Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH AGAMA

AQIDAH, SYARIAH, AKHLAK DAN IMAN, ISLAM DAN IHSAN

“Menjadi program studi yang BERHASIL meluluskan ahli madya analis


kesehatan professional yang unggul di bidang mikroskopis sumsum tulang tingkat
nasional tahun 2020”

DISUSUN OLEH : Kelompok 5

NAMA : 1. Agita Jeni Iswari (NIM : PO.71.34.1.19.002)


2. Risma Engelina (NIM : PO.71.34.1.19.028)
3. Vallencia Putri A (NIM : PO.71.34.1.19.035)

JURUSAN : D III Analis Kesehatan

TINGKAT : Reguler 1 A

DOSEN PENGAMPU : Miftahul Husni Nasution, M.Pd.I

POLTEKKES KEMENKES PALEMBANG

TAHUN AJARAN 2019/2020


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat ALLAH SWT, karena berkat dan
rahmat nya sehingga kami bisa menyelesaikan makalah yang berjudul “Aqidah, Syariah,
Akhlak dan Iman, Islam dan Ihsan”. Dalam penyusunan makalah ini kami telah berusaha
semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuan kami. Namun, sebagai manusia biasa
kami tidak luput dari kesalahan dan kekhilafan baik dari segi teknik penulisan maupun
tata bahasa. Walaupun demikian, kami berusaha sebisa mungkin menyelesaikan makalah
ini meskipun tersusun sangat sederhana.

Demikian semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan bisa bermanfaat
bagi kita semua. Kami mengakui bahwa “tak ada gading yang tak retak”. Oleh karena
itu, kami menyadari bahwa penyusunan makalah ini tidaklah sempurna. Kami sangat
membutuhkan kritik dan saran dari berbagai pihak yang bersifat membangun. Sehingga
makalah ini akan menjadi lebih baik dimasa yang akan datang.

Palembang, 20 September 2019

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ………….…………………………………………. i

DAFTAR ISI ……………………………………………………………..... ii

BAB I : PENDAHULUAN ……………………………………………… 1

1.1 Latar Belakang ………………………………………………. 1

1.2 Rumusan Masalah …………………………………………… 1

1.3 Tujuan …………………..…………………………………… 1

BAB II : PEMBAHASAN ……………………………………………….. 2

2.1 Aqidah ………………………………………………………. 2

2.2 Syariah ……………………………………………………….. 4

2.3 Akhlak ……………………………………………………….. 7

2.4 Iman ………………………………………………………….. 11

2.5 Islam …………………………………………………………. 13

2.6 Ihsan …………………………………………………………. 14

BAB III : PENUTUP ……………………………………………………… 15

3.1 Kesimpulan …………………………………………………. 15

3.2 Penutup ……………………………………………………… 15

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………… 16

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1. 1   Latar Belakang

Islam merupakan agama samawi yang memiliki ajaran yang sangat sempurna. Semua
masalah diatur dalam Islam, sehingga tidak ada satu pun masalah yang tidak ada
ketentuannya dalam Islam. Kesempurnaan Islam ini ditunjang oleh ketiga sumber ajarannya,
yakni al-Quran dan Sunnah sebagai sumber ajaran pokoknya serta ijtihad sebagai sumber
penegkapnya. Untuk memahami ajaran Islam secara keseluruhan memang dibutuhkan waktu
yang tidak sebentar. Tidak banyak umat Islam yang mengetahui ajaran Islam secara
menyeluruh, bahkan masih banyak umat Islam yang hanya menganut Islam secara formal
saja dan sama sekali tidak mengetahui ajaran Islam. Untuk mendasari pemahaman Islam yang
lebih luas, perlu dipahami dulu dasar-dasar Islam atau yang sering disebut kerangka dasar
ajaran Islam. Dengan memahami kerangka dasar ini, seseorang dapat memahami gambaran
ajaran Islam secara keseluruhan. Masalah inilah yang akan diuraikan di bawah ini secara
singkat. Dengan uraian singkat ini diharapkan para pembaca, khususnya mahasiswa,
memiliki pemahaman dasar tentang ajaran Islam.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa pengertian dari aqidah, syariah, akhlak dan akhlak dan iman,islam,dan ihsan?
2. Apa saja dalil dari aqidah, syariah, akhlak dan akhlak dan iman,islam,dan ihsan?
3. Apa tujuan dari aqidah, syariah, akhlak dan akhlak dan iman,islam,dan ihsan?

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui pegertian dari aqidah, syariah, akhlak dan akhlak dan islam dan
ihsan.
2. Untuk mengetahui dalil dari aqidah, syariah, akhlak dan ihsan

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 AQIDAH

1) Pengertian Aqidah

Akidah adalah pokok dan dasar dalam agama. Ajaran Islam meliputi tiga hal, yaitu
akidah, syari’ah dan akhlak. Akidah adalah hal yang pertama dan utama yang harus kita
miliki. Akidah adalah pondasi dari segala amal yang akan kita lakukan. Amal dan akhlak
tidak ada nilainya bila tidak didasarkan pada akidah atau keimanan yang benar.

