Anda di halaman 1dari 18

TUGAS MATA KULIAH : ISSUE KONTEMPORER,ETIKA & HUKUM

KESEHATAN
DOSEN :

MAKALAH
CULTURAL COMPETENCY (TRANSCULTURAL NURSING) & HEALTH LITERACY

OLEH :
NIRMALA AMIR R012192015

ASWAR MUZAKKIR R012192013

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2020

i
KATA PENGANTAR

Syukur yang tak terhingga atas segala nikmat yang telah dilimpahkan kepada kita oleh
sang pemilik segalanya Allah SWT, baik nikmat kesehatan maupun nikmat kesempatan
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini, tak lupa lupa salam dan salawat kita
kirimkan untuk Nabi besar Muhammad SAW atas semua jasanya kepada sekalian ummat.
Penyusunan makalah ini merupakan kumpulan dari beberapa literatur baik dari jurnal,
buku dan sumber lainnya.
Team penyusun mampu menyelesaikan makalah ini karena bantuan baik support
maupun doa dari berbagai pihak olehnya itu kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya.
Makalah ini dibuat dengan segala keterbatasan utamanya dari segi pengetahuan dan
pengalaman dalam menyusun makalah sehingga makalah ini masih belum sempurna, oleh
karena itu kami sangat mengharapkan saran – saran yang sifatnya membangun dalam
menyempurnakan makalah ini dan juga sebagai tambahan ilmu untuk penyusunan makalah
berikutnya.
Akhirnya team penyusun berharap makalah ini bisa menjadi sumber referensi bagi
insan akademik dan memberikan manfaat yang banyak bagi para pembaca. Amin.

Makassar, Februari 2020

Kelompok 1

ii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ii

Daftar Isi iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang 1

B. Rumusan Masalah 2

C. Tujuan Penulisan Makalah 2

D. Manfaat Penulisan Makalah 2

BAB II TINJAUAN TEORI


A. Transcultural Nursing 3

B. Health Literacy 14

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan 17

B. Saran 17

DAFTAR PUSTAKA 18

1
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Keperawatan adalah salah satu profesi kesehatan yang diperlukan dalam
memberikan perawatan kepada beragam kelompok populasi, yang memiliki perbedaan
disparitas, ketidaksetaraan struktural, perbedaan budaya dan kemiskinan sehingga
diperlukan pengetahuan yang cukup tentang keperawatan dan budaya.

Dalam menanamkan pengetahuan tentang budaya pada sistem keperawatan, hal


tersebut dapat membantu dalam memberikan perawatan yang tepat kepada pasien
dengan nilai yang beragam, keyakinan, dan perilaku, termasuk sosial budaya dan
bahasa (Lidia, Dell, Panayiota, & John, 2014).

Melalui proses pelaksanaan asuhan keperawatan, perawat harus mampu


menyesuaikan diri dengan segala perbedaan baik dari segi budaya, nilai bahkan
bahasa, bila hal tersebut tidak mampu dilakukan maka akan terjadi perbedaan persepsi
yang dapat menimbulkan ketidakmampuan perawat dalam beradaptasi dengan
perbedaan nilai dan budaya.

Keperawatan transkultural yang telah diaplikasikan oleh perawat dapat


mempertahankan bahkan meningkatkan hubungan terapeutik perawat dengan klien baik
sehat maupun sakit secara fisik dan psikokultural sesuai dengan latar belakang budaya
dan nilai masing-masing.

Keperawatan transkultural merupakan suatu bentuk pelayanan keperawatan yang


humanis sehingga tercipta sebuah pelayanan keperawatan dengan kultur yang berdeda
dan universal, kultur yang terdapat di masyarakat sangatlah beragam baik dari segi adat
istiadat, bahkan bahasa, sedangkan kultur universal merupakan hal yang diyakini dan
dilakukan oleh hampir semua masyarakat seperti olah raga untuk menyehatkan badan.

