkaji status nutrisi
 Temperature
pasien dengan
axila
memasang NGT
12345
 Menjelaskan kepada
 Level aktivitas
12345 pasien atau keluarga
 Nyeri tekan
tentang diagnosa
epigastrium
penyakit pasien.

32
12345
3 Ketidakseimbang Setelah dilakukan
an Nutrisi tindakan 1 x 24 jam
(00002) kurang kekurangan Nutrisi  Memberikan intake
dari kebutuhan dapat teratasi dengan makanan yang tinggi
tubuh kategori : zat besi
berhubungan  Memberikan makanan

dengan pada pasien yang


 Pemasukan
ketidakmampuan mengandung tinggi
kalori
untuk mencerna protein, besi, dan
12345
makanan.  Pemasukan vitamin C.
 Memberikan edukasi
karbohidrat
12345 kepada pasien tentang
 Pemasukan makanan-makanan
vitamin yang dapat memicu
12345
 Pemasukan muntah maupun diare
 Mengkaji pemasukan
mineral
12345 nutrisi dan kalori
 Pemasukan besi pasien
12345

2.4. Peritonitis

2.4.1. Pengertian

Peritonitis adalah peradangan pada peritoneum (lapisan membran serosa rongga


abdomen) lamnya. (Arif Muttaqin, 2011)
Peritonitis adalah peradangan pada peritoneum suatu membrane yang melapisi rongga
abdomen. Peritonitis biasanya terjadi akibat masunya bakteri dari saluran cerna atau
organ-organ abdomen ke dalam ruang perotonium melalui perforasi usus atau rupturnya
suatu organ. (Corwin, 2000).
Peritonitis adalah inflamasi dari peritoneum yang biasanya di akibatkan oleh infeksi
bakteri, organisme yang berasal dari penyakit saluran pencernaan atau pada organ-organ
reproduktif internal wanita (Baugman dan Hackley, 2000).

33
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa peritonitis adalah radang selaput perut
atau inflamasi peritoneum baik bersifat primer atau sekunder, akut atau kronis yang
disebabkan oleh kontaminasi isi usus, bakteri atau kimia.
2.4.2. Etiologi

Penyebab terjadinya peritonitis adalah Invasi kuman bakteri ke dalam rongga


peritoneum,bakteri yang paling sering menyebabkan infeksi, meliputi :

a) Gram negative meliputi Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae,


Pseudomonas species, Proteus species, gram negatif lainnya.
b) Gram positif, seperti Streptococcus pneumoniae, Streptococcus lainnya.

2.4.3. Patofisiologi

Awal pembentukan abses melibatkan pelepasan bakteri dan agen potensi abses menuju
kelingkungan steril. Pertahanan tubuh tidak dapat mengeliminasi agen infeksi dan
mencoba mengontrol penyebaran melalui sistem kompartemen. Proses ini dibantu oleh
kombinasi faktor-faktor yang memiliki fitur yang umum, yaitu fagositosis. Kontaminasi
transien bakteri pada peritoneal (yang disebabkan oleh penyakit viseral primer)
merupakan kondisi umum. Resultan paparan antigen bakteri telah ditunjukkan untuk
mengubah respon imun ke inokulasi peritoneal berulang. Hal ini dapat mengakibatkan
peningkatan insidensi pembentukan abses.
Pembentukan abses merupakan strategi pertahanan tubuh untuk mencegah penyebaran
infeksi, namun proses ini dapat mengakibatkan infeksi persisten dan sepsis yang
mengancam jiwa.Selanjutnya abses yang terbentuk diantara perlekatan fibrinosa,
menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya. Perlekatan biasanya menghilang
bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita-pita fibrosa. Bila bahan yang
menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum, maka aktivitas motilitas usus
menurun dan meningkatkan risiko ileus paralitik.
Respon peradangan peritonitis juga menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan
membran mengalami kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi dengan cepat dan
agresif, maka dapat menimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai mediator, misalnya
interleukin, dapat memulai respons hiperinflamatorius sehingga membawa ke
perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak organ. Oleh karena itu tubuh mencoba
untuk mengimpensasi dengan cara retensi cairan dan elektrolit oleh ginjal, produk

