MODUL
HUKUM PEMBUKTIAN
DISUSUN OLEH :
TIM PENYUSUN MODUL
BADAN DIKLAT KEJAKSAAN R.I.
BAB I PENDAHULUAN
B. Deskripsi Singkat........................................................................................................... 1
D. Indikator Keberhasilan................................................................................................. 2
A. Pengertian ........................................................................................................................ 5
E. Rangkuman ..................................................................................................................... 16
F. Diskusi.............................................................................................................................. 16
G. Latihan …………………………………………………………………………………..16
A. Pengertian ....................................................................................................................... 17
B. Jenis Bukti Permulaan ................................................................................................. 18
F. Diskusi.............................................................................................................................. 21
G. Latihan ............................................................................................................................. 21
A. Pengertian ....................................................................................................................... 22
F. Diskusi.............................................................................................................................. 27
G. Latihan ............................................................................................................................. 27
A. Pengertian ....................................................................................................................... 28
E. Diskusi ............................................................................................................................. 31
F. Latihan.............................................................................................................................. 32
A. Pengertian ....................................................................................................................... 33
A. Kesimpulan .................................................................................................................... 86
B. Harapan……………………………………………………………………86
KEPUSTAKAAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana terdiri dari tahapan
kegiatan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan, putusan
pengadilan serta tahapan upaya hukum. Pada dasarnya seluruh kegiatan dalam proses hukum
penyelesaian perkara pidana mulai dari penyelidikan sampai dengan tahap upaya hukum
merupakan kegiatan berhubungan dengan pembuktian atau kegiatan membuktikan.
Penyelidik tidak dapat menentukan apakah suatu peristiwa diduga sebagai suatu tindak
pidana dan dapat dilakukan penyidikan tanpa memahami bukti permulaan. Penyidik hanya
dapat menentukan tindak pidana yang terjadi dan menemukan tersangkanya apabila telah
diperoleh bukti-bukti yang sah. Penuntut umum baru dapat menentukan apakah berkas perkara
memenuhi syarat untuk dilimpahkan ke pengadilan apabila telah diperoleh bukti-bukti yang
sah. Penuntut umum baru dapat menentukan apakah berkas perkara memenuhi syarat untuk
dilimpahkan ke pengadilan apabila telah diperoleh sekurang-kurangnya dua bukti yang sah
yang saling bersesuaian antara satu dengan yang lain. Demikian juga hakim hanya boleh yakin
tentang bersalah tidaknya terdakwa apabila keyakinannya didukung oleh sekurang-kurangnya
dua alat bukti yang sah.
Peran Kejaksaan dalam penegakan hukum selain sebagai Penuntut Umum juga diberi
kewenangan untuk melakukan penyidikan terhadap perkara-perkara tertentu. Kejaksaan diberi
kewenangan untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu antara lain
penyidikan terhadap tindak pidana korupsi dan pelanggaran HAM.
Pembuktian dalam penanganan perkara baik tindak pidana umum maupun tindak pidana
khusus sama sama mengacu pada hukum pembuktian dalam KUHAP. Berdasarkan hukum
pembuktian perkara pidana dalam KUHAP maka pihak yang wajib membuktikan tentang
kesalahan terdakwa sebagaimana dalam surat dakwaan adalah Jaksa Penuntut Umum.
Pembuktian sangat penting bagi proses penegakan hukum dan tentunya sebagai dasar
untuk menentukan tuntutan pidana serta untuk menjatuhkan putusan.
1
B. DESKRIPSI SINGKAT
Hukum pembuktian mutlak harus dipahami oleh seorang jaksa baik dalam kapasitasnya
sebagai penyelidik dan/atau penyidik Kejaksaan untuk tindak pidana tertentu (korupsi, TPPU,
dan pelanggaran HAM berat) tentang apa saja yang dapat merupakan bukti permulaan/bukti
dan bagaimana memperolehnya. Penuntut umum harus mengetahui jenis bukti/alat bukti yang
sah sebagai dasar menyusun dakwaan/tuntutan pidananya serta mengerti nilai dan
kekuatan/pembuktian masing-masing alat bukti.
C. TUJUAN PEMBELAJARAN
1. Tujuan Pembelajaran Umum
Setelah mempelajari modul ini peserta diharapkan dapat memahami:
a. Apa saja yang merupakan bukti permulaan, bukti dan alat bukti.
b. Teknik memperoleh bukti permulaan, bukti dan alat bukti.
c. Syarat sah bukti dan alat bukti.
