PENDAHULUAN
Infeksi merupakan invasi tubuh oleh patogen atau mikroorganisme yang
mampu menyebabkan sakit (Potter dan Perry, 2005). Rumah sakit merupakan tem
pat pelayanan pasien dengan berbagai macam penyakit diantaranya penyakit karen
ainfeksi, dari mulai yang ringan sampai yang terberat, dengan begitu hal ini dapat
menyebabkan resiko penyebaran infeksi dari satu pasien ke pasien lainnya, begitu
pundengan petugas kesehatan yang sering terpapar dengan agen infeksi. Penularan
infeksi dapat melalui beberapa cara diantaranya melalui darah dan cairan tubuh
seperti halnya penyakit HIV/AIDS dan Hepatitis B.
AIDS(Aquired Immuno Deficiency Syndrom) adalah suatu gejala berkura
ngnya kemampuan pertahanan diri yang disebabkan oleh masuknya virus HIV ke
dalam tubuh seseorang, (Depkes RI, 2005). Sedangkan Hepatitis virus merupakan
infeksi sistemik oleh virus disertai nekrosis dan inflamasi pada selsel hati yang
menghasilkan kumpulan perubahan klinis, biokimia serta seluler yang khas.
Penyebaran virus HIV dan Hepatitis B melalui :
perilaku seks bebas, penyalahgunaan narkoba; umumnya tertular melalui penggun
aan jarum suntik bersama, melalui transfusi darah, ASI, alat-alat kedokteran, hubu
ngan suami istri yang sudah tertular virus HIV/HVB positif dan apabila ada
kontak antara cairan tubuh
(terutama darah, semen, sekresi vagina dan ASI) dengan luka terbuka pada sese-
orang yang sehat walaupun kecil. Seseorang yang mengidap penyakit ini dapat
menularkan virusnya kepada orang lain jika darah atau cairantersebut masuk ke
dalam darah orang lain melalui luka atau produk darah. Berdasarkan data yang di
keluarkan UNAIDS (united Nations Aquired Immuno Deficiency Syndrom) pada
1
2006 yang lalu, dari prevalensi (angka kejadian)HIV/AIDS yang mencapai 40 juta
orang, sekitar 75 persennya berada di Asia dan Afrika.
Prevalensi kasus HIV/AIDS yang terjadi di Indonesia periode Januari sam
pai dengan Maret 2007 sebesar 440 orang tertular virus HIV dan 794 orang
lainnya
menderita penyakit AIDS dengan jumlah kematian sebesar 123 orang. Prevalensi
kasus HIV/AIDS di Jawa Barat periode Januari sampai dengan Maret 2007 sebe-
sar 1105 orang dengan jumlah kematian sebesar 173 orang yang menempati
urutan
ketiga tertinggi di Indonesia (Ditjen PPM dan PL Depkes R.I, 2007). Kasus penya
kit hepatitis B menurut Lesmana (2007) menyatakan bahwa jumalah penderita
hepatitis B di Cina sebesar 123,7 juta orang, di India sebesar 30 dan bahkan
sampai
50 juta orang, sedangkan Indonesia secara keseluruhan berjumlah 13,3 juta pende-
rita, dengan tingkat prevalensi mencapai 5 sampai 10 %. Perawat yang bekerja
di fasilitas kesehatan sangat beresiko terpapar infeksiyang secara potensial memba
hayakan jiwanya, karena perawat dalam memberikan asuhan keperawatan kepada
pasien akan ada kontak langsung dengan cairan tubuh atau darah pasien dan dapat
menjadi tempat dimana agen infeksius dapat hidup dan berkembang biak yang ke-
mudian menularkan infeksi dari pasien satu ke pasien yang lainnya. Menurut
penelitian apabila tenaga medis terkena infeksi akibat kecelakaan maka
resikonya 1% mengidap hepatitis fulminan, 4% hepatitis kronis (aktif), 5%menjad
i pembawa virus (Syamsuhidajat & Wim de Jong, 1997).