34
buangan juga ikut menumpuk. Takikardia awalnya meningkatkan curah jantung, tetapi
kemudian akan segera terjadi bradikardia begitu terjadi hypovolemia.
Organ-organ di dalam kavum peritoneum termasuk dinding abdomen mengalami
edema. Edema disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler organ-organ
tersebut meninggi. Pengumpulan cairan didalam rongga peritoneum dan lumen-lumen
usus, serta edema seluruh organ intraperitoneal dan edema dinding abdomen termasuk
jaringan retroperitoneal menyebabkan hopovolemik. Hipovolemik bertambahan dengan
adanya kenaikan suhu, intake yang tidak ada, serta muntah. Terjebaknya cairan dirongga
peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut meningkatkan tekanan intraabdomen, membuat
usaha pernapasan penuh menjadi sulit, dan menimbulkan penurunan perfusi.
Peritonitis tersier mewakili peritonitis yang bersifat persisten atau rekuren. Pasien
dengan peritonitis tersier biasanya hadir dengan abses, atau phlegmon, dengan atau tanpa
fistula. Peritonitis tersier berkembang lebih sering pada pasien dengan kondisi penyakit
signifikan yang sudah ada sebelumnya dan pada pasien dengan penurunan fungsi imun.
Meskipun jarang diamati pada peritonitis tanpa komplikasi, insiden peritonitis tersier
pada pasien memerlukan masuk ICU pada peritonitis yang parah dapat mencapai 50-74%.
Peritonitis disebabkan oleh kebocoran dari organ abdomen kedalam rongga abdomen
biasanya sebagai akibat dari inflamasi, infeksi, iskemia, trauma atau perforasi tumor.
Terjadi proliferasi bakterial. Terjadi edema jaringan, dan dalam waktu singkat terjadi
eksudasi cairan. Cairan dalam rongga peritonial menjadi keruh dengan peningkatan
jumlah protein, sel darah putih, debris seluler, dan darah. Respons segera dari saluran
usus adalah hipermotilitas, diikuti
oleh ileus peralitik, disertai akumulasi udara dan cairan dalam usus. (Brunner dan
Suddarth, 2001).

2.4.4. Manisfestasi Klinik.


Gejala tergantung pada lokasi dan luas inflamasi. Manisfestasi klinis awal dari
peritonitis adalah gejala dari gangguan yang menyebabkan kondisi ini.
a) Nyeri menyebar dan sangat terasa. Nyeri cenderung menjadi konstan,
terlokalisasi, lebih terasa di dekat sisi inflamasi dan biasanya diperbesar oleh
gerakan. Area yang sakit dari abdomen menjadi sangat nyeri apabila ditekan,
dan otot menjadi kaku. Nyeri tekan lepas dan ileus peralitik dapat terjadi.
b) Mual dan muntah.
c) Penurunan peristaltik.
d) Suhu dan frekuensi nadi meningkat.
35
e) Terdapat peningkatan jumlah leukosit.

2.4.5. Komplikasi
a) Sepsis adalah penyebab umum dari kematian pada peritonitis.
b) Syok dapat diakibatkan dari septikemia atau hipovolemia.
c) Proses inflamasi dapat menyebabkan obstruksi usus, yang terutama
berhubungan dengan terjadinya perlekatan usus.

Dua komplikasi pascaoperatif paling umum adalah:


a) Eviserasi luka.
b) Pembentukan abses. Berbagai petunjuk dari pasien tentang area abdomen yang
mengalami nyeri tekan, nyeri, atau “merasa seakan sesuatu terbuka” harus
dilaporkan. Luka yang tiba-tiba mengeluarkan drainase serosanguinosa
menunjukkan adanya dehisens luka.

2.4.6. Pemeriksaan Penunjang.


1) Pemeriksaan Laboratorium : Leukosit akan meningkat. Hemoglobin dan
hematokrit mungkin rendah bila terjadi kehilangan darah. Elektrolit serum
dapat menunjukkan perubahan kadar kalium, natrium, dan klorida.
2) Sinar-x dada dapat menunjukkan udara dan kadar cairan serta lengkung usus
yang terdistensi.
3) Pemindaian CT abdomen dapat menunjukkan pembentukan abses.
4) Aspirasi peritoneal dan pemeriksaan kultur serta sensitivitas cairan teraspirasi
dapat menunjukkan infeksi dan mengidentifikasi organisme penyebab.

2.4.7. Penatalaksanaan.
1) Penggantian cairan, koloid, dan elektrolit adalah fokus utama dari
penatalaksanaan medis. Beberapa liter larutan isotonik diberikan. Hipovolemia
terjadi karena sejumlah besar cairan dan elektrolit bergerak dari lumen usus
kedalam rongga peritoneal dan menurunkan cairan dalam ruang vaskuler.
2) Analgestik diberikan untuk mengatasi nyeri.
3) Antiemetik dapat diberikan sebagai terapi untuk mual dan muntah.
4) Intubasi usus dan pengisapan membantu dalam menghilangkan distensi
abdomen dan dalam meningkatkan fungsi usus. Cairan dalam rongga abdomen
dapat menyebabkan distres pernapasan.

36
5) Terapi oksigen dengan kanula rasal atau masker akan meningkatkan
oksigenisasi secara adekuat, tetapi kadang-kadang intubasi jalan napas dan
bantuan ventilasi diperlukan.
6) Terapi antibiotik masif biasanya dimulai di awal pengobatan peritonitis. Dosis
besar dari antibiotik spektrum luas diberikan secara intravena sampai
organisme penyebab infeksi diidentifikasi dan terapi antibiotik khusus yang
tepat dapat dimulai.
7) Tindakan bedah mencakup mengangkat materi terinfeksi dan memperbaiki
penyebab. Tindakan pembedahan diarahkan pada eksisi (apendiks), reseksi
dengan atau tanpa anastomosis (usus), memperbaiki (perforasi), dan drainase
(abses). Pada sepsis yang luas, perlu dibuat diversi fekal.

