Anda di halaman 1dari 25

ILMUWAN BERPENGETAHUAN KOLONIAL

MENUDING DESA WARISAN KOLONIAL 1

Akhmad Muqowam2 & Sutoro Eko3

Prof. Hanif Nurcholish (HN) adalah ilmuwan sejati yang secara konsisten dan
anti-politik berbicara hukum (undang-undang) dan menyerang UU Desa, dengan
lensa administrasi publik (negara) dan hukum-pemerintahan. Dari Woodrow Wilson,
Bapak Administrasi Publik Amerika dan Presiden Amerika ke-28 (1913-1921), kita
tahu bahwa politik adalah soal siapa dan apa dalam pembentukan hukum, dan
administrasi adalah tindakan bagaimana melaksanakan hukum. Dalam
ketatanegaraan Republik Indonesia, kita juga tahu jalan hukum, mulai dari
pembentukan hukum, pelaksanaan hukum dan penegakan hukum.
Pembentukan hukum bukanlah domain para ahli dan sarjana hukum, tetapi
sebagai domain institusi pemegang kedaulatan rakyat (parlemen dan pemerintah),
yang bisa dibantu para ilmuwan. Hukum dibentuk bukan memuaskan para ilmuwan,
tetapi melayani semesta manusia (kepentingan, nalar dan nilai) melalui institusi
pemegang kedaulatan rakyat. Dalam pembentukan hukum, institusi pemegang
kedaulatan rakyat tidak hanya memperhatikan pandangan sarjana hukum dan
ilmuwan, sebab bagaimanapun pandangan mereka pasti sangat beragam dan tidak
ada kebenaran tunggal dan mutlak secara keilmuan. Parlemen dan pemerintah,
sebagai pemegang kedaulatan rakyat, bukan hanya memandang secara yuridis
semata, tetapi juga politik semesta (aspirasi, representasi, visi, misi). Pembentukan
hukum, bagi institusi pemegang kedaulatan rakyat, tidak berbicara benar-salah dan
hitam-putih secara sempit menurut cara pandang keilmuan dan moral, tetapi bicara
tentang relevansi hukum untuk menjawab masalah, memastikan hak-kewajiban
subyek yang akan diatur, serta visi politik perubahan masa depan. Karena itu, dalam
pembentukan hukum, institusi pemegang kedaulatan rakyat membungkus
perdebatan pengetahuan, aspirasi dan visi politik yang beragam, serta dimensi
yuridis, sekaligus memutuskan menjadi produk hukum (UU).
Setelah hukum diputuskan, maka aparat negara melaksanakannya, dengan
dipimpin oleh pemerintah, baik Presiden, Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota,
hingga Kepala Desa. Aparat negara bukan mengatur lagi, melainkan melaksanakan
hukum seperti mesin untuk melayani warga maupun memastikan hak-kewajiban
subyek yang diatur. Di ujung, aparat penagak hukum dan institusi yudikatif bertugas

1Makalah disampaikan dalam bedah buku karya Prof. Hanif Nurcholish, Pemerintah

Desa, Nagari, Gampong, Marga dan Sejenisnya: Pemerintah Tidak Langsung Warisan Kolonial yang
Inkonstitusional (Universitas Terbuka, 2019), yang digelar oleh Badan Penelitian dan
Pengembangan, Kementerian Dalam Negeri, Jakarta, 24 September 2019.
2Ketua Pansus RUU Desa DPR RI (2012-2013), Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah

Republik Indonesia (2018-2019).


3Guru Desa, Perancang UU Desa, kini Ketua Sekolah Tinggi Pembangunan

Masyarakat Desa “APMD” Yogyakarta.

1
melakukan penegakan hukum, untuk menegakkan keadilan, sesuai dengan konstitusi
dan hukum. Indonesia juga memiliki Mahkamah Konstitusi, sebagai institusi penegak
hukum, yang membuka ruang-hak bagi subyek hukum untuk melakukan judicial
review atas hukum bentukan institusi pemegang kedaulatan rakyat, yang
menciptakan kerugian dan ketidakadilan atau bertentangan dengan konstitusi.
UU Desa tentu juga bekerja dengan tiga jalan hukum itu. Pembentukan hukum
ditempuh dengan kristalisasi pengetahuan, ruang publik yang dibuka oleh Pansus
RUU Desa, perjuangan politik, strategi politik “jalan miring”, dan negosiasi politik
yang telah melahirkan UU Desa. Kehadiran UU Desa secara sosiologis dan politik
disambut secara antusias oleh banyak kalangan, mereka yakini sebagai hukum
progresif untuk melahirkan perubahan desa yang lebih maju, kuat, mandiri dan
demokratis. Tetapi birokrat dan teknokrat serta peraturan pelaksanaan telah
mereduksi dan mendistorsi UU Desa hanya sebagai proyek dana desa, yang
dilengkapi dengan aturan, target, prioritas, juklak, juknis, data, pengawasan,
pelaporan, pertunjukan, dan seterusnya. UU diatur PP, PP diatur Permen, Permen
diatur Perbub. Apa yang sampai di tangan orang desa bukan spirit besar, melainkan
hanya proyek dan administrasi keuangan, yang membuat kepala desa sebagai
mandor proyek. Kami berpendapat bahwa pemerintah-negara telah bekerja keras
membangun sambil merusak desa, memajukan sambil melemahkan desa.
Di luar sana banyak pihak berpikir dan bekerja untuk perubahan desa. Para
pegiat desa dengan tekun mendampingi desa untuk berubah, sekecil apapun
perubahannya. Meski dipandang sesat, dan teknokratisasi-birokratisasi berjalan
terus, kami terus menerus melakukan politik representasi antara lain melalui
penyuntikan nilai-nilai hakiki UU Desa di banyak ruang dan waktu. Kami juga
menyerukan agar pemerintah dan Presiden memotong regulasi jungkir balik yang
merugikan desa, dengan cara kembali ke mandat UU Desa. Presiden berulangkali
merespons tuntutan ini, misalnya dengan ungkapan berikut ini:

“Kepala desa tidak sibuk mengurus rakyat, tetapi sibuk mengurus laporan”.

“Kita tidak boleh terjebak pada regulasi yang kaku, yang formalitas, yang
ruwet, yang rumit, yang basa-basi, yang justru menyibukkan, yang
meruwetkan masyarakat dan pelaku usaha. Ini harus kita hentikan. Sekali lagi,
ini harus kita hentikan. Regulasi yang tidak konsisten dan tumpang tindih
antara satu dan lainnya harus diselaraskan, disederhanakan dan dipangkas”

Perintah Presiden sudah jelas, tetapi para menteri dan jajarannya, tidak berbuat secara
bermakna. Kami pun juga tidak pernah mundur melakukan advokasi, misalnya
Akhmad Muqowam segera menerbitkan buku yang bertitel, Membangun Sambil
Merusak Desa. Di sisi lain, para ilmuwan yang berpihak pada desa, juga sudah
berbicara lebih maju, misalnya bicara tentang kemakmuran desa dengan reforma
agraria, akses desa terhadap common pool resources, shareholding, maupun ekonomi
gotong-royong dan korporasi rakyat melalui wadah BUMDesa dan koperasi.
Demikian juga dengan banyak kepala desa yang berkehendak melakukan perubahan
desa, tetapi tidak sedikit di antara mereka yang “tidak tahu” harus melakukan apa
dan “tidak berani” melangkah maju karena menghadapi hantu kriminalisasi dan

2
antikorupsi. Ketika arus perjuangan untuk berubah terus menggeliat, Prof HN masih
sibuk menenteng buku, sembari bicara UU Desa sesat, pemerintah(an) desa adalah
warisan kolonial yang palsu dan inkonstitusional.
Apakah mantra-mantra itu koheren secara keilmuan dan relevan secara politik
untuk perubahan? Kami sebaliknya malah justru meragukan koherensi dan relevansi
pengetahuan Prof. HN. Kami ingin mengatakan bahwa bukan pemerintahan desa
yang palsu, tetapi pengetahuan pemerintahan yang justru palsu. Pengetahuan palsu
bicara tentang pemerintahan palsu. Pengetahuan kolonial menuding desa sebagai
konstruksi dan warisan kolonial. Uraian di bawah akan menunjukkan argumen ini.

Kolonialisme dan Warisan Kolonial


Semua aspek negara, politik, pemerintahan, hukum, birokrasi, administrasi,
ekonomi, pengetahuan, statistik, dan pembangunan di Indonesia adalah warisan
kolonial. Dengan kalimat lain, negara modern ini juga warisan kolonial, yakni warisan
Herman Daendels, yang dijuluki para sejarawan Barat sebagai Bapak Negara Modern.
Kalau tidak ada kolonialisme, barangkali tidak akan ada Indonesia, dari Sabang
sampai Merauke, mungkin yang ada adalah Negara Mataram, Negara Padjajaran, dan
negara-negara lain yang beragam di seluruh penjuru Nusantara.
Itulah fakta sejarah. Tetapi kita sering melakukan olok-olok menuding barang
tertentu sebagai warisan kolonial, termasuk Prof. HN menyukai diskursus desa
kolonial dari kaum revisionis semacam Jan Breman (1982), lantas menuding
pemerintahan desa dan desa sebagai kesatuan masyarakat hukum pribumi yang
diserahi fungsi pemerintahan, sebagai warisan kolonial. Jika tidak seksama, maka
Prof HN justru menggunakan pengetahuan kolonial untuk menuding desa dan UU
Desa sebagai warisan kolonial. Melucuti kolonialisme tentu merupakan keharusan,
tetapi kalau semua aspek sudah merupakan warisan kolonial, bagaimana dan dimana
celahnya? Prof HN melucuti kolonialisme secara dangkal hanya pada sisi hilir, yakni
kedudukan dan disain institusional pemerintahan desa, tanpa melihat sisi hulu, yakni
aspek ideologi dan politik pengetahuan kolonial. Bagi kami, yang diperlukan dalam
melucuti kolonialisme adalah membongkar ideologi dan politik pengetahuan
kolonialnya, bukan semata pada disain institusional pemerintahan desa. Bisa saja kita
sekarang tidak kolonialis dengan memakai desain institusional warisan kolonial,
ketika ideologi, politik pengetahuan dan visi politik dihadirkan baru, yang bersifat
antikolonial. Sebaliknya, Prof HN menyajikan desain institusional baru yang belum
tentu anti-kolonial tetapi dengan pengetahuan kolonial dan warisan kolonial. Ini
disebut dengan pengetahuan palsu. Meskipun disain institusional disebut baru,
belum tentu juga hal itu luput dari jeratan kolonial.
Kolonialisme adalah ideologi, formasi dan tindakan yang penuh dengan
kontradiksi. Sejak zaman kolonial, desa menjadi medan sengketa ideologi, politik
pengetahuan, dan ekonomi politik, yang kemudian membentuk politik
pemerintahan, hukum pemerintahan dan administrasi pemerintahan desa. Ideologi
koloialisme itu adalah orientalisme, liberalisme, modernisme dan imperalisme.
Perspektif pascakolonial dan orientalisme karya Edward Said (1978), memiliki
sumbangan penting, yang membuat diskursus kolonialisme, modernisme dan
imperalisme menjadi lebih kaya, politik pengetahuan kian melengkapi ideologi.

