Penerapan Rezim Extraterritorial Jurisdiction Dalam Hukum Siber Di Indonesia PDF
Penerapan Rezim Extraterritorial Jurisdiction Dalam Hukum Siber Di Indonesia PDF
15 Januari-April 2014
Abstract
The application of positive law in Indonesia particularly Article 2 of the
Information and Electronic Transaction Law, in which extraterritorial
jurisdiction of national law is applied against other countries, will
definitely create problems when it comes face to face with other
jurisdictions. In order to overcome the obstacles in implementing the
aforesaid article, Indonesia has to carry out international cooperations
through agreements or other forms of international cooperations.
International cooperations can also be done in the form of the
formulation of norms or international principles that can later be
recognized as customary international law.
A. LATAR BELAKANG
Kehidupan modern meningkatkan ketergantungan pada
infrastruktur-infrastruktur yang saling terhubung dan bergantung satu
sama lain. Sementara sektor-sektor seperti pangan, air, kesehatan dan
transportasi dan infrastruktur yang mendukung sektor-sektor tersebut
merupakan suatu yang sifatnya sangat penting dan kritis,
kemampuannya untuk menghubungkan terdapat pada Teknologi
Informasi dan Komunikasi (TIK) yang merupakan komponen penting
dalam kehidupan sehari-hari.
104
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014
Ruang siber yang merupakan keseluruhan dari komponen-
komponen tersebut di atas kadang dikategorikan sebagai sektor
tersendiri, yang pada praktiknya sangat berkaitan dengan sektor-sektor
lain, sama seperti sektor energi dan transportasi yang tidak dapat begitu
saja dipisahkan. Ruang siber dapat diilustrasikan sebagai lapisan tipis
atau sistem syaraf yang menghubungkan sektor-sektor yang lain
sehingga membuat sektor-sektor lain dapat saling berkomunikasi dan
berfungsi. 251
Seiring terjadinya globalisasi, kemajuan di bidang teknologi
informasi seperti lahirnya internet yang menciptakan ruang siber
diharapkan memberi manfaat yang seluas-luasnya bagi kesejahteraan dan
kelangsungan hidup manusia. Namun demikian, manfaat tersebut diikuti
juga dengan munculnya berbagai jenis tindak kejahatan baru dengan
memanfaatkan teknologi yang ada saat ini. Di satu sisi, internet
merupakan suatu ruang yang dapat memungkinkan para penggunannya
beraktivitas di dalamnya, namun di sisi lain internet juga berfungsi
sebagai media bagi para penggunanya untuk membantu aktivitas dan
kegiatannya.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, Marty Natalegawa
menyampaikan bahwa:
“the impact of the cyber world on every aspect of human life is
enormous. At every moment of the day, informastion floods from all
251 Lihat Dave Clemente, Cyber Security and Global Interdependence: What is Critical?, Chantam
House, London, 2013, hlm. v
105
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014
252 Statement by H.E. DR. R. Marty. M. Natalegawa, Minister for Foreign Affairs of the Republic of
Indonesia, at the Seoul Conference on Cyberspace, Seoul, 17 October 2013
253 Lihat Jeane Neltje Saly, Globalization, Law Enforcement and Cyber Crime in National Law
System, Indonesia Law Journal Vol. 2 No. 2, National Law Development Agency, Mininstry of Law
and Human Rights, Jakarta, 2007, hlm. 18
254 Ibid.
106
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014
Aturan hukum yang ada seringkali tidak cukup untuk
mengakomodasi kegiatan atau aktivitas pemanfaatan informasi dan
teknologi. Misalnya saja, hukum pidana belum mampu menampung
kebutuhan akan perlunya alat bukti tindak pidana siber atas tindak
pidana yang terkait dengan komputer (computer-related crimes).
Permasalahan hukum selalu terkait dengan masalah-masalah lain
di luar hukum. Di bidang yang sangat pesat perkembangannya seperti
teknologi dan informasi, meningkatnya pemanfaatan teknologi informasi
merupakan salah satu aspek yang mempercepat globalisasi yang
kemudian ditandai dengan memudarnya batas-batas antar Negara. Oleh
karena itu, untuk mempertahankan agar suatu Negara tetap tertib
sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat, maka hukum
harus berfungsi sebagai pedoman dalam menyeimbangkan kepentingan
nasional dan internasional.