2.4.8. Asuhan Keperawatan

A. Pengkajian.
1. Biodata/ identitas pasien :
Nama, umur, jenis kelamin, agama, pekerjaan,no medrek,diagnose, tanggal
masuk, dan alamat.

2. Riwayat penyakit.
a) Keluhan utama : Nyeri abdomen. Keluhan nyeri dapat bersifat akut,
awalnya rasa sakit sering kali membosankan dan kurang terlokalisasi
(peritoneum viseral). Kemudian berkembang menjadi mantap, berat,
dan nyeri lebih terlokalisasi (peritoneum parietal). Jika tidak terdapat
proses infeksi, rasa sakit menjadi berkurang. Pada beberapa penyakit
tertentu (misalnya: perforasi lambung, pankreatitis akut berat, iskemia
usus) nyeri abdomen dapat digeneralisasi dari awal.
b) Riwayat kesehatan sekarang : Didapat keluhan lainnya yang menyertai
nyeri, seperti peningkatan suhu tubuh, mual, dan muntah. Pada kondisi
lebih berat akan didapatkan penurunan kesadaran akibat syok sirkulasi
dari septicemia .
c) Riwayat kesehatan dahulu : Penting untuk dikaji dalam menentukan
penyakit dasar yang menyebabkan kondisi peritonitis. Untuk
memudahkan anamnesis, perawat dapat melihat pada tabel. Penyebab
dari peritonitis sebagai bahan untuk mengembangkan pernyataan.
Anamnesis penyakit sistemik, seperti DM, hipertensi dan tuberkulosis
dipertimbangkan sebagai sarana pengkajian preoperatif.
37
d) Riwayat kesehatan keluarga : Dikaji untuk mengetahui riwayat
kesehatan keluarga yang meliputi pola makan, gaya hidup atau pun
penyakit yang sering diderita keluarga sehingga dapat menyebabkan
peritonitonitie seperti apendiksitis,ulkus
peptikum,gastritis,diverticulosis,dan lain-lain.

3. Pengkajian psikososial
Didapatkan peningkatan kecemasan karena nyeri abdomen dan rencana
pembedahan, serta perlunya pemenuhan informasi prabedah.
4. Pemeriksaan fisik.
Didapatkan sesuai dengan manisfestasi klinis yang muncul.
a) Keadaan umum : pasien terlihat lemah dan kesakitan.
b) TTV mengalami perubahan sekunder dari nyeri dan gangguan
hemodinamik.
c) Suhu badan meningkat ≥38,5oC dan terjadi takikardia, hipotensi,
pasien tampak legarti serta syok hypovolemia.
d) Pemeriksaan fisik yang dilakukan :
 Inspeksi : pasien terlihat kesakitan dan lemah. Distensi
abdomen didapatkan pada hampir semuja pasien dengan
peritonitis dengan menunjukkan peningkatan kekakuan
dinding perut. Pasien dengan peritonitis berat sering
menghindari semua gerakan dan menjaga pinggul tertekuk
untuk mengurangi ketegangan dinding perut. Perut sering
mengembung disertai tidak adanya bising usus. Temuan ini
mencerminkan ileus umum. Terkadang, pemeriksaan perut
juga mengungkapkan peradangan massa.
 Auskultasi : penurunan atau hilangnya bising usus
merupakan salah satu tanda ileus obstruktif.
 Palpasi : nyeri tekan abdomen (tenderness), peningkatan
suhu tubuh, adanya darah atau cairan dalam rongga
peritoneum akan memberikan tanda-tanda rangsangan
peritoneum. Rangsangan peritoneum menimbulkan nyeri
tekan dan defans muskular. Pekak hati dapat menghilang
akibat udara bebas dibawah diafragma. Pemeriksaan rektal
dapat memunculkan nyeri abdomen, colok dubur ke arah
kanan mungkin mengindikasikan apendisitis dan apabila
bagian anterior penuh dapat mengindikasikan sebuah

38
abses.Pada pasien wanita, pemeriksaan bimanual vagina
dilakukan untuk mendeteksi penyakit radang panggul
(misalnya endometritis, salpingo-ooforitis, abses tuba-
ovarium), tetapi temuan sering sulit diinterprestasikan
dalam peritonitis berat
 Perkusi : nyeri tekuk dan bunyi timpani terjadi adanya
flatulen.

