Pengertian Dan Sejarah Perkembangan Tasawuf
Pengertian Dan Sejarah Perkembangan Tasawuf
Nama Kelompok:
A. Pengertian Tasawuf
Tasawuf berasal dari istilah yang dikonotasikan dengan ahlu suffah, yang berarti
sekelompok orang pada masa Rasulullah SAW, yang hidupnya berdiam di serambi-serambi
masjid, mereka mengabdikan hidupnya untuk beribadah kepada Allah SWT. Tasawuf berasal
dari kata shafa. Kata shafa ini berbentuk fi’il mabni mahul sehingga menjadi isim multaq
dengan huruf ya’ nisbah, yang berarti nama bagi orang-orang yang “bersih” atau “suci”.
Istilah tasawuf berasal dari kata shaf. Makna shaf ini di nisbahkan kepada orang-orang yang
ketika sholat selalu berada di saf yang paling depan. Istilah tasawuf dinisbahkan kepada
orang-orang dari bani Shufah. Tasawuf dinisbahkan dengan kata istilah bahasa Grik atau
Yunani, yaitu saufi. Istilah ini disamakan maknanya dengan kata himah, yang berarti
kebijaksanaan. Orang yang berpendapat seperti ini adalah Mirkas. Yang kemudian diikuti
oleh Jurji Zaidan, dalam kitabnya Adab Al-Lughah Al’arabiyyah. Tasawuf juga berasal dari
kata shaufanah yaitu sebangsa buah-buahan kecil yang berbulu dan banyak tumbuh di padang
pasir di tanah Arab. Tasawuf juga berasal dari kata shuf yang berarti bulu domba.
Pengertian tasawuf secara istilah telah banyak diformulasikan oleh para ahli yang satu
sama lain berbeda sesuai dengan seleranya masing-masing. Al- Junaidi mengatakan bahwa
“Tasawuf adalah bahwa yang hak adalah yang mematikanmu, dan haklah yang
menghidupkanmu.” Dalam ungkapan lain Al-Juanaidi juga mengataka “Tasawuf adalah
beserta Allah tanpa adanaya penghubung.”. Amir bin Usman Al-Maliki mengatakan
“Tasawuf adalah seseorang hamba yang setiap waktunya mengambil waktu yang utama.”
Jadi, kalau kita simpulkan ilmu tasawuf adalah ilmu yang mempelajari usaha
membersihkandiri, berjuang memerangi hawa nafsu, mencari jalan kesucian dengan makrifat
menuju keabadian, saling mengingatkan antara manusia, serta berpegang teguh pada janji
Allah SWT, dan mengikuti syariat Rasulullah SAW.
B. Ciri umum Tasawuf
1. Memiliki moral
2. Pemenuhan fana (sirna) dalam realitas mutlak
3. Pengetahuan intuitif langsung
4. Timbulnya rasa kebahagiaan sebagai karunia Allah SW, dalam diri seorang sufi karena
tercapainya maqomat
5. Penggunaa symbol-simbol pengungkapan yang biasanya mengandung pengertian
harfiyah dan tersirat.
Tasawuf beresensi pasa hidup dan berkembang mulai dari bentuk hidup “kezuhudan”
(menjauhi kemewahan duniawi), dalam bentuk “tasawuf amali” kemudian “tasawuf falsafi”.
1. Landasan Al-Qur’an
Secara umum ajaran Islam mengatur kehidupan yang bersifat lahiriyah dan batiniah.
Pemahaman terhadap unsur kehidupan yang bersifat batiniah pada gilirannya
melahirkan tasawuf. Unsur kehidupan tasawuf ini mendapat perhatian yang cukup besar
dari sumber ajaran Islam, Al-Qur’an dan Sunnah serta praktik kehidupan Nabi
Muhammad SAW, dan para Sahabat.
Q. S Al-Ma’idah ayat 54
“Hai orang-orang yang beriman, Barangsiapa di antara kamu yang murtad dari
agamanya, Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai
mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang
yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan
Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia
Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas
(pemberian-Nya), lagi Maha mengetahui.”
Dalam Al-Qur’an, Allah SWT. Pun memerintahkan manusia agar senantiasa bertobat,
membersihkan diri, dan memohon ampunan kepada-Nya sehingga memperoleh cahaya
dari-Nya.
“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa
(taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-
kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-
sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang mukmin yang
bersama dia; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan
mereka, sambil mereka mengatakan: "Ya Rabb Kami, sempurnakanlah bagi Kami
cahaya Kami dan ampunilah kami; Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala
sesuatu."
Al-Qur’an memegaskan tentang pertemuan dengan Allah SWT. Dimana pun hamba-
hamba-Nya berasa. Hal ini sebagaimana ditegaskan-Nya:
“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka kemanapun kamu menghadap di
situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha
mengetahui.”
Bagi kaum sufi, ayat ini mengandung arti bahwa di mana saja Tuhan ada, di sana pula
Tuhan dapat dijumpai. Allah SWT. Pun akan memberikan cahaya kepada orang-orang
yang dikehendaki-Nya, sebagaimana firman-Nya:
“Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. perumpamaan cahaya Allah, adalah
seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. pelita itu di
dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang
dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang
tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang
minyaknya (saja) Hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. cahaya di
atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia
kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan
Allah Maha mengetahui segala sesuatu.”