Pada tahun 2002 sebuah institute of medicine di US merilis sebuah laporan yang
mendokumentasikan tentang pemberian perawatan yang efektif dengan pendekatan
kultural/budaya akan mengarah pada terjadinya peningkatan kualitas perawatan.(Lie,
Lee-Rey, Gomez, Bereknyei, & Braddock, 2011).

2
Dalam masyarakat global saat ini, kompetensi budaya diperlukan sebagai salah
satu keunggulan dalam keperawatan. Masyarakat dapat melakukan perjalanan tidak
seperti sebelumnya. Sekarang Perawat dapat terhubung dengan klien melalui internet
dengan aplikasi “wisata medis” sudah menjadi kenyataan. Beberapa faktor menunjukkan
pentingnya perawat mengetahui budaya spiritual pada diri mereka sendiri dan orang
lain.

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah penulisan makalah ini adalah rangkuman teori tentang Transcultural
nursing & Health Literacy
C. Tujuan Penulisan Makalah
Adapun tujuan adalah sebagai berikut :

1. Menjelaskan Transcultural Nursing


2. Menjelaskan Health Literacy.
D. Manfaat Penulisan Makalah
Dalam penulisan makalah ini penulis berharap makalah ini bisa bermanfaat bagi insan
akademik dan semoga pembaca dari berbagai kalangan juga mendapatkan informasi
baru dalam lingkup keperawatan.

3
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. CULTURAL COMPETENCY (TRANSCULTURAL NURSING)
1. Pengertian Cultural Competency/Transcultural nursing
Konsep kompetensi budaya terdiri dari dua kata “culture” yang berarti budaya
sedangkan “competence” berarti kompetensi atau keahlian, jadi secara singkat culture
competency dapat diartikan sebagai pengetahuan atau keahlian seputar budaya dalam
menjalankan asuhan keperawatan dan dapat diaplikasikan dalam pendidikan keperawatan
(Rassool, 2015).
Transcultural nursing adalah suatu keilmuan budaya pada proses belajar dan
budaya dengan menghargai asuhan, sehat dan sakit didasarkan pada nilai budaya
manusia, kepercayaan dan tindakan dan ilmu ini dugunakan untuk memberikan asuhan
keperawatan khususnya budaya atau keutuhan budaya kepada manusia (Leininger,2002)
Transcultural Nursing adalah sebuah teori yang berpusat pada keragaman budaya
dan juga keyakinan tiap manusia. Dari pengertian diatas dapat diartikan bahwa semua
interaksi di dalam Transcultural mengandung makna dan perbedaan dalam nilai-nilai dan
keyakinan dari tiap kelompok dalam masyarakat. Konsep Transcultural Nursing
Leninger (1995) berfokus pada analisa komparatif dan budaya yang berbeda, nilai-nilai
kesehatan-penyakit, perilaku kepedulian dan pola keperawatan (Roman et al., 2013).
Tujuan dari keperawatan transcultural adalah untuk mengidentifikasi, menguji,
mengerti, dan menggunakan pemahaman keperawatan transcultural untuk meningkatkan
kebudayaan yang spesifik dalam pemberian asuhan keperawtan (Efi, 2017)
Asumsi mendasar dari teori adalah perilaku caring. Caring adalah esensi dari
keperawatan, membedakan , mendominasi serta mempersatukan tindakan keperawatan,
tindakan caring dikatakan sebagai tindakan yang dilakukan dalam memberikan
dukungan kepada individu secara utuh. Perilaku caring semestinya diberikan kepada
manusia sejak lahir, dalam pekembangan dan pertumbuhan, masa pertahanan sampai
dikala manusia itu meninggal. Human caring dikatakan sebagai segala sesuatu yang
berkaitan dengan dukungan dan bimbingan pada manusia yang utuh. Human caring
merupakan fenomena yang universal dimana ekspresi, struktur dan polanya bervariasi
diantara kultur satu tempat dengan tempat lainnya.

