Anda di halaman 1dari 4

Nama : Sirli Amanda Zalfa

NIM : 1730204102
Mata Kuliah : Islam dan Peradaban Melayu

PERANAN ADAT MELAYU DALAM MEMBANGUN IDENTITAS BUDAYA DAN DALAM


UPAYA PEMBINAAN KARAKTER BANGSA

1. KRISIS IDENTITAS DAN KARAKTER BUDAYA BANGSA


Pada saat ini bangsa kita sedang menghadapi gejala krisis identitas dan krisis
kepribadian atau karakter. Krisis identitas dan kepribadian itu tercermin di hampir seluruh
bidang dan lapisan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, sehingga
dapat dikatakan bahwa bangsa kita sedang menghadapi krisis kebudayaan. Gejala krisis tidak
hanya tercermin dalam kepribadian orang per orang warga bangsa dan negara, tetapi juga
tercermin dalam identitas budaya berkelompok, identitas budaya pelbagai kesatuan
masyarakat hukum adat, pelbagai komunitas etnis atau suku bangsa di daerah-daerah di
seluruh Indonesia, bahkan tercermin pula dalam peri kehidupan kolektif kita sebagai
masyarakat dan sebagai bangsa. Krisis kebudayaan ini berlangsung cukup lama, dan apalagi
sejak krisis ekonomi dan politik pada tahun 1997 dan 1998 yang membawa bangsa Indonesia
ke arah reformasi yang dikuti oleh gelombang kebebasan dan keterbukaan yang sangat luas
dan di segala bidang selama 13-15 tahun terakhir.
Sesudah masa reformasi, krisis di bidang politik dapat dikatakan telah usai, dan krisis
di bidang ekonomi telah pula teratasi dengan baik, sehingga perekonomian Indonesia kembali
tumbuh dan berkembang sebagaimana mestinya. Namun, krisis kebudayaan dan hukum
sampai sekarang tidak juga kunjung teratasi. Keduanya mempunyai keterkaitan satu sama
lain.

2. ADAT DAN BUDAYA MELAYU URAT NADI KEBUDAYAAN NASIONAL

Adat dan budaya Melayu pada pokoknya merupakan urat nadi, tiang utama atau
komponen material paling utama bagi pembentukan kebudayaan nasional Indonesia.
Kebudayaan Melayu lah pemeran utama yang mempersatukan Indonesia menjadi satu
kesatuan kebudayaan sebelum Indonesia sendiri diterima sebagai nama bagi komunitas
kehidupan di kepulauan nusantara yang kemudian terbentuk menjadi satu negara Republik
Indonesia. Sejak zaman Kerajaan Sriwijaya, bahasa Melayu telah diterima secara luas
sebagai ‘lingua franca’ masyarakat nusantara dari Sabang sampai ke Merauke, dari Minangas
sampai ke pulau Rote.
Situs-situs prasasti peninggalan Kerajaan Sriwijaya sebagai kerajaan terbesar pertama
yang mempersatukan wilayah nusantara, banyak ditemukan menggunakan bahasa Melayu.
Sebelum terbentuknya Kerajaan Majapahit yang beragama Hindu dan berpusat di pulau
Jawa, wilayah nusantara telah sejak lama dipersatukan oleh bahasa Melayu dan ajaran agama
Buddha yang berpusat di Palembang dan sekitarnya. Sementara itu, di desa-desa Minahasa,
Sulawesi Utara, sejauh berabad-abad sampai sekarang, para kepala desa disebut dengan
istilah “Hukum Tua”. Istilah ‘hukum’ itu sendiri berasal dari Bahasa Arab, yang hanya
mungkin diadopsikan ke dalam alam budaya Minahasa, kecuali karena peranan bahasa
Melayu. Tulisan bahasa Melayu yang biasa menggunakan aksara Arab Melayu atau di dunia