3
Orientalisme sudah dimulai sejak penemuan orang Eropa ke dunia Timur, dan terus
menyertai kolonialisme dan imperialisme Eropa. Dari banyak literatur, kami
menemukan dua dua jenis orientalisme: orientalisme romantis-eksotik dan
orientalisme rasialis (misalnya Roger Benjamin, 2003; Gumillar Irfanullah, 2015).
Orientalisme romantis-eksotik mempunyai kegaguman dan pemujaan Barat terhadap
eksotisme dan keindahan budaya Timur. Orientalisme rasialis adalah konstruksi dan
stereotipe Barat terhadap Timur secara biologis, yang memandang bangsa Timur itu
bodoh, pemalas, tahayul, beradab tetapi masuk ke dalam lumpur kebiadaban.
Sebaliknya Barat memandang dirinya lebih beradab dan superior dibanding Timur,
sehingga secara moralitas, mereka terpanggil membawa misi peradaban modernisme
pada dunia Timur melalui jalan kolonialisme dan imperialisme. Dunia Timur yang
kolot dan tradisional itu harus diubah menjadi modern seperti Dunia Barat. Karena
itu, pemikiran tentang modernisasi pemerintahan tradisional menjadi pemerintahan
formal-modern ala Prof. HN, adalah pengetahuan kolonial.
Orientalisme romantis-eksotik kelak membentuk ideologi komunitarianisme,
yang oleh kaum liberal disebut sebagai konservatif. Orientalisme rasialis membentuk
proyek modernisasi liberal Barat di tanah jajahan. Karena itulah, literatur kolonial
abad ke-19 muncul dua kubu utama, yakni konservatif dan liberal, yang berdebat soal
negara, ekonomi, masyarakat dan desa. Mulai awal abad ke-20 juga muncul kaum
etik-moralis dan sosialis-demokrat yang menentang kaum konservatif dan liberal.
Bagi orang Eropa, baik yang liberal maupun sosialis, memandang bahwa desa identik
dengan feodalisme, komunalisme dan despotisme. Kaum liberal memandang desa
sebagai musuh negara modern, kebebasan warga dan ekonomi kapitalis liberal (laissez
faire). Jika desa merupakan musuh kebebasan di mata kaum liberal, kaum sosialis
memandang desa sebagai bagian dari penindasan sekaligus musuh bagi kerakyatan
(proletariat) dan keadilan sosial. Sejumlah literatur Barat, yang bias liberal, menuding
kaum konservatif sebagai “simpatisan desa” (Clive Dewey, 1972), yang berarti
bertahan untuk mengawetkan feodalisme, komunalisme, dan despotisme. Dalam
konteks ini, Letnan Gubernur Thomas S. Raffles (1811-1811) dijuluki sebagai kaum
liberal, sedagkan Gubernur Jenderal J. Van den Bosch, dilabeli oleh sejarawan sebagai
kaum konservatif, yang mempertahankan struktur desa tradisional sebagai landasan
operasi sistem Tanam Paksa (B. Vlekke, 1941; JS Furnivall, 1939, RE Elson, 1994).
Bagi kami pemilahan konservatisme, radikalisme, dan liberalisme itu sangat
absurd karena bias liberal dan Eropa centris. Kaum liberal mengklaim radikal ketika
berupaya merombak status quo dengan melakukan liberalisasi-modernisasi atas
negara, rakyat dan desa seperti logika pasar bebas dan kebebasan individual. Tetapi
kaum liberal juga bisa disebut konservatif ketika mempertahankan status quo pasar
bebas yang menindas rakyat dan desa serta menyingkirkan negara. Label kaum
konservatif, yang sebenarnya tidak menyebut dirinya konservatif, sebenarnya juga
radikal ketika bersikap melindungi negara, desa dan rakyat dari ancaman liberalisasi
dan pasar bebas (Clive Dewey, 1972). Kaum ini mudah dituding konservatif ketika
sedang mengawetkan status quo (feodalisme, komunalisme dan despotisme) sebagai
landasan untuk kekuasaan negara dan kapitalisme, sehingga yang muncul adalah
negara kapitalis parasit.
Karena itu kami lebih menyukai pembedaan liberalisme versus
komunitarianisme, yang keduanya baku klaim, sekaligus memiliki watak radikal dan

4
konservatif. Masing-masing punya klaim radikal, tetapi juga saling menyerang dan
menuding lawannya sebagai konservatif (bagan 1). Pada spektrum gagasan,
pertengkaran antara liberalisme versus komunitarianisme itu dimanifestasikan pada
debat antara distopia desa versus utopia desa. Kaum liberal punya pandangan
distopia desa, kaum komunitarian mengusung utopia desa. Bagi banyak kaum
komunitarian-radikal, komunitas desa menunjukkan kualitas hidup — seperti
kebebasan, kesetaraan, persaudaraan, kebaikan bersama — yang disadari dalam
beberapa masa lalu atau dapat direalisasikan dalam beberapa Utopia di masa depan.
Karena itu utopia desa merupakan pandangan kaum komunitarian-radikal. Kaum
komunitarian Eropa yang menghindari village sembari mengutamakan rural,
memiliki konsepsi keindahan pedesaan (rural idyll), sebuah konstruksi ideal dan
romantis yang menghadirkan pedesaan sebagai lebih bahagia, sehat, dan dengan
lebih sedikit masalah daripada perkotaan (Noel Castree, Rob Kitchin, dan Alisdair
Rogers, 2013).

Bagan 1
Spektrum ideologi di medan desa

RADIKAL

Utopia Desa Distopia Desa

KOMUNITARIAN LIBERAL

Romantisme Kolonialisme
Desa Desa

KONSERVATIF

5
Tabel 1
Matriks ideologi dan mazhab atas desa
Eksistensialis-romantis Revisionis-radikal
 Mempunyai ideologi komunatarian  Mempunyai ideologi kiri, Marxis baru, feminisme
 Desa merupakan situs keasilan  Oposisi: melawan desa.
 Desa, adat dan petani merupakan kesatuan organik  Distopia: Desa merupakan situs ketimpangan dan
yang dipayungi republik desa penindasan terhadap rakyat
 Utopia desa: keindahan, kesetaraan, persaudaraan,  Republik desa adalah visi yang romantis dan
kebersamaan, harmoni, kebaikan bersama. menyesatkan.
 Distopia kota: kota mengandung banyak  Desa dikuasai oleh despot dan elite lokal.
keburukan.  Merevisi romantisme, kritis terhadap kolonialisme
 Desa memiliki otonomi, demokrasi, solidaritas, dan modernisasi.
kohesi, dll.  Desa adalah konstruksi kolonial.
 Anti kolonialisme, liberalisme, modernisasi dan  UU Desa hanya mewarisi kolonial dan Orde Baru,
kapitalisme. yang memperkuat posisi kepala desa.
 Membela dan mempertahankan desa  Dana desa sungguh berbahaya, hanya akan
 Asosiasi dan rekognisi: pengetahuan dan negara dirampas elite lokal.
perlu menghormati, mengakui, melindungi agar  Tidak merekomendasikan pembubaran desa,
desa tumbuh berkembang dengan kekuatan sendiri tetapi meninggalkan desa, sembari menaruh
dan kearifan lokal. perhatian pada petani, perempuan, dan kaum
 Lebih baik mengosalisi diri, ketimbang menerima marginal lainnya.
intervensi yang merusak.  Ketimpangan merupakan DNA masa lalu,
 Perubahan dilakukan melalui rekonstruksi desa kolonialisme dan modernisasi mengawetkannya.
dari dalam sendiri.  Tidak rekomendasikan pelenyapan desa
 Pembangunan yang endogen tanpa negara dan  Mengutamakan reforma agraria dan
modal dari luar. pengorganisasian rakyat
Orientalis-modernis Konstruktivis-transformatif
 Ideologi: liberal-konservatif dan neoliberal yang  Dipengaruhi komunitarian-radikal dan
pragmatis. pascakolonial.
 Desa sebagai situs keterbelakangan, kemiskinan,  Memperbaiki visi eksitensialis-romantis,
kebodohan, kontrarevolusi, dll. mendorong transformasi desa.
 Komunalisme, tradisi dan adat menjerat kemajuan  Desa basis kehidupan, kekuatan dan penghidupan
 Desa sebagai batu loncatan baik untuk eksploitasi yang berkelanjutan.
maupun program untuk masyarakat.  Visi heterotopia: desa sebagai situs ketahanan,
 Akulturasi: masuk ke desa dengan cara kemandirian, kemajuan, kerakyatan dan
memanfaatkan desa kemakmuran.
 Desa basis pertumbuhan ekonomi dan pasar.  Kolonialisme, modernisasi, birokratisasi dan
 Pemerintahan desa adalah pemerintahan palsu. teknokratisasi menciptakan kontradiksi dalam
 Pemerintahan palsu menjadi batu sandungan perubahan desa.
(hambatan) bagi pelayanan publik.  Misi emansipasi dan representasi desa.
 Desa tidak dilihat secara utuh, tetapi lebih parsial  Desa harus maju tetapi bukan berarti Westernisasi,
sebagai area, lokasi dan komunitas. dan tetap merawat tradisi. Merawat tradisi tidak
 Utilitarian: suka pada banyak temuan (termasuk ketinggalan zaman.
dari revisionis) yang dimanfaatkan sebagai  Desa sebagai kolektivisme-pluralistik
pembenar intervensi, teknokratisasi dan  Mendorong, mencerahkan dan mengorganisir
birokratisasi. aktor-aktor baru untuk merebut kekuasaan agar
 Menyukai program-program pembangunan dan hadir kepala desa pemimpin rakyat yang progresif.
pemberdayaan masyarakat yang seragam, top  Demokratisasi desa melalui organisasi rakyat,
down dan terpusat. kelompok kepentingan, warga aktif, partisipasi,
 Tidak melenyapkan desa seperti kaum liberal- ruang publik, deliberasi, representasi.
radikal, tetapi hanya menghilangkan imajinasi desa  Meninggalkan parokhialisme, menuju
dan mengubah desa secara inkremental dengan republikenisme.
inovasi, modernisasi dan pembangun.  Memromosikan desa semesta untuk kepentingan
 Kolonialisme-modernisasi memajukan desa masyarakat sempat dan manusia.
 Pemerintahan desa harus dibuat modern.  Desa bukan mengisolasi diri, tapi lakukan
 Kalau desa sudah maju, maka diubah statusnya kolaborasi, konsolidasi dan negosiasi di hadapan
menjadi kelurahan. negara dan modal.
 Common pool resources sebagai basis kemandirian
dan kemakmuran desa.