5. Pemeriksaan diagnostic

a) Pemeriksaan laboratorium, meliputi (Laroche, 1998) hal-hal


berikut :

 Sebaian besar pasien dengan infeksi intra-abdomen


menunjukkan leukositosis (>11.000 sel/µL)
 Kimia darah dapat mengungkapkan dehidrasi dan asidosis
 Pemeriksaan waktu pembekuan dan pendarahan untuk
mendeteksi disfungsi pembengkuan
 Tes fungsi hati jika diindikasikan secara klinis
 Urinalisis penting untuk menyingkirkan penyakit saluran
kemih, namun pasien dengan perut bagian bawah dan
infeksi panggul sering menunjukkan sel darah putih dalam
air seni dan mikrohematuria
 Kultur darah untuk mendeteksi agen infeksi septicemia
 Cairan peritoneal (yaitu paracentesis, aspirasi cairan perut
dan kultur cairan peritoneal). Pada peritonitis tuberkulosa,
cairan peritoneal mengandung banyak protein (lebih dari 3
gram/100 ml) dan banyak limfosit; basil tuberkel diindikasi
dengan kultur

b) Pemeriksaan radiografik

 Foto polos abdomen : Walaupun identifikasi sangat


terbatas, kondisi ileus mungkin didapatkan usus halus dan
usus besar berdilatasi. Udara bebas hadir dalam kebanyakan

39
kasus anterior perforasi lambung dan duodenum, tetapi jauh
lebih jarang dengan perforasi dari usus kecil dan usus besar,
serta tidak biasa dengan appendiks perforasi. Tegak film
berguna untuk mengidentifikasi udara bebas di bawah
diafragma (paling sering disebalah kanan) sebagai indikasi
adanya viskus berlubang.
 Computed tomography scan (CT scan) : CT scan abdomen
dan panggul tetap menjadi studi diagnostik pilihan untuk
abses peritoneal. CT scan ditunjukkan dalam semua kasus
dimana diagnosis tidak dapat dibangun atas dasar klinis dan
temuan foto polos abdomen. Abses peritoneal dan cairan
lain dapat diambil untuk diagnostik atau terapi dibawah
bimbingan CT scan.
 Magnetic Resonance Imaging (MRI) : MRI adalah suatu
modalitas pencitraan muncul untuk diagnostis dicurigai
abses intra-abdomen. Abses abdomen menunjukkan
penurunan itensitas sinyal pada gambar T1-weighted dan
homogen atau peningkatan intensitas sinyal heterogen pada
gambar T2-weighted.
B. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri b.d infeksi, inflamasi intestinal, abses abdomen ditandai dengan nyeri
tekan pada abdomen.
b. Risiko tinggi ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d
kurangnya asupan makanan yang adekuat ditandai dengan mual, muntah dan
anoreksia.
c. Risiko ketidakseimbangan cairan dan elektrolit b.d keluarnya cairan tubuh
ditandai dengan muntah yang berlebihan.
d. Risiko tinggi syok hipovolemik b.d penurunan volume darah, sekunder
dari syok sepsis ditandai dengan mual, muntah, dan demam.

40
Diagnose Perencanaan
A.
keperawatan Tujuan Intervensi
1 Nyeri b.d Tupan : Setelah dilakukan
1. Kaji nyeri
infeksi, tindakan keperawatan 3 x dengan
inflamasi 24 jam diharapkan nyeri pendekatan
intestinal, abses hilang PQRST
abdomen Tupen : Dalam waktu 1 x
ditandai dengan 24 jam nyeri berkurang atau
nyeri tekan teradaptasi
pada abdomen Kriteria evaluasi :
Secara subjektif
pernyataan nyeri berkurang
atau teradaptasi
Skala nyeri 0-1 (0-4)
TTV dalam batas normal,
wajah pasien rileks

2. Beri oksigen
nasal apabila
skala nyeri ≥ 4 (0-
5)

3. Istirahatkan
pasien pada saat
nyeri muncul
4. Atur posisi
fisiologis

5. Berikan
kompres hangat
pada abdomen

6. Kolaburasi :
Berikan analgesic
41
2. Risiko tinggi Tujuan : setelah 3 x 24 jam
1. Kaji dan berikan
ketidakseimban pada pasien nonbedah dan nutrisi sesuai
gan nutrisi setelah 7 x 24 jam tingkat toleransi
BAB III
PEMBAHASAN KASUS
3.1 Asuhan Keperawatan pada pasien dengan Diagnosa Medis Intoksitikasi.

1. Pengkajian Keperawatan Gawat Darurat/IGD/TRIAGE.

Tgl/ Jam : 23 januari 2019 No. RM : 08-0080


Triage : - Diagnosis Medis : CKR Swelling
Transportasi : Ambulan/Mobil Pribadi/ Lain-lain … …

Nama : kd putra Jenis Kelamin :L


Umur : 20 Tahun Alamat: Ds.mekarsari
IDENTITAS

Agama : Hindu Status Perkawinan : Lajang


Pendidikan : mahasiswa Sumber Informasi : Keluarga
Pekerjaan : pelajar Hubungan : Ibu
Suku/ Bangsa : Indonesia
Triage :-
RIWAYAT SAKIT & KESEHATAN

Keluhan Utama : px datang ke igd dengan


keadaan setengah sadar dibawa oleh orang tuanya,px tampak
susah bernafas dan kesadaran menurun.

