PENGALAMAN BELAJAR
Pengalaman belajar yang dikembangkan dalam kegiatan perkuliahan ini meliputi
kegiatan penalaran berbagai hal tentang Filsafat Pendidikan yang dilakukan melalui kegiatan
tatap muka di kelas berupa kegiatan ceramah dan diskusi kelompok, kegiatan terstruktur yang
dilakukan melalui resitasi melalui perbaikan makalah individu.
Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed. M. Naquib al-Attas, terj.
Hamid Fahmi, dkk., Bandung: 2003.
Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1998.
Sumber-Sumber Sekunder:
Ahmed, Akbar S. Posmodernisme Bahaya dan Harapan Bagi Islam, Bandung: Mizan, 1993.
Filsafat Pendidikan Islam
A. Pengertian Filsafat Pendidikan Islam
Filsafat secara harfiah berasal kata Philo berarti cinta, Sophos berarti ilmu atau hikmah, jadi
filsafat secara istilah berarti cinta terhadap ilmu atau hikmah. Pengertian dari teori lain
menyatakan kata Arab falsafah dari bahasa Yunani, philosophia: philos berarti cinta (loving),
Sophia berarti pengetahuan atau hikmah (wisdom), jadi Philosophia berarti cinta kepada
kebijaksanaan atau cinta pada kebenaran. Pelaku filsafat berarti filosof, berarti: a lover of
wisdom. Orang berfilsafat dapat dikatakan sebagai pelaku aktifitas yang menempatkan
pengetahuan atau kebijaksanaan sebagai sasaran utamanya. Ariestoteles (filosof Yunani
kuno) mengatakan filsafat memperhatikan seluruh pengetahuan, kadang-kadang disamakan
dengan pengetahuan tentang wujud (ontologi). Adapun pengertian filsafat mengalami
perkembangan sesuai era yang berkembang pula. Pada abad modern (Herbert) filsafat berarti
suatu pekerjaan yang timbul dari pemikiran. Terbagi atas 3 bagian: logika, metafisika dan
estetika (termasuk di dalamnya etika).
Pendidikan secara harfiah berasal kata didik, yang mendapat awalan pen akhiran an. berarti
perbuatan (hal, cara dan sebagainya) mendidik. Kata lain ditemukan peng(ajar)an berarti cara
(perbuatan dan sebagainya) mengajar atau mengejarkan. Kata lain yang serumpun adalah
mengajar berarti memberi pengetahuan atau pelajaran. Kata pendidikan berarti education
(inggris), kata pengajaran berarti teaching (inggris). Pengertian dalam bahasa Arab kata
pendidikan (Tarbiyah) – pengajaran (Ta’lim) yang berasal dari ‘allama dan rabba. Dalam hal
ini kata tarbiyyah lebih luas konotasinya yang berarti memelihara, membesarkan, medidik
sekaligus bermakna mengajar (‘allama). Terdapat pula kata ta’dib yang ada hubungannya
dengan kata adab yang berarti susunan.
Dari segi bahasa Arab kata Islam dari salima (kemudian menjadi aslama), kata Islam berasal
dari isim masdar (infinitif) yang berarti berserah diri, selamat sentosa atau memelihara diri
dalam keadaan selamat. Yakni dengan sikap seseorang untuk taat, patuh, tunduk dengan
ikhlas dan berserah diri kepada Allah SWT; sebagaimana seseorang bias disebut Muslim.
Selanjutnya Allah SWT memakai kata Islam sebagai nama salah satu agama yang ajaran-
ajarannya diwahyukan-Nya kepada manusia melalui Muhammad SAW (sebagai Rasul-Nya).
Sebagai agama Islam diakui memiliki ajaran yang komprehensif (al-Qur’an) dibandingkan
dengan agama-agama lain yang pernah diturunkan Tuhan sebelumnya.
Setelah dijelaskan satu persatu yang tersebut di atas, diyakini belum dijelaskan secara lebih
khusus mengenai apa itu filsafat pendidikan Islam?
Pendapat para ahli yang mencoba merumuskan pengertian filsafat pendidikan Islam,
Muzayyin Arifin mengatakan pada hakikatnya adalah konsep berpikir tentang kependidikan
yang bersumberkan atau berlandaskan pada ajaran-ajaran agama Islam tentang hakekat
kemampuan manusia untuk dapat dibina dan dikembangkan serta dibimbing menjadi manusia
(Muslim) yang seluruh pribadinya dijiwai oleh ajaran Islam. Secara sistematikanya
menyangkut subyek-obyek pendidikan, kurikulum, metode, lingkungan, guru dan sebagainya.
Mengenai dasar-dasar filsafat yang meliputi pemikiran radikal dan universal menurut Ahmad
D Marimba mengatakan bahwa filsafat pendidikan Islam bukanlah filsafat pendidikan tanpa
batas. Adapun komentar mengenai radikal dan universal bukan berarti tanpa batas, tidak ada
di dunia ini yang disebut tanpa batas, dan bukankah dengan menyatakan sesuatu itu tanpa
batas, kita telah membatasi sesuatu itu. Dalam artian, apabila seorang Islam yang telah
meyakini isi keimanannya, akan mengetahui di mana batas-batas pikiran (akal) dapat
dipergunakan.
Dari uraian di atas kiranya dapat kita ketahui bahwa filsafat pendidikan Islam merupakan
suatu kajian secara filosofis mengenai berbagai masalah yang terdapat dalam kegiatan
pendidikan yang didasarkan pada al-Qur’an dan al-Hadits sebagai sumber primer, serta
pendapat para ahli (khususnya para filosof Muslim) sebagai sumber skunder.
Secara spesifik ruang lingkup yang mengindikasikan bahwa filsafat pendidikan Islam adalah
sebagai sebuah disiplin ilmu. Pendapat Muzayyin Arifin yang berkenaan dengan hal ini
menyatakan bahwa mempelajari filsafat pendidikan Islam berarti memasuki arena pemikiran
yang serba mendasar, sistematik, terpadu, logis dan menyeluruh (universal) tentang
pendidikan, yang tidak hanya dilatar belakangi oleh pengetahuan agama Islam saja, juga
berdasarkan mempelajari ilmu-ilmu lain yang relevan. Konsep-konsep tersebut mulai dari
perumusan tujuan pendidikan, kurikulum, guru, metode, lingkungan dan seterusnya.
Semestinya, bahwa setiap ilmu mempunyai kegunaan, menurut Omar Mohammad al-Toumy
al-Syaibani misalnya mengemukakan tiga manfaat dari mempelajari filsafat pendidikan
Islam, antaralain:
(1) Filsafat pendidikan itu dapat menolong para perancang pendidikan dan yang
melaksanakannya dalam suatu negara untuk membentuk pemikiran sehat terhadap proses
pendidikan;
(2) Filsafat pendidikan dapat menjadi asas yang terbaik untuk penilaian pendidikan dalam arti
menyeluruh;dan, (3) Filsafat pendidikan Islam akan menolong dalam memberikan
pendalaman pikiran bagi factor-faktor spiritual, kebudayaan, social, ekonomi dan politik di
negara kita.
Selain kegunaan yang tersebut di atas filsafat pendidikan Islam juga sebagai proses kritik-
kritik tentang metode –metode yang digunakan dalam proses pendidikan Islam, sekaligus
memberikan arahan mendasar tentang bagaimana metode tersebut harus didayagunakan atau
diciptakan agar efektif untuk mencapai tujuan. Lebih lanjut Muzayyin Arifin menyimpulkan
bahwa filsafat pendidikan Islam harus bertugas dalam 3 dimensi, yakni:
(1) Memberikan landasan dan sekaligus mengarahkan kepada proses pelaksanaan pendidikan
yang berdasarkan ajaran Islam; (2) Melakukan kritik dan koreksi terhadap proses pelaksanaan
tersebut; dan, (3) Melakukan evaluasi terhadap metode dari proses pendidikan tersebut.
