Anda di halaman 1dari 13

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Realisme, Neorealisme, Liberalisme, Neoliberalisme adalah teori-teori utama foreign
policy. Secara garis besar teori-teori foreign policy dapat dibagi manjadi dua
pandanganepistimologis “positivis” dan “pasca-positivis”. Teori-teori positivis bertujuan
mereplikasi metode-metode ilmu-ilmu social dengan menganalisis dampak kekuatan-
kekuatan material, teori-teori ini biasanya berfokus berbagai aspek seperti interaksi Negara-
negara, ukuran kekuatan-kekuatan militer, keseimbangan kekuasaan dan lain-lain.
Epistimologi pasca-positivis menolak ide bahwa dunia social dapat dipelajari dengan cara
yang objektif dan bebas-nilai. Epistimologi ini menolak ide-ide sentral tentang neo-
realisme/liberalism, seperti teori pilihan rasional, dengan alasan bahwa metode ilmiah tidak
dapat diterapkan ke dalam dunia social dan bahwa suatu “ilmu” foreign policy adalah tidak
mungkin.
Perbedaan kunci antara kedua pandangan tersebut adalah bahwa sementara teori-teori
positivis, seperti noe-realisme, menawarkan berbagai penjelasan yang bersifat sebab-akibat,
teori pasca-positivis berfokus pada pertanyaan-pertanyaan konsitutif, sebagai contoh apa
yang dimaksudkan dengan “kekuasaan”. Teori-teori pasca-pospositivis secara eksplisit sering
mempromosikan pendekatan normative terhadap foreign policy, dengan mempertimbangkan
etika. Hal ini merupakan sesuatu yang sering diabaikan dalam doreign policy “tradisional”
karena teori-teori positivis membuat perbedaan antara “fakta-fakta” dan penilaian-penilaian
normative, atau “nilai-nilai”.selama periode foreign policy 1980-an/1990 perbedaan antara
para pendukung teori-teori positivis dan para pendukung teori-teori pasca-positivis menjadi
perdebatan yang dominan dan disebut sebagai “Peredebatan Terbesar” ketiga.
1.2 Rumusan Masalah
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Teori Realisme