Mekanisme Cedera (Trauma) :-

Sign/ Tanda Gejala : Px mengalami kehilangan


kesadaran beberapa saat, Pusing, Mual (+), Muntah (-), disertai
dengan sakit pada bagian perut

Allergi : Px tidak memiliki riwayat


alergi

Medication/ Pengobatan :

Past Medical History : Px tidak memiliki riwayat

42
kesehatan terdahulu

Last Oral Intake/Makan terakhir: Px mengatakan makan


terakhir pada saat ia akan berangkat kesekolah sekitar pukul
07.00 WITA.

Event leading injury : ibu px mengatakan tidak


pernah terjadi hal seperti ini sebelumnya.

Penggunaan Cervikal Collar :..........


Jalan Nafas :  Paten  Tidak Paten
Obstruksi :  Lidah  Cairan  Benda Asing
 Tidak Ada
 Muntahan  Darah  Oedema
AIRWAY

Suara Nafas : Snoring Gurgling Stridor Tidak ada


Keluhan Lain: ... ...

Masalah Keperawatan: - ketidak efektipan pola nafas.

:  Spontan  Tidak Spontan


BREATHING

Nafas
Gerakan dinding dada:  Simetris  Asimetris
Irama Nafas :  Cepat  Dangkal  Normal
Pola Nafas :  Teratur  Tidak Teratur
Jenis :  Dispnoe  Kusmaul  Cyene Stoke
 Lain
Suara Nafas :  Vesikuler  Stidor  Wheezing  Ronchi
Sesak Nafas :  Ada  TidakAda
Cuping hidung  Ada  Tidak Ada

43
Retraksi otot bantu nafas :  Ada  Tidak Ada
Pernafasan :  Pernafasan Dada  Pernafasan Perut
RR : 35 x/mnt
Keluhan Lain:
Masalah Keperawatan: - gangguan pertukaran gas.

Nadi :  Teraba  Tidak teraba  N: 103 x/mnt


Tekanan Darah : 130/90 mmHg
Pucat :  Ya  Tidak
Sianosis :  Ya  Tidak
CRT : < 2 detik > 2 detik
Akral :  Hangat  Dingin  S: 370C
CIRCULATION

Pendarahan :  Ya, Lokasi:  Tidak ada


Turgor :  Elastis  Lambat
Diaphoresis: Ya Tidak
Riwayat Kehilangan cairan berlebihan:  Diare  Muntah 
Luka bakar
Keluhan Lain: -
Masalah Keperawatan: -

Kesadaran:  Composmentis  Delirium  Somnolen 


DISABILITY

Apatis  Koma
GCS :  Eye :  Verbal :  Motorik :
Pupil :  Isokor  Unisokor  Pinpoint 
Medriasis
Refleks Cahaya:  Ada  Tidak Ada
Refleks fisiologis:  Patela (+/-)  Lain-lain … …

44
Refleks patologis :  Babinzky (+/-) Kernig (+/-)  Lain-
lain ... ..
4 4
Kekuatan Otot :4
4
Keluhan Lain :
Masalah Keperawatan:-

Deformitas :  Ya  Tidak  Lokasi ... ...


Contusio :  Ya  Tidak  Lokasi ... ...
Abrasi :  Ya  Tidak  Lokasi ... ...
EXPOSURE

Penetrasi :  Ya  Tidak  Lokasi ... ...


Laserasi :  Ya  Tidak  Lokasi ... ...
Edema :  Ya  Tidak  Lokasi ... ...
Luka Bakar :  Ya  Tidak  Lokasi ... ...
Grade : ... ... %
Jika ada luka/ vulnus, kaji:
Luas Luka : 5cm
Warna dasar luka: Merah
Kedalaman : -
Lain-lain : ... ...
Masalah Keperawatan: Resiko Infeksi

45
Monitoring Jantung :  Sinus Bradikardi  Sinus Takikardi
Saturasi O2 : … …%
Kateter Urine :  Ada  Tidak
FIVE INTERVENSI

Pemasangan NGT :  Ada, Warna Cairan Lambung : ... ... 


Tidak
Pemeriksaan Laboratorium : (terlampir)
Lain-lain: ... ...
Masalah Keperawatan:-

Nyeri :  Ada  Tidak


Problem :
Qualitas/ Quantitas :
GIVE COMFORT

Regio :
Skala :
Timing :
Lain-lain :-
Masalah Keperawatan:

Pemeriksaan SAMPLE/KOMPAK
HEAD TO TOE

(Fokus pemeriksaan pada daerah trauma/sesuai kasus non


trauma)
Kepala dan wajah :
a. Kepala: Nampak simetris dan tidak terdapat nyeri tekan
b. Wajah : tampak pucat
c. Mata: Terdapat hematome pada mata kiri, terdapat nyeri
tekan
d. Hidung: Tidak terdapat lesi, tidak terdapat nyeri tekan
e. Mulut : Tidak terdapat lesi, tidak terdapat nyeri
tekan,terdapat cairan muntahan dan bibir pucat
f. Telinga : Tidak terdapat lesi, tidak terdapat nyeri tekan
g. Leher : Tidak terdapat lesi, tidak terdapat nyeri tekan,
vena jugularis teraba
h. Dada : Tidak terdapat lesi, pergerakan dinding dada
simetris, tidak terdapat nyeri tekan, terdengar bunyi
sonor, bunyi jantung normal tidak terdapat bunyi nafas