Internet sebagai bentuk kemajuan teknologi informasi,
memungkinkan para pemakainya melewati batas yurisdiksi negara
masing-masing. Masalah yurisdiksi di internet erat kaitannya dengan
masalah penegakan hukum di tiap-tiap negara. Sebagai dunia tanpa
batas, penerapan yurisdiksi di internet bukan hal yang mudah. Perlu ada
kepastian mengenai hukum yang akan diterapkan di dunia tanpa batas
107
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014
B. IDENTIFIKASI MASALAH
Berdasarkan uraian dalam latar belakang, masalah yang hendak
dikaji adalah sebagai berikut :
255 Ayu Putriyanti, Yurisdiksi di Internet/Cyberspace, Media Hukum, Volume IX. No. 2, April-Juni,
2009, hlm. 1
108
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014
Apakah terdapat kendala dalam penerapan hukum positif
khususnya rezim extraterritorial jurisdiction di Indonesia saat ini?
109
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014
256 Lihat Steve Coughlan, et.al, Global Reach, Local Grasp: Constructing Extraterritorial Jurisdiction
in the Age of Globalization, Dalhousie Law School, Prepared for the Law Commission of Canada,
2006, hlm.15
257 Lihat Samuel F. Miller, Prescriptive Jurisdiction over Internet Activity: The Need to Define and
Establish the Boundaries of Cyberliberty, Indiana University School of Law, Digital Repository
@Maurer Law, Indiana Journal of Global Legal Studies, Volume 2, Issue 2, 2003, hlm. 229
110
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014
Apabila suatu negara tidak menegakkan atau melaksanakan hukum yang
telah ditetapkannya tersebut maka sebenarnya secara praktis hal itu tidak
akan menimbulkan persoalan. Namun akan sangat tidak bijak apabila
suatu negara tidak mampu memetakan yurisdiksi preskriptifnya
(prescriptive jurisdiction) secara ekstrateritorial, misalnya dengan melihat
di mana Indonesia berniat dan mempunyai potensi serta kapasitas untuk
melakukan penegakan hukum terhadap hukum yang telah Indonesia
tetapkan.
Dalam hal ini kriteria yang diberikan oleh Mahkamah
Internasional dalam menerapkan yuridiksi negara secara ekstrateritorial
terhadap negara lain adalah adanya: 1) permissive rule yang berasal dari
kebiasaan internasional (international costumary law); dan 2) permissive rule
yang berasal dari suatu konvensi.
Pada konteks pelaksanaannya oleh Indonesia, pembentukan rezim
ekstrateritorial khususnya dalam hukum siber terdapat pada Pasal 2
Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (UU ITE), sebagai berikut:
“Undang-Undang ini berlaku untuk setiap Orang yang melakukan
perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, baik yang
berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum
Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau
di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia.”258
258 Lihat Pasal 2 Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
111
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014
259 Lihat Penjelasan Pasal 2 Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik
112
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014
Pasal 2 UU ITE terhadap wilayah negara lain ataupun di luar wilayah
Indonesia tersebut dirasa akan sangat lemah.
Untuk itu, dalam tataran proses pembentukan, Pasal 2 UU ITE ini
sebenarnya belum selesai dikonstruksikan legislasinya oleh Indonesia.
Hal ini karena Pasal 2 UU ITE membutuhkan pembentukan suatu rezim
hukum baru agar dapat berlaku secara efektif. Sesuai dengan Pendapat
Hukum Mahkamah Internasional dalam Kasus Lotus (Lotus Case), rezim
hukum baru yang dimaksud di sini adalah hukum kebiasaan
internasional (international customary law) dan konvensi ataupun
perjanjian internasional.
Dalam rangka mengatasi hambatan yurisdksi dalam penegakan
Pasal 2 UU ITE tersebut, Indonesia memiliki yurisdiksi untuk
mengadakan kerja sama internasional dalam bentuk perjanjian
internasional atau bentuk lain dengan negara (perjanjian bilateral) atau
negara-negara lain (perjanjian regional dan multilateral) lingkup ruang
siber. Kerja sama internasional tersebut juga dapat dilakukan dalam
bentuk perumusan norma-norma atau prinsip-prinsip internasional yang
nantinya dapat berfungsi sebagai international customary law.
