Anda di halaman 1dari 19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian

1. Masa Nifas

a. Pengertian
Masa nifas adalah fase khusus dalam kehidupan ibu serta bayi meliputi
masa transisi kritis bagi ibu, bayi, dan keluarganya secara fisiologis, emosional dan
sosial (Prawirohardjo, 2014). Masa nifas dimuai sejak sesaat setelah keluarnya
plasenta dan selaput janin serta berlanjut hingga 6 minggu (Fraser, 2009).
b. Periode Masa Nifas
Menurut Sofian (2011), terdapat tiga periode masa nifas, yaitu: Puerperium
dini, Puerperium intermediate, dan Puerperium lanjut.
c. Perubahan Anatomi dan Fisiologi Masa Nifas

1) Involusi Uterus

Tinggi fundus uteri dan berat uterus menurut masa involusi

Involusi Tinggi Fundus Uteri Berat Uterus


Sumber:
Bayi lahir Setinggi pusat 1000 gr
Sofian (2011)
Uri lahir 2 jari dibawah pusat 750 gr
1 minggu Pertengahan pusat 500 gr
2) Lochea
2 minggu simfisis 350 gr
6 minggu Tidak teraba di atas 50 gr
8 minggu simfisis 30 gr
Bertambah kecil
Sebesar normal

Menurut Sofian (2011), Lochea dibagi menjadi beberapa macam yaitu:


Lochea rubra (Cruenta) yang berisi darah segar, selama 2 hari pasca persalinan.
Lochea Sanguinolenta yang berwarna merah kuning, berisi darah, lendir, keluar
pada hari ke 3-7. Lochea Serosa yang berwarna kuning, tidak mengandung
darah, dan keluar pada hari ke 7-14. Lochea Alba yang berwarna putih dan
keluar setelah 2 minggu pasca persalinan.
3) Payudara
Setelah plasenta lahir maka terdapat dua komponen dominan yang dapat
mengeluarkan ASI yaitu isapan langsung bayi pada putting susu dan hormone
hipofisis poseterior. (Manuaba, 2007).
4) Saluran Perkemihan
Kandung kemih mengalami peningkatan kapasitas dan relative tidak
sensitive terhadap tekanan intravesika (Cunningham, 2010).
5) Sistem Hematologi
Hari pertama postpartum, konsentrasi hemoglobin dan hematokrit
berfluktuasi sedang. Seminggu setelah persalinan, volume darah akan kembali
ke tingkat sebelum hamil (Cunningham, 2010).

d. Perawatan Masa Nifas

1) Ambulasi awal

Keuntungan ambulasi awal yang terbukti mencakup komplikasi kandung


kemih yang jarang terjadi dan yang lebih jarang lagi, konstipasi. Ambulasi awal
telah menurunkan frekuensi thrombosis vena puerperal dan embolisme paru
(Cunningham, 2012). 2) Gizi

Menurut Saifuddin (2009), ibu menyusui harus mengonsumsi tambahan


500 kalori tiap hari, makan dengan diet berimbang untuk mendapatkan protein,
mineral, dan vitamin yang cukup.

2) Kebersihan Diri

Menurut Saifuddin (2009), beberapa langkah dalam perawatan kebersihan


diri ibu nifas meliputi :

a) Menganjurkan kebersihan seluruh tubuh ibu.

b) Mengajarkan ibu cara membersihkan daerah kelamin dengan sabun dan


air dari sekitar vulva terlebih dahulu, dari depan ke belakang.
Menganjurkan ibu untuk membersihkan diri setiap selesai buang air
kecil atau besar serta mencuci tangan setiap kali selesai
membersihkannya.

c) Menyarankan ibu mengganti pembalut setidaknya dua kali sehari serta


menghindari menyentuh daerah luka episiotomi.

3) Istirahat
Ibu nifas dianjurkan agar istirahat cukup untuk mencegah kelelahan yang
berlebihan serta disarankan untuk kembali ke kegiatan sehari-hari secara
perlahan (Saifuddin, 2009).

e. Kunjungan Masa Nifas

Menurut Saifuddin (2009), kunjungan masa nifas setidaknya dilakukan 4 kali


untuk mencegah, mendeteksi dan menangani masalah-masalah yang terjadi.