Meski tersapat berbagai varian dalam realism dan berbagai perbedaan yang seolah remeh
namun penting diantara varian-varian tersebut, prespektif ini mempunyai beberapa asumsi
utama yang disetujui bersama. Hal terpenting dari asumsi-asumsi ini adalah bahwa meski
kaum realis menyatakan bahwa mereka mendasarkan pemahaman mereka pada pengamatan-
pengamatan tentang ‘dunia nyata’. Adapun ide dan asumsi dasar kaum realis yaitu: (1)
memiliki pandangan yang pesimis atas sifat manusia; (2) memiliki keyakinanbahwa
hubungan internasional pada dasarnya konfliktual dan bahwa konflik internasional pada
akhirnya diselesaikan melalui perang; (3) menjunjung tinggi nilai-nilai keamanan nasional
dan kelangsungan hidup Negara; (4) skeptisisme dasar bahwa terdapat kemajuan dalam
politik internasional seperti yang terjadi dalam kehidupan politik domestic.
Realism pada umumnya diaggap sebagai tradisi teoritis paling berpengaruh dalam
Hubungan Internasional, bahkan oleh pengkritiknya. Warisan filsafatnya yakini kritiknya
terhadap internasionalisme liberal dan pengaruhnya terhadap praktek diplomasi internasional
telah menempatkannya dalam posisi penting walaupun tidak dominan dalam disiplin ilmu
Hubungan Internasional. Dalam Realisme elemen-elemen utama dalam hubungan
Unternasional terdiri dari beberapa gagasan utama, yaitu : actor dominan tetap berada pada
Negara bangsa-(nation-state), tetap eksis atau survive dengan focus utama pada isu high
politics seperti keamanan melalui instrumrnt military power. Bahkan setiap Negara akan
selalu berupaya untuk memaksimalkan posisi kekuatan relatifnya dibandingkan Negara
lainnya atau setidaknya tercipta balance of power. Semakin besar keuntungan militernya
akan semakin besar pula jaminan keamanan yang dimiliki Negara tersebut.
Dengan demikian realism sangat menekankan testabilitas hegemonicdan sebagai
konsekuensinya, kerjasama antar Negara dalam institusi internasional pun akan semakin sulit
terwujud. Jika tercipta sebuah kerjasama institusional yang bersifat multilateral, realism
berpendapat bentuk kerjasama multilateral itu adalah hegemonic corporation yang
didominasi oleh kekuatan hegemoni yang menjadikan Negara hegemon hanya memanfaatkan
kerjasama multilateral ini untuk mencapai kepentingan (keamanan) nasional dan tujuan
politik luar negerinya semata. Menurut realis, institusi pada dasarinya merupakan sebuah
refleksi dan distribution of power dan didasarkan pada kalkulasi kepentingan nasional
Negara-negara besar dan oleh karenanya institusi tidak menjadi factor penting dalam
penciptaan perdamaian dunia. realism menyatakan bahwa konsep keamanan (nasional)
merupakan sebuah kondisi yang terbebas dari ancaman militer atau kemampuan suatu
Negara untuk melindungi Negara-bangsanya dari serangan militer yang berasai dari
lingkungan eksternalnya.
Politik dunia menurut kaum realism berkembang berdasarkan system anarki. Sistem
anarki adalah sistem dimana mereka menganggap tidak adanya kekuatan supranasional yang
melebihi Negara sehingga tidak ada dominasi kekuatan selain Negara itu sendiri. Realism
merupakan penganut state centric assumptions. Mereka tidak terlalu menganggap organisasi
di luar Negara itu adalah sesuatu yang penting yang mampu memberikan pemenuhan
kebutuhan Negara. Prespektif ini hanya menganggap dengan adanya organisasi di luar
Negara hanya akan menambah ‘kericuhan’ bagi hubungan internasional. Mereka memandang
system anarki jauh lebih teratur dan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam Negara.
Pada akhirnya, mereka hanya akan mengandalkan sumber daya milik mereka sendiri.
Negara yang berdaulat adalah actor utama di hubungan internasional. Negara akan selalu
mencari kekuasaan dan memenuhi kepentingan nasionalnya. Karena, masing-masing Negara
ingin memenuhi kepentingan nasional dan terkadang hubungan internasional tersebut
mengalami ketegangan Karena adanya konflik dengan Negara lain dalam memenuhi
kepentingan itu. Hal ini akan membuat Negara berada pada pilihan mendominasi atau
didominasi. Tentu saja, setiap Negara ingin mendominasi, bukan didominasi. Menurut
realism, satu-satunya instrument untuk melindungi dan mempertahankan kepentingan
keamanan nasionalnya adalah dengan meningkatkan military power yang dimiliki suatu
Negara-bangsa. Dalam hal ini, kuantitas dalam kualitas level of arms yang patut dimiliki
actor Negara merupakan sebuah solusi rasional yang harus disediakan actor Negara. Namun,
hal ini juga akan mendorong perlombaan senjata (arms race) antar actor Negara yang juga
akan semakin anarikis dan terdorong terciptanya security dilemma.
Agenda utama realism adalah keamanan nasional dan kelangsungan hidup Negara.
Negara akan selalu ingin memperkuat kekuatannya untuk mempertahankan stabilitasnya.
Namun, karena Negara memiliki rasa yang selalu cemas dan curiga akan dominasi Negara
lain atau organisasi lain yang mampu mengancam eksistensinya, Negara akan terus berusaha
memperuat poernya. Perdamaian dan stabilitas internasional bagi kaun realis hanya akan
mampu tercipata jika adanya balance of power sistem internasional. Balance of power akan
mencegah terjadinya dominasi dari Negara satu dengan Negara yang lainnya. Selain itu
sebuah persamaan mengenai tatanan dan keamanan bisa terpelihara dengan membentuk
aliansi-aliansi antar Negara untuk mencegah adanya Negara adikuasa yang bertindak
sewenang-wenang.