Tahun 1997 CDC(Center For Desease Control)melaporkan ada 52 kasus
petugas kesehatan lain HIV akibat kecelakaan di tempat kerja, sedangkan 114
orang petugas kesehatan lain di duga terinfeksi di tempat kerja. ICN (2005)
melaporkan bahwa estimasi sekitar 19 sampai 35% semua kematian pegawai
kesehatan pemerintah di Afrika disebabkan oleh HIV-AIDS. Sedangkan di
Indonesia data ini belum terlaporkan. Namum dari kejadian tersebut, resiko
perawat menjadi andil yang paling besar untuk tertular akibat terpapar cairan
dan tertusuk jarum,sehingga berkembang upaya untuk mencegah terinfeksi dari pa
paran HIV.
2
Penyakit HIV dan HVB sampai saat ini belum ada obatnya dan keduanya
bisa terjadi tanpa menampakan gejala, padahal ia sudah bisa menularkan
penyakitnya melalui perilaku diatas. Hal ini kadang menjadikan tenaga
kesehatan yang sebagian besar perawat cenderung tidak melakukan tindakan pen
cegahan infeksi. Salah satu strategi yang digunakan dalam pengendalian infeksi
nosokomial adalah dengan menggunakan kewaspadaan universal (universal
precaution).
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi dari kewaspadaan umum.
2. Untuk mengetahui penerapan kewaspadaan umum.
3. Untuk mengetahui pencegahan infeksi nosokomial.
4. Untuk mengetahui sarana dan prasarana pencegahan infeksi.
5. Untuk mengetahui mitigasi bencana/tindakan-tindakan pencegahan infeksi
pada pasien HIV-AIDS.
1.4 Manfaat
1. Bagi penulis
Dengan dibuatnya makalah ini penulis dapat mengerti dan menulis
makalah dengan baik dan benar.
2. Bagi pembaca
3
Makalah ini diharapkan bagi pembaca dapat memahami dan lebih
mengerti tentang halusinasi dan masalah keperawatannya.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
4
2.3 Pencegahan Infeksi Nosokomial
5
A. Falsafah dan Tujuan
6
d) Setiap 1000 tempat tidur sebaiknya memiliki 1 (satu) ahli epidemiologi
Klinik
e) Dalam bekerja IPCN dapat dibantu beberapa Infection Prevention and
Control Link Nurse(IPCLN) dari setiap unit, terutama yang beresiko
terjadinya infeksi.
KOMITE PPI
Kriteria Anggota Komite PPI
1.Mempunyai minat dalam PPI
2.Pernah mengikuti pendidikan dan pelatihan dasar PPI
Tugas dan Tanggung Jawab Komite PPI
1.Menyusun dan menetapkan serta mengevaluasi kebijakan PPI
2.Melaksanakan sosialisasi kebijakan PPIRS, agar kebijakan dapat
dipahami dan dilakasanakan oleh petugas kesehatan rumah sakit.
3.Membuat SPO PPI.
4.Menyusun program PPI dan mengevaluasi pelaksanaan program
tersebut.
5.Bekerjasama dengan Tim PPI dalam melakukan investigasi masalah atau
KLB infeksi nosokomia
6.Memberi usulan untuk mengembangkan dan meningkatkan cara
pencegahan dan pengendalian infeksi.
7.Memberikan konsultasi pada petugas kesehatan rumah sakit dan
fasilitas pelayanan kesehatan lainnya dalam PPI.
8.Mengusulkan pengadaan alat dan bahan yang sesuai dengan prinsip
PPIdan aman bagi yang menggunakan.
9.Mengidentifikasi temuan di lapangan dan mengusulkan pelatihan untuk
meningkatkan kemampuan sumber daya manusia (SDM) rumah sakit
dalam PPI.