6
Mazhab Leiden yang dirintis oleh para penemu “republik desa” dan van
Vollenhoven termasuk mazhab eksistensialis-romantis yang membela-
mempertahankan desa dan adat. Mazhab ini suka bicara keaslian, kearifan lokal,
egaliter, kohesi sosial, gotong-royong, dan lain-lain. Karena itu kaum eksistensialis-
romantis merekomendasikan kepada pemerintah kolonial agar tidak melakukan
modernisasi terhadap desa, melainkan mengakui dan mempertahankan desa sebagai
kesatuan masyarakat hukum pribumi. Namun cara pandang eksistensialis-romantis
justru terjebak mengisolasi desa. Lebih dari sekadar isolasi, ada dua kontradiksi
menonjol. Pertama, desa diperalat oleh penguasa kolonial liberal-konservatif yang
utilitarian untuk kepentingan eksploitasi. Kedua, desa punya otonomi di dalam,
tetapi ditundukkan dan harus tunduk pada dua struktur modern negara pegawai:
pangreh praja dan binnenlands bestuur.
Kaum eksistensialis-romantis itu mendapat tantangan kaum revisionis. JS
Furnivall (1939), disambung oleh sejarawan Indonesia Onghokham (1975), yang
dianjutkan oleh Jan Breman (1982) dan pengikutnya, yang menamakan dirinya
sebagai mazhab Amsterdam, hadir melontarkan kritik tajam atas Mazhab Leiden (van
Vollenhoven dan pengikutnya). JS Furnivall (1939) termasuk salah satu perintis yang
mengakui desa tetapi mengecam kecenderungan untuk menggambarkan desa Jawa
awal sebagai entitas teritorial yang dicirikan dengan otonomi dan swasembada.
Demikian catatan Furnivall:

Di sebagian besar pulau Jawa, hanya pada pengenalan pendapatan tanah dari
tahun 1813 dan seterusnya bahwa desa-desa direduksi menjadi keseragaman
dan tanah mereka diikat menjadi unit tertutup, dan selama proses ini ada
banyak referensi tentang pemisahan dan penggabungan desa-desa, dan untuk
mempromosikan dusun ke status desa mandiri. Kesimpulannya adalah bahwa
sejak awal abad ini kebijakan kolonial telah memberi tanda penting pada
karakter desa Jawa dengan mencoba mengubahnya seolah-olah itu adalah
persatuan.

Sosiolog pedesaan berhaluan modernis, MA Jaspan (1959): menuding para


ilmuwan sosial berbagi sikap konservatif terhadap perubahan sosial dan
kecenderungan untuk mengidealkan desa tradisional. “Desa tradisional semacam ini
tidak pernah digambarkan secara nyata, tetapi ada rekonstruksi nostalgia dari
masyarakat desa yang sempurna pada periode yang lebih baik atau lebih normal di
masa lalu”, demikian ungkap Jaspan (1959).4
Dalam disertasinya tentang Kabupaten Madiun era abad ke-19, Onghokham
(1975) menegaskan bahwa desa bukanlah kesatuan masyarakat yang otonom,
melainkan hanya pemukiman penduduk yang kemudian dikonstruksi sebagai cacah,
sebagai sistem kekuasaan ala Jawa yang menghasilkan kantong-kantong kekuasaan
Jawa yang secara geografis tersebar (dispersive). Kepala desa hanya sekadar sebagai
perantara antara sebagian besar penduduk dan pejabat kerajaan. Priyayi tingkat
rendah ini terkait dengan sejumlah rumah tangga petani, yang disebut cacah, dalam

4MA Jaspan berujar: Sebagian besar orang Indonesia lebih memilih kemerdekaan

nasional dari pemerintahan kolonial, namun mereka menggambarkan saat ini sebagai
"abnormal"; berbeda dengan "normal" pada periode kolonial.

7
hubungan patron-klien. Maka Onghokham menyimpulkan bahwa desa bukanlah
gagasan Jawa, melainkan gagasan birokrat kolonial Belanda, sebagai bentuk penataan
teritorial pedesaan Jawa yang diperlukan untuk memudahkan pemungutan pajak
kolonial Belanda.
Jan Breman (1982) menyampaikan pandangan bahwa desa Jawa sebagai
komunitas adalah ciptaan Eropa; namun tidak sebagai perangkat yang ditemukan
pada tahap awal, tetapi sebagai konstruksi berikutnya. Desa sebagai kesatuan kolektif
tidak melumpuhkan negara kolonial tetapi lebih merupakan hasil dari kolonialisasi
itu; hasil dari proses lokalisasi dan horizontalisasi yang memanifestasikan dirinya
selama abad kesembilan belas. Hanya di bawah rezim kolonial, desa menjadi entitas
standar spasial dan administratif. Oleh karena itu, pemilihan desa sebagai batu
penjuru administrasi kolonial menyebabkan pelaporan resmi terhadap asumsi
komunitas desa Jawa 'tradisional' yang tetap berjalan hingga dekolonisasi dan
memang untuk beberapa waktu sesudahnya. Desa yang dikontruksi oleh kolonial ini,
menurut Breman, mengandung tiga cirikhas: (a) kepala desa menjadi lembaga
perantara antara penduduk desa dengan bupati sebagai perangkat kolonial; (b)
segmentasi penduduk desa dan diferensiasi sosial di sepanjang garis vertikal; (c)
terjadi hubungan antara diferensiasi lokal dan pengerahan kekuasaan supra-lokal
yang membuat integrasi yang lemah pada basis teritorial.
Bagi kaum revisionis Mazhab Amsterdam (Jan Breman dan pengikutnya), desa
romantis itu menyesatkan sebab desa itu menyajikan ketimpangan dan dikuasai oleh
despot kecil. Kaum revisionis baru dari Negeri Belanda juga betubi-tubi melontarkan
kritik terhadap UU Desa. Kritik terkemuka datang dari Ben White (2017) berikut ini:

Seperti banyak lainnya, saya berharap UU Desa baru Indonesia akhirnya akan
membangun prinsip demokrasi partisipatif lokal di 73.000 desa di Indonesia.
Namun ketika muncul, saya pertama kali mengira saya telah mengunduh
hukum yang salah dan sedang membaca sesuatu dari periode Soeharto.
Undang-undang yang baru ini penuh dengan referensi untuk 'partisipasi' dan
'demokrasi', tetapi jika kita melihat melampaui retorika, itu tidak membawa
kita lebih jauh ke arah demokrasi desa daripada hukum sebelumnya, dan
mungkin bahkan merupakan langkah mundur. Dipandu oleh mitos desa yang
gigih namun berbahaya sebagai pulau harmoni dan kerja sama, undang-
undang desa tidak memasukkan ketentuan untuk melindungi penduduk desa
biasa terhadap perilaku para elite mereka.

Undang-undang tersebut mengungkapkan visi desa Indonesia yang tidak


terlalu berbeda dengan propaganda Orde Baru Soeharto, tetapi memiliki asal-
usulnya di masa kolonial. Dalam visi ini, desa-desa di Indonesia adalah tempat
ketenangan, yang terdiri dari 'petani' yang homogen dan tanpa kelas yang
mempraktikkan 'pertanian subsisten' sementara terisolasi dari ekonomi uang
tunai. Penduduk desa ini bekerja bersama tanpa konflik, dipandu oleh nilai-
nilai gotong royong bersama (bekerja sama), kekeluargaan (semangat
keluarga) dan rukun (harmoni). Visi romantis pedesaan Indonesia tetap
dominan di antara banyak pembuat kebijakan, akademisi dan elite perkotaan,
meskipun selalu ada arus balik sarjana, oleh peneliti Indonesia dan asing,

8
menggarisbawahi pentingnya divisi sosial dan politik, hierarki dan ketegangan
dalam komunitas desa.

Ward Berenschot dan Prio Sambodho (2017) juga berujar: “Semua ini
menunjukkan bahwa anggaran baru yang disediakan oleh UU Desa akan berakhir
dengan memperkuat posisi kepala desa. Sebagai akibatnya, para kepala desa
mungkin mendapatkan kembali sebagian keunggulan yang mereka nikmati selama
Orde Baru. Kepala desa sebagai pelindung mungkin akan kembali”.
Para peneliti itu berulang kali melakukan penelitian ke desa-desa Indonesia,
menghisap data dari desa untuk keperluan kepentingan mereka, tetapi ujungnya
menuding kepala desa sebagai despot yang jahat. Ini adalah cara pandang orientalis-
rasialis seperti konsep despotisme timur, yang membenarkan kolonialisme, meski
mereka juga mengritik kolonialisme. Para peneliti ini juga bisa disebut ilmuwan
despotik karena pengetahuan yang mereka miliki bukan memberikan sumbangan
terhadap perubahan desa, malah sebaliknya, melakukan penghisapan data dari desa
dan mengawetkan penindasan terhadap desa. Argumen mereka juga menyalahkan
keberpihakan politik terhadap desa atau malah membenarkan pembiaran desa,
sekaligus juga membenarkan dan mengundang teknokratisasi, birokratisasi maupun
intervensi kaum modernis, entah dari Jakarta maupun dari dunia Barat. Mereka
tampak peduli pada petani dan rakyat jelata, yang katanya ditindas oleh elite desa,
tetapi mereka tidak memberikan sumbangan apapun. Petani senantiasa melarat
bukan karena ditindas oleh kepala desa, tetapi dihisap oleh kolonialisme, kapitalisme
dan modernisasi yang datang dari Barat. Kritik mereka terhadap gotong-royong
merupakan racun jahat yang berbahaya, sebab gotong-royong dalam UU Desa
mengacu pada Soekarno, bukan kerja rodi ala kolonial, atau mobilisasi kerja bakti
tanpa bayar ala Soeharto. Jika mereka menuding UU Desa serupa dengan propaganda
Orde Baru Soeharto, lalu idelogi mereka itu apa? Mereka tampak buta dengan misi
emansipasi di balik trajektori kehadiran UU Desa. Jika sekarang UU Desa berjalan
tersesok-seok bukan karena faktor-faktor yang mereka tudingkan itu, melainkan
karena birokratisasi-teknokratisasi desa yang dibenarkan oleh argumen mereka.
Kaum orientalis-modern pada dasarnya penerus kolonialisme desa yang
disepuh dengan dempul modernisasi, teknokrasi, community driven development.
Kaum ini juga pragmatis, misalnya melakukan intervensi terhadap desa karena
dibenarkan dengan temuan kaum revisionis. Orang orientalis-modernis suka
membandingkan PNPM Mandiri jauh lebih baik daripada UU Desa. PNPM membuat
masyarakat lebih mampu merencanakan dan melaksanakan sendiri secara
berkualitas, proyek infrastruktur yang efektif dengan tingkat partisipasi yang tinggi
dari perempuan dan dengan manfaat untuk kaum miskin. Hal itu dilakukan melalui
prinsip-prinsip inti partisipasi (prioritas pembangunan ditentukan oleh masyarakat);
pemberdayaan (sumber daya dikelola oleh masyarakat); dan akuntabilitas
(masyarakat memantau penyediaan dan tim manajemen proyek melacak keluhan).
Dilaporkan korupsi pada hibah PNPM rendah (kurang dari 1%), dengan tingkat 50%
pemulihan dana, menggunakan kombinasi mekanisme berbasis masyarakat dan
sistem hukum formal (Hans Antlov dkk, 2016). Hans Antlöv, Anna Wetterberg & Leni
Dharmawan (2016), misalnya, berujar bahwa sumberdaya besar yang langsung
masuk ke dalam anggaran desa bisa tidak digunakan untuk kepentingan mereka yang

9
paling membutuhkannya, dan bisa menyebabkan -- tanpa pengawasan yang kuat --
korupsi. Tanpa mekanisme pertanggungjawaban yang jelas dari masyarakat dan
kabupaten, uang besar mungkin hanya memperkaya elite atau menyebabkan
pemborosan. Para penulis itu mengatakan:

“Potensi UU Desa untuk mengurangi kemiskinan dan ketimpangan sosial


dengan menggerakkan investasi di bidang infrastruktur produktif yang
diidentifikasi masyarakat dan penyediaan pelayanan publik akan menjadi
kenyataan hanya jika ada kombinasi yang kuat antara akuntabilitas ke atas
untuk melengkapi tekanan dari warga berdaya terhadap pemerintah desa agar
bekerja untuk kepentingan masyarakat”.