4
Budaya sangatlah berperan dalam kehidupan setiap manusia termasuk dalam
dunia kesehatan, oleh karena itu budaya merupakan salah satu faktor penting untuk
dipertimbangkan dalam melakukan tindakan asuhan keperawatan untuk menghindari
terjadinya kesalahpahaman dalam interaksi perawat dan klien.
Kesalahpahaman dalam interaksi antara perawat dan klien dapat terjadi ketika
perawat tidak mampu memahami keberagaman budaya yang terdapat di masyarakat,
sikap menggeneralisasi semua kelompok masyarakat akan mengarah ke sikap dan
prasangka yang akan menghambat pemberian asuhan keperawatan.
2. Paradigma Transcultural Nursing
Leininger (2002) menjelaskan bahwa paradigma keperawatan transcultural
sebagai cara pandang, keyakinan, nilai-nilai, konsep-konsep dalam terlaksananya
asuhan keperawatan yang sesuai dengan latar belakang budaya terhadap 4 konsep
sentral keperawatan yaitu; manusia, sehat, lingkungan dan keperawatn:
a. Manusia/klien
Manusia memiliki kecenderungan untuk mempertahanakan budayanya pada
setiap saat dimanapun dia berada (Leininger,2002)
b. Kesehatan
Keseluruhan aktivitas yang dimiliki klien dalam mengisi kehidupannya,
terletak pada rentang sehat sakit
c. Lingkungan
fenomena yang mempengaruhi perkembangan, kepercayaan, dan perilaku
klien. Lingkungan sebagai suatu totalitas kehidupan dimana manusia dan
budayanya saling berinteraksi, baik itu secara fisik, social dan simbolik
(Andrew & Boyle,1995)
d. Keperawatan
Keperawatan dipandang sebagai ilmu dan kiat yang diberikan kepada klien
dengan berfokus pada perilaku, fungsi, dan proses untuk meningkatkan dan
mempertahanakan kesehatan.
Menurut Leininger, Strategi yang digunakan dalam penerapan asuhan
kultural yaitu :
a. Preservasi asuhan kultural

5
Suatu kebiasaan akan di pertahankan jika, tidak bertentangan dengan
kesehatan. Seperti: budaya berolah raga setiap pagi.

b. Negosiasi asuhan kultural


Berbeda dengan preservasi, negosiasi akan dilakukan apabila budaya yang
diyakini dapat mennganggu kesehatan klien maka perawat akan membantu
klien untuk beradaptasi dengan budaya tertentu untuk mendukung peningkatan
kesehatannya. Misalnya : ibu hamil yang memiliki pantangan makan makanan
yang berbau amis maka akan diganti dengan sumber protein yang lainnya.
c. Restrukturikasi asuhan kultural
Rekonstruksi asuhan kultural melibatkan kerjasama dengan pasien dan
keluarganya dalam rangka membawa perubahan terhadap perilaku mereka
yang berkaitan dengan sehat, sakit, dan asuhan dengan cara yang bermakna
bagi mereka. Jika budaya yang dimiliki pasien dapat merugikan kesehatannya,
maka perawat akan melakukan penataan kembali terhadap budaya atau
kebiasaan tersebut. Seperti tidak boleh mandi jika terkena penyakit cacar air.

3. Kompetensi dalam keperawatan


Sejak 1960-an, telah ada upaya terpadu untuk memasukkan konsep-konsep yang
peka terhadap keragaman budaya dalam pendidikan keperawatan. National League for
Nursing (NLN) dan AACN telah membuat persyaratan ini wajib untuk akreditasi. Pada
2008, AA CN mengembangkan lima kompetensi program untuk lulusan program
keperawatan sarjana muda serta toolkit fakultas untuk mengintegrasikan kompetensi ini
ke dalam pendidikan sarjana. The Essentials of Baccalaureate Education for Professional
Nursing Practice (2008) mengamanatkan dimasukkannya konsep asuhan keperawatan
yang beragam secara budaya dalam kurikulum dengan memperhatikan keragaman
budaya, spiritual, etnis, jenis kelamin, dan orientasi seksual. Lima kompetensi berikut
berfungsi sebagai kerangka kerja untuk mengintegrasikan konten budaya ke dalam
kurikulum yang ada (Cherry & R. Jacob, 2014):
1) Menerapkan pengetahuan tentang faktor sosial dan budaya yang memengaruhi
perawatan dan perawatan kesehatan di berbagai konteks.