Prihal yang menyangkut metode pengembangan filsafat pendidikan Islam yang berhubungan
erat dengan akselerasi penunjuk operasional dan teknis mengembangkan ilmu, yang
semestinya didukung dengan penguasaan metode baik secara teoritis maupun praktis untuk
tampil sebagai mujtahid atau pemikir dan keilmuan. Asumsi yang terbangun bahwasannya
karya Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibani (Falsafah Pendidikan Islam) yang tidak
membahas metode tersebut. Apalagi mencukupkan sumber analisa hanya pada Plato dan
Aritoteles-isme, padahal sefaham dengan para filosof Muslim (al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina,
Ibn Rusyd dan yang sealiran dengannya). Kuat kemungkinannya ia terperangkap oleh missi
dan strategi Barat yang mensupremasi dalam segala bidang.
Tentang metode pengembangan filsafat pendidikan Islam paling tidak bersumber pada 4 hal,
yakni:
(1) Bahan tertulis (tekstual) al-Qur’an, al-Hadits dan pendapat pendahulu yang baik “salafus
saleh”– bahan empiris, yakni dalam praktek kependidikan (kontekstual);
(2) Metode pencarian bahan; khusus untuk bahan dari al-Qur’an dan al-Hadits bisa melalui
“Mu’jam al-Mufahros li Alfazh al-Karim” karya Muhammad Fuad Abd al-Baqi atau
“Mu’jam al-Mufahros li Alfazh al-Hadits” karya Weinsink, dan bahan teoritis kepustakaan
serta bahan teoritis lapangan;
(3) Metode pembahasan (penyajian); bisa dengan cara berpikir yang menganalisa fakta-fakta
yang bersifat khusus terlebihdahulu selanjutnya dipakai untuk bahan penarikan kesimpulan
yang bersifat umum (induktif); atau cara berpikir dengan menggunakan premis-premis dari
fakta yang bersifat umum menuju ke arah yang bersifat khusus (deduksi); dan
(4) Pendekatan (approach); pendekatan sangat diperlukan dalam sebuah analisa, yang bisa
dikategorikan sebagai cara pandang (paradigm) yang akan digunakan untuk menjelaskan
suatu fenomena.
Adapun yang dikembangkan dan dikaji masalah filsafat pendidikan Islam, maka pendekatan
yang harus digunakan adalah perpaduan dari ketiga disiplin ilmu tersebut, yaitu: filsafat, ilmu
pendidikan dan ilmu ke islam an. sebagaimana uraian terdahulu, yakni sebuah kajian tentang
pendidikan yang radikal, logis, sistematis dan universal. Namun cirri-ciri dari berfikir
filosofis ini dibatasi dengan ketentuan ajaran Islam.
BAB I
Islam
dan al-Hadits. Filsafa pendidikan Islam dapat pula dikatakan suatu upaya
berikut :
2. Menjadi asas yang terbaik untuk penilaian pendidikan dalam arti yang
menyeluruh.
pendidikan tersebut.
praktek kependidikan.
BAB II
yang diihatnya, ia dapat pula mengetahui apa yang benar dan apa yang
segenap daya dan potensi yang dimilikinya, juga sekaligus sebagai ‘abd,
yaitu seluruh usaha dan aktivitasnya itu harus dilaksanakan dalam rangka
BAB III
Mengakhiri usaha. Sesuatu usaha yang tidak mempunyai tujuan tidaklah
Memberi nilai pada usaha itu. Ada usaha-usaha yang tujuannya lebih
akal.
tersebut.
5. Tujuan setiap pokok bahasan yang terdapat dalam setiap bidang studi.
6. Tujuan setiap sub pokok bahasan yang terdapat dalam setiap pokok
bahasan.
BAB IV
3. Guru juga menjadi model sebagai pribadi, apakah ia berdisiplin, cermat
5. Seorang guru harus dapat menempatkan dirinya sebagai seorang bapak
6. Seorang guru harus mengetahui bakat, tabiat, dan watak murid-
muridnya.
7. Seorang guru harus menguasai bidang studi yang akan diajarkannya.
BAB V
1. Seorang anak didik harus membersihkan hatinya dari kotoran dan
bersih.
2. Seorang anak didik harus mempunyai tujuan menuntut ilmu dalam
3. Seorang pelajar harus tabah dalam memperoleh ilmu pengetahuan dbn
4. Seorang anak didik wajib menghormati guru dan berusaha agar
bernacam-macam cara.
BAB VI
islam. Selain itu motode dapat pula membawa arti sebagai cara untuk
jalan atau cara yang sebaik mungkin bagi pelaksanaan operasional dari
suatu tujuan kepada obyek sasaran dengan cara yang sesuai dengan
diskusi.
BAB VII
BAB VIII
pendidikan, kebudayaan, sosial, olah raga, dan kesenian baik yang berada
1. Bagian yang berkenaan dengan tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh
3. Bagian yang berisi metode atau cara menyampaikan mata pelajaran
tersebut.
4. Bagian yang berisi metode atau cara melakukan penilaian dan
pelajaran itu disusun, dan bagaimana penentuan luas dan urutan mata
5. Kurikulum yang disusun selalu disesuaikan dengan minat dan bakat anak
didik.
dan nilai-nilainya.
kandungan kurikulum.
kurikulum.
4. Prinsip perkaitan antara bakat, minat, kemampuan-kemampuan, dan
kebutuhan pelajar.
BAB IX
Islam
pendidik.
2. Sebagai umpan balik yang berguna bagi tindakan berikutnya di mana
segi-segi yang sudah dapat dicapai lebih ditingkatkan lagi dan segi-segi
belajar mengajar.
4. Untuk memberikan umpan balik kepada guru sebagai dasar untuk
bagi murid.
6. Untuk menempatkan murid dalam situasi belajar mengajar yang tepat.
7. Untuk mengenal latar belakang murid yang mengalami kesulitan belajar.
berikut:
kategori.
penempatan.
4. Pemberian nilai hendaknya merupakan bagian integral dari proses belajar
mengajar.
prinsip-prinsip berikut:
teratur.
1. Segi tingkah laku, yang menyangkut sikap, minat, perhatian, ketrampilan
2. Segi pendidikan, penguasaan materi pelajaran yang diberikan oleh guru
penafsiran data.
BAB X
dan Khurasan yang pada waktu itu kedua kota tersebut dikenal sebagai
dan pemikirannya.
3. Pendidik
4. Murid
dan bersikap rendah hati, Merasa satu bangunan dengan murid lainnya,
5. Kurikulum
a. Ilmu yang tercela. Ilmu ini tidak ada manfaatnya bagi manusia di dunia
ataupun akhiratnya.
b. Ilmu yang terpuji. Misalnya ilmu tauhid dan ilmu agama.
c. Ilmu yang terpuji pada taraf tertentu, yang tidak boleh diperdalam,
karena ilmu ini dapat membawa kepada kegoncangan iman dan ilhad
BAB XI
Tunisia tanggal 27 mei 1332. Ayahnya bernama Abdur Rahman Abu Zayd
filsafatnya.
b. Ilmu naqli yaitu ilmu yang diambil dari kitab suci dan sunnah Nabi.
c. Ilmu ‘aqli yaitu ilmu yang dapat menunjukkan manusia dengan daya pikir
setapak dan sedikit demi sedikit. Ibn Khaldun menganjurkan agar para
4. Spesialisasi
Keahlian itu adalah sifat atau corak jiwa yang tidak dapat tumbuh
BAB XII
oleh kelompok masyarakat yang terdiri dari para filosof. Organisasi yang
dari sesuatu yang dapat diketahui di alam ini. Dengan kata lain ilmu yang
BAB XIII
dua tahun di sekolah negeri dan dua tahun lagi belajar agama pada
pendidikan yang pada masa itu belum lazim digunakan, yaitu model
BAB XIV
Sejak kecil Ahmad Surkati telah diajar mengaji dan dididik untuk
menjadi seorang penghafal al-Qur’an dan hal itu dapat dia lakukan pada
(Tiga Persoalan), Hak Suami Istri, dan Tawjih al-Qur’an lil Adabil al-Qur’an.
minat dan bakat serta tingkat kemampuan intelegensi para siswa yang
diajarkan.
BAB XV
Lahir pada tahun 1868 sebagai anak salah seorang dari 12 kitab
tahun.
pendidikan Islam.
bervariasi.
To: temenku Yunus & Aan Lutfi STAI Pati, Fakultas Tarbiyah Semester IV, kalian bisa ambil
materi ini buat presentasi bsok ya..