D. INDIKATOR KEBERHASILAN
Untuk menilai ketercapaian tujuan pembelajaran dapat diukur melalui indikator keberhasilan yang
dirumuskan sebagai berikut :
1. Memiliki Pemahaman tentang pentingnya Pembuktian terutama dalam Persidangan;
2. Menguasai pengertian, fungsi, tehnik, cara, jenis alat bukti dan Pembuktian secara keseluruhan;
3. Memahami bahwa Pembuktian adalah tugas pokok seorang Penuntut Umum;
BAB II
HUKUM PEMBUKTIAN DALAM HUKUM ACARA PIDANA
Pembuktian dalam Hukum Acara Pidana merupakan bagian yang sangat esensial, guna
menentukan dan membuktikan kesalahan seorang terdakwa. Bersalah atau tidaknya seorang
terdakwa, sebagaimana yang telah didakwakan dalam surat dakwaan, ditentukan pada proses
pembuktiannya. Hal tersebut merupakan suatu upaya untuk membuktikaan kebenaran dari isi
surat dakwaan yang disampaikan oleh Jaksa Penuntut Umum. Kegunaannya adalah untuk
memperoleh kebenaran materiil.
A. PENGERTIAN
1 . Hukum Acara Pidana
a.Menurut Prof. Wirjono Prodjodikoro (dalam bukunya “Hukum Acara Pidana di
Indonesia”) ; Suatu rangkaian peraturan yang memuat cara bagaimana badan-badan
pemerintah yang berkuasa yaitu kepolisian, kejaksaan dan pengadilan harus bertindak
guna mencapai tujuan negara dengan menegakkan hukum pidana.
b.Menurut van Bemmelen yang dikutif Andi Hamzah (dalam bukunya “Hukum Acara
Pidana Indonesia”; Hukum Acara Pidana mempelajari peraturan-peraturan yang
diciptakan negara, karena terjadi pelanggaran Undang-undang Pidana.
-Negara melalui alat-alatnya menyidik kebenaran.
- Sedapat mungkin menyidik pelaku perbuatan itu.
- Mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna menangkap si pembuat dan kalau perlu
menahannya.
- Mengumpulkan bahan-bahan bukti yang telah diperoleh pada penyidikan guna
dilimpahkan kepada hakim dan membawa terdakwanya kedepan hakim.
- Hakim memberi putusan tentang terbukti tidaknya perbuatan yang didakwakan kepada
terdakwa dan untuk itu menjatuhkan pidana atau tindakan tata tertib.
1
Kesimpulan:
a. Hukum acara pidana dan karenanya juga hukum pembuktian harus dengan undang-
undang.
b.Peradilan dilakukan menurut cara yang diatur dalam undang-undang (Pasal 3 KUHAP;
Asas legalitas)
c. Pembuktian bagian dari hukum acara pidana.
2 . Pembuktian
Undang-undang hukum acara pidana tidak memberikan batasan atau pengertian tentang
pembuktian.
Pembuktian berasal dari kata kerja membuktikan. Secara etimologi, membuktikan
berasal dari kata dasar “bukti” yang berarti sesuatu yang menyatakan kebenaran peristiwa.
Membuktikan artinya, meyakinkan atau memastikan sesuatu sebagai suatu yang benar.
Di dalam hukum acara, pembuktian diartikan sebagai usaha untuk memberi kepastian
kepada hakim, oleh karena itu pembuktian hukum terjadi dalam proses persidangan bukan
diluar peradilan.
Menurut M. Yahya Harahap, SH (dalam bukunya “Pembahasan Permasalahan dan
Penerapan KUHAP, jilid II); pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi
penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang digunakan undang-undang membuktikan
kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang
mengatur alat-alat bukti yang diberikan undang-undang yang boleh digunakan hakim
membuktikan kesalahan terdakwa.
Menurut kamus “Ichtiar Baru - van Hoeve, PT, 1989); pembuktian ialah penyajian alat-
alat bukti yang sah menurut hukum kepada hakim yang memeriksa suatu perkara guna
memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang dikemukakan.
Catatan, definisi oleh M. Yahya Harahap, SH dan Ichtiar Baru - van Hoeve, adalah pengertian
pembuktian di sidang pengadilan
1
pengadilan, putusan pengadilan dan upaya hukum yang dipermasalahkan adalah masalah
pembuktian. Hal ini dapat dilihat pada semua tahap pemeriksaan sebagai berikut.
Tahap Penyelidikan
Penyelidik karena kewajibannya mempunyai wewenang yang diatur pada Pasal 5
KUHAP;
a. Mencari keterangan dan barang bukti.
b.Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa identitasnya.
c. Atas perintah penyidik dapat melakukan penangkapan, penggeledahan dan penyitaan.
d.Mengambil sidik jari dan memotret orang.
Kewenangan ini dimaksudkan untuk mencari bukti permulaan, dan dengan bukti
permulaan tersebut menentukan dapat tidaknya dilakukan penyidikan karena telah
diperoleh dugaan terjadi tindak pidana.
