Anda di halaman 1dari 66

SILABUS FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

Nama Mata Kuliah                  :  Filsafat Pendidikan Islam


SKS                                         :  2 SKS
Dosen                                      :  Dr. H. Mustadi, M.Pd.
Jurusan/Program Studi            :  Tarbiyah/ Pendidikan Agama Islam
Prasyarat                                 :  Filsafat Umum, Ilmu Pendidikan
Waktu Perkuliahan                  : Semester Ganjil
                                
DESKRIPSI MATA KULIAH
Mata kuliah ini mengkaji berbagai hal yang terkait dengan penelitian, dimulai dari;
pengertian filsafat pendidikan dan filsafat pendidikan perspektif Islam, obyek kajian filsafat
pendidikan (kosmologi, ontologi, epistemologi dan aksiologi), analisis filsafat tentang
pendidikan, fungsi dan tugas filsafat pendidikan, konsep manusia berkualitas menurut al-
Qur’an dan upaya pendidikan, tinjauan filsafat pendidikan Islam terhadap kurikulum, esensi
metode dalam perspektif filsafat pendidikan Islam, perbedaan pendidikan Islam dan
pendidikan Barat dari sudut pandang metode keilmuan, pembaharuan Pendidikan Islam.

PENGALAMAN BELAJAR
Pengalaman belajar yang dikembangkan dalam kegiatan perkuliahan ini meliputi
kegiatan penalaran berbagai hal tentang Filsafat Pendidikan yang dilakukan melalui kegiatan
tatap muka di kelas berupa kegiatan ceramah dan diskusi kelompok, kegiatan terstruktur yang
dilakukan melalui resitasi melalui perbaikan makalah individu.

EVALUASI HASIL BELAJAR


Keberhasilan dalam mengikuti mata kuliah ini didasarkan atas penilaian terhadap
hasil-hasil pekerjaan mahasiswa, yang memenuhi persyaratan kehadiran minimal 75%, dalam
meyelesaikan tugas (bobot 1), ujian tengah semester (bobot 2), dan ujian akhir semester
(bobot 2). Skor akhir akan diolah dengan menggunakan Acuan Norma dan dikonversi ke
dalam nilai A, B, C, D, E.

URAIAN POKOK BAHASAN SETIAP PERTEMUAN


Pertemuan Tujuan Umum Perkuliahan Pokok Bahasan/ Sub Pokok Bahasan
ke
1 Mahasiswa memahami Filsafat Pengertian filsafat pendidikan dan
Pendidikan dan Filsafat Pendidikan filsafat pendidikan perspektif Islam
Perspektif Islam
2  Mahasiswa memahami Obyek Obyek kajian filsafat pendidikan
Kajian Filsafat Pendidikan (kosmologi, ontologi, epistemologi
dan aksiologi)
3 Mahasiswa memahami filsafat Analisis filsafat tentang pendidikan
4  Mahasiswa memahami Fungsi dan tugas filsafat pendidikan
7 dan 8 Mahasiswa memahami konsep Konsep manusia berkualitas menurut
manusia berkualitas menurut al- al-Qur’an dan upaya pendidikan
Qur’an dan upaya pendidikan a.       Konsep manusia dalam al-Qur'an
b.      Fungsi manusia menurut al-Qur'an
(terhadap pribadi, masyarakat, alam
dan lingkungan, Allah swt).
c.       Manusia berkualitas menurut al-
Qur'an (kualitas iman, kualitas
intelektual, kualitas amal saleh,
kualitas sosial)
d.      Upaya pendidikan bagi
pemberdayakan manusia unggul
9 dan 10 Mahasiswa memahami tinjauan Tinjauan filsafat pendidikan Islam
filsafat pendidikan Islam terhadap terhadap kurikulum
kurikulum a.   Pengertian kurikulum pendidikan
Islam
b.   Cakupan kurikulum
c.   Asas-Asas kurikulum pendidikan
Islam
d.   Kriteria kurikulum pendidikan Islam
11 dan 12 Mahasiswa memahami esensi Esensi metode dalam perspektif
metode dalam perspektif filsafat filsafat pendidikan Islam
pendidikan Islam a.       Metode pendidikan dalam lingkup
makro
b.      b. Metode pendidikan dalam lingkup
mikro
13 dan 14 Mahasiswa memahami perbedaan Perbedaan pendidikan Islam dan
pendidikan Islam dan pendidikan pendidikan Barat dari sudut pandang
Barat dari sudut pandang metode metode keilmuan;
keilmuan a.   Sumber dan metode epistimologi
Barat
b.   Sumber dan metode epistimologi
Islam
15 Mahasiswa memahami Pembaharuan pendidikan Islam
pembaharuan pendidikan Islam a.       Tradisi intelektual Islam
b.      Esensi pendidikan Islam
c.       Pendidikan tinggi Islam
Daftar Kepustakaan
Al-Faruqi, Ismail Raji (Ed). Historical Atlas of the Religions of the World, New York: Macmillan
co. inc. 1974.
………..., Islamization of Knowledge: the General Principles and the Workplan dalam Knowledge
for what?, Islamabad-Fakistan: National Hijra Council, 1986.
………..., Tauhid. Its Implications for Thought and Life. Wynccote USA: The Intenational Institute
of Islamic Thought, 1982.
Al-Rasyidin dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, Pendekatan Historis, Teoretis dan
Prakts, Jakarta; Ciputat Press, 2005.
Arifin, M. Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2000.
Harold H.Titus, Persoalan-Persoalan Filsafat, Jakarta: Penerbit Bulan Bintang. 1984.
Langgulung, Hasan, Manusia dan Pendidikan, Suatu Analisa Psikologi, Filsafat dan Pendidikan,
Cet, ke 2, Jakarta, al-Husna, 1988.
…………, Asas-Asas Pendidikan Islam, cet ke 2, Jakarta: al-Husna, 1988,
Muhaimin dan Abd. Mudjib, Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian Filosofik dan Kerangka Dasar
Operasionalnya, Bandung: Triguna Karya, 1993.
Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, cet. Ke 4, 2009.
Nata, Abuddin. Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2003.
Nata, Abuddin. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam.
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000.
Omar Mohammad al-Toumi al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
Redja Mudyaharjo, Filsafat Ilmu Pendidikan, Suatu Pengantar, Bandung: Remaja Rosdakarya,
2006.
Thoha, Nashruddin, Tokoh-Tokoh Pendidikan Islam di Jaman Jaya, Jakarta: Mutiara, 1979.
Wafi, Ali Abdul Wahid, Ibn Khaldun Riwayat dan Karyanya, terj. Ahmadie Thoha, Jakarta: Grafiti
Press, 1985.

Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed. M. Naquib al-Attas, terj.
Hamid Fahmi, dkk., Bandung: 2003.
Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta:  Bumi Aksara, 1998.
Sumber-Sumber Sekunder:
Ahmed, Akbar S. Posmodernisme Bahaya dan Harapan Bagi Islam, Bandung: Mizan, 1993.
Filsafat Pendidikan Islam
A. Pengertian Filsafat Pendidikan Islam

Filsafat secara harfiah berasal kata Philo berarti cinta, Sophos berarti ilmu atau hikmah, jadi
filsafat secara istilah berarti cinta terhadap ilmu atau hikmah. Pengertian dari teori lain
menyatakan kata Arab falsafah dari bahasa Yunani, philosophia: philos berarti cinta (loving),
Sophia berarti pengetahuan atau hikmah (wisdom), jadi Philosophia berarti cinta kepada
kebijaksanaan atau cinta pada kebenaran. Pelaku filsafat berarti filosof, berarti: a lover of
wisdom. Orang berfilsafat dapat dikatakan sebagai pelaku aktifitas yang menempatkan
pengetahuan atau kebijaksanaan sebagai sasaran utamanya. Ariestoteles (filosof Yunani
kuno) mengatakan filsafat memperhatikan seluruh pengetahuan, kadang-kadang disamakan
dengan pengetahuan tentang wujud (ontologi). Adapun pengertian filsafat mengalami
perkembangan sesuai era yang berkembang pula. Pada abad modern (Herbert) filsafat berarti
suatu pekerjaan yang timbul dari pemikiran. Terbagi atas 3 bagian: logika, metafisika dan
estetika (termasuk di dalamnya etika).

Pendidikan secara harfiah berasal kata didik, yang mendapat awalan pen akhiran an. berarti
perbuatan (hal, cara dan sebagainya) mendidik. Kata lain ditemukan peng(ajar)an berarti cara
(perbuatan dan sebagainya) mengajar atau mengejarkan. Kata lain yang serumpun adalah
mengajar berarti memberi pengetahuan atau pelajaran. Kata pendidikan berarti education
(inggris), kata pengajaran berarti teaching (inggris). Pengertian dalam bahasa Arab kata
pendidikan (Tarbiyah) – pengajaran (Ta’lim) yang berasal dari ‘allama dan rabba. Dalam hal
ini kata tarbiyyah lebih luas konotasinya yang berarti memelihara, membesarkan, medidik
sekaligus bermakna mengajar (‘allama). Terdapat pula kata ta’dib yang ada hubungannya
dengan kata adab yang berarti susunan.

Dari segi bahasa Arab kata Islam dari salima (kemudian menjadi aslama), kata Islam berasal
dari isim masdar (infinitif) yang berarti berserah diri, selamat sentosa atau memelihara diri
dalam keadaan selamat. Yakni dengan sikap seseorang untuk taat, patuh, tunduk dengan
ikhlas dan berserah diri kepada Allah SWT; sebagaimana seseorang bias disebut Muslim.
Selanjutnya Allah SWT memakai kata Islam sebagai nama salah satu agama yang ajaran-
ajarannya diwahyukan-Nya kepada manusia melalui Muhammad SAW (sebagai Rasul-Nya).
Sebagai agama Islam diakui memiliki ajaran yang komprehensif (al-Qur’an) dibandingkan
dengan agama-agama lain yang pernah diturunkan Tuhan sebelumnya.

Setelah dijelaskan satu persatu yang tersebut di atas, diyakini belum dijelaskan secara lebih
khusus mengenai apa itu filsafat pendidikan Islam?

Pendapat para ahli yang mencoba merumuskan pengertian filsafat pendidikan Islam,
Muzayyin Arifin mengatakan pada hakikatnya adalah konsep berpikir tentang kependidikan
yang bersumberkan atau berlandaskan pada ajaran-ajaran agama Islam tentang hakekat
kemampuan manusia untuk dapat dibina dan dikembangkan serta dibimbing menjadi manusia
(Muslim) yang seluruh pribadinya dijiwai oleh ajaran Islam. Secara sistematikanya
menyangkut subyek-obyek pendidikan, kurikulum, metode, lingkungan, guru dan sebagainya.
Mengenai dasar-dasar filsafat yang meliputi pemikiran radikal dan universal menurut Ahmad
D Marimba mengatakan bahwa filsafat pendidikan Islam bukanlah filsafat pendidikan tanpa
batas. Adapun komentar mengenai radikal dan universal bukan berarti tanpa batas, tidak ada
di dunia ini yang disebut tanpa batas, dan bukankah dengan menyatakan sesuatu itu tanpa
batas, kita telah membatasi sesuatu itu. Dalam artian, apabila seorang Islam yang telah
meyakini isi keimanannya, akan mengetahui di mana batas-batas pikiran (akal) dapat
dipergunakan.

Dari uraian di atas kiranya dapat kita ketahui bahwa filsafat pendidikan Islam merupakan
suatu kajian secara filosofis mengenai berbagai masalah yang terdapat dalam kegiatan
pendidikan yang didasarkan pada al-Qur’an dan al-Hadits sebagai sumber primer, serta
pendapat para ahli (khususnya para filosof Muslim) sebagai sumber skunder.

B. Ruang Lingkup Filsafat Pendidikan Islam

Secara spesifik ruang lingkup yang mengindikasikan bahwa filsafat pendidikan Islam adalah
sebagai sebuah disiplin ilmu. Pendapat Muzayyin Arifin yang berkenaan dengan hal ini
menyatakan bahwa mempelajari filsafat pendidikan Islam berarti memasuki arena pemikiran
yang serba mendasar, sistematik, terpadu, logis dan menyeluruh (universal) tentang
pendidikan, yang tidak hanya dilatar belakangi oleh pengetahuan agama Islam saja, juga
berdasarkan mempelajari ilmu-ilmu lain yang relevan. Konsep-konsep tersebut mulai dari
perumusan tujuan pendidikan, kurikulum, guru, metode, lingkungan dan seterusnya.

C. Kegunaan Filsafat Pendidikan Islam

Semestinya, bahwa setiap ilmu mempunyai kegunaan, menurut Omar Mohammad al-Toumy
al-Syaibani misalnya mengemukakan tiga manfaat dari mempelajari filsafat pendidikan
Islam, antaralain:

(1) Filsafat pendidikan itu dapat menolong para perancang pendidikan dan yang
melaksanakannya dalam suatu negara untuk membentuk pemikiran sehat terhadap proses
pendidikan;
(2) Filsafat pendidikan dapat menjadi asas yang terbaik untuk penilaian pendidikan dalam arti
menyeluruh;dan, (3) Filsafat pendidikan Islam akan menolong dalam memberikan
pendalaman pikiran bagi factor-faktor spiritual, kebudayaan, social, ekonomi dan politik di
negara kita.

Selain kegunaan yang tersebut di atas filsafat pendidikan Islam juga sebagai proses kritik-
kritik tentang metode –metode yang digunakan dalam proses pendidikan Islam, sekaligus
memberikan arahan mendasar tentang bagaimana metode tersebut harus didayagunakan atau
diciptakan agar efektif untuk mencapai tujuan. Lebih lanjut Muzayyin Arifin menyimpulkan
bahwa filsafat pendidikan Islam harus bertugas dalam 3 dimensi, yakni:

(1) Memberikan landasan dan sekaligus mengarahkan kepada proses pelaksanaan pendidikan
yang berdasarkan ajaran Islam; (2) Melakukan kritik dan koreksi terhadap proses pelaksanaan
tersebut; dan, (3) Melakukan evaluasi terhadap metode dari proses pendidikan tersebut.

D. Metode Pengembangan Filsafat Pendidikan Islam

Prihal yang menyangkut metode pengembangan filsafat pendidikan Islam yang berhubungan
erat dengan akselerasi penunjuk operasional dan teknis mengembangkan ilmu, yang
semestinya didukung dengan penguasaan metode baik secara teoritis maupun praktis untuk
tampil sebagai mujtahid atau pemikir dan keilmuan. Asumsi yang terbangun bahwasannya
karya Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibani (Falsafah Pendidikan Islam) yang tidak
membahas metode tersebut. Apalagi mencukupkan sumber analisa hanya pada Plato dan
Aritoteles-isme, padahal sefaham dengan para filosof Muslim (al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina,
Ibn Rusyd dan yang sealiran dengannya). Kuat kemungkinannya ia terperangkap oleh missi
dan strategi Barat yang mensupremasi dalam segala bidang.

Tentang metode pengembangan filsafat pendidikan Islam paling tidak bersumber pada 4 hal,
yakni:
(1) Bahan tertulis (tekstual) al-Qur’an, al-Hadits dan pendapat pendahulu yang baik “salafus
saleh”– bahan empiris, yakni dalam praktek kependidikan (kontekstual);
(2) Metode pencarian bahan; khusus untuk bahan dari al-Qur’an dan al-Hadits bisa melalui
“Mu’jam al-Mufahros li Alfazh al-Karim” karya Muhammad Fuad Abd al-Baqi atau
“Mu’jam al-Mufahros li Alfazh al-Hadits” karya Weinsink, dan bahan teoritis kepustakaan
serta bahan teoritis lapangan;
(3) Metode pembahasan (penyajian); bisa dengan cara berpikir yang menganalisa fakta-fakta
yang bersifat khusus terlebihdahulu selanjutnya dipakai untuk bahan penarikan kesimpulan
yang bersifat umum (induktif); atau cara berpikir dengan menggunakan premis-premis dari
fakta yang bersifat umum menuju ke arah yang bersifat khusus (deduksi); dan
(4) Pendekatan (approach); pendekatan sangat diperlukan dalam sebuah analisa, yang bisa
dikategorikan sebagai cara pandang (paradigm) yang akan digunakan untuk menjelaskan
suatu fenomena.

Adapun yang dikembangkan dan dikaji masalah filsafat pendidikan Islam, maka pendekatan
yang harus digunakan adalah perpaduan dari ketiga disiplin ilmu tersebut, yaitu: filsafat, ilmu
pendidikan dan ilmu ke islam an. sebagaimana uraian terdahulu, yakni sebuah kajian tentang
pendidikan yang radikal, logis, sistematis dan universal. Namun cirri-ciri dari berfikir
filosofis ini dibatasi dengan ketentuan ajaran Islam.

BAB I

Pengertian, Ruang Lingkup, dan kegunaan Filsafat Pendidikan

Islam

A.    Pengertian Filsafat Pendidikan Islam

Merupakan suatu kajian secara filosofis mengenai berbagai masalah

yang terdapat dalam kegiatan pendidikan yang didasarkan pada al-Qur’an

dan al-Hadits. Filsafa pendidikan Islam dapat pula dikatakan suatu upaya

menggunakan jasa filosofis, yakni berpikir mendalam, sistematik, radikal

dan universal tentang masalah pendidikan, sedangkan guru, kurikulum,

metode dan lingkungan menggunakan al-Qur’an dan al-Hadits.

B.     Ruang Lingkup Filsafat Pendidikan Islam


Masalah-masalah yang terdapat dalam kegiatan pendidikan, seperti

masalah tujuan pendidikan, masalah guru, kurikulum, metode dan

lingkungannya. Seseorang yang mengkaji filsafat pendidikan Islam harus

menguasai masalah filsafat, pendidikan pada umumnya serta menguasai

kandungan al-Qur’an dan al-Hadits.

C.     Kegunaan Filsafat Pendidikan Islam

Omar muhammad al-Toumy al-syaibany mengemukakan tiga

manfaat dari mempelajari filsafat pendidikan islam tersebut sebagai

berikut :

1.    Menolong para perancang pendidikan dan orang-orang yg

melaksanakannya dalam suatu negara untuk membentuk pemikiran sehat

terhadap proses pendidikan.

2.    Menjadi asas yang terbaik untuk penilaian pendidikan dalam arti yang

menyeluruh.

3.    Memberikan pendalaman pikiran bagi faktor-faktor spiritual, kebudayaan,

sosial, ekonomi, dan politik di negara kita.

Muzayyin Arifin menyimpulkan bahwa filsafat pendidikan Islam itu

seharusnya bertugas dalam 3 (tiga) dimensi, yakni :

1)      Memberikan landasan dan sekaligus mengarahkan kepada proses

pelaksanaan pendidikan yang berdasarkan ajaran Islam.

2)      Melakukan kritik dan koreeksi terhadap proses pelaksanaan tersebut.

3)      Melakukan evaluasi terhadap evaluasi terhadap metode dari proses

pendidikan tersebut.

D.    Metode Pengembangan Filsafat Pendidikan Islam


1.    Berupa bahan tertulis dan bahan diambil dari pengalaman empirik dalam

praktek kependidikan.

2.    Metode pencarian bahan. Untuk mencari bahan-bahan yang bersifat

tertulis dapat dilakukan melalui studi kepustakaan dan studi lapangan

yang masing-masing prosedurnya telah diatur sedemikian rupa.

3.    Metode pembahasan. Untuk ini Muzayyin Arifin mengajukan alternatif

metode analitis-sintetis, yaitu suatu metode yang berdasarkan

pendekatan rasional dan logis terhadap sasaran pemikiran secara induktif,

deduktif, dan analisa ilmiah.