A. PENDAHULUAN
Pendidikan Islam merupakan pendidikan yang berlandaskan atas dasar-dasar ajaran Islam,
yakni Al Qur'an dan Hadits sebagai pedoman hidup bagi seluruh umat Islam. Melalui pendidikan
inilah, kita dapat memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran Islam sesuai dengan ketentuan
Al-Qur’an dan As-sunnah. Sehubungan dengan hal tersebut, tingkat pemahaman, penghayatan, dan
pengamalan kita terhadap ajaran Islam sangat tergantung pada tingkat kualitas pendidikan Islam
yang kita terima.
Menyikapi hal tersebut, Filsafat pendidikan Islam, berupaya mencari kebenaran sedalam-
dalamnya, berfikir holistik, radikal dalam pemecahan problem filosofis pendidikan Islam, pembentukan
teori–teori baru ataupun pembaharuan dalam pelaksanaan pendidikan Islam yang sesuai dengan
tuntutan perkembangan zaman. Berdasarkan sumber-sumber yang shohih yaitu Al-Qur’an dan hadist.
Kajian Filsafat pendidikan Islam dari segi ontologi, epistemologi, dan aksiologi memberikan manfaat
besar bagi kita sebagai calon pendidik. Ontologi membahas tentang hakekat pendidikan Islam,
Epistemologi membahas sumber-sumber pendidikan Islam, serta aksiologi mengupas nilai-nilai
pendidikan Islam. Selengkapnya akan dibahas dalam makalah ini.
B. PERMASALAHAN
C. PEMBAHASAN
Ontologi pendidikan Islam membahas hakikat substansi dan pola organisasi pendidikan Islam.
Secara ontologis, Pendidikan Islam adalah hakikat dari kehidupan manusia sebagai makhluk berakal
dan berfikir. Jika manusia bukan makluk berfikir, tidak ada pendidikan. Selanjutnya pendidikan
sebagai usaha pengembangan diri manusia, dijadikan alat untuk mendidik.[1]
Kajian ontologi ini tidak dapat dipisahkan dengan Sang Pencipta. Allah telah membekalkan
beberapa potensi kepada kita untuk berfikir. Pertanyaan selanjutnya apakah sebenarnya hakekat
pendidikan Islam itu?
a. Ta’lim, kata ini telah digunakan sejak periode awal pelaksanaan pendidikan Islam. Mengacu pada
pengetahuan, berupa pengenalan dan pemahaman terhadap segenap nama-nama atau benda
ciptaan Allah. Rasyid Ridha, mengartikan ta’lim sebagai proses transmisi berbagai Ilmu pengetahuan
pada jiwa individu tanpa adanya batasan dan ketentuan tertentu.[2]
b. Tarbiyah, kata ini berasal dari kata Rabb, mengandung arti memelihara, membesarkan dan
mendidik yang kedalamannya sudah termasuk makna mengajar.[3]
c. Ta’dib, Syed Muhammad Naquib al-Attas mengungkapkan istilah yang paling tepat untuk
menunjukan pendidikan Islam adalah al-Ta’dib, kata ini berarti pengenalalan dan pengakuan yang
secara berangsur-angsur ditanamkan ke dalam diri manusia (peserta didik) tentang tempat-tempat
yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan.[4]
Dari ketiga kata kunci di atas, berbagai pakar telah merumuskan tentang pendidikan Islam,
sebagai berikut:
1. Ahmad. D. Marimba mengatakan bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani dan rohani
menuju terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam.[5]
2. Saefuddin Anshari mengatakan pendidikan Islam adalah proses bimbingan (pimpinan, tuntutan,
susulan) oleh subjek didik terhadap perkembangan jiwa (pikiran, perasaan dan kemauan, intuisi, dsb).
[6]
3. M. Yusuf al Qardawi mengatakan bahwa pendidikan Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya
akal dan hatinya, rohani dan jasmaninya, akhlak dan keterampilannya.[7]
4. Ahmad Tafsir mendefinisikan pendidikan Islam sebagai bimbingan yang diberikan oleh seseorang
agar ia berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam.[8]
Dari pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam adalah suatu sistem yang
dapat mengarahkan kehidupan peserta didik sesuai dengan ideologi Islam.
Dengan demikian secara ontologis pemahaman terhadap pendidikan Islam tidak dapat
dipisahkan dengan Allah selaku Pencipta manusia. Karena pendidikan Islam ditujukan pada
terbentuknya kepribadian Muslim yang dapat memenuhi hakikat penciptaannya, yakni menjadi
Pengabdi Allah.
Epistemologi pendidikan Islam membahas seluk beluk dan sumber-sumber pendidikan Islam.
Pendidikan Islam bersumber dari Allah SWT, Yang Maha Mengetahui Sesuatu. Hukum-hukum yang
diciptakan Allahpun dapat dipahami dengan berbagai metode dan pendekatan. Pendidikan Islam
merujuk pada nilai-nilai Al-Qur’an yang universal dan abadi. Serta didukung oleh hadist Nabi
Muhammad SAW.
Ketiga kata kunci tentang Pendidikan Islam di atas disebutkan dalam Al-Qur’an dan hadist
berikut ini:
“Wahai Tuhanku kasihilah mereka berdua, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku di masa
kecil.”(Al-Isra’ ayat 24).
Hadist Nabi Muhammad SAW “Aku dididik oleh Tuhanku (addabani Rabbi), maka dia memberikan
kepadaku sebaik-baik pendidikan (fa ahsana ta’dibi).
Selanjutnya objek material Filsafat Pendidikan Islam yaitu segala hal yang berkaitan dengan
usaha manusia untuk menciptakan kondisi yang memberi peluang berkembangnya kecerdasan dan
kepribadian melalui pendidikan. Objek formal: Usaha yang rasional, mendasar, general, dan
sistematis dalam mengembangkan kecerdasan dan kepribadian melalui pendidikan.
Untuk lebih jelasnya, objek materi ilmu pendidikan Islam yaitu anak didik. Sedangkan objek
formalnya ialah perbuatan mendidik yang membawa anak, ke arah tujuan pendidikan Islam. Sehingga
secara epistemologi, Kurikulum pendidikan Islam harus merujuk pada Al-Qur’an dan hadist. Antara
lain sebagai berikut:
3. Memelihara, mendidik, dan membimbing anak sebagai tanggung jawab terhadap amanat Allah.
4. Menjauhi perbuatan keji dalam bentuk sikap lahir dan batin
Sumber-sumber yang menunjukkan bahwa manusia sebagai makhluk yang dapat menerima
pelajaran dari Tuhan tentang apa yang tidak diketahuinya ada pada surat Al-Alaq, 96: ayat 1-5:
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia
dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia)
dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.”
Manusia sebagai makhluk yang memiliki kemampuan mengatur waktu (QS. Al-Ashr, 103 :1-3,
“Demi masa, Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang
beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan
nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.
Manusia mendapatkan bagian dari apa yang telah dikerjakannya, (QS an-Najm, 53-39). “Dan
bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya”
Manusia sebagai makhluk yang memiliki keterikatan dengan moral atau sopan santun (QS. Al
Ankabut 29:8).
“Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu-bapaknya. Dan jika keduanya
memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang
itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya. Hanya kepada-Ku-lah kembalimu, lalu Aku kabarkan
kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.”
Dari sebagian ayat di atas, jelaslah bahwa sumber-sumber pendidikan Islam berasal dari Allah
SWT, Sang Maha Pencipta. Al-Qur’an sebagai pedoman hidup manusia.
Ajaran Islam merupakan perangkat sistem nilai yaitu pedoman hidup secara Islami, sesuai
dengan tuntunan Allah SWT. Aksiologi Pendidikan Islam berkaitan dengan nilai-nilai, tujuan, dan
target yang akan dicapai dalam pendidikan Islam. Nilai-nilai tersebut harus dimuat dalam kurikulum
pendidikan Islam, diantaranya:
2. Mengandung upaya meningkatkan kesejahteraan hidup manusia dibumi dan kebahagiaan di
akherat.