10.Melakukan pertemuan berjala, termasuk evaluasi kebijakan
IPCO/Infection Prevention and Control Officer
Kriteria IPCO :
1.Ahli atau dokter yang mempunyai minat dalam PPI
7
2.Mengikuti pendidikan dan pelatihan dasar PPI
3.Memiliki kemampuan leadership
Tugas IPCO :
1.Berkontribusi dalam diagnosis dan terapi infeksi yang benar
2.Turut menyusun pedoman penulisan resep antibiotika dan surveilens
3.Mengidentifikasi dan melaporkan kuman pathogen dan pola
resistensi antibiotika
4.Bekerjasama dengan Perawat PPI memonitor kegiatan surveilens
infeksi dan mendeteksi serta menyelidiki KLB
5.Membimbing dan mengajarkan praktek dan prosedur PPI yang
berhubungan dengan prosedur terapi
6.Turut memonitor cara kerja tenaga kesehatan dalam merawat pasien
7.Turut membantu semua petugas kesehatan untuk memahami pencegahan
dan pengendalian infeks
Infection Prevention and Control Nurse(IPCN)
Kriteria IPCN :
1.Perawat dengan pendidikan min D3 dan memiliki sertfikasi PPI
2.Memiliki komitmen di bidang pencegahan dan pengendalian infeksi
3.Memiliki pengalaman sebagai Kepala Ruangan atau setara
4.Memiliki kemampuan leadershipdan confident
5.Bekerja purna waktu
Tugas dan tanggung jawab IPCN
1.Mengunjungi ruangan setiap hari untuk memonitor kejadian infeksi yang
terjadi dilingkungan kerjanya, baik rumah sakit dan fasilitas pelayanan
kesehatan lainnya.
2.Memonitor pelaksanaan PPI, penerapan SPO, kewaspadaan isolasi
3.Melaksanakan surveilans infeksi dan melaporkan kepada Komite PPI
4.Bersama Komite PPI melakukan pelatihan petugas kesehatan tentang
PPI di rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya
5.Melakukan investigasi terhadap KLB dan bersama-sama komite PPI
memperbaiki kesalahaan yang terjadi
8
6.Memonitor kesehatan petugas kesehatan untuk mencegah penularan
infeksi dari petugas kesehatan ke pasien atau sebaiknya
7.Bersama Komite menganjurkan prosedur isolasi dan member konsultasi
tentang pencegahan dan pengendalian infeksi yang diperlukan pada kasus
yang terjadi di rumah sakit
Infection Prevention and Control Link Nurse(IPCLN)
Kriteria IPCLN :
1.Perawat dengan pendidikan min D3 dan memiliki sertifikasi PPI
2.Memiliki komitmen di bidang pencegahan dan pengendalian infeksi
3.Memiliki kemampuan leadership
Tugas IPCLN :
IPCLN sebagai perawat pelaksana harian/ penghubung bertugas :
1.Mengisi dan mengumpulkan formulir surveilans setiap pasien di unit
rawat inap masing-masing kemudian menyerahkannya kepada IPCN
ketika pasien pulang
2.Memberikan motivasi dan teguran tentang pelaksanaan kepatuhan
pencegahan dan pengendalian infeksi pada setiap personil ruangan di unit
rawatnya masing-masing
3.Memberitahukan kepada IPCN apabila ada kecurigaan adanya infeksi
nosokomial pada pasien
4.Berkoordinasi dengan IPCN saat terjadi infeksi potensial KLB,
penyuluhan bagi pengunjung di ruang rawat masing-masing, konsultasi
prosedur yang harus dijalankan bila belum paham.
5.Memonitor kepatuhan petugas kesehatan yang lain dalam menjalankan
standar isolasi
D. Sarana dan Fasilitas Pelayanan Penunjang (Supporting System)
1. Sarana Kesekretariatan
Ruangan Sekretariat dan tenaga sekretaris yang full time.
Komputer, printer dan internet
Telepon dan Faksimili
Alat tulis kantor
2. Dukungan Manajemen
9
Penerbitan Surat Keputusan untuk Komite dan Tim PPIRS.
Anggaran atau dana untuk kegiatan
3. Kebijakan dan Standar Prosedur Operasional yang perlu
dipersiapkan oleh rumah sakit adalah:
Kebijakan Manajemen :
Ada kebijakan kewaspadaan Isolasi (Isolation precaution).
Ada kebijakan tentang pengembangan SDM dalam PPI
Ada kebijakan tentang pengadaan bahan dan alat yang
melibatkan tim PPI.
Ada kebijakan tentang penggunaan antibioticyang rasional.
Ada kebijakan tentang pelaksanaan surveilans.
Ada kebijakan tentang pemeliharaan fisik dan saran yang
melibatkan tim PPI
Ada kebijakan tentang kesehatan karyawanh.Ada kebijakan
penanganan KLB.
