Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Infeksi merupakan invasi tubuh oleh patogen atau mikroorganisme yang
mampu menyebabkan sakit (Potter dan Perry, 2005). Rumah sakit merupakan tem
pat pelayanan pasien dengan berbagai macam penyakit diantaranya penyakit karen
ainfeksi, dari mulai yang ringan sampai yang terberat, dengan begitu hal ini dapat
menyebabkan resiko penyebaran infeksi dari satu pasien ke pasien lainnya, begitu
pundengan petugas kesehatan yang sering terpapar dengan agen infeksi. Penularan
infeksi dapat melalui beberapa cara diantaranya melalui darah dan cairan tubuh
seperti halnya penyakit HIV/AIDS dan Hepatitis B.

AIDS(Aquired Immuno Deficiency Syndrom) adalah suatu gejala berkura
ngnya kemampuan pertahanan diri yang disebabkan oleh masuknya virus HIV ke
dalam tubuh seseorang, (Depkes RI, 2005). Sedangkan Hepatitis virus merupakan
infeksi sistemik oleh virus disertai nekrosis dan inflamasi pada selsel hati yang
menghasilkan kumpulan perubahan klinis, biokimia serta seluler yang khas.
Penyebaran virus HIV dan Hepatitis B melalui :
perilaku seks bebas, penyalahgunaan narkoba; umumnya tertular melalui penggun
aan jarum suntik bersama, melalui transfusi darah, ASI, alat-alat kedokteran, hubu
ngan suami istri yang sudah tertular virus HIV/HVB positif dan apabila ada
kontak antara cairan tubuh
(terutama darah, semen, sekresi vagina dan ASI) dengan luka terbuka pada sese-
orang yang sehat walaupun kecil. Seseorang yang mengidap penyakit ini dapat
menularkan virusnya kepada orang lain jika darah atau cairantersebut masuk ke
dalam darah orang lain melalui luka atau produk darah. Berdasarkan data yang di
keluarkan UNAIDS (united Nations Aquired Immuno Deficiency Syndrom) pada 

1
2006 yang lalu, dari prevalensi (angka kejadian)HIV/AIDS yang mencapai 40 juta
orang, sekitar 75 persennya berada di Asia dan Afrika.

 Prevalensi kasus HIV/AIDS yang terjadi di Indonesia periode Januari sam
pai dengan Maret 2007 sebesar 440 orang tertular virus HIV dan 794 orang
lainnya
menderita penyakit AIDS dengan jumlah kematian sebesar 123 orang. Prevalensi
kasus HIV/AIDS di Jawa Barat periode Januari sampai dengan Maret 2007 sebe-
sar 1105 orang dengan jumlah kematian sebesar 173 orang yang menempati
urutan
ketiga tertinggi di Indonesia (Ditjen PPM dan PL Depkes R.I, 2007). Kasus penya
kit hepatitis B menurut Lesmana (2007) menyatakan bahwa jumalah penderita
hepatitis B di Cina sebesar 123,7 juta orang, di India sebesar 30 dan bahkan
sampai
50 juta orang, sedangkan Indonesia secara keseluruhan berjumlah 13,3 juta pende-
rita, dengan tingkat prevalensi mencapai 5 sampai 10 %. Perawat yang bekerja
di fasilitas kesehatan sangat beresiko terpapar infeksiyang secara potensial memba
hayakan jiwanya, karena perawat dalam memberikan asuhan keperawatan kepada
pasien akan ada kontak langsung dengan cairan tubuh atau darah pasien dan dapat
menjadi tempat dimana agen infeksius dapat hidup dan berkembang biak yang ke-
mudian menularkan infeksi dari pasien satu ke pasien yang lainnya. Menurut
penelitian apabila tenaga medis terkena infeksi akibat kecelakaan maka
resikonya 1% mengidap hepatitis fulminan, 4% hepatitis kronis (aktif), 5%menjad
i pembawa virus (Syamsuhidajat & Wim de Jong, 1997).

Tahun 1997 CDC(Center For Desease Control)melaporkan ada 52 kasus
petugas kesehatan lain HIV akibat kecelakaan di tempat kerja, sedangkan 114
orang petugas kesehatan lain di duga terinfeksi di tempat kerja. ICN (2005)
melaporkan bahwa estimasi sekitar 19 sampai 35% semua kematian pegawai
kesehatan pemerintah di Afrika disebabkan oleh HIV-AIDS. Sedangkan di
Indonesia data ini belum terlaporkan. Namum dari kejadian tersebut, resiko
perawat menjadi andil yang paling besar untuk tertular akibat terpapar cairan
dan tertusuk jarum,sehingga berkembang upaya untuk mencegah terinfeksi dari pa
paran HIV.