Akidah berakar dari kata yang berarti tali pengikat sesuatu dengan yang lain, sehingga
menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Jika masih dapat dipisahkan berarti
belum ada pengikat dan sekaligus berarti belum ada akidahnya.

Dalam pembahasan yang masyhur akidah diartikan sebagai iman, kepercayaan atau
keyakinan. Dalam kajian Islam, akidah berarti tali pengikat batin manusia dengan yang
diyakininya sebagai Tuhan Yang Maha Esa yang patut disembah dan Pencipta serta Pengatur
alam semesta ini. Akidah sebagai sebuah keyakinan kepada hakikat yang nyata yang tidak
menerima keraguan dan bantahan. Apabila kepercayaan terhadap hakikat sesuatu itu masih
ada unsur keraguan dan kebimbangan, maka tidak disebut akidah. Jadi akidah itu harus kuat
dan tidak ada kelemahan yang membuka celah untuk dibantah. Ilmu yang membahas akidah
disebut ilmu akidah

2) Dalil dalam Akidah

Dalil dalam akidah ada dua yaitu:

a. Dalil ‘Aqli
Dalil yang didasarkan pada penalaran akal yang sehat. Orang yang tidak mampu
mempergunakan akalnya karena ada gangguan, maka tidak dibebani untuk memahami
Akidah. Segala yang menyangkut dengan Akidah, kita tidak boleh meyakini secara ikut-
ikutan, melainkan berdasarkan keyakinan yang dapat dipelajari sesuai dengan akal yang
sehat.

b. Dalil Naqli
2
Dalil naqli adalah dalil yang didasarkan pada al-Qur’an dan sunah. Walaupun akal
manusia dapat menghasilkan kemajuan ilmu dan teknologi, namun harus disadari bahwa
betapapun kuatnya daya pikir manusia, ia tidak akan sanggup mengetahui hakikat zat Allah
yang sebenarnya. Manusia tidak memiliki kemampuan untuk menyelidiki yang ghaib, untuk
mengetahui yang ghaib itu kita harus puas dengan wahyu Allah. Wahyu itulah yang disebut
dalil Naqli. Kebenaran dalil Naqli ini bersifat pasti, kebenarannya mutlak serta berlaku untuk
semua ruang dan waktu. Dalil Naqli ada dua yaitu al-Qur’an dan hadis Rasul. Hal-hal yang
tidak dapat dijangkau oleh akal, cukup diyakini kebenarannya tanpa harus membuktikan
dengan akal. Termasuk ke dalam bagian ini adalah hakikat hal-hal yang ghaib, seperti kiamat,
alam barzakh, alam makhsyar, surga, neraka, malaikat,dan lain sebagainya.

3) Tujuan Akidah Islam

Akidah Islam mempunyai tujuan antara lain :

a. Untuk mengikhlaskan niat dan ibadah hanya kepada Allah. Kttarena Allah adalah Pencipta
yang tidak ada sekutu bagi-Nya, maka tujuan dari ibadah haruslah diperuntukkan hanya
kepada-Nya .

b. Membebaskan akal dan pikiran dari kegelisahan yang timbul dari lemahnya akidah.
Karena orang yang lemah akidahnya, adakalanya kosong hatinya dan adakalanya
terjerumus pada berbagai kesesatan dan khurafat.

c. Ketenangan jiwa dan pikiran tidak cemas. Karena akidah ini akan memperkuat hubungan
antara orang mukmin dengan Allah, sehingga ia menjadi orang yang tegar menghadapi
segala persoalan dan sabar dalam menyikapi berbagai cobaan.

d. Meluruskan tujuan dan perbuatan yang menyimpang dalam beribadah kepada Allah serta
berhubungan dengan orang lain berdasarkan ajaran al-Qur’an dan tuntunan Rasulullah
saw.

e. Bersungguh-sungguh dalam segala sesuatu dengan tidak menghilangkan kesempatan yang


baik untuk beramal baik. Sebab setiap amal baik pasti ada balasannya. begitu sebaliknya,
setiap amal buruk pasti juga ada balasannya. Di antara dasar akidah ini adalah mengimani
kebangkitan serta balasan terhadap seluruh perbuatan.

f. Meraih kebahagiaan dunia dan akhirat dengan memperbaiki individuindividu maupun


kelompok-kelompok serta meraih pahala dan kemuliaan.
3
4) Prinsip-Prinsip Akidah Islam

Prinsip-prinsip akidah secara keseluruhan tercakup dalam sejumlah prinsip agama Islam.
Prinsip-prinsip tersebut adalah :

a. Pengakuan dan keyakinan bahwa Allah Swt. adalah Esa. Beriman kepada Allah dan
hanya menyembah kepada Allah, dan tidak menyekutukan Allah.