Ada kebijakan penempatan pasien
Ada kebijakan upaya pencegahan infeksi ILO, IADP, ISK,
Pneumonia, VAP
Kebijakan TekhnisAda SPO tentang kewaspadaan isolasi (isolation
precaution)
Ada SPO kebersihan tangan
Ada SPO penggunaan alat pelindung diri (APD)
Ada SPO penggunaan peralatan perawatan pasien
Ada SPO pengendalian Lingkungan
Ada SPO pemrosesan peralatan pasien dan penalaksanaan
linen
Ada SPO kesehatan karyawan/perlindungan petugas
kesehatan
Ada SPO penempatan pasien
Ada SPO hygiene respirasi/etika batuk
Ada SPO praktek menyuntik yang aman
10
Ada SPO praktek untuk lumbal punksi
Upaya-upaya pencegahan infeksi dan rekomendasinya
A. Mencuci Tangan
a) Bila tangan tampak kotor, terkena kontak cairan tubuh pasien yaitu darah,
cairan tubuh sekresi, ekskresi, kulit yang tidak utuh, ganti verband, walaupun
telah memakai sarung tangan.
b) Bila tangan beralih dari area tubuh yang terkontaminasi ke area lainnya yang
bersih, walaupun pada pasien yang sama. Indikasi kebersihan tangan: sebelum
kontak pasien, sebelum tindakan aseptik, setelah kontak darah dan cairan tubuh,
setelah kontak pasien, setelah kontak dengan lingkungan sekitar pasien.
1) Alat pelindung diri adalah pakaian khusus atau peralatan yang di pakai petugas
untuk memproteksi diri dari bahaya fisik, kimia, biologi/bahan infeksius.
11
3) Tujuan Pemakaian APD adalah melindungi kulit dan membrane mukosa dari
resiko pajanan darah, cairan tubuh, sekret, ekskreta, kulit yang tidak utuh dan
selaput lendir dari pasien ke petugas dan sebaliknya.
a) Rendam peralatan bekas pakai dalam air dan detergen atau enzyme lalu
dibersihkan dengan menggunakan spons sebelum dilakukan disinfeksi tingkat
tinggi (DTT) atau sterilisasi.
d) Untuk alat bekas pakai yang akan di pakai ulang, setelah dibersihkan dengan
menggunakan spons, di DTT dengan klorin 0,5% selama 10 menit.
12
f) Untuk peralatan yang besar seperti USG dan X-Ray, dapat didekontaminasi
permukaannya setelah digunakan di ruangan isolasi.
Keterangan Alur:
2) Pembersihan: Proses yang secara fisik membuang semua kotoran, darah, atau
cairan tubuh lainnya dari permukaan benda mati ataupun membuang sejumlah
mikroorganisme untuk mengurangi risiko bagi mereka yang menyentuh kulit atau
menangani objek tersebut. Proses ini adalah terdiri dari mencuci sepenuhnya
dengan sabun atau detergen dan air atau menggunakan enzim, membilas dengan
air bersih, dan mengeringkan. Jangan menggunakan pembersih yang bersifat
mengikis, misalnya Vim atau Comet atau serat baja atau baja berlubang, karena
produk-produk ini bisa menyebabkan goresan. Goresan ini kemudian menjadi
sarang mikroorganisme yang membuat proses pembersihan menjadi lebih sulit
serta meningkatkan pembentukan karat.
D. PENGENDALIAN LINGKUNGAN
a) Kualitas Udara
Tidak dianjurkan melakukan fogging dan sinar ultraviolet untuk kebersihan udara,
kecuali dry mist dengan H2O2 dan penggunaan sinar UV untuk terminal
dekontaminasi ruangan pasien dengan infeksi yang ditransmisikan melalui air
borne. Diperlukan pembatasan jumlah personil di ruangan dan ventilasi yang
13
memadai. Tidak direkomendasikan melakukan kultur permukaan lingkungan
secara rutin kecuali bila ada outbreak atau renovasi/pembangunan gedung baru.