2
Penyakit HIV dan HVB sampai saat ini belum ada obatnya dan keduanya 
bisa terjadi tanpa menampakan gejala, padahal ia sudah bisa menularkan
penyakitnya melalui perilaku diatas. Hal ini kadang menjadikan tenaga
kesehatan yang sebagian besar perawat cenderung tidak melakukan tindakan pen
cegahan infeksi. Salah satu strategi yang digunakan dalam pengendalian infeksi
nosokomial adalah dengan menggunakan kewaspadaan universal (universal
precaution).

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa definisi dari kewaspadaan umum ?
2. Bagaimana penerapan kewaspadaan umum ?
3. Bagaimana pencegahan infeksi nosokomial ?
4. Apa sarana dan prasarana pencegahan infeksi ?
5. Bagaimana mitigasi bencana/tindakan-tindakan pencegahan infeksi pada
pasien HIV-AIDS ?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi dari kewaspadaan umum.
2. Untuk mengetahui penerapan kewaspadaan umum.
3. Untuk mengetahui pencegahan infeksi nosokomial.
4. Untuk mengetahui sarana dan prasarana pencegahan infeksi.
5. Untuk mengetahui mitigasi bencana/tindakan-tindakan pencegahan infeksi
pada pasien HIV-AIDS.

1.4 Manfaat
1. Bagi penulis
Dengan dibuatnya makalah ini penulis dapat mengerti dan menulis
makalah dengan baik dan benar.
2. Bagi pembaca

3
Makalah ini diharapkan bagi pembaca dapat memahami dan lebih
mengerti tentang halusinasi dan masalah keperawatannya.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi

Kewaspadaan universal (Universal precaution) adalah suatu tindakan


pengendalian infeksi yang dilakukan oleh seluruh tenaga kesehatan untuk
mengurangi resiko penyebaran infeksi dengan didasarkan pada prinsip bahwa
darah dan cairan tubuh dapat berpotensi menularkan penyakit, baik berasal dari
pasien maupun petugas kesehatan (Nursalam, 2007).

2.2 Penerapan Kewaspadaan Umum

Penerapan kewaspadaan umum yaitu pengelolaan alat kesehatan, cuci


tangan guna mencegah infeksi silang, pemakaian alat pelindung diantaranya
sarung tangan, untuk mencegah kontak dengan darah maupun cairan infeksius
lainnya, pengelolaan jarum dan alat tajam untuk mencegah perlukaan dan
pengelolaan limbah.

Penerapan kewaspadaan itu diharapkan dapat menurunkan risiko


penyebaran berbagai penyakit yang ditularkan melalui darah atau semua cairan
tubuh, sekresi dan ekskresi (kecuali keringat) luka pada kulit dan selaput lendir,
kulit dan membran mukosa yang tidak utuh dari sumber yang diketahui maupun
yang tidak diketahui, di lingkungan rumah sakit atau sarana kesehatan lainnya.

4
2.3 Pencegahan Infeksi Nosokomial

Pengendalian atau pencegahan infeksi nosokomial adalah kegiatan yang


meliputi perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan serta pembinaan dalam upaya
menurunkan angka kejadian infeksi nosokomial di rumah sakit ( Depkes, 1993).
Center for disease control and prevention (2002) menjelaskan bahwa salah satu
pengendalian infeksi nosokomial adalah cuci tangan. Pencegahan yang lainnya
seperti :

a) Pemasangan dan perawatan yang tepat dari peralatan invasive


b) Penggunaan alat steril dan aseptic pada waktu pergantian balutan
c) Penanganan pakaian kotor
d) Perawatan kebersihan kulit
e) Dekontaminasi dan sterilisasi
f) Surveilans yang berkelanjutan terhadap infeksi nosokomial
g) Mengontrol risiko lingkungan terhadap infeksi
h) Melindungi pasien dengan pemakaian antimicrobial pencegahan yang
tepat, nutrisi dan vaksinasi
i) Membatasi risiko infeksi endogen dengan meminimalkan prosedur
invasive dan promosi pemakaian antimicrobial optimal
j) Mempertinggi praktik staf terhadap perawatan pasien dan pendidikan staf
secara kontinnu
k) Meningkatkan keamanan dalam ruang operasi dan area beresiko tinggi
lainnya sebagaimana kecelakaan perlukaan yang sangat serius dan paparan
pada agen penyebab infeksi sering terjadi ( Linda Tietjen, 2004 ; Darmadi,
2008)

2.4 Sarana dan Prasarana Pencegahan Infeksi

Pelayanan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Rumah Sakit dan


Fasilitas Pelayanan Kesehatan atau sarana prasarana pencegahan infeksi.

5
A. Falsafah dan Tujuan

Kegiatan pencegahan dan pengendalian infeksi di rumah sakit dan fasilitas


pelayanan kesehatan lainnya merupakan suatu standar mutu pelayanan dan
penting bagi pasien, petugas kesehatan maupun pengunjung rumah sakit dan
fasilitas pelayanan kesehatan lainnya.
Pengendalian infeksi harus dilaksanakan oleh semua rumah sakit dan
fasilitas pelayanan kesehatan lainnya untuk melindungi pasien, petugas kesehatan
dan pengunjung dari kejadian infeksi dengan memperhatikan cost effectiveness.