2.2 Teori Neo-Realisme


Neorealisme atau realism truktural adalah teori hubungan internasional yang dicetuskan
oleh Kenneth Waltz tahun 1979 dalam bukunya, Theory of Internasional Politics. Waltz
mendukung pendekatan sistemik, yaitu struktur internasional bertindak sebagai pengekang
perilaku Negara, sehingga hanya Negara yang kebijakan-kebijakannya berada dalam
cangkupan yang diharapkan dapat bertahan. Sistem ini sama seperti model mikro ekonomi
ketika firma menetapkan harga dan kuantitas berdasatkan pasar. Neorealisme, yang lebih
dikembangkan di dalam tradisi ilmu politik Amerika Serikat, berupa menata ulang tradisi
realis klasik E.H Carr, Hans Morgenthau, dan Reinhold Niebuhr menjadi ilmu social yang
teliti dan positivistic. Teori neorealisme merupakan teori milik Kenneth Waltz yang
merruakan upaya perombakan teori realism yang sudah ada. Teori ini berusaha untuk lebih
ilmiah dan lebih positivis. Neorealis tetap mempertahankan nilai realis bahwa hubungan
internasional antarnegara merupakan hubungan yang antagonistic adan konfliktual yang
disebabkan oleh struktur anarkis dalam sistem internasional.
Hal yang membedakan neorealisme dengan realism dilihat dari actor yang berperan di
dalam sistem internasional. Jika pada realism actor yang menjadi kunci utama dalam sistem
internasional adalah Negara bangsa (nation-state), maka pada neorealisme aktornya adalah
sistem itu sendiri sehingga meskipun Negara merupakan actor yang domain, non-state actors
memiliki peranan yang penting dalam sistem internasional. Struktur internasional dalam
konsep neorealisme adalah anarki internasional, Negara sebagai ‘unit serupa’, perbedaan
kapabilitas Negara serta adanya Negara besar lebih dari satu dimana terdapat hubungan antar
Negara-negara tersebut. Sedangkan konsep kunci neorealisme adalah pertimbangan kekuatan
pengulangan internasional dan konflik yang berupa perang dan perubahan internasional.
Neorealisme menjawab tantangan liberalism dengan revisi terhadap teori realism secara
radikal. Neorealisme terinspirasi dari model teori Imre Lakatos dan teori Mikro ekonomi;
yang pertama membawa teori asumsi minimal sementara yang kesua membawa determinan
structural terhadap prilaku negarra. Menurut Waltz terkait penjelasan neorealis, menjelaskan
tentang pemimpin Negara dalam menjalankan kebijakan luar negeri, yaitu kepentingan para
penguasa, dan kemudian Negara yang diatur, kalkulasi yang berdasarkan pada kebutuhan-
kebutuhan ini dapat menemukan kebijakan-kebijakan yang akan menjalankan dengan baik
kepentingan-kepentingan Negara, keberhasilan adalah ujian terakhir kebijakan itu, dan
keberhasilan didefinisikan sebagai memelihara dan memperkuat Negara. Hambatan-
hambatan structural menjelaskan mengapa metode-metode tersebut digunakan berulang kali
disamping perbedaan-perbedaan dalam diri manusia dengan Negara-negara yang
menggunakannya.
Asumsi-asumsi dasarnya adalah pertama sistem internasional bersifat anarki karena tidak
ada otoritas sentral untuk memaksa tatat ertib, kedua, dalam sistem yang demikian,
kepentingan utama Negara adalah keberlangsungannya sendiri, sehingga Negara akan
memaksimalkan power mereka khususnya kekuatan militer. Karena power tersebut bersifat
zero-sum, Negara menjadi “posisionalis defensive” sehingga struggle for power adalah
karateristik permanen hubungan internasional dan konflik bersifat endemic. Dan oleh karena
itu, kerja sama antarnegara menjadi sulit atau bahkan tidak mungkin sama sekali. Kalaupun
ada itupun dibawah kondisi hegemoni suatu Negara dominan yang menggunakan powernya
untuk menciptakan dan memaksakan peraturan institusional. Neo-Realisme pada dasarnya
mengemuka sebagian kritik terhadap Realisme yang cenderung menganggap actor Negara
sebagai satu-satunya actor dominan dalam hubungan internasional. Sementara itu, globalisasi
yang sangat dicirikan dengan revolusi teknologi informasi, komunikasi diyakini akan
mengubah secara signifikan peta hubungan internasional Realisme dengan kata lain dianggap
sudah tidak mampu lagi menyediakan “usable map of the world”.
Tokoh utama dari Neorealisme adalah Kenneth N. Waltz. Pendekatan yang digunakan
oleh Waltz adalah pendekatan global. Aktor utama dalam politik internasional masih Negara.
Waltz berasumsi Negara mengejar power dikarenakan sistem dunia yang anarki. Namun
bedanya dengan ralisme klasik adalah jika realism klasik memandang power sebagai akhir,
neorealisme memandang power bukan suatu akhir, melainkan sebagai means atau cara. Cara
yang dimaksudkan disini terbagi menjadi dua interpretasi. Pertama power sebagai means
internal dan yang kedua adalah power sebagai means external. Power sebagai means internal
maksudnya adalah power atau kekuatan ini digunakan sebagai cara untuk memperkuat
bidang dalam atau internal suatu Negara. Misalkan untuk memajukan ekonomi. Sedangkan
means eksternal diartikan bahwa power disini digunakan sebagai alat bargain untuk
beraliansi dengan Negara-negara kuat, sehingga negaranya akan semakin kokoh dimata
musuh. Tujuan dari suatu Negara adalah internasional security atau keamanan internasional.
Sedangkan dalam kerjasama internasional pada era Neo Realisme ini kemungkinannya kecil.
Kecilnya kemungkinan kerjasama internasional ini disebabkan adanya question mark di
kalangan Negara tentang siapa yang lebih diuntungkan dalam kerjasama itu. Sementara
dalam pengambilan kebijakan luar negri suatu Negara lebih disebabkan karena sistem
internasional yang anarki.
Neorealisme memberikan penilaian yang meyakinkan mengenai mengapa kebijakan-
kebijakan luar negri Negara-bangsa sangatlah mirp. Meski sifat internal mereka jauh
berbeda. Neorealisme juga memberikan penjelasan lebih rinci mengenai keberlangsungan
sistem internasional. Tetapi neorealisme melebih-lebihkan otonomi yang dinikmati Negara
dari kondisi domestic mereka menekankan pentingnya struktur dan meremehkan potensi
Negara untuk mengubah sistem internasional.