b) Kualitas air
Seluruh persyaratan kualitas air bersih harus dipenuhi baik menyangkut bau, rasa,
warna dan susunan kimianya termasuk debitnya sesuai ketentuan peraturan
perundangan mengenai syarat-syarat dan pengawasan kualitas air minum dan
mengenai persyaratan kualitas air minum.
c) Permukaan lingkungan
Seluruh pemukaan lingkungan datar, bebas debu, bebas sampah, bebas serangga
(semut, kecoa, lalat, nyamuk) dan binatang pengganggu (kucing, anjing dan tikus)
dan harus dibersihkan secara terus menerus. Tidak dianjurkan menggunakan
karpet di ruang perawatan dan menempatkan bunga segar, tanaman pot, bunga
plastik di ruang perawatan. Perbersihan permukaan dapat dipakai klorin 0,05%,
atau H2O2 0,5-1,4%, bila ada cairan tubuh menggunakan klorin 0,5%. Fasilitas
pelayanan kesehatan harus membuat dan melaksanakan SPO untuk pembersihan,
disinfeksi permukaan lingkungan,tempat tidur, peralatan disamping tempat tidur
dan pinggirannya yang sering tersentuh. Fasilitas pelayanan kesehatan harus
mempunyai disinfektan yang sesuai standar untuk mengurangi kemungkinan
penyebaran kontaminasi.
Desain harus mencerminkan kaidah PPI yang mengacu pada pedoman PPI secara
efektif dan tepat guna. Desain dari faktor berikut dapat mempengaruhi penularan
infeksi yaitu jumlah petugas kesehatan, desain ruang rawat, luas ruangan yang
tersedia, jumlah dan jenis pemeriksaan/prosedur, persyaratan teknis komponen
lantai, dinding dan langit-langit, air, listrik dan sanitasi, ventilasi dan kualitas
udara, pengelolaan alat medisreused dan disposable, pengelolaan
makanan,laundry dan limbah.
E. PENGELOLAAN LIMBAH
14
Pemisahan limbah dimulai pada awal limbah dihasilkan dengan memisahkan
limbah sesuai dengan jenisnya. Tempatkan limbah sesuai dengan jenisnya, antara
lain:
b) Petugas yang menangani linen harus mengenakan APD (sarung tangan rumah
tangga, gaun, apron, masker dan sepatu tertutup).
15
e) Linen yang terkontaminasi dengan darah atau cairan tubuh lainnya harus
dibungkus, dimasukkan kantong kuning dan diangkut/ditranportasikan secara
berhati-hati agar tidak terjadi kebocoran.
f) Buang terlebih dahulu kotoran seperti faeces ke washer bedpan, spoelhoek atau
toilet dan segera tempatkan linen terkontaminasi ke dalam kantong
kuning/infeksius. Pengangkutan dengan troli yang terpisah, untuk linen kotor atau
terkontaminasi dimasukkan ke dalam kantong kuning. Pastikan kantong tidak
bocor dan lepas ikatan selama transportasi.Kantong tidak perlu ganda.
i) Untuk menghilangkan cairan tubuh yang infeksius pada linen dilakukan melalui
2 tahap yaitu menggunakan deterjen dan selanjutnya dengan Natrium hipoklorit
(Klorin) 0,5%. Apabila dilakukan perendaman maka harus diletakkan di wadah
tertutup agar tidak menyebabkan toksik bagi petugas.
16
menghindari tercecer. Apabila terjadi kecelakaan kerja berupa perlukaan seperti
tertusuk jarum suntik bekas pasien atau terpercik bahan infeksius maka perlu
pengelolaan yang cermat dan tepat serta efektif untuk mencegah semaksimal
mungkin terjadinya infeksi yang tidak diinginkan. Sebagian besar insiden pajanan
okupasional adalah infeksi melalui darah yang terjadi dalam fasilitas pelayanan
kesehatan (fasyankes). HIV, hepatitis B dan hepatitis C adalah patogen melalui
darah yang berpotensi paling berbahaya, dan kemungkinan pajanan terhadap
patogen ini merupakan penyebab utama kecemasan bagi petugas kesehatan di
seluruh dunia. Risiko mendapat infeksi lain yang dihantarkan melalui darah
(bloodborne) seperti hepatitis B dan C jauh lebih tinggi dibandingkan
mendapatkan infeksi HIV. Sehingga tatalaksana pajanan okupasional terhadap
penyebab infeksi tidak terbatas pada PPP HIV saja. Di seluruh fasyankes,
kewaspadaan standar merupakan layanan standar minimal untuk mencegah
penularan patogen melalui darah. Tatalaksananya meliputi pemeriksaan,
pemantauan dan pemberian obat.