B. Administrasi dan Pengelolaan

Pelaksanaan PPI di rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya


harus dikelola dan diintegrasikan antara struktural dan fungsional semua
departemen/instalasi/divisi/unit dirumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan
lainnya sesuai dengan falsafah dan tujuan PPI.

C. Organisasi Pencegahan dan Pengendalian Infeksi

Organisasi Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) disusun agar dapat


mencapai visi, misi, dan tujuan dari penyelenggaraan PPI. PPI dibentuk
berdasarkan kaidah organisasi yang miskin struktur namun kaya fungsi dan
dapat menyelenggarakan tugas, wewenang dan tanggung jawab secara efektif
dan efisien. Efektif dimaksud agar sumber daya yang ada di rumah sakit
dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya dapat dimanfaatkan secara optimal.
1. )Pimpinan dan Staf
Pimpinan dan petugas kesehatan dalam komite dan Tim PPI diberi
kewenangan dalam menjalankan program dan menetukan sikap pencegahan dan
pengendalian infeksi.
Kriteria :
a) Komite PPI disusun minimal terdiri dari ketua, sekretaris dan anggota
b) Tim PPI terdiri dari perawat PPI/IPCN dan 1 (satu) dokter PPI setiap 5
Perawat PPI
c) Rumah sakit harus memiliki IPCN yang bekerja purna waktu, dengan ratio
1 (satu) IPCN/ untuk tiap 100-150 tempat tidur di rumah sakit.

6
d) Setiap 1000 tempat tidur sebaiknya memiliki 1 (satu) ahli epidemiologi
Klinik
e) Dalam bekerja IPCN dapat dibantu beberapa Infection Prevention and
Control Link Nurse(IPCLN) dari setiap unit, terutama yang beresiko
terjadinya infeksi.

KOMITE PPI
Kriteria Anggota Komite PPI
1.Mempunyai minat dalam PPI
2.Pernah mengikuti pendidikan dan pelatihan dasar PPI
Tugas dan Tanggung Jawab Komite PPI
1.Menyusun dan menetapkan serta mengevaluasi kebijakan PPI
2.Melaksanakan sosialisasi kebijakan PPIRS, agar kebijakan dapat
dipahami dan dilakasanakan oleh petugas kesehatan rumah sakit.
3.Membuat SPO PPI.
4.Menyusun program PPI dan mengevaluasi pelaksanaan program
tersebut.
5.Bekerjasama dengan Tim PPI dalam melakukan investigasi masalah atau
KLB infeksi nosokomia
6.Memberi usulan untuk mengembangkan dan meningkatkan cara
pencegahan dan pengendalian infeksi.
7.Memberikan konsultasi pada petugas kesehatan rumah sakit dan
fasilitas pelayanan kesehatan lainnya dalam PPI.
8.Mengusulkan pengadaan alat dan bahan yang sesuai dengan prinsip
PPIdan aman bagi yang menggunakan.
9.Mengidentifikasi temuan di lapangan dan mengusulkan pelatihan untuk
meningkatkan kemampuan sumber daya manusia (SDM) rumah sakit
dalam PPI.
10.Melakukan pertemuan berjala, termasuk evaluasi kebijakan
IPCO/Infection Prevention and Control Officer
Kriteria IPCO :
1.Ahli atau dokter yang mempunyai minat dalam PPI

7
2.Mengikuti pendidikan dan pelatihan dasar PPI
3.Memiliki kemampuan leadership
Tugas IPCO :
1.Berkontribusi dalam diagnosis dan terapi infeksi yang benar
2.Turut menyusun pedoman penulisan resep antibiotika dan surveilens
3.Mengidentifikasi dan melaporkan kuman pathogen dan pola
resistensi antibiotika
4.Bekerjasama dengan Perawat PPI memonitor kegiatan surveilens
infeksi dan mendeteksi serta menyelidiki KLB
5.Membimbing dan mengajarkan praktek dan prosedur PPI yang
berhubungan dengan prosedur terapi
6.Turut memonitor cara kerja tenaga kesehatan dalam merawat pasien
7.Turut membantu semua petugas kesehatan untuk memahami pencegahan
dan pengendalian infeks
Infection Prevention and Control Nurse(IPCN)
Kriteria IPCN :
1.Perawat dengan pendidikan min D3 dan memiliki sertfikasi PPI
2.Memiliki komitmen di bidang pencegahan dan pengendalian infeksi
3.Memiliki pengalaman sebagai Kepala Ruangan atau setara
4.Memiliki kemampuan leadershipdan confident
5.Bekerja purna waktu
Tugas dan tanggung jawab IPCN
1.Mengunjungi ruangan setiap hari untuk memonitor kejadian infeksi yang
terjadi dilingkungan kerjanya, baik rumah sakit dan fasilitas pelayanan
kesehatan lainnya.
2.Memonitor pelaksanaan PPI, penerapan SPO, kewaspadaan isolasi
3.Melaksanakan surveilans infeksi dan melaporkan kepada Komite PPI
4.Bersama Komite PPI melakukan pelatihan petugas kesehatan tentang
PPI di rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya
5.Melakukan investigasi terhadap KLB dan bersama-sama komite PPI
memperbaiki kesalahaan yang terjadi