b. Pengakuan bahwa para Nabi telah diangkat dengan sebenarnya oleh Allah Swt. untuk
menuntun umatnya. Keyakinan bahwa para Nabi adalah utusan Allah Swt. sangat penting,
sebab kepercayaan yang kuat bahwa Nabi itu adalah utusan Allah, mengandung
konsekuensi bahwa setiap orang harus meyakini apa yang dibawa oleh para Rasul utusan
Allah tersebut berupa kitab suci. Keyakinan akan kebenaran kitab suci menjadikan orang
memiliki pedoman dalam menjalani kehidupan di dunia ini.

c. Kepercayaan akan adanya hari kebangkitan. Keyakinan seperti ini memberikan kesadaran
bahwa kehidupan dunia bukanlah akhir dari segalanya. Setiap orang pada hari akhir nanti
akan dibangkitkan dan akan dimintai pertanggungjawaban selama hidupnya di dunia.

d. Keyakinan bahwa Allah Swt. adalah Maha Adil. Jika keyakinan seperti ini tertanam di
dalam hati, maka akan menumbuhkan keyakinan bahwa apa yang dilakukan akan
mendapatkan balasan dari Allah Swt. Orang yang berbuat kebaikan akan mendapatkan
balasan yang baik, seberapapun kecilnya kebaikan itu. Sebaliknya perbuatan jelek sekecil
apapun akan mendapatkan balasan yang setimpal dari Allah Swt.

2.2 SYARIAH

1. Pengertian Syariah

Syara’a-Yasyra’u-Syar’an artinya membuat undang-undang, menerangkan rute


perjalanan, adat kebiasaan, jalan raya. Syara’a-Yasyra’u-Syuru’an, artinya masuk ke dalam
air memulai pekerjaan, jalan ke air, layar kapal, dan tali panah (Mahmud Yunus, 1989:195).
Syariah adalah jalan ke sumber (mata) air. Dahulu orang Arab menggunakan syari’ah
untuk sebutan jalan setapak menuju sumber (mata) air untuk mencuci atau membersihkan
diri. (Mohammad Daud Ali, 1997:235). Syariah juga berarti jalan lurus, jalan yang lempeng,
tidak berkelok-kelok, jalan raya. Penggunaan kata syari’ah bermakna peraturan, adat
kebiasaan, undang-undang, dan hukum (Ahmad Wason Munawwir, 1984:762).

4
Dari pengertian di atas Syariah adalah segala peraturan agama yang telah ditetapkan
Allah SWT untuk umat Islam, baik dari Al-Qur’an, maupun dari sunnah Rasulullah SAW,
yang diberikan kepada manusia melaluli para Nabi agar manusia hidup selamat di dunia
maupun di akhirat.
Para pakar hukum Islam memberikan batasan pengertian “Syariah” yang lebih tegas
untuk membedakannya dengan “Ilmu Fiqh”, yang diantaranya sebagai berikut:
a. Imam Abu Ishak As-Syatibi dalam bukunya Al-Muwafaqat fi ushulil bahkan mengatakan,
“Bahwasanya arti syariah itu, sesungguhnya, menetapkan batas tegas bagi orang-orang
mukallaf, dalam segala perbuatan, perkataan, dan akidah mereka.”
b. Syekh Muhammad Ali Ath-Thahawi dalam bukunya kassyful istilah funun mengatakan,
“Syariah ialah segala yang telah diisyaratkan Allah SWT untuk para hamba-Nya, dari
hukum-hukum yang telah dibawa oleh para Nabi Allah as. Baik yang berkaitan dengan
cara pelaksanaannya, dan disebut dengan far’iyah amaliah lalu dihimpun dalam ilmu fiqh
atau cara berkaidah yang disebut pokok akidah, dan dihmpun oleh ilmu kalam, dan syariah
ini dapat disebut juga dengan din (agama) dan millah.
Dengan tersebut menegaskan bahwa syariah sama artinya dengan din (agama) dan
millah. Berbeda dengan ilmu fiqh yang hanya membahas tentang amaliyah hukum (ibadah).
Sedangkan bidang akidah dan hal-hal yang berhubungan dengan alam gaib, dibahas oleh ilmu
kalam atau ilmu tauhid

2. Ruang Lingkup Syari’ah


Ruang Lingkup Syariah (Hukum Islam) meliputi hubungan vertikal dengan Allah
(ibadah) dan hubungan horizontal dengan sesama manusia (muamalat).
a. Hubungan manusia dengan Allah SWT secara vertikal, melalui ibadah, seperti:
 Thaharah (Bersuci diri dari kotoran dan najis), tujuan: membiasakan manusia hidup
bersih agar manusia lain merasa nyaman di tengah-tengah kehadirannya;
 Shalat, tujuan: menanamkan kesadaran diri manusia tentang identitas asal usulnya dari
tanah serta janji akan tunduk dan patuh secara sukarela kepada Allah dalam kurun
waktu 24 jam kehidupannya yang dibuktikan dengan tidak melakukan perbuatan
merugikan orang banyak (fahisah) dan lisannya tidak melukai perasaan orang lain
(munkar);

