Pendekatan Komprehensif Pengkajian Keselamatan Pasien

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 7

PENDEKATAN KOMPREHENSIF PENGKAJIAN KESELAMATAN PASIEN

Pengkajian pada keselamatan pasien secara garis besar dibagi kepada struktur, lingkungan, peralatan dan teknologi,
proses, orang dan budaya. 
1. Struktur
• Kebijakan dan prosedur organisasi : periksa apakah telah terdapat kebijakan dan prosedur tetap yang telah dibuat
dengan mempertimbangkan keselamatan pasien.
• Fasilitas : Apakah fasilitas dibangun untuk meningkatkan keamanan ?
• Persediaan : Apakah hal – hal yang dibutuhkan sudah tersedia seperti persediaan di ruang emergency, ruang ICU. 
2. Lingkungan
• Pencahayaan dan permukaan : berkontribusi terhadap pasien jatuh atau cedera
• Temperature : pengkondisian temperature dibutuhkan dibeberapa ruangan seperti ruang operasi, hal ini diperlukan
misalnya pada saat operasi bedah tulang suhu ruangan akan berpengaruh terhadap cepatnya pengerasan dari
semen
• Kebisingan : lingkungan yang bising dapat menjadi distraksi saat tenaga kesehatan sedang memberikan
pengobatan dan tidak terdengarnya sinyal alarm dari perubahan kondisi pasien.
• Ergonomik dan fungsional : ergonomik berpengaruh terhadap penampilan seperti teknik memindahkan pasien, jika
terjadi kesalahan dapat menimbulkan pasien jatuh atau cedera. Selain itu penempatan material di ruangan apakah
sudah disesuaikan dengan fungsinya seperti pengaturan tempat tidur, jenis, penempatan alat sudah mencerminkan
keselamatan pasien.
3. Peralatan dan teknologi
• Fungsional : tenaga kesehatan harus mengidentifikasi penggunaan alat dan desain dari alat. Perkembangan
kecanggihan alat sangat cepat sehingga diperlukan pelatihan untuk mengoperasikan alat secara tepat dan benar. 
• Keamanan : Alat–alat yang digunakan juga harus didesain penggunaannya dapat meningkatkan keselamatan
pasien. 
4. Proses 
• Desain kerja : Desain proses yang tidak dilandasi riset yang adekuat dan kurangnya penjelasan dapat berdampak
terhadap tidak konsisten perlakuan pada setiap orang hal ini akan berdampak terhadap kesalahan. Untuk mencegah
hal tersebut harus dilakukan research based practice yang diimplementasikan. 
• Karakteristik risiko tinggi : melakukan tindakan yang terus–menerus saat praktek akan menimbulkan kelemahan,
dan penurunan daya ingat hal ini dapat menjadi risiko tinggi terjadinya kesalahan atau lupa oleh karena itu perlu
dibuat suatu sistem pengingat untuk mengurangi kesalahan.
• Waktu : waktu sangat berdampak pada keselamatan pasien hal ini lebih mudah tergambar saat ada pasien yang
memerlukan resusitasi, yang dilanjutkan oleh beberapa tindakan seperti pemberian obat dan cairan, intubasi dan
defibrilasi dan pada pasien – pasien emergensi, oleh karena itu pada saat–saat tertentu waktu dapat menentukan
apakah pasien selamat atau tidak.
• Perubahan jadual dinas tenaga kesehatan juga berdampak terhadap keselamatan pasien karena tenaga kesehatan
sering tidak siap untuk melakukan aktivitas secara baik dan menyeluruh.
• Waktu juga sangat berpengaruh pada saat pasien harus dilakukan tindakan diagnostik atau ketepatan pengaturan
pemberian obat seperti pada pemberian antibiotic atau trombolitik, keterlambatan akan mempengaruhi terhadap
diagnosis dan pengobatan.
• Efisiensi : keterlambatan diagnosis atau pengobatan akan memperpanjang waktu perawatan tentunya akan
meningkatkan pembiayaan yang harus di tanggung oleh pasien.
5. Orang 
• Sikap dan motivasi ; sikap dan motivasi sangat berdampak kepada kinerja seseorang. Sikap dan motivasi yang
negatif akan menimbulkan kesalahan-kesalahan. 
• Kesehatan fisik : kelelahan, sakit dan kurang tidur akan berdampak kepada kinerja dengan menurunnya
kewaspadaan dan waktu bereaksi seseorang.
• Kesehatan mental dan emosional : hal ini berpengaruh terhadap perhatian akan kebutuhan dan masalah pasien.
Tanpa perhatian yang penuh akan terjadi kesalahan–kesalahan dalam bertindak.
• Faktor interaksi manusia dengan teknologi dan lingkungan : tenaga kesehatan memerlukan pendidikan atau
pelatihan saat dihadapkan kepada penggunaan alat–alat kesehatan dengan teknologi baru dan perawatan penyakit–
penyakit yang sebelumnya belum tren seperti perawatan flu babi (swine flu). 
• Faktor kognitif, komunikasi dan interpretasi ; kognitif sangat berpengaruh terhadap pemahaman kenapa terjadinya
kesalahan (error). Kognitif seseorang sangat berpengaruh terhadap bagaimana cara membuat keputusan,
pemecahan masalah, dan mengkomunikasikan hal–hal yang baru. 
6. Budaya 
• Faktor budaya sangat bepengaruh besar terhadap pemahaman kesalahan dan keselamatan pasien. 
• Pilosofi tentang keamanan ; keselamatan pasien tergantung kepada pilosofi dan nilai yang dibuat oleh para
pimpinanan pelayanan kesehatan.
• Jalur komunikasi : jalur komunikasi perlu dibuat sehingga ketika terjadi kesalahan dapat segera terlaporkan kepada
pimpinan (siapa yang berhak melapor dan siapa yang menerima laporan).
• Budaya melaporkan, terkadang untuk melaporkan suatu kesalahan mendapat hambatan karena terbentuknya
budaya blaming. Budaya menyalahkan (Blaming) merupakan phenomena yang universal. Budaya tersebut harus
dikikis dengan membuat protap jalur komunikasi yang jelas. 
• Staff : kelebihan beban kerja, jam dan kebijakan personal. Faktor lainnya yang penting adalah sistem
kepemimpinan dan budaya dalam merencanakan staf, membuat kebijakan dan mengantur personal termasuk jam
kerja, beban kerja, manajemen kelelahan, stress dan sakit.