46
tambahan
i. Abdomen dan Pinggang : Tidak terdapat lesi,
pergerakan dinding abdomen normal, bising usus
normal 17x/menit, tidak terdengar bunyi pekak pada
abdomen, tidak terdapat nyeri tekan pada daerah
abdomen dan pinggang
j. Pelvis dan Perineum : Tidak terkaji
k. Ekstremitas : Terdapat lesi pada ekstremitas atas
kanan dan kiri

Masalah Keperawatan: Kerusakakan integritas kulit

 Ada  Tidak
INSPEKSI BACK/ POSTERIOR SURFACE

Jejas :
Deformitas :  Ada  Tidak
Tenderness :  Ada  Tidak
Crepitasi :  Ada  Tidak
Laserasi :  Ada  Tidak
Lain-lain : ... ...
Masalah Keperawatan:

Data Tambahan :
Pengkajian Bio, Psiko, Sosio, Ekonomi, Spritual & Secondary
Survey

Pemeriksaan Penunjang :
Tanggal : 28 November 2018
Hasil pemeriksaan : EKG, Lab, CT Scan, Rontegn dll

Terapi Medis :
1. Dexketoprofen 1 amp (2ml)
2. Infus RL
3. KIE

47
4. Observasi keadaan pasienselama 6 jam

2. Analisa Data

Nama : kd putra No. RM : 80-8008


Umur : 20 tahun Diagnosa medis :Keracunan
Ruang rawat : IGD Alamat : Ds. Sari mekar

48
No Data Fokus Analisis MASALAH
Data Subyektif dan Problem dan KEPERAWATA
Obyektif etiologi N
(pathway)
1. Ds: Px Mengatakan sulit intoksikasi Ketidakefektifan
untuk bernafas. intektisida pola nafas
organofosfat
 Px mengatakan
merasa seperti hambatan aktifitas
tercekik. enzim
asetilkolinesterase
akumulasi
asetilkolin pada
Do: Perubahan kedalaman ujung saraf
pernapasan.
 Takipnea efek stimulasi
 Suara nafas abnormal nikotinik
muskarinik pada
system saraf pusat
agitasi , gagal
nafas

intoksitask
Ds: Px mengatakan intektisida Gangguan
2. Pertukaran Gas
penglihatannya kabur organofosfat
Do: p H darah arteri abnormal
hambatan aktivasi
 Dyspnea enzim
 Hipoksia asektilkolinestera
 Takikardi se
 Somnolen
akumlasi
asektilkolin pada
ujung saraf

efek stimulasi
nikotinik
muskarinik pada
system saraf
simpatis

takikardi,hiperten
si,midriasi

49
3. Diagnosa keperawatan
1). Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi, Ansietas.
2). Gangguan Pertukaran Gas berhubungan dengan Ventilasi-Perfusi.

4. Intervensi Keperawatan

Nama : kd putra No. RM :08-0080


Umur : 20tahun Diagnosa medis :keracunan
Ruang rawat : IGD Alamat : Ds. Sari mekar

No Tujuan dan Intervensi Rasional Paraf


Kriteria Hasil
Dx (NIC)
(NOC)
1. Setelah dilakukan  Posisikan klien u/ - Posisi setengah
asuhan memaksimalkan duduk dapat
keperawatan ventilasi. meringankan otot-
selama 1x6 jam  Identifikasi klien otot pernafasan
diharapkan pelunya - Mengetahui
menunjukkan jalan pemasanga alat tindakan
nafas teratur jaln nafas bantuan. selanjutnya yang
dengan kriteria  Monitor ttv untuk
hasil :  Berikan terapi mempermudah
oksigen sesuai klien bernafas
1. Menunjukk
an jalan indikasi
nafas yg - Menunjukkan
paten keadaan respon
2. Ttv dalam klien dan
rentang u/menentukan
normal tindakan
selanjutnya

- Mengurangi rasa
sakit yang
dirasakan

- Menunjukkan
2. keadaan/respon
Setelah dilakukan  Monitor ttv
asuhan klien dan untuk
 Atur posisi klien menentukan
keperawatan
menjadi semi- tindakan
selama 1x6 jam
fowler
diharapkan

50
No Tujuan dan Intervensi Rasional Paraf
Kriteria Hasil
Dx (NIC)
(NOC)
pertukaran gas  Monitor respirasi selanjutnya
klien kembali dan status O2 - Posisi semi-flower
normal dengan  Kolaborasi dapat
kriteria hasil : untukpemberian memaksimalkan
O2 sesuai ventilasi dan
- Ttv dalam
indikasi. meningkatkan
rentang kerja otot-otot
normal
- Tidak ada - Melihat
sianosis dan perkembangan
dispnea status O2