8
6.Memonitor kesehatan petugas kesehatan untuk mencegah penularan
infeksi dari petugas kesehatan ke pasien atau sebaiknya
7.Bersama Komite menganjurkan prosedur isolasi dan member konsultasi
tentang pencegahan dan pengendalian infeksi yang diperlukan pada kasus
yang terjadi di rumah sakit
Infection Prevention and Control Link Nurse(IPCLN)
Kriteria IPCLN :
1.Perawat dengan pendidikan min D3 dan memiliki sertifikasi PPI
2.Memiliki komitmen di bidang pencegahan dan pengendalian infeksi
3.Memiliki kemampuan leadership
Tugas IPCLN :
IPCLN sebagai perawat pelaksana harian/ penghubung bertugas :
1.Mengisi dan mengumpulkan formulir surveilans setiap pasien di unit
rawat inap masing-masing kemudian menyerahkannya kepada IPCN
ketika pasien pulang
2.Memberikan motivasi dan teguran tentang pelaksanaan kepatuhan
pencegahan dan pengendalian infeksi pada setiap personil ruangan di unit
rawatnya masing-masing
3.Memberitahukan kepada IPCN apabila ada kecurigaan adanya infeksi
nosokomial pada pasien
4.Berkoordinasi dengan IPCN saat terjadi infeksi potensial KLB,
penyuluhan bagi pengunjung di ruang rawat masing-masing, konsultasi
prosedur yang harus dijalankan bila belum paham.
5.Memonitor kepatuhan petugas kesehatan yang lain dalam menjalankan
standar isolasi
D. Sarana dan Fasilitas Pelayanan Penunjang (Supporting System)
1. Sarana Kesekretariatan
 Ruangan Sekretariat dan tenaga sekretaris yang full time.
 Komputer, printer dan internet
 Telepon dan Faksimili
 Alat tulis kantor
2. Dukungan Manajemen

9
 Penerbitan Surat Keputusan untuk Komite dan Tim PPIRS.
 Anggaran atau dana untuk kegiatan
3. Kebijakan dan Standar Prosedur Operasional yang perlu
dipersiapkan oleh rumah sakit adalah:
 Kebijakan Manajemen :
 Ada kebijakan kewaspadaan Isolasi (Isolation precaution).
 Ada kebijakan tentang pengembangan SDM dalam PPI
 Ada kebijakan tentang pengadaan bahan dan alat yang
melibatkan tim PPI.
 Ada kebijakan tentang penggunaan antibioticyang rasional.
 Ada kebijakan tentang pelaksanaan surveilans.
 Ada kebijakan tentang pemeliharaan fisik dan saran yang
melibatkan tim PPI
 Ada kebijakan tentang kesehatan karyawanh.Ada kebijakan
penanganan KLB.
 Ada kebijakan penempatan pasien
 Ada kebijakan upaya pencegahan infeksi ILO, IADP, ISK,
Pneumonia, VAP
 Kebijakan TekhnisAda SPO tentang kewaspadaan isolasi (isolation
precaution)
 Ada SPO kebersihan tangan
 Ada SPO penggunaan alat pelindung diri (APD)
 Ada SPO penggunaan peralatan perawatan pasien
 Ada SPO pengendalian Lingkungan
 Ada SPO pemrosesan peralatan pasien dan penalaksanaan
linen
 Ada SPO kesehatan karyawan/perlindungan petugas
kesehatan
 Ada SPO penempatan pasien
 Ada SPO hygiene respirasi/etika batuk
 Ada SPO praktek menyuntik yang aman

10
 Ada SPO praktek untuk lumbal punksi
 Upaya-upaya pencegahan infeksi dan rekomendasinya

2.5 Mitigasi Bencana/ Tindakan-Tindakan Pencegahan Infeksi pada Pasien


HIV-AIDS

A. Mencuci Tangan

Kebersihan tangan dilakukan dengan mencuci tangan menggunakan sabun


dan air mengalir bila tangan jelas kotor atau terkena cairan tubuh, atau
menggunakan alkohol (alcohol-based handrubs)bila tangan tidak tampak kotor.
Kuku petugas harus selalu bersih dan terpotong pendek, tanpa kuku palsu, tanpa
memakai perhiasan cincin. Cuci tangan dengan sabun biasa/antimikroba dan bilas
dengan air mengalir, dilakukan pada saat:

a) Bila tangan tampak kotor, terkena kontak cairan tubuh pasien yaitu darah,
cairan tubuh sekresi, ekskresi, kulit yang tidak utuh, ganti verband, walaupun
telah memakai sarung tangan.

b) Bila tangan beralih dari area tubuh yang terkontaminasi ke area lainnya yang
bersih, walaupun pada pasien yang sama. Indikasi kebersihan tangan: sebelum
kontak pasien, sebelum tindakan aseptik, setelah kontak darah dan cairan tubuh,
setelah kontak pasien, setelah kontak dengan lingkungan sekitar pasien.