Al-Qur’an pun mengingatkan agar tidak diperbudak oleh kehidupa duniawi dan
kemewahan harta benda sebagaimana firman Allah SWT:
“Hai manusia, Sesungguhnya janji Allah adalah benar, Maka sekali-kali janganlah
kehidupan dunia memperdayakan kamu dan sekali-kali janganlah syaitan yang pandai
menipu, memperdayakan kamu tentang Allah.”
Dalam pemahaman kalangan sufi, ayat diatas menjadi salah satu dasar untuk menjauhi
kehidupan dunia yang penuh dengan tipuan.
Demikian sebagian ayat Al-Qur’an yang dijadikan sebagai landasan kaum sufi dalam
melaksanakan praktik-praktik kesufiannya.
2. Landasan Hadist
Sejalan dengan apa yang disitir dalam Al-Qur’an, tasawuf juga dapat dilihat dalam
kerangka hadist. Dalam hadist Rasulullah SAW banyak dijumpai keterangan yang
berbicara tentang kehidupan rohaniah manusiawi.berikut ini beberapamatan hadist yang
dapat dipahami dengan pendekatan tasawuf.
Artinya:
“barang siapa yang mengenal dirinya sendiri, maka akan mengenal Tuhan-Nya,”
Hadist di atas melukiskan kedekatan hubungan antara Tuhan dan manusia, sekaligus
mengisyaratkan arti bahwa manusia dan Tuhan adalah satu. Oleh sebab itu, barang
siapa yang ingin mengenal Tuhan cukup mengenal dan merenungkan perihal dirinya
sendiri.
Dalam sebuah hadist qudsi, Rasulullah SAW menyabdakan pernyataan Allah SWT
sebagai berikut.
Artinya:
“aku adalah perbendaharaan yang tersembunyi maka aku menjadikan makhluk agar
mereka mengenal-Ku.”
Selanjutnya, dalam kehidupan Nabi Muhammad SAW juga terdapat petunjuk yang
menggambarkan bahwa beliau adalah seorang sufi. Nabi Muhammad SAW telah
melakukan pengasingan diri ke gua hira menjelang datang nya wahyu. Beliau menjauhi
pola kehidupan kebendaan ketika orang Arab tengah tenggelam di dalamnya, seperti
dalam praktik perdagangan yang didasarkan pada prinsip menghalalkan segala cara.
Dikalangan sahabat pun terdapat orang yang mengikuti praktik bertasawuf,
sebagaimana yang dipraktikan Nabi Muhammad SAW, Abu Bakar Ash-Shiddiq,
misalnya berkata: “ Aku mendapatkan kemuliaan dalam ketakwaan, ke fana’an dalam
keagungan, dan kerendahan hati.” Khalifah Umar bin Khattab pernah berkhotbah di
hadapan jamaah kaum muslim dalam keadaan berpakaian yang sangat sederhana.
Khalifah Ustman Bin Affan banyak menghabiskan waktu untuk beribadah dan
membaca Al-Qur’an.
Uraian dasar-dasar tasawuf ini, baik Al-Qur’an, Hadist, maupun teladan dari sahabat,
ternyata merupakan benih-benih tasawuf dalam kedudukannya sebagai ilmu tentang
tingkatan (maqamat) dan keadaan (ahwal). Dengan kata lain,ilmu tentang moral dan
tingkah laku manusia terdapat rujukannya dalam Al-Qur’an. Dari sini jelaslah bahwa
pertumbuhan pertamnya, tasawuf ternyata ditimba dari sumber Al-Qur’an.
D. Sejarah Tasawuf
1
Ahmad Bangun Nasution, Rayani Hanun Siregar, Akhlak Tasawuf (Depok : PT. RAJAGRAFINDO
PERSADA, 2013), hal. 4 - 5
1. Faktor Eksternal
Faktor eksternal antara lain :
a. Tasawuf lahir karena paham Kristen yang menjauhi dunia dan hidup mengasingkan
diri dari biara – biara. Sikap hidup yang menjauhi dunia dan keramaian dunia ini
memang terlihat jelas dalam perilaku para sufi dengan paham zuhut yang mereka
anut.
b. Tasawuf lahir karena pengaruh filsafat phytagoras yang berpendapat bahwa roh
manusia kekal dan berada di dunia sebagai orang asing
c. Munculnya tasawuf dalam islam sebagai pengaruh dari filsafat emanasi Plotinus
yang membawa paham wujud memancar dari zat Tuhan. Masuknya ke dalam materi
menyebabkan roh menjadi kotor. Untuk kembali kepada Tuhan roh harus
dibersihkan terlebih dahulu dengan sikap meninggalkan dunia dan mendekatkan diri
kepada Tuhan seerat mungkin
d. Tasawuf lahir karena pengaruh nirwana. Menurut ajaran Buddha bahwa seseorang
meninggalkan dunia dan melakukan kontemplasi.
Kebenaran teori – teori yang menitikberatkan faktor ekstern ini memang tidak dapat
dipastikan. Semua serba mungkin karena taswuf lahir pada saat umat islam telah
mempunyai kontak dengan dunia luar dan agama lain.
2. Faktor Internal
Faktor internal adalah Al- Qur’an, Al-Hadist, dan peilaku Nabi Muhammad SAW.
Salah satu contoh ayat Al-Qur’an yang berisi perintah tasawuf adalah :
Artinya :
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Bangun Nasution, 2013. Rayani Hanun Siregar, Akhlak Tasawuf (Depok : PT. Raja
Gravindo Persada.