Tahap Penyidikan
Penyidik karena kewajibannya mempunyai wewenang menurut Pasal 7 ayat (1);
a.Memanggil orang untuk didengar keterangannya sebagai saksi, guna memperoleh bukti
keterangan saksi.
b.Mendatangkan seorang ahli untuk didengar keterangannya sebagai ahli, guna
memperoleh bukti keterangan ahli.
c.Memeriksa dan menyita surat, guna memperoleh bukti surat.
1
3. Tahap Prapenuntuan
Penuntut umum setelah menerima berkas perkara hasil penyidikan dari penyidik
segera mempelajari kelengkapan berkas perkara yang meliputi kelengkapan formil dan
kelengkapan materiil.
1
Kelengkapan formil meliputi apakah berita acara pemeriksaan saksi, ahli dan
tersangka sudah memenuhi syarat sah suatu berita acara, apakah berita acara penyitaan
surat dan barang bukti sudah sah dengan sudah ada izin/penetapan ketua pengadilan
negeri setempat.
Kelengkapan materiil apakah bukti-bukti keterangan saksi, keterangan ahli,
keterangan tersangka, surat diperoleh secara sah dan apakah telah diperoleh minimal dua
bukti yang saling bersesuaian yang dari persesuaiannya membuktikan unsur-usur tindak
pidana yang disangkakan dan tersangka pelakunya.
5.Tahap Penuntutan
Penuntut umum setelah menerima atau menerima kembali berkas perkara yang sudah
lengkap atau setelah dilakukan pemeriksaan tambahan menentukan apakah berkas perkara
tersebut memenuhi syarat untuk dilimpahkan ke Pengadilan. Kalau semua fakta yang
mendukung unsur-unsur delik diperoleh dari bukti-bukti yang sah ia segera menyusun
surat dakwaan. Akan tetapi apabila ia berpendapat perkara tidak cukup bukti maka
perkara dihentikan penuntutannya.
Semua proses pemeriksaan di sidang pengadilan pada hakekatnya mencari alat bukti,
karena hanya dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah yang saling bersesuaian
Penuntut umum dan hakim boleh yakin bahwa tindak pidana yang didakwakan benar-
benar terbukti dan terdakwa bersalah melakukannya.
7. Putusan Pengadilan
Keyakinan hakim tentang terbukti tidaknya tindak pidana yang didakwakan terpulang
kepada kemampuan Penuntut umum mengajukan alat-alat bukti yang sah dan dari alat
bukti yang sah Penuntut umum memperoleh fakta hukum yang mendukung unsur delik
tindak pidana yang didakwakan.
Dalam hal pengadilan berpendapat terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak
pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana.
Dalam hal pengadilan berpendapat bahwa tindak pidana yang didakwakan tidak
terbukti secara sah dan menyakinkan, maka terdakwa diputus bebas.
Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan terbukti tetapi
terdakwa tidak bisa dipertanggungjawabkan maka terdakwa diputus lepas dari segala
tuntutan hukum.
Peranan dan hakekat hukum pembuktian memegang peranan penting dalam proses
hukum acara pidana oleh sebab itu mutlak harus dikuasai oleh pejabat pada semua tingkat
pemeriksaan khususnya Penuntut umum yang berwenang menuntut dan dibebani
kewajiban membuktikan tindak pidana yang didakwakan. Menurut Pasal 8 ayat (3)
Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004, tentang Kejaksaan Republik Indonesia “Demi
keadilan dan kebenaran berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, Jaksa melakukan
penuntutan dengan keyakinan berdasarkan alat bukti yang sah. Sementara hakim menurut
Pasal 197 ayat (1) huruf a KUHAP, Hakim hanya memutus demi Keadilan berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.
Penuntut umum dalam membuktikan dakwaannya terikat pada ketentuan dan
penilaian alat bukti yang ditentukan undang-undang. Penuntut umum, hakim juga
terdakwa dan penasihat hukumnya tidak boleh sekehendak hati dengan selera sendiri
dalam menggunakan dan menilai alat bukti di luar dari apa yang di tentukan undang-
undang.
1
d.Berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum.
e.Dalam hal diancam pidana lima belas tahun atau lebih dan tidak mempunyai penasihat,
pejabat/penyidik wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka.
f..Mengajukan saksi atau ahli yang menguntungkan baginya.
g.Tidak dibebani kewajiban pembuktian.
h.Memperoleh turunan berita acara pemeriksaannya sendiri.
i.Dalam hal ditahan, berhak;
1. menghubungi penasihat hukum
2 . menghubungi dokter pribadi, keluarga dan rohaniawan.
3 . melakukan hubungan surat-menyurat dengan penasihat dan keluarganya.