1
Arab biasa disebut juga huruf Jawi (Jawa), sudah dikenal luas sejak beradab-abad. Tetapi
oleh misi Kristen dari Portugis di Ambon yang pertama kali menerbitkan Kitab Injil dalam
bahasa Melayu, aksara yang dipakai adalah aksara Latin, sehingga ada yang menyebutnya
sebagai terbitan berbahasa Melayu pertama yang beraksara Latin.
Semua ini menunjukkan bahwa kebudayaan Melayu telah memainkan perannya yang
sangat dominan bagi terbentuknya kebudayan nusantara. Karena itu, jauh sebelum
pergerakan kemerdekaan menentang penjajahan Hindia Belanda, bahasa Melayu, kebudayaan
Melayu, serta adat istiadat Melayu sudah berkembang menjadi bagian utama dari ciri dan
identitas budaya bangsa nusantara yang kemudian diberi nama Indonesia. Karena itu, sesudah
bangsa kita menjadi Indonesia, meninggalkan wilayah jajahan Inggeris yang tetap
menggunakan kata Melayu sebagai nama identifikasinya, kita tidak perlu surut menjadi
bangsa Melayu lagi, tetapi terus tumbuh dan berkembang sebagai bangsa Indonesia dengan
bahasa nasional bahasa Indonesia, kebudayaan nasional kebudayaan Indonesia, dan dengan
nama identifikasi sebagai bangsa Indonesia. Dalam ke-Indonesiaan itu, identitas kemelayuan
kita lebur menjadi satu sebagai bahan utama, tiang pokok, dan komponen material yang
paling menentukan wajah budaya Indonesia itu sesungguhnya.
Karena itu, identitas budaya kita sebagai bangsa Indonesia, tidak terpisahkan dan
identik dengan kemelayuan kita, dan kemelayuan kita itu pun tidak lain adalah ke-
Indonesiaan kita. Kemelayuan kita sebagai orang Riau dan kemelayuan kita sebagai orang
Sumatera, orang Jawa, orang Kalimantan, orang Sulawesi, dan orang Nusa Tenggara, tidak
lain adalah ke-Indonesiaan. Di Indonesia, hanya beberapa suku bangsa saja yang menghadapi
masalah untuk mengidentifikasikan diri dengan kemelayuan ini, yaitu orang Papua dan
golongan peranakan Tinghoa, karena latar belakang ras mereka, dan orang dayak di
Kalimantan, serta beberapa suku lain yang beragama non-Islam karena faktor agama yang
diangap ciri mutlak kemelayuan. Di samping faktor agama dan ras ini, tentu factor politik
atau negara juga menjadi sebab kesatuan pengertian tentang budaya Melayu, sehingga
kemelayuan cenderung diidentifikasikan secara sempit hanya terkait dengan Kerajaan
Malaysia.
Namun, terlepas dari hal itu, bagi bangsa Indonesia tidak dapat dilepaskan dari
kemelayuan. Bahan kebudayaan utama bagi terbentuknya Indonesia dan kebudayaan
Indonesia tidak lain adalah adat istiadat dan budaya Melayu yang pusat penyebaran
pengaruhnya, dimulai dari daerah Riau dan sekitarnya. Hanya saja, oleh karena pusat
pemerintahan Indonesia sekarang berada di pulau Jawa dan penduduk terbesar Indonesia
berasal dari suku Jawa, maka pengaruh bahasa Jawa dan adat istiadat orang Jawa, makin
lama makin besar pula pengaruhnya dalam perkembangan kebudayaan nasional Indonesia.

3. IDENTITAS BUDAYA DAN KARAKTER BANGSA


Identitas budaya kita sebagai bangsa Indonesia identik dengan kemelayuan, dan
kemelayuan kita tidak lain ialah ke-Indonesiaan. Akan tetapi, terpaan pengaruh kebudayaan
asing di era globalisasi dewasa ini sangat kuat dan dominan, di hampir semua aspek
kehidupan bermasyarakat. Bahkan, semua aspek kehidupan kita sehari-hari telah dijangkiti
dengan sangat mendalam oleh pengaruh cita rasa asing, seperti selera makanan (kuliner),
selera pakaian, selera bentuk arsitektur rumah, selera music, dan bahkan selera berbahasa.
Perhatikanlah trend di dunia kuliner, hampir semua restoran elite di semua kota-kota di
seluruh Indonesia diramaikan oleh aneka restoran Jepang, restoran Korea, restoran Chinese,
restoran Italia, restoran Timur Tengah, dan restoran Mexico. Bahkan aneka makanan siap saji
Kentucky Fried Chicken, Texas, dan lain-lain sejak lama sudah menjadi makanan favorit di
kalangan anakanak muda, termasuk anak-anak dan orang tua.
Selera berpakaian dan selera musik juga demikian. Cara orang, terutama di kalangan
generasi muda berbicara dengan menggunakan istilah-istilah campuran dengan bahasa
Inggeris sangat menonjol dalam setiap pembicaraan dalam kehidupan sehari-hari. Untuk daya