Penulis itu agak aneh jika membandingkan PNPM dengan UU Desa, apalagi
menggunakan perspektif PNPM untuk melihat UU Desa. Jika PNPM yang mereka
puji itu berhasil, maka perencanaan partisipatif hingga tatanan demokrasi desa sudah
terlembaga dengan baik, sehingga menjadi landasan yang kokoh bagi pelaksanaan
UU Desa. Ternyata PPK hingga PNPM yang sudah berjalan selama 14 tahun tidak
banyak memberikan sumbangan terhadap demokrasi desa, jika tidak bisa dikatakan
sebagai istana pasir. Di saat UU Desa mulai berjalan, bekas dan jejak good governance,
yang ditebarkan oleh PNPM, terntyata tidak ada, sehingga pelaksanaan UU Desa
haru berangkat dari titik nol. Saran mereka, dalam bentuk tekanan warga berdaya
barangkali belum terwujud, tetapi saran tentang pengawasan pemerintah terhadap
desa sudah berjalan secara intensif dan rigid. Pengawasan itu ternyata tidak relevan
dengan kepentingan masyarakat setempat, bahkan Presiden Joko Widodo berujar:
desa lebih menyiapkan laporan, bukan sibuk kerja mengurus rakyat.
Buku Prof HN mengikuti jalan kaum revisionis seperti Jan Breman (1980, 1982),
yang kerap disebut sebagai mazhab Amsterdam, melakukan kritik-revisi atas Mazhab
Leiden (van Vollenhoven) yang eksistensialis-romantis. Kritik HN dalam bukunya
sedikit-banyak menyerupai kritik kaum revisionis, misalnya desa bentukan kolonial
dan negara, desa diawetkan dan dimanfaatkan, desa menjadi alat pemerintahan tidak
langsung untuk penyelenggaraan pemerintahan yang efisien, desa sebagai kesatuan
masyarakat hukum adat itu sesat, dan lain-lain. Tetapi resolusinya tidak konsisten
dengan cara pandang kaum revisionis, malah sebaliknya, Prof HN mengedepankan
resolusi orientalis-modernis. Kalau mengritik habis kolonialisme desa seperti kaum
revisionis, maka jalan yang ditempuh adalah meninggalkan desa, alias tidak usah
bicara desa, tetapi bicara petani hingga reforma agraria. Sebaliknya solusi desa harus
ditempatkan sebagai pemerintahan formal-modern dalam tubuh negara dan
“pemerintahan desa sebagai penyelenggara langsung pelayanan publik” adalah
solusi dempul modernis-teknokratis yang menyepuh tetapi tidak mengobati sakit
abadi yang diderita desa.

Pemerintahan Palsu?
Prof HN menuding pemerintah(an) desa sebagai pemerintahan palsu dengan
menggunakan perspektif hukum tata negara, administrasi negara, dan teori local
government. Menurut cara pandang ini, desa adalah fakta pemerintahan yang harus

10
dipisahkan dengan desa sebagai fakta sosiologis. Pemerintahan desa bukanlah
kesatuan masyarakat adat yang diberi pemerintahan, tetapi harus pemerintahan yang
ditarik dan diintegrasikan ke dalam negara sebagai pemerintahan formal modern.
Aparat desa harus PNS-ASN yang dikelola dengan administrasi negara modern,
bukan dengan cara tradisional, sekaligus bertugas menyelenggarakan pelayanan
publik. Dengan alasan ini, Prof HN menyebut pemerintah(an) desa versi UU Desa
adalah pemerintahan palsu.
Kami menilai bahwa pengetahuan dia tentang pemerintahan bersifat sempit
dan tunggal, sehingga dapat disebut pengetahuan palsu. Pengetahuannya sempit dan
tunggal, karena HN memahami pemerintahan hanya dalam bentuk pemerintahan
formal dengan prinsip administrasi negara modern. Kami berpandangan bahwa
pemerintahan merupakan tradisi alamiah manusia, jauh sebelum negara formal-
modern lahir. Jika seratus orang berkumpul bermasyarakat, di situlah lahir
pemerintahan, yang kemudian hadir konsep self governing community. Pemerintahan
ada karena ada politik, politik ada karena ada manusia yang memiliki kepentingan,
nilai, dan nalar sehat. “Kalau semua manusia adalah malaikat, maka tidak diperlukan
pemerintahan”, demikian ungkap James Madison, Presiden Amerika yang keempat.
Pemerintahan adalah politik yang dilembagakan (Samuel Finer, 1970),
mengandung perbuatan mengatur-mengurus politik manusia itu, yang dengan
bimbingan politik pengetahuan, bekerja dengan ideologi tertentu. Secara universal
hadir ideologi yang mengutamakan kedaulatan rakyat untuk membungkus
kepentingan, akal sehat dan nilai manusia, yang secara institusional dilembagakan
dengan trias politica. Eksekutif dan legislatif adalah lembaga pemegang kedaulatan
rakyat yang menjalankan pemerintahan dan menyelenggarakan negara. Salah satu
perbuatan pemerintahan adalah menghadirkan keputusan politik oleh institusi
pemegang kedaulatan rakyat, yang kemudian disebut dengan hukum atau konstitusi.
Konstitusi-hukum menjadi landasan kekuasaan dan pemerintahan, yang lazim
dikenal sebagai negara hukum atau rule of law. Hukum dijalankan oleh mesin
birokrasi melalui mekanisme administrasi, sekaligus dikawal oleh institusi yudikatif
untuk memastikan keadilan. Pelaksanaan administrasi oleh mesin birokrasi
didukung oleh teknik dan teknologi.
Itulah konstitusi pemerintahan yang juga diformalkan di Indonesia. Tetapi
dalam praktik ada penyimpangan. Politik-kekuasaan yang terlalu mengatur
pemerintahan tanpa hukum disebut dengan despotisme. Kekuasaan-pemerintahan
yang menggunakan konstitusi-hukum secara dogmatis tanpa politik kedaulatan
rakyat, atau rule by law, disebut dengan tirani atau otoritarinisme. Birokrasi negara,
didukung oleh para sarjana, yang dominan menghasilkan hukum tanpa landasan
kedaulatan rakyat, disebut negara peraturan. Birokrasi negara dan administrasi yang
terlalu mengatur pemerintahan disebut dengan negara pegawai atau negara
birokratik. Negara petaruran dan negara pegawai-birokratik itu dua sisi mata uang.
Itulah negara dan pemerintahan hanya untuk dirinya sendiri, bukan untuk martabat
manusia, kedaulatan rakyat dan hak warga negara. Dalam formasi ini, warga mau
meraih satu hak harus memenuhi dulu sepuluh kewajiban birokratik yang diatur
secara detail dalam pertaruran. Sedangkan teknik-teknologi – yang seharusnya
memudahkan manusia dan mendukung pemerintahan – yang mengatur
pemerintahan, disebut dengan teknokrasi.

11
Jika politik terus bertikai yang bertemu dengan warna-warni despotisme,
tirani, negara pegawai-birokratik, negara peraturan dan teknokrasi maka disebut
dengan the death of government atau kematian negara hukum yang berkedaulatan
rakyat dan berkeadilan sosial. Ini sosok pemerintahan NKRI yang diwarisi dari
kolonialisme, yakni warisan binnenlands bestuur (BB) yang memahami dan
menerapkan pemerintahan secara formalistik, hirarkhis, sentralistik dan birokratik,
yang oleh Ben Anderson (1982) sebagai negara lama. Meskipun NRKI yang lahir
tahun 1945 punya ideologi antifeodal dan antikolonial tetapi secara empirik negara
lama sudah terbentuk. Orde Baru kian memperkuat negara lama itu. Hari ini, di
zaman reformasi neoliberal, negara lama BB disepuh dengan dempul teknokrasi.
Warisan BB itulah yang mempengaruhi cara pandang para sarjana ilmu
pemerintahan, sarjana hukum tata negara, sarjana hukum pemerintahan, termasuk
Prof HN, dalam memahami dan mengkonstruksi pemerintahan. Pemerintahan harus
formal, hirarkhis, sentralistik dan birokratik seperti BB. Di luar itu, termasuk self
governing community, dianggap sebagai pemerintahan semu atau palsu. Ini artinya
suka mengritik kolonial tetapi menggunakan pengetahuan-praktik pemerintahan
kolonial untuk mengritik dan melabeli orang lain kolonial. Pemerintah(an) mesti
harus formal, tetapi formalisme bukanlah satu-satunya. Kalau terjebak formalisme
maka akan membuat the death of government, yang gagal mengelola manusia dan
rakyat. Tetapi anti-formalisme bukan berarti harus menyepuh pemerintahan formal
dengan dempul good governance, yang tidak membawa akibat apapun. Selain ada
government yang formal, ada pula governability dan governmentality, maupun
governance yang tidak berbau good. Desa yang punya watak formal dan nonformal
adalah bentuk government yang lain, punya otoritas governing atas kepentingan
masyarakat setempat, misalnya governing the common pool resources untuk
kemakmuran lokal, seperti teori milik Elinor Ostrom (1990).
Pengetahuan pemerintahan milik HN sangat sempit dan tunggal karena
beberapa hal. Pertama, pemerintahan hanya dipahami dalam bentuk bestuur, yang di
Belanda disebut administrasi. Kedua, karena bestuur dan administratif, lalu
pemerintahan terbentuk dan berjalan tanpa politik (antipolitik), atau tanpa
kedaulatan rakyat. Ketiga, pemerintahan harus formal, yang informal, tidak bisa
disebut pemerintahan sejati.
Pemerintahan yang sempit dan tunggal ala HN itu memang bisa disebut salah
satu model pemerintahan, tetapi bukan satu-satunya pemerintahan, yakni
pemerintahan kantor atau pemerintahan birokratik, yang menjalankan negara
pegawai (beamtenstaat, Ruth McVey, 1978) ala kolonial, atau negara administratif yang
disebut oleh Dwight Waldo (1948). Dalam formasi ini, antara negara dan
pemerintahan menjadi satu, dimana administrasi dan birokrasi begitu kuat dan
otonom, memiliki negara dan menjalankan pemerintahan. Dengan demikian,
pengetahuan HN tentang pemerintahan yang sempit, tunggal dan palsu itu adalah
warisan kolonial, tetapi dia gunakan untuk menuding pemerintahan desa sebagai
pemerintahan palsu warisan kolonial.
Apa yang terjadi jika desa diserap dan diubah menjadi pemerintahan formal-
birokratik ke dalam tubuh negara? Kalau para pendiri Indonesia menghendaki desa
sebagai pemerintahan formal modern seperti pemerintahan daerah, maka konstitusi
bisa menegaskan kalimat itu, tanpa harus ribet menyebut kesatuan masyarakat

12
hukum, tanpa harus mengambil kosakata Bahasa Belanda yang sulit dipahami itu.
Jika institusi pemegang kedaulatan rakyat memutuskan UU No. 22/1948 yang
memasukkan desa sebagai pemerintahan lokal otonom atau daerah otonom Tingkat
III, hal itu kami pahami sebagai tafsir atas konstitusi dan keputusan politik yang tepat
pada zamannya. Ingat bahwa pemerintahan demokratik yang dibangun oleh
Soekarno-Hatta beserta para pendiri Indonesia pada tahun 1945, sungguh tidak
sanggup memerintah dan mengendalikan negara birokratik lama (pangreh praja dan
binnenlands bestuur) warisan kolonial, sehingga terseok-seok mencapai tujuan ideal
UUD 1945. Ketika desa ditarik dari kesatuan masyarakat hukum adat (asli) menjadi
pemerintahan formal-modern, maka hal itu sama dengan memindahkan desa dari
mulut singa ke mulut buaya, atau menyerap-menghisap desa ke dalam tubuh negara
birokratik warisan kolonial. Karena dihisap maka desa akan menjadi birokratik yang
dipisahkan dari basis sosiologisnya, kecuali jika sekalian seluruh desa di Indonesia
diubah menjadi kelurahan seperti yang terjadi di kota-kota besar.