6
2) Gunakan sumber data yang relevan dan bukti terbaik dalam memberikan perawatan
yang kompeten secara budaya.
3) Mendorong pencapaian hasil perawatan yang aman dan berkualitas untuk populasi
yang beragam.
4) Advokasi keadilan sosial, termasuk komitmen terhadap kesehatan populasi rentan dan
penghapusan kesenjangan kesehatan.
5) Berpartisipasi dalam pengembangan kompetensi budaya berkelanjutan.
Menurut Gerrish (2005) kompetensi budaya merupakan sebuah tingkatan kinerja
yang menunjukkan efektifitas penerapan ilmu pengetahuan, keterampilan, sikap dan
penilaian tindakan yang aman dan efektif dalam sebuah multikultural dan multi etnis,
salah satu cara yang telah dikembangkan di dalam kompetensi budaya adalah telah
dikembangkannya sebuah kerangka teoritis yang mendefenisikan dan menggambarkan
tentang kompetensi budaya(Rassool, 2015).
Ramsden (2002) mengembangkan sebuah kerangka kerja untuk kompetensi
budaya yang disebut sebagai keamanan budaya, dimana keamanan budaya yang
dimaksud adalah memberikan pelayanan keperawatan kepada pasien tanpa
mempedulikan latar belakang budaya pasien dan dijadikan sebagai acuan dalam
memberika tindakan keperawatan maupun dalam hal pendidikan keperawatan, bahkan
dewan perawat di Slandia Baru mengeluarkan peraturan bahwa keamanan budaya
merupakan salah satu standar kompetensi yang harus di miliki oleh perawat.
Menurut ANCL (2002) kompetensi merupakan sebuah perpaduan antara
keterampilan, pengetahuan, sikap dan nilai yang dapat dipergunakan dalam
melaksanakan kegiatan keperawatan sehingga berjalan efektif (Chenowethm, Jeon, Goff,
& Burke, 2006).
4. Keberagaman dalam perawatan kesehatan.
a. Kerja keras.
Dalam pelayanan kesehatan, perawat adalah tenaga paling banyak diantara
profesi lainnya, oleh karena itu perawat mempunyai peluang lebih besar atau
berkesempatan bersikap pro aktif dalam pelayanan kesehatan. Sistem pelayanan
kesehatan harus mencerminkan masyarakat yang toleran antara satu dengan lainnya.
Hal yang tidak kalah pentingnya adalah terbentuknya kemitraan antara perawat dan

7
klien, untuk menjadikan kemitraan nyata maka diperlukan banyak hal meliputi
persiapan akademis yang memadai, ilmu, biaya dan upaya perekrutan tenaga yang
professional dibidangnya.
b. Kompetensi perawat.
Sistem perawatan kesehatan memiliki tanggung jawab dalam merespon
meningkatnya keberagaman budaya agar semua pelayanan keperawatan dapat
berjalan sebagaimana mestinya, beberapa hal penting yang menjadi tanggung jawab
perawat adalah :
1. Menunjukkan rasa hormat dan kepekaan terhadap perbedaan keyakinan dan
nilai orang lain.
2. Bertanggung jawab untuk bertanya, belajar dan mengintegrasikan keyakinan
dan nilai orang lain secara professional.
3. Bertanggung jawab mencoba merubah prasangka dan prilaku buruk dalam diri
dan orang lain.
Dalam konteks orientasi budaya perawat harus menghormati hak dan adat
istiadat setiap individu dan masyarakat secara keseluruhan, perawat harus kompeten
secara budaya karena :
1. Budaya perawat seringkali berbeda dari kebutuhan budaya klien.
2. Perawatan yang tidak sesuai dengan budaya mungkin jauh lebih
mahal dan tidak efektif.
3. Tujuan pemberian perawatan pada orang – orang yang memiliki
budaya yang berbeda harus dipenuhi seperti layaknya orang yang sehat.
4. Pengalaman ras dan kelompok minoritas dalam kesehatan dan
perawatan kesehatan.
5. Keperawatan berkomitmen terhadap keadilan sosial, menyediakan
keamanan dan kaulitas perawatan untuk semua.
6. Perawat diharapkan merespon penyakit epidemik infeksi yang
global.
7. Mencapai kompetensi budaya harus menjadi tujuan perawat.