Neorealisme pada dasarnya mengemuka sebagian kritik terhadap Realisme yang


cenderung menganggao actor Negara sebagai satu-satunya actor dominan dalam hubungan
internasional. Sementara itu, globalisasi yang sangat dicirikan dengan revolusi teknologi
informasi, komunikasi diyakini akan mengubah secara signifikan peta hubungan
internasional realism dengan kata lain dianggap sudah tidak mampu lagi menyediakan
“usable map of the world”.

2.3 Teori Liberalisme


Asumsi dasar dari liberalism adalah keyakinan terhadap kemajuan. Meskipun sebenarnya
masih menjadi perdebatan dikalangan kaum liberal itu sendiri, setelah perang dunia kedua,
dengan demikian, optimism liberal telah berbuah drastic. Menurut Jhon Locke, Negara
muncul untuk menjamin kebebasan warga negaranya dan kemudian menijinkan mereka
menghidupi kehidupannya dan menggapai kebahagiannya tanpa campur tangan tak
semestinya dari orang lain. Kaum liberal mengatakan bahwa modernisasi adalah proses yang
menimbulkan kemajuan dalam banyak bidang kehidupan. Potensi akan pikiran dan
rasionalitas manusia adalah salah satu hal yang diyakini oleh liberalis. Modernitas
membentuk kehidupan yang lebih baik bebas dari pemerintahan otoriter dan tingkat
kesejahteraan material yang jauh lebih tinggi. Agenda utama dari liberalism adalah social
ekonomu dan kesejahteraan. Pasca perang dunia kedua ada empat aliran pemikiran utama
liberalism yaitu liberalism sosiologis, liberalism interdependensi, liberalism institusional
serta liberalism republican.