Pemerintahan Langsung versus Tidak Langsung


Pembicaraan tentang desa dari sudut pemerintahan biasa ditempatkan dalam
dirkursus dan praktik pemerintahan langsung (direct rule) versus pemerintahan tidak
langsung (indirect rule) dalam literatur kolonial. Pendekatan Eropa untuk mengatur
populasi yang berbeda dari mereka sepanjang garis ras, etnis, agama, dan linguistik,
membuahkan pilihan politik jatuh ke dalam salah satu dari dua logika yang berbeda:
pemerintahan langsung (PL) atau pemerintahan tidak langsung (PTL). Pembedaan ini
bukan soal kelembagaan pemerintahan semata, tetapi mempunyai basis ideologi,
politik pengetahuan, dan politik pengetahuan. Para sejawaran maupun Prof HN
mengrkitik PTL kolonial bukan mengubah pemerintahan menjadi modern, melainkan
memanfaatkan penguasa lokal dan desa untuk melenyelenggarakan pemerintahan
yang efisien (murah). PTL yang efisien, sebagai cirikhas modernis-konservatif,
berguna untuk mendukung eksploitasi ekonomi.

Tabel 2
Pemerintahan langsung versus pemerintahan tidak langsung

Pemerintahan langsung Pemerintahan tidak langsung


Basis ideologi: liberal-radikal Basis ideologi: liberal-konservatif
Negara Leviathan liberal Negara kolonial
Negara, warga dan masyarakat sipil Negara, penguasa lokal, desa,
komunitas asli
Sentralisasi politik Desentralisasi politik
Etatisme unifikasi hukum modern Mengakui hukum adat lokal
(positif)
Politik asimilasi: mengubah tatanan dan Politik akulturasi: pembauran Barat
trasisi asli menjadi tatanan Barat, pada kultur dan tatanan lokal tanpa
sehingga hanya satu tatanan model merusak tatanan lokal, sehingga
Barat. menimbulkan dualisme.
Sumber: diolah dari M. Mamdani (1996, 1999); M. Hechter, 2000; M. Lange, 2009; K.
Mantena (2010); J. Gerring, 2011; A. Lawrence (2017).

13
Kritik ini hanya dengan lensa administrasi-pemerintahan. Efisiensi
pemerintahan sebenarnya hanya pertimbangan nomor sekian. Pertimbangan
utamanya adalah politik kebudayaan, mengapa memilih PTL dan mengapa
menghindari PL. Menghindari PL, lantas memilih PTL, memperlihatkan kontradiksi
antara pilihan politik dengan misi peradaban yang dibawa kolonialis di tanah koloni.
PTL diperjuangkan atas dasar normatif, dipertahankan "sebagai penghormatan
terhadap agensi asli dan, dalam deskripsi diri yang lebih tercerahkan, sebagai bentuk
pluralisme kosmopolitan, yang mengakui kekhasan masyarakat asli" (Mantena 2010:
6). Di Nusantara, struktur PTL dirancang oleh penguasa kolonial Belanda secara
rasialis, divide-and-rule, dengan membedakan antara Pangreh Praja (pribumi) versus
binnenlands bestuur (Eropa) dan desa di lapis bawah sebagai kesatuan masyarakat
hukum asli. Struktur ini hirarkhis-sentratik-birokratik: pangreh praja pribumi
(penguasa lokal, bupati) dan kepala desa dikontrol dari atas oleh BB. BB itu adalah
poros pengawasan kolonial terhadap pangreh praja, dan pangreh praja mengontrol
desa. Struktur hirarkhi PTL itu memiliki manfaat tambahan untuk mencegah
pemberontakan karena penduduk asli diharapkan lebih kecil untuk memberontak
terhadap pemimpin mereka sendiri daripada orang luar.
Melihat dua struktur PTL itu, jika mengikuti J Gerring (2011), perbedaan PL
dan PTL bukanlah dikotomi melainkan kontinum. Kontinum ini mewakili jumlah
kekuasaan yang didelegasikan kepada perantara lokal yang memerintah untuk aktor
sentral yang kuat. Dia mendefinisikan pemerintahan tidak langsung sebagai
"kerangka kerja yang lebih terdesentralisasi di mana kekuasaan pengambilan
keputusan penting didelegasikan kepada entitas yang lebih lemah (Gerring 2011: 377).
Karena lemah, maka maka struktur lokal bisa dikontrol secara terpusat. Pemerintahan
tidak langsung merupakan cara efektif untuk memperluas kekuasaan Eropa dan
mencapai tujuan kolonial melalui pemberian konsesi pada pemegang kekuasaan
lokal.
M. Mamdani (1996, 1999) punya pendapat menarik terhadap masalah ini.
"Terlepas dari klaimnya sebagai bentuk pemerintahan yang lebih ramah, yang
cenderung mereproduksi "adat istiadat" dengan cara yang permisif, PTL adalah
penegasan yang lebih hegemonik oleh kekuasaan kolonial. Tidak seperti
pemerintahan langsung, PTL bertujuan mengubah preferensi massa yang dijajah,
bukan hanya sebatas kaum elite secara sempit”(Mamdani 1999: 862). Pemerintahan
tidak langsung, Mamdani berpendapat, tidak mempertahankan otoritas lokal seperti
yang telah ada sebelum penaklukan kolonial, tetapi mengubahnya dengan
memberdayakan para pemimpin lokal dengan cara tertentu; itu membuat otoritas
mereka seperti "kepalan tangan". Mamdani (1996) dengan demikian menandai
pemerintahan langsung dan tidak langsung sebagai "despotisme terpusat" dan
"despotisme desentralisasi."
Jika Prof HN mengritik-menolak PTL berarti dia sedang mengusulkan PL yang
diberi judul “pemerintah desa sebagai penyelenggara-langsung pelayanan publik”.
Menurut kami, ini cuma solusi dangkal tambal sulam. Tetapi yang jauh lebih penting,
pendukung pemerintahan langsung pada dasarnya membela dan membenarkan
kolonialisme sebagai proyek "beradab" yang akan memodernisasi dan mengubah
tanah kolonial. Negara penakluk menyediakan model yang akan ditiru: birokrasi

14
Eropa, hukum, dan mode pertukaran ekonomi akan ditransplantasikan ke koloni (A.
Lawrence, 2017). Maka kalau mendukung PL harus konsisten secara ideologi dan
politik, yang tidak cukup hanya bicara disain pemerintahan desa. Solusinya harus
membentuk negara Leviathan liberal yang melenyapkan desa, sehingga hanya ada
negara, warga dan masyarakat sipil. Ini menyerupai konsep institusi ekonomi-politik
inklusif versi D. Acemoglu dan J. Robinson (2012): sentralisme politik, struktur politik
yang beragam, jaminan hak warga, dan pencapaian manusia. Kalau memilih PL,
maka jangan lagi bicara desa, atau memanfaatkan pemerintah desa sebagai
penyelenggara langsung pelayanan publik. Ini adalah bentuk kolonialisme versi yang
dimodifikasi dengan cara tambal sulam. Tetapi kalau Anda mau bicara pemerintah
desa sebagai penyelenggara langsung pelayanan publik, maka Anda tidak perlu
melucuti pemerintahan tidak langsung ala kolonial.

Inkonstitusional?
Tidak cukup menuding sesat, HN juga mengeluarkan mantra inkonstitusional
terhadap UU Desa, khususnya pada format pemerintahan desa (termasuk nagari,
gampong, dll) yang dikemas UU Desa. Sependek pengetahuan kami, di republik ini
hanya ada dua orang yang suka menyemburkan mantra inkonstitusional, yakni
Jenderal Soeharto dan Prof. Hanif Nurcholis. Penyembur mantra ini biasa
menggunakan konstitusi tidak cukup sebagai norma, tetapi sebagai diktat dan dogma
kekuasaan untuk menindas orang lain yang dianggap tidak benar menurut
kacamatanya. Orang yang menyukai konstitusi sebagai diktat, yang harus dihapal
dan dibaca secara kaku, disebut sebagai diktator.
Padahal UUD 1945 yang selalu diperdebatkan itu, menurut Prof. Soepomo –
yang dikagumi Prof HN dan Jenderal Soeharto – bersifat singkat dan supel. Supel
berarti diharapkan sanggup mengikuti perkembangan zaman, dan yang jauh lebih
penting, konstitusi bisa diamandemen atau didiskusikan sesuai konteks zaman yang
terus berubah. Ketika banyak orang menggunakan konstitusi sebagai dogma dan
mantra, kami memaknai konstitusi sebagai ideologi, yang di dalamnya bukan hanya
mengandung deretan pasal dan ayat, tetapi mengandung nilai dan spirit kenegaraan
dan kerakyatan, sebagaimana pesan filsafat Baron Monstesquieu.
Aspek konstitusionalitas selalu diperdebatkan dan dipetaruhkan di medan
desa sejak 1945 sampai sekarang. Kedudukan desa dan desain institsional
pemerintahan desa yang jadi komoditas perdebatan, tanpa bicara aspek ekonomi-
politik dan politik pemerintahan. Desa adalah fakta sejarah dan sosiologis, tetapi
batang tubuh UUD 1945 sama sekali tidak menyebut desa, secara eksplisit. UUD 1945
hasil amandemen juga tidak mengenal desa secara eksplisit, padahal pada era
reformasi, aspirasi otonomi desa begitu kuat membahana di seluruh pelosok negeri,
sebagai respons mereka atas UU No. 5/1979 yang merusak-menghancurkan otonomi
desa. Dalam UUD 1945, desa menempati posisi residu, sebagai contoh dari penjelasan
konsepsi “250 - zelfbesturende landschappen dan volksgemeenschappen” atau
pemerintahan lokal dan kesatuan masyarakat hukum adat atau komunitas desa. Frasa
itu menimbulkan perdebatan yang rumit dan sengit, dalam memaknai dan
mendudukkan desa.