4.    Pendekatan. Pendekatan ini biasanya diperlukan dalam analisa, dan

berhubunngan dengan teori-teori keilmuan tertentu yang akan dipilih

untuk menjelaskan fenomena tertentu pula.

BAB II

Kedudukan manusia dalam alam semesta

A.    Potensi Yang Dimiliki Manusia

Dengan penalaran manusia dapat mengambil pelajaran dari apa

yang diihatnya, ia dapat pula mengetahui apa yang benar dan apa yang

salah, dan terdorong untuk meminta izin menggunakan sesuatu yang

bukan miliknya. Pengertian ini menunjukkan dengan jelas adanya potensi

untuk dapat dididik pada diri manusia.

Dengan demikian manusia adalah makhluk yang memiliki

kelengkapan jasmani dan rohani. dengan kelengkapan jasmaninya, ia

dapat melaksanakan tugas-tugas yang memerlukan dukungan fisik, dan


Dengan kelengkapan rohaninya ia dapat melaksanakan tugas-tugas yang

memerlukan dukungan mental.

B.     Kedudukan Manusia Dalam Alam Semesta

Kedudukan manusia di alam raya ini di samping sebagai khalifah

yang memiliki kekuasaan untuk mengolah alam dengan menggunakan

segenap daya dan potensi yang dimilikinya, juga sekaligus sebagai ‘abd,

yaitu seluruh usaha dan aktivitasnya itu harus dilaksanakan dalam rangka

ibadah kepada allah. Untuk dapat melaksanakan fungsi kekhalifahan dan

ibadah dengan baik ini manusia perlu diberikan pendidikan, pengajaran,

pengalaman, ketrampilan, teknologi, dan sarana pendukung lainnya. Ini

menunjukkan bahwa konsep kekhalifahan dan ibadah dalam al-qur’an erat

kaitannya dengan pendidikan.

BAB III

Tinjauan filosofis tentang tujuan pendidikan islam

A.    Kedudukan tujuan pendidikan

           Mengakhiri usaha. Sesuatu usaha yang tidak mempunyai tujuan tidaklah

mempunyai arti apa-apa.

           Mengarahkan usaha, tanpa adanya antisipasi kepada tujuan,

penyelewengan akan banyak terjadi dan kegiatan yang dilakukan tidak

akan berjalan secara efisien.

           Titik pangkal untuk mencapai tujuan-tujuan lain.

           Memberi nilai pada usaha itu. Ada usaha-usaha yang tujuannya lebih

luhur, lebih mulia, lebih luas dari usaha-usaha lainnya.

B.     Tujuan Pendidikan Islam


1.       Tujuan umum yang dikenal pula dengan tujuan akhir.

2.       Tujuan khusus, sebagai penjabaran dari tujuan umum.

3.       Tujuan perbidang pembinaan, misalnya tujuan dari pembinaan aspek

akal.

4.       Tujuan setiap bidang studi sesuai dengan bidang-bidang pembinaan

tersebut.

5.       Tujuan setiap pokok bahasan yang terdapat dalam setiap bidang studi.

6.       Tujuan setiap sub pokok bahasan yang terdapat dalam setiap pokok

bahasan.

BAB IV

Tinjauan Filosofis Tentang Pendidik

A.    Pengertian dan Kedudukan Pendidik

Pendidik adalah orang yang melakukan kegiatan dalam bidang

mendidik. Kata pendidik secara fungsional menunjukkan kepada

seseorang yang melakukan kegiatan dalam memberikan pengetahuan,

ketrampilan, pendidikan, pengalaman, dan lainnya.

Tugas guru dijelaskan oleh S. Nasution menjadi tiga bagian :

1.         Sebagai orang yang mengkomunikasikan pengetahuan.

2.         Guru sebagai model.

3.         Guru juga menjadi model sebagai pribadi, apakah ia berdisiplin, cermat

berpikir, mencintai pelajarannya, atau yang mematikan idealisme dan

picik dalam pandangannya.

B.     Sifat-sifat Pendidik yang baik

1.         Seorang guru harus memiliki sifat zuhud.


2.         Seorang guru memiliki jiwa yang bersih dari sifat dan akhlak yang buruk.

3.         Seorang guru harus ikhlas dalam melaksanakan tugasnya.

4.         Seorang guru harus bersifat pemaaf terhadap muridnya.

5.         Seorang guru harus dapat menempatkan dirinya sebagai seorang bapak

sebelum ia menjadi seorang guru.

6.         Seorang guru harus mengetahui bakat, tabiat, dan watak murid-

muridnya.

7.         Seorang guru harus menguasai bidang studi yang akan diajarkannya.

BAB V

Tinjauan Filosofis tentang anak didik

A.    Pengertian anak didik

Dilihat dari segi kedudukannya, anak didik adalah makhluk yang

sedang berada dalam proses perkembangan dan pertumbuhan menurut

fitrahnya masing-masing. Dalam pandangan yang lebih modern, anak

didik tidak hanya dianggap sebagai obyek atau sasaran pendidikan,

melainkan juga harus diperlakukan sebagai subyek pendidikan.

B.     Akhlak anak didik

Asma Hasan Fahmi menyebutkan empat akhlak yang harus dimiliki

anak didik, yaitu:

1.       Seorang anak didik harus membersihkan hatinya dari kotoran dan

penyakit jiwa sebelum ia menuntut ilmu, karena belajar adalah


merupakan ibadah yang tidak sah dikerjakan kecuali dengan hati yang

bersih.

2.       Seorang anak didik harus mempunyai tujuan menuntut ilmu dalam

rangka menghiasi jiwa dengan sifat keutamaan, mendekatkan diri kepada

Tuhan, dan bukan untuk mencari kemegahan dan kedudukan.

3.       Seorang pelajar harus tabah dalam memperoleh ilmu pengetahuan dbn

bersedia pergi merantau.

4.       Seorang anak didik wajib menghormati guru dan berusaha agar

senantiasa memperoleh kerelaan dari guru, dengan mempergunakan

bernacam-macam cara.

BAB VI

Tinjauan Filosofis Tentang Metode Pendidikan

A.      Pengertian Metode Pendidikan Islam

Metode dikaitkan dengan pendidikan islam, dapat membawa arti

metode sebagai jalan untuk menanamkan pengetahuan agama pada diri

seseorang sehingga terlihat dalam pribadi obyek sasaran, yaitu pribadi

islam. Selain itu motode dapat pula membawa arti sebagai cara untuk

memahami, menggali, dan mengembangkan ajaran Islam, sehingga terus

berkembang susuai dengan perkembangan zaman.

B.      Fungsi Metode

Fungsi metode secara umum dapat dikemukakan sebagai pemberi

jalan atau cara yang sebaik mungkin bagi pelaksanaan operasional dari

imlu pendidikan tersebut. Sedangkan dalam konteks lain metode dapat

merupakan sarana untuk menemukan, menguji, dan menyusun data yang


diperlukan bagi pengembangan disiplin suatu ilmu. Dari dua pendekatan

ini dapat dilihat bahwa pada intinya metode berfungsi mengantarkan

suatu tujuan kepada obyek sasaran dengan cara yang sesuai dengan

perkembangan obyek sasaran tersebut.

C.      Macam-macam Metode

Metode teladan, metode kisah-kisah, metode nasihat, metode

pembiasaan, metode hukum dan ganjaran, metode ceramah dan metode

diskusi.

BAB VII

Tinjauan Filosofis Tentang Lingkungan Pendidikan Islam

A.    Pengertian Lingkungan Tarbiyah Islamiyah

Lingkungan pendidikan Islam adalah suatu institusi atau lembaga di

mana pendidikan itu berlangsung. Dalam berbagai sumber bacaan

kependidikan, jarang dijumpai pendapat para ahli tentang pengertian

lingkungan pendidikan. Namun demikian, dapat dipahami bahwa

lingkungan tarbiyah Islamiyah itu adalah suatu lingkungan yang di

dalamnya terdapat ciri-ciri keislaman yang memungkinkan

terselenggaranya pendidikan Islam dengan baik.

B.     Fungsi Lingkungan Tarbiyah Islamiyah

Sebagai lingkungan tarbiyah Islamiyah, ia mumpunyai fungsi antara

lain menunjang terjadinya proses kegiatan belajar mengajar secara aman,

tertib, dan berkelanjutan.

BAB VIII

Tinjauan Filosofis Tentang Kurikulum


A.    Pengertian Kurikulum

Kurikulum adalah sejumlah mata pelajaran yang disiapkan

berdasarkan rancangan yang sistematik dan koordinatif dalam rangka

mencapai tujuan pendidikan yang ditetapkan.

Pendapat Hasan Langgung, kurikulum adalah sejumlah pengalaman

pendidikan, kebudayaan, sosial, olah raga, dan kesenian baik yang berada

di dalam maupun di luar kelas yang dikelola oleh sekolah.

B.     Cakupan Kurikulum

Cakupan kurikulum meliputi empat bagian, yaitu :

1.      Bagian yang berkenaan dengan tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh

proses belajar mengajar.

2.      Bagian yang berisi pengetahuan, informasi-informasi, data, aktivitas-

aktifitas, dan pengalaman-pengalaman yang merupakan bahan bagi

penyusunan kurikulum yang isinya berupa mata pelajaran yang kemudian

dimasukkan dalam silabus.

3.      Bagian yang berisi metode atau cara menyampaikan mata pelajaran

tersebut.

4.      Bagian yang berisi metode atau cara melakukan penilaian dan

pengukuran atas hasil pengajaran mata pelajaran tertentu.

C.     Asas-asas Kurikulum

Asas tersebut sebagaimana dikemukakan S. Nasution meliputi asas

filosofis, sosiologis, organisatoris, dan psikologi. Asas filosofis berperan

sebagai penentu tujuan umum pendidikan. Sedangkan asas sosiologis

berperan memberikan dasar untuk menentukan apa saja yang akan


dipelajari sesuai dengan kebutuhan masyarakat, kebudayaan,

perkembangan ilmu pengetahuan, dan teknologi. Dan asas organisatoris

berfungsi memberikan dasar-dasar dalam bentuk bagaimana bahan

pelajaran itu disusun, dan bagaimana penentuan luas dan urutan mata

pelajaran. Selanjutnya asas psikologis berperan memberikan berbagai

prinsip-prinsip tentang perkembangan anak didik dalam berbagai

aspeknya, serta cara menyampaikan bahan pelajaran agar dapat dicerna

dan dikuasai oleh anak didik sesuai dengan perkembangan.

D.    Ciri-ciri Kurikulum dalam Pendidikan Islam

1.      Menonjolkantujuan agama dan akhlak pada berbagai tujuannnya dan

kandungan, metode-metode, alat-alat, dan teknik-teknik bercorak agama.

2.      Meluas cakupannya dan menyeluruh kandungannya.

3.      Bersikap seimbang di antara berbagai ilmu yang dikandung dalam

kurikulum yang yang akan digunakan.

4.      Bersikap menyeluruh dalam menata seluruh mata pelajaran yang

diperlukan oleh anak didik.

5.      Kurikulum yang disusun selalu disesuaikan dengan minat dan bakat anak

didik.

E.     Prinsip Kurikulum Pendidikan Islam

1.      Prinsip pertautan yang sempurna dengan agama, termasuk ajarannya

dan nilai-nilainya.

2.      Prinsip menyeluruh (universal) pada tujuan-tujuan dan kandungan-

kandungan kurikulum.

3.      Prinsip keseimbangan yang relatif antara tujuan-tujuan dan kandungan

kurikulum.
4.      Prinsip perkaitan antara bakat, minat, kemampuan-kemampuan, dan

kebutuhan pelajar.

5.      Prinsip pemeliharaan perbedaan-perbedaan individual diantara para

pelajar, baik dari segi minat maupun bakatnya.

6.      Prinsip menerima perkembangan dan perubahan sesuai dengan

perkembangan zaman dan tempat.

7.      Prinsip keterkaitan antara berbagai mata pelajaran dengan pengalaman-

pengalaman dan aktivitas yang terkandung dalam kurikulum.

BAB IX

Pengertian, Kedudukan, dan Fungsi Evaluasi dalam Pendidikan

Islam

A.    Pengertian Evaluasi Pendidikan

Evaluasi dapat diartikan sebagai proses membandingkan situasi

yang ada dengan kriteria tertentu karena evaluasi adalah proses

mendapatkan informasi dan menggunakannya untuk menyusun penilaian

dalam rangka membuat keputusan.

B.     Kedudukan Evaluasi Pendidikan

Evaluasi pendidikan memiliki kedudukanyg amat strategis, karena

hasil dari kegiatan evaluasi dapat digunakan sebagai input untuk

melakukan perbaikan kegiatan pendidikan.

Ajaran Islam juga menaruh perhatian yang besar terhadap evaluasi

tersebut. Al-Qur’an memberitahukan kepada kita, bahwa pekerjaan

evaluasi terhadap manusia didik adalah merupakan suatu tugas penting


dalam rangkaian proses pendidikan yang telah dilaksanakan oleh

pendidik.

C.     Fungsi Evaluasi

Dalam hubungan A. Tabrani Rusyan dan kawan-kawan, mengatakan

bahwa evaluasi mempunyai beberapa fungsi, yaitu:

1.         Untuk mengetahui tercapai tidaknya tujuan intruksional secara

komprehensif yang meliputi aspek pengetahuan, sikap dan tingkah laku.

2.         Sebagai umpan balik yang berguna bagi tindakan berikutnya di mana

segi-segi yang sudah dapat dicapai lebih ditingkatkan lagi dan segi-segi

yang dapat merugikan sebanyak mungkin dihindari.

3.         Bagi pendidik, evaluasi berguna untuk mengukur keberhasilan proses

belajar mengajar.

4.         Untuk memberikan umpan balik kepada guru sebagai dasar untuk

memperbaiki proses belajar mengajar dan mengadakan proses remidial

bagi murid.

5.         Untuk menentukan angka kemajuan atau hasil belajar.

6.         Untuk menempatkan murid dalam situasi belajar mengajar yang tepat.

7.         Untuk mengenal latar belakang murid yang mengalami kesulitan belajar.

Selain itu evaluasi juga berfungsi dalam beberapa hal sebagai

berikut:

a.       Evaluasi berfungsi sebagai selektif

b.      Evaluasi berfungsi diagnostik

c.       Evaluasi berfungsi sebagai penempatan

d.      Evaluasi berfungsi sebagai pengukur keberhasilan

D.    Prinsip Evaluasi


1.      Didasarkan atas hasil pengukuran yang komprehensif.

2.      Dibedakan antara penskoran dengan angka dan penilaian dengan

kategori.

3.      Dalam proses pemberian nilai hendaknya diperhatikan dua macam

penilaian, yaitu berkenaan dengan hasil belajar dan berkenaan dengan

penempatan.

4.      Pemberian nilai hendaknya merupakan bagian integral dari proses belajar

mengajar.

5.      Penilaian hendaknya bersifat komparabel.

6.      Sistem penilaian yang dipergunakan hendaknya jelas bagi siswa.

Penilaian tersebut dapat berhasil jika dilakukan sesuai dengan

prinsip-prinsip berikut:

a.       Prinsip kesinambungan, penilaian dilakukan dengan berkesinambungan.

b.      Prinsip menyeluruh, penilaian harus mengumpulkan data mengenai

seluruh aspek kepribadian.

c.       Prinsip obyektif, penilaian diusahakan agar seobyektif mungkin.

d.      Prinsip sistematis, penilaian harus dilakukan secara sistematis dan

teratur.

E.     Sasaran Evaluasi

1.      Segi tingkah laku, yang menyangkut sikap, minat, perhatian, ketrampilan

murid sebagai akibat dari proses belajar mengajar.

2.      Segi pendidikan, penguasaan materi pelajaran yang diberikan oleh guru

dalam proses belajar mengajar.

3.      Segi-segi yang menyangkut proses belajar mengajar bahwa proses

belajar mengajar perlu diberi penilaian secara obyektif dari guru.


F.      Ciri-ciri Evaluasi dalam Pendidikan

Penilaian dilakukan secara tidak langsung, penggunaan ukuran

kuantitatif, evaluasi pendidikan menggunakan nit-unit yang tetap, bersifat

relatif, dan dalam pendidikan sering teerjadi kesalahan.

G.    Prosedur Evaluasi

Perencanaan, pengumpulan data, verivikasi data, analisis data dan

penafsiran data.

BAB X

Pendidikan Islam dalam Pemikiran Al-Ghazali

A.    Riwayat Singkat Hidup Al-Ghazali

Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-

Ghazali. Ia lahir pada tahun 450 H/1059 M. Di Ghazaleh. Ia wafat di

Tabristan tanggal 14 Jumadil Akhir tahun 505 H/ 1111 M.

Al-Ghazali memulai pendidikannya di wilayah Tus dengan

mempelajari dasar-dasar pengetahuan. Selanjutnya ia pergi ke Nisyafur

dan Khurasan yang pada waktu itu kedua kota tersebut dikenal sebagai

pusat ilmu pengetahuan terpenting di dunia Islam

B.     Pemikiran Pendidikan Al-Ghazali

1.      Peranan Pendidikan

Al-Ghazali termasuk ke dalam kelompok sufinistik yang banyak

menaruh perhatian yang besar terhadap pendidikan, karena

pendidikanlah yang banyak menentukan corak kehidupan suatu bangsa

dan pemikirannya.

2.      Tujuan Pendidikan


Untuk mendekatkan diri kepada Allah, bukan untuk mencari

kedudukan, kemegahan dan kegagahan atau mendapatkan kedudukan

yang menghasilkan uang.

3.      Pendidik

Ciri-ciri pendidik yang boleh melaksanakan pendidikan, yaitu: Guru

harus mencintai muridnya, Guru jangan mengharapkan materi (upah)

sebagai tujuan utama, Guru harus mengingatkan muridnya, Guru harus

mendorong muridnya agar mencari ilmu yang bermanfaat, Di hadapan

muridnya, guru harus memberikan contoh yang baik, Guru harus

mengamalkan yang diajarkannya, Guru harus memahami minat, bakat

dan jiwa anak didiknya, Guru harus dapat menanamkan keimanan ke

dalam pribadi anak didiknya.

4.      Murid

Bagi murid dikehendaki hal-hal sebagai berikut: Memuliakan guru

dan bersikap rendah hati, Merasa satu bangunan dengan murid lainnya,

Menjauhkan diri dari mempelajari berbagai mazhab yang dapat

menimbulkan kekacauan dalam pikiran, dan Mempelajari tidak hanya satu

jenis ilmu yang bermanfaat saja.

5.      Kurikulum

Ia membagi ilmu pengetahuan kepada yang terlarang dan yang

wajib dipelajari oleh anak didik menjadi tiga kelompok, yaitu :

a.       Ilmu yang tercela. Ilmu ini tidak ada manfaatnya bagi manusia di dunia

ataupun akhiratnya.

b.      Ilmu yang terpuji. Misalnya ilmu tauhid dan ilmu agama.
c.       Ilmu yang terpuji pada taraf tertentu, yang tidak boleh diperdalam,

karena ilmu ini dapat membawa kepada kegoncangan iman dan ilhad

(meniadakan tuhan) seperti ilmu filsafat.

BAB XI

Pendidikan Islam dalam Pemikiran Ibn Khaldun

A.    Riwayat Singkat Hidup Ibn Khaldun

Ia berasal dari keluarga politis, intelektual dan aristokrat. Ia lahir di

Tunisia tanggal 27 mei 1332. Ayahnya bernama Abdur Rahman Abu Zayd

ibn Muhammad ibn Khaldun.