PATIENT SAFETY DI INDONESIA


Indonesia memulai gerakan keselamatan pasien pada tahun 2005 yaitu dengan didirikannya Komite Keselamatan
Pasien Rumah Sakit (KKPRS) oleh Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI), dan telah menerbitkan
Panduan Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien. Panduan ini dibuat sebagai dasar implementasi keselamatan
pasien di rumah sakit. Dalam perkembangannya, Komite Akreditasi Rumah Sakit (KARS) Departemen Kesehatan
telah pula menyusun Standar Keselamatan Pasien Rumah Sakit dalam instrumen Standar Akreditasi Rumah Sakit.
Tujuan dilakukannya kegiatan Patient Safety di rumah sakit adalah untuk menciptakan budaya keselamatan pasien di
rumah sakit, meningkatkan akuntabilitas rumah sakit, menurunkan KTD di rumah sakit, terlaksananya program-
program pencegahan sehingga tidak terjadi pengulangan kejadian tidak diharapkan.
Tujuan Sistem Keselamatan Pasien Rumah Sakit adalah :
1. Terciptanya budaya keselamatan pasien di Rumah Sakit
2. Meningkatnya akuntabilitas Rumah Sakit terhadap pasien dan masyarakat
3. Menurunnya KTD di Rumah Sakit.
4. Terlaksananya program-program pencegahan sehingga tidak terjadi pengulangan KTD
Mengingat masalah keselamatan pasien merupakan masalah yang penting dalam sebuah rumah sakit, maka
diperlukan standar keselamatan pasien rumah sakit yang dapat digunakan sebagai acuan bagi rumah sakit di
Indonesia. Standar keselamatan pasien rumah sakit yang saat ini digunakan mengacu pada “Hospital Patient Safety
Standards” yang dikeluarkan oleh Joint Commision on Accreditation of Health Organization di Illinois pada tahun
2002 yang kemudian disesuaikan dengan situasi dan kondisi di Indonesia. Penilaian keselamatan yang dipakai
Indonesia saat ini dilakukan dengan menggunakan instrumen Akreditasi Rumah Sakit yang dikeluarkan oleh KARS.
Departemen Kesehatan RI telah menerbitkan Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit (Patient Safety)
edisi kedua pada tahun 2008 yang terdiri dari dari 7 standar, yakni:
1. Hak pasien
2. Mendididik pasien dan keluarga
3. Keselamatan pasien dan kesinambungan pelayanan
4. Penggunaan metoda metoda peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan program peningkatan
keselamatan pasien
5. Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien
6. Mendidik staf tentang keselamatan pasien
7. Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien
Untuk mencapai ke tujuh standar di atas Panduan Nasional tersebut Departemen Kesehatan RI menganjurkan
“Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien Rumah Sakit” yang terdiri dari:
1. Bangun kesadaran akan nilai keselamatan pasien
2. Pimpin dan dukung staf
3. Integrasikan aktivitas pengelolaan risiko
4. Kembangkan sistem pelaporan
5. Libatkan dan berkomunikasi dengan pasien
6. Belajar dan berbagi pengalaman tentang keselamatan pasien
7. Cegah cedera melalui implementasi sistem keselamatan pasien
WHO Collaborating Centre for Patient Safety pada tanggal 2 Mei 2007 resmi menerbitkan “Nine Life Saving Patient
Safety Solutions” (“Sembilan Solusi Life-Saving Keselamatan Pasien Rumah Sakit”). Panduan ini mulai disusun sejak
tahun 2005 oleh pakar keselamatan pasien dan lebih 100 negara, dengan mengidentifikasi dan mempelajari