1) 6-8 jam setelah persalinan


a) Mencegah perdarahan masa nifas karena atonia uteri.
b) Mendeteksi penyebab lain dan rujuk bila perdarahan berlanjut.
c) Memberikan konseling pada ibu atau keluarga cara mencegah perdarahan
masa nifas karena atonia uteri.
d) Pemberian ASI awal.
e) Melakukan hubungan antara ibu dan bayi baru lahir.
f) Menjaga bayi tetap sehat dengan cara mencegah hipotermia.
2) 6 hari setelah persalinan
Menurut Manuaba (2007) yang dilakukan bidan saat kunjungan 6 hari
setelah persalinan :
a) Memastikan nasehat telah diikuti
b) Memastikan bahwa tali pusat telah lepas dan memberikan nasihat
bagaimana merawatnya.
c) Memastikan involusi berjalan lancar.
3) 2 minggu setelah persalinan
Sama seperti di atas (6 hari setelah persalinan)
4) 6 minggu setelah persalinan
Menanyakan pada ibu tentang penyulit-penyulit yang ibu atau bayinya
alami (Prawirohardjo, 2014). Melakukan pemeriksaan kadar Hb untuk
mengetahui apakah anemia defisiensi besi masih tetap terjadi atau tidak (Fraser,
2009).
f. Lama rawat inap
Ibu yang melahirkan spontan meninggalkan Rumah Sakit sehari setelah
melahirkan, namun ibu yang menggunakan instrumen atau mengalami komplikasi
saat melahirkan cenderung menjalani rawat inap selama 2 hari atau lebih (Baston,
2011). Jika ada penyulit, pasien Nifas rawat inap untuk Primipara 3 hari atau lebih
untuk Multipara 2 hari atau lebih (Cunningham, 2010).
2. Komplikasi yang terjadi pada masa nifas
a. Perdarahan Postpartum
1) Perdarahan Postpartum
Perdarahan postpartum (PPP) didefinisikan sebagai kehilangan 500 ml
atau lebih darah setelah persalinan pervaginam atau 1000 ml atau lebih
setelah seksio sesaria (Leveno, 2009; WHO, 2012)
2) Etiologi Perdarahan Postpartum
Perdarahan postpartum bisa disebabkan karena :
a) Atonia Uteri
Atonia uteri adalah ketidakmampuan uterus khususnya miometrium
untuk berkontraksi setelah plasenta lahir. Perdarahan postpartum
secara fisiologis dikontrol oleh kontraksi serat-serat miometrium
terutama yang berada di sekitar pembuluh darah yang mensuplai darah
pada tempat perlengketan plasenta (Wiknjosastro, 2006).
Kegagalan kontraksi dan retraksi dari serat miometrium dapat
menyebabkan perdarahan yang cepat dan parah serta syok
hipovolemik. Kontraksi miometrium yang lemah dapat diakibatkan
oleh kelelahan karena persalinan lama atau persalinan yang terlalu
cepat, terutama jika dirangsang. Selain itu, obat-obatan seperti obat
anti-inflamasi nonsteroid, magnesium sulfat, beta-simpatomimetik,
dan nifedipin juga dapat menghambat kontraksi miometrium.
Penyebab lain adalah situs implantasi plasenta di segmen bawah
rahim, korioamnionitis, endomiometritis, septikemia, hipoksia pada
solusio plasenta, dan hipotermia karena resusitasi masif (Rueda et al.,
2013).
Atonia uteri merupakan penyebab paling banyak PPP, hingga sekitar
70% kasus. Atonia dapat terjadi setelah persalinan vaginal, persalinan
operatif ataupun persalinan abdominal. Penelitian sejauh ini
membuktikan bahwa atonia uteri lebih tinggi pada persalinan
abdominal dibandingkan dengan persalinan vaginal (Edhi, 2013).