Gagasan mengenai kerja sama internasional ini sekali lagi secara
tegas dinyatakan oleh Marty Natalegawa di Seoul Conference on
Cyberspace, Seoul, pada tanggal 17 Oktober 2013, sebagai berikut:
“We need to establish a global arrangement through which the
cyberspace contributes to addressing the challanges of our time, such
as poverty, climate change, armed conflicts, corruption and natural disasters.
We must, therefore, develop and promote cyberspace principles and norms
that will support and sustain development. That will bring common progress
113
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014
262 Hasil wawancara secara online dengan Prof. Jonathan L. Zittrain pada tanggal 23 Juli 2013
melalui sebuah thread di Facebook.com yang disponsori oleh Berkman Center for Internet & Society,
Harvard University. Pada kesempatan tersebut Jonathan Zittrain akan menjawab pertanyaan-
pertanyaan seputar cyber security dan Internet governance secara real time dari para penanya
termasuk pertanyaan penulis. Dapat diakses melalui https://www.facebook.com/BerkmanCenter.
Question : What about in matters related to cyber crime such as hacking, carding, etc? Do you think
it’s possible to use extraterritorial jurisdiction to adjudicate the person from other state? And can we
combine it with extradition treaty bilaterally to make it enforcable?
Answer : Possible, just that the gears turn slowly. The Russians, for example, may be game to have a
framework for turning over identifiying information of those engaging in internet-based crime from
their turf, or even extradition, but they’ll want the same from, say, the US—and qour definitions of
crime may vary greatly. Ideally, we could have financial systems be more resilient, so that the crime
level dreps overall, or the impact of crime is felt less harshly. It should be easier to manage and verify
one’s credit rating, for example.
115
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014
menimbulkan efek perubahan besar (more like fish in the ocean). Hal
pertama yang harus dilakukan adalah menentukan pelanggaran/tindak
pidana yang akan diatur.263
Dapat disimpulkan dari pendapat Zittrain di atas bahwa pada
prinsipnya terdapat kemungkinan pembentukan rezim yurisdiksi
ekstrateritorial dalam hukum siber melalui perjanjian internasional,
namun masalah yang akan dihadapi adalah pengaturan-pengaturan yang
bersifat detail di dalamnya termasuk penentuan pelanggaran/tindak
pidana yang akan diatur.
Dalam rangka penentuan pengaturan detail terkait apa-apa saja
yang hendak diatur dalam suatu perjanjian internasional baik bilateral
maupun internasional dan internasional sebenarnya dapat mengacu pada
perjanjian internasional atau konvensi yang telah ada untuk dijadikan
sebagai patokan. Terkait dengan penentuan pelanggaran yang akan
diatur, Convention on Cybercrime 2001 telah menentukan sebagai berikut:
263 Ibid.
Question : so, you would suggest pre-emptive and preventive action by technical arrangements on
this particular matters? Say Indonesia, Malaysia, and Singapore both has the same rules and
principles on extraterritorial jurisdiction to prosecute internet-based crime, the only obstacle is the
sovereignty of each sountry to willingly hand over the offender. I think it’ll be the best way if
somehow these countries have their own extradition treaty that include internet based crime to
possibly enforce the extraterritorial jurisdiction considering there’s no international regime regarding
this matter.
Answer: The devil will be in details—I could see something working here, but it’s hard to imagine
invoking the treaty and performing an extradition for all but the most high priority defendants. So the
wisdom of this will depend, in part, by a sense of the shape of the problem: is it something that’s
kingpin-heavy, where a few well-placed prosecutions can make a dent, or more like fish on the ocean.
Definining the problem will be a first step: is it DDOS, identity theft,....?
116
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014
“whereas, the Council of Europe in Convention on Cybercrime has
devided the types of cybercrime into some classifications as follow: 1) illegal
access; 2) illegal interception; 3) data interference; 4) system interference; 5)
misuse of devices; 6) computer-related forgery; 7) computer-related fraud;
offences related to child pornography; 8) offences related to infringements of
copyright and related rights.”264
264 Ahmad M. Ramli, The Urgency of Ratification of Convention on Cybercrime, Indonesia Law
Journal Vol. 2 No. 2, National Law Development Agency, Mininstry of Law and Human Rights,
Jakarta, 2007, hlm. 2
265 Global Project on Cybercrime, The Cybercrime Legislation of Commonwealth States: Use of the
Budapest Convention and Commonwealth Model Law, Council of Europe contribution to the
Commonwealth Working Group on Cybercrime, Data Protection and Cybercrime Division, 2013, hlm.