- Untuk
menentukan
kebutuhan O2
klien

5. Implementasi

Nama : kd putra No. RM : 80-0080


Umur : 20 tahun Diagnosa medis : keracunan
Ruang rawat : IGD Alamat : Ds. Sari mekar

51
No Tgl/
Implementasi Respon Paraf
jam

1 23 JAN  Posisikan klien untuk DS: -


2018 memaksimalkan ventilasi
DO:posisi setengah
12.00 duduk,pasien tampak
WITA bernafas lebih baik
 Identifikasi klien
perlunyapemasangan alat
jalan nafas bantuan. DS: -
DO: pasien tampak
tidak menggunakan
alat jalan nafas
 Monitor ttv bantuan

DS: -
DO: pasien nampak
lemas, TD: 130/80
mmHg
 Berikan terapi O2 sesuai N=97x/mnt,
indikasi RR=32x/mnt, S=37

DS: -
DO: pasien tampak
menggunakan O2.

2 23 JAN
2018
 Monitor ttv
12.00 DS: -
WITA DO: pasien nampak
lemas, TD: 130/80
mmHg
N=103x/mnt,
RR=22x/mnt, S=37
 Atur posisi pasien menjadi

52
No Tgl/
Implementasi Respon Paraf
jam

semi-flower DS: -
DO: pasien tampak
diposisikan setengah
duduk.
 Monitor respirasi dan status
O2
DS: -
DO: pasien tampak
menggunakan selang
O2

53
6. Evaluasi.

Nama : kd putra No. RM : 08-0080


Umur : 20 tahun Diagnosa medis : keracunan
Ruang rawat : IGD Alamat : Ds. Sari mekar

No Tgl / Diagnosa
Keperawatan Catatan Perkembangan Paraf
jam

1. 23/01/2 Intoktisikasi S: px mengatakan masih terasa


019 mual dan sedikit pusing,sesak
13.00 O: Px nampak tampak
wita menggunakan selang O2 dan
sedikit kebingungan
A: Masalah belum teratasi
P: Lanjutkan intervensi
- monitor ttv
- dan lanjutkan pemberian
obat dari dokter

3.2 Hasil dan pembahasan


Intoksikasi adalah masuknya zat racun kedalam tubuh baik melalui saluran pencernaan,
saluran nafas, atau melalui kulit atau mukosa yang menimbulkan gejala klinis. Racun adalah
zat yang ketika ditelan, terhisap, diabsorpsi, menempel pada kulit, atau dialirkan didalam
tubuh dalam jumlah yang relative kecil menyebabkan cedera dari tubuh dengan adanya reaksi
kimia. Reaksi kimia racun mengganggu sistem kardiovaskular, pernapasan sistem saraf pusat,
hati, pencernaan (GI), dan ginjal (Nurarif & Kusuma, 2013). Insektisida adalah bahan-bahan
kimia bersifat racun yang dipakai untuk membunuh serangga. Organofosfat adalah insektisida

54
yang paling toksik di antara jenis pestisida lainnya dan sering menyebabkan keracunan pada
manusia (Arisman, 2008).
Organofosfat adalah persenyawaan yang tergolong antikholinesterase. Dampak
organofosfat terhadap kesehatan bervariasi, antara lain tergantung dari golongan, intensitas
pemaparan, jalan masuk dan bentuk sediaan. Dalam tubuh manusia diproduksi asetikolin dan
enzim kholinesterase. Enzim kholinesterase berfungsi memecah asetilkolin menjadi kolin dan
asam asetat. Asetilkolin dikeluarkan oleh ujung-ujung syaraf ke ujung syaraf berikutnya,
kemudian diolah dalam Central nervous system (CNS) dan akhirnya terjadi gerakan-gerakan
tertentu yang dikoordinasikan oleh otak. Apabila tubuh terpapar organofosfat, maka
mekanisme kerja enzim kholinesterase terganggu, dengan akibat adanya ganguan pada sistem
syaraf. Ketika pestisida organofosfat memasuki tubuh manusia atau hewan, pestisida
menempel pada enzim kholinesterase. Karena kholinesterase tidak dapat memecahkan
asetilkholin, impuls syaraf mengalir terus (konstan) menyebabkan suatu twiching yang cepat
dari otot-otot dan akhirnya mengarah kepada kelumpuhan. Pada saat otot-otot pada sistem
pernafasan tidak berfungsi terjadilah kematian. Hadirnya pestisida golongan organofosfat di
dalam tubuh juga akan menghambat aktifitas enzim asetilkholinesterase, sehingga terjadi
akumulasi substrat (asetilkholin) pada sel efektor. Keadaan tersebut diatas akan menyebabkan
gangguan sistem syaraf, baik sistem saraf pusat, sistem saraf simpatis dan parasimpatis yang
berupa aktifitas kolinergik secara terus menerus akibat asetilkholin yang tidak dihidrolisis.
Gangguan ini selanjutnya akan dikenal sebagai tanda-tanda atau gejala keracunan (Prijanto,
2009).
Berdasarkan tinjauan teori yang ada, terdapat beberapa masalah keperawatan diantaranya
adalah sebagai berikut : Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi,
Ansietas. Gangguan Pertukaran Gas berhubungan dengan Ventilasi-Perfusi.
Dari hasil analisa kelompok didapatkan dua diagnosa keperawatan yang mengacu pada
kasus Tn.P yaitu Ketidakefektipan pola nafas berhubungan dengan Hiperventilasi,ansietas yg
ditandai dengan pasien tampak sesak dan kebingungan,RR ; 35X/menit,TD : 130/90mmHG ,
dan Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ventilasi perfusi yang ditandai dengan
pasien tampak pucat dan kesadaran menurun,TTV ; 130/90mmHG,nadi : 103x/menit,RR :
32x/menit.
Alasan kelompok mengangkat diagnosa tersebut karena pada kasus Tn.P
didapatkan pengkajian seperti berikut yakni px tampak lemas (TTV : TD : 110/80
mmHG,N:103x/menit, RR: 32x/menit dan GDS :49mg/dl)..