4 . mengajukan penangguhan penahanan.
5 . apabila WNA menghubungi perwakilan negaranya.
6 .dalam hal ia ditahan, hari berikutnya wajib diperiksa.
PERLINDUNGAN HAM
Asas KUHAP
Pasal/Ayat
Jadi menurut Mahkamah Agung dalam “Himpunan Tanya Jawab Tentang KUHAP”,
1984, hal 75; dua keterangan saksi yang bersesuaian satu sama lain dinilai sebagai du alat
bukti yang sah.
Perlu dicatat putusan Mahkamah Agung RI dalam kasus kematian gadis MARSINAH
di Sidoarjo, masing-masing putusan:
1.Nomor 1174 K/Pid/1994, atas nama terdakwa Ny. Mutiari, SH.
2.Nomor 429 K/Pid/1995, atas nama terdakwa Yudi Tusanta.
3.Nomor 381 K/Pid/1995, atas nama terdakwa Yudi Astono.
4.Nomor 1590 K/Pid/1994, atas nama terdakwa Karyono Wongso.
5.Nomor 1592 K/Pid/1994, atas nama terdakwa Bambang Wuryanto, cs.
6.Nomor 1706 K/Pid/1994, atas nama terdakwa Suwano, cs.
Semua terdakwa tersebut dinyatakan tidak bersalah melakukan tindak pidana yang
didakwakan, sehingga para terdakwa tersebut dibebaskan dari semua dakwaan.
Adapun pertimbangan hukum yang mendasari putusan Mahkamah Agung diatas pada
pokoknya sebagai berikut: “Bahwa Index factie telah salah menerapkan hukum
pembuktian dimana para saksi yang juga adalah para terdakwa dalam masing-masing
perkaranya dengan dakwaan yang sama dipecah-pecah, hal yang demikian adalah
bertentangan dengan Hukum Acara Pidana yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia”
(Varia Peradilan, Majalah Hukum, Tahun X Nomor 120, September 1995, hal 13).
sumber perolehannya merupakan alat bukti petunjuk bahwa ia telah melakukan tindak
pidana korupsi.
RANGKUMAN
1 .Aparat penegak hukum diberi kewenangan mencari, mengumpulkan bukti permulaan dan
bukti akan tetapi tidak boleh melanggar hak asasi manusia (khususnya hak-hak tersangka)
artinya diperoleh tidak bertentangan dengan aturan hukum, selaras dengan kewajiban
hukum yang mengharuskan dilakukannya tindakan jabatan, harus patut dan menghormati
hak asasi manusia (tersangka).
2 .Bukti tidak sah apabila diperoleh dengan melanggar hak asasi manusia.
3 .Fakta hukum tidak sah apabila diperoleh dari bukti yang tidak sah.
4 .Hasil penyidikan tidak sah apabila diperoleh dengan melanggar hak asasi manusia.
5 .Dakwaan tidak sah apabila diperoleh dari hasil penyidikan yang tidak sah.
6 .Surat dakwaan yang tidak sah tidak bisa dijadikan dasar pemeriksaan di pengadilan.
E. DISKUSIKAN
1 .Bentuk kelompok diskusi.
2 .Diskusikan materi bab ini.
3 . Presentasikan hasil diskusi.
4 . Tanya jawab.
F. LATIHAN
Jawab pertanyaan di bawah ini tanpa buka modul;
1 . Jelaskan pengertian hukum pembuktian.
2 .Garis hukum apa yang bisa saudara tarik dari pengertian ini.
3 .Buktikan bahwa hukum pembuktian merupakan titik sentral hukum acara pidana.
4 . Buktikan bahwa hukum acara pidana melindungi hak asasi manusia.
G. TINDAK LANJUT
Apabila saudara bisa menjawab 80 % benar, saudara boleh meneruskan ke Bab
berikutnya, kalau belum bisa disarankan ulangi lagi mendiskusikan Bab ini.
1
BAB Ill
PEMBUKTIAN PADA TAHAP PENYELIDIKAN
A. PENGERTIAN
Penyelidikan ialah Serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu
peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan
penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
Dalam Tata Kelola dan Teknis Penanganan Perkara Tindak Pidana Khusus dikenal
adanya istilah Pra Penyelidikan yaitu tindakan-tindakan administrasi sejak diterimanya sumber
penyelidikan sampai dengan adanya keputusan terhadap tindak lanjut atas sumber
penyelidikan menurut cara yang diatur dalam Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia.
Penyelidikan bukan merupakan tahapan yang berdiri sendiri akan tetapi merupakan
bagian atau sub fungsi dari penyidikan. KUHAP tidak mengatur penyelidikan dalam bab
tersendiri. Pada BAB XIV mengatur Bab Penyidikan yang terdiri dari Bagian