berbagai masalah keselamatan pasien. 
Solusi keselamatan pasien adalah sistem atau intervensi yang dibuat, mampu mencegah atau mengurangi cedera
pasien yang berasal dari proses pelayanan kesehatan. Sembilan Solusi ini merupakan panduan yang sangat
bermanfaat membantu RS, memperbaiki proses asuhan pasien, guna menghindari cedera maupun kematian yang
dapat dicegah. 
Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS) mendorong RS-RS di Indonesia untuk menerapkan Sembilan
Solusi “Life-Saving” Keselamatan Pasien Rumah Sakit, atau 9 Solusi, langsung atau bertahap, sesuai dengan
kemampuan dan kondisi RS masing-masing.
1. Perhatikan Nama Obat, Rupa dan Ucapan Mirip (Look-Alike, Sound-Alike Medication Names).
Nama Obat Rupa dan Ucapan Mirip (NORUM), yang membingungkan staf pelaksana adalah salah satu penyebab
yang paling sering dalam kesalahan obat (medication error) dan ini merupakan suatu keprihatinan di seluruh dunia.
Dengan puluhan ribu obat yang ada saat ini di pasar, maka sangat signifikan potensi terjadinya kesalahan akibat
bingung terhadap nama merek atau generik serta kemasan. 
Solusi NORUM ditekankan pada penggunaan protokol untuk pengurangan risiko dan memastikan terbacanya resep,
label, atau penggunaan perintah yang dicetak lebih dulu, maupun pembuatan resep secara elektronik. 
2. Pastikan Identifikasi Pasien.
Kegagalan yang meluas dan terus menerus untuk mengidentifikasi pasien secara benar sering mengarah kepada
kesalahan pengobatan, transfusi maupun pemeriksaan; pelaksanaan prosedur yang keliru orang; penyerahan bayi
kepada bukan keluarganya, dan sebagainya. 
Rekomendasi ditekankan pada metode untuk verifikasi terhadap identitas pasien, termasuk keterlibatan pasien
dalam proses ini; standardisasi dalam metode identifikasi di semua rumah sakit dalam suatu sistem layanan
kesehatan; dan partisipasi pasien dalam konfirmasi ini; serta penggunaan protokol untuk membedakan identifikasi
pasien dengan nama yang sama. 
3. Komunikasi Secara Benar saat Serah Terima / Pengoperan Pasien.
Kesenjangan dalam komunikasi saat serah terima/ pengoperan pasien antara unit-unit pelayanan, dan didalam serta
antar tim pelayanan, bisa mengakibatkan terputusnya kesinambungan layanan, pengobatan yang tidak tepat, dan
potensial dapat mengakibatkan cedera terhadap pasien. 
Rekomendasi ditujukan untuk memperbaiki pola serah terima pasien termasuk penggunaan protokol untuk
mengkomunikasikan informasi yang bersifat kritis; memberikan kesempatan bagi para praktisi untuk bertanya dan
menyampaikan pertanyaan-pertanyaan pada saat serah terima,dan melibatkan para pasien serta keluarga dalam
proses serah terima. 
4. Pastikan Tindakan yang benar pada Sisi Tubuh yang benar.
Penyimpangan pada hal ini seharusnya sepenuhnya dapat dicegah. Kasus-kasus dengan pelaksanaan prosedur
yang keliru atau pembedahan sisi tubuh yang salah sebagian besar adalah akibat dan miskomunikasi dan tidak
adanya informasi atau informasinya tidak benar. Faktor yang paling banyak kontribusinya terhadap kesalahan-
kesalahan macam ini adalah tidak ada atau kurangnya proses pra-bedah yang distandardisasi. 
Rekomendasinya adalah untuk mencegah jenis-jenis kekeliruan yang tergantung pada pelaksanaan proses verifikasi