55
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 1x6 jam diharapkan
Ketidakefektipan pola nafas kembali normal dengan kriteria hasil: TD: 120/80 mmHg,N:
80x/mnt,RR: 22x/mnt, S: 360 C,Tekanan systole dan diastole dalam rentang normal,
Tidak ada tanda – tanda gangguan pernafasan. Intervensi yang di berikan yaitu :Monitor
TTV klien, Posisikan klien posisi semipowler, Berikan informasi keluarga klien tentang
penyakit klien, Kolaborasi dengan dokter tentang pemberian obat
antibiotic.Implementasi yang diberikan sesuai dengan intervensi. Evaluasi akhir pada
Tn.P setelah 6 jam adalah Tn.P mengatakan masihsesak dan sedikit pusing,masalah
belum teratasi lanjutkan intervensi,lakukan pemberian O2sesuai indikasi dan
kolaborasikan pada dokter dalam pemberian obat.

Setelah dilakukan tindakan 1x6 jam maka diharapkan pola napas klien kembali
efektif dengan criteria hasil : TD: 120/80 mmHg, N: 80x/mnt, RR: 22x/mnt, S: 36 0 C,
Tn.P mengatakan masi sesak dan blom bias berafas secara normal,masalah belum
teratasi,Lanjutkan intervensi : posisika pasiaen semi flower,berikan O2 sesuai indikasi
dan kolaborasikan dengan dokter dalam pemberian obat.

56
BAB IV

Penutup

A. Kesimpulan
Kasus gawat darurat yang memerlukan tindakan segera dimana pasien berada
dalam ancaman kematian krena adanya gangguan hemodinamik adalah trauma
abdomen di mana secara anatomi organ-organ yang berada di rongga abdomen adalah
organ-organ pencernaan. Selain trauma abdomen kasus-kasus kegawatdaruratan pada
system pencernaan salah satunya perdarahan saluran cerna baik saluran cerna atas
maupun bawah. Bila dibiarkan akan berakibat fatal bagi korban atau pasien bahkan
bisa menimbulkan kematian.
Selain trauma abdomen, keracunanan yang dapat menganggu kesehatan
bahkan dapat menyebabkan kematian akibat adanya reaksi kimia didalam tubuh. Oleh
karena itu kita perlu memahami penanganan kegawatdaruratan pada siste pencernaan
secara cepat, cermat dan tepat. Sehingga hal tersebut dapat kita hindari.
B. Saran.
1. Untuk pasien
Pasien diharapkan senantiasa menjaga kesehatan, menjaga pola makan serta
mengerti factor apa saja pencetus terjadinya gangguan system pencernaan. Klien
juga diharapkan mampu melakukan pencegahan dan pengobatan awal jika terjadi
hal tersebut.
2. Untuk perawat
Bagi teman sejawat agar lebih memahami konsep dasar penyakit pada system
pencernaan dan menerapkan askep secara komprehensif.
3. Untuk pendidikan
Untuk institusi diharapkan lebih banyak menyediakan literature terkait masalah
ini.

DAFTAR PUSTAKA

57
Eko,Wahyu. 2012. Penyakit Penyebab Kematian Tertinggi di Indonesia. diakses tanggal 25
pebruari 2018. Jam 19.30. http://www.kpindo.com/artike

Ns.Paula Krisanty dkk. 2009. Asuhan Keperawatan Gawat Darurat. Jakarta :


CV. Trans Info Media
Nurarif, H.N & Kusuma, H. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa
Medis & NANDA NIC-NOC. Mediaction Publishing. Yogyakarta.
Prijanto, B.T. 2009. Analisis Faktor Risiko Keracunan Pestisida Organofosfat Pada Keluarga
Petani Hortikultura Di Kecamatan Ngablak Kabupaten Magelang.
https://www.scribd.com/doc/231779366/Askep-Keracunan-Gadar, diakses tanggal : 04 Maret
2019, Pukul 20.15 WITA.
Wilkinson, Judith M. 2007. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC.

58

Anda mungkin juga menyukai