b) Laserasi jalan lahir


Pada umumnya robekan jalan lahir terjadi pada persalinan dengan
trauma. Pertolongan persalinan yang semakin manipulatif dan
traumatik akan memudahkan robekan jalan lahir dan karena itu
dihindarkan memimpin persalinan pada saat pembukaan serviks belum
lengkap. Robekan jalan lahir biasanya akibat episiotomi, robekan
spontan perineum, trauma forsep atau vakum ekstraksi, atau karena
versi ekstraksi (Prawirohardjo, 2010).
Laserasi diklasifikasikan berdasarkan luasnya robekan yaitu (Rohani,
Saswita dan Marisah, 2011):
a. Derajat satu
Robekan mengenai mukosa vagina dan kulit perineum.
b. Derajat dua
Robekan mengenai mukosa vagina, kulit, dan otot perineum.
c. Derajat tiga
Robekan mengenai mukosa vagina, kulit perineum, otot
perineum, dan otot sfingter ani eksternal.
d. Derajat empat
Robekan mengenai mukosa vagina, kulit perineum, otot
perineum, otot sfingter ani eksternal, dan mukosa rektum.

c) Retensio plasenta
Retensio plasenta adalah plasenta belum lahir hingga atau melebihi
waktu 30 menit setelah bayi lahir. Hal ini disebabkan karena plasenta
belum lepas dari dinding uterus atau plasenta sudah lepas tetapi belum
dilahirkan. Retensio plasenta merupakan etiologi tersering kedua dari
perdarahan postpartum (20% - 30% kasus). Kejadian ini harus
didiagnosis secara dini karena retensio plasenta sering dikaitkan
dengan atonia uteri untuk diagnosis utama sehingga dapat membuat
kesalahan diagnosis.
Pada retensio plasenta, resiko untuk mengalami PPP 6 kali lipat pada
persalinan normal (Ramadhani, 2011).
Terdapat jenis retensio plasenta antara lain (Saifuddin, 2002) :
a. Plasenta adhesiva adalah implantasi yang kuat dari jonjot korion
plasenta sehingga menyebabkan mekanisme separasi fisiologis.
b. Plasenta akreta adalah implantasi jonjot korion plasenta hingga
memasuki sebagian lapisan miometrium.
c. Plasenta inkreta adalah implantasi jonjot korion plasenta yang
menembus lapisan serosa dinding uterus.
d. Plasenta perkreta adalah implantasi jonjot korion plasenta yang
menembus serosa dinding uterus.
e. Plasenta inkarserata adalah tertahannya plasenta di dalam kavum
uteri, disebabkan oleh konstriksi ostium uteri.

d) Koagulopati
Perdarahan postpartum juga dapat terjadi karena kelainan pada
pembekuan darah. Penyebab tersering PPP adalah atonia uteri,
yang disusul dengan tertinggalnya sebagian plasenta. Namun,
gangguan pembekuan darah dapat pula menyebabkan PPP. Hal ini
disebabkan karena defisiensi faktor pembekuan dan penghancuran
fibrin yang berlebihan. Gejala-gejala kelainan pembekuan darah
bisa berupa penyakit keturunan ataupun didapat. Kelainan
pembekuan darah dapat berupa hipofibrinogenemia,
trombositopenia, Idiopathic Thrombocytopenic Purpura (ITP),
HELLP syndrome (hemolysis, elevated liver enzymes, and low
platelet count), Disseminated Intravaskuler Coagulation (DIC),
dan Dilutional coagulopathy (Wiknjosastro, 2006; Prawirohardjo,
2010).