prapembedahan; pemberian tanda pada sisi yang akan dibedah oleh petugas yang akan melaksanakan prosedur;
dan adanya tim yang terlibat dalam prosedur ’Time out” sesaat sebelum memulai prosedur untuk mengkonfirmasikan
identitas pasien, prosedur dan sisi yang akan dibedah. 
5. Kendalikan Cairan Elektrolit Pekat (concentrated).
Sementara semua obat-obatan, biologics, vaksin dan media kontras memiliki profil risiko, cairan elektrolit pekat yang
digunakan untuk injeksi khususnya adalah berbahaya. Rekomendasinya adalah membuat standardisasi dari dosis,
unit ukuran dan istilah; dan pencegahan atas campur aduk / bingung tentang cairan elektrolit pekat yang spesifik. 
6. Pastikan Akurasi Pemberian Obat pada Pengalihan Pelayanan.
Kesalahan medikasi terjadi paling sering pada saat transisi/pengalihan. Rekonsiliasi (penuntasan perbedaan)
medikasi adalah suatu proses yang didesain untuk mencegah salah obat (medication errors) pada titik-titik transisi
pasien. Rekomendasinya adalah menciptakan suatu daftar yang paling lengkap dan akurat dan seluruh medikasi
yang sedang diterima pasien juga disebut sebagai “home medication list”, sebagai perbandingan dengan daftar saat
admisi, penyerahan dan/atau perintah pemulangan bilamana menuliskan perintah medikasi; dan komunikasikan
daftar tsb kepada petugas layanan yang berikut dimana pasien akan ditransfer atau dilepaskan.
7. Hindari Salah Kateter dan Salah Sambung Slang (Tube).
Slang, kateter, dan spuit (syringe) yang digunakan harus didesain sedemikian rupa agar mencegah kemungkinan
terjadinya KTD (Kejadian Tidak Diharapkan) yang bisa menyebabkan cedera atas pasien melalui penyambungan
spuit dan slang yang salah, serta memberikan medikasi atau cairan melalui jalur yang keliru. Rekomendasinya
adalah menganjurkan perlunya perhatian atas medikasi secara detail/rinci bila sedang mengerjakan pemberian
medikasi serta pemberian makan (misalnya slang yang benar), dan bilamana menyambung alat-alat kepada pasien
(misalnya menggunakan sambungan dan slang yang benar). 
8. Gunakan Alat Injeksi Sekali Pakai.
Salah satu keprihatinan global terbesar adalah penyebaran dan HIV, HBV, dan HCV yang diakibatkan oleh pakai
ulang (reuse) dari jarum suntik. Rekomendasinya adalah penlunya melarang pakai ulang jarum di fasilitas layanan
kesehatan; pelatihan periodik para petugas di lembaga-lembaga layanan kesehatan khususnya tentang prinsip-
pninsip pengendalian infeksi,edukasi terhadap pasien dan keluarga mereka mengenai penularan infeksi melalui
darah;dan praktek jarum sekali pakai yang aman. 
9. Tingkatkan Kebersihan Tangan (Hand hygiene) untuk Pencegahan lnfeksi Nosokomial. 
Diperkirakan bahwa pada setiap saat lebih dari 1,4 juta orang di seluruh dunia menderita infeksi yang diperoleh di
rumah-rumah sakit. Kebersihan Tangan yang efektif adalah ukuran preventif yang pimer untuk menghindarkan
masalah ini. Rekomendasinya adalah mendorong implementasi penggunaan cairan “alcohol-based hand-rubs”
tersedia pada titik-titik pelayan tersedianya sumber air pada semua kran, pendidikan staf mengenai teknik kebarsihan
taangan yang benar mengingatkan penggunaan tangan bersih ditempat kerja; dan pengukuran kepatuhan
penerapan kebersihan tangan melalui pemantauan / observasi dan tehnik-tehnik yang lain.