5
 Zakat, tujuan: membiasakan manusia untuk berbagi dengan manusia lain yang tidak
bekerja produktif (petani, pedagang musiman, tukang becak, dll) yang ada di
lingkungan sekitar tenpat tinggalnya;
 Puasa, tujuan: membiasakan manusia untuk jujur pada diri sendiri dan berempati atas
penderitaan orang lain dengan cara meniru sifat-sifat Allah SWT, seperti sifat Allah
SWT yang tidak pernah makan, minum, dan berkeluarga.
 Haji, tujuan: mempersiapkan manusia untuk sanggup datang kepada Allah SWT
sendiri-sendiri dengan menanggalkan seluruh kekayaan, ikatan kekerabatan, jabatan
kekuasaan, kecuali amal perbuatan yang telah dilakukannya.
b. Hubungan manusia dengan manusia secara horizontal, seperti:
 Ikatan pertukaran barang dan jasa, tujuan: agar kehidupan dasar manusia yang satu
dengan yang lain dapat tercukupi dengan sportif;
 Ikatan pernikahan, tujuan: melestarikan generasi manusia berdasarkan aturan yang
berlaku;
 Ikatan pewarisan, tujuan: agar terjadu pembagian peran dan fungsi sosial yang seadil-
adilnya atas dasar musyawarah di bawah hukum kemasyarakatan yang dibuat bersama;
 Ikatan kemanusiaan, tujuan: agar terjadi saling tenggang rasa, karya, dan cipta di antara
manusia yang berkaitan

3. Kedudukan Syariah dalam Pokok Ajaran Islam


Syariah Islam secara mutlak dimaksudkan seluruh ajaran Islam baik yang mengenai
keimanan, amaliah ibadah, maupun mengenai akhlak. Firman Allah SWT:

“Kemudian Kami jadikan engkau berada di atas suatu syariah (peraturan) dari urusan
agama itu, maka ikutilah dia (syariah), dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu orang-
orang yang tidak mengetahui.” (QS. Al-Jatsiyah: 18).

Kedudukan syariah dalam ajaran Islam adalah sebagai bukti aqidah. Setiap detik
kehidupan manusia diisi dengan perbuatan-perbuatan. Perbuatan-perbuatan itu dilandasi akar
keyakinan hati akan tunduk dan patuh secara sukarela terhadap kehendak Allah (aqidah).
Buah dari perbuatan itu dinamai akhlak

6
2.3 AKHLAK
1. Pengertian akhlak

Secara etimologis, kata akhlak berasal dari bahasa Arab al-akhlaq yang merupakan
bentuk jamak dari kata khuluq yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku, atau tabiat
(Hamzah Ya’qub, 1988: 11). Sinonim dari kata akhlak ini adalah etika, moral, dan karakter.
Sedangkan secara terminologis, akhlak berarti keadaan gerak jiwa yang mendorong ke arah
melakukan perbuatan dengan tidak menghajatkan pikiran. Inilah pendapat yang dikemukakan
oleh Ibnu Maskawaih. Sedang al-Ghazali mendefinisikan akhlak sebagai suatu sifat yang
tetap pada jiwa yang daripadanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah, dengan tidak
membutuhkan kepada pikiran (Rahmat Djatnika, 1996: 27).
Adapun ilmu akhlak oleh Dr. Ahmad Amin didefinisikan suatu ilmu yang
menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh sebagian
manusia kepada sebagian lainnya, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia dalam
perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang harus diperbuat
(Hamzah Ya’qub, 1988: 12).
Dari pengertian di atas jelaslah bahwa kajian akhlak adalah tingkah laku manusia,
atau tepatnya nilai dari tingkah lakunya, yang bisa bernilai baik (mulia) atau sebaliknya
bernilai buruk (tercela). Yang dinilai di sini adalah tingkah laku manusia dalam berhubungan
dengan Tuhan, yakni dalam melakukan ibadah, dalam berhubungan dengan sesamanya, yakni
dalam bermuamalah atau dalam melakukan hubungan sosial antar manusia, dalam
berhubungan dengan makhluk hidup yang lain seperti binatang dan tumbuhan, serta dalam
berhubungan dengan lingkungan atau benda-benda mati yang juga merupakan makhluk
Tuhan. Secara singkat hubungan akhlak ini terbagi menjadi dua, yaitu akhlak kepad Khaliq
(Allah Sang Pencipta) dan akhlak kepada makhluq (ciptaan-Nya).
Dalam prakteknya akhlak bisa dikatakan buah atau hasil dari akidah yang kuat dan
syariah yang benar. Allah SWT mengutus Nabi Muhammad SAW tidak lain dan tidak bukan
adalah untuk memperbaiki akhlak. Sebagai bahan perbandingan. Ahmad Amin (1988)
mendefinisikan akhlak sebagai perbuatan yang diulang-ulang sehingga menjadi mudah untuk
melakukannya dan tidak perlu berpikir lagi bagaimana melakukannya. Contohnya adalah
seperti shalat tahajud. Pada malam pertama mungkin akan sedikit berat untuk dapat bangun
malam. Namun, bila hal itu dilakukan berulang-ulang itu akan menjadi sangat mudah. Kita
tidak perlu berpikir lagi bagaimana melakukannya. Demikian juga dengan bersedekah. Bila
kita rajin melakukan sedekah, tentu hal ini menjadi mudah untuk kita lakukan. Tak perlu lagi