Kejadian gangguan koagulasi ini berkaitan dengan beberapa


kondisi kehamilan lain seperti solusio plasenta, preeklampsia,
septikemia dan sepsis intrauteri, kematian janin lama, emboli air
ketuban, transfusi darah inkompatibel, aborsi dengan NaCl
hipertonik dan gangguan koagulasi yang sudah diderita
sebelumnya. Penyebab yang potensial menimbulkan gangguan
koagulasi sudah dapat diantisipasi sebelumnya sehingga persiapan
untuk mencegah terjadinya PPP dapat dilakukan sebelumnya
(Anderson, 2008).
e) Anemia
Anemia adalah penurunan kapasitas darah dalam membawa oksigen
akibat penurunan produksi sel darah merah dan atau penurunan kadar
hemoglobin. Anemia sering didefinisikan sebagai penurunan kadar
hemoglobin dalam darah sampai dibawah rentang normal (Fraser,
2009). Anemia dalam nifas adalah kondisi kadar Hb ibu berada di
bawah batas normal terjadi pada masa nifas (Prawirohardjo, 2014).
Kadar Hb ibu nifas normal adalah 11 gr% (Manuaba, 2010). Ibu nifas
yang mengalami anemia memiliki kadar Hb kurang dari 11 gr%
(Bothamley, 2011).
Penyebab anemia defisiensi besi : kurang asupan Fe, gangguan
gastrointestinal mual, muntah, diare, infeksi oleh cacing dan malaria
(Manuaba, 2007). Pada ibu nifas, anemia terjadi karena kebutuhan Fe
yang tidak tercukupi saat hamil, kehilangan Fe banyak pada
grandemultipara dan perdarahan antepartum (Fraser, 2009).
Derajat Anemia
Menurut Manuaba (2010), hasil pemeriksaan Hb dapat digolongkan
sebagai berikut :
Hb 11 gr% : tidak anemia
Hb 9-10 gr% : anemia ringan
Hb 7-8 gr% : anemia sedang
Hb <7 gr% : anemia berat
Penatalaksanaan Anemia pada Masa Nifas
a) Seorang bidan hendaknya memberikan penkes tentang pemenuhan
kebutuhan asupan zat besi dan kebutuhan istirahat (Robson, 2011)
b) Kolaborasi dengan dokter SpOG untuk :
 Pemberian terapi preparat Fe: Fero sulfat, Fero gluconat atau Na-
fero bisitrat secara oral untuk mengembalikan simpanan zat besi
ibu ( Manuaba, 2007). Pemberian preparat Fe 60mg/hari dapat
menaikan kadar Hb sebanyak 1 gr% perbulan (Saifuddin, 2009).
 Jika ada indikasi perdarahan pasca persalinan dengan syok ,
kehilangan darah saat operasi dan kadar Hb ibu nifas kurang dari
9,0 gr%, maka transfusi darah dengan pack cell dapat diberikan
(Prawirohardjo, 2014 dan Fraser, 2009).
3) Klasifikasi Perdarahan Postpartum
Klasifikasi klinis perdarahan postpartum yaitu (Manuaba, 2008) :
1. Perdarahan Postpartum Primer yaitu perdarahan postpartum yang terjadi
dalam 24 jam pertama kelahiran. Penyebab utama perdarahan postpartum
primer adalah atonia uteri, retensio plasenta, sisa plasenta, robekan jalan
lahir dan inversio uteri.
2. Perdarahan Postpartum Sekunder yaitu perdarahan postpartum yang
terjadi setelah 24 jam pertama kelahiran. Perdarahan postpartum
sekunder disebabkan oleh infeksi, penyusutan rahim yang tidak baik,
atau sisa plasenta yang tertinggal.