4. Mengandung nilai yang dapat memadukan antara kepentingan kehidupan dunia dan akhirat.
Menurut Abuddin Nata tujuan pendidikan Islam, untuk mewujudkan manusia yang shaleh,
taat beribadah dan gemar beramal untuk tujuan akherat.[9]
Muhammad Athiyah al-Abrasy mengatakan “the fist and highest goal of Islamic is moral
refinment and spiritual, training” (tujuan pertama dan tertinggi dari pendidikan Islam adalah kehalusan
budi pekerti dan pendidikan jiwa)”[10]
Menurut Abdul Fatah Jalal, tujuan umum pendidikan Islam ialah terwujudnya manusia
sebagai hamba Allah. Jadi menurut Islam, pendidikan haruslah menjadikan seluruh manusia yang
menghambakan kepada Allah. Yang dimaksud menghambakan diri ialah beribadah kepada Allah.
Islam menghendaki agar manusia dididik supaya ia mampu merealisasikan tujuan hidupnya
sebagaimana yang telah digariskan oleh Allah. Tujuan hidup menusia itu menurut Allah ialah
beribadah kepada Allah. SeDalam surat Ad Dzariyat ayat 56: yang artinya: ”Dan aku tidak
menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”.
Dari beberapa pendapat di atas, dapat kami simpulkan tujuan utama pendidikan Islam adalah
untuk mendapatkan Ridha Allah SWT. Dengan pendidikan Islam, diharapkan lahir individu-indidivu
yang baik, bermoral, berkualitas, sehingga bermanfaat bagi diri, keluaga, masyarakat, negara dan
ummat manusia secara keseluruhan. Meraih kebahagiaan dunia dan akherat.
Beberapa indikator dari tercapainya tujuan pendidikan islam dapat dibagi menjadi tiga tujuan
mendasar, yaitu:
1. Tercapainya anak didik yang cerdas. Ciri-cirinya adalah memiliki tingkat kecerdasan
intelektualitas yang tinggi sehingga mampu menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh
dirinya sendiri maupun membantu menyelesaikan masalah orang lain yang
membutuhkannya.
2. Tercapainya anak didik yang memiliki kesabaran dan kesalehan emosional, sehingga
tercermin dalam kedewasaan menghadapi masalah di kehidupannya.
3. Tercapainya anak didik yang memiliki kesalehan spiritual, yaitu menjalankan perintah Allah
dan Rasulullah SAW. Dengan melaksanakan rukun Islam yang lima dan mengejawantahkan
dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya menjalankan shalat lima waktu, menjalankan ibadah
puasa, menunaikan zakat, dan menunaikan haji ke Baitullah.
D. KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas dapat kami peroleh kesimpulan:
1. Ontologi pendidikan Islam membahas hakekat tentang pendidikan Islam. Dirumuskan dalam tiga
konsep yaitu ta’lim, tarbiyah, dan ta’dib. Pendidikan Islam merupakan suatu sistem yang dapat
mengarahkan kehidupan peserta didik sesuai dengan ideologi Islam.
2. Epistemologi pendidikan Islam membahas seluk beluk dan sumber-sumber pendidikan Islam.
Pendidikan Islam bersumber dari Allah SWT, yaitu Al-Qur’an dan hadist.
3. Aksiologi Pendidikan Islam berkaitan dengan nilai-nilai, tujuan, dan target yang akan dicapai dalam
pendidikan Islam. tujuan utama pendidikan Islam adalah untuk mendapatkan Ridha Allah SWT.
Dengan pendidikan Islam, diharapkan lahir individu-indidivu yang baik, bermoral, berkualitas,
sehingga bermanfaat bagi diri, keluaga, masyarakat, negara dan ummat manusia secara
keseluruhan. Meraih kebahagiaan dunia dan akherat.
Adapun tata cara, teknik, atau prosedur mendapatkan ilmu dan keilmuan adalah dengan
metode non- ilmiah, metode ilmiah, dan metode problem solving.
a. Pengetahuan yang diperoleh dengan metode non- ilmiah adalah pengetahuan yang diperoleh
dengan cara penemuan secara kebetulan; untung-untungan (trial and error); akal sehat (common
sense); prasangka; otoritas (kewibawaan); dan pengalaman biasa.
b. Metode ilmiah adalah cara memperoleh pengetahuan melalui pendekatan deduktif dan induktif.
c. Sedangkan metode problem solving adalah memecahkan masalah dengan cara mengidentifikasi
permasalahan, merumuskan hipotesis; mengumpulkan data; mengorganisasikan dan menganalisis
data; menyimpulkan dan conclusion; melakukan verifikasi, yakni pengujian hipotesis. Tujuan
utamanya adalah untuk menemukan teoriteori, prinsip-prinsip, generalisasi dan hukum-hukum.
Temuan itu dapat dipakai sebagai basis, bingkai atau kerangka pemikiran untuk menerangkan,
mendeskripsikan, mengontrol, mengantisipasi atau meramalkan sesuatu kejadian secara tepat.[6]
[1] Mohammad Adib. Filsafat Ilmu: Ontologi, Epitemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan.
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hlm. 69
[2] Ibid.
[4] Ahmad Syari’i. Filsafat Pendidikan Islam. (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005), hlm. 123
[7] http://fitrianahadi.blogspot.com/2015/02/epistemologi-ilmu-pendidikan-islam.html.
diunduh pada Senin,16 Maret 2015/10.00
[9] Muzayyin Arifin. Filsafat Pendidikan Islam. (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), hlm. 8
[10] Ilyas Supena. Desain Ilmu -ilmu Keislaman: dalam Pemikiran Hermeneutika Fazlur Rahman.
(Semarang: Walisongo Press, 2008), hlm. 151.
A. Pengertian
2. Segala sesuatu dalam alam semesta hanyalah hasil peristiwa kebetulan dan
bukan produk rancangan, rencana, atau visi yang di-sengaja.
3. Alam semesta dan semua yang ada memiliki kesudahan atau akhir yang
pasti (hari akhir /kiamat)8
1. Alam semesta dan lingkungan pada khususnya adalah anugrah Tuhan yang
harus dijaga dan dilestarikan, tidak boleh di rusak
4. Al Anbiya : 33 9. Al Baqarah : 30
5. Luqman : 10
Rujukan :
Home
Daftar Isi
Agama
Umum
Artikel
Tentang Saya
AGAMA
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan, orang mulai melakukan pengamatan lebih
rasional terhadap alam semesta. Astronomi berkembang, dari pengamatan bintang dan planet
melebar ke studi struktur dan evolusi alam semesta. Lahirlah Kosmologi, sains yang mencari
pemahaman fundamental alam semestaa. Menarik jika kita melihat hubungan Sains dengan Teologi.
Kosmologi Islam menjadi contoh yang sangat bagus untuk menggambarkan hubungan harmonis di
antara kedanya: bagaimana sains membantu memahami al-Quran. Tulisan ini akan menyajikan
bagaimana Islam mengajarkan Kosmologi pada umat manusia dari literatur paling utama: al-Quran.
Dan kemudian kita akan melihat bagaimana sains membahas dalam kasus yang sama. Bukan
bermaksud untuk mencocok-cocokkan agama dengan sains atau sebaliknya. Sebagai muslim tentu
percaya al-Quran mutlak kebenarannya, walau mungkin kemampuan kita belum cukup memahami
maknanya. Sementara kebenaran sains itu relatif, sebuah teori (dalam sains) dianggap benar selama
tidak ada teori yang membuktikan itu salah. Teori yang dianggap benar sekarang bisa jadi usang 100
tahun lagi. Pemaparan literatur sains yang dilakukan adalah sejauh pemahaman sains itu sendiri dan
teknologi yang menyertainya. Pengamatan kita tentang alam semesta ini dalam kerangka
meningkatkan keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah. Yakni dengan menyaksikan tanda-tanda
kekuasaan dan kebesaran-Nya melalui ayat –ayat karuniyah-Nya yang terhampar luas di alam
semesta.
Tidak ada cabang dari sains yang memiliki hubungan secara langsung dengan kepercayaan
agama selain kosmologi—ilmu yang berhubungan dengan asal-usul dan pengembangan alam
semesta. Namun, adanya hubungan langsung itu sendiri masih membingungkan. Apa yang dimaksud
dengan kosmologi pada saat ini seluruhnya berbeda dengan yang dimaksud pada abad kedelapan.