Keluarganya telah mewariskan tradisi intelektual kepada dirinya,

sedangkan masa ketika ia hidup yang ditandai dengan jatuh bangunnya

dinasti-dinasti Islam, terutama dinasti Umayah dan Abbasiyah

memberikan kerangka berpikir dan teori-teori ilmu sosialnya secara

filsafatnya.

B.     Konsep Pendidikan Ibn Khaldun

1.      Pandangan tentang manusia didik

Ia berpendapat bahwa dalam proses belajar atau menuntut ilmu

pengetahuan, manusia di samping harus sungguh-sungguh juga harus

memiliki bakat. Menurutnya, dalam mencapai pengetahuan yang

bermacam-macam itu seseorang tidak hanya membutuhkan ketekunan,

tetapi juga bakat.

2.      Pandangan tentang ilmu


Berkenaan dengan ilmu pengetahuan, Ibn Khaldun membaginya

menjadi tiga macam, yaitu:

a.       Ilmu lisan yaitu ilmu tentang tata bahasa.

b.      Ilmu naqli yaitu ilmu yang diambil dari kitab suci dan sunnah Nabi.

c.       Ilmu ‘aqli yaitu ilmu yang dapat menunjukkan manusia dengan daya pikir

atau kecerdasannya kepada filsafat dan semua ilmu pengetahuan.

3.      Metode Pengajaran

Mengajarkan pengetahuan kepada pelajar hanyalah akan

bermanfaat apabila dilakukan dengan berangsur-angsur, setapak demi

setapak dan sedikit demi sedikit. Ibn Khaldun menganjurkan agar para

guru mengajarkan ilmu pengetahuan dengan metode yang baik. Dan

menganjurkan agar pendidik bersikap sopan dan halus pada muridnya.

4.      Spesialisasi

Keahlian itu adalah sifat atau corak jiwa yang tidak dapat tumbuh

serempak. Mereka yang pemikirannya masih mentah, dan dalam keadaan

masih kosong akan lebih mudah mendapatkan keahlian-keahlian baru

yang dapat mereka peroleh dengan lebih mudah.

BAB XII

Pendidikan Islam dalam Pemikiran Ikhwan Al-Safa

A.    Riwayat Singkat Ikhwan Al-Safa

Organisasi ini antara lain mengajarkan tentang dasar-dasar agama

Islam yang didasarkan pada persaudaraan Islamiyah (ukhuwwah

Islamiyah), yaitu suatu sikap yang memandang iman seorang muslim

tidak akan sempurna kecuali ia mencintai saudaranya seperti mencintai


dirinya sendiri. Informasi lain menyebutkan bahwa organisasi ini didirikan

oleh kelompok masyarakat yang terdiri dari para filosof. Organisasi yang

mereka dirikan bersifat rahasia dan memiliki missi politis.

B.     Konsep Pendidikan Ikhwan Al-Safa

Organisasi ini memandang pendidikan dengan pandangan yang

bersifat rasional dan empirik. Mereka memandang ilmu sebagai gamaran

dari sesuatu yang dapat diketahui di alam ini. Dengan kata lain ilmu yang

dihasilkan oleh pemikiran manusia itu terjadi karena mendapat bahan-

bahan informasi yang dikirim oleh panca indera.

BAB XIII

Pendidikan Islam dalam Pemikiran Zainuddin Labay

A.    Riwayat Singkat Zainuddin Labay

Lahirnya di Bukit Surungan, Padang Panjang pada tahun 1880. Ia

tidak pernah memperoleh pendidikan yang sistematis. Ia hanya belajar

dua tahun di sekolah negeri dan dua tahun lagi belajar agama pada

Syaikh Muhammad Yunus, ayahnya. Pengetahuannya banyak diperoleh

dengan membaca sendiri dan untuk ini kemampuannya dalam bahasa-

bahasa Ingris, Belanda dan Arab sangat membantunya.

B.     Pemikiran Zainuddin Labay dalam Pendidikan

Zainuddin Labay telah menunjukkan otodidaknya menjadi seorang

pembaharu dalam bidang pendidikan. Ia berjasa dalam mengembangkan


bahasa Arab baik sebagai bahasa pengantar, maupun bahasa yang

digunakan dalam kegiatan sehari-hari. Ia telah memperkenalkan model

pendidikan yang pada masa itu belum lazim digunakan, yaitu model

klasikal. Dan ia telah memperkenalkan pengetahuan modern ke dalam

kurikulum pendidikan Islam. Usaha-usaha yang dilakukan Zainuddin Labay

telah menghasilkan kader yang tangguh dalam bidang ilmu agama

sebagaimana diperlihatkan oleh Hamka.

BAB XIV

Pendidikan Islam dalam Pemikiran Syekh Ahmad Surkati

A.    Sejarah Hidup Ahmad Surkati

Syeikh Ahmad Surkati nama lengkapnya adalah Ahmad bin

Muhammad Surkati al-Kharraj al-Anshari. Ia lahir di daerah Adfu Donggala,

Sudan. Ayahnya bernama Muhammad yang masih diyakini memiliki

hubungan dengan Jabir bin Abdullah al-Anshari. Nama Surkati yang

terdapat pada namanya itu diperoleh dari sebutan neneknya, sehingga

namanya menjadi Ahmad Surkati.

Sejak kecil Ahmad Surkati telah diajar mengaji dan dididik untuk

menjadi seorang penghafal al-Qur’an dan hal itu dapat dia lakukan pada

masa kanak-kanak, yakni sudah hafal al-Qur’an.

Karya tulis Ahmad Sukarti antara lain; Surat-surat Jawaban, Al-

Wasiat al-Amiriyyah (Nasihat bagi Para Pemimpin), Al-Masail al-Tsalats

(Tiga Persoalan), Hak Suami Istri, dan Tawjih al-Qur’an lil Adabil al-Qur’an.

B.     Ide-ide Pembaharuan Pendidikan Akhmad Surkati

1.      Aspek kelembagaan


Secara kelembagaan program pendidikan yang dilakukan

berlangsung selama 15 tahun dengan jenjang pendidikan, yang meliputi

pendidikan dasar 3 tahun, pendidikan ibtidaiyah selama 4 tahun,

pendidikan tajhiziyyah selama 2 tahun, jenjang mu’allimin selama 4 tahun

dan jenjang takhassus selama 2 tahun.

2.      Aspek Metode dan Pendekatan Pengajaran

         Menerapkan pendekatan personil psikologis dan conselling dalam melihat

minat dan bakat serta tingkat kemampuan intelegensi para siswa yang

diajarkan.

         Menerapkan metode diskusi kepada para muridnya.

         Pendidik berjiwa demokratis dan dalam suasana kegiatan belajar

mengajar menggunakan pendekatan akliyah.

3.      Aspek Kurikulum

Dalam kegiatan belajar mengajar menerapkan rencana pelajaran

atau rencana pengajaran yang dalam bahasa pendidikan disebut

kurikulum. Rencana pelajaran itu dijadikan sebagai kerangka kerja

sistematik dalam suatu kegiatan pengajaran modern.

BAB XV

Pendidikan Islam dalam Pemikiran Ahmad Dahlan

A.    Riwayat Hidup Ahmad Dahlan

Lahir pada tahun 1868 sebagai anak salah seorang dari 12 kitab

Masjid Agung Yogyakarta dengan nama Muhammad Darwis. Setelah ia


menyelesaikan pendidikan dasarnya dalam nahwu, fiqh dan tafsir di

Yogya ia pergi ke Mekkah tahun 1890 ia belajar selama setahun. Salah

seorang gurunya ialah Syaikh Ahmad Khatib. Sekitar tahun 1903 ia

mengunjungi kembali tanah suci di mana ia menetap di sana selama dua

tahun.

B.     Pandangan Ahmad Dahlan dalam Pendidikan

Pandangan Ahmad Dahlan dalam bidang pendidikan dapat dilihat

pada kegiatan pendidikan yang dilaksanakan oleh Muhammadiyah. Dalam

bidang pendidikan, Muhammadiyah melanjutkan model sekolah yang

digabungkan dengan sistem pendidikan gubernemen.

Ide-ide pendidikan yang dikemukakan Ahmad Dahlan :

a.       Membawa pembaharuan dalam bidang pembentukan lembaga

pendidikan Islam.

b.      Memasukkan pelajaran umum kepada seolah agama atau madrasah.

c.       Mengadakan perubahan dalam metode pengajaran.

d.      Mengajarkan sikap hidup yang terbuka dan toleran.

e.       Dengan organisasinya Muhammadiyah termasuk organisasi Islam yang

paling pesat dalam mengembangkan lembaga pendidikan yang

bervariasi.

URAIAN POKOK BAHASAN SETIAP PERTEMUAN


MATA KULIAH FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

Pertemua Tujuan Umum Perkuliahan Pokok Bahasan/ Sub Pokok


n ke Bahasan
1 Mahasiswa memahami Filsafat Pengertian filsafat pendidikan dan
Pendidikan dan Filsafat filsafat pendidikan perspektif
Pendidikan Perspektif Islam Islam

2  Mahasiswa memahami Obyek Obyek kajian filsafat pendidikan


Kajian Filsafat Pendidikan (kosmologi, ontologi,
epistemologi dan aksiologi)

3 Mahasiswa memahami filsafat Analisis, fungsi dan tugas filsafat


tentang pendidikan

4 Mahasiswa memahami konsep Konsep manusia berkualitas


manusia berkualitas menurut al- menurut al-Qur’an dan upaya
Qur’an dan upaya pendidikan pendidikan

5 Mahasiswa memahami tinjauan Tinjauan filsafat pendidikan Islam


filsafat pendidikan Islam terhadap kurikulum
terhadap kurikulum a

6 Mahasiswa memahami esensi Esensi metode dalam perspektif


metode dalam perspektif filsafat filsafat pendidikan Islam (metode
pendidikan Islam pendidikan dalam lingkup makro
atau mikro)
a.   

7 Mahasiswa memahami Perbedaan pendidikan Islam dan


perbedaan pendidikan Islam dan pendidikan Barat dari sudut
pendidikan Barat dari sudut pandang metode keilmuan;
pandang metode keilmuan a.   Sumber dan metode epistimologi
Barat
b.   Sumber dan metode epistimologi
Islam

7 Mahasiswa memahami Pembaharuan pendidikan Islam


pembaharuan pendidikan Islam (Tradisi intelektual Islam, esensi
pendidikan Islam dan pendidikan
tinggi Islam)
a.     
Sabtu, 24 Maret 2012
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM DARI SEGI ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI DAN AKSIOLOGI
Disusun utk Memenuhi Tgas Kul

Filsafat Pend Islam

To: temenku Yunus & Aan Lutfi STAI Pati, Fakultas Tarbiyah Semester IV, kalian bisa ambil
materi ini buat presentasi bsok ya..

A.    PENDAHULUAN

Pendidikan Islam merupakan pendidikan yang berlandaskan atas dasar-dasar ajaran Islam,
yakni Al Qur'an dan Hadits sebagai pedoman hidup bagi seluruh umat Islam. Melalui pendidikan
inilah, kita dapat memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran Islam sesuai dengan ketentuan
Al-Qur’an dan As-sunnah. Sehubungan dengan hal tersebut, tingkat pemahaman, penghayatan, dan
pengamalan kita terhadap ajaran Islam sangat tergantung pada tingkat kualitas pendidikan Islam
yang kita terima.

Pendidikan Islam di Indonesia seringkali berhadapan dengan berbagai problematika. Sebagai


sebuah sistem pendidikan Islam mengandung berbagai komponen antara satu dengan yang lain
saling berkaitan. Akan tetapi, seringkali dilakukan apa adanya, tanpa perencanaan dan konsep yang
matang. Sehingga mutu pendidikan Islam kurang berjalan sesuai yang diharapkan.

Menyikapi hal tersebut, Filsafat pendidikan Islam, berupaya mencari kebenaran sedalam-
dalamnya, berfikir holistik, radikal dalam pemecahan problem filosofis pendidikan Islam, pembentukan
teori–teori baru ataupun pembaharuan dalam pelaksanaan pendidikan Islam yang sesuai dengan
tuntutan perkembangan zaman. Berdasarkan sumber-sumber yang shohih yaitu Al-Qur’an dan hadist.
Kajian Filsafat pendidikan Islam dari segi ontologi, epistemologi, dan aksiologi memberikan manfaat
besar bagi kita sebagai calon pendidik. Ontologi membahas tentang hakekat pendidikan Islam,
Epistemologi membahas sumber-sumber pendidikan Islam, serta aksiologi mengupas nilai-nilai
pendidikan Islam. Selengkapnya akan dibahas dalam makalah ini.
B.     PERMASALAHAN

Dalam makalah ini akan dibahas permasalahan sebagai berikut:

1.      Ontologi Pendidikan Islam

2.      Epistemologi Pendidikan Islam

3.      Aksiologi Pendidikan Islam

C.    PEMBAHASAN

1.      Ontologi Pendidikan Islam

Ontologi pendidikan Islam membahas hakikat substansi dan pola organisasi pendidikan Islam.
Secara ontologis, Pendidikan Islam adalah hakikat dari kehidupan manusia sebagai makhluk berakal
dan berfikir. Jika manusia bukan makluk berfikir, tidak ada pendidikan. Selanjutnya pendidikan
sebagai usaha pengembangan diri manusia, dijadikan alat untuk mendidik.[1]

Kajian ontologi ini tidak dapat dipisahkan dengan Sang Pencipta. Allah telah membekalkan
beberapa potensi kepada kita untuk berfikir. Pertanyaan selanjutnya apakah sebenarnya hakekat
pendidikan Islam itu?

3 Kata kunci tentang pendidikan Islam yaitu :

a.      Ta’lim,   kata ini telah digunakan sejak periode awal pelaksanaan pendidikan Islam. Mengacu pada
pengetahuan, berupa pengenalan dan pemahaman terhadap segenap nama-nama atau benda
ciptaan Allah. Rasyid Ridha, mengartikan ta’lim sebagai proses transmisi berbagai Ilmu pengetahuan
pada jiwa individu tanpa adanya batasan dan ketentuan tertentu.[2]

b.      Tarbiyah, kata ini berasal dari kata Rabb, mengandung arti memelihara, membesarkan dan
mendidik yang kedalamannya sudah termasuk makna mengajar.[3]

c.       Ta’dib, Syed Muhammad Naquib al-Attas mengungkapkan istilah  yang paling tepat untuk
menunjukan pendidikan Islam adalah al-Ta’dib, kata ini berarti pengenalalan dan pengakuan yang
secara berangsur-angsur ditanamkan ke dalam diri manusia (peserta didik) tentang tempat-tempat
yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan.[4]

      Dari ketiga kata kunci di atas, berbagai pakar telah merumuskan tentang pendidikan Islam,
sebagai berikut:
1.      Ahmad. D. Marimba mengatakan bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani dan rohani
menuju terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam.[5]

2.      Saefuddin Anshari mengatakan pendidikan Islam adalah proses bimbingan (pimpinan, tuntutan,
susulan) oleh subjek didik terhadap perkembangan jiwa (pikiran, perasaan dan kemauan, intuisi, dsb).
[6]

3.      M. Yusuf al Qardawi mengatakan bahwa pendidikan Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya
akal dan hatinya, rohani dan jasmaninya, akhlak dan keterampilannya.[7]

4.       Ahmad Tafsir mendefinisikan pendidikan Islam sebagai bimbingan yang diberikan oleh seseorang
agar ia berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam.[8]

Dari pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam adalah suatu sistem yang
dapat mengarahkan kehidupan peserta didik sesuai dengan ideologi Islam.

Dengan demikian secara ontologis pemahaman terhadap pendidikan Islam tidak dapat
dipisahkan dengan Allah selaku Pencipta manusia. Karena pendidikan Islam ditujukan pada
terbentuknya kepribadian Muslim yang dapat memenuhi hakikat penciptaannya, yakni menjadi
Pengabdi Allah.

2.      Epistemologi Pendidikan Islam

Epistemologi pendidikan Islam membahas seluk beluk dan sumber-sumber pendidikan Islam.
Pendidikan Islam bersumber dari Allah SWT, Yang Maha Mengetahui Sesuatu. Hukum-hukum yang
diciptakan Allahpun dapat dipahami dengan berbagai metode dan pendekatan. Pendidikan Islam
merujuk pada nilai-nilai Al-Qur’an yang universal dan abadi. Serta didukung oleh hadist Nabi
Muhammad SAW.

Ketiga kata kunci tentang Pendidikan Islam di atas disebutkan dalam Al-Qur’an dan hadist
berikut ini:

“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama benda-benda seluruhnya, kemudian


mengemukakannya kepada Malaikat, lalu berfirman : “Sebutkanlah kepada-Ku jika kamu memang
orang-orang yang benar” (Al-Baqarah ayat: 31)

“Wahai Tuhanku kasihilah mereka berdua, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku di masa
kecil.”(Al-Isra’ ayat 24).

Hadist Nabi Muhammad SAW “Aku dididik oleh Tuhanku (addabani Rabbi), maka dia memberikan
kepadaku sebaik-baik pendidikan (fa ahsana ta’dibi).

Selanjutnya objek material Filsafat Pendidikan Islam yaitu segala hal yang berkaitan dengan
usaha manusia untuk menciptakan kondisi yang memberi peluang berkembangnya kecerdasan dan
kepribadian melalui pendidikan. Objek formal: Usaha yang rasional, mendasar, general, dan
sistematis dalam mengembangkan kecerdasan dan kepribadian melalui pendidikan.

Untuk lebih jelasnya, objek materi ilmu pendidikan Islam yaitu anak didik. Sedangkan objek
formalnya ialah perbuatan mendidik yang membawa anak, ke arah tujuan pendidikan Islam. Sehingga
secara epistemologi, Kurikulum pendidikan Islam harus merujuk pada Al-Qur’an dan hadist. Antara
lain sebagai berikut:

1.     Larangan mempersekutukan Allah

2.     Berbuat baik kepada orang tua

3.    Memelihara, mendidik, dan membimbing anak sebagai tanggung jawab terhadap amanat Allah.

4.     Menjauhi perbuatan keji dalam bentuk sikap lahir dan batin

5.     Menjaui permusuhan dan tindakan tercela

6.     Menyantuni anak yatim

7.     Tidak melakukan perbuatan diluar kemampuan

8.     Berlaku jujur dan adil

9.     Menepati janji dan menunaikan perintah Allah

10. Berpegang teguh kepada ketentuan hukum Allah, dsb.

Sumber-sumber yang menunjukkan bahwa manusia sebagai makhluk yang dapat menerima
pelajaran dari Tuhan tentang apa yang tidak diketahuinya ada pada surat Al-Alaq, 96: ayat 1-5:
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia
dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah,   Yang mengajar (manusia)
dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” 

Manusia sebagai makhluk yang memiliki kemampuan mengatur waktu (QS. Al-Ashr, 103 :1-3,
“Demi masa, Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang
beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan
nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.

Manusia mendapatkan bagian dari apa yang telah dikerjakannya, (QS an-Najm, 53-39). “Dan
bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya”

Manusia sebagai makhluk yang memiliki keterikatan dengan moral atau sopan santun (QS. Al
Ankabut 29:8).

“Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu-bapaknya. Dan jika keduanya
memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang
itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya. Hanya kepada-Ku-lah kembalimu, lalu Aku kabarkan
kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.”

Dari sebagian ayat di atas, jelaslah bahwa sumber-sumber pendidikan Islam berasal dari Allah
SWT, Sang Maha Pencipta. Al-Qur’an sebagai pedoman hidup manusia.