4) Faktor Risiko
Faktor risiko PPP dapat ada saat sebelum kehamilan, saat kehamilan, dan
saat persalinan. Faktor risiko sebelum kehamilan meliputi usia, indeks massa
tubuh, dan riwayat perdarahan postpartum. Faktor risiko selama kehamilan
meliputi usia, indeks massa tubuh, riwayat perdarahan postpartum,
kehamilan ganda, plasenta previa, preeklampsia, dan penggunaan antibiotik.
Sedangkan untuk faktor risiko saat persalinan meliputi plasenta previa
anterior, plasenta previa mayor, peningkatan suhu tubuh >37⁰,
korioamnionitis, dan retensio plasenta (Briley et al., 2014).
Meningkatnya usia ibu merupakan faktor independen terjadinya PPP.
Pada usia lebih tua jumlah perdarahan lebih besar pada persalinan sesar
dibanding persalinan vaginal. Secara konsisten penelitian menunjukkan
bahwa ibu yang hamil kembar memiliki 3-4 kali kemungkinan untuk
mengalami PPP (Anderson, 2008).
Perdarahan postpartum juga berhubungan dengan obesitas. Risiko
perdarahan akan meningkat dengan meningkatnya indeks massa tubuh. Pada
wanita dengan indeks massa tubuh lebih dari 40 memiliki resiko sebesar
5,2% dengan persalinan normal (Blomberg, 2011).
5) Gejala Klinik Perdarahan Postpartum
Efek perdarahan banyak bergantung pada volume darah sebelum hamil,
derajat hipervolemia-terinduksi kehamilan, dan derajat anemia saat
persalinan. Gambaran PPP yang dapat mengecohkan adalah kegagalan nadi
dan tekanan darah untuk mengalami perubahan besar sampai terjadi
kehilangan darah sangat banyak. Kehilangan banyak darah tersebut
menimbulkan tanda-tanda syok yaitu penderita pucat, tekanan darah rendah,
denyut nadi cepat dan kecil, ekstrimitas dingin, dan lain-lain (Wiknjosastro,
2006; Cunningham, 2005).

Gambaran klinis pada hipovolemia dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 1. Gambaran klinis perdarahan obstetri

Volume darah Tekanan Tanda Derajat syok


yang hilang darah
dan gejala
(sistolik)
500-1000 mL Normal Tidak ditemukan -
(<15-20%)
1000-1500 mL 80-100 mmHg Takikardi Ringan
(20-25%)
(<100
kali/menit)
Berkeringat
Lemah
1500-2000 mL 70-80 mmHg Takikardi (100- Sedang
(25-35%) 120
kali/menit)
Oliguria
Gelisah
2000-3000 mL 50-70 mmHg Takikardi (>120 Berat
(35-50%) kali/menit
) Anuria
Sumber : B-Lynch (2006)
6) Diagnosis Perdarahan Postpartum
Diagnosis perdarahan postpartum dapat digolongkan berdasarkan tabel berikut
ini :
Tabel 2. Diagnosis Perdarahan Postpartum

No. Gejala dan tanda Gejala dan tanda Diagnosis


yang selalu ada yang kadang- kemungkinan
kadang ada
1. - Uterus tidak - Syok - Atonia Uteri
berkontraksi dan
lembek
-Perdarahan segera
setelah anak lahir
(Perdarahan
Pascapersalinan
Primer atau P3)
2. - Perdarahan segera - Pucat -Robekan
(P3) - Lemah
jalan lahir
- Darah segar yang - Menggigil
mengalir segera
setelah bayi lahir
(P3)
- Uterus kontraksi baik
- Plasenta lengkap
3. - Plasenta belum lahir -Tali pusat putus -Retensio
setelah 30 menit akibat Plasenta
- Perdarahan segera (P3)
traksi berlebihan
- Uterus kontraksi baik
-Inversio uteri
akibat tarikan
-Perdarahan
lanjutan
4. - Plasenta atau - Uterus -Tertinggalnya
sebagian berkontraksi sebagian
selaput tidak lengkap tetapi tinggi plasenta
- Perdarahan segera (P3) fundus tidak
berkurang

5. - Uterus tidak teraba - Syok neurogenik - Inversio uteri


- Lumen vagina terisi - Pucat dan limbung
massa
-Tampak tali pusat
(jika plasenta
belum lahir)
- Perdarahan segera (P3)
- Nyeri sedikit atau berat
6. - Sub-involusi uterus - Anemia -
- Nyeri tekan perut bawah - Demam Perdara
- Perdarahan lebih dari han
24 jam setelah terlamb
persalinan. Perdarahan at
sekunder atau P2S. -Endometritis
- Perdarahan bervariasi atau
(ringan atau berat,
sisa
terus menerus atau
plasenta
tidak teratur) dan
(terinfeksi
berbau (jika disertai
atau tidak)
infeksi)
7. -Perdarahan segera (P3) - Syok -Robekan
(Perdarahan - Nyeri tekan perut dinding
intraabdominal dan -Denyut nadi ibu uterus
atau vaginum) cepat (ruptura
- Nyeri perut berat uteri)
Sumber : Saifuddin (2002)
7) Penatalaksanaan