Penggunaan istilah yang serupa dalam wacana sains, filsafat, dan agama juga menambah
kebingungan. Sebagai contoh, apa yang dimaksud Aristoteles dengan celestial region tidak sama
menurut pendapat para Sufi, meskipun keduanya menggunakan istilah celestial untuk menunjukkan
wilayah di luar zona terrestrial. Celestial region menurut para Sufi dihuni oleh entitas tertentu yang
memiliki karakteristik tertentu, pendapat ini sangat berbeda dengan Aristoteles. Kosmologi, tentu
saja mengalami perkembangan secara filosofi selama periode Yunani, tradisi ilmiah Islam, dan
bahkan sampai sekarang. Banyak data eksperimental telah ditemukan yang menjadi fondasi
langsung pada pertanyaan tentang asal-usul kosmos, utamanya secara teoritis.
Dalam perspektif Al-Quran tentang penciptaan alam fisik dapat diringkas sebagai berikut:
alam semesta diciptakan Tuhan untuk suatu tujuan. Setelah menciptakan alam semesta dan semua
yang terkandung di dalamnya, Tuhan tidak meninggalkannya; karena kenyataannya seluruh ciptaan
selalu membutuhkan Tuhan; tanpa cinta-Nya kosmos tidak bisa eksis. Pada saat sebelum
mewujudnya suatu momen, kepastian pengetahuan tetap berada pada Tuhan. Segala sesuatu yang
ada di dunia akan binasa. Hal ini akan diikuti dengan kebangkitan dan kehidupan jenis baru di bawah
seperangkat hukum yang sama sekali baru.
Kosmologi atau dalam bahasa inggrisnya “cosmology” adalah gabungan dari dua kata yaitu
“cosmo” dan “logos” yang berasal dari bahasa Yunani. “cosmo” berarti alam semesta atau dunia
yang teratur, dan “logos” berarti ilmu dengan maksud penyelidikan atau asas-asas rasional. Dengan
demikian Kosmologi adalahsatu kajian berkenaan evolusi dan struktur alam semesta yang teratur
yang ada masa kini. Kamus Webster pula mentakrifkan Kosmologi sebagai teori atau falsafah
mengenai wujud alam semesta, kamus Oxford dengan ringkas menyebutnya sebagai sains dan teiri
alam semesta. Kosmologi berkaitan dengan pandangan dunia (world view). Hal ini karena kajian
mengenai pandangan dunia merupakan suatu percobaan untuk mengkaji bagaimana suatu
kelompok manusia memandang alam natural dan alam supernatural, serta masyarakatnya dan diri
mereka sendiri (Abdul Rahman,1995:1). Jika di Barat pemikiran mengenai Kosmologi bermula di
Yunani, maka di Timur ada China, India, dan Persia yang mempunyai saham besar dalam mencirikan
Kosmologi.
Kesulitan eksperimen untuk memapankan sebuah teori Kosmologi, sampai pada abad
pertengahan hipotesis dasar Kosmologi lahir dari pemahaman dari pemikiran manusia tempo dulu,
mitos, pengataman yang terbatas, dan teologi. Teologi menjadi sumber yang paling banyak
berkontribusi.
Mitos misalnya, ada kosmologi bangsa viking yang terkenal (yang kemudian menjadi basis
dasar Tolkien dalam membangun dunia fantasi middle-earth-nya), atau bagaimana kepercayaan
bangsa maya tentang penciptaan alam semesta. Dari teologi, hampir seluruh agama menyertakan
cerita alam semesta; Hindu, Budha, Kristen, Yahudi, dan Islam. Setelah sains berkembang dan
teknologi memadai, baru kemudian pengamatan secara signifikan berkontribusi pada Kosmologi.
Dalam perspektif Al-Quran tentang penciptaan alam fisik dapat diringkas sebagai berikut:
alam semesta diciptakan Tuhan untuk suatu tujuan. Setelah menciptakan alam semesta dan semua
yang terkandung di dalamnya, Tuhan tidak meninggalkannya; karena kenyataannya seluruh ciptaan
selalu membutuhkan Tuhan; tanpa cinta-Nya kosmos tidak bisa eksis. Pada saat sebelum
mewujudnya suatu momen, kepastian pengetahuan tetap berada pada Tuhan. Segala sesuatu yang
ada di dunia akan binasa. Hal ini akan diikuti dengan kebangkitan dan kehidupan jenis baru di bawah
seperangkat hukum yang sama sekali baru.
Secara umum, penciptaan dan akhir dari kosmos dapat ditemukan di ayat-ayat yang
dilengkapi dengan rincian spesifik yang tersebar di seluruh Al-Quran. Alam semesta diciptakan dalam
enam hari (QS. 7:54-56; 25:59), penciptaan bumi dalam dua masa (QS. 41:9), Tuhan juga
menciptakan tujuh langit (QS. 2:29), tujuh langit yang berlapis-lapis (QS. 67:3). Tuhan menghiasi
langit dengan bintang-bintang (QS. 67:5); Dia yang menggerakkan semua bintang dan planet-planet
sehingga dapat membimbing perjalanan manusia dengan posisi mereka (QS. 6:97); Dia menutupkan
malam atas siang dan menutupkan siang atas malam (QS. 39:5). Sangat penting untuk dicatat bahwa
kata “hari” yang digunakan dalam ayat-ayat ini dalam tradisi Islam selalu dipahami secara non-
kuantitatif. Al-Quran itu sendiri menjelaskan bahwa sehari disisi Tuhan adalah seperti seribu tahun
menurut perhitunganmu (QS. 22:47). Dalam ayat lain disebutkan satu hari yang kadarnya adalah
lima puluh ribu tahun (QS. 70:4). Karena itu aliran skala waktu dalam penjelasan Al-Quran mengenai
asal—dan juga sejarah—kosmos didasarkan pada konsep kualitatif waktu. Walaupun riwayat ini
memiliki kemiripan tertentu dengan penjelasan Bibel tentang penciptaan, tetapi pada dasarnya
sangat berbeda dari Genesis, dan hal ini dapat menjadi salah satu alasan mengapa belum ada
kesejajaran dengan “Bumi muda” dalam tradisi Islam.
Al-Quran tidak menjelaskan bagaimana atau kapan kosmos diciptakan, hal itu sebagai
undangan kepada pembacanya untuk mempelajari dunia fisik. Bahkan, undangan Al-Quran untuk
mengamati kerja kosmos ini diulang-ulang seolah-olah seperti mendesak kepada pembacanya
bahwa budidaya sains modern merupakan sebuah kewajiban agama bagi seorang Muslim—perintah
yang ditentukan oleh Al-Quran itu sendiri. Apakah benar atau tidak, pendekatan sederhana ini bukan
untuk menjustifikasi tujuan undangan Al-Quran, karena Al-Quran mengajak pembacanya untuk
mengamati ketertiban dan keteraturan alam semesta yang hal ini untuk mengekspresikan tujuan
dari memahami realitas yang berada di luar dunia fisik. Undangan untuk mengamati alam fisik sering
diikuti perintah tegas ketertiban dan keteraturan alam semesta adalah tanda kehadiran satu-satunya
Pencipta. Ketertiban kosmos adalah bukti kemahakuasaan, kekuasaan, dan kebijaksanaan Tuhan.
Kosmografi yang muncul dalam pemikiran Islam setelah gerakan terjemahan didominasi oleh
perdebatan atas pertanyaan tentang keabadian dunia atau penciptaannya ex nihilo dalam waktu.
Arus utama perdebatan dalam pemikiran Islam mengenai masalah penciptaan dan keabadian terjadi
antara filsuf Helenis Muslim dan lawan-lawannya yang disebut para pemikir ortodoks, dan seluruh
perdebatan yang muncul telah keluar dari krisis yang dihasilkan oleh gerakan terjemahan. Pada
kenyataannya, hal ini jauh lebih bernuansa. Misalnya, secara kosmografi dunia fisik terbagi menjadi
daerah celestial dan terrestrial, sama seperti pendapat Aristoteles, tapi hal ini tidak berarti
mencakup penerimaan segala hal tentang pemikiran Aristoteles. Bahkan filsuf Islam yang paling
Helenis (Ibn Sina dan Ibn Rusyd) telah mengubah konsep kosmos dan keabadiannya dari Aristoteles,
meskipun mereka menerima keabadian dunia.