Liberalisme sosiologis

Dalam paham ini hubungan internasional merupakan sebuah hubungan-hubungan


transnasional, baik itu hubungan antara masyarakat kelompok-kelompok dan organisasi-
organisasi yang beraasal dari Negara yang berbeda. Pemahaman ini lebih mengedepankan
pada hubungan pada hubungan antara rakyatnya. Karena ia berpendapat bahwa hubungan
antar rakyat lebih kooperatif dan lebih mendukung perdamaian dari pada hubungan antara
pemerintah nasional. Kemudian ia juga mengatakan bahwa hubungan transnasional diantara
rakuyat dari Negara-negara yang berbeda membantu menciptakan bentuk masyarakat
manusia yang hadir sepanjang atau bahkan dalam persaingan dengan bangsa. Burton
menggambarkan jaringan laba-laba untuk menunjukkan bahwa kerjasama yang dilakukan itu
saling menguntungkan dan antagonistic.

Liberalisme interdependensi

Seperti yang kita ketahui bahwa interdependensi merupakan ketergantungan timbal balik,
rakuyat dan pemerintah dipengaruhi oleh apa yang terjadi dimanapun, oleh tindakan
rekannya di Negara lain. Maka dari itu tingkat hubungan yang paling banyak terjadi adalah
hubungan interdependensi. Sepanjang sejarah Negara berupaya mencari kekuasaan dengan
alat militer dan perluasan wilayah. Tetapi bagi Negara-negara industrialis pembangunan
ekonomi dan perdagangan luar negri adalah alat-alat dalam mencapai keunggulan dan
kesejahteraan yang lebih mencukupi dan dengan sedikit biaya. Kemudian, pembagian tenaga
kerja yang tinggi dalam perekonomian internasional meningkatkan interdependensi antara
Negara dan hal itu menekan dan mengurangi konflik kekerasan antara Negara. Akan tetapi
masih tetap ada resiko bahwa Negara modern tergelincir kembali ke pilihan militer dan
memasuki konfrontasi kekerasan.

Liberalisme institusional

Dalam pembahasan ini erat kaitannya dengan pernyataan Woodrow Wilson yang ingin
mengubah hubungan internasional dari hutan politik kekuasaan yang kacau menuju kebun
binatang pergaulan yang erat diatur dan damai. Bagaimanapun juga kaum liberal institusional
tidak sepakat dengan pandangan kaum realis bahwa institusi internasional hanyalah secarik
kertas dan bahwa mereka berada dalam belas kasian sepenuhnya Negara kuat. Akan tetapi
mereka juga merupakan kepentingan yang independen dan mereka dapat memajukan
kerjasama antara Negara-negara. Institusional membantu memajukan kerjasama antara
Negara-negara dan oleh karena itu membantu mengurangi kepercayaan Negara-negara dan
rasa takut Negara satu dama lain yang dianggap jadi masalah tradisional yang dikaitkan
anarki internasional.

Liberalisme interdependensi

Seperti yang kita ketahui bahwa interdependensi merupakan ketergantungan timbal balik,
rakyat dan pemerintah dipengaruhi oleh apa yang terjadi dimanapun, oleh tindakan rekannya
di Negara lain.maka dari itu tingkat hubungan yang paling banyak terjadi adalah hubungan
interdependensi. Sepanjang sejarah, Negara berupaya mencari kekuasaan dengan alat militer
dan perluasan wilayah, tetapi bagi Negara-negara industrialis pembangunan ekonomi dan
perdagangan luar negri adalah alat-alat dalam mencapai keunggulan dan kesejahteraan yang
lebih mencukupi dan dengan sedikit biaya. Kemudian, pembagian tenaga kerja yang tinggi
dalam perekonomian internasional meningkatkan interdependensi antara Negara dan hal itu
menekan dan mengurangi konflik kekerasan antar Negara. Akan tetapi masih tetap ada resiko
bahwa Negara modern tergelincir kembali ke pilihan militer dan memauki konfrontasi
kekerasan.