15
Ada pihak yang memahami zelfbesturende landschappen dan volksgemeenschappen
merupakan satu entitas, dimana desa atau sebutan lain merupakan campuran
keduanya, yang membentuk kesatuan masyarakat hukum adat. Ada pula yang
membedakan antara zelfbesturende landschappen dengan volksgemeenschappen.
Argumen perbedaan ini menimbulkan dua posisi: (1) desa sebagai volksgemeen
schappen atau self governing community yang betul-betul murni, independen, tanpa
label pemerintahan formal, dan berada di luar negara; (2) desa sebagai organisasi
pemerintahan daerah (locale rechtsgemeenschappen atau local self government) yang
berada dalam tubuh negara, sebagai pemerintahan formal, atau yang kemudian
dikenal sebagai daerah otonom tingkat III.
Dari sini debat dimulai. Di sepanjang sejarah, desa khususnya kedudukan
desa, selalu menjadi bahan perdebatan yang tidak pernah selesai, bersamaan dengan
undang-undang yang tidak berdiri tegak dan silih berganti. Perdebatan dimulai
dengan sebuah pertanyaan: desa itu fakta sosiologis atau fakta pemerintahan? Dari
basis pertanyaan ini, kami menghadirkan tipologi kedudukan desa, dengan
memperhatikan dua variabel itu, sebagaimana tersaji dalam bagan 1.

Bagan 1
Tipologi kedudukan desa

Fakta Sosiologis

Bukan Ya

Bukan Kelurahan Komunitas

Fakta
pemerintahan (1) Organisasi pemerintahan Masyarakat
lokal otonom (local self berpemerintahan
government atau locale sendiri (self
Ya rechtsgemeenschappen) governing community
(2) Unit pemerintahan atau
negara lokal (local state volksgemeenschappen)
government)

Secara historis-sosiologis, jauh sebelum kolonial, desa adalah fakta sosiologis


dan fakta pemerintahan. Desa adalah masyarakat yang memiliki pemerintahan
sendiri, mengatur-mengurus rumah tangganya sendiri atau kepentingan masyarakat
setempat. Tetapi perjalanan panjang membuahkan tipe dasar yang tersaji dalam
bagan 1 itu. Pertama, kelurahan: desa yang tanpa pemerintahan dan tanpa sosiologi.
Kelurahan hanya unit administratif yang tidak melakukan perbuatan politik dan
hukum. Kelurahan pada umumnya juga bukan komunitas yang mempunyai kesatuan
organik seperti halnya di desa. Kedua, komunitas, desa hanya sebagai fakta sosiologis

16
tanpa fakta pemerintahan. Ini yang terjadi di Barat. Negara membubarkan desa
sebagai organisasi kekuasaan dan pemerintahan. Ketiga, desa dikonstruksi bukan
sebagai fakta sosiologis melainkan hanya sebagai fakta pemerintahan. Ini bisa
melahirkan desa sebagai local self goverment ataupun daerah otonom tingkat III
sebagaimana pernah dikonstruksi oleh UU No. 22/1948 dan UU No. 19/1965. Bisa
juga melahirkan local state government atau desa sebagai kepanjangan tangan negara
yang terpisah dari basis sosiologisnya. Ini yang terjadi di zaman Orde Baru
sebagaimana dikonstruksi oleh UU No. 5/1979. Keempat, self governing community,
yakni desa sebagai fakta sosiologis dan sebagai fakta pemerintahan. Desa adalah
masyarakat yang membentuk pemerintahan sendiri secara otonom tanpa
berhubungan dengan negara. Ini desa yang mengisolasi dirinya sendiri, atau sengaja
diisolasi oleh negara.
Menurut cara pandang hukum pemerintahan, pilihan kedudukan desa harus
tegas, jatuh pada salah satu tipe, yang tidak mencampuradukkan satu tipe dengan
tipe lainnya. Pemerintah kolonial mencampuradukkan antara local state government
dan self governing community, atau desa sebagai kesatuan masyarakat hukum pribumi
(asli) yang ditumpangi dan ditindas oleh kewajiban desa sebagai kepanjangan tangan
pemerintah-negara.5 Pilihan pada hukum pemerintahan semacam ini tentu tidak
lepas dari konteks sosiologis agar bisa diterima oleh desa, tetapi secara ekonomi
politik dan politik pemerintahan, kepura-puraan sosiologis ini merupakan kedok
untuk penindasan politik dan penghisapan ekonomi. Karena itu campur aduk itu,
menurut perspektif hukum pemerintahan, merupakan disain yang salah. UU No.
22/1948, yang antikolonial, melakukan koreksi atas tindakan kolonial, yang memilih
jalan pembentukan atau penempatan desa sebagai local self government, sebuah
bangun pemerintahan lokal yang terpisah dari basis sosiologis. Desa bukan berada di
luar negara yang ditumpangi negara, melainkan ditarik ke dalam negara menjadi
organisasi pemerintahan modern, atau sebagai daerah otonom tingkat IIII. Menurut
pakar hukum pemerintahan, UU 22/1948 itu merupakan pengaturan kedudukan
desa yang paling tepat dan sesuai dengan UUD 1945. Tetapi susunan yang seragam
ini belum teruji dengan baik dan belum dilaksanakan di seluruh Indonesia. Saat itu
belum diketahui apakah UU ini diterima luas oleh desa (atau sebutan lain) di seluruh
Indonesia, mengingat desa ditempatkan sebagai pemerintahan yang dipisahkan dari
basis sosiologisnya.
Semuanya berubah setelah Orde Baru hadir. Pada tahun 1979 lahir UU No.
5/1979 yang membentuk desa sebagai local state government dan membentuk
kelurahan. Posisi desa sebagai local state government sangat tegas, yakni sebagai unit
pemerintahan terendah di bawah camat, yang mempunyai batas-batas tertentu
mengatur-mengurus rumah tangganya sendiri maupun memilih kepala desa dan
pamong desa, tetapi semuanya dikontrol dari atas. Di bawah UU 5/1979,
pemerintahan desa terpisah dari basis sosiologis di masyarakat, kepala desa dibuat

5Penting untuk dicatat bahwa kolonialisme membentuk negara pegawai alias negara
birokratik, yang tidak memisahkan antara pemerintah dan negara. Tidak ada rakyat dalam
formasi pemerintahan. Negara bukan milik warga, tetapi milik pemerintah. Pemerintah
bukan milik rakyat tetapi milik penguasa. UUD 1945 merombak ini dengan menegaskan
bahwa rakyat membentuk pemerintah, pemerintah mengatur negara, negara melindungi dan
melayani warga dan masyarakat.

17
menjadi penguasa tunggal yang dikontrol dari atas. Karena punya watak seragam dan
meminggirkan adat, maka UU 5/1979 menghadapi gelombang protes dari berbagai
daerah, yang mereka anggap sebagai Jawanisasi.
Kelurahan yang diperkenalkan UU 5/1979 merupakan sebuah rekayasa
teknokratis-modernis bersamaan dengan proyek modernisasi global pada era perang
dingin. Menurut kacamata orientalis Barat pada era itu, desa merupakan basis
komunisme, sarang pemberontakan, tempat kekacauan, kemiskinan,
keterbelakangan, yang tentu dianggap, sebagai musuh peradaban Barat dan
kapitalisme. Dengan begitu desa harus diubah dengan cara modernisasi dan
pembangunan perdesaan (rural development), termasuk proyek revolusi hijau, agar
orang desa berubah menjadi maju, modern, beradab, makmur, sekaligus bisa
dikontrol oleh negara dan kekuatan global (Nick Cullather, 2006; Nicole Sackley,
2011). Imajinasi lama tentang desa berubah menjadi imajinasi baru berupa
pembangunan (Manish Thakur, 2007). Desa (institusi) yang dikonstruksi sebagai
pedesaan (wilayah) itu terus-menerus disentuh dengan modernisasi dan
pembangunan, yang lambat laun akan berubah menjadi perkotaan. Ketika sudah
berubah wajahnya, dan tentu basis sosiologis desa mengalami keruntuhan, maka desa
itu akan diubah menjadi kelurahan. Kalau sudah menjadi kelurahan, maka otonomi
dan demokrasi akan hilang, meskipun ada janji pelayanan publik yang lebih untuk
warga kelurahan. Dengan demikian, pembentukan kelurahan bukan sekadar perkara
desain teknokratik dari sisi hukum dan administrasi pemerintahan, tetapi juga
strategi ekonomi-politik dan politik pemerintahan untuk mengambil tanah desa dan
menghilangkan desa.
UU No. 22/1999 merupakan koreksi atas UU No. 5/1979. Kewenangan asal-
usul desa diakui untuk mengakhiri penyeragaman dan Jawanisasi ala UU No. 5/1979.
UU 22 juga mengandung demokratisasi, yang memotong kuasa tunggal kepala desa,
dengan melembagakan Badan Perwakilan Desa. Dua politik pemerintahan ini yang
memperoleh sambutan hangat dari berbagai kalangan. Saya sendiri juga mulai belajar
kembali tentang desa, termasuk membangun jaringan pembelajaran, dan ikut
mendampingi sejumlah desa. Tetapi kedudukan dan kewenangan desa menurut UU
22/1999 masih problematik. Desa dilihat dari hukum pemerintahan adalah campuran
antara local state government dan self governing community, meski dari sisi politik
pemerintahan, warna local state government antara UU 22/1999 dengan UU 5/1979
sungguh berbeda. Di bawah UU 5/1979 seluruh aspek desa, termasuk pemilihan
kepala desa dikontrol ketas dari atas, sedangkan di bawah UU 22/1999, pemilihan
kepala desa dan tata pemerintahan desa menjadi domain desa. Satu hal yang
problematik adalah susunan pemerintahan tidak langsung (indirect rule) dan
kewenangan desa yang diserahkan dari kabupaten/kota.
Bangunan kedudukan dan kewenangan desa itu tetap dipertahankan oleh UU
32/2004. Bahkan UU ini memotong institusi demokrasi desa yang dinilai terlalu
berisik dan menciptakan sengketa antara BPD dan kepala desa. Di sisi lain, UU
32/2004 membuka ruang perencanaan partisipatif dan alokasi dana desa (ADD). Pada
titik ini terjadi kolaborasi antara pemimpin desa dan pegiat desa, baik
memperjuangkan ADD maupun mendorong perencanaan desa. Meskipun kecil, dua
isu ini sangat meluas di Indonesia, yang di tahun 2008 menghadirkan semangat dan