Penanganan pasien dengan PPP memiliki dua komponen utama yaitu


resusitasi dan pengelolaan perdarahan obstetri yang mungkin disertai syok
hipovolemik dan identifikasi serta pengelolaan penyebab dari perdarahan.
Keberhasilan pengelolaan perdarahan postpartum mengharuskan kedua
komponen secara simultan dan sistematis ditangani (Edhi, 2013).
Penggunaan uterotonika (oksitosin saja sebagai pilihan pertama)
memainkan peran sentral dalam penatalaksanaan perdarahan postpartum.
Pijat rahim disarankan segera setelah diagnosis dan resusitasi cairan
kristaloid isotonik juga dianjurkan. Penggunaan asam traneksamat
disarankan pada kasus perdarahan yang sulit diatasi atau perdarahan tetap
terkait trauma. Jika terdapat perdarahan yang terus- menerus dan sumber
perdarahan diketahui, embolisasi arteri uterus harus dipertimbangkan. Jika
kala tiga berlangsung lebih dari 30 menit, peregangan tali pusat terkendali
dan pemberian oksitosin (10 IU) IV/IM dapat digunakan untuk menangani
retensio plasenta. Jika perdarahan berlanjut, meskipun penanganan dengan
uterotonika dan intervensi konservatif lainnya telah dilakukan, intervensi
bedah harus dilakukan tanpa penundaan lebih lanjut (WHO, 2012)

Mengenai penanganan perdarahan post partum berdasarkan penyebab adalah


sebagai berikut (Wuryanti, 2010) :
Periksa darah lengkap,
golongan darah dan

Perhatikan vagina dan serviks apakah ada trauma dan


cross test,periksa

perdarahan evaluasi adanya atonia uteri.


Perhatikan kelengkapan plasenta, eksplorasi uterus

Perdarahan teratasi
Pasien Dengan Perdarahan Banyak Setelah Melahirkan

bila diperlukan.

observasi
koagulasi.
faktor

Atonia uteri Laserasi Terdapat kelainan


koagulasi
Evakuasi manual
Kompresi
Evakuasi

Embolisasi, angiografi
bimanual Oksitosin Pada
kuretase Ruptur
Eksplorasi manual
oksitosin serviks,

Infus vasogensia
Prostaglandin uteri
vagina,
F2α vulva
Perdarahan tetap
Histerektomi
Periksa darah lengkap,

berlangsung Perbaikan
- riwayat perdarahan
- trauma jalan lahir
- retensio plasenta laserasi
test,periksa faktor

Perdarahan banyak
darah dan cross

Predisposisi : Plasma beku


- atonia uteri
Kompresi uterus Evaluasi
koagulasi. segar, transfusi
golongan

perdarahan Kompresi aorta


trombosit
Perdarahan sedikit
Tetap perdarahan
Ligasi arteri iliaka interna
bilateral

Gambar 1. Skema penatalaksanaan perdarahan postpartum


8) Pencegahan
Klasifikasi kehamilan risiko rendah dan risiko tinggi akan
memudahkan penyelenggaraan pelayanan kesehatan untuk menata
strategi pelayanan ibu hamil saat perawatan antenatal dan melahirkan.
Akan tetapi, pada saat proses persalinan, semua kehamilan
mempunyai risiko untuk terjadinya patologi persalinan, salah satunya
adalah PPP (Prawirohardjo, 2010).
Pencegahan PPP dapat dilakukan dengan manajemen aktif kala III.
Manajemen aktif kala III adalah kombinasi dari pemberian
uterotonika segera setelah bayi lahir, peregangan tali pusat terkendali,
dan melahirkan plasenta. Setiap komponen dalam manajemen aktif
kala III mempunyai peran dalam pencegahan perdarahan postpartum
(Edhi, 2013).