7
berpikir bagaimana caranya bersedekah. Maka kita dapat berkesimpulan bahwa
bersedekah/membantu orang lain adalah akhlak.
Menurut Yunahar Ilyas (2004:12-14) akhlak dalam Islam memiliki lima macam ciri, yaitu:
 Akhlak Rabani
Ajaran akhlak dalam Islam bersumber pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Di dalam Al-
Qur’an terdapat 1500 ayat yang mengandung ajaran tentang akhlak, baik secara teoritis
maupun praktis. Demikian pula dalam hadist juga terdapat banyak pedoman mengenai
akhlak. Sifat Rabbani dari akhlak berkaitan dengan tujuannya, yakni memperoleh
kebahagiaan di dunia dan akhirat. Akhlak Rabbani mampu menghindari dari kekacauan nilai
moralitas dalam hidup manusia. Allah SWT berfirman dalam surah Al-An’am ayat 153
 Akhlak Manusiawi
Ajaran akhlak dalam Islam sejalan dan memenuhi fitrah sebagai manusia. Akhlak
dalam Islam adalah akhlak yang benar-benar memelihara eksistensi sebagai seorang manusia
yang merupakan makhluk yang terhormat, sesuai dengan fitrahnya, yang menjunjung tinggi
hak asasi manusia dimana hal ini merupakan hak yang fundamental dan mutlak dimiliki oleh
manusia.
 Akhlak Universal
Ajaran akhlak dalam Islam sesuai dengan kemanusiaan yang universal dan mencakup
segala aspek kehidupan manusia, baik dimensi vertikal maupun horisontal. Contohnya dalam
Al-Qur’an terdapat 10 macam keburukan yang wajib dijauhi oleh setiap orang, yakni
menyekutukan Allah, durhaka kepada kedua orang tua, membunuh anak karena takut miskin,
berbuat keji baik secara terbuka maupun tersembunyi, membunuh orang tanpa alasan yang
sah, makan harta anak yatim, mengurangi takaran dan timbangan, membebani orang lain
dengan kewajiban melampauin kekuatannya, persaksian tidak adil, dan menghianati janji
dengan Allah (QS. Al-An’am, 6: 151-152). Sepuluh macam keburukan ini adalah nilai-nilai
yang bersifat universal bagi siapapun, dimanapun, dan kapanpun akan dinyatakan sebagai
keburukan.
 Akhlak Keseimbangan
Akhlak dalam Islam berada di antara dua sisi. Di satu sisi mengkhayalkan manusia
sebagai malaikat yang menitikberatkan pada sifat kebinatangannya (hawa nafsu). Manusia
dalam Islam memiliki dua kekuatan, yaitu: kekuatan kebaikan yang berada dalam hati nurani
dan akalnya, kekuatan buruk yang berada pada hawa nafsunya. Manusia memiliki unsur
rohaniah malaikat dan juga unsur naluriah hewani yang masing-masing memerlukan

8
pelayanan secara seimbang. Manusia tidak hanya hidup di dunia namun juga akan
menghadapi kehidupan di akhirat kelak. Akhlak dalam Islam memenuhi tuntutan hidup
manusia secara seimbang, baik dalam kebutuhan jasmani ataupun rohani.
 Akhlak Realistik
Ajaran akhlak dalam Islam memperhatikan kenyataan hidup manusia. Meskipun
manusia dinyatakan sebagai makhluk yang memiliki kelebihan dibanding makhluk-makhluk
yang lain, akan tetapi manusia juga memiliki kelemahan yang sering terjadi akibat
ketidakmampuan untuk mengontrol diri. Oleh karena itu dalam ajaran Islam memberikan
kesempatan bagi manusia untuk memperbaiki diri dengan bertaubat. Bahkan dalam keadaan
terpaksa, Islam memperbolehkan manusia melakukan sesuatu dalam keadaan biasa tidak
dibenarkan. Allah berfirman dalam, QS. Al-Baqarah, 2:173
Suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai cerminan akhlak apabila memiliki kriteria
sebagai berikut:
a. Dilakukan berulang-ulang sehingga menjadi suatu kebiasaan
b. Timbul dengan sendirinya (spontan), tanpa dipikir-pikir terlebih dahulu.

