NIM: 10011381823174
Adanya lahan basah cukup menarik perhatian, karena jenis lahan ini cocok
digunakan untuk berbagai macam area, baik untuk area sawah, perkebunan,
tambak dan lain sebagainya. Namun, seringkali banyak pemahaman yang kurang
mengenai lahan basah, termasuk bagaimana cara untuk memperoleh serta
mengelolanya.
Secara sederhana pengertian lahan basah adalah tempat bertemunya air dengan
tanah, seperti kawasan bakau, lahan gambut, rawa-rawa, sungai, danau, delta,
daerah dataran banjir, serta persawahan.
Menurut Maltby (1986), lahan basah adalah salah satu istilah ekosistem
yang terbentuk oleh dominasi air dan ciri serta prosesnya dikendalikan oleh
air. Maltby juga menambahkan bahwa wetland merupakan tempat yang
cukup basah dalam jangka waktu panjang untuk perkembangan vegetasi
serta organisme yang harus beradaptasi secara khusus. Menurutnya, lahan
basah diartikan berdasarkan parameter, antara lain vegetasi hidrofitik,
hidrologi, serta tanah hidrik.
Menurut Konvensi Ramsar (1971), lahan basah berarti sebagai wilayah
lahan gambut, rawa, dan air yang terbentuk secara alami atau buata dan
memiliki sifat sementara atau permanan, tidak mengalir (diam) atau
mengalir dengan sifat payau, asin atau tawar, serta mencakup wilayah air
marin yang ketika surut tidak lebih dari enam meter. Konvensi Ramsar
membagi lahan berair berdasarkan ciri fisik dan biologi menjadi 9 kategori
buatan dan 30 kategori alami. Lahan tersebut merupakan kawasan penting
untuk menyimpan air, pengendalian kualitas air, serta habitat flora dan
fauna.
Metode Analisis Resiko Lahan Basah Dan Perangkingannya
Root cause analysis adalah suatu proses mengidentifikasi penyebab utama suatu
permasalahan yang terjadi di lahan basah dengan menggunakan pendekatan yang
terstruktur.
Secara umum, kebakaran lahan dan hutan rawa gambut lebih dari 90% disebabkan
oleh faktor manusia dalam hal ini pengelola lahan adalah masyarakat sipil maupun
pihak perusahaan (subagyo, 2003). Kemudian data dari platform daring Pantau
Gambut pada tahun 2019 menyaikan, terdapat 5.138 titik api yang berasal dari
perkebunan kelapa sawit dari 7 Provinsi di Indonesia. Sumatera Selatan menjadi
penyumbang titik api terbesar kedua dengan jumlah 984 titik api, setalah Jambi
sebanyak 2.227 titik api (Pantau Gambut, 2019). Titik api tersebut dipantau dengan
hotspot NASA FIRMS dengan sistem proyeksi WGS84 Geographic Coordinate
System.
Perangkingan
Selain dari kebakaran, resiko yang dapat ditimbulkan di lahan basah adalah banjir.
Air yang meluap dari banjir, akan membawa sampah, hewan, serta bibit penyakit
masuk ke pemukiman warga. Selain itu, banjir akan menutupi akses jalan
masyarakat ke jalan besar, sehingga ada kemungkinan resiko tenggelam di dalam
DAM, bahkan hanyut mengikuti arus aliran sungai. Kondisi pra banjir juga
mengakibatkan kotornya lingkungan pemukiman.