2
tarik pemasaran (marketing) hampir semua kompleks perumahan baru dan apartemen-
apartemen mewah oleh para pengembangnya diberi nama-nama asing. Demikian pula toko-
toko swalayan, mall, pasar raya¸diberi nama dan istilah-istilah asing, seperti ‘junction’, ‘city-
hall’, ‘town square’, ‘Grand Indonesia’, ‘Senayan Plaza’, ‘Ancol Mension’, dan sebagainya.
Bahkan, kompleks kuburan modern pun diberi nama ‘Sun Diego Hill’. Pendek kata, tanpa
disadari, selera dan cita rasa hampir semua orang telah mengalami pembaratan atau
westernisasi. Bahkan music dangdut saja yang dikenal sebagai aliran music campuran antara
tradisi Melayu plus India, sekarang sudah dimasuki oleh pengaruh barat, sehingga warnanya
sudah jauh berbeda. Semua ini mencerminkan begitu besar dan dominannya pengaruh
budaya barat dewasa ini dalam perkembangan kebudayaan nasional Indonesia sehari-hari.
Di era globalisasi kebudayaan dewasa ini, semua pengaruh kebudayaan asing ini
merupakan kenyataan yang tidak terhindarkan. Oleh karena itu, tidak ada jalan lain kecuali
memperkuat posisi tawar tradisi budaya local bangsa kita sendiri agar dalam menghadapi
aneka pengaruh budaya asing itu dapat terbuka adanya akulturasi yang seimbang. Dalam
dinamika persilangan budaya dan hubungan saling pengaruh mempengaruhi antar
kebudayaan dapat berlangsung dengan rasional dan memberi pilihan-pilihan kreatif dan
dialogis bagi setiap insan kebudayaan untuk memperkembangkan jati diri dan kepribadian
budayanya masing-masing. Bangsa kita tidak boleh dibiarkan tercabut dari akar budayanya
sendiri karena harus melayani pengaruh budaya asing yang sangat dominan dan hegemonic.
Untuk itu, diperlukan upaya untuk melakukan revitalisasi aneka adat istiadat dan tradisi
budaya lokal dalam menghadapi arusan pengaruh budaya asing tersebut.
Kebudayaan nasional, identitas budaya dan kepribadian nasional haruslah merupakan
hasil atau ‘resultante’ dari dinamika persaingan, perbenturan, atau pun pertarungan budaya
antara tradisi local dengan pengaruh global. Untuk itu, posisi tawar tradisi local dan adat
istiadat masyarakat daerah-daerah di seluruh nusantara harus diperkuat sebagaimana
mestinya. Jika tidak tentulah segenap anak bangsa akan kehilangan jati diri masing-masing
sebagai orang Indonesia yang berkepribadian Indonesia. Kita tidak perlu menutup diri dari
pengaruh budaya asing, tetapi kita juga tidak boleh membiarkan tradisi budaya bangsa sendiri
yang kita warisi dari para leluhur tergilas oleh zaman, dan kita sebagai anak bangsa
tercerabut dari akar budaya kita sendiri.
Untuk itu kita perlu membangun jembatan kebudayaan antara tradisi lokal dengan
ide-ide yang baik yang datang dari luar. Tidak boleh dibiarkan ada jarak terlalu lebar antara
dunia ide-ide yang berasal dari pendengaran, penglihatan, dan bacaan kita tentang realitas
yang berasal dari dunia luar kesadaran sejarah bangsa kita dengan tradisi-tradisi yang
tercermin dalam perilaku kita sehari-hari yang berasal dari warisan-warisan sejarah dari masa
lalu kehidupan orang tua dan nenek moyang kita. Tidak boleh dibiarkan ada jarak antara
dunia ide kita dengan dunia perilaku kita sehari hari. Ide-ide modern yang berasal dari luar
sudah banyak yang kita institusionalisasi menjadi lembaga-lembaga resmi dalam kehidupan
kenegaraan, tetapi sepanjang ide-ide itu belum berkembang menjadi tradisi yang menyejarah,
sudah tentu akan terus ada jarak antara institusi yang kita bangun dengan tradisi budaya yang
menopang keberadaan dan efektifnya fungsi kelembagaan itu masing-masing.
Jembatan kebudayaan yang saya maksudkan itu tidak lain adalah agenda revitalisasi
adat istiadat, lembaga-lembaga adat dan penguatan kesatuan-kesatuan masyarakat hukum
adat yang oleh Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 secara tegas dijamin eksistensinya. Untuk itu,
pemerintah daerah di seluruh Indonesia harus membangun kesadaran baru tentang
pentingnya penguatan kesadaran budaya daerahnya masing-masing. Mungkin saja akan ada
kritik yang ditujukan kepada semangat untuk menghidupkan semangat yang bersifat
primordial kedaerahan dan semangat kesukuan ini. Akan tetapi, secara positif, muncul dan
berkembangnya kesadaran kedaerahan ini penting untuk mengimbangi arus derasnya
pengaruh budaya asing yang bersifat hemenonik tanpa tandingan dari tradisi budaya lokal.
Yang penting bukanlah semangat kedaerahan dan kesukuannya itu sendiri, tetapi yang