18
gerakan “desa membangun”, sebagai counter atas proyek PNPM. Setelah 2010 isu
perencanaan dan ADD disusul dengan hiruk-pikuk rintisan BUMDesa.
Bagaimana dengan UU Desa? RUU Desa mulai berjalan sejak 2006, kemudian
mulai tahun 2007 berproses menyusun naskah akademik dan draft RUU. Proses ini
melibatkan begitu banyak praktisi dan ahli, sehingga membuat debat yang panjang
dan melelahkan. Setidaknya ada empat kelompok aktor, tentu dengan pandangan
yang berbeda-beda, mulai dari diskusi awal sampai pembahasan di DPR (2012-2013).
Pertama, kelompok mazhab “birokratik-administratif” terutama dari para
penyusun di tubuh pemerintah. Sebagai pewaris dan pengguna tiga UU sebelumnya
(UU No. 5/1979, UU No. 22/1999 dan UU No. 32/2004), mereka memahami desa
secara sempit sebagai “pemerintahan desa” yang berada dalam sistem pemerintahan
kabupaten/kota, seperti konsep pemerintahan tidak langsung (indirect rule) ala
binnenlands bestuur di zaman kolonial. Mereka mengacu pada Pasal 18 ayat (7). Desa
tampak seperti local state government, atau kepanjangan tangan pemerintah, yang
dibentuk melalui desentralisasi-residualitas. Mazhab ini pengin membuat desa maju,
mandiri dan sejahtera, seraya menghindari kosakata desa demokratis.
Kedua, kelompok mazhab legal-formalis, terutama para sarjana hukum tata
negara, hukum pemerintahan dan administrasi. Mereka tidak berangkat dari dunia
empirik desa, melainkan berangkat dari perintah Pasal 18 UUD 1945. Seperti terlihat
dalam tabel 2, mereka adalah kaum anti-desa, yang berpendapat bahwa apa yang
disebut “kesatuan masyarakat hukum adat” dalam Pasal 18B ayat (2) bukan desa,
sebab desa adalah konstruksi kolonial dan bentukan Orde Baru. Desa harus
dipisahkan antara fenomena pemerintahan dan fenomena sosiologis sebagai adat.
Mengikuti Pasal 18, menurut mereka, desa adalah “pemerintahan kaki”, yang bukan
sebagai kesatuan masyarakat hukum adat yang diberi fungsi pemerintahan desa.
Pemerintahan kaki itu, sama dengan daerah kecil, yang tidak berada di luar negara,
melainkan di dalam negara, sekaligus disertai dengan perangkat PNS seperti halnya
daerah besar. UU No. 22/1948 merupakan referensi utamanya, meskipun UU ini
sama sekali tidak berlaku. Dalam posisi ini maka pemerintahan desa mempunyai
kewenangan atributif yang lebih jelas.
Karena UU Desa berbeda dengan pandangan mereka, kaum legal-formalis,
terutama Prof. HN, berpandangan bahwa pemerintahan tidak langsung dan
konstruksi hybrid (local self government dan self governing community) dalam UU Desa
sesat, inkonstitusional, alias bertentangan dengan UUD 1945. Konsepsi pemerintahan
menurut UU Desa itu disebut sebagai pemerintahan semu atau pemerintahan palsu,
karena pemerintahan dalam UU tidak formal dalam negara dan tidak memiliki PNS.
Ketiga, kalompok mazhab teknokratik-rasionalis, yang berasal dari para
teknokrat Bappenas, Kementerian Keuangan, maupun banyak ilmuwan politik
pemerintahan, ekonomi, administrasi publik dan sebagainya. Mereka agak alergi
dengan desa sebagai pemerintahan, suatu gagasan yang berbeda dari Kemendagri
dan para ahli legal-formalis. Bappenas dan Kementerian Keuangan tidak setuju pada
dana desa yang besar, sebab desa bukanlah lapis pemerintahan dan dana desa tidak
akan efektif karena kapasitas desa yang rendah. Para teknokrat ini lebih suka dengan
konsep desa sebagai pusat pertumbuhan ekonomi, sehingga mereka melihat betapa
pentingnya pembangunan kawasan perdesaan, untuk memacu pertumbuhan
ekonomi. Para ilmuwan administrasi publik juga alergi dengan kosakata

19
pemerintahan desa sebab hal ini akan menambah lapis pemerintahan yang akan
membuat inefisiensi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Mereka juga mengatakan
bahwa otonomi desa itu akan menganggu otonomi daerah, sehingga solusinya, bukan
otonomi desa melainkan mengoptimalkan otonomi daerah dan pelayanan publik
yang sampai pada masyarakat desa. Ekonom setuju dengan pembangunan
perdesaan, tetapi menolak konsepsi Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa). Di mata
ekonom, desa bukanlah makhluk ekonomi melainkan makhluk sosial. Desa tidak
layak disebut makhluk ekonomi, sebab skala ekonominya kecil dan tidak efisien,
sehingga mereka bilang bahwa BUMDesa tidak tepat. Pendapat ini didukung oleh
para ahli hukum bisnis dan pejabat Kementerian Kum HAM. Kata mereka, desa atau
pemerintah desa tidak bisa menanam investasi atau membentuk badan usaha. Cara
berpikir ini sungguh mengisolasi desa, seperti jalnya kumpeni di masa lalu. Debat ini
cukup panjang, akhirnya legal standing BUMDesa tidak tuntas, sebagaimana tertuang
eksplisit dalam Pasal 87 ayat 3 UU Desa.

Tabel 2
Debat tentang desa dan kesatuan masyarakat hukum adat (KMHA)
dalam UUD 1945 Pasal 18B Ayat 2

Pandangan Argumen Aktor


Anti-desa Desa tidak termasuk KMHA. Nagari Jimly Asshiddiqie,
termasuk KMHA. Desa adalah Mahkamah Konstitusi,
pemerintahan semu-palsu bentukan Hanif Nurcholis
negara sebagai bagian dari
pemerintahan daerah.
Pro-desa KMHA adalah desa, nagari, marga, DPR-MPR yang
gampong, atau sebutan lain. KMHA mengamandemen UUD
adalah kesatuan atau kumpulan 1945, Bagir Manan, M.
MHA yang punya basis wilayah. Fadjrul Falaakh, Yando
Zakaria, Ibnu Tricahyo,
Maria Rita Roewiastoeti
Meragukan Masih ragu dan perlu kajian Saldi Isra, Ahmad Sodiki
Desa mendalam apakah yang disebut
KHMA adalah desa atau sebutan
lain
Mengabaikan Mengutamakan masyarakat adat Aliansi Masyarakat Adat
desa dan (MA) yang bukan KHMA dan desa. Nusantara dan pegiat
KMHA MA yang punya HAM dan tanah adat
ulayat maupun hutan adat sebagai
hak keperdataan. Tidak mau masuk
ke UU Desa, melainkan
memperjuangkan RUU Pengakuan
dan Perlindungan Masyarakat Adat

20
Keempat, kelompok realis-konstruktivis (ekonomi-politik, sosiologi dan
politik pemerintahan) yang terdiri dari politisi Pansus, para kepala desa, para pegiat
dan pendukung desa, antropolog, termasuk para penganut sosiologi hukum. Mereka
melihat desa secara empirik, memperhatikan aspirasi yang berkembang luas di
Indonesia, dan kemudian baru mencarikan payung konstitusi, yakni Pasal 18B ayat
(2). Mereka tidak terkungkung pada cara pandang hukum pemerintahan, melainkan
bicara tentang problem-problem empirik sosiologis, politik pemerintahan desa dan
ekonomi-politik, termasuk bicara soal paradigma hubungan antara negara dan desa.
Secara hukum, kaum realis-konstruktivis memperoleh banyak ilham para
pihak yang pro-desa, termasuk Prof. Selo Soemardjan maupun para sosiolog hukum.
Selo Soemardjan muda banyak berkiprah merancang reformasi desa ala DIY periode
1946-1948. Selo muda juga menyoroti debat hukum atas desa yang tidak berakhir,
yang membuat pengaturan silih berganti. Pada tahun 1956, disambung tahun 1992
dan 2000, Selo berujar bahwa sikap politik pemerintah terhadap desa sangat tidak
jelas. Kekosongan politik ini membuat debat hukum terus terjadi tiada akhir, tanpa
mampu menyelesaikan masalah desa.
Sebagian pakar hukum yang lain, termasuk para sosiolog hukum, memberi
ilham dan mendukung RUU Desa (bukan RUU Kesatuan Masyarakat Hukum Adat),
termasuk memberi endorsement konstitusionalitas atas R-UU Desa. Jika kaum legal-
formalis yang anti-desa bilang bahwa “kesatuan masyarakat hukum adat” bukan
desa, kaum sosiologi hukum yang pro-desa bilang bahwa apa yang disebut dengan
kesatuan masyarakat hukum adat adalah desa, nagari, gampong, marga, atau
sebutan-sebutan lain.
Hadir dalam proses amandemen UUD 1945, Prof Bagir Manan mengatakan
pendapatnya:

Yang ketiga itu yang bertalian dengan masyarakat hukum adat. Ini juga
pengertiannya harus jelas. Ini bukan masyarakatnya hukum adat, tapi masyarakat
hukum yang berdasar hukum adat. Sebab bahasa Belanda itu rechtsgemeenschap,
rechtsgemeenschap. Jadi satu lingkungan masyarakat yang berdasarkan hukum
adat. Rechtsgemeenschap itu adalah satu entity, satu legal entity. Bisa bersifat
teritorial, bisa teritorial genealogis atau merupakan geneal. Ciri dari satu
rechtsgemeenschap asli ini adalah mempunyai kekayaan sendiri, dan mempunyai
sifat keanggotaan. Dalam arti hukum bukan riil anggota gitu sehingga dia bisa
membedakan orang desanya dan bukan orang desanya, itu kita akan begitu.
Ulayat itu merupakan salah satu kekayaan dari rechtsgemeenschap itu (Mahkamah
Konstitusi, 2010: 1356)

Pada sisi lain, Bagir Manan juga mengingatkan bahwa mengakui dan
menghormati tidak cukup, tetapi harus mengembangkan dan modernisasi
pemerintahan desa. Berikut pendapatnya:
Nah, terus, mengapa mengembangkan? Jadi tidak hanya sekedar mengakui dan
menghormati. Ini satu pemikiran antithesis dari politik kolonial terhadap pemerintahan
asli. Sebab pemerintahan kolonial itu memelihara pemerintahan desa tapi tidak
mengembangkan dan itu yang kita jalankan sampai pada misalnya Undang-Undang Nomor
5 tahun ’79. Yaitu politik terhadap pemerintahan asli itu tidak ada prinsip membangunnya.

21
Tapi memeliharanya saja sehingga tidak jalan dengan baik. Maka itu kita masukkan, jadi
ada kewajiban mengembangkan sehingga terjadi modernisasi terhadap pemerintahan asli
itu. Itu yang kita inikan. Nah, betul yang kami maksud asli itu adalah karena kita sulit sekali
kalau disebut desa sedangkan di Sumatera ada nagari, ada segala macamnya begitu ya.
Maka ada marga yang berbeda-beda sehingga kita pakai asli saja. Dengan asli itu
terkandung Desa asli, kemudian hutan, kemudian kampung, segala macamnya itu. Itu yang
kita maksud dengan asli itu. Nah, mengapa kata pelayanan umum? Kita tidak keberatan,
kami tidak keberatan untuk memasukkannya. Mengapa tidak masuk? Karna secara
konseptual, pemerintahan otonom itu ada fungsinya pelayanan umum. Jadi memang sudah
merupakan satu fungsinya ada fungsi pelayanan umum. Fungsi services itu mestinya begitu.