3.      Aksiologi Pendidikan Islam

Ajaran Islam merupakan perangkat sistem nilai yaitu pedoman hidup secara Islami, sesuai
dengan tuntunan Allah SWT. Aksiologi Pendidikan Islam berkaitan dengan nilai-nilai, tujuan, dan
target yang akan dicapai dalam pendidikan Islam. Nilai-nilai tersebut harus dimuat dalam kurikulum
pendidikan Islam, diantaranya:

1.      Mengandung petunjuk Akhlak

2.      Mengandung upaya meningkatkan kesejahteraan hidup manusia dibumi dan kebahagiaan di
akherat.

3.      Mengandung usaha keras untuk meraih kehidupan yang baik.

4.      Mengandung nilai yang dapat memadukan antara kepentingan kehidupan dunia dan akhirat.

Menurut Abuddin Nata tujuan pendidikan Islam, untuk mewujudkan manusia yang shaleh,
taat beribadah dan gemar beramal untuk tujuan akherat.[9]

Muhammad Athiyah al-Abrasy mengatakan “the fist and highest goal of Islamic is moral
refinment and spiritual, training” (tujuan pertama dan tertinggi dari pendidikan Islam adalah kehalusan
budi pekerti dan pendidikan jiwa)”[10]

Menurut Abdul Fatah Jalal, tujuan umum pendidikan Islam ialah terwujudnya manusia
sebagai hamba Allah. Jadi menurut Islam, pendidikan haruslah menjadikan seluruh manusia yang
menghambakan kepada Allah. Yang dimaksud menghambakan diri ialah beribadah kepada Allah.
Islam menghendaki agar manusia dididik supaya ia mampu merealisasikan tujuan hidupnya
sebagaimana yang telah digariskan oleh Allah. Tujuan hidup menusia itu menurut Allah ialah
beribadah kepada Allah. SeDalam surat Ad Dzariyat ayat 56: yang artinya: ”Dan aku tidak
menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”.

Dari beberapa pendapat di atas, dapat kami simpulkan tujuan utama pendidikan Islam adalah
untuk mendapatkan Ridha Allah SWT. Dengan pendidikan Islam, diharapkan lahir individu-indidivu
yang baik, bermoral, berkualitas, sehingga bermanfaat bagi diri, keluaga, masyarakat, negara dan
ummat manusia secara keseluruhan. Meraih kebahagiaan dunia dan akherat.

Beberapa indikator dari tercapainya tujuan pendidikan islam dapat dibagi menjadi tiga tujuan
mendasar, yaitu:
1. Tercapainya anak didik yang cerdas. Ciri-cirinya adalah memiliki tingkat kecerdasan
intelektualitas yang tinggi sehingga mampu menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh
dirinya sendiri maupun membantu menyelesaikan masalah orang lain yang
membutuhkannya.
2. Tercapainya anak didik yang memiliki kesabaran dan kesalehan emosional, sehingga
tercermin dalam kedewasaan menghadapi masalah di kehidupannya.
3. Tercapainya anak didik yang memiliki kesalehan spiritual, yaitu menjalankan perintah Allah
dan Rasulullah SAW. Dengan melaksanakan rukun Islam yang lima dan mengejawantahkan
dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya menjalankan shalat lima waktu, menjalankan ibadah
puasa, menunaikan zakat,  dan menunaikan haji ke Baitullah.

D.    KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas dapat kami peroleh kesimpulan:

1. Ontologi pendidikan Islam membahas hakekat tentang pendidikan Islam. Dirumuskan dalam tiga
konsep yaitu ta’lim, tarbiyah, dan ta’dib. Pendidikan Islam merupakan suatu sistem yang dapat
mengarahkan kehidupan peserta didik sesuai dengan ideologi Islam.

2. Epistemologi pendidikan Islam membahas seluk beluk dan sumber-sumber pendidikan Islam.
Pendidikan Islam bersumber dari Allah SWT, yaitu Al-Qur’an dan hadist.

3. Aksiologi Pendidikan Islam berkaitan dengan nilai-nilai, tujuan, dan target yang akan dicapai dalam
pendidikan Islam. tujuan utama pendidikan Islam adalah untuk mendapatkan Ridha Allah SWT.
Dengan pendidikan Islam, diharapkan lahir individu-indidivu yang baik, bermoral, berkualitas,
sehingga bermanfaat bagi diri, keluaga, masyarakat, negara dan ummat manusia secara
keseluruhan. Meraih kebahagiaan dunia dan akherat.

ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI DAN AKSIOLOGI FILSAFAT PENDIDIKAN


ISLAM

A.    Ontologi Filsafat Pendidikan


1.      Hakikat Ontologi
Ontologi terdiri dari dua suku kata, yakni ontos dan logos. Ontos berarti sesuatu yang
berwujud dan logos berarti ilmu. Jadi ontologi dapat diartikan sebagai ilmu atau teori tentang wujud
hakikat yang ada.[1]
Dalam konsep filsafat ilmu Islam, segala sesuatu yang ada ini meliputi yang nampak dan yang
tidak nampak (metafisis). Filsafat pendidikan Islam bertitik tolak pada konsep the creature of God,
yaitu manusia dan alam. Sebagai pencipta, maka Tuhan telah mengatur di alam ciptaan-Nya. Pendi
dikan telah berpijak dari human sebagai dasar perkembangan dalam pendidikan. Ini berarti bahwa
seluruh proses hidup dan kehidupan manusia itu adalah transformasi pendidikan.[2]
Menurut Syam (1988) ontologi kadang-kadang disamakan dengan
metafisika. Sebelum menyelidiki yang lain, manusia berusaha mengerti hakikat
sesuatu. Dalam berinteraksi dengan alam semesta, manusia melahirkan
berbagai pertanyaan  filosofis, di antaranya ; apakah sesungguhnya hakikat
realita yang ada ini, apakah realita yang nampak ini suatu realitas materi saja,
ataukah ada sesuatu dibalik realita itu, satu "rahasia" alam. Apakah wujud
semesta ini bersifat tetap, kekal tanpa perubahan. Ataukah hakikat semesta ini
adalah perubahan semata-mata. Apakah realita ini terbentuk satu unsur
(monisme), dua unsur (dualisme), ataukah lebih dari dua unsur (pluralisme).

Suatu realita sebagai suatu perwujudan, menampakkan diri sebagai satu


"tubuh", satu eksistensi. Sesuatu itu mendukung satu perwujudan, yakni-
keseluruhan sifatnya. Yang utama dari perwujudan itu adalah eksistensinya.
Wujud atau adanya sesuatu itu adalah primer, sedangkan sifat-sifat yang lain
seperti ukurannya, bentuknya, warnanya, beratnya dan sebagainya hanyalah
sekunder.

Sebagai contoh, apakah sesungguhnya hakikat lantai dalam ruang belajar.


Ada yang menjawab bahwa lantai itu bersifat datar, padat tetapi halus dengan
warna tertentu. Apakah bahannya, pastilah lantai itu suatu substansi dengan
kualitas materi. Inilah yang dimaksud bahwa lantai adalah suatu realitas yang
kongkrit. Para ahli ilmu alam menjawab, bahwa lantai itu terbentuk dari molekul-
molekul, yang terakhir atom-atom dan atom-atom tersebut terbentuk dari elec-
tron-elektron, proton-proton dan neutron-neutron dan semua itu tenaga listrik.
Jadi lantai itu hakikatnya satu energi, tenaga listrik. Jadi hakikat lantai menurut
orang biasa adalah realita dalam wujud lantai yang konkrit, sementara ahli ilmu
alam memandang hakikat lantai dari sudut pengertiannya (abstrak) yaitu tenaga
listrik, energy, namun keduanya bersifat realita.

Pandangan ontologi di atas juga menjadi hal utama dalam pendidikan


Islam, sebab anak didik/peserta didik bergaul dengan dunia lingkungannya dan
mempunyai dorongan kuat untuk mengerti sesuatu. Peserta didik Islam, baik di
masyarakat maupun di sekolah selalu menghadapi realita, obyek pengalaman :
benda mati, benda hidup. Bagaimana pandangan relegius mengenai makhluk
hidup yang berakhir dengan kematian, bagaimana kehidupan dan kematian itu
dapat dimengerti. Begitu pula realitas semesta, eksistensi manusia yang
memiliki jasmani dan rohani, bahkan bagaimana sebenarnya eksistensi Tuhan
Maha Pencipta[3]

Bukanlan kewajiban sekolah atau pendidik semata untuk  membimbing


peserta didik memahami dunia nyata, tetapi sekolah berkewajiban membina
peserta didik  tentang kebenaran yang berpangkal pada realita itu. Realita
adalah sebagai tahapan pertama dan stimulus untuk menyelami kebenaran.
Peserta didik didik wajib dibina potensi berpikir kritisnya guna mengerti
kebenaran. Mereka harus mampu mengerti perubahan-perubahan dalam
lingkungannya; adat-istiadat, tata sosial dan pola-pola masyarakat, nilai moral
dan hukum.

2.      Bidang Kajian Ontologi


Yang menjadi dasar kajian atau dalam istilah lain sebagai objek kajian (ontologi) filsafat
pendidikan Islam seperti yang termuat di dalam wahyu adalah mengenai pencipta (khalik), ciptaan-
Nya (makhluk), hubungan antar ciptaan-Nya, dan utusan yang menyampaikan risalah pencipta
(rasul). Dalam hal ini al-Syaibany mengemukakan bahwa prinsip-prinsip yang menjadi dasar
pandangan tentang alam raya meliputi dasar pemikiran:
1.      Pendidikan dan tingkah laku manusia serta akhlaknya selain dipengaruhi oleh lingkungan sosial
dipengaruhi pula oleh lingkungan fisik (benda-benda
alam).
1.      Lingkungan dan yang termasuk dalam alam raya adalah segala yang diciptakan oleh Allah swt baik
makhluk hidup maupun benda-benda alam.
2.      Setiap wujud (keberadaan) memiliki dua aspek, yaitu materi dan roh.
Dasar pemikiran ini mengarahkan falsafah pendidikan Islam menyusun konsep alam nyata dan alam
ghaib, alam materi dan alam ruh, alam dunia dan alam akhirat
3.      Alam senantiasa mengalami perubahan menurut ketentuan aturan pencipta.
4.      Alam merupakan sarana yang disediakan bagi manusia untuk meningkatkan kemampuan dirinya.[4]

Dengan demikian, implikasi pandangan ontologi dalam dunia pendidikan


Islam adalah bahwa dunia pengalaman manusia, termasuk peserta didik yang
harus memperkaya kepribadian bukanlah hanya dalam raga dan isinya dalam
arti pengalaman sehari-hari, melainkan sebagai sesuatu yang tak terbatas,
realitas fisik, spritual yang tetap dan yang berubah-ubah (dinamis).
B.     Epistemologi Filsafat Pendidikan Islam
1.      Hakikat Pengetahuan
Epistemologi berasal dari kata episteme yang berarti pengetahuan dan logos yang berarti
ilmu. Jadi epistemologi adalah ilmu yang membahas tentang pengetahuan dan cara memperolehnya.
Epistemologi disebut juga teori pengetahuan, yakni cabang filsafat yang membicarakan tentang cara
memperoleh pengetahuan, hakikat pengetahuan dan sumber pengetahuan.
Dengan kata lain, epistemologi adalah suatu cabang filsafat yang menyoroti atau membahas
tentang tata cara, teknik, atau prosedur mendapatkan ilmu dan keilmuan.[5]

2.      Teori-teori Ilmu Pengetahuan

3.      Pendekatan dan Metode Memperoleh Ilmu Pengetahuan

Adapun tata cara, teknik, atau prosedur mendapatkan ilmu dan keilmuan adalah dengan
metode non- ilmiah, metode ilmiah, dan metode problem solving.

a.       Pengetahuan yang diperoleh dengan metode non- ilmiah adalah pengetahuan yang diperoleh
dengan cara penemuan secara kebetulan; untung-untungan (trial and error); akal sehat (common
sense); prasangka; otoritas (kewibawaan); dan pengalaman biasa.
b.      Metode ilmiah adalah cara memperoleh pengetahuan melalui pendekatan deduktif dan induktif.
c.       Sedangkan metode problem solving adalah memecahkan masalah dengan cara mengidentifikasi
permasalahan, merumuskan hipotesis; mengumpulkan data; mengorganisasikan dan menganalisis
data; menyimpulkan dan conclusion; melakukan verifikasi, yakni pengujian hipotesis. Tujuan
utamanya adalah untuk menemukan teoriteori, prinsip-prinsip, generalisasi dan hukum-hukum.
Temuan itu dapat dipakai sebagai basis, bingkai atau kerangka pemikiran untuk menerangkan,
mendeskripsikan, mengontrol, mengantisipasi atau meramalkan sesuatu kejadian secara tepat.[6]

Metode epistemologi pendidikan Islam

Metode merupakan bagian integral dari epistemologi, karena epistemologi


mencakup banyak pembahasan termasuk metode. Metode epistemologi
pendidikan Islam adalah sebagai metode-metode yang dipakai dalam menggali,
menyusun dan mengembangkan pendidikan Islam. Dengan kata lain, adalah
metode-metode yang dipakai dalam membangun ilmu pendidikan Islam.

Metode epistemologi pendidikan Islam adalah metode yang digunakan


untuk memperoleh pengetahuan tentang pendidikan Islam. Ada perbedaan
antara metode epistemologi pendidikan Islam dengan metode penelitian
pendidikan Islam. Metode epistemologi Islam lebih berada pada tataran
pemikiran filosofis, sedangkan metode penelitian pendidikan Islam berada pada
tataran teknis dan operasional. Metode epistemologi pendidikan Islam
merupakan alat filsafat yang membahas pengetahuan pendidikan Islam. Metode
epistemologi pendidikan Islam berusaha membangun, merumuskan dan
memproses pengetahuan tentang pendidikan Islam. Menurut Mujamil Qomar dari
perenungan-perenungan terhadap ayat-ayat Al-Quran, Hadits Nabi dan
penalaran sendiri, untuk sementara didapatkan lima macam metode yang secara
efektif untuk membangun pengetahuan tentang pendidikan Islam, yaitu:

a.       Metode Rasional (Manhaj ‘Aqli)


Metode Rasional adalah metode yang dipakai untuk memperoleh pengetahuan
dengan menggunakan pertimbangan-pertimbangan atau kriteria-kriteria
kebenaran yang bisa diterima rasio. Menurut metode ini sesuatu dianggap benar
apabila bisa diterima oleh akal, seperti sepuluh lebih banyak dari lima. Tidak ada
orang yang mampu menolak kebenaran ini berdasarkan penggunaan akal
sehatnya, karena secara rasional sepuluh lebih banyak dari lima.
Metode ini dipakai dalam mencapai pengetahuan pendidikan Islam, terutama
yang bersifat apriori. Akal memberi penjelasan-penjelasan yang logis terhadap
suatu masalah, sedangkan indera membuktikan penjelasan-penjelasan itu.
Penggunaan akal untuk mencapai pengetahuan termasuk pengetahuan
pendidikan Islam mendapat pembenaran agama Islam. Machfudz Ibawi berani
menegaskan, bahwa bahasa Al-Quran seluruhnya bersifat filosofis, dengan
pengertian tidak mudah dimengerti tanpa mencari, menganalisis atau menggali
sesuatu yang tersimpan dibalik bahasa harfiah.
Oleh karena itu dibutuhkan pemikiran yang makin rasional dan logis sebagai
media atau alat untuk mendapatkan pengetahuan dan pemahaman terhadap
kandungan Al-Quran sebagai cermin dari ajaran Islam. Teori-teori yang
diformulasikan oleh ilmuwan-ilmuwan Islam tidak banyak dipakai sebagai
landasan dalam membahas masing-masing disiplin ilmu karena masih kalah oleh
teori barat. Bahkan yang paling berbahaya secara intelektual adalah bahwa
teori-teori barat telah dianggap baku dan disakralkan karena tidak pernah
digugat. Teori-teori pendidikan Islam yang dirumuskan pemikir-pemikir Islam
zaman dahulu juga menjadi sasaran pencermatan kembali dengan
menggunakan metode rasional. Seharusnya metode rasional telah lama menjadi
pegangan para filosof pendidikan Islam dalam merumuskan teori. Namun, dalam
kenyataan belum banyak ahli filsafat pendidikan Islam yang memanfaatkan
metode rasional ini.
Pendidikan Islam selama ini secara sinis masih dianggap meniru pendidikan
Barat. Jika diperhatikan landasan pendidikan Islam itu berupa Quran dan Sunnah,
dan seharusnya tidak ada lagi peniruan. Mekanisme kerja metode rasional yang
kesekian kali dalam mencapai pengetahuan pendidikan Islam dilakukan dengan
cara mengembangkan objek pembahasan. Sebenarnya melalui metode rasional
saja dapat diperoleh khazanah pengetahuan pendidikan Islam dalam jumlah
yang amat besar.
b.      Metode Intuitif (Manhaj Zawqi)
Metode intuitif merupakan metode yang khas bagi ilmuan yang menjadikan
tradisi ilmiah Barat sebagai landasan berfikir mengingat metode tersebut tidak
pernah diperlukan dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Sebaliknya
dikalangan Muslim seakan-akan ada kesepakatan untuk menyetujui intuisi
sebagai satu metode yang sah dalam mengembangkan pengetahuan, sehingga
mereka telah terbiasa menggunakan metode ini dalam menangkap
pengembangan pengetahuan. Muhammad Iqbal menyebut intuisi ini dengan
peristilahan “cinta” atau kadang-kadang disebut pengalaman kalbu.
Dalam pendidikan Islam, pengetahuan intuitif ditempatkan pada posisi yang
layak. Pendidikan Islam sekarang menjadikan manusia sebagai objek material,
sedang objek formalnya adalah kemampuan manusia. Pendidikan Islam
sebenarnya secara spesifik terfokus untuk mempelajari kemampuan manusia itu,
baik berdasarkan wahyu, pemberdayaan akal maupun pengamatan langsung. Di
kalangan pemikir Islam, intuisi tidak hanya disederajatkan dengan akal maupun
indera, tetapi bahkan lebih diistimewakan daripada keduanya. Bagi Al-Gazhali,
bahwa al-zawaq (intuisi) lebih tinggi dan lebih dipercaya, daripada akal untuk
menangkap pengetahuan yang betul-betul diyakini kebenarannya. Sumber
pengetahuan tersebut dinamakan al-nubuwwat, yang pada nabi-nabi berbentuk
wahyu dan pada manusia biasa berbentuk Ilham.
Sebagai suatu metode epistemologi, intuisi itu bersifat netral.  Artinya ia bisa
dimanfaatkan untuk mendapatkan berbagai macam pengetahuan. Hakekat
intuisi menurut Al-Tahawuny, bisa bertambah dan berkurang. Bila kita
mengamati pengalaman kita sehari-hari tampaknya ada perbedaan frekuensi
intuisi muncul dalam rentang waktu tertentu. Adakalanya dalam waktu yang
berututan muncul beberapa kali, tetapi terkadang dalam waktu yang lama juga
tidak kunjung tiba. Akal adalah suatu substansi ruhaniah  yang melihat
pemahaman yang kita sebut hati atau kalbu, yang merupakan tempat terjadinya
intuisi. Penggunaan akal dan intuisi secara integral dapat memberikan kontribusi
yang cukup besar terhadap pengembangan metode-metode yang dipakai
menggali pengetahuan. Metode interpretasi misalnya, ia diyakini akan tumbuh
dan berkembang melalui pemanfaatkan metode-metode yang menggunakan
akal dan intuisi. Intuisi itu bisa didatangkan untuk memberikan pencerahan
konsentrasi, kontemplasi, dan imajinasi. Sebaiknya kita memiliki tradisi
ketiganya ini dalam mengembangkan atau menyusun konsep pendidikan Islam
yang bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah di hadapan kriteria ilmu
pengetahuan dan secara normatif di hadapan wahyu.
c.       Metode Dialogis (Manhaj Jadali)
Metode dialogis yang dimaksudkan di sini adalah upaya menggali pengetahaun
pendidikan Islam yang dilakukan melalui karya tulis yang disajikan dalam bentuk
percakapan antara dua orang ahli atau lebih berdasarkan argumentasi-
argumentasi yang bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Metode ini
memiliki sandaran teologis yang jelas. Upaya untuk mecari jawaban-jawaban
adalah aktivitas yang baik menurut Islam maupun ilmu pengetahuan. Peristiwa
sebagai wujud dialog telah dikemukakan dalam Al-Quran. Pendidikan Islam perlu
didialogkan dengan nalar kita untuk memperolah jawaban-jawaban yang
signifikan dalam mengembangkan pendidikan Islam tersebut. Nalar itu akan
memiliki daya analisis yang tajam manakala menghadapi tantangan-tantangan.
Ilmu pendidikan Islam harus bertumpu pada gagasan-gagasan yang dialogis
dengan pengalaman empiris yang terdiri atas fakta atau informasi  untuk diolah
menjadi teori yang valid yang menjadi tempat berpijaknya
suatu  pengetahuan  ilmiah. Untuk menerapkan metode ini, dapat disiapkan
wadahnya dengan beberapa cara, misalnya dengan menetapkan pasangan
dialog, membentuk forum dialog, mempertemukan dua forum dialog, maupun
dengan mengundang pakar-pakar pendidikan Islam, apabila difungsikan secara
maksimal. wadah-wadah dialog itu hanya berbeda skalanya saja, sedang misi
dan fungsinya relative sama. Semuanya sebagai wadah untuk menggali
pengetahuan pendidikan Islam dari Al-Quran, hadits dan praktek-praktek
pendidikan Islam, kemudian dirumuskan dalam teori-teori ilmiah tentang
pendidikan Islam.
Metode dialogis dalam epistemologi pendidikan Islam ini bisa mengambil
bermacam-macam objek: ketentuan-ketentuan wahyu, baik yang terdapat pada
Al-Quran maupun hadits yang disebut dengan konsep-konsep normatif,
pendapat-pendapat para pakar pendidikan  Islam, baik pada masa lampau
maupun sekarang yang disebut konsep-konsep teoritis, dan pengamatan
terhadap pengalaman-pengalaman melaksanakan pendidikan bagi kaum Muslim,
baik dahulu maupun sekarang yang bisa disebut “konsep-konsep empiris”.
Semua Objek itu ada dalam bingkai keislaman karena Islam terbagi menjadi dua,
yaitu Islam dalam arti wahyu dan Islam dalam arti budaya. Islam wahyu berupa
Al-Quran dan hadis sedang Islam budaya berupa pemikiran, pengalaman,
maupun tradisi umat Islam.
d.      Metode Komparatif (Manhaj Maqaran)
Metode komparatif adalah metode memperoleh pengetahuan (dalam hal ini
pengetahuan pendidikan Islam, baik sesama pendidikan Islam maupun
pendidikan Islam dengan pendidikan lainnya). Metode ini ditempuh untuk
mencari keunggulan-keunggulan maupun memadukan pengertian atau
pemahaman, supaya didapatkan ketegasan maksud dari permasalahan
pendidikan. Maka metode komparatif ini masih bisa dibedakan dengan
pendidikan perbandingan. Metode komparatif sebagai salah satu metode
epistemologi pendidikan Islam objek yang beragam untuk diperbandingkan,
yaitu meliputi: perbandingan sesama Ayat Al-Quran tentang pendidikan, antara
ayat-ayat pendidikan dengan hadits-hadits pendidikan, antara sesama hadits
pendidikan, antara sesama teori dari pemikir pendidikan, antara sesama teori
dari pakar pendidikan Islam dan non Islam, antara sesama lembaga pendidikan
Islam, antara sesama lembaga pendidikan Islam dengan lembaga pendidikan
non Islam, antara sesama sejarah umat Islam dahulu dan sekarang.
e.       Metode Kritik (Manhaj Naqdi)
Metode kritik yaitu sebagai usaha untuk menggali pengetahuan tentang
pendidikan Islam dgan cara mengoreksi kelemahan-kelemahan suatu konsep
atau aplikasi pendidikan, kemudian menawarkan solusi sebagai altrnatif
pemecahannya.
Jadi maksudnya kritik bukan karena adanya kebencian, melainkan karena
adanya kejanggalan-kejanggalan atau kelemahan-kelemahan yang harus
diluruskan. Sebenarnya kritik adalah metode kita yang sudah ada sejak dulu dari
ilmu kalam, fiqh, sejarah Islam maupun hadits. Namun sayangnya sekarang
jarang sekali kalangan Muslim yang berpijak pada metode kritik ketika
mengungkapkan gagasan-gagasannya.
Salah satau pemikir muslim yang karya-karyanya bernuansa kritik adalah
Muhammad Arkoun. Beliau mengkritik bangunan epistemologi keilmuan agama
Islam.
Sebenarnya kritik itu berkonotasi dalam makna upaya membangun, tidak seperti
yang kita pahami selama ini bahwa kritik adalah penghinaan. Dan itu berakibat
umat muslim merasa tidak suka terhadap kritik. Dengan menggunakan metode
kritik dapat mengkritik teori barat yang tidak sepaham dengan nas-nas wahyu
yang berkaitan dengan pendidikan Islam.[7]        