79
117
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014
119
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014
yang berkaitan dengan masa depan internet dan keamanan siber. Hasil
dari ARF dapat berupa resolutions, declarations, statements, principles,
objectives, declarations of principles, guidelines, standards, or action plans dan
memiliki morally binding power bagi Negara-Negara Anggota ARF.
Selanjutnya, alternatif lain dalam membentuk rezim internasional
untuk dapat menerapkan dan memberlakukan Pasal 2 UU ITE secara
efektif adalah dengan mekanisme pembentukan perjanjian bilateral.
Dalam hal ini perjanjian bilateral tersebut dapat mengatur 3 (tiga)
kewenangan secara ekstrateritorial, yaitu: 1) bantuan timbal balik dan
kerja sama terhadap bidang-bidang tertentu secara ekstrateritorial,
sebagai contoh dari perjanjian ini adalah bantuan hukum timbal balik; 2)
kewenangan ekstrateritorial secara resiprokal, misalnya operasi gabungan
antar dua negara; 3) kewenangan ekstrateritorial secara bersama,
misalnya dalam bentuk pendirian komisi bersama serta pendirian liason
office dan liasion officer.
Contoh perjanjian bilateral yang mengatur ketiga kewenangan
secara ekstrateritorial seperti tersebut di atas adalah Memorandum of
Understanding between The Government of The Republic of Indonesia and The
Government of Australia on Combating Transnational Crime and Developing
Police Cooperation Tahun 2008 (MoU 2008) dan Arrangement between The
Indonesian National Police and The Australian Federal Police on Cooperation in
Preventing and Combating Transnational Crime Tahun 2011 (Arrangement
2011) di bawah kerangka kerja sama Lombok Treaty.
122
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014
Kedua perjanjian tersebut merupakan perjanjian pelaksana dari
Agreement between The Republic of Indonesia and Australia on The Framework
for Security Cooperation, yang disebut dengan Perjanjian Lombok atau
Lombok Treaty. Lombok Treaty telah disahkan oleh Indonesia melalui
Undang-Undang Nomor 47 Tahun 2007 Tentang Pengesahan Perjanjian
antara Republik Indonesia dan Australia Tentang Kerangka Kerja Sama
Keamanan (Agreement between The Republic of Indonesia and Australia on The
Frameworkfor Security Cooperation).
Salah satu lingkup kerja sama prioritas yang diatur baik oleh MoU
2008 maupun Arrangement 2011 adalah tindak pidana siber. Hal ini
terlihat dari Paragraph 6 MoU 2008 sebagai berikut:
“Paragraph 6 MoU: Priority Crime Types, Priority criminal issues
under this MoU will include but are not limited to: 1) terrorism; 2) illicit
trafficking in narcotics drugs and psychotropic substances and their precursors;
3) people smuggling and trafficking in persons; 4) transnational child
exploitation; 5) money laundring and proceeds of crime action; 6) cyber crimes;
7) arms smuggling; 8) transnational economic crimes; 9) corruption; 10)
environmental crime; 11) illegal fishing; 12) intellectual property crime; 13)
identity crime; 14) sea piracy; and 15) other types of crime if deemed necessary by
both Parties.”269
269 Lihat Paragraph 6 MoU: Priority Crime Types, Memorandum Of Understanding Between The
Government Of The Republic Of Indonesia And The Government Of Australia On Combating
Transnational Crime And Developing Police Cooperation Tahun 2008
123
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014
270 Lihat Paragraph 3: Scope of Cooperation, Arrangement Between The Indonesian National Police
And The Australian Federal Police On Cooperation In Preventing And Combating Transnational
Crime Tahun 2011
271 Lihat Paragraph 4 MoU 2008 dan Paragraph 4 Arrangement 2011
124
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014
dengan pembentukan The Jakarta Centre for Law Enforcement Cooperation
(JCLEC) di Semarang tahun 2004 . Dalam pelaksanaannya, JCLEC akan
berkerja sama dengan dengan badan-badan lain seperti the South East
Asian Regional Centre for Counter Terrorism (SEARCCT) di Kuala Lumpur,
Malaysia dan International Law Enforcement Academy (ILEA) di Bangkok,
Thailand.272
KESIMPULAN
126