Soal desa atau sebutan lain sebagai kesatuan masyarakat hukum adat (Pasal 18
B ayat 2) dan pemerintahan desa (Pasal 18 ayat 7) dalam UUD 1945 sudah selesai.
Para penggugat perlu membaca secara seksama risalah amandemen yang terkait
Pasal 18, khususnya Buku IV. Badan pekerja dan perumus telah banyak berdebat dan
berbicara tentang nagari, desa, gampong dan seterusnya, dan pemerintahan desa. dua
orang, Slamet Effendy Yusuf maupun Ali Maskur Musa, menegaskan satu frasa
“kesatuan masyarakat hukum adat” untuk menyebut semuanya. Ini yang kemudian
dibungkus dalam Pasal 18 B ayat (2).
Setelah ketok palu atas Pasal 18, Laden Mering dari F-PG mempertanyakan
ketiadaan kata “pemerintahan desa” dalam rumusan Pasal 18 Ayat (1). Lebih lanjut
Laden menyatakan bahwa rumusan Pasal 18B Ayat (2) sudah tepat. Laden
mengatakan sebagai berikut:

Kemarin saya mengajukan pertanyaan mengenai Pasal 18 Ayat (1), yaitu di mana letak
pemerintahan desa, dan sampai sekarang saya belum mendapat jawabannya. Kedua, mengenai
Pasal 18B Ayat (2), menurut pendapat saya ini sudah sangat tepat jadi mohon jangan lagi diutak-
atik ini.

Terhadap pertanyaan di atas, Jakob Tobing selaku Ketua Komisi A memberikan


penjelasan sebagai berikut:

Jadi itu memang dibicarakan secara khusus bagaimana apakah ini nanti akan tercakup sampai
kepada satuan yang terkecil. Jadi dalam tanda petik ya, dalam hal ini desa dan kadang-kadang
dalam bentuk-bentuk yang khas, asli misalnya. Itu dicakup di dalam Ayat (7) mengenai susunan
dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah dan kita tahu bahwa pada kenyataannya itu
ada satuan-satuan sampai dengan desa dan ada juga satu kenyataan bahwa tadinya ada tetapi
dalam proses penyeragaman yang terjadi beberapa tahun selama beberapa tahun belakangan ini,
itu menjadi ada perubahan-perubahan juga. Tetapi tetap ada tingkatnya itu misalnya pada tingkat
desa apa dusun, begitu apa marga, begitu. Jadi nanti itu diatur dan mungkin tidak sama untuk
setiap daerah. Makanya ada keragaman dengan memperhatikan kekhususan daerah.

Dengan demikian, posisi hybrid desa dalam UU Desa sudah jelas, yakni posisi
self governing community (Pasal 18 B ayat 2) sebagai dasar dan dipadukan dengan
local-self government (Pasal 18 ayat 7) untuk pengembangan desa. Desa tidak ditarik
ke dalam dan dijadikan sebagai organ pemerintahan formal karena dia punya Pasal
18 B ayat 2, sebaliknya dengan Pasal 18 ayat 7, berarti tidak membiarkan dan
mengisolasi melainkan dikembangkan untuk berperan melakukan pelayanan dengan
term urusan pemerintahan.

22
Sebelum, selama dan sesudah UU Desa lahir, debat soal posisi itu terus
berlanjut. Kaum dogmatis legal-formalis selalu mengatakan UU Desa itu sesat, tidak
taat pada konstitusi, rekognisi-subsidiaritas juga tidak benar menurut teori
desentralisasi. Itu kan pandangan mereka. Tim RUU Desa juga mempunyai teori yang
dirajut sendiri, yang tidak dogmatis pada buku-buku text tentang desentralisasi. Pada
saat yang sama, endorsement pakar sosiologi hukum terhadap konstruksi desa atau
nama lain dengan Pasal 18 B ayat (2) juga bermunculan. Sebagai contoh, berikut ini
adalah pendapat Maria Rita:

Karena tidak ada penjelasan lebih lanjut, maka istilah “kesatuan masyarakat
hukum adat” yang digunakan pada UUD 1945 Pasal 18B ayat (2) amandeman
kedua dalam tulisan ini ditafsirkan sebagai “kumpulan dari beberapa
masyarakat hukum adat” yang dipersatukan dalam suatu wilayah publik
nagari/desa/gampong/marga/banjar tertentu sebagai satuan pemerintahan
nasional terkecil di suatu daerah. Dengan demikian, dapat dibedakan antara
“hak sekelompok orang atas wilayah hidup yang diperolehnya turun-temurun
(ancestral domain)” sebagai hak keperdataan (privaatrechtelijke) yang
alamiah/bawaan dan “hak nagari atas wilayah administrasi pemerintahan”
yang terjadi akibat penggabungan dalam rangka bernegara sebagai suatu hak
yang bersifat publik (publiekrechtelijke) (Maria Rita Roewiastoeti, 2014).

Dengan begitu, mantra inkonstitusional dari Prof HN hanya sebuah mantra.


Namun, soal mantra itu, biarkan Mahkamah Konstitusi yang berbicara, menunggu
usulan judicial review dari para pemangku desa yang memperoleh kerugian atau
ketidakadilan karena UU Desa. Atau Prof HN lah yang perlu ajukan JR ke MK, karena
merasa dirugikan oleh UU Desa.

Kesimpulan
Mantra inkstitusional muncul dari tirani mazhab hukum dogmatis legal-
formalis yang memperalat konstitusi untuk membenarkan dirinya sendiri, sekaligus
menyalahkan orang lain. Melawan mazhab dogmatis dan melampui mazhab
normatif, kami memaknai konstitusi sebagai ideologi dengan bungkus “negara
semesta”. Negara semesta ini membungkus negara gotong-royong, negara pengurus,
negara integralistik sekaligus melampui negara universal (baca: liberal). Negara
semesta ini bukan memelihara dan menindas jiwa-raga desa yang sakit seperti negara
kolonial binnendsland bestuur, bukan pula melenyapkan desa seperi negara
Leviatahan liberal, bukan pula negara developmentalia-modernis yang membangun
sambil merusak desa dan memajukan sambil melemahkan desa; melainkan negara
melindungi dan memperkuat desa.
Pengetahuan Prof HN tentang kolonialisme tidak lengkap. Kolonialisme
adalah orientalisme, liberalisme, modernisme dan impreralisme. Ia malah

23
menggunakan ideologi-pengetahuan kolonial untuk mendukung kedudukan dan
disain institusional pemerintah(an) desa sebagai warisan kolonial. Dengan gaya
orientalis-modernis, Prof Hanif menyalahkan desa sebagai kesatuan masyarakat
masyarakat hukum dan pengin menarik menjadi pemerintahan formal-modern ala
binnenlands bestuur dan pangreh praja. Kolonialisme menuding kolonial.
Kalau Prof HN mau kritis-revisionis seperti Jan Breman, maka harus konsisten
memusuhi (oposisi) desa, tanpa harus menjadi orientalis-modernis yang menekak-
nekuk desa sesuai jalan pikiran Anda. Kalau Anda orang revisionis maka Anda lebih
baik meninggalkan desa, lalu bicara petani dan reforma agraria. Tetapi kalau Anda
seorang orientalis-modernis yang bergaya revisionis, maka kontradiksi akan mudah
ditermukan dalam diri Anda.
Pemahaman pemerintahan hanya dengan hukum tata negara dan local
government sama sebangun dengan konsepsi binnenlands bestuur warisan kolonial
yang membuat susunan pemerintahan secara formalistik, hirarkhis, sentralistik dan
birokratik. Jika di kesempatan lain Anda banyak bicara tentang good governance, maka
ini hanya dempul orientalis-modernis untuk menyepuh BB tanpa membawa akibat
apapun. Model kolonialisme lama dan imperalisme baru ini telah berkontribusi
terhadap the death of government, yang tidak punya governability untuk membuat
negara semesta.
Jika Prof HN anti pemerintahan tidak langsung, maka Anda seharusnya
konsisten mendukung pemerintahan langsung secara total, yakni mendukung negara
Leviathan liberal. Yang paling minimal, kalau Anda bicara pemerintahan desa sebagai
penyelenggara-langsung pelayanan publik, maka Anda tidak perlu melucuti
pemerintahan tidak langsug kolonial agar Anda tidak tergelincir menjadi kolonialis
model lain. Yang berikutnya, seperti halnya good governance, konsep pemerintah
desa sebagai penyelenggara-langsung pelayanan publik hanya sebuah dempul
orientalis-modernis yang tidak sanggup mengobati jiwa-raga desa yang sakit abadi.
Memahami UU Desa tidak cukup hanya dengan lensa hukum pemerintahan
yang sempit dan dangkal. Dilandasi mazhab konstruktivis, memahami UU Desa
harus dimulai dan mengutamakan misi besar: “bahwa dalam perjalanan
ketatanegaraan Republik Indonesia, Desa telah berkembang dalam berbagai bentuk
sehingga perlu dilindungi dan diberdayakan agar menjadi kuat, maju, mandiri, dan
demokratis sehingga dapat menciptakan landasan yang kuat dalam melaksanakan
pemerintahan dan pembangunan menuju masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera”.
Ini adalah ideologi dan politik yang tidak pernah ada pada rezim sebelumnya, mulai dari
rezim kolonial hingga rezim developmental dan rezim neoliberal.
Kalau Anda membayangkan desa sebagai local self government yang modern dan
diserap ke dalam tubuh negara, maka Anda sedang membenarkan penyerapan desa ke
dalam tubuh binnenlands bestuur (yang formalistik, hirarkhis, sentralistik, birokratik)
menjadi kaki-tangan pemerintahan. Ini akan semakin menambah daftar the death of
government, sekaligus memperparah pesakitan jiwa-raga desa. Anda perlu tahu juga
bahwa diskursus otonomi asli maupun republik kecil bukanlah fakta bukan pula ilusi
tetapi sebagai bentuk politik representasi, resistensi dan negosiasi desa – seperti prinsip
desa mawa cara, negara mawa tata -- terhadap intervensi-imposisi negara BB yang disepuh
dengan dengan teknokrasi. Tetapi toh rezim BB yang disepuh ini tetap melakukan
intervensi-imposisi dengan teknokratisasi-birokratisasi, sebab tindakan ini memperoleh
pembenaran dari keyakinan kaum revisionis.

24
Kalau Anda pro pada desa sebagai local self government berarti Anda mengacu
Pasal 18 ayat 7 dalam konstitusi, yang menegasikan Pasal 18 B ayat 2. Padahal konstitusi
yang dibuat secara konstitutif oleh institusi pemegang kedaulatan rakyat berbicara
“kesatuan masyarakat hukum adat” sebagai desa, nagari, gampong, maupun sebutan
lain-lain. Kalau sudah begini, kembali ke awal, apakah mantra inkonstitusional yang
disukai kaum dogmatis masih relevan? Jangan-jangan ini adalah kaum dogmatis yang
sok konstitusionalis yang inkonstitusional.
Akhirnya kalau Anda akan tetap konsisten menjadi orientalis-modernis, maka
jangan menuding orang lain sebagai pewari kolonial. Sebaliknya kalau Anda anti-
kolonial, maka jangan menjadi orientalis-modernis, yang selalu bicara dengan hukum
dan administrasi pemerintahan ala binnenlands bestuur, melainkan Anda perlu hijrah ke
tradisi pasca-kolonial.

25

Anda mungkin juga menyukai