Liberalisme republikan
Liberalism republican berupa bentukan dari sebuah pernyataan bahwa Negara-negara
demokrasi liberal bersifat lebih damai dan patuh pada hokum sibandingkan sistem politik
lain. Dalm hal ini berarti Negara-negara demokrasi tidak pernah berperang. Akan tetapi
Negara-negara demokrasi berperang sesering Negara-negara non demokrasi. Pendapat dari
liberalism republican ini terlalu mengagung-agungkan demokrasi. Ia selalu menganggap
bahwa demokrasi itu merupakan satu sistem yang paling tidak akan pernah perang sama
sekali. Bahkan dengan adanya demokrasi justru kerjasama ekonomi dan interdependensi
antar Negara akan semakin kuat.

Dalam pembahasan liberalism ini memang pada dasarnya lebih terfokus pada bidang
ekonomi. Apalagi sejak pasca perang dunia dua. Neoliberalisme adalah suatu perwujudan
baru dari paham liberalism yang saat ini telah menguasai sistem perekonomian dunia. paham
ini merupakan suatu sistem ekonomi yang sama dengan kapitalisme, dimana kebebasan
individu lebih diutamakan dan tanpa campur tangan dari pemerintah. Yang menjadi penentu
utama dalam kegiatan ekonomi adalah mekanisme pasar. Bukan pemerintah.

2.4 Teori Neo Liberalisme

Sebagai sebuah aliran paham yang sangat berpengaruh di dunia, Neoliberalisme tentu didirikan
berdasrkan bangunan konseptual. Untuk memahaminya secara utuh, maka kita harus membedah
bangunan-bangunan konseptual tersebut. Dari situ kita akan mengerti bagaimana cara pandangnya dan
apa proyeksinya tentang kehidupan. Bagaimana basis ontologis, epistimologi dan aksiologisnya ?
bagaimana cara pandangnya tentang Manusia ? bagaiaman cara pandanganya tentang negara ?. Pada
bagian ini nantin akan di jelaskan mengenai pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Jantung Neoliberalisme adalah gagasan yang mungkin bisa diringkas sebagai berikut. Manusia pertama-
tama dan paling utama adalah homo economicus (manusia ekonomi). Itulah ontologi (kodrat) manusia.
Karena itu, maka gagasan ini ingin mencapai dua hal.Pertama, hubungan-hubungan antar pribadi dan
sosial kita mesti dipahami dengan menggunakan konsep dan tolok-ukur ekonomi. Jadi, ontologi
economicus berimplikasi pada epistimologi (cara pandang) economicus pula. Artinya, semua perosalan
akan ditinjau dari perspektif ekonomi. Motif ekonomi menjadi pendorong manusia dalam bertindak,
semua dikaji berdasarkan hubungan untung rugi. Dengan demikian, relasi yang terbangun semata-mata
karena dorongan pragmatisme saja. Medium yang paling tepat untuk menjalankan prinsip seperti itu
adalah pasar.
Kelompok Neoliberal percaya bahwa pasarlah yang harus dijadikan sebagai prinsip dasar dalam
masyarakat dan negara. Kedua, prinsip ekonomi juga merupakan tolok-ukur untuk mengevaluasi
berbagai tindakan dan kebijakan pemerintah suatu negara. Ontologi dan epistiomologi economicus pada
gilirannya melahirkan etika economicus pula. Jika Liberalisme klasik abad 18 menuntut pemerintah-
pemerintah untuk menghormati kinerja pasar sebagai salah satu cara jitu kehidupan ekonomi,
Neoliberalisme menuntut kinerja pasar bebas sebagai satu-satunya tolakukur untuk menilai berhasil
tidaknya semua kebijakan pemeintah.