2. Ruang Lingkup Akhlak


Apabila perbuatan-perbuatan manusia (syariah) dikelompokkan menjadi ibadah dan
muamalah, maka akhlak pun dapat dikelomokkan menjadi dua, yaitu: akhlak pada Allah,
akhlak pada manusia.
a. Akhlak pada Allah
Akhlak kepada Allah adalah tanda terimakasih kita padaNya. Contoh akhlak kepada
Allah: melaksanakan perintah Allah dan menjauhi laranganNya.
b. Akhlak pada manusia
Akhlak kepada manusia adalah cara kita untuk menemukan kemanfaatan bagi hidup
bersama. Contoh akhlak kepada manusia: menghormati orang tua, menolong orang lain,
menghormati orangtua terdapat pada firman Allah SWT dalam surat Al-Ahqaaf: 15

3. Kedudukan Akhlak dalam Pokok Ajaran Islam


Kedudukan akhlak dalam ajaran Islam adalah hasil, dampak, atau buah dari perbuatan-
perbuatan (syariah) yang dilandasi keyakinan hati tunduk dan patuh secara sukarela pada
kehendak Allah (aqidah). Seperti halnya adalah jujur dan patuh secara sukarela pada
kehendak Allah (aqidah). Seperti halnya adalah jujur pada diri sendiri yang merupakan

9
bagian dari akhlak adalah dampak perbuatan puasa (syariah) yang dilandasi keyakinan hati
(aqidah) bahwa puasa kita dapat berempati terhadap penderitaan orang lain yang menjalani
hidupnya serba kekurangan

4. Hubungan antara Aqidah, Syariah, dan Akhlak


Aqidah, syariah, dan akhlak mempunyai hubungan yang sangat erat, bahkan merupakan
satu kesatuan yang tidak dapt dipisah-pisahkan. Meskipun demikian, ketiganya dapat
dibedakan satu sama lain. Aqidah sebagai konsep atau sistem keyakinan yang bermuatan
elemen-elemen dasar iman, menggambarkan sumber dan hakikat keberadaan agama. Syariah
sebagai konsep atau sistem hukum berisi peraturan yang menggambarkan fungsi agama.
Sedangkan akhlak sebagai sistem nilai etika menggambarkan arah dan tujuan yang hendak
dicapai oleh agama. Oleh karena itu, ketiga kerangka dasar tersebut harus terintegrasi dalam
diri seorang Muslim. Integrasi ketiga komponen tersebut dalam ajaran Islam ibarat sebuah
pohon, akarnya adalah aqidah, sementara batang, dahan, dan daunya adalah syariah,
sedangkan buahnya adalah akhlak. Muslim yang baik adalah orang yang memiliki aqidah
yang lurus dan kuat yang mendorongnya untuk melaksanakan syariah yang hanya ditujukan
kepada Allah sehingga tergambar akhlak yang mulia dalam dirinya.
Atas dasar hubungan ini pula maka seorang yang melakukan suatu perbuatan baik,
tetapi tidak dilandasi oleh aqidah atau iman, maka ia termasuk ke dalam kategori kafir.
Seorang yang mengaku beriman, tetapi tidak mau melaksanakan syariah, maka ia disebut
orang fasik. Sedangkan orang yang mengaku beriman dan melaksanakan syariah tetapi tidak
dilandasi aqidah atau iman yang lurus disebut orang munafik. Demikianlah, ketiga konsep
atau kerangka dasar Islam ini memiliki hubungan yang begitu erat dan tidak dapat
dipisahkan. Al-Quran selalu menyebutkan ketiganya dalam waktu yang bersamaan. Hal ini
bisa dilihat dalam berbagai ayat, seperti surat An-Nur (24): 55.
Ketiga kerangka dasar ajaran Islam tersebut dalam Al-Quran disebut iman dan amal
shalih. Iman menunjukkan konsep aqidah, sedangkan amal shalih menunjukkan adanya
konsep syariah dan akhlak.
Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata,

‫وْ تَ َدبَّ َر النَّاسُ هَ ِذ ِه السُّوْ َرةَ لَ َو َس َع ْتهُ ْم‬

”Seandainya setiap manusia merenungkan surat ini, niscaya hal itu akan mencukupi untuk
mereka.”. Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, ”Maksud

10
perkataan Imam Syafi’i adalah surat ini telah cukup bagi manusia untuk mendorong mereka
agar memegang teguh agama Allah dengan beriman, beramal sholih, berdakwah kepada
Allah, dan bersabar atas semua itu.