MANAJEMEN RISIKO PATIENT SAFETY


Keselamatan pasien harus dilihat dari sudut pandang risiko klinis. Sekalipun staf medis rumah sakit sesuai
kompetensinya memberikan pelayanan berdasarkan standar profesi dan standar pelayanan, namun potensi risiko
tetap ada, sehingga pasien tetap berpotensi mengalami cedera. UU Rumah Sakit No. 44 tahun 2009 bertujuan
memberikan perlindungan kepada pasien, masyarakat, dan sumber daya manusia, mempertahankan dan
meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit, serta memberi kepastian hukum kepada masyarakat dan rumah sakit.
The Joint Commission on Accreditation of Healthcare Organizations (JCAHO) memberikan pengertian manajemen
risiko sebagai aktivitas klinik dan administratif yang dilakukan oleh rumah sakit untuk melakukan identifikasi, evaluasi
dan pengurangan risiko terjadinya cedera atau kerugian pada pasien, personil, pengunjung dan rumah sakit itu
sendiri. Kegiatan tersebut meliputi identifikasi risiko hukum (legal risk), memprioritaskan risiko yang teridentifikasi,
menentukan respons rumah sakit terhadap risiko, mengelola suatu kasus risiko dengan tujuan meminimalkan
kerugian (risk control), membangun upaya pencegahan risiko yang efektif, dan mengelola pembiayaan risiko yang
adekuat (risk financing). 
Manajemen risiko yang komprehensif meliputi seluruh aktivitas rumah sakit, baik operasional maupun klinikal, oleh
karena risiko dapat muncul dari kedua bidang tersebut. Bahkan akhir-akhir ini meliputi pula risiko yang berkaitan
dengan managed care dan risiko kapitasi, merger dan akuisisi, risiko kompensasi ketenagakerjaan, corporate
compliance dan etik organisasi.
Manajemen risiko klinik merupakan upaya yang cenderung proaktif, meskipun sebagian besarnya merupakan hasil
belajar dari pengalaman dan menerapkannya kembali untuk mengurangi atau mencegah masalah yang serupa di
kemudian hari. Pada dasarnya manajemen risiko merupakan suatu proses siklik yang terus menerus, yang terdiri dari
empat tahap, yaitu:
1. Risk Awareness. 
Pada tahap ini diharapkan seluruh pihak yang terlibat dalam sistem bedah sentral memahami situasi yang berisiko
tinggi di bidangnya masing-masing dan aktivitas yang harus dilakukan dalam upaya mengidentifikasi risiko. Risiko
tersebut tidak hanya yang bersifat medis, melainkan juga yang non medis, sehingga upaya ini melibatkan
manajemen, komite medis, dokter, perawat bedah, perawat anestesi, pengendali gas sentral, pelaksana
pemeliharaan ruang bedah dan instrument, dan lain-lain. Self-assessment, sistem pelaporan kejadian yang
berpotensi menimbulkan risiko (incidence report) dan audit klinis dalam budaya non-blaming merupakan sebagian
metode yang dapat digunakan untuk mengenali risiko.
2. Risk control (and or Risk Prevention). 
Manajemen merencanakan langkah-langkah praktis dalam menghindari dan atau meminimalkan risiko dan
melaksanakannya dengan tepat. Dalam bidang medis, manajemen harus bekerjasama erat dan saling mendukung
dengan komite medis. Langkah-langkah tersebut ditujukan kepada seluruh komponen sistem, baik perangkat keras,
perangkat lunak maupun sumber daya manusianya. Langkah dimulai dengan penilaian risiko (risk assessment)
tentang derajat dan probabilitas kejadiannya, dilanjutkan dengan upaya mencari jalan untuk menghilangkan risiko
(engineering solution), atau bila tidak mungkin maka dicari upaya menguranginya (control solution) baik terhadap
probabilitasnya maupun terhadap derajat keparahannya, atau apabila hal itu juga tidak mungkin maka dicari jalan
untuk mengurangi dampaknya. 