Modifikasi kosmos Aristotelian ini bukan hanya cara yang cerdas dari pengulangan hal yang
sama. Misalnya, substansi alam fisik yang sebenarnya, dipahami oleh Aristoteles sebagai “materi”
dari sebuah abstraksi yang hanya bisa dicapai melalui eksperimen pikiran. Dalam buku Metaphysics,
dia menyatakan bahwa substansi adalah “yang tidak didasarkan kepada subjek, tapi semua
didasarkan atasnya”. Pernyataannya itu sendiri tidak jelas, dan selanjutnya pada pandangan ini,
materi menjadi substansi. Karena jika hal ini tidak menjadi substansi, maka kita akan mengalami
kesulitan untuk mengatakan apa yang selain itu. Ketika semuanya diambil, jelas yang tersisa hanya
materi. Elemen lain berupa rasa, produk, kapasitas tubuh, panjang, luas, dan tinggi; semuanya
adalah kuantitas dan bukan substansi. Kuantitas bukanlah substansi; tetapi substansi merupakan
derajat utama atas kandungannya. Ketika sifat panjang, luas, dan tinggi dikeluarkan, tidak ada yang
tersisa kecuali yang dibatasi oleh hal tersebut, apa pun bisa; dengan demikian materi sendiri yang
menjadi substansi. Adapun materi yang saya maksud adalah kandungannya sendiri di luar yang lain,
bukan dalam hal tertentu atau bukan jumlah tertentu atau bukan kategori yang ditentukan oleh
yang lain. (Aristoteles, 1984:1625)
Deskripsi ini diserang sejak pertengahan kedua pada abad kedelapan. Misalnya, Jabir bin
Hayyan menyatakan konsepsi materi ini hanya “omong kosong”, ada keraguan dalam tradisi
Plotinus, dia menyebutnya “bayangan hanya atas bayangan”: [Anda percaya] itu bukan tubuh, tidak
ada predikat apa pun yang didasarkan kepada tubuh. Hal ini sebagaimana klaim Anda, bentuk
sesuatu tidak dibeda-bedakan dan elemen dari objek yang diciptakan. Sebagaimana Anda katakan,
gambaran ini [entitas], hanya eksis dalam imajinasi dan tidak mungkin memvisualisasikannya
sebagaimana entitas didefinisikan. Semua ini adalah omong kosong. (Haq, 1994:53)
Demikian pula mengenai materi prima-nya Aristoteles yang dianggap kekal dan tidak dapat
dihancurkan, tidak diterima dalam tradisi Islam oleh mayoritas filsuf-ilmuwan. Bahkan, pada
pengamatan yang lebih seksama kita menemukan banyak kesamaan antara tradisi kosmologi
Aristotelian dan skema kosmologis Islam tetapi tidak mendasar; sebenarnya ada perbedaan yang
mendalam di antara ide-ide mendasar dari dua tradisi ini. Seperti terlihat sebelumnya, para filsuf
yang menerima keabadian dunia menurut Aristoteles tetapi tidak menerima sistem Aristotelian
secara totalitas, melainkan mereka membuat skema konseptual yang sama sekali baru. Pada kasus
ini, Ibnu Sina dapat dijadikan contoh. Kita akan membahas ide-idenya bersama dengan penolakan
terhadap Aristotelian oleh para ilmuwan lain dalam pembahasan khusus.
Justifikasi adanya ‘pertempuran’ habis-habisan antara filsuf dan teolog melemah, karena
meskipun banyak filsuf Muslim percaya pada kekekalan dunia ini (pengaruh Aristoteles) ada juga
pengecualian. Al-Kindi—yang secara universal diakui sebagai filsuf Muslim pertama—menolak
keabadian materi dan alam semesta, meskipun di pikirannya ada pengaruh dari Aristoteles dan
Plotinus. Dalam risalahnya yang berjudul On First Philosophy, Al-Kindi menggunakan kata ibda` (yang
berarti “memulai sesuatu dari ketiadaan”) untuk menunjukkan penciptaan ex nihilo. Al-Kindi juga
mengembangkan tiga argumen mengenai penciptaan alam semesta: (i) argumen mengenai ruang,
waktu, dan gerak; (ii) argumen mengenai komposisi, dan (iii) argumen mengenai waktu (Craig,
1979:56).
KESIMPULAN
Dari uraian penafsiran para mufassir di atas dan penjelasan (tathbiq) para ilmuan dapat kita
tarik benang merah berikut. Para mufassir mencoba menjelaskan ayat-yat tentang penciptaan alam
semesta tersebut berdasarkan pada aspek kebahasaan al-Qur’an, penjelasan hadis Rasulullah,
penjelasan para sahabat nabi, munasanah ayat, asbab an-nuzul, pendekatan ilmiah dan aspek-aspek
lainnya.
M. Quraish Shihab dalam menjelaskan ayat- ayat kauniyah memasukkan juga pendekatan
ilmiah dalam tafsir al-Mishbah demikian Fakhr ad-Din ar-Razi dalam tafsir Mafatih al-Ghaib. Bedanya
penjelasan Quraish Shihab agak lebih terperinci sedangkan penjelasan Fakhr ad-Din ar-Razi lebih
sederhana.
Hal ini tentu saja sangat terkait dengan penemuan dan perkembangan ilmu pengetahuan di
masa hidup mereka.Di dalam ayat-ayat yang telah dijelaskan sebelumnya terdapat konsep-konsep
yang sulit dipahami jika tidak ditopang oleh penjelasan ilmu kosmologi modern. Seperti konsep
sama’, ardh, al-ma’, ad-dukhan, ‘arsy, rawasyi, dan aqwat. Perlu penjelasan lebih lanjut terhadap
konsep-konsep di atas. Inilah tugas para ahli kosmologi modern.Hal ini terkait juga dengan tujuan
diturunkannya al-Qur’an sebagai petunjuk bagi seluruh umat manusia. Bukan hanya tertuju untuk
orang- orang yang terdahulu dari kita. Tapi bagi kita yang hidup di zaman sekarang dan insya Allah
mereka yang hidup setelah kita. Tentu saja pemahaman terhadap al-qur’an ini disesuaikan dengan
tingkat pengetahuan masing-masingnya. Agar al-Qur’an itu benar-benar menjadi petunjuk dalam
kehidupan.
Banyak kebenaran ilmiah yang dipaparkan al-Qur’an, tujuan pemaparan ayat-ayat tersebut
untuk menunjukkan kebesaran Allah dan ke-Esaan-Nya. Serta mendorong manusia seluruhnya untuk
melakukan observasi dan penelitian demi lebih menguatkan iman dan kepercayaan kepada-Nya
Pustaka
Baiquni, Achmad, Al-Qur’an dan Ilmu Pengetahuan Kealaman, Jakarta: Dana Bhakti Prima Yasa,
1996, Cet. Ke-1
____________, Konsep- Konsep Kosmologi , media.isnet.org
Kosmologi Islam: Dari Literatur ke Sains, Febdian.net Manzur, Ibnu, TTh, Lisan al-‘Arab, Jilid 3, TTp:
Dar al-Ma’arif
Filsafat Pendidikan Islam merupakan cabang disiplin ilmu filsafat pendidikan, atau
cabang dari filsafat islam, tetapi dalam tinjauan Islam, Filsafat merupakan disiplin yang
debatable antara bagian dari islam atau ia sesuatu lain di luar Islam dan masuk diadopsi
menjadi bagian dari Islam. Dalam beberapa literature Filsafat Pendidikan Islam merupakan
bagian Filsafat Umum dan di yang lain ia bagian dari Filsafat Islam. Lebih khusus lagi bagian
dari Filsafat Pendidikan.
Sebagai Disiplin Ilmu Filsafat, Filsafat Pendidikan Islam mempunyai sumber-
sumber dasar pijakan yang dijadikan rujukan operasional disiplinnya. Filsafat pendidikan ini
adalah dalam lingkup Islam, maka sudah barang tentu ia mengikuti ajaran islam dalam
pembahasan masalah-amsalahnya. Ajaran dan pendidikan islam itu sendiri bersumber pada
al-Qur’an dan al-Hadis, maka kita akan mendapati keduanya sebagai rujukan utama dalam
isu-isu filsafat pendidikan Islam.