5. Fenomena budaya

8
Gigs dan Davidhizar (2008) membagi fenomena budaya ke dalam 6 kelompok yang
berpariasi antara lain (Cherry & R. Jacob, 2014):
a. Pengendalian lingkungan.
Pengendalian lingkungan adalah kemampuan seseorang untuk mengendalikan alam
atau lingkungan, meraka percaya bahwa mereka dapat mengusai kekuatan alam
sehingga mereka terkadang tidak mau melakukan/menerima tindakan keperawatan
dengan alasan bahwa inilah takdir meraka, sebagian lagi dari meraka lebih memilih
pengobatan tradisional.
b. Variasi biologi.
Variasi biologi adalah perbedaan dari struktur tubuh, genetik dan warna kulit dapat
membuat perbedaan dalam kerentanan terhadap penyakit tertentu, misalnya orang
Afrika jauh lebih kuat dari pada kulit putih karena kepadatan tulang orang Afrika jauh
lebih tinggi sehingga jarang terjadi osteoporis.
c. Organisasi sosial.
Organisasi sosial terdiri dari unit keluarga atau kelompok etnis tertentu, keluarga
sangat bergantung pada keluarga besar yang dapat memberikan dukungan emosional
dan finansial, serta dapat membantu dalam pengambilan keputusan terutama yang
berkaitan dengan kesehatan. (Stanhope dan Lancaster, 2010).

d. Komunikasi.
Kendala dalam berkomunikasi paling sering terjadi pada perbedaan bahasa, tapi
tidak jarang juga terjadi karena kesalahan interpretasi dari bahasa tubuh atau non
verbal.
Bahasa non verbal seperti kontak mata tidak dapat diterima oleh semua kalangan
misalnya orang eropa-amerika menganggap tatapan mata adalah hal biasa saja bahkan
dianggap sebagai sebuah perhatian khusus, tapi dibangsa afrika dan indian amerika
menganggap tatapan mata adalah sebuah tingkah laku yang kasar.
Perbedaan bahasa sebenarnya dapat diatasi dengan menunjuk seorang penerjemah
yang mampu menyampaikan konsep pelayanan keperawatan kepada pasien dan
menjelaskan kembali kepada perawat umpan balik yang diberikan oleh pasien.
Penerjemah dapat dipilih dari kalangan keluarga klien, teman seprofesi atau bahkan

9
dari staf rumah sakit itu sendiri, kendala kemudian akan muncul ketika kerahasiaan
klien diketahui oleh orang lain dalam hal ini sang penerjemah, sedangkan klien
tertentu tidak ingin orang lain mengetahui kondisi medis mereka.
e. Ruang.
Setiap individu memiliki ruang pribadi masing-masing disekitarnya, terdapat
beberapa budaya yang berbeda tentang jarak ketika melakukan komunikasi bahkan
ketika melaksanakan tindakan asuhan keparawatan. Anglo amerika memiliki zona
nyaman 0 – 18 cm, biasanya jarak inilah yang digunakan ketika melakukan penilaian
fisik pada bagian-bagian tertantu seperti pemeriksaan mata atau telinga, budaya di
sebagian asia percaya bahwa tidak baik jika jarak terlalu dekat ketika sedang
berinteraksi sehingga lebih memilih mengatur jarak, tapi berbeda dengan meksiko
yang cenderung merasa nyaman dengan jarak yang tidak jauh karena mereka senang
menyentuh ketika melakukan komunikasi (Stanhope and Lancaster, 2010)
f. Waktu.
Pemahaman tentang waktu merupakan cara memaknai arti masa sekarang, masa
lalu dan masa depan, sebagian individu yang berorientasi pada masa sekarang akan
tampak menikmati apa yang terjadi saat ini tanpa peduli hari berikutnya.
Individu yang lebih melihat masa lalu dari pada masa sekarang dan masa depan
akan cenderung sering termenung, mereka fokus dengan kenangan masa lalu,
individu tersebut sering tidak kooperatif karena bayangan kejadian masa lalu.
Individu yang berorientasi dengan masa depan pandai dalam melakukan
perencanaan, peduli dengan tujuan pelayanan keperawatan dan selalu melakukan
kegiatan-kegiatan dalam hal pencegahan penyakit, orang-orang seperti ini sering
terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang bertujuan memaksimalkan kesehatan.