Tindakan dapat berupa pengadaan, perbaikan dan pemeliharaan bangunan dan instrumen yang sesuai dengan
persyaratan; pengadaan bahan habis pakai sesuai dengan prosedur dan persyaratan; pembuatan dan pembaruan
prosedur, standar dan check-list; pelatihan penyegaran bagi personil, seminar, pembahasan kasus, poster, stiker,
dan lain-lain.
3. Risk containment
Dalam hal telah terjadi suatu insiden, baik akibat suatu tindakan atau kelalaian ataupun akibat dari suatu kecelakaan
yang tidak terprediksikan sebelumnya, maka sikap yang terpenting adalah mengurangi besarnya risiko dengan
melakukan langkah-langkah yang tepat dalam mengelola pasien dan insidennya. Unsur utamanya biasanya adalah
respons yang cepat dan tepat terhadap setiap kepentingan pasien, dengan didasari oleh komunikasi yang efektif.
4. Risk transfer
Akhirnya apabila risiko itu terjadi juga dan menimbulkan kerugian, maka diperlukan pengalihan penanganan risiko
tersebut kepada pihak yang sesuai, misalnya menyerahkannya kepada sistem asuransi. 
Pemahaman manajemen risiko sangat bergantung kepada sudut pandangnya. Dari segi bisnis dan industri asuransi,
manajemen risiko cenderung untuk diartikan sepihak, yaitu untuk tujuan meningkatkan keuntungan bisnis dan
pemegang sahamnya. Dalam bidang kesehatan dan keselamatan lebih diartikan sebagai pengendalian risiko salah
satu pihak (pasien atau masyarakat) oleh pihak yang lain (pemberi layanan). Sementara di dalam suatu komunitas
pemberi layanan kesehatan itu sendiri, yaitu pengelola rumah sakit dan para dokternya, harus diartikan sebagai
suatu upaya kerjasama berbagai pihak untuk mengendalikan risiko bersama.
Dari sisi sumber daya manusia, manajemen risiko dimulai dari pembuatan standar (set standards), patuhi standar
tersebut (comply with them), kenali bahaya (identify hazards), dan cari pemecahannya (resolve them). Agency for
Healthcare Research and Quality (AHRQ), dalam rangka memaksimalkan patient safety, menyatakan bahwa
terdapat beberapa elemen yang harus dilakukan oleh rumah sakit untuk mencegah medical errors. Elemen-elemen
tersebut diterapkan bersama-sama dengan menerapkan manajemen risiko yang bertujuan mengurangi atau
menyingkirkan risiko. Elemen-elemen untuk mencegah medical errors tersebut, adalah:
1. Mengubah budaya organisasi ke arah budaya yang berorientasi kepada keselamatan pasien. Perubahan ini
terutama ditujukan kepada seluruh sistem sumber daya manusia dari sejak perekrutan (kredensial), supervisi dan
disiplin. Rasa malu dalam melaporkan suatu kesalahan dan kebiasaan menghukum “pelakunya” harus dikikis habis
agar staf rumah sakit dengan sukarela melaporkan kesalahan kepada manajemen dan atau komite medis, sehingga
pada akhirnya dapat diambil langkah-langkah pencegahan kejadian serupa di kemudian hari.
2. Melibatkan pimpinan kunci di dalam program keselamatan pasien, dalam hal ini manajemen dan komite medik.
Komitmen pimpinan dibutuhkan dalam menjalankan program-program manajemen risiko, termasuk ronde rutin
bersama ke unit-unit klinik.
3. Mendidik para profesional di rumah sakit di bidang pemahamannya tentang keselamatan pasien dan bagaimana
mengidentifikasi errors, serta upaya-upaya meningkatkan keselamatan pasien.
4. Mendirikan Komisi Keselamatan Pasien di rumah sakit yang beranggotakan staf interdisiplin dan bertugas
mengevaluasi laporan-laporan yang masuk, mengidentifikasi petunjuk adanya kesalahan, mengidentifikasi dan
mengembangkan langkah koreksinya.
5. Mengembangkan dan mengadopsi Protokol dan Prosedur yang aman.
6. Memantau dengan hati-hati penggunaan alat-alat medis agar tidak menimbulkan kesalahan baru. 