B. Alat Pelindung Diri (APD)

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam APD sebagai berikut:

1) Alat pelindung diri adalah pakaian khusus atau peralatan yang di pakai petugas
untuk memproteksi diri dari bahaya fisik, kimia, biologi/bahan infeksius.

2) APD terdiri dari sarung tangan, masker/Respirator Partikulat, pelindung mata


(goggle), perisai/pelindung wajah, kap penutup kepala, gaun pelindung/apron,
sandal/sepatu tertutup (Sepatu Boot).

11
3) Tujuan Pemakaian APD adalah melindungi kulit dan membrane mukosa dari
resiko pajanan darah, cairan tubuh, sekret, ekskreta, kulit yang tidak utuh dan
selaput lendir dari pasien ke petugas dan sebaliknya.

4) Indikasi penggunaan APD adalah jika melakukan tindakan yang


memungkinkan tubuh atau membran mukosa terkena atau terpercik darah atau
cairan tubuh atau kemungkinan pasien terkontaminasi dari petugas.

5) Melepas APD segera dilakukan jika tindakan sudah selesai di lakukan.

6) Tidak dibenarkan menggantung masker di leher, memakai sarung tangan


sambil menulis dan menyentuh permukaan lingkungan.

C. DEKONTAMINASI PERALATAN PERAWATAN PASIEN

Dalam dekontaminasi peralatan perawatan pasien dilakukan


penatalaksanaan peralatan bekas pakai perawatan pasien yang terkontaminasi
darah atau cairan tubuh (pre-cleaning, cleaning, disinfeksi, dan sterilisasi) sesuai
Standar Prosedur Operasional (SPO) sebagai berikut:

a) Rendam peralatan bekas pakai dalam air dan detergen atau enzyme lalu
dibersihkan dengan menggunakan spons sebelum dilakukan disinfeksi tingkat
tinggi (DTT) atau sterilisasi.

b) Peralatan yang telah dipakai untuk pasien infeksius harus didekontaminasi


terlebih dulu sebelum digunakan untuk pasien lainnya.

c) Pastikan peralatan sekali pakai dibuang dan dimusnahkan sesuai prinsip


pembuangan sampah dan limbah yang benar. Hal ini juga berlaku untuk alat yang
dipakai berulang, jika akan dibuang.

d) Untuk alat bekas pakai yang akan di pakai ulang, setelah dibersihkan dengan
menggunakan spons, di DTT dengan klorin 0,5% selama 10 menit.

e) Peralatan nonkritikal yang terkontaminasi, dapat didisinfeksi menggunakan


alkohol 70%. Peralatan semikritikal didisinfeksi atau disterilisasi, sedangkan
peralatan kritikal harus didisinfeksi dan disterilisasi.

12
f) Untuk peralatan yang besar seperti USG dan X-Ray, dapat didekontaminasi
permukaannya setelah digunakan di ruangan isolasi.

Keterangan Alur:

1) Pembersihan Awal (pre-cleaning): Proses yang membuat benda mati lebih


aman untuk ditangani oleh petugas sebelum di bersihkan(umpamanya
menginaktivasi HBV, HBC, dan HIV) dan mengurangi, tapi tidak menghilangkan,
jumlah mikroorganisme yang mengkontaminasi.

2) Pembersihan: Proses yang secara fisik membuang semua kotoran, darah, atau
cairan tubuh lainnya dari permukaan benda mati ataupun membuang sejumlah
mikroorganisme untuk mengurangi risiko bagi mereka yang menyentuh kulit atau
menangani objek tersebut. Proses ini adalah terdiri dari mencuci sepenuhnya
dengan sabun atau detergen dan air atau menggunakan enzim, membilas dengan
air bersih, dan mengeringkan. Jangan menggunakan pembersih yang bersifat
mengikis, misalnya Vim atau Comet atau serat baja atau baja berlubang, karena
produk-produk ini bisa menyebabkan goresan. Goresan ini kemudian menjadi
sarang mikroorganisme yang membuat proses pembersihan menjadi lebih sulit
serta meningkatkan pembentukan karat.

3) Disinfeksi Tingkat Tinggi (DTT): Proses menghilangkan semua


mikroorganisme, kecuali beberapa endospora bakterial dari objek,dengan
merebus, menguapkan atau memakai disinfektan kimiawi.

4) Sterilisasi: Proses menghilangkan semua mikroorganisme (bakteria, virus,


fungi dan parasit) termasuk endospora menggunakan uap tekanan tinggi (otoklaf),
panas kering (oven), sterilisasi kimiawi, atau radiasi.