6. Hambatan kompetensi budaya.


Ada 2 kategori hambatan kompetensi budaya yaitu : hambatan penyelenggara dan
hambatan system (mazannoc dan Tylor, 2013). Hambatan penyelenggara misalnya
perawat tidak mengetahui informasi mengenai kebiasaan budaya dalam perawatan
sakratul maut, sedangkan hambatan system yaitu sistem yang berada pada sebuah agen,

10
dimana struktur dan kegiatan agen tersebut tidak dibuat untuk adanya keragaman
budaya(Zerwekh & Gerneau, 2014).
Misalnya keluarga Amerika indian, mereka mempunyai keinginan untuk menginap
di ruangan ICU, mendampingi keluarga yang sakit kritis. Sudah menjadi tradisi beberapa
suku atau bangsa yang selalu bersedia menemani kerabat mereka ketika sedang dalam
kesusahan meskipun tempat tersebut tidak nyaman untuk tidur dan ruang tunggu tidak
cukup luas untuk menampung semua keluarga yang datang dan memberikan dukungan
untuk pasien, perawat yang memiliki kompetensi budaya dapat memberikan ruangan
khusus keluarga pasien untuk menginap dekat dengan keluarga mereka yang sakit, hal ini
dilakukan untuk mendukung kebutuhan pasien dan keluarga walaupun terdapat
perbedaan budaya yang pada komunitas.

7. Kesehatan dan perbedaan kesehatan


Salah satu tujuan healty people 2020 adalah menghilangkan perbedaan kesehatan
(healty people, 2020–2030) perbedaan kesehatan merupakan ketidaksetaraan pada
penyakit morbiditas dan motalitas dibagian populasi. Perbedaan ini mungkin diakibatkan
adanya perbedaan dalam ras dan suku, mereka mempercayai bahwa hasil interaksi
beberapa varian genetik, faktor lingkungan dan perilaku kesehatan. Misanya tingkat
kematian bayi kulit hitam 2 kali lebih besar dibanding kulit putih, angka kejadian
diabetes juga 2 kali lebih besar dibanding kulit putih, pada kasus baru juga seperti
hepatitis dan TBC lebih banyak terjadi di asia dan kepulauan pasifik dibanding dengan
kulit putih.
Solusi untuk menyelesaikan masalah kesehatan dan perbedaan kesehatan ini yang
sangat banyak dan masih belum ditemukan. Beberapa solusi diantaranya meningkatkan
jenis pelayanan kesehatan, memastikan semua masyarakat mempunyai akses yang
terjangkau, pelayanan primer kesehatan, promosi kesehatan dan pola hidup sehat,
kekuatan pelayanan pasien, meningkatkan kompetensi budaya pelayanan kesehatan dan
melakukan penelitian untuk menemukan penyebab penyakit tertentu, mempunyai
pengaruh yang sangat besar terhadap kelompok minoritas dan untuk menemukan strategi
intervensi yang efektif (Chenowethm et al., 2006).