TINJAUAN HUKUM KESELAMATAN PASIEN DI INDONESIA


Perlindungan kepentingan manusia merupakan hakekat hukum yang diwujudkan dalam bentuk peraturan
hukum,baikperundangan-undangan maupun peraturan hukum lainnya. Peraturan hukum tidak semata dirumuskan
dalam bentuk perundang-undangan namun berlaku dan mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang
diperintahkan oleh perundangan-undangan. Undang-undang sebagai wujud peraturan hukum dan sumber hukum
formal merupakan alat kebijakan pemerintah negara dalam melindungi dan menjamin hak-hak masyarakat sebagai
warga negara.
UU Rumah Sakit No. 44 tahun 2009 menyatakan pelayanan kesehatan yang aman merupakan hak pasien dan
menjadi kewajiban rumah sakit untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang aman (Pasal 29 dan 32). UU
Rumah Sakit secara tegas menyatakan bahwa rumah sakit wajib menerapkan standar keselamatan pasien. Standar
dimaksud dilakukan dengan melakukan pelaporan insiden, menganalisa dan menetapkan pemecahan masalah.
Untuk pelaporan, rumah sakit menyampaikannya kepada komite yang membidangi keselamatan pasien yang
ditetapkan oleh menteri (Pasal 43). UU Rumah Sakit juga memastikan bahwa tanggung jawab secara hukum atas
segala kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan berada pada rumah sakit bersangkutan (Pasal 46).
Organ untuk melindungi keselamatan pasien di rumah sakit lengkap karena UU Rumah Sakit menyatakan pemilik
rumah sakit dapat membentuk Dewan Pengawas. Dewan yang terdiri dari unsur pemilik, organisasi profesi, asosiasi
perumahsakitan dan tokoh masyarakat itu bersifat independen dan non struktural. Salah satu tugas Dewan adalah
mengawasi dan menjaga hak dan kewajiban pasien. Pada level yang lebih tinggi, UU Rumah Sakit juga
mengamanatkan pembentukan Badan Pengawas Rumah Sakit Indonesia. Badan yang bertanggung jawab kepada
Menteri Kesehatan itu berfungsi melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap rumah sakit. Komposisi Badan
terdiri dari unsur pemerintah, organisasi profesi, asosiasi perumahsakitan, dan tokoh masyarakat (Pasal 57). 
Ketentuan mengenai keselamatan pasien juga diatur dalam UU Kesehatan No. 36 tahun 2009. Beberapa pasal yang
berkaitan dengan keselamatan pasien dalam UU Kesehatan tersebut adalah:
1. Pasal 5 ayat (2), menyatakan bahwa setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang
aman, bermutu dan terjangkau. 
2. Pasal 19, menyatakan bahwa pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan segala bentuk upaya kesehatan
yang bermutu, aman, efisien, dan terjangkau.
3. Pasal 24 ayat (1), menyatakan bahwa tenaga kesehatan harus memenuhi ketentuan kode etik, standar profesi,
hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan, dan standar prosedur operasional.
4. Pasal 53 ayat (3), menyatakan pelaksanaan pelayanan kesehatan harus mendahulukan keselamatan nyawa
pasien.
5. Pasal 54 ayat (1), menyatakan bahwa penyelenggaraan pelayanan kesehatan dilaksanakan secara bertanggung
jawab, aman, bermutu, serta merata dan non diskriminatif.
Komite Akreditasi Rumah Sakit (KARS) Departemen Kesehatan telah pula menyusun Standar Keselamatan Pasien
Rumah Sakit dalam instrumen Standar Akreditasi Rumah Sakit. Departemen Kesehatan RI telah menerbitkan
Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit (Patient Safety) edisi kedua pada tahun 2008 yang terdiri dari
dari 7 standar, yakni:
1. Hak pasien
2. Mendididik pasien dan keluarga
3. Keselamatan pasien dan kesinambungan pelayanan
4. Penggunaan metoda metoda peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan program peningkatan
keselamatan pasien
5. Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien
6. Mendidik staf tentang keselamatan pasien
7. Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien
Akreditasi rumah sakit saat ini adalah syarat mutlak yang harus dipenuhi setiap rumah sakit sebagai amanat Undang-
undang no. 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit.

Tanggung Jawab Hukum Keselamatan Pasien


Kerugian yang diderita pasien serta tanggung jawab hukum yang ditimbulkannya berpotensi untuk menjadi sengketa
hukum. Pemerintah bertanggung jawab mengeluarkan kebijakan tentang keselamatan pasien. 
Tanggung jawab hukum keselamatan pasien diatur dalam Pasal 58 UU Kesehatan No. 36 tahun 2009:
1. Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara
kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang
diterimanya.
2. Tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi tenaga kesehatan yang melakukan
tindakan penyelamatan nyawa atau pencegahan kecacatan seseorang dalam keadaan darurat.
Tanggung jawab hukum rumah sakit terkait keselamatan pasien diatur dalam:
Pasal 46 UU Rumah Sakit No. 44 tahun 2009
• Rumah sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang
dilakukan tenaga kesehatan di rumah sakit

Pasal 45 UU Rumah Sakit No. 44 tahun 2009


1. Rumah sakit tidak bertanggung jawab secara hukum apabila pasien dan/atau keluarganya menolak atau
menghentikan pengobatan yang dapat berakibat kematian pasien setelah adanya penjelasan medis yang
komprehensif.
2. Rumah sakit tidak dapat dituntut dalam melaksanakan tugas dalam rangka menyelamatkan nyawa manusia.