D. PENGENDALIAN LINGKUNGAN

a) Kualitas Udara

Tidak dianjurkan melakukan fogging dan sinar ultraviolet untuk kebersihan udara,
kecuali dry mist dengan H2O2 dan penggunaan sinar UV untuk terminal
dekontaminasi ruangan pasien dengan infeksi yang ditransmisikan melalui air
borne. Diperlukan pembatasan jumlah personil di ruangan dan ventilasi yang

13
memadai. Tidak direkomendasikan melakukan kultur permukaan lingkungan
secara rutin kecuali bila ada outbreak atau renovasi/pembangunan gedung baru.

b) Kualitas air

Seluruh persyaratan kualitas air bersih harus dipenuhi baik menyangkut bau, rasa,
warna dan susunan kimianya termasuk debitnya sesuai ketentuan peraturan
perundangan mengenai syarat-syarat dan pengawasan kualitas air minum dan
mengenai persyaratan kualitas air minum.

c) Permukaan lingkungan

Seluruh pemukaan lingkungan datar, bebas debu, bebas sampah, bebas serangga
(semut, kecoa, lalat, nyamuk) dan binatang pengganggu (kucing, anjing dan tikus)
dan harus dibersihkan secara terus menerus. Tidak dianjurkan menggunakan
karpet di ruang perawatan dan menempatkan bunga segar, tanaman pot, bunga
plastik di ruang perawatan. Perbersihan permukaan dapat dipakai klorin 0,05%,
atau H2O2 0,5-1,4%, bila ada cairan tubuh menggunakan klorin 0,5%. Fasilitas
pelayanan kesehatan harus membuat dan melaksanakan SPO untuk pembersihan,
disinfeksi permukaan lingkungan,tempat tidur, peralatan disamping tempat tidur
dan pinggirannya yang sering tersentuh. Fasilitas pelayanan kesehatan harus
mempunyai disinfektan yang sesuai standar untuk mengurangi kemungkinan
penyebaran kontaminasi.

d) Desain dan konstruksi bangunan

Desain harus mencerminkan kaidah PPI yang mengacu pada pedoman PPI secara
efektif dan tepat guna. Desain dari faktor berikut dapat mempengaruhi penularan
infeksi yaitu jumlah petugas kesehatan, desain ruang rawat, luas ruangan yang
tersedia, jumlah dan jenis pemeriksaan/prosedur, persyaratan teknis komponen
lantai, dinding dan langit-langit, air, listrik dan sanitasi, ventilasi dan kualitas
udara, pengelolaan alat medisreused dan disposable, pengelolaan
makanan,laundry dan limbah.

E. PENGELOLAAN LIMBAH

14
Pemisahan limbah dimulai pada awal limbah dihasilkan dengan memisahkan
limbah sesuai dengan jenisnya. Tempatkan limbah sesuai dengan jenisnya, antara
lain:

 Limbah infeksius: Limbah yang terkontaminasi darah dan cairan tubuh


masukkan kedalam kantong plastik berwarna kuning.
 Limbah non-infeksius: Limbah yang tidak terkontaminasi darah dan cairan
tubuh, masukkan ke dalam kantong plastik berwarna hitam.
 Limbah benda tajam: Limbah yang memiliki permukaan tajam, masukkan
kedalam wadah tahan tusuk dan air.
 Limbah cair segera dibuang ke tempat pembuangan/pojok limbah cair
(spoelhoek).
F. PENATALAKSANAAN LINEN

Linen terbagi menjadi linen kotor dan linen terkontaminasi. Kehatian-


hatian ini mencakup penggunaan perlengkapan APD yang sesuai dan
membersihkan tangan secara teratur sesuai pedoman kewaspadaan standar dengan
prinsip-prinsip sebagai berikut:

a) Fasilitas pelayanan kesehatan harus membuat SPO penatalaksanaan linen.


Prosedur penanganan, pengangkutan dan distribusi linen harus jelas,aman dan
memenuhi kebutuhan pelayanan.

b) Petugas yang menangani linen harus mengenakan APD (sarung tangan rumah
tangga, gaun, apron, masker dan sepatu tertutup).

c) Linen dipisahkan berdasarkan linen kotor dan linen terkontaminasi cairan


tubuh, pemisahan dilakukan sejak dari lokasi penggunaannya oleh perawat atau
petugas.

d) Minimalkan penanganan linen kotor untuk mencegah kontaminasi ke udara dan


petugas yang menangani linen tersebut. Semua linen kotor segera
dibungkus/dimasukkan ke dalam kantong kuning di lokasi penggunaannya dan
tidak boleh disortir atau dicuci di lokasi dimana linen dipakai.