3
penting justru terletak pada hasil dari pergumulan saling pengaruh mempengaruhi antara
budaya local dan budaya asing itulah yang kelak secara kreatif akan membentuk kesadaran
baru dalam bentuk dan bingkai kebudayaan nasional Indonesia modern.

4. PESAN KONSTITUSIONAL IDENTITAS BUDAYA BANGSA


Pasal 28C ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa “Setiap orang berhak
mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapatkan
pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya,
demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia”. Pasal 28I ayat
(3) UUD 1945 menyatakan, “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati
selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”. Menurut Pasal 32 ayat (1) UUD 1945,
“Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan
menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan budayanya”.
Sementara itu Pasal 32 ayat (2)-nya menentukan bahwa “Negara menghormati dan
memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional”. Sedangkan Pasal 36 UUD
1945 menentukan bahwa “Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia”.
Dari kutipan-kutipan ketentuan di atas dapat dikatakan bahwa pertama, UUD 1945
memuat visi kebudayaan yang sangat luas dan tegas. Karena itu, visi kebudayaan itu haruslah
tercermin dalam berbagai kebijakan strategis pemerintahan dan pembangunan, baik di tingkat
daerah maupun di tingkat nasional. Mekanisme bernegara tidak boleh mengabaikan aspek-
aspek kebudayaan. Negara kita haruslah berkebudayaan atau bahwa politik haruslah
berwajah kebudayaan. Setiap orang berhak mendapatkan pendidikan dan memperoleh
manfaat dari kebudayaan demi meningkatkan kualitas hidup dan demi kesejahteraan umat
manusia. Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan
perkembangan zaman dan peradaban. Negara diharuskan memajukan kebudayaan nasional
Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam
memelihara dan mengembangkan budayanya masing-masing. Bahkan ditegaskan pula
meskipun Bahasa Negara adalah Bahasa Indonesia, tetapi negara diharuskan menghormati
dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional.
Kedua, cara pandang UUD 1945 tentang kebudayaan nasional, sesuai dengan prinsip
Bhinneka Tunggal Ika yang tercermin dalam lambang negara Garuda Pancasila, tidaklah
melihat kebudayaan nasional sebagai satu ‘uniform’ atau keseragaman. UUD 1945 sama
sekali tidak lah mengidealkan penyeragaman kebudayaan. Perhatikan lah bahwa identitas
budaya dan hak masyarakat tradisional ditentukan harus dihormati selaras dengan
perkembangan zaman dan peradaban. Negara juga diharuskan memajukan kebudayaan
nasional di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam
memelihara dan mengembangkan budayanya masing-masing. Bahkan ditegaskan bahwa
negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional.
Artinya, kebudayaan nasional itu tidak lah dikembangkan dengan menghilangkan eksistensi
kebudayaan daerah. Bahkan kebudayaan daerah itu justru harus diperkuat sebagai
pengimbang terhadap kuatnya pengaruh kebudayaan asing yang menerpa peri kehidupan
kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan di era globalisasi dewasa ini.

Anda mungkin juga menyukai