Semua wanita melahirkan harus diberikan uterotonika selama kala


III persalinan untuk mencegah perdarahan postpartum. Oksitosin
( IM/IV 10 IU ) direkomendasikan sebagai uterotonika pilihan.
Uterotonika injeksi lainnya dan misoprostol direkomendasikan
sebagai alternatif untuk pencegahan perdarahan postpartum ketika
oksitosin tidak tersedia. Peregangan tali pusat terkendali harus
dilakukan oleh tenaga kesehatan yang terlatih dalam menangani
persalinan. Penarikan tali pusat lebih awal yaitu kurang dari satu
menit setelah bayi lahir tidak disarankan (WHO, 2012).

B. Teori Manajemen Kebidanan


Tujuh langkah Varney disarikan menjadi 4 langkah, yaitu SOAP (Subjective,
Objective, Asessment, Planning). SOAP disarikan dari proses pemikiran
penatalaksanaan kebidanan sebagai perkembangan cacatan kemajuan keadaan
klien (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2007).
a. S (Subjective)
Menggambarkan pendokumentasian dari langkah pertama Varney.
Setelah melahirkan biasanya ibu mengeluhkan bahwa perutnya terasa mulas
(Saifuddin, 2009). Pada kasus ibu nifas dengan anemia ini data subjektif
diperoleh dari keluhan ibu seperti lemah, cepat lelah dan nafsu makan
kurang (Manuaba, 2007 dan Saifuddin, 2009).
b. O (Objective)
Menggambarkan pendokumentasian hasil pemeriksaan fisik yang
merupakan langkah pertama Varney. Suhu tubuh ibu akankembali normal
antara 36,5 – 37,5 derajat celcius, denyut nadi 80-100x/menit, pada tekanan
darah sistolik antara 90 – 120 mmHg dan diastolic 60 – 80 mmHg,
pernafasan 16 – 24 x/menit (Marmi, 2012). Pada kasus ibu nifas dengan
anemia, data objektif didapat dari hasil pemeriksaan fisik pada conjungtiva
ibu yang terlihat pucat (Rosseau, 2014 dan Saifuddin, 2009).
Pada pemeriksaan khusus untuk mengetahui perkembangan involusi
uterus melalui keadaan TFU, kontraksi uterus, konsistensi uterus dan posisi
uterus serta mengetahui warna, jumlah, bau, dan konsistensi lochea ada
kelainan atau tidak. Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk melihat nilai
kadar Hb apakah mengalami peningkatan setelah asuhan dilakukan (Marmi,
2012, Sofian, 2011 dan Bothamley, 2011).
c. A (Assessment)
Menggambarkan pendokumentasian hasil analisis dan interpretasi data
subjektif dan objektif yang merupakan langkah kedua Varney yaitu Ny. D
umur 22 tahun P2A0 nifas dengan anemia sedang hari ke X
d. P (Plan)
Menggambarkan pendokumentasian dari seluruh perencanaan,
tindakan dan evaluasi sebagai langkah 3,4,5, 6, dan 7 Varney. Perencanaan
yang dilakukan dalam pemantauan perkembangan ibu nifas seperti
mengevaluasi keadaan umum dan TTV, mengobservasi kontraksi uterus,
TFU, pengeluaran pervaginam dan memberikan beberapa konseling,
informasi dan edukasi tentang perawatan payudara supaya ASI nya lancar
(Baston, 2011 dan Meyering, 2014). Pada kasus ibu nifas dengan anemia
beberapa hal yang perlu direncanakan, dilaksanakan dan dievaluasi antara
lain seperti berkolaborasi dengan pihak laboratorium untuk mengetahui
peningkatan nilai kadar Hb dan dengan dokter SpOG untuk pemberian terapi
preparat Fe dan transfusi apabila kadar Hb nya masih di bawah 9 gr%
(Fraser, 2012). Maka, evaluasi nya kadar Hb ibu akan meningkat dan
mencapai kadar Hb normal yaitu 11 gr% (Robson, 2011).

Anda mungkin juga menyukai