15
e) Linen yang terkontaminasi dengan darah atau cairan tubuh lainnya harus
dibungkus, dimasukkan kantong kuning dan diangkut/ditranportasikan secara
berhati-hati agar tidak terjadi kebocoran.

f) Buang terlebih dahulu kotoran seperti faeces ke washer bedpan, spoelhoek atau
toilet dan segera tempatkan linen terkontaminasi ke dalam kantong
kuning/infeksius. Pengangkutan dengan troli yang terpisah, untuk linen kotor atau
terkontaminasi dimasukkan ke dalam kantong kuning. Pastikan kantong tidak
bocor dan lepas ikatan selama transportasi.Kantong tidak perlu ganda.

g) Pastikan alur linen kotor dan linen terkontaminasi sampai di laundry


TERPISAH dengan linen yang sudah bersih.

h) Cuci dan keringkan linen di ruang laundry. Linen terkontaminasi seyogyanya


langsung masuk mesin cuci yang segera diberi disinfektan.

i) Untuk menghilangkan cairan tubuh yang infeksius pada linen dilakukan melalui
2 tahap yaitu menggunakan deterjen dan selanjutnya dengan Natrium hipoklorit
(Klorin) 0,5%. Apabila dilakukan perendaman maka harus diletakkan di wadah
tertutup agar tidak menyebabkan toksik bagi petugas.

G. PERLINDUNGAN KESEHATAN PETUGAS

Lakukan pemeriksaan kesehatan berkala terhadap semua petugas baik


tenaga kesehatan maupun tenaga nonkesehatan. Fasyankes harus mempunyai
kebijakan untuk penatalaksanaan akibat tusukan jarum atau benda tajam bekas
pakai pasien, yang berisikan antara lain siapa yang harus dihubungi saat terjadi
kecelakaan dan pemeriksaan serta konsultasi yang dibutuhkan oleh petugas yang
bersangkutan. Petugas harus selalu waspada dan hati-hati dalam bekerja untuk
mencegah terjadinya trauma saat menangani jarum, scalpel dan alat tajam lain
yang dipakai setelah prosedur, saat membersihkan instrument dan saat membuang
jarum. Jangan melakukan penutupan kembali (recap) jarum yang telah dipakai,
memanipulasi dengan tangan, menekuk, mematahkan atau melepas jarum dari
spuit. Buang jarum, spuit, pisau,scalpel, dan peralatan tajam habis pakai lainnya
kedalam wadah khusus yang tahan tusukan/tidak tembus sebelum dimasukkan ke
insenerator. Bila wadah khusus terisi ¾ harus diganti dengan yang baru untuk

16
menghindari tercecer. Apabila terjadi kecelakaan kerja berupa perlukaan seperti
tertusuk jarum suntik bekas pasien atau terpercik bahan infeksius maka perlu
pengelolaan yang cermat dan tepat serta efektif untuk mencegah semaksimal
mungkin terjadinya infeksi yang tidak diinginkan. Sebagian besar insiden pajanan
okupasional adalah infeksi melalui darah yang terjadi dalam fasilitas pelayanan
kesehatan (fasyankes). HIV, hepatitis B dan hepatitis C adalah patogen melalui
darah yang berpotensi paling berbahaya, dan kemungkinan pajanan terhadap
patogen ini merupakan penyebab utama kecemasan bagi petugas kesehatan di
seluruh dunia. Risiko mendapat infeksi lain yang dihantarkan melalui darah
(bloodborne) seperti hepatitis B dan C jauh lebih tinggi dibandingkan
mendapatkan infeksi HIV. Sehingga tatalaksana pajanan okupasional terhadap
penyebab infeksi tidak terbatas pada PPP HIV saja. Di seluruh fasyankes,
kewaspadaan standar merupakan layanan standar minimal untuk mencegah
penularan patogen melalui darah. Tatalaksananya meliputi pemeriksaan,
pemantauan dan pemberian obat.

H. PENEMPATAN PASIEN

a) Tempatkan pasien infeksius terpisah dengan pasien non infeksius.

b) Penempatan pasien disesuaikan dengan pola transmisi infeksi penyakit pasien


(kontak, droplet, airborne) sebaiknya ruangan tersendiri.

c) Bila tidak tersedia ruang tersendiri, dibolehkan dirawat bersama pasien lain
yang jenis infeksinya sama dengan menerapkan sistem cohorting. Jarak antara
tempat tidur minimal 1 meter. Untuk menentukan pasien yang dapat disatukan
dalam satu ruangan, dikonsultasikan terlebih dahulu kepada Komite atau Tim PPI.

d) Semua ruangan terkait cohorting harus diberi tanda kewaspadaan berdasarkan


jenis transmisinya (kontak,droplet, airborne).

e) Pasien yang tidak dapat menjaga kebersihan diri atau lingkungannya


seyogyanya dipisahkan tersendiri.

f) Mobilisasi pasien infeksius yang jenis transmisinya melalui udara (airborne)


agar dibatasi di lingkungan fasilitas pelayanan kesehatan untuk menghindari
terjadinya transmisi penyakit yang tidak perlu kepada yang lain.

17
g) Pasien HIV tidak diperkenankan dirawat bersama dengan pasien TB dalam satu
ruangan tetapi pasien TB-HIV dapat dirawat dengan sesama pasien TB.