Beliau tidak bermaksud bahwa manusia cukup merenungkan surat ini tanpa
mengamalkan seluruh syari’at. Karena seorang yang berakal apabila mendengar atau
membaca surat ini, maka ia pasti akan berusaha untuk membebaskan dirinya dari kerugian
dengan cara menghiasi diri dengan empat kriteria yang tersebut dalam surat ini, yaitu
beriman, beramal shalih, saling menasehati agar menegakkan kebenaran (berdakwah) dan
saling menasehati agar bersabar”

2.4 IMAN
1. Pengertian Iman

Iman adalah keyakinan yang menghujam dalam hati, kokoh penuh keyakinan tanpa
dicampuri keraguan sedikitpun.  Sedangkan keimanan dalam Islam itu sendiri adalah percaya
kepada Alloh, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, Rosul-rosulNya, hari akhir dan
berIman kepada takdir baik dan buruk. Iman mencakup perbuatan, ucapan hati dan lisan,
amal hati dan amal lisan serta amal anggota tubuh. Iman bertambah dengan ketaatan dan
berkurang karena kemaksiatan.

Kedudukan Iman lebih tinggi dari pada Islam, Iman memiliki cakupan yang lebih
umum dari pada cakupan Islam, karena ia mencakup Islam, maka seorang hamba tidaklah
mencapai keImanan kecuali jika seorang hamba telah mamapu mewujudka keislamannya.
Iman juga lebih khusus dipandang dari segi pelakunya, karena pelaku keimanan adalah
kelompok dari pelaku keIslaman dan tidak semua pelaku keIslaman menjadi pelaku
keImanan, jelaslah setiap mukmin adalah muslim dan tidak setiap muslim adalah mukmin

Keimanan tidak terpisah dari amal, karena amal merupakan buah keImanan dan salah
satu indikasi yang terlihat oleh manusia. Karena itu Alloh menyebut Iman dan amal soleh
secara beriringan dalam Qur’an surat Al Anfal ayat 2-4 yang artinya:

Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu


adalah mereka yang jika disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan
kepada mereka ayat-ayatNya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah
mereka bertawakkal, (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan

11
sebagian dari rizki yang kami berikan kepada me-reka. Itulah orang-orang yang beriman
dengan sebenar-benar-nya.” (Al-Anfal: 2-4)

Keimanan memiliki satu ciri yang sangat khas, yaitu dinamis. Yang mayoritas ulama
memandang keImanan beriringan dengan amal soleh, sehinga mereka menganggap keImanan
akan bertambah dengan bertambahnya amal soleh. Akan tetapi ada sebagian ulama yang
melihat Iman berdasarkan sudut pandang bahwa ia merupakan aqidah yang tidak menerima
pemilahan. Maka seseorang hanya memiliki dua kemungkinan saja: mukmin atau kafir, tidak
ada kedudukan lain diantara keduanya. Karena itu mereka berpendapat Iman tidak bertambah
dan tidak berkurang.

Iman ada kalanya bertambah dan adakalanya berkurang, maka perlu diketahui kriteria
bertambahnya Iman hingga sempurnanya Iman, yaitu:

1)   Diyakini dalam hati

2)   Diucapkan dengan lisan          

3)   Diamalkan dengan anggota tubuh.

Sedangkan dalam Islam sendiri jika membahas mengenai Iman tidak akan terlepas dari
adanya rukun Iman yang enam, yaitu:

1)   Iman kepada Allah

2)   Iman kepada malaikat-Nya

3)   Iman kepada kitabNya

4)   Iman kepada rosulNya

5)   Iman kepada Qodho dan Qodar

6)   Iman kepada hari akhir

Jika Iman adalah suatu keadaan yang bersifat dinamis, maka sesekali didapati
kelemahan Iman, maka yang harus kita lakukan adalah memperkuat segala lini dari hal-hal
yang dapat memperkuat Iman kembali. Hal-hal yang dapat dilakukan bisa kita mulai dengan
memperkuat aqidah, serta ibadah kita karena Iman bertambah karena taat dan berkurang
karena maksiat.

Ketika Iman telah mencapai taraf yang diinginkan maka akan dirasakan oleh pemiliknya
suatu manisnya Iman, sebagaImana hadits Nabi Muhammad saw. yang artinya:

12
“Tiga perkara yang apabila terdapat dalam diri seseorang, maka ia akan merasakan
manisnya Iman: Menjadikan Alloh dan RosulNya lebih dicintainya melebihi dari selain
keduanya, mencintai seseorang yang tidak dicintainya melainkan karena Alloh, membenci
dirinya kembali kepada kekufuran sebagaImana bencinya ia kembali dilemparkan ke dalam
api neraka.” (HR.Bukhori Muslim). (Busyra, 2010 : 145)

2.5 ISLAM

a) Pengertian Islam

Islam bersal dari kata, as-salamu, as-salmu, danas-silmu yang berarti: menyerahkan diri,


pasrah, tunduk, dan patuh. Berasal dari kata as-silmu atau as-salmu yang berarti damai dan
aman. Berasal dari kata as-salmu, as-salamu, dan as-salamatu yang berarti bersih dan selamat
dari kecacatan-kecacatan lahir dan batin.