H. PENEMPATAN PASIEN
c) Bila tidak tersedia ruang tersendiri, dibolehkan dirawat bersama pasien lain
yang jenis infeksinya sama dengan menerapkan sistem cohorting. Jarak antara
tempat tidur minimal 1 meter. Untuk menentukan pasien yang dapat disatukan
dalam satu ruangan, dikonsultasikan terlebih dahulu kepada Komite atau Tim PPI.
17
g) Pasien HIV tidak diperkenankan dirawat bersama dengan pasien TB dalam satu
ruangan tetapi pasien TB-HIV dapat dirawat dengan sesama pasien TB.
Diterapkan untuk semua orang terutama pada kasus infeksi dengan jenis
transmisiairborne dan droplet. Fasilitas pelayanan kesehatan harus menyediakan
sarana cuci tangan seperti wastafel dengan air mengalir, tisu, sabun cair, tempat
sampah infeksius dan masker bedah.Petugas, pasien dan pengunjung dengan
gejala infeksi saluran napas, harus melaksanakan dan mematuhi langkah-langkah
sebagai berikut:
a) Menutup hidung dan mulut dengan tisu atau saputangan atau lengan atas.
Pakai spuit dan jarum suntik steril sekali pakai untuk setiap suntikan,berlaku juga
pada penggunaan vial multidose untuk mencegah timbulnya kontaminasi mikroba
saat obat dipakai pada pasien lain. Jangan lupa membuang spuit dan jarum suntik
bekas pakai ke tempatnya dengan benar. Hati-hati dengan pemakaian obat untuk
perina dan anestesi karena berpotensi menimbulkan Kejadian Luar Biasa (KLB).
b. Tidak menggunakan semprit yang sama untuk penyuntikan lebih dari satu
pasien walaupun jarum suntiknya diganti (kategori IA).
c. Semua alat suntik yang dipergunakan harus satu kali pakai untuk satu pasien
dan satu prosedur (kategori IA).
d. Gunakan cairan pelarut/flushing hanya untuk satu kali (NaCl, WFI, dll)
(kategori IA).
18
e. Gunakan single dose untuk obat injeksi (bila memungkinkan) (kategori IB).
f. Tidak memberikan obat-obat single dose kepada lebih dari satu pasien atau
mencampur obat-obat sisa dari vial/ampul untuk pemberian berikutnya (kategori
IA).
g. Bila harus menggunakan obat-obat multi dose, semua alat yang akan
dipergunakan harus steril (kategori IA).
h. Simpan obat-obat multi dose sesuai dengan rekomendasi dari pabrik yang
membuat (kategori IA).
i. Tidak menggunakan cairan pelarut untuk lebih dari 1 pasien (kategori IB)
Semua petugas harus memakai masker bedah, gaun bersih, sarung tangan steril
saat akan melakukan tindakan lumbal pungsi, anestesi spinal/epidural/pasang
kateter vena sentral. Penggunaan masker bedah pada petugas dibutuhkan agar
tidak terjadi droplet flora orofaring yang dapat menimbulkan meningitis bacterial.
19
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
20
DAFTAR PUSTAKA
https://www.google.com/url?
sa=t&source=web&rct=j&url=http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456
789
http://dinkes.surabaya.go.id/portal/berita/kewaspadaan-universal-wajib-
digunakan-oleh-petugas-medis/
https://www.google.com/url?
sa=t&source=web&rct=j&url=http://digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/
DigitalCollection/N2VINz
https://id.scribd.com/document/381248569/105926-ID-sarana-dan-prasarana-
rumah-sakit-pemerin-pdf
https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cdurl=https
%3A%2Fwww.persi.or.id%2Fimages%2Fregulasi%2Fpermenkes
%2Fpmk272017
21