C.    Aksiologi Filsafat Pendidikan Islam


Aksiologi adalah istilah yang berasal dari kata Yunani yaitu;   axios yang berarti sesuai atau
wajar dan logos yang berarti ilmu. Aksiologi dipahami sebagai teori nilai.
Landasan aksiologi adalah berhubungan dengan penggunaan ilmu tersebut dalam rangka
memenuhi kebutuhan manusia berikut manfaatnya bagi kehidupan manusia.
Dengan kata lain, apa yang dapat disumbangkan ilmu terhadap pengembangan ilmu itu dalam
meningkatkan kualitas hidup manusia.
Dalam bahasan lain, tujuan keilmuan dan pendidikan Islam yang berusaha untuk mencapai
kesejahteraan manusia di dunia dan akhirat ini esuai dengan Maqasid al-Syariah yakni tujuan Allah
SWT dan Rasul-Nya dalam merumuskan hukum Islam. Sementara menurut Wahbah al Zuhaili,
Maqasid Al Syariah berarti nilai- nilai dan sasaran syara' yang tersirat dalam segenap atau bagian
terbesar dari hukum-hukumnya. Nilai- nilai dan sasaran-sasaran itu dipandang sebagai tujuan dan
rahasia syariah, yang ditetapkan oleh al-Syari' dalam setiap ketentuan hukum.[8]
Kemudian Muzayyin Arifin memberikan definisi aksiologi sebagai suatu pemikiran tentang
masalah nilai- nilai termasuk nilai tinggi dari Tuhan, misalnya nilai moral, nilai agama, dan nilai
keindahan (estetika).[9]
Jika aksiologi ini dinilai dari sisi ilmuwan, maka aksiologi dapat diartikan sebagai
telaah tentang nilai - nilai yang dipegang ilmuwan dalam memilih dan menentukan prioritas bidang
penelitian ilmu pengetahuan serta penerapan dan pemanfaatannya.[10]
Aksiologi : Nilai kegunaan ilmu, penyelidikan tentang prinsip-prinsip nilai.

Macam-macam nilai dalam aksiologi


Brameld dalam Syom (1988) membagi nilai dalam aksiologi menjadi:
1.      Moral conduct, tindakan moral, bidang ini melahirkan disiplin khusus yaitu
Ethika.
2.      Esthetic expression, ekspresi keindahan, yang melahirkan Esthetika,.
3.      Socio-polical life, kehidupan sosio-politik, yang melahirkan ilmu filsofat sosio-
politik.
Masalah-masalah aksiologi di atas menjelaskan dengan kriteria atau prinsip
tertentu, apakah yang dianggap baik di dalam tingkah laku manusia itu, apakah
yang dimaksud indah dalam seni dan apakah yang benar dan diinginkan dalam
organisasi social kemasyarakatan-kenegaraan.

Implikasi aksiologi dalam dunia pendidikan adalah menguji dan


mengintegrasikan nilai tersebut dalam kehidupan manusia dan membinakannya
dalam kepribadian anak didik. Memang untuk menjelaskan apakah yang baik itu,
benar, buruk dan jahat bukanlah sesuatu yang mudah. Apalagi, baik, benar,
indah dan buruk, dalam arti mendalam dimaksudkan untuk membina
kepribadian ideal anak, jelas merupakan tugas utama pendidikan.
Pendidikan harus memberikan pemahaman/pengertian baik, benar, bagus,
buruk dan sejenisnya kepada peserta didik secara komprehensif dalam arti
dilihat dari segi etika, estetika dan nilai sosial. Dalam masyarakat, nilai-nilai itu
terintegrasi dan saling berinteraksi. Nilai-nilai di dalam rumah tangga/keluarga,
tetangga, kota, negara adalah nilai-nilai yang tak mungkin diabaikan dunia
pendidikan bahkan sebaliknya harus mendapat perhatian..

[1] Mohammad Adib. Filsafat Ilmu: Ontologi, Epitemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan.
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hlm. 69

[2] Ibid.

[3] Muhammad Yusri. Ontopologi, Episteminologi dan Aksiologi Filsafat


Pendidikan Islam.

[4] Ahmad Syari’i. Filsafat Pendidikan Islam. (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005), hlm. 123

[5] Mohammad Adib. Loc.cit,hlm.74-75.


[6] Ibid.

[7] http://fitrianahadi.blogspot.com/2015/02/epistemologi-ilmu-pendidikan-islam.html.
diunduh pada Senin,16 Maret 2015/10.00

[8] Ibid. Hlm. 79.

[9] Muzayyin Arifin. Filsafat Pendidikan Islam. (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), hlm. 8

[10] Ilyas Supena. Desain Ilmu -ilmu Keislaman: dalam Pemikiran Hermeneutika Fazlur Rahman.
(Semarang: Walisongo Press, 2008), hlm. 151.

Kosmologi Dalam Islam

Kosmologi Dalam Islam

A.      Pengertian

Secara etimologi Kosmologi merupakan paduan kata Kosmos


(cosmos) dan Logos, yang berarti ilmu tentang alam semesta. Dalam
terminologinya salah satu pengertian kosmologi ialah serangkaian
keyakinan dan pandangan universal yang tersistematis mengenai manusia
dan alam semesta, atau secara umum mengenai ‘ke-ada-an’ (wujud).

B.            Agama dan Kosmologi


Agama-agama monoteisme yang merupakan agama samawi dan
hakiki memiliki tiga prinsip universal yang kolektif.  Pertama, keyakinan
kepada Tuhan Yang Esa. Kedua, keyakinan kepada kehidupan yang
abadi untuk setiap manusia di alam akhirat serta ganjaran dan pahala
untuk setiap perbuatannya ketika hidup di alam dunia.  Ketiga,
keyakinan kepada pengutusan  para Nabi oleh Allah SWT untuk menuntun
umat manusia kepada kesempurnaan dan kebahagiaan dunia dan akhirat.
Tiga prinsip tersebut pada hakikatnya adalah jawaban untuk beberapa
pertanyaan fundamental untuk setiap orang yang arif dan bijak yaitu, apa
dan siapakah kausa prima atau sumber pertama wujud alam semesta ini? 
Apa relasi manusia (aktivitas) dengan wujud alam semesta? Dan Apakah
akhir dari kehidupan ini?  Dalam hal ini kosmologi mencoba memberikan
jawaban pada prinsip kedua di atas.

C.        Kosmologi dan keImanan (Tauhid)

Kosmologi pada dasarnya adalah bagian dari instrumen


memahami arkanul iman dalam aspek iman kepada Qada dan Qadar, dan
iman kepada hari akhir. Kosmologi jualah yang memberikan benang
merah dari relasi antara Tuhan (Allah swt), manusia dan alam semesta.
Dengan pemahaman yang benar tentang kosmologi, maka dapat
menciptakan harmoni dalam hubungan antara Tuhan, manusia dan alam
semesta (Tauhid)1.

Di tengah umat manusia terdapat aneka ragam kosmologi.  Semuanya bisa


dibagi dalam dikotomi kosmologi ketuhanan (teisme) dan kosmologi
materialisme.  Penganut kosmologi materialisme dulu disebut zindiq atau
mulhid (ateis), sedangkan sekarang lazim disebut materialis. Mari kita
tinjau lagi dua pandangan materialisme tentang alam semesta :
1.        Alam semesta telah ada sejak waktu yang tak terbatas, dan karena tidak
mempunyai awal atau akhir, alam semesta tidak diciptakan.

2.        Segala sesuatu dalam alam semesta hanyalah hasil peristiwa kebetulan dan
bukan produk rancangan, rencana, atau visi yang di-sengaja.

Kedua pandangan ini dikemukakan dengan berani dan dibela


mati-matian oleh materialis abad ke-19, yang tentu saja tidak punya jalan
lain kecuali bergantung kepada pengetahuan ilmiah zaman mereka yang
terbatas dan tidak canggih. Kedua pendapat itu telah dibantah sepe-nuhnya
dengan penemuan-penemuan sains abad ke-20.

Dampak dari kedua pandangan materialisme ini adalah mengingkari


keberadaan Sang Maha Pencipta, yaitu Allah 2. Dengan mereduksi segala
sesuatu ke tingkat materi, teori ini mengubah manusia menjadi makhluk
yang hanya berorientasi kepada materi dan berpaling dari nilai-nilai moral.
Ini adalah awal dari bencana besar yang akan menimpa hidup manusia.
Kerusakan ajaran materialisme tidak hanya terbatas pada tingkat individu.
Ajaran ini juga mengarah untuk meruntuhkan nilai-nilai dasar suatu
negara dan masyarakat dan menciptakan sebuah masyarakat tanpa
jiwa dan rasa sensitive , yang hanya memperhatikan aspek materi.
Anggota masyarakat yang demikian tidak akan pernah memiliki idealisme
seperti patriotisme, cinta bangsa, keadilan, loyalitas, kejujuran,
pengorbanan, kehormatan atau moral yang baik, sehingga tatanan sosial
yang dibangunnya pasti akan hancur dalam waktu singkat. Karena itulah,
materialisme menjadi salah satu ancaman paling berat terhadap nilai-nilai
yang mendasari tatanan politik dan sosial suatu bangsa. Satu lagi
kejahatan materialisme adalah dukungannya terhadap ideologi-
ideologi anarkis dan bersifat memecah belah, yang mengancam
kelangsungan kehidupan negara dan bangsa 3. Di suatu masyarakat yang
orang-orangnya hidup hanya demi pemuasan hasrat mereka sendiri, tentu
mustahil perdamaian, percintaan, dan persahabatan dilestarikan. Di
masyarakat seperti ini, hubungan antara manusia bergantung pada
kepentingan yang timbal-balik. Rasa saling curiga berlangsung dengan
kuat. Ketika tiada alasan untuk tulus, jujur, bisa dipercaya, atau berbudi
mulia, tiada yang suka hidup dalam penipuan, pembohongan, dan
pengkhianatan.

Namun sejak awal, kita melihat bahwa materialisme telah runtuh


karena gagasan tentang kekekalan materi telah dihancurkan oleh teori
Dentuman Besar (Big Bang), yang menunjukkan bahwa jagat raya
diciptakan dari ketiadaan. Yang terkubur pertama kali adalah pendapat
bahwa alam semesta sudah ada sejak waktu yang tak terbatas. Sejak tahun
1920-an, telah muncul bukti tegas bahwa pendapat ini tidak mungkin
benar. Para ilmuwan sekarang merasa pasti bahwa jagat raya tercipta dari
ketiadaan, sebagai hasil suatu ledakan besar yang tak terbayangkan, yang
dikenal sebagai "Dentuman Besar (Big Bang)". Dengan kata lain, alam
semesta terbentuk, atau tepatnya, diciptakan oleh Allah. Abad ke-20 juga
menyaksikan kehancuran klaim materialis yang kedua: bahwa segala
sesuatu di jagat raya adalah hasil dari kebetulan dan bukan rancangan.
Riset yang diadakan sejak tahun 1960-an dengan konsisten menunjukkan
bahwa semua keseimbangan fisik alam semesta umumnya dan bumi kita
khususnya dirancang dengan rumit untuk memungkinkan kehidupan.
Ketika penelitian ini diperdalam, di-temukan bahwa setiap hukum fisika,
kimia, dan biologi, setiap gaya-gaya fundamental seperti gravitasi dan
elektromagnetik, dan setiap detail struktur atom dan unsur-unsur alam
semesta sudah diatur dengan tepat sehingga manusia dapat hidup.
Ilmuwan masa kini menyebut de-sain luar biasa ini "prinsip antropis".
Prinsip ini menyatakan bahwa setiap detail alam semesta telah dirancang
dengan cermat untuk me-mungkinkan manusia hidup.

D.            Bencana akibat kesalah pahaman terhadap kosmologi

Akhir-akhir kita sering mendengar, menonton dan bahkan


merasakan banyaknya bencana alam yang terjadi di sekeliling kita, di
negara kita dan bahkan di dunia. Hal tersebut tidak lain adalah akibat ulah
tangan manusia, mereka mengeksploitasi alam layaknya alam ini tak punya
kekuatan dan daya untuk membalas perbuatan manusia. Hukum alam
adalah mutlak sehingga mengeksploitasi alam dengan sewenang-wenang
tanpa mempertimbangkan dampak kelestariannya maka sama saja dengan
mengobrak-abrik hukum alam yang tentu saja adalah hukum Tuhan (Allah
swt). Jika keseimbangan alam sudah terganggu, jangan pernah berharap
suhu global bisa turun, lapisan ozon bisa menebal, erosi, banjir dan tanah
longsor tidak terjadi, gempa dan tsunami akan teredam. Setiap aktivitas
manusia yang tidak mempertimbangkan kehidupan alam sekitarnya
akan memberikan konstribusi bagi cepatnya kedatangan hari Kiamat.

E.        Kosmologi dan Ibrah bagi manusia

Di sinilah kita melihat bahwa kosmologi adalah instrument untuk


memahami iman kepada Qada dan Qadar dan iman kepada hari akhir, yang
merupakan kesatuan tauhid (arkanul iman/rukun iman), yakni :

1. Setiap penciptaan tidaklah dengan sia-sia tetapi pasti memiliki qadar


(ketentuan/ukuran dan fungsi)nya masing-masing, bagaimana matahari
beredar pada orbitnya4, langit tanpa tiang dan gunung yang dipancangkan 5,
yang dengan itulah sesungguhnya setiap ciptaan bertasbih kepada sang
Khalik

2. Setiap ciptaan tunduk pada ketentuan yang ditetapkan padanya, yang


dalam bahasa sains disebut hukum alam6, sementara manusia memiliki
pilihan hidup yang dengan itu pula ia diberikan ganjaran sesuai
perbuatannya7.

3. Alam semesta dan semua yang ada memiliki kesudahan atau akhir yang
pasti (hari akhir /kiamat)8

4.Bahwa manusia memiliki peran dan tanggung jawab terhadap pengelolaan


alam 9 yang merupakan bagian dari peribadatan kepada Allah swt.