Wah capek juga ya teman-teman nulis rangkuman makalah berjudul “Filsafat Pendidikan
Islam: Pengertian, Kedudukan dan Sumber – Sumbernya” ini. Gak apa ayo kita lanjut!.
BAB II
PEMBAHASAN
Filsafat pendidikan Islam terbentuk dari perkataan Filsafat, Pendidikan dan Islam.
Penambahan kata Islam di akhir itu untuk membedakan filsafat pendidikan Islam dari
pengertian filsafat pendidikan secara umum. Dengan demikian filsafat pendidikanIislam
mempunyai pengertian secara khusus yang ada kaitannya dengan ajaran Islam.
Lebih jauh, Omar Muhammad al-Toumy al-Syaibany, melihat falsafah pendidikan adalah
pelaksanaan pandangan falsafah dan kaidah falsafah dalam pengalaman manusia yang disebut
pendidikan (al-Syaibany, 1979) Secara rinci dikemukakan bahwa falsafah pendidikan
merupakan usaha untuk mencari konsep-konsep di antara gejala yang bermacam-macam
meliputi : (1) proses pendidikan sebagai rancangan yang terpadu dan menyeluruh; (2)
menjelaskan berbagai makna yang mendasar tentang segala istilah pendidikan; dan (3)
pokok-pokok yang menjadi dasar dari konsep pendidikan dalam kaitannya dengan bidang
kehidupan manusia (al-Syaibany, 1973).
Dalam masyarakat islam pendidikan islam itu merupakan ajaran-ajaran berdasar pada wahyu,
yang juga menjadi dasar dari pemikiran filsafat pendidikan Islam. Hal ini menunjukkan
falsafah pendidikan Islam yang berisi teori umum mengenai pendidikan Islam, dibina atas
dasar konsep ajaran Islam yang termuat dalam al-Qur’an dan hadis. Hal ini sejalan dengan
berfikir falsafi, yakni mendasar, menyeluruh tentang kebenaran yang ditawarkan yaitu
kebenarah tuhan yang mutlak.
“Jika kita telah membicarakan tentang kepentingan pembinaan falsafah pendidikan secara
umum, kita tidak menentukan jenis falsafah yang harus menonjol pada falsafah itu. Judul atau
bab yang kita bincangkan tentang sifat-sifat falsafah dan apa yang disebut bagi falsafah ini
tentang sumber-sumber, unsure-unsur, dan syarat-syarat dari dan apa yang akan kita sebut
tentang prinsip-prinsip, kepercayaan-kepercayaan, andaian-andaian dan premis yang menjadi
asas falsafah ini, yaitu falsafah pendidikan yang berasal dari prinsip-prinsip dan ruh Islam.
Itulah Falsafah Islam untuk pendidikan, atau disebut filsafat pendidikan Islam”.[2]
Wah capek juga ya teman-teman nulis rangkuman makalah berjudul “Filsafat Pendidikan
Islam: Pengertian, Kedudukan dan Sumber – Sumbernya” ini. Gak apa ayo kita lanjut!.
2. Abudin Nata menyimpulkan bahwa filsafat pendidikan Islam itu merupakan suatu kajian
secara filosofis mengenai berbagai masalah yang terdapat dalam kegiatan pendidikan yang
didasarkan pada al-Qur’an dan hadis sebagai sumber primer, dan pendapat para ahli,
khususnya para filosof muslim , sebagai sumber sekunder. Selain itu filsafat pendidikan Islam
dapat dikatakan suatu upaya menggunakan jasa filosofis, yakni berfikir secara mendalam,
sistematik, radikal, dan universal tentang masalah-masalah pendidikan, seperti masalah
manusia (anak didik), guru, kurikulum, metode, lingkungan dengan menggunakan al-Qur’an
dan al-Hadis sebagai dasar acuannya. Dengan demikian, filsafat pendidikan Islam secara
singkat dapat dikatakan adalah filsafat pendidikan yang berdasarkan ajaran Islam atau filsafat
pendidikan yang dijiwai oleh ajaran Islam, jadi ia bukan filsafat yang bercorak liberal, bebas
tanpa batas etika sebagaimana dijumpai dalam pemikiran filsafat pada umumnya.[3]
Kajian Falsafat pendidikan Islam beranjak dari kajian falsafat pendidikan yang termuat dalam
al-Qur’an dan hadis yang telah diterapkan oleh nabi Muhammad salla Alloh ‘alaihi wa sallam
selama hanya beliau, baik selama periode Makkah maupun selama Periode Madinah. Falsafat
Pendidikan Islam yang lahir bersamaan dengan turunnya wahyu pertama itu telah meletakkan
dasar kajian kokoh, mendasar, menyeluruh serta terarah ke suatu tujuan yang jelas, yaitu
sesuai dengan tujuan ajaran islam itu sendiri.[4]
Kadang jenuh juga ya nulis rangkuman makalah berjudul “Filsafat Pendidikan Islam:
Pengertian, Kedudukan dan Sumber – Sumbernya” ini. Gak apa kita ambil hikmahnya aja,
lagi pula dapat pahala juga to!.
4. M. Arifin dalam pendahuluan buku Filsafat Pendidikan Islam menyebutkan bahwa Filsafat
Pendidikan Islam berarti memasuki arena pemikiran yang mendasar, sistematis, logis dan
menyeluruh (universal) tentang pendidikan, yang tidak hanya dilatarbelakangi oleh ilmu
pengetahuan Agama Islam saja, melainkan menuntut kepada kita untuk mempelajari ilmu-
ilmu lain yang relevan.
Dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islam, Ia menyebutkan bahwa suatu falsafah yang hanya
membicarakan masalah yang menyangkut bagaimana system pendidikan agama islam
berlangsung dan dilangsungkan di dalam Negara yang berdasarkan Islam di Negara di mana
Islam diajarkan atau dididikkan di dalam lembaga-lembaga pendidikan yang ada dan
berkembang di Negara tersebut. Oleh karena bila hanya demikian sudah bisa dikatakan
sebagai filsafat pendidikan Islam.
Falsafah Pendidikan Islam yang kita kehendaki adalah suatu pemikiran yang serba
mendalam, mendasar, sistematis, terpadu dan logis, menyeluruh serta universal yang tertuang
atau tersusun ke dalam suatu bentuk pemikiran atau konsepsi sebagai suatu system.
Filsafat Pendidikan Islam adalah falsafah tentang pendidikan yang tidak dibatasi oleh
lingkungan kelembagaan Islam saja atau oleh ilmu pengetahuan dan pengalaman keislaman
semata-mata, melainkan menjangkau segala ilmu dan pengalaman yang luas seluas aspirasi
masyarakat muslim, maka pandangan dasar yang dijadikan titik tolak studinya adalah ilmu
pengetahuan teoritis dan praktis dalam segala bidang keilmuan yang berkaitan dengan
masalah kependidikan yang ada dan yang aka nada dalam masyarakat yang berkembang terus
tanpa mengalami kemandegan.
Dengan demikian, yang lebih tepat dalam melakukan studi tentang Filsafat Pendidikan Islam
ini adalah bila keduanya dapat terpenuhi yakni segi ilmiah dapat dibenarkan dan dari segi
diniyah dapat dipertanggungjawabkan. [6]
Dari penjelasan dan paparan pengertian Filsafat pendidikan Islam yang telah disebutkan oleh
para pakar di atas, dapat disimpilkan bahwa Filsafat Pendidikan Islam adalah suatu kajian
secara filosofis yakni berfikir secara mendalam, sistematik, radikal, dan universal tentang
masalah-masalah pendidikan, seperti masalah manusia (anak didik), guru, kurikulum,
metode, lingkungan , hakekat kemampuan manusia untuk dapat dibina dan dikembangkan
serta dibimbing menjadi manusia muslim yang seluruh pribadinya dijiwai oleh ajaran Islam,
serta mengapa manusia harus dibina menjadi hamba Alloh yang berkepribadian demikian
yang didasarkan pada al-Qur’an dan hadis sebagai sumber primer, dan pendapat para ahli,
khususnya para filosof muslim , sebagai sumber sekunder.