Pasar Bebas adalah meja pengadilan bagi setiap kebijakan pemerintah. Gagasan ini berbeda dengan
liberalisme klasik abad 181. Hal inilah yang menyebabkan ajaran ini disebut juga sebagi ajaran
fundamentalisme pasar karena ajaran ini menginginkan adanya pasar yang bebas sebebas-bebasnya.
Negara tidak boleh sama sekali mencampuri urusan ekonomi. Dalam Neoliberalisme juga
memperdebatkan tentang peran negara dalam urusan ekonomi. Sama seperti perdebatan aliran-aliran
yang sebelumnya, negara menjadi salah satu objek bahasan dalam Neoliberalisme.

Jika dalam ajaran liberalisme klasik dikatakan bahwa negara harus lepas tangan karena pasar bisa
mengurus dirinya sendiri, maka neoliberalisme jauh lebih radikal dengan mengatakan bahwa negara
sebagai penyebab utama kegagalan ekonomi. Adanya negara membatasi individu dalam melakukan
praktek ekonomi. Itulah sebabnya aliran ini juga menginginkan adanya perdagangan bebas. Dengan
maksud agar sekat-sekat negara tidak menjadi hambatan dalam mengejar keuntungan pribadi. Seperti
dikatakan oleh Poespardojo dan Seran bahwa pola dasar ekonomi Neoliberalisme adalah membangun
satu dunia baru bagi hubungan ekonomi global, maka Neoliberalisme selalu dikaitkan dengan globalisasi
yang menekankan manusia sebagai warga dunia dan bukan terutama sebagai warga sebuah negara.
melalui globalisasi batas-batas teritori dan hukum nasional mau dirobohkan supaya manusia bisa
berhubungan tanpa hambatan, terutama dalam perdagangan antarbangsa. 2

Menurut Rachel S. Turner dalam Poespardojo dan Seran, (2016) terdapat empat prinsip
Neoliberalisme meliputi:

1. Keyakinan bahwa pasar dapat mengatur dirinya sendiri tanpa intervensi dari luar (politik,
agama negara dan lain-lain),
2. Keyakinan akan negara hukum dan pemerintahan berdasarkan hukum (rechstaat),
3. Keyakinan untuk memperjuangkan kekuasaan negara secara minimal dalam melakukan
intervensi, dan
4. Keyakinan akan hak milik pribadi sebagai pengakuan terhadap hak-hak fundamental
manusia sebagai pribadi.

1
Priyono, H.B. (2003). Dalam Pusaran Neoliberalisme. Diterjemahkan dari Wibowo dan Francis Wahono ,
Neoliberalisme. Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas.
2
Poespardojo, S.T.M dan Seran, A. 2016. Diskursus Teori-Teori Kritis: Kritik atas Kapitalisme Klasik, Modern dan
Kontemporer. Jakarta: Kompas
Jika membahas tentang Neoliberalisme, maka tidak akan lepas dari pembahasan tentang
Konsensus Washington. Konsensus ini terkenal sangat buruk karena mengemban tanggungjawab
terhadap terjadinya pelemahan dan pemiskinan di banyak negara. Karena Konsensus ini berusaha
untuk melakukan penyeragaman tanpa melakukan pembedaan dalam penerapannya. Apakah
negeri-negeri berkembang itu merupakan termiskin, lamban perkembangannya apakah negeri itu
negeri industri baru atau tidak, semua diperlakukan sama. Dalam program-program penyesuaian
struktural IMF Konsensus Washington dipaksakan secara membabi buta kepada negara-negara
yang terlilit utang (Erhard Eppler, 2010).