11
B. Health literacy .
Health literacy adalah kemampuan individu untuk mencari, memahami,
mengevaluasi dan menggunakan informasi dan layanan dasar yang diperlukan membuat
keputusan yang tepat mengenai pencegahan, diagnosis dan pengobatan.(Echeverri, 2017)
Health literacy merupakan faktor utama dalam melaksanakan pencegahan penyakit
serta dapat berguna bagi perawatan kesehatan secara baik. Menurut CDC (2015), Health
literacy adalah suatu kondisi dimana seseorang telah memiliki kemampuan dalam
memahami informasi dan layanan kesehatan dasar sehingga diharapkan mampu
mengambil keputusan yang tepat dalam hal pemenuhan kebutuhan akan kesehatannya
sendiri maupun orang sekitarnya (Echeverri, 2017).
Pemenuhan kebutuhan kesehatan terkadang terkendala karena adanya beberapa
faktor yang yang dapat menyebabkan hasil pemeriksaan kesehatan yang buruk antara lain
(Galati, Adams, Graham, Reynolds, & Zametin, 2017) :
a. Pengetahuan tentang kesehatan yang tidak memadai.
b. Terjadinya kesalahan pengobatan.
c. Tingginya resiko pembacaan ulang di rumah sakit.
d. Biaya perawatan mahal.
e. Menurunnya status kesehatan.
f. Terbatasnya akses terhadap layanan kesehatan.
Pengetahuan tentang kesehatan berasal dari beberapa kejadian penyakit yang terjadi
di masyarakat, ditunjang promosi kesehatan yang aktif serta sumber informasi kesehatan
yang dapat di akses dengan sangat mudah sehingga pengetahuan masyarakat tentang
kesehatan semakin besar.
Kurang pengetahuan kesehatan (Health literacy ) dapat juga terjadi karena beberapa
faktor salah satunya adalah terjadi pada kalangan populasi rentan seperti dewasa dan para
lansia, ketidakmampuan para lansia dalam mendapatkan informasi kesehatan baik dari
media ataupun dari petugas kesehatan serta ketidakmampuan mengolah informasi
kesehatan yang diterima menjadi penyebab utama rendahnya pengetahuan tentang
kesehatan.
Sedangkan untuk pengetahuan kesehatan (Health literacy) di dalam komunitas
ditinjau secara sistematis dan metasintesis dalam pembuatan konsep CHL (critical

12
Health literacy) terhadap orang dewasa dan komunitas, mereka menunjukkan inisiatif
yang berbasis masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa orang dewasa memiliki banyak
pengetahuan dalam komunitas melalui belajar kolaborasi dan adanya dukungan sosial,
oleh karena itu kegiatan ini diyakini dapat menambah pengetahuan mereka dibidang
kesehatan.(de Wit et al., 2017).
CHL merupakan kemampuan untuk menilai, menyaring dan menggunakan informasi
kesehatan yang diberikan dalam kehidupan manusia, melalui praktek individu maupun
berkelompok, seperti belajar bersama dan dukungan sosial. Defenisi ini secara eksplisit
mencakup komunitas serta melibatkan peran dari belajar kelompok dan dukungan sosial.
Belajar kelompok dan dukungan sosial yang telah dijalani oleh sebagian masyarakat
telah memberikan kontribusi yang besar terhadap CHL seseorang. Belajar kelompok ini
juga mampu memberikan wawasan bagaimana memperkuat CHL terhadap orang dewasa
dan juga masyarakat, meskipun demikian hal yang perlu kita perhatikan adalah upaya ini
tetap memperhatikan kelemahan akses kesehatan yang ada, tapi perawat kesehatan tetap
memberdayagunakan sumber pengetahuan masyarakat dan terus meningkatkan informasi
kesehatan untuk meningkatkan kesehatan dan kesejahtraan masyarakat.