I. KEBERSIHAN PERNAPASAN/ETIKA BATUK DAN BERSIN

Diterapkan untuk semua orang terutama pada kasus infeksi dengan jenis
transmisiairborne dan droplet. Fasilitas pelayanan kesehatan harus menyediakan
sarana cuci tangan seperti wastafel dengan air mengalir, tisu, sabun cair, tempat
sampah infeksius dan masker bedah.Petugas, pasien dan pengunjung dengan
gejala infeksi saluran napas, harus melaksanakan dan mematuhi langkah-langkah
sebagai berikut:

a) Menutup hidung dan mulut dengan tisu atau saputangan atau lengan atas.

b) Tisu dibuang ke tempat sampah infeksius dan kemudian mencuci tangan.


Edukasi/Penyuluhan Kesehatan Rumah Sakit (PKRS) dan fasilitas pelayanan
kesehatan lain dapat dilakukan melalui audio visual, leaflet, poster, banner, video
melalui TV di ruang tungguataulisan oleh petugas.

J. PRAKTIK MENYUNTIK YANG AMAN

Pakai spuit dan jarum suntik steril sekali pakai untuk setiap suntikan,berlaku juga
pada penggunaan vial multidose untuk mencegah timbulnya kontaminasi mikroba
saat obat dipakai pada pasien lain. Jangan lupa membuang spuit dan jarum suntik
bekas pakai ke tempatnya dengan benar. Hati-hati dengan pemakaian obat untuk
perina dan anestesi karena berpotensi menimbulkan Kejadian Luar Biasa (KLB).

a. Menerapkan aseptic technique untuk mecegah kontaminasi alatalat injeksi


(kategori IA).

b. Tidak menggunakan semprit yang sama untuk penyuntikan lebih dari satu
pasien walaupun jarum suntiknya diganti (kategori IA).

c. Semua alat suntik yang dipergunakan harus satu kali pakai untuk satu pasien
dan satu prosedur (kategori IA).

d. Gunakan cairan pelarut/flushing hanya untuk satu kali (NaCl, WFI, dll)
(kategori IA).

18
e. Gunakan single dose untuk obat injeksi (bila memungkinkan) (kategori IB).

f. Tidak memberikan obat-obat single dose kepada lebih dari satu pasien atau
mencampur obat-obat sisa dari vial/ampul untuk pemberian berikutnya (kategori
IA).

g. Bila harus menggunakan obat-obat multi dose, semua alat yang akan
dipergunakan harus steril (kategori IA).

h. Simpan obat-obat multi dose sesuai dengan rekomendasi dari pabrik yang
membuat (kategori IA).

i. Tidak menggunakan cairan pelarut untuk lebih dari 1 pasien (kategori IB)

K. PRAKTIK LUMBAL PUNGSI YANG AMAN

Semua petugas harus memakai masker bedah, gaun bersih, sarung tangan steril
saat akan melakukan tindakan lumbal pungsi, anestesi spinal/epidural/pasang
kateter vena sentral. Penggunaan masker bedah pada petugas dibutuhkan agar
tidak terjadi droplet flora orofaring yang dapat menimbulkan meningitis bacterial.

19
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Kewaspadaan universal (Universal precaution) adalah suatu tindakan


pengendalian infeksi yang dilakukan oleh seluruh tenaga kesehatan untuk
mengurangi resiko penyebaran infeksi dengan didasarkan pada prinsip bahwa
darah dan cairan tubuh dapat berpotensi menularkan penyakit, baik berasal dari
pasien maupun petugas kesehatan (Nursalam, 2007).

Penerapan kewaspadaan diharapkan dapat menurunkan risiko penyebaran


berbagai penyakit yang ditularkan melalui darah atau semua cairan tubuh, sekresi
dan ekskresi (kecuali keringat) luka pada kulit dan selaput lendir, kulit dan
membran mukosa yang tidak utuh dari sumber yang diketahui maupun yang tidak
diketahui, di lingkungan rumah sakit atau sarana kesehatan lainnya.

3.2 Saran

Hendaknya kewaspadaan universal ini dapat dipahami dan diterapkan karena


lebih baik mencegah dari pada mengobati.

20
DAFTAR PUSTAKA

https://www.google.com/url?
sa=t&source=web&rct=j&url=http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456
789

http://dinkes.surabaya.go.id/portal/berita/kewaspadaan-universal-wajib-
digunakan-oleh-petugas-medis/

https://www.google.com/url?
sa=t&source=web&rct=j&url=http://digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/
DigitalCollection/N2VINz

https://id.scribd.com/document/381248569/105926-ID-sarana-dan-prasarana-
rumah-sakit-pemerin-pdf

https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cdurl=https
%3A%2Fwww.persi.or.id%2Fimages%2Fregulasi%2Fpermenkes
%2Fpmk272017

21

Anda mungkin juga menyukai