Berikut ini adalah sepuluh poin yang ada di dalamnya:


1. Mengurangi defisit anggaran hingga mencapai suatu tingkat yang tidak menciptakan
tekanan inflasi,
2. Pengeluaran belanja publik memberikan prioritas baru kepada pendidikan dan infrastruktur
dan sebagainya,
3. Pembaruan pajak yang dirancang untuk memotong tingkat pajak marjinal dan memperluas
basis pajak,
4. Transisi menuju tingkat bunga yang ditentukan pasar (liberalisasi keuangan),
5. Nilai tukar kompetitif yang memadai untuk merangsang pertumbuhan yang cepat di bidang
ekspor non-tradisional,
6. Perdagangan luar negeri: hambatan-hambatan kuantitatif akan dihapuskan, tingkat bea
masuk tarif akan dikurangi,
7. Penghilangan hambatan-hambatan yang menghalangi masuknya investasi langsung luar
negeri,
8. Swastanisasi perusahaan-perusahaan yang dimiliki negara,
9. Deregulasi untuk mendorong pembenahan, penghilangan umum hambatan-hambatan
terhadap persaingan,
10. Perlindungan yang lebih baik terhadap hak-hak pemilikan, khususnya dalam sektor
informal. ((Erhard Eppler, 2010)
Inilah yang menjadi biang-kerok dari gagalnya negara-negara berkembang saat ini. Banyak
pengkritik Neolib menyederhanakan sepuluh poin itu menjadi beberapa rumusan besar yang harus
dilakukan oleh negara atau menjadikan beberapa poin tentang ajaran pokok dari Neoliberalisme.
Adapun pandangan yang merumuskannya ialah seperti:

A. Tony Prasetiantono dalam I. Wibowo dan Francis Wahono (2003) menyebutkan tiga pilar utama
dari konsep Washington Consensus yaitu:
1. Liberalisasi,
2. Deregulasi, dan
3. Privatisasi
Mansour Fakih dalam bukunya yang berjudul Jalan Lain: Manifesto Intelektual Organik (2011)
menyebutkan pokok-pokok pendirian Neoliberal meliputi beberapa hal:

1. Bebaskan perusahaan swasta dari campur tangan pemerintah, misalnya jauhkan


pemerintah dari campur tangan di bidang-bidang perburuhan, investasi, dan harga, serta
biarkan mereka mempunyai ruang untuk mengatur diri sendiri untuk tumbuh,
2. Hentikan subsidi negara kepada rakyat karena hal itu selain bertentangan dengan prinsip
Neoliberal tentang jauhkan campur tangan pemerintah, juga bertentangan dengan prinsip
pasar dan persaingan bebas. Oleh karena itu pemerintah juga harus melakukan privatiasi
semua perusahaan milik negara, karena perusahaan negara pada dasarnya dibuat untuk
melaksanakan subsidi negara pada rakyat, dan itupun menghambat persaingan bebas,
3. Hapuskan ideologi ‘kesejahteraan bersama’ dan pemilikan komunal seperti yang masih
banyak dianut oleh masyarakat ‘tradisional’ karena dianggap menghambat atau
menghalangi pertumbuhan.
Dengan demikian, jika suatu negara menganut paham Neoliberalisme maka konsekuensi logis yang
akan terjadi dalam negara tersebut adalah akan semakin lemahnya negara, karena campur tangan
pemerintah akan dipangkas dengan kebijakan deregulasi. Jika campur tangan pemerintah sudah
dipangkas, maka birokrasi juga akan ikut terlemahkan perannya sehingga disebut juga sebagai
proses debirokratisasi. Konsekuensi selanjutnya adalah hilangnya BUMN-BUMN di suatu negara
karena akan diambil alih oleh pihak swasta (privatisasi). Terakhir, program-program sosial akan
sangat minim karena negara tidak diperkenankan untuk memberikan santunan bagi siapapun.
Miskinnya soerang warga negara dianggap bukan sebagai tanggungan negara tetapi tanggungan
diri sendiri. Jika poin-poin ini terjadi dalam suatu negara, maka sudah bisa dipastikan bahwa negara
tersebut telah mengadopsi ajaran daripada Neoliberalisme. Sebaliknya, jika poin ini tidak terjadi
dalam suatu negara, maka negara tersebut masih jauh dari pengaruh Neoliberalisme.

Anda mungkin juga menyukai