KESIMPULAN
1. Keselamatan pasien merupakan upaya untuk melindungi hak setiap orang terutama dalam pelayanan kesehatan
agar memperoleh pelayanan kesehatan yang bermutu dan aman.
2. Indonesia salah satu negara yang menerapkan keselamatan pasien sejak tahun 2005 dengan didirikannya Komite
Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS) oleh Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI). Dalam
perkembangannya Komite Akreditasi Rumah Sakit (KARS) Departemen Kesehatan menyusun Standar Keselamatan
Pasien Rumah Sakit dalam instrumen Standar Akreditasi Rumah Sakit.
3. Peraturan perundang-undangan memberikan jaminan kepastian perlindungan hukum terhadap semua komponen
yang terlibat dalam keselamatan pasien, yaitu pasien itu sendiri, sumber daya manusia di rumah sakit, dan
masyarakat. Ketentuan mengenai keselamatan pasien dalam peraturan perundang-undangan memberikan kejelasan
atas tanggung jawab hukum bagi semua komponen tersebut.

Saran
1. Agar pemerintah lebih memperhatikan dan meningkatkan upaya keselamatan pasien dalam rangka meningkatkan
pelayanan kesehatan agar lebih bermutu dan aman dengan mengeluarkan dan memperbaiki aturan mengenai
keselamatan pasien yang mengacu pada perkembangan keselamatan pasien (patient safety) internasional yang
disesuaikan dengan kondisi yang ada di Indonesia.
2. Agar setiap rumah sakit menerapkan sistem keselamatan pasien dalam rangka meningkatkan pelayanan yang
lebih bermutu dan aman serta menjalankan peraturan perundang-undangan yang mewajibkan untuk itu.
3. Agar seluruh komponen sarana pelayanan kesehatan bekerja sama dalam upaya mewujudkan patient safety
karena upaya keselamatan pasien hanya bisa bisa dicapai dengan baik dengan kerjasama semua pihak.

KEPUSTAKAAN
Kadar glukosa mungkin menurun dan kalau semula ada, zat-zat keton dapat menghilang.Apabila akan ditunda
pengirimannya dalam waktu yang lama spesimen harus disimpan dalam refrigerator/almari es pada suhu 2 – 8
oC paling lama 8 jam.1. Balsamo RR and Brown MD. Risk Management. Dalam: Sanbar SS, Gibofsky A, Firestone
MH, LeBlang TR, editor. Legal Medicine. Edisi ke-4. St Louis: Mosby; 1998.
2. Cahyono JBS. Membangun budaya keselamatan pasien dalam praktek kedokteran. Jakarta: Kanisius; 2008.
3. Departemen Kesehatan RI. Panduan nasional keselamatan pasien rumah sakit (patient safety). Edisi ke-2.
Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 2008.
4. Firmanda D. Keselamatan pasien (patient safety) di rumah sakit. [document on the internet]. Jakarta: RSUP
Fatmawati; 2008 (diunduh 21 Desember 2010). Tersedia dari: http://www.scribd.com/doc/Dody-Firmanda-2008-
Keselamatan-Pasien-Patient-Safety
5. Frankel A, Gandhi TK, Bates DW. Improving patient safety across a large integrated health care delivery system.
International Journal for Quality in Health care. 2003; 15 suppl. I: i31 – i40.
6. Ghandi TK, Lee TH. Patient safety beyond the hospital. N Engl J Med. 2010; 363 (11): 1001-3.
7. Vincent C. Patient safety. Philadelphia: Elsevier; 2006.
8. Wachter RM, Shanahan J, Edmanson K, editor. Understanding patient safety. New York: McGraw-Hill Companies;
2008.
9. Weeks WB, Bagian JP. Making the business case for patient safety. Joint Commission on Quality and Safety.
2003; 29.
10. Wikipedia. Patient safety. [document on the internet]. Wikimedia Foundation: 2008 (diunduh 21 Desember
2010).Tersedia dari: http:// en.wikipedia.org/wiki/ patient_safety

Dasar hukum peraturan perundang-undangan:


1. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
2. Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit

http://yendi-anestesi.blogspot.co.id/2011/02/aspek-hukum-keselamatan-pasien-patient.html

Anda mungkin juga menyukai