Pengertian Islam menurut istilah yaitu, sikap penyerahan diri (kepasrahan, ketundukan,
kepatuhan) seorang hamba kepada Tuhannya dengan senantiasa melaksanakan perintahNya
dan menjauhi laranganNya, demi mencapai kedamaian dan keselamatan hidup, di dunia
maupun di akhirat.

Siapa saja yang menyerahkan diri sepenuhnya hanya kepada Allah, maka ia seorang
muslim, dan barang siapa yang menyerahkan diri kepada Allah dan selain Allah maka ia
seorang musyrik, sedangkan seorang yang tidak menyerahkan diri kepada Allah maka ia
seorang kafir yang sombong.

Berkaitan dengan Islam sebagai agama, maka tidak dapat terlepas dari adanya unsur-unsur
pembentuknya yaitu berupa rukun Islam, yaitu:

1) Membaca dua kalimat Syahadat 4) Puasa Ramadhan

2) Mendirikan sholat lima waktu 5) Naik Haji bagi yang mampu.

3)  Menunaikan zakat

13
2.5 IHSAN
1. Pengertian Ihsan

Ihsan berarti berbuat baik. Orang yang berbuat Ihsan disebut muhsin berarti orang
yang berbuat baik.setiap perbuatan yang baik yang nampak pada sikap jiwa dan prilaku yang
sesuai atau dilandaskan pada aqidah dan syariat Islam disebit Ihsan. Dengan demikian akhlak
dan Ihsan adalah dua pranata yang berada pada suatu sistem yang lebih besar yang disebut
akhlaqul karimah.

Adapun dalil mengenai Ihsan dari hadits adalah potongan hadits Jibril yang sangat terkenal
(dan panjang), seperti yang diriwayatkan oleh Umar bin Khattab, ketika nabi ditanya
mengenai Ihsan oleh malaikat Jibril dan nabi menjawab:

َ ‫إن لَ ْم تَ ُك ْن تَ َراهُ فَإنَّهُ يَ َرا‬


…‫ك‬ َ َّ‫…أَ ْن تَ ْعبُ َد هّللا َ َكأَن‬
ْ َ‫ك تَ َراهُ ف‬

“…Hendaklah engkau beribadah kepada Alloh seolah-olah engkau melihatNya. Tapi jika
engkau tidak melihatNya, maka sesungguhnya Alloh melihatmu…..”

Hadits tersebut menunjukan bahwa untuk melakukan Ihsan, sebagai rumusnya adalah
memposisikan diri saat beribadah kepada Alloh seakan-akan kita bisa melihatNya, atau jika
belum bisa memposisikan seperti itu maka posisikanlah bahwa kita selalu dilihat olehNya
sehingga akan muncul kesadaran dalam diri untuk tidak melakukan tindakan selain berbuat
Ihsan atau berbuat baik.

BAB III
14
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pokok ajaran Islam adalah cetak biru ajaran Allah SWT kepada utusan
Allah. Dimana di dalam pokok dasar ajaran terdapat tiga bagian utama
yang saling berkaitan, yaitu: Aqidah, Syariah, dan Akhlak. Aqidah
merupakan akar (dasar) dari setiap perbuatan manusia. Sedangkan
Syariah adalah perbuatan-perbuatan yang merupakan wujud dari aqidah.
Dari penetapan aqidah dan perwujudannya berupa Syariah muncullah
buah berupa kebermanfaatannya baik bagi diri sendiri maupun orang lain
yang disebut dengan akhlak. yang membekali setiap orang untuk bisa mempelajari
Islam yang lebih luas dan mendalam.

3.2 Penutup
Demikianlah makalah ini kami sampaikan dengan sebaik-baiknya. Kami menyadari
masih banyak kekurangan dalam makalah ini, hal ini dikarenakan kami masih dalam proses
pembelajaran. Maka dari itu, kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan guna
mendukung proses pembelajaran kami agar lebih baik. Semoga makalah ini dapat bermanfaat
bagi pembaca pada umumnya dan bagi penulis pada khususnya.

15
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrohim. 2014. Buku Siswa Akidah Akhlak. Jakarta: Kementerian Republik Indonesia
Republik Indonesia

Busyra, Zainuddin Ahmad. 2010.  Buku Pintar Aqidah Akhlaq dan Qur’an Hadis.
Yogyakarta: Azna Books.

Hajaroh, Mami. 2008. Akhlak, Etika, dan Moral, dalam Ajat Sudrajat, dkk.
Din al-Islam Pendidikan Agama Islam di perguruan Tinggi Umum.
Yogyakarta: UNY Press

16

Anda mungkin juga menyukai