Wah capek juga ya teman-teman nulis rangkuman makalah berjudul “Filsafat Pendidikan
Islam: Pengertian, Kedudukan dan Sumber – Sumbernya” ini. Gak apa ayo kita lanjut!.
Antara pendidikan dan masyarakat selalu terjadi interaksi (saling mempengaruhi) atau saling
mengembangkan, sehingga satu sama lain dapat mendorong perkembangan untuk
mengokohkan posisi dan fungsi serta idealistas kehidupannya. Ia memerlukan landasan ideal
dan rasional yang memberikan pandangan mendasar, menyeluruh dan sistematis tentang
hakekat yang ada di balik masalah pendidikan yang dihadapi.
Dalam masyarakat yang sedang mengalami perubahan seperti abad 21 ini, kegunaan
fungsional dari Filsafat Pendidikan Islam adalah semakin penting, karena filsafat menjadi
landasan strategi dan kompas jalannya pendidikan Islam. Kemungkinan-kemungkinan yang
menyimpang dari tujuan pendidikan Islam akan dapat diperkecil dan sebaliknya kemampuan
dan kedayagunaan pendidikan Islam dapat lebih dimantapkan dan diperbesar karena
gangguan, hambatan serta rintangan yang bersifat Mental/spiritual serta teknis operasional
akan dapat diatasi atau disingkirkan dengan lebih mudah.[8]
Kadang jenuh juga ya nulis rangkuman makalah berjudul “Filsafat Pendidikan Islam:
Pengertian, Kedudukan dan Sumber – Sumbernya” ini. Gak apa kita ambil hikmahnya aja,
lagi pula dapat pahala juga to!.
Dalam pengertian Filsafat Pendidikan Islam yang disebut di atas disebutkan bahwa filsafat
ini didasarkan pada al-Qur’an dan hadis sebagai sumber primer, dan pendapat para ahli,
khususnya para filosof muslim , sebagai sumber sekunder. Maka dari sini kita tahu bahwa
sumber-sumber Filsafat Pendidikan Islam itu ada dua, yaitu 1. Sumber Primer yaitu al-Qur’an
dan al-Hadis, 2. Sumber Sekunder yaitu pendapat para filosof muslim.
Al-Syaibany disebutkan oleh Jalaludin dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islam bahwa
Dasar dan tujuan Falsafat pendidikan Islam pada hakikatnya identik dengan dasar dan tujuan
ajaran Islam atau tepatnya, yaitu al-Qur’an dan hadis. Dari kedua sumber ini kemudian
timbul pemikiran-pemikiran mengenai masalah-masalah keislaman dalam berbagai aspek,
termasuk falsafat pendidikan. Dengan demikian hasil pemikiran para ulama’ seperti qiyas
syar’I dan ijma’ sebagai sumber sekunder (al-Syaibany, 1973), pada dasarnya berasal dari
kedua sumber pokok tadi (al-Qur’an dan hadis).[9]Dalam paparan ini sumber sekundernya
adalah Hasil pemikiran ulama’ seperti qiyas syar’I dan Ijma’ bukan lagi pemikiran filosof
muslim..
Al-Qur’an menganut faham integralistik dalam bidang ilmu pengetahuan. Seluruh ilmu yang
bersumber dari alam raya (ilmu-ilmu fisika, sains), tingkah laku manusia(ilmu-ilmu social),
wahyu atau ilham (ilmu agama, tasawuf, filsafat) adalah bersumber dari Alloh. Hal lain yang
juga amat mendasar adalah bahwa al-Qur’an amat menekankan pentingnya hubungan yang
harmonis antara ilmu dan iman. Ilmu tanpa iman akan tersesat, dan iman tanpa ilmu tidak
akan berdaya
Al-Qur’an menaruh perhatian yang besar terhadap masalah pendidikan dan pengajaran.
Seperti pemuatan istilah-istilah yang digunakan oleh pendidikan seperti kata tarbiyah, ta’lim,
iqra;, hingga ada kesimpulan bahwa al-Qur’an adalah kitab pendidikan.
Adapun Hadis atau al-Sunnah menjadi sumber kedua dalam filsafat pendidikan Islam karena
Nabi Muhammad Shalla Alloh ‘alaihi wa sallam telah memberikan perhatian amat besar
terhadap pendidikan, dan mencaangkan pendidikan sepanjang hidup (long life education),
sampai ia mewajibkan mencari ilmu. Dan Ia diutus ke bumi ini untuk menjadi pengajar,
menyempurnakan aklah mulia dan mengajak menyembah Alloh semata.
Adapun sumber sekunder itu belum dioptimalkan. Banyak pendapat ulama’ yang tertulis
dalam kitab klasik. Sumber ini untuk pengembangan filsafat pendidikan Islam. Namun
demikian secara subtansial pendapat para filosof muslim pun masih dapat dipersoalkan,yaitu
jika sesuatu dijadikan sebagai sumber, maka sumber itu harus permanen, constant, dan tidak
diperselisihkan keberadaannya. Sedang filsafat dari manapun ia berasal atau disampaikan
tetap memiliki sifat-sifat kekurangan dan kelemahan yang menyebabkan kedudukannya
sebagai sumber dapat dipermasalahkan.[10]
Wah capek juga ya teman-teman nulis rangkuman makalah berjudul “Filsafat Pendidikan
Islam: Pengertian, Kedudukan dan Sumber – Sumbernya” ini. Gak apa ayo kita lanjut!.
BAB III
KESIMPULAN
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa filsafat pendidikan Islam adalah suatu kajian
secara filosofis yakni berfikir secara mendalam, sistematik, radikal, dan universal tentang
masalah-masalah pendidikan, seperti masalah manusia (anak didik), guru, kurikulum,
metode, lingkungan , hakekat kemampuan manusia untuk dapat dibina dan dikembangkan
serta dibimbing menjadi manusia muslim yang seluruh pribadinya dijiwai oleh ajaran Islam,
serta mengapa manusia harus dibina menjadi hamba Alloh yang berkepribadian demikian
yang didasarkan pada al-Qur’an dan hadis sebagai sumber primer, dan pendapat para ulama’
dan para ahli, khususnya para filosof muslim , sebagai sumber sekunder.
Filsafat Pendidikan Islam mepunyai kedudukan solutif, idealis dan methodis untuk
menyelesaikan permaslahan-permasalahan pendidikan Islam yang muncul dan berkembang
dalam dinamika kehidupan masyarakat muslim dalam mengoptimalkan kemampuan manusia
untuk dapat dibina dan dikembangkan serta dibimbing menjadi manusia muslim yang seluruh
pribadinya dijiwai oleh ajaran Islam, menjadi hamba Alloh yang berkepribadian al-Qur’an
dan hadis.
Jalaludin & Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam: Konsep dan Perkembangan
pemikirannya, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1994.
Nata , Abudin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Syaibany (al), al-Toumy, Mohammad, Omar, alih bahasa oleh Hasan Langgulung, Falsafah
Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
——–, Ilmu Pendidikan Islam Suatu tinjauan teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan
Interdisipliner, Jakarta: Bumi Aksara, 1993.
[1]Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta; Logos Wacana Ilmu, 1997. Hal. 14.
[2]Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibany, alih bahasa oleh Hasan Langgulung, Falsafah
Pendidikan Islam; Jakarta: Bulan Bintang, 1979. Hal.37.
[3]Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam ; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997. Hal. 15.
[4]Jalaludin & Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam: Konsep dan Perkembangan
pemikirannya; Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1994. Hal. 3-4.
[5]M.Arifin, Filsafat Pendidikan Islam; Jakarta: Bumi Aksara: 1996. Hal. Xi..
[6]M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam : Jakarta; Bumi Aksara, 1996. Hal. 27-31.
[7]M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam Suatu tinjauan teoritis dan Praktis Berdasarkan
Pendekatan Interdisipliner; Jakarta: Bumi Aksara, 1993. Hal. 44.
[8]M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta; Bumi Aksara, 1996. Hal. Xii.
[9]Jalaludin & Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam: Konsep dan Perkembangan
pemikirannya; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994. Hal. 19.
[10]Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam; Jakarta; Logos Wacana Ilmu, 1997. Hal. 13-15