F.              Bagaimana seorang Muslim bersikap

Setelah memahami kosmologi, maka seorang muslim diharapkan :

1. Alam semesta dan lingkungan pada khususnya adalah anugrah Tuhan yang
harus dijaga dan dilestarikan, tidak boleh di rusak

2. Berkewajiban melakukan konservasi sumber daya alam dan ekosistem


sehingga terpelihara kelestariannya demi kesejahteraan dan kemaslahatan
umat manusia serta keseimbangan system kehidupan di alam raya ini.

3. Setiap kita dituntut untuk mempraktekkan dan membudayakan pola hidup


ramah lingkungan.

4. Mencegah terjadinya eksploitasi alam yang serampangan secara individu


dan kolektik bersama instansi terkait.
G.            Khatimah

Begitulah, melalui sains manusia mencoba mendeskripsikan apa


dan bagaimana proses fenomena alam bisa terjadi dalam konteks
eksperimen dan pengamatan, dengan parameter yang bisa diamati dan
diukur. Agama memperluas spektrum makna alam semesta bagi manusia
tentang kehadiran benda-benda alam semesta, kehidupan dan manusia.
Jawaban singkat tentang pertanyaan Siapa pencipta alam semesta beserta
hukum-hukum alamnya: Allah adalah zat yang Maha Pencipta. Agama
memper-luas pengetahuan yang dicakup oleh metodologi sains dan
rasionalitas manusia seperti berkenalan dengan alam gaib, akhirat dan
sebagainya. Namun begitu, rupanya berbagai pertanyaan manusia tentang
misteri alam semesta di sekitar planet Bumi masih banyak yang belum
terjawab atau mungkin tak berjawab hingga kehancuran Bumi.

Referensi nash Al Qur`an :


1. Ali Imran : 190-191 6. Fushshilat : 11

2. Al An`am : 116 7. Asy Syams : 8 - 10

3. Surat Huud, 92 8. Az Zalzalah

4. Al Anbiya : 33 9. Al Baqarah : 30

5. Luqman : 10

Rujukan :

Anonim, Agama dan Kosmologi.

www.geocities.com/pakdenono/index.htm, diakses pada tanggal 7 maret 2006

Sarwar, HG. 1994. Filsafat Al Qur`an. PT Rajagrafindo persada. Jakarta

Yahya . H, 2002. Mengenal Allah lewat Akal. Rabbani press. Jakarta


Yahya . H, 2002. Penciptaan Alam Semesta. Rabbani press. Jakarta

Yahya . H, 2002. Keruntuhan Teori Evolusi. Rabbani press. Jakarta

Yahya. H, 2002. Ledakan Big Bang menggema ke segenap penjuru Alam


Semesta. Artikel. www.geocities.com/pakdenono/index.htm ,diakses pada
tanggal 7 maret 2006.

PP Muhammadiyah, 2001. Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah.


Suara Muhammadiyah. Jogjakarta

 Home
 Daftar Isi
 Agama
 Umum
 Artikel
 Tentang Saya

Home → AGAMA → KOSMOLOGI DALAM AL-QUR’AN

KOSMOLOGI DALAM AL-QUR’AN


muhamad salim

AGAMA

Sunday, March 24, 2013

PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan, orang mulai melakukan pengamatan lebih
rasional terhadap alam semesta. Astronomi berkembang, dari pengamatan bintang dan planet
melebar ke studi struktur dan evolusi alam semesta. Lahirlah Kosmologi, sains yang mencari
pemahaman fundamental alam semestaa. Menarik jika kita melihat hubungan Sains dengan Teologi.
Kosmologi Islam menjadi contoh yang sangat bagus untuk menggambarkan hubungan harmonis di
antara kedanya: bagaimana sains membantu memahami al-Quran. Tulisan ini akan menyajikan
bagaimana Islam mengajarkan Kosmologi pada umat manusia dari literatur paling utama: al-Quran.
Dan kemudian kita akan melihat bagaimana sains membahas dalam kasus yang sama. Bukan
bermaksud untuk mencocok-cocokkan agama dengan sains atau sebaliknya. Sebagai muslim tentu
percaya al-Quran mutlak kebenarannya, walau mungkin kemampuan kita belum cukup memahami
maknanya. Sementara kebenaran sains itu relatif, sebuah teori (dalam sains) dianggap benar selama
tidak ada teori yang membuktikan itu salah. Teori yang dianggap benar sekarang bisa jadi usang 100
tahun lagi. Pemaparan literatur sains yang dilakukan adalah sejauh pemahaman sains itu sendiri dan
teknologi yang menyertainya. Pengamatan kita tentang alam semesta ini dalam kerangka
meningkatkan keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah. Yakni dengan menyaksikan tanda-tanda
kekuasaan dan kebesaran-Nya melalui ayat –ayat karuniyah-Nya yang terhampar luas di alam
semesta.
Tidak ada cabang dari sains yang memiliki hubungan secara langsung dengan kepercayaan
agama selain kosmologi—ilmu yang berhubungan dengan asal-usul dan pengembangan alam
semesta. Namun, adanya hubungan langsung itu sendiri masih membingungkan. Apa yang dimaksud
dengan kosmologi pada saat ini seluruhnya berbeda dengan yang dimaksud pada abad kedelapan.
Penggunaan istilah yang serupa dalam wacana sains, filsafat, dan agama juga menambah
kebingungan. Sebagai contoh, apa yang dimaksud Aristoteles dengan celestial region tidak sama
menurut pendapat para Sufi, meskipun keduanya menggunakan istilah celestial untuk menunjukkan
wilayah di luar zona terrestrial. Celestial region menurut para Sufi dihuni oleh entitas tertentu yang
memiliki karakteristik tertentu, pendapat ini sangat berbeda dengan Aristoteles. Kosmologi, tentu
saja mengalami perkembangan secara filosofi selama periode Yunani, tradisi ilmiah Islam, dan
bahkan sampai sekarang. Banyak data eksperimental telah ditemukan yang menjadi fondasi
langsung pada pertanyaan tentang asal-usul kosmos, utamanya secara teoritis.
Dalam perspektif Al-Quran tentang penciptaan alam fisik dapat diringkas sebagai berikut:
alam semesta diciptakan Tuhan untuk suatu tujuan. Setelah menciptakan alam semesta dan semua
yang terkandung di dalamnya, Tuhan tidak meninggalkannya; karena kenyataannya seluruh ciptaan
selalu membutuhkan Tuhan; tanpa cinta-Nya kosmos tidak bisa eksis. Pada saat sebelum
mewujudnya suatu momen, kepastian pengetahuan tetap berada pada Tuhan. Segala sesuatu yang
ada di dunia akan binasa. Hal ini akan diikuti dengan kebangkitan dan kehidupan jenis baru di bawah
seperangkat hukum yang sama sekali baru.

B.     RUMUSAN MASALAH


1.      Apa definisi Kosmologi ?
2.      Apa pengaruh Al-Qur’an dalam kosmologi ?
3.      Apa saja bukti-bukti ayat yang menunjukkan penciptaan alam semesta ?
4.      Bagaimana Penciptaan Alam Menurut Ilmu Pengetahuan Dan Teknoloogi ?
PEMBAHASAN
     A.   DEFINISI KOSMOLOGI

Kosmologi atau dalam bahasa inggrisnya “cosmology” adalah gabungan dari dua kata yaitu
“cosmo” dan “logos” yang berasal dari bahasa Yunani. “cosmo” berarti alam semesta atau dunia
yang teratur, dan “logos” berarti ilmu dengan maksud penyelidikan atau asas-asas rasional. Dengan
demikian Kosmologi adalahsatu kajian berkenaan evolusi dan struktur alam semesta yang teratur
yang ada masa kini. Kamus Webster pula mentakrifkan Kosmologi sebagai teori atau falsafah
mengenai wujud alam semesta, kamus Oxford dengan ringkas menyebutnya sebagai sains dan teiri
alam semesta. Kosmologi berkaitan dengan pandangan dunia (world view). Hal ini karena kajian
mengenai pandangan dunia merupakan suatu percobaan untuk mengkaji bagaimana suatu
kelompok manusia memandang alam natural dan alam supernatural, serta masyarakatnya dan diri
mereka sendiri (Abdul Rahman,1995:1). Jika di Barat pemikiran mengenai Kosmologi bermula di
Yunani, maka di Timur ada China, India, dan Persia yang mempunyai saham besar dalam mencirikan
Kosmologi.

Kesulitan eksperimen untuk memapankan sebuah teori Kosmologi, sampai pada abad
pertengahan hipotesis dasar Kosmologi lahir dari pemahaman dari pemikiran manusia tempo dulu,
mitos, pengataman yang terbatas, dan teologi. Teologi menjadi sumber yang paling banyak
berkontribusi.

Mitos misalnya, ada kosmologi bangsa viking yang terkenal (yang kemudian menjadi basis
dasar Tolkien dalam membangun dunia fantasi middle-earth-nya), atau bagaimana kepercayaan
bangsa maya tentang penciptaan alam semesta. Dari teologi, hampir seluruh agama menyertakan
cerita alam semesta; Hindu, Budha, Kristen, Yahudi, dan Islam. Setelah sains berkembang dan
teknologi memadai, baru kemudian pengamatan secara signifikan berkontribusi pada Kosmologi.

B.   PENGARUH AL-QUR’AN DALAM KOSMOLOGI


Seperti telah dikemukakan sebelumnya, Al-Quran memperlakukan seluruh apa yang
diciptakan sebagai tanda (sign), ayat. Hal ini termasuk alam semesta dan semua yang ada di
dalamnya. Menurut definisinya, ayat merujuk kepada sesuatu selain dirinya sendiri. Dengan
demikian, jika dilihat dari perspektif Al-Quran, alam semesta dan semua yang ada di dalamnya
merupakan tanda-tanda Sang Pencipta yang diciptakan melalui perintah sederhana: Jadilah (be, kun)
(QS. 36:82). Meskipun Al-Quran memberikan penjelasan yang sangat spesifik mengenai penciptaan
kosmos, ia tidak memberitahu kita dengan apa dibuatnya atau kapan. Selain itu, penting untuk
diingat bahwa alam semesta menurut Al-Quran bukan hanya materi fisik yang terdiri dari bintang-
bintang, planet dan entitas fisik lainnya; tetapi juga mencakup kosmos spiritual yang dihuni oleh
entitas nonfisik. Kosmos nonfisik itu terdiri dari tingkat-tingkat eksistensi yang tak terhitung dan jauh
lebih unggul dari alam fisik yang menempati posisi relatif rendah dalam tingkat eksistensi.

Dalam perspektif Al-Quran tentang penciptaan alam fisik dapat diringkas sebagai berikut:
alam semesta diciptakan Tuhan untuk suatu tujuan. Setelah menciptakan alam semesta dan semua
yang terkandung di dalamnya, Tuhan tidak meninggalkannya; karena kenyataannya seluruh ciptaan
selalu membutuhkan Tuhan; tanpa cinta-Nya kosmos tidak bisa eksis. Pada saat sebelum
mewujudnya suatu momen, kepastian pengetahuan tetap berada pada Tuhan. Segala sesuatu yang
ada di dunia akan binasa. Hal ini akan diikuti dengan kebangkitan dan kehidupan jenis baru di bawah
seperangkat hukum yang sama sekali baru.

Secara umum, penciptaan dan akhir dari kosmos dapat ditemukan di ayat-ayat yang
dilengkapi dengan rincian spesifik yang tersebar di seluruh Al-Quran. Alam semesta diciptakan dalam
enam hari (QS. 7:54-56; 25:59), penciptaan bumi dalam dua masa (QS. 41:9), Tuhan juga
menciptakan tujuh langit (QS. 2:29), tujuh langit yang berlapis-lapis (QS. 67:3). Tuhan menghiasi
langit dengan bintang-bintang (QS. 67:5); Dia yang menggerakkan semua bintang dan planet-planet
sehingga dapat membimbing perjalanan manusia dengan posisi mereka (QS. 6:97); Dia menutupkan
malam atas siang dan menutupkan siang atas malam (QS. 39:5). Sangat penting untuk dicatat bahwa
kata “hari” yang digunakan dalam ayat-ayat ini dalam tradisi Islam selalu dipahami secara non-
kuantitatif. Al-Quran itu sendiri menjelaskan bahwa sehari disisi Tuhan adalah seperti seribu tahun
menurut perhitunganmu (QS. 22:47). Dalam ayat lain disebutkan satu hari yang kadarnya adalah
lima puluh ribu tahun (QS. 70:4). Karena itu aliran skala waktu dalam penjelasan Al-Quran mengenai
asal—dan juga sejarah—kosmos didasarkan pada konsep kualitatif waktu. Walaupun riwayat ini
memiliki kemiripan tertentu dengan penjelasan Bibel tentang penciptaan, tetapi pada dasarnya
sangat berbeda dari Genesis, dan hal ini dapat menjadi salah satu alasan mengapa belum ada
kesejajaran dengan “Bumi muda” dalam tradisi Islam.

Al-Quran tidak menjelaskan bagaimana atau kapan kosmos diciptakan, hal itu sebagai
undangan kepada pembacanya untuk mempelajari dunia fisik. Bahkan, undangan Al-Quran untuk
mengamati kerja kosmos ini diulang-ulang seolah-olah seperti mendesak kepada pembacanya
bahwa budidaya sains modern merupakan sebuah kewajiban agama bagi seorang Muslim—perintah
yang ditentukan oleh Al-Quran itu sendiri. Apakah benar atau tidak, pendekatan sederhana ini bukan
untuk menjustifikasi tujuan undangan Al-Quran, karena Al-Quran mengajak pembacanya untuk
mengamati ketertiban dan keteraturan alam semesta yang hal ini untuk mengekspresikan tujuan
dari memahami realitas yang berada di luar dunia fisik. Undangan untuk mengamati alam fisik sering
diikuti perintah tegas ketertiban dan keteraturan alam semesta adalah tanda kehadiran satu-satunya
Pencipta. Ketertiban kosmos adalah bukti kemahakuasaan, kekuasaan, dan kebijaksanaan Tuhan.

Deskripsi Al-Quran tentang dunia memainkan peran sentral sehingga memunculkan


kosmografi yang berbeda dalam pemikiran Islam. Kosmografi ini menggambarkan fitur utama dari
kosmos yang dikembangkan melalui sebuah proses kompleks yang melibatkan berbagai aliran
pemikiran, termasuk menerjemahkan karya filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab, interaksi antara
berbagai sekolah pemikiran dalam tradisi filsafat Islam, perdebatan teologis tentang Allah, sifat-sifat-
Nya, hubungan-Nya dengan dunia, dan masalah serupa lainnya dari dinamika internal masyarakat
Muslim yang banyak muncul sebelum gerakan terjemahan. Isu-isu ini tidak hanya berupa
pertanyaan-pertanyaan intelektual yang timbul dari penafsiran Al-Quran tapi juga berdimensi politis,
teologis, dan sosial. Perdebatan mengenai pertanyaan-pertanyaan ini memunculkan berbagai
sekolah pemikiran yang secara garis besar dapat dibagi menjadi dua sekolah utama: Mu`tazilah dan
Asy`ariyah, keduanya tertarik dalam kosmologi dan merumuskan suatu teori yang menyeluruh
tentang penciptaan. Secara umum, diakui bahwa alam fisik yang eksis dalam skema besar
penciptaan mencakup berbagai tingkat eksistensi, termasuk nonfisik, dan hal ini tidak dapat
dipisahkan dari konteks tersebut. Kosmografi sebagaimana gambaran para Sufi bahwa dunia fisik
memiliki tingkatan-tingkatan wujud dan eksistensi tertentu.

Kosmografi yang muncul dalam pemikiran Islam setelah gerakan terjemahan didominasi oleh
perdebatan atas pertanyaan tentang keabadian dunia atau penciptaannya ex nihilo dalam waktu.
Arus utama perdebatan dalam pemikiran Islam mengenai masalah penciptaan dan keabadian terjadi
antara filsuf Helenis Muslim dan lawan-lawannya yang disebut para pemikir ortodoks, dan seluruh
perdebatan yang muncul telah keluar dari krisis yang dihasilkan oleh gerakan terjemahan. Pada
kenyataannya, hal ini jauh lebih bernuansa. Misalnya, secara kosmografi dunia fisik terbagi menjadi
daerah celestial dan terrestrial, sama seperti pendapat Aristoteles, tapi hal ini tidak berarti
mencakup penerimaan segala hal tentang pemikiran Aristoteles. Bahkan filsuf Islam yang paling
Helenis (Ibn Sina dan Ibn Rusyd) telah mengubah konsep kosmos dan keabadiannya dari Aristoteles,
meskipun mereka menerima keabadian dunia.

Modifikasi kosmos Aristotelian ini bukan hanya cara yang cerdas dari pengulangan hal yang
sama. Misalnya, substansi alam fisik yang sebenarnya, dipahami oleh Aristoteles sebagai “materi”
dari sebuah abstraksi yang hanya bisa dicapai melalui eksperimen pikiran. Dalam buku Metaphysics,
dia menyatakan bahwa substansi adalah “yang tidak didasarkan kepada subjek, tapi semua
didasarkan atasnya”. Pernyataannya itu sendiri tidak jelas, dan selanjutnya pada pandangan ini,
materi menjadi substansi. Karena jika hal ini tidak menjadi substansi, maka kita akan mengalami
kesulitan untuk mengatakan apa yang selain itu. Ketika semuanya diambil, jelas yang tersisa hanya
materi. Elemen lain berupa rasa, produk, kapasitas tubuh, panjang, luas, dan tinggi; semuanya
adalah kuantitas dan bukan substansi. Kuantitas bukanlah substansi; tetapi substansi merupakan
derajat utama atas kandungannya. Ketika sifat panjang, luas, dan tinggi dikeluarkan, tidak ada yang
tersisa kecuali yang dibatasi oleh hal tersebut, apa pun bisa; dengan demikian materi sendiri yang
menjadi substansi. Adapun materi yang saya maksud adalah kandungannya sendiri di luar yang lain,
bukan dalam hal tertentu atau bukan jumlah tertentu atau bukan kategori yang ditentukan oleh
yang lain. (Aristoteles, 1984:1625)

Deskripsi ini diserang sejak pertengahan kedua pada abad kedelapan. Misalnya, Jabir bin
Hayyan menyatakan konsepsi materi ini hanya “omong kosong”, ada keraguan dalam tradisi
Plotinus, dia menyebutnya “bayangan hanya atas bayangan”: [Anda percaya] itu bukan tubuh, tidak
ada predikat apa pun yang didasarkan kepada tubuh. Hal ini sebagaimana klaim Anda, bentuk
sesuatu tidak dibeda-bedakan dan elemen dari objek yang diciptakan. Sebagaimana Anda katakan,
gambaran ini [entitas], hanya eksis dalam imajinasi dan tidak mungkin memvisualisasikannya
sebagaimana entitas didefinisikan. Semua ini adalah omong kosong. (Haq, 1994:53)

Demikian pula mengenai materi prima-nya Aristoteles yang dianggap kekal dan tidak dapat
dihancurkan, tidak diterima dalam tradisi Islam oleh mayoritas filsuf-ilmuwan. Bahkan, pada
pengamatan yang lebih seksama kita menemukan banyak kesamaan antara tradisi kosmologi
Aristotelian dan skema kosmologis Islam tetapi tidak mendasar; sebenarnya ada perbedaan yang
mendalam di antara ide-ide mendasar dari dua tradisi ini. Seperti terlihat sebelumnya, para filsuf
yang menerima keabadian dunia menurut Aristoteles tetapi tidak menerima sistem Aristotelian
secara totalitas, melainkan mereka membuat skema konseptual yang sama sekali baru. Pada kasus
ini, Ibnu Sina dapat dijadikan contoh. Kita akan membahas ide-idenya bersama dengan penolakan
terhadap Aristotelian oleh para ilmuwan lain dalam pembahasan khusus.