13
BAB III
KESIMPULAN

Dari makalah ini, dapat disimpulkan bahwa :


1. Budaya sangatlah berperan dalam kehidupan setiap manusia termasuk dalam dunia
kesehatan, oleh karena itu budaya merupakan salah satu faktor penting untuk
dipertimbangkan dalam melakukan tindakan asuhan keperawatan untuk menghindari
terjadinya kesalahpahaman dalam interaksi perawat dan klien.
2. Hal dasar yang menjadi kunci utama dari Transcultural Nursing dan Health literacy
adalah komunikasi. Komunikasi yang baik antara perawat dan pasien atau dengan
masyarakat, akan meningkatkan kualitas pelayanan dan kualitas hidup masyarakat itu
sendiri dalam bidang kesehatan. Komunikasi yang bisa diterapkan disini adalah
komunikasi terapeutik. Bila dipandang perlu, maka kita dapat meningkatkan tehnik
komunikasi perawat dengan belajar langsung kepada pakar komunikasi.

DAFTAR PUSTAKA
Asmadi. (2008). Konsep Dasar Keperawatan (1st ed.; M. Eka, Anisa, ed.). Jakarta
Akhmadi.2011. konsep keperawatan transcultural (madeleine Leininger). Gadjah mada
university. (internet). https://w w.academia.edu/17630w151/Makalah_fix
Afifah, Efy.(2017). keragaman budaya dan perspektif transkultural dalam keperawatan. jakarta.
(internet). http://staff.ui.ac.id/system/files/users/afifah/material/transkulturalnursing.pdf
Chenowethm, L., Jeon, Y.-H., Goff, M., & Burke, C. (2006). Cultural competency and nursing

14
care: an Australian perspective. International Nursing Review, 53(1), 34–40.
https://doi.org/10.1111/j.1466-7657.2006.00441.x
Cherry, B., & R. Jacob, S. (2014). Contemporary Nursing Issues, Trends & Management. In
Ecosystems and Human Well-being: A Framework for Assessment (Vol. 6).
https://doi.org/10.1007/s13398-014-0173-7.2
de Wit, L., Fenenga, C., Giammarchi, C., di Furia, L., Hutter, I., de Winter, A., & Meijering, L.
(2017). Community-based initiatives improving critical Health literacy : a systematic
review and meta-synthesis of qualitative evidence. BMC Public Health, 18(1), 40.
https://doi.org/10.1186/s12889-017-4570-7
Echeverri, M. (2017). Assessing Cancer Health literacy among Spanish-Speaking Latinos.
https://doi.org/10.1007/s13187-017-1255-y
Egenes, K. J. (2009). History of Nursing. Issues And Trends In Nursing: Essential Knowledge
For Today And Tomorrow, 1–26.
Galati, C., Adams, R., Graham, K., Reynolds, K., & Zametin, J. (2017). Health literacy and
written communication in Skilled Nursing / Subacute Facilities. Otjr, 1–8.
https://doi.org/10.1177/1539449217723896
Kusumaningsih, I. (2009). Persepsi masyarakat terhadap citra…, Indriati Kusumaningsih, FIK-
UI, 2009.
Leinenger. M., M. R. (2017). Transcultural Nursing; Concepts, Teories, Research & Practice
(3th ed.). New York.

Presiden RI. (2014). Undang-Undang RI No.38 Tahun 2014 Tentang Keperawatan. Departemen
Kesehatan RI.
Pusat Data Dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. (2017). 12 Mei. Situasi Tenaga
Keperawatan Indonesia.
Putri, A. A. (2014). Tren dan Isu Keperawatan. IN MEDIA.
Raman, J. (2015). Improved Health and Wellness Outcomes in Ethnically / Culturally Diverse
Patients through Enhanced Cultural Competency in Nurse Educators. 5(1).
https://doi.org/10.9730/ojccnh.org/v5i1a8
Rassool, G. H. (2015). Cultural competence in nursing. In Nursing Times (Vol. 111).
https://doi.org/10.1016/j.ccell.2008.08.012
Simamora, R. H. (2009). Buku Ajar Pendidikan Dalam Keperawatan (1st ed.; E. Tiar, ed.).

15
Jakarta.
Zerwekh, J., & Gerneau, A. Z. (2014). Nursing Today : transition and trends (7th ed.). United
States of Amerika: Elsevier Sauders.

16

Anda mungkin juga menyukai