Justifikasi adanya ‘pertempuran’ habis-habisan antara filsuf dan teolog melemah, karena
meskipun banyak filsuf Muslim percaya pada kekekalan dunia ini (pengaruh Aristoteles) ada juga
pengecualian. Al-Kindi—yang secara universal diakui sebagai filsuf Muslim pertama—menolak
keabadian materi dan alam semesta, meskipun di pikirannya ada pengaruh dari Aristoteles dan
Plotinus. Dalam risalahnya yang berjudul On First Philosophy, Al-Kindi menggunakan kata ibda` (yang
berarti “memulai sesuatu dari ketiadaan”) untuk menunjukkan penciptaan ex nihilo. Al-Kindi juga
mengembangkan tiga argumen mengenai penciptaan alam semesta: (i) argumen mengenai ruang,
waktu, dan gerak; (ii) argumen mengenai komposisi, dan (iii) argumen mengenai waktu (Craig,
1979:56).

C.   AYAT-AYAT YANG MENUNJUKKAN PENCIPTAAN ALAM SEMESTA DAN


PENAFSIRANNYA

Dalam meruntut pembicaraan al-Qur’an tentang Kosmologi, pemakalah dalam penentuan


ayat- ayat yang terkait, mengambilnya dari konsep yang ditawarkan Achmad Baiquni tentang
penciptaan alam semesta dalam bukunya Al-Qur’an dan Ilmu Pengetahuan Kealaman. Karena
pembahasannya sejalan dengan pengetahuan Kosmologi modern. . Ayat-ayat al-Qur’an yang terkait
dengan penciptaan alam semesta itu adalah:

1.      QS. al-Anbiya’/21: 30                             


Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu
keduanya dahulu adalah suatu yang padu, Kemudian kami pisahkan antara keduanya. dan dari air
kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman? QS. al-
Anbiya’/21: 30
Tema sentral QS. al-Anbiya’ adalah tentang kenabian. Ia dawali dengan uraian tentang dekatnya hari
kiamat dan keberpalingan manusia dari ajakan kebenaran. Ayat ini termasuk dalam pengelompokan
ayat (ayat 21-33 QS. al-Anbiya’) yang berbicara tentang bukti keesaan Allah dan kuasa-Nya. Setelah
pada ayat sebelumnya mengemukakaan tentang berbagai argumen tentang keesaan Allah baik yang
bersifat aqli maupun naqli; yakni yang bersumber dari kitab-kitab suci, maka kini kaum musyrik
diajak untuk menggunakan nalar mereka guna sampai pada kesimpulan yang sama dengan apa yang
dikemukakan itu.Kata ratqan dari segi bahasa berarti terpadu atau tertutup sedang
fafataqnaahumaa terambil dari kata fataqa yang berarti terbelah/ terpisah. Ibnu ‘Abbas menyatakan
lalu Allah memisahkan keduanya dan Dia mengangkat langit ke posisi di mana ia berada sedang Bumi
tetap pada tempatnya. Ka’ab mengatakan bahwa Allah menciptakan langit yang padu lalu Ia
menciptakan uadara yang dihembuskan ke tengh-tengah keduanya sehingga keduanya terpisah.
Langit itu dikatakan ratqan apa bila tidak turun hujan dan bumi dikataka ratqan bila tidak ada
retakan. Lalu Allah memisahkan keduanya dengan air dan tumbu-tumbuhan yang menjadi rezki bagi
manusia.Firman Wa ja’alnaa min al-ma-i kull syay-i hayy ada yang memaknainya dalam arti segala
yang hidup membutuhkan air, atau pemeliharan kehidupan segala sesuatu adalah dengan air, atau
kami jadikan cairan yang terpancar dari shulbi (sperma) segala yang hidup yakni dari jenis binatang.
Sebagian mufassir mengartikannya termasuk di dalamnya tumbuh-tumbuhan dan pohon yang
tumbuh karena ada air yang menjadikannya subur, hijau dan berbuah.Ayat di atas mengisyaratkan
bahwa langit dan bumi tadinya merupakan padu. Alam yang padu itu lalu dipisahkan oleh Allah.
Namun al-Qur’an tidak menjelaskan kapan dan bagaimana terjadinya pemisahannya itu.
2.      QS. Adz-Dzariyat/51: 47
Dan langit itu kami bangun dengan kekuasaan (kami) dan Sesungguhnya kami benar-benar
berkuasa. QS. Adz-Dzariyat/51: 47 Tema utama QS Adz-Dzariyat adalah uraian tentang hari kiamat
yang dibuktian antara lain dengan membuktikan keesaan Allah. Ayat di atas termasuk kelompok ayat
38- 51 QS. Adz-Dzariyat) yang membuktikan keesaan Allah dengan tokoh sentralnya nabi Musa.
Menurut al-Biqa’i ayat yang sebelumnya menegaskan bahwa siksa yang menimpa generasi yang
terdahulu bersumber dari atas langit. Boleh jadi ada yang menduga bahwa hal tersebut disebabkan
karena kerusakan yang terjadi pada ciptaan Allah—di langit itu. Ayat ini menampik dugaan tersebut
sambil menegaskan kekokohan dan kuatnya ciptaan Allah itu. Kata ayd bentuk jamak dari yad/
tangan. Banyak ulama yang mengartikannya kuasa dan ada juga yang mengartikannya nikmat. Maha
luas Kuasa serta Maha luas Nikmat-Nya. Kalimat wa innaa lamuusi’uun/ sesungguhnya kami benar-
benar maha Luas difahami oleh al-Biqa’i dengan pengertian maha Kaya lagi maha Kuasa tanpa batas.
Terambil dari kata wus’u yakni kemampuan.
1.      Komentar tim pengusun Tafsir al-Muntakhab yang terdiri dari pakar Mesir kontemporer bahwa ayat
ini mengisyaratkan beberapa isyarat ilmiah. Antara lain, Allah menciptakan alam yang luas ini
dengan kekuasaan-Nya. Dia maha Kuasa atas segala sesuatu. Kata sama’ berarti segala sesuatu yang
berada di atas dan menaungi. Maka segala sesuatu yang ada di sekitar benda langit dan tata surya di
sebut sama’. Alam raya kita amat luas, lalu mengartikan wa innaa lamuusi’uun/ sesungguhnya kami
benar- benar maha meluaskan (yakni alam raya ini) menunjukkan hal itu. Artinya, kami meluaskan
alam itu sebegitu luasnya semenjak diciptakan. Ayat tersebut juga menunjukkan bahwa meluasnya
alam ini terus berlangsung sepanjang masa.
3.      QS. Al-Fush-shilat/41: 9.
Katakanlah: "Sesungguhnya patutkah kamu kafir kepada yang menciptakan bumi dalam dua
masa dan kamu adakan sekutu-sekutu bagiNya? (yang bersifat) demikian itu adalah Rabb semesta
alam". QS. Al-Fush-shilat/41: 9
Tema utama QS. Al-Fush-shilat adalah pembuktian tentang kebenaran al-Qur’an, bantahan terhadap
kepercayan kaum musyrikin serta ancaman terhadap mereka. Dan tuntunan kepada nabi bagaimana
menghadapi mereka. Ayat sebelumnya berisikan kecaman terhadap orang musyrikin, baik karena
sikap mereka menyekutukan Allah, keniscayaan kiamat dan kedurhakaan lainnya. Ayat ini
menjelaskan betapa buruknya sikap tersebut sekaligus memaparkan betapa kuasanya Allah. Firman-
Nya latakfuruwna/ kamu kafir terkait dengan beberapa persoalan, antara lain: pernyataan mereka
bahwa Allah tidak sanggup membangkitakan kembali orang yang telah meninggal, mempertanyakan
tentang kerasulan nabi Muhammad dan pernyataan mereka bahwa Allah punya anak. Dan
Perbuatan menyekutukan Allah itu merupakan perbuatan aniaya yang besar (zulmun kabiirun).
4.      QS. Al-Fush-shilat/41: 10
Dan dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. dia memberkahinya dan
dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya dalam empat masa. (Penjelasan
itu sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertanya. QS. Al-Fush-shilat/41: 10 Allah menciptakan
bumi serta memperindahnya. Juga menciptakan gunung yang kukuh di atasnya agar bumi yang terus
berotasi itu tidak oleng. Dan ia melimpahkan aneka kebajikan sehingga ia berfungsi sebaik mungkin
da dapat menjadi hunian yang nyaman buat manusia dan hewan. Serta menentukan kadar makanan-
makanan untuk para penghunyinya. Semua itu telaksana dalam empat hari; dua hari untuk
penciptaan bumi dan dua hari untuk pemberkahan dan penyiapan makanan bagi para
penghuninya.Kata qaddara berarti memberi kadar, yakni kualitas, kuantitas cara dan sifat-sifat
tertentu sehingga dapat berfungsi dengan baik. Dapat juga berarti memberinya potensi untuk
menjalankan fungsi yang ditetapkan Allah bagi masing-masing. Kata aqwat merupakan bentuk jama’
dari kata qut yang pengertiannya mencakup makna pemeliharaan dan pengawasan Allah, sehingga
penentuan kadar qut ini tidak hanya menyangkut makanan jasmani tetapi mencakup pengaturan
Allah terhadap bumi yang menjadi hunian manusia. Sebagai contoh terkait gaya Gravitasi Bumi
sehingga ia berputar/rotasi pada garis edarnya dan. Gaya Gravitasi benda-benda langit ini
melindunginya juga untuk tidak melenceng dari garis edarnya sehingga tidak saling bertabrakan. Dan
wa qaddara fiyhaa menurut Muhammad ibn Ka’ab menentukan makanan bagi tubuh sebelum
penciptaannya. Mujahid mengatakan Allah menentukan makanan dari hujan, yang dimaksud di sini
makan untuk Bumi bukan untuk penduduknya.
Di antara bukti-bukti tentang keesaan dan kemahakuasaan Allah itu ditegaskan dalam al-
Qur’an tentang penciptaan alam semesta yang begitu hebat pengaturan, begitu menakjubkan,
begitu luar biasa indah… semua itu tentu petunjuk adanya yang Mahaesa, Maha Pencipta; Allah
Subhanah wa Ta’ala. Demikian juga dengan ayat tentang penciptaan alam yang madaniyah, karena
di antara kandungan ayat madaniyah adalah sikap terhadap orang kafir, musyrik dan ahl al-kitab.
Itulah gambaran kandungan ayat-ayat tentang penciptaan alam semesta dalam kerangka di atas.
         Berikut tathbiq (meminjam istilah M Quraish Shihab) Achmad Baiquni terhadap ayat-ayat yang
terkait dengan penciptaan alam semesta:
1.      Pada saat penciptaan (sekitar 12 milyar tahun yang lalu), langit (ruang waktu) dan bumi (ruang
materi), yang semula padu (dalam titik singularitas fisis), dipisahkan (ketika keluar dari padanya) QS.
Al-Anbiya’/21: 30.
2.      Dalam pembangunan langit (ketika ruang waktu keluar dengan ledakan yang dahsyat dari titik
singularitas) dilibatkan kekuatan yang tiada taranya (sehingga terjadi gejala inflasi), yang kemudian
diekspansikan (sebagaimana ia tampak kini sebagai sebagai universum yang mengembang) QS. Adz-
Dzariyat/51: 47
3.      Pada pendinginan yang sangat cepat (sebagai akibat inflasi tercapai keadaan “kelewat dingin”) dan
terjadi transisi fase, yang menyebabkan materialisasi energi secara berangsur, (bersamaan dengan
terciptanya alam-alam lain di samping kita): materi yang muncul sebagai fase kedua sedangkan
energi adalah fase pertamanya QS. Al-Fush-shilat/41: 9
4.      Dengan adanya energi materi dalam ruang alam, maka dimunulkanlah spin partikel sub nuklir,
elektron, foton, dan lainnyasebagai gerak pusaran serta ditetapkannya satu muatan-muatan yang
merupakan sumber kekuatan atau gaya (gravitasi, nuklir kuat, nuklir lemah, dan listrik magnet)
dalam empat tahapan QS. Al-Fush-shilat/41: 10
5.      Sementara itu, ketika langit (ruang alam) penuh “embunan” (sebagai akibat dari inflasi, sehingga
energi berubah menjadi materi). Allah mengundangkan segala peraturan yang ditaati ruang dan
materi (sebagai hukum alam yang mengendalikan sifat dan kelakuan jagad raya) QS. Al-Fush-
shilat/41: 11
6.      Allah menjadikan tujuh langit (ruang alam) dalam dua tahap, (pada saat inflasi dan sesudahnya) dan
menetapkan hukum-hukum alam yang berlaku di dalamnya. Serta menghiasi langit dunia dengan
pelita-pelita (dalam bentuk bintang, bulan, mata hari dan sebagainya) serta menjaganya ( dengan
memberikan atmosfer, lapisan ozon dan sebagainya) QS. Al-Fush-shilat/41: 12
7.      Allah-lah yang menciptakan tujuh langit (ruang alam) dan tujuh Bumi padanannya (atau materi
masing-masing alam yang di dalam ayat tersebut dinyatakan memiliki hukum mereka masing-masing
yang tidak perlu sama) QS. Ath- Thalaq/65 : 12
8.      Allah menciptakan langit (ruang alam) serta bumi (materi alam) dan apa saja yang berada di
antaranya dalam enem priode atau tahapan, sambil menegakkan pemerintahan-Nya. (tahap inflasi
dan tahap ekspansi ruang alam yang sesuai dengan tahap energi dan tahap materialisasi yang diikuti
tahap penciptaan interaksi gravitasi, nuklir kuat, nuklir lemah dan elektromagnetik) QS. al-Sajdah/ : 4
9.      Dia menciptakan langit (ruang alam) serta bumi (materi alam) dalam enam tahapan sementara itu
telah ditegakkan pemerintahan-Nya pada materi yang bersifat fluida (atau segal peraturan atau
hukum alam-Nya telah efektif pada seluruh makhluk-Nya, yang pada waktu itu masih berujud zat alir
yang sangat rapat dan sangat panas) QS. Hud/11: 7
10.  Allah menahan alam semesta untuk tidan “mbedal” dan untuk tidak mengembang terus tanpa henti
QS. Fathir/35: 41
11.  Allah akan mengecilkan kembali jagad raya seperti sedia kala, ketika jagad raya diciptakan pada
awalnya, yang menjamin bahwa alam kita bersifat tertutup (closed universe) QS. al-Anbiya’/21: 104

KESIMPULAN

Dari uraian penafsiran para mufassir di atas dan penjelasan (tathbiq) para ilmuan dapat kita
tarik benang merah berikut. Para mufassir mencoba menjelaskan ayat-yat tentang penciptaan alam
semesta tersebut berdasarkan pada aspek kebahasaan al-Qur’an, penjelasan hadis Rasulullah,
penjelasan para sahabat nabi, munasanah ayat, asbab an-nuzul, pendekatan ilmiah dan aspek-aspek
lainnya.

M. Quraish Shihab dalam menjelaskan ayat- ayat kauniyah memasukkan juga pendekatan
ilmiah dalam tafsir al-Mishbah demikian Fakhr ad-Din ar-Razi dalam tafsir Mafatih al-Ghaib. Bedanya
penjelasan Quraish Shihab agak lebih terperinci sedangkan penjelasan Fakhr ad-Din ar-Razi lebih
sederhana.

Hal ini tentu saja sangat terkait dengan penemuan dan perkembangan ilmu pengetahuan di
masa hidup mereka.Di dalam ayat-ayat yang telah dijelaskan sebelumnya terdapat konsep-konsep
yang sulit dipahami jika tidak ditopang oleh penjelasan ilmu kosmologi modern. Seperti konsep
sama’, ardh, al-ma’, ad-dukhan, ‘arsy, rawasyi, dan aqwat. Perlu penjelasan lebih lanjut terhadap
konsep-konsep di atas. Inilah tugas para ahli kosmologi modern.Hal ini terkait juga dengan tujuan
diturunkannya al-Qur’an sebagai petunjuk bagi seluruh umat manusia. Bukan hanya tertuju untuk
orang- orang yang terdahulu dari kita. Tapi bagi kita yang hidup di zaman sekarang dan insya Allah
mereka yang hidup setelah kita. Tentu saja pemahaman terhadap al-qur’an ini disesuaikan dengan
tingkat pengetahuan masing-masingnya. Agar al-Qur’an itu benar-benar menjadi petunjuk dalam
kehidupan.

Banyak kebenaran ilmiah yang dipaparkan al-Qur’an, tujuan pemaparan ayat-ayat tersebut
untuk menunjukkan kebesaran Allah dan ke-Esaan-Nya. Serta mendorong manusia seluruhnya untuk
melakukan observasi dan penelitian demi lebih menguatkan iman dan kepercayaan kepada-Nya

Pustaka
Baiquni, Achmad, Al-Qur’an dan Ilmu Pengetahuan Kealaman, Jakarta: Dana Bhakti Prima Yasa,
1996, Cet. Ke-1
____________, Konsep- Konsep Kosmologi , media.isnet.org
Kosmologi Islam: Dari Literatur ke Sains, Febdian.net Manzur, Ibnu, TTh, Lisan al-‘Arab, Jilid 3, TTp:
Dar al-Ma’arif

FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM


PENGERTIAN, KEDUDUKAN, DAN
SUMBER-SUMBERNYA
Pendahuluan

             Filsafat Pendidikan Islam merupakan cabang disiplin ilmu filsafat pendidikan, atau
cabang dari filsafat islam, tetapi dalam tinjauan Islam, Filsafat merupakan disiplin yang
debatable antara bagian dari islam atau ia sesuatu lain di luar Islam dan masuk diadopsi
menjadi bagian dari Islam. Dalam beberapa literature Filsafat Pendidikan Islam merupakan
bagian Filsafat Umum dan di yang lain ia bagian dari Filsafat Islam. Lebih khusus lagi bagian
dari Filsafat Pendidikan.

            Keadaan Filsafat Pendidikan Islam yang diperdebatkan menjadikan Kedudukannya


juga dalam pertanyaan. Apakah ia mempunyai kontribusi terhadap pendidikan dan juga
terhadap Islam. Tetapi yang jelas bahwa dalam pengembangan Pendidikan Islam diperlukan
landasan ideal dan rasional yang memberikan pandangan mendasar, menyeluruh dan
sistematis tentang hakekat yang ada di balik masalah pendidikan yang dihadapi. Dengan
demikian Filsafat Pendidikan menyumbangkan analisanya kepada ilmu pendidikan Islam
tentang hakekat masalah yang nyata dan rasional yang mengandung nilai-nilai dasar yang
dijadikan landasan atau petunjuk dalam proses kependidikan.

              Sebagai Disiplin Ilmu Filsafat, Filsafat Pendidikan Islam mempunyai sumber-
sumber dasar pijakan yang dijadikan rujukan operasional disiplinnya. Filsafat pendidikan ini
adalah dalam lingkup Islam, maka sudah barang tentu ia mengikuti ajaran islam dalam
pembahasan masalah-amsalahnya. Ajaran dan pendidikan islam itu sendiri bersumber pada
al-Qur’an dan al-Hadis, maka kita akan mendapati keduanya sebagai rujukan utama dalam
isu-isu filsafat pendidikan Islam.

                 Paparan di atas memberikan sedikit gambaran tentang pengertian filsafat


pendidikan Islam, Kedudukan dan Sumbernya, tetapi gambaran tersebut masih terbatas dan
samar. Sebagai bagian dari pelaku pendidikan Islam tentunya kita dituntut untuk mengerti
seluk beluk Filsafat Pendidikan Islam untuk kepentingan pengembangan Pendidikan Islam.
Hal itu bisa kita mulai dengan mempelajari pengertian, kedudukan dan sumber-sumbernya.
Pelaku pendidikan Islam baik apabila membaca makalah ini untuk melengkapi khasanah
pengetahuan Filsafat Pendidikan Islam. Demikianlah pendahuluan makalah ini.

Wah capek juga ya teman-teman nulis rangkuman makalah berjudul “Filsafat Pendidikan
Islam: Pengertian, Kedudukan dan Sumber – Sumbernya” ini. Gak apa ayo kita lanjut!.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Filsafat Pendidikan Islam

Filsafat pendidikan Islam terbentuk dari perkataan Filsafat, Pendidikan dan Islam.
Penambahan kata Islam di akhir itu untuk membedakan filsafat pendidikan Islam dari
pengertian filsafat pendidikan secara umum. Dengan demikian filsafat pendidikanIislam
mempunyai pengertian secara khusus yang ada kaitannya dengan ajaran Islam.

Lebih jauh, Omar Muhammad al-Toumy al-Syaibany, melihat falsafah pendidikan adalah
pelaksanaan pandangan falsafah dan kaidah falsafah dalam pengalaman manusia yang disebut
pendidikan (al-Syaibany, 1979) Secara rinci dikemukakan bahwa falsafah pendidikan
merupakan usaha untuk mencari konsep-konsep di antara gejala yang bermacam-macam
meliputi : (1) proses pendidikan sebagai rancangan yang terpadu dan menyeluruh; (2)
menjelaskan berbagai makna yang mendasar tentang segala istilah pendidikan; dan (3)
pokok-pokok yang menjadi dasar dari konsep pendidikan dalam kaitannya dengan bidang
kehidupan manusia (al-Syaibany, 1973).

Dalam masyarakat islam pendidikan islam itu merupakan ajaran-ajaran berdasar pada wahyu,
yang juga menjadi dasar dari pemikiran filsafat pendidikan Islam. Hal ini menunjukkan
falsafah pendidikan Islam yang berisi teori umum mengenai pendidikan Islam, dibina atas
dasar konsep ajaran Islam yang termuat dalam al-Qur’an dan hadis. Hal ini sejalan dengan
berfikir falsafi, yakni mendasar, menyeluruh tentang kebenaran yang ditawarkan yaitu
kebenarah tuhan yang mutlak.

Selanjutnya banyak pakar yang mendefinisikan Filsafat Pendidikan Islam,


1. Omar Mohamad al-Toumy al-Syaibany, menurutnya bahwa filsafat pendidikan Islam tidak
lain ialah pelaksanaan pandangan filsafat dan kaidah filsafat dalam bidang pendidikan yang
didasarkan pada ajaran Islam.[1]

Ia juga menyebutkan penjelasannya dalam bukunya Falsafah Pendidikan Islam yang


mengarah kepada pengertian Filsafat Pendidikan Islam seperti dalam kutipan berikut :

“Jika kita telah membicarakan tentang kepentingan pembinaan falsafah pendidikan secara
umum, kita tidak menentukan jenis falsafah yang harus menonjol pada falsafah itu. Judul atau
bab yang kita bincangkan tentang sifat-sifat falsafah dan apa yang disebut bagi falsafah ini
tentang sumber-sumber, unsure-unsur, dan syarat-syarat dari dan apa yang akan kita sebut
tentang prinsip-prinsip, kepercayaan-kepercayaan, andaian-andaian dan premis yang menjadi
asas falsafah ini, yaitu falsafah pendidikan yang berasal dari prinsip-prinsip dan ruh Islam.
Itulah Falsafah Islam untuk pendidikan, atau disebut filsafat pendidikan Islam”.[2]

Wah capek juga ya teman-teman nulis rangkuman makalah berjudul “Filsafat Pendidikan
Islam: Pengertian, Kedudukan dan Sumber – Sumbernya” ini. Gak apa ayo kita lanjut!.

 2. Abudin Nata menyimpulkan bahwa filsafat pendidikan Islam itu merupakan suatu kajian
secara filosofis mengenai berbagai masalah yang terdapat dalam kegiatan pendidikan yang
didasarkan pada al-Qur’an dan hadis sebagai sumber primer, dan pendapat para ahli,
khususnya para filosof muslim , sebagai sumber sekunder. Selain itu filsafat pendidikan Islam
dapat dikatakan suatu upaya menggunakan jasa filosofis, yakni berfikir secara mendalam,
sistematik, radikal, dan universal tentang masalah-masalah pendidikan, seperti masalah
manusia (anak didik), guru, kurikulum, metode, lingkungan dengan menggunakan al-Qur’an
dan al-Hadis sebagai dasar acuannya. Dengan demikian, filsafat pendidikan Islam secara
singkat dapat dikatakan adalah filsafat pendidikan yang berdasarkan ajaran Islam atau filsafat
pendidikan yang dijiwai oleh ajaran Islam, jadi ia bukan filsafat yang bercorak liberal, bebas
tanpa batas etika sebagaimana dijumpai dalam pemikiran filsafat pada umumnya.[3]

3. Jalaludin dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islam, menyebutkan bahwa Filsafat


Pendidikan Islam itu merupakan hasil pemikiran para filosof berdasarkan sumber yang
berasal dari wahyu Ilahi, sedangkan falsafah pendidikan lainnya berasal dari hasil renungan
(pemikiran) yang didasarkan atas kemampuan rasio. Hasil pemikiran yang bersumber dari
wahyu bagaimanapun memiliki kebenaran yang mutlak, tidak tergantung pada kondisi ruang
dan waktu. Seba liknya hasil pemikiran berdasarkan rasio, sangat tergantung kepada kondisi
ruang dan waktu.

Kajian Falsafat pendidikan Islam beranjak dari kajian falsafat pendidikan yang termuat dalam
al-Qur’an dan hadis yang telah diterapkan oleh nabi Muhammad salla Alloh ‘alaihi wa sallam
selama hanya beliau, baik selama periode Makkah maupun selama Periode Madinah. Falsafat
Pendidikan Islam yang lahir bersamaan dengan turunnya wahyu pertama itu telah meletakkan
dasar kajian kokoh, mendasar, menyeluruh serta terarah ke suatu tujuan yang jelas, yaitu
sesuai dengan tujuan ajaran islam itu sendiri.[4]

Kadang jenuh juga ya nulis rangkuman makalah berjudul “Filsafat Pendidikan Islam:
Pengertian, Kedudukan dan Sumber – Sumbernya” ini. Gak apa kita ambil hikmahnya aja,
lagi pula dapat pahala juga to!.
 4. M. Arifin dalam pendahuluan buku Filsafat Pendidikan Islam menyebutkan bahwa Filsafat
Pendidikan Islam berarti memasuki arena pemikiran yang mendasar, sistematis, logis dan
menyeluruh (universal) tentang pendidikan, yang tidak hanya dilatarbelakangi oleh ilmu
pengetahuan Agama Islam saja, melainkan menuntut kepada kita untuk mempelajari ilmu-
ilmu lain yang relevan.

   Selanjutnya M. Arifin menyebutkan tentang sebuah pemikiran bercorakkan khas Islam,


Filsafat Pendidikan Islam pada hakikatnya adalah konsep berfikir tentang kependidikan yang
bersumberkan atau berlandaskan ajaran agama Islam tentang hakekat kemampuan manusia
untuk dapat dibina dan dikembangkan serta dibimbing menjadi manusia muslim yang seluruh
pribadinya dijiwai oleh ajaran Islam, serta mengapa manusia harus dibina menjadi hamba
Alloh yang berkepribadian demikian. [5]

Dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islam, Ia menyebutkan bahwa suatu falsafah yang hanya
membicarakan masalah yang menyangkut bagaimana system pendidikan agama islam
berlangsung dan dilangsungkan di dalam Negara yang berdasarkan Islam di Negara di mana
Islam diajarkan atau dididikkan di dalam lembaga-lembaga pendidikan yang ada dan
berkembang di Negara tersebut. Oleh karena bila hanya demikian sudah bisa dikatakan
sebagai filsafat pendidikan Islam.

Falsafah Pendidikan Islam yang kita kehendaki adalah suatu pemikiran yang serba
mendalam, mendasar, sistematis, terpadu dan logis, menyeluruh serta universal yang tertuang
atau tersusun ke dalam suatu bentuk pemikiran atau konsepsi sebagai suatu system.

Filsafat Pendidikan Islam adalah falsafah tentang pendidikan yang tidak dibatasi oleh
lingkungan kelembagaan Islam saja atau oleh ilmu pengetahuan dan pengalaman keislaman
semata-mata, melainkan menjangkau segala ilmu dan pengalaman yang luas seluas aspirasi
masyarakat muslim, maka pandangan dasar yang dijadikan titik tolak studinya adalah ilmu
pengetahuan teoritis dan praktis dalam segala bidang keilmuan yang berkaitan dengan
masalah kependidikan yang ada dan yang aka nada dalam masyarakat yang berkembang terus
tanpa mengalami kemandegan.

Dengan demikian, yang lebih tepat dalam melakukan studi tentang Filsafat Pendidikan Islam
ini adalah bila keduanya dapat terpenuhi yakni segi ilmiah dapat dibenarkan dan dari segi
diniyah dapat dipertanggungjawabkan. [6]

Dari penjelasan dan paparan pengertian Filsafat pendidikan Islam yang telah disebutkan oleh
para pakar di atas, dapat disimpilkan bahwa Filsafat Pendidikan Islam adalah suatu kajian
secara filosofis yakni berfikir secara mendalam, sistematik, radikal, dan universal tentang
masalah-masalah pendidikan, seperti masalah manusia (anak didik), guru, kurikulum,
metode, lingkungan , hakekat kemampuan manusia untuk dapat dibina dan dikembangkan
serta dibimbing menjadi manusia muslim yang seluruh pribadinya dijiwai oleh ajaran Islam,
serta mengapa manusia harus dibina menjadi hamba Alloh yang berkepribadian demikian
yang didasarkan pada al-Qur’an dan hadis sebagai sumber primer, dan pendapat para ahli,
khususnya para filosof muslim , sebagai sumber sekunder.

Wah capek juga ya teman-teman nulis rangkuman makalah berjudul “Filsafat Pendidikan
Islam: Pengertian, Kedudukan dan Sumber – Sumbernya” ini. Gak apa ayo kita lanjut!.

 B. Kedudukan Filsafat Pendidikan Islam.


 Kedudukan Filsafat Pendidikan Islam dalam Islam dan Pendidikan Islam adalah sebagai alat
atau sarana untuk memahami, dan untuk menyelasaikan permasalahan pendidikan Islam
dengan mendasarkan atas keterkaitan hubungan antara teori dan praktek pendidikan. Karena
pendidikan akan mampu berkembang bilamana benar-benar terlibat dalam dinamika
kehidupan masyarakat.

Antara pendidikan dan masyarakat selalu terjadi interaksi (saling mempengaruhi) atau saling
mengembangkan, sehingga satu sama lain dapat mendorong perkembangan untuk
mengokohkan posisi dan fungsi serta idealistas kehidupannya. Ia memerlukan landasan ideal
dan rasional yang memberikan pandangan mendasar, menyeluruh dan sistematis tentang
hakekat yang ada di balik masalah pendidikan yang dihadapi.

Dengan demikian filsafat pendidikan menyumbangkan analisanya kepada ilmu pendidikan


Islam tentang hakekat masalah yang nyata dan rasional yang mengandung nilai-nilai dasar
yang dijadikan landasan atau petunjuk dalam proses pendidikan.[7]

Dalam masyarakat yang sedang mengalami perubahan seperti abad 21 ini, kegunaan
fungsional dari Filsafat Pendidikan Islam adalah semakin penting, karena filsafat menjadi
landasan strategi dan kompas jalannya pendidikan Islam. Kemungkinan-kemungkinan yang
menyimpang dari tujuan pendidikan Islam akan dapat diperkecil dan sebaliknya kemampuan
dan kedayagunaan pendidikan Islam dapat lebih dimantapkan dan diperbesar karena
gangguan, hambatan serta rintangan yang bersifat Mental/spiritual serta teknis operasional
akan dapat diatasi atau disingkirkan dengan lebih mudah.[8]

Kadang jenuh juga ya nulis rangkuman makalah berjudul “Filsafat Pendidikan Islam:
Pengertian, Kedudukan dan Sumber – Sumbernya” ini. Gak apa kita ambil hikmahnya aja,
lagi pula dapat pahala juga to!.

 C. Sumber-sumber Filsafat Pendidikan Islam.

 Dalam pengertian Filsafat Pendidikan Islam yang disebut di atas disebutkan bahwa filsafat
ini didasarkan pada al-Qur’an dan hadis sebagai sumber primer, dan pendapat para ahli,
khususnya para filosof muslim , sebagai sumber sekunder. Maka dari sini kita tahu bahwa
sumber-sumber Filsafat Pendidikan Islam itu ada dua, yaitu 1. Sumber Primer yaitu al-Qur’an
dan al-Hadis, 2. Sumber Sekunder yaitu pendapat para filosof muslim.

Al-Syaibany disebutkan oleh Jalaludin dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islam bahwa
Dasar dan tujuan Falsafat pendidikan Islam pada hakikatnya identik dengan dasar dan tujuan
ajaran Islam atau tepatnya, yaitu al-Qur’an dan hadis. Dari kedua sumber ini kemudian
timbul pemikiran-pemikiran mengenai masalah-masalah keislaman dalam berbagai aspek,
termasuk falsafat pendidikan. Dengan demikian hasil pemikiran para ulama’ seperti qiyas
syar’I dan ijma’ sebagai sumber sekunder (al-Syaibany, 1973), pada dasarnya berasal dari
kedua sumber pokok tadi (al-Qur’an dan hadis).[9]Dalam paparan ini sumber sekundernya
adalah Hasil pemikiran ulama’ seperti qiyas syar’I dan Ijma’ bukan lagi pemikiran filosof
muslim..

Al-Qur’an menganut faham integralistik dalam bidang ilmu pengetahuan. Seluruh ilmu yang
bersumber dari alam raya (ilmu-ilmu fisika, sains), tingkah laku manusia(ilmu-ilmu social),
wahyu atau ilham (ilmu agama, tasawuf, filsafat) adalah bersumber dari Alloh. Hal lain yang
juga amat mendasar adalah bahwa al-Qur’an amat menekankan pentingnya hubungan yang
harmonis antara ilmu dan iman. Ilmu tanpa iman akan tersesat, dan iman tanpa ilmu tidak
akan berdaya

Al-Qur’an menaruh perhatian yang besar terhadap masalah pendidikan dan pengajaran.
Seperti pemuatan istilah-istilah yang digunakan oleh pendidikan seperti kata tarbiyah, ta’lim,
iqra;, hingga ada kesimpulan bahwa al-Qur’an adalah kitab pendidikan.

Adapun Hadis atau al-Sunnah menjadi sumber kedua dalam filsafat pendidikan Islam karena
Nabi Muhammad Shalla Alloh ‘alaihi wa sallam telah memberikan perhatian amat besar
terhadap pendidikan, dan mencaangkan pendidikan sepanjang hidup (long life education),
sampai ia mewajibkan mencari ilmu. Dan Ia diutus ke bumi ini untuk menjadi pengajar,
menyempurnakan aklah mulia dan mengajak menyembah Alloh semata.

Adapun sumber sekunder itu belum dioptimalkan. Banyak pendapat ulama’ yang tertulis
dalam kitab klasik. Sumber ini untuk pengembangan filsafat pendidikan Islam. Namun
demikian secara subtansial pendapat para filosof muslim pun masih dapat dipersoalkan,yaitu
jika sesuatu dijadikan sebagai sumber, maka sumber itu harus permanen, constant, dan tidak
diperselisihkan keberadaannya. Sedang filsafat dari manapun ia berasal atau disampaikan
tetap memiliki sifat-sifat kekurangan dan kelemahan yang menyebabkan kedudukannya
sebagai sumber dapat dipermasalahkan.[10]

Wah capek juga ya teman-teman nulis rangkuman makalah berjudul “Filsafat Pendidikan
Islam: Pengertian, Kedudukan dan Sumber – Sumbernya” ini. Gak apa ayo kita lanjut!.

BAB III

KESIMPULAN

Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa filsafat pendidikan Islam adalah suatu kajian
secara filosofis yakni berfikir secara mendalam, sistematik, radikal, dan universal tentang
masalah-masalah pendidikan, seperti masalah manusia (anak didik), guru, kurikulum,
metode, lingkungan , hakekat kemampuan manusia untuk dapat dibina dan dikembangkan
serta dibimbing menjadi manusia muslim yang seluruh pribadinya dijiwai oleh ajaran Islam,
serta mengapa manusia harus dibina menjadi hamba Alloh yang berkepribadian demikian
yang didasarkan pada al-Qur’an dan hadis sebagai sumber primer, dan pendapat para ulama’
dan para ahli, khususnya para filosof muslim , sebagai sumber sekunder.

Filsafat Pendidikan Islam mepunyai kedudukan solutif, idealis dan methodis untuk
menyelesaikan permaslahan-permasalahan pendidikan Islam yang muncul dan berkembang
dalam dinamika kehidupan masyarakat muslim dalam mengoptimalkan kemampuan manusia
untuk dapat dibina dan dikembangkan serta dibimbing menjadi manusia muslim yang seluruh
pribadinya dijiwai oleh ajaran Islam, menjadi hamba Alloh yang berkepribadian al-Qur’an
dan hadis.

Dalam menyelesaikan permasalah pendidikan Islam Filsafat Pendidikan Islam mendasarkan


landasannya pada sumber-sumber yang permanen, konstan, dan tidak diperdebatkan,
mempunyai kebenaran mutlak. Sumber-sumber tersebut adalah al-Qur’an dan al-Sunnah
sebagai sumber primer, dan sumber sekundernya adalah ijtihat ulama terdahulu dan pendapat
para filosof muslim sebagai pengembangan walau diperselisihkan kekuatannya.
DAFTAR PUSTAKA

Arifin , M., Filsafat Pendidikan Islam , Jakarta: Bumi Aksara, 1996.

Jalaludin & Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam: Konsep dan Perkembangan
pemikirannya, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1994.

Nata , Abudin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.

Syaibany (al), al-Toumy, Mohammad, Omar, alih bahasa oleh Hasan Langgulung, Falsafah
Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.

——–, Ilmu Pendidikan Islam Suatu tinjauan teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan
Interdisipliner, Jakarta: Bumi Aksara, 1993.

 [1]Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta; Logos Wacana Ilmu, 1997. Hal. 14.

[2]Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibany, alih bahasa oleh Hasan Langgulung, Falsafah
Pendidikan Islam; Jakarta: Bulan Bintang, 1979. Hal.37.

[3]Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam ; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997. Hal. 15.

[4]Jalaludin & Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam: Konsep dan Perkembangan
pemikirannya; Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1994. Hal. 3-4.

[5]M.Arifin, Filsafat Pendidikan Islam; Jakarta: Bumi Aksara: 1996. Hal. Xi..

[6]M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam : Jakarta; Bumi Aksara, 1996. Hal. 27-31.

[7]M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam Suatu tinjauan teoritis dan Praktis Berdasarkan
Pendekatan Interdisipliner; Jakarta: Bumi Aksara, 1993. Hal. 44.

[8]M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta; Bumi Aksara, 1996. Hal. Xii.

[9]Jalaludin & Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam: Konsep dan Perkembangan
pemikirannya; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994. Hal. 19.

[10]Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam; Jakarta; Logos Wacana Ilmu, 1997. Hal. 13-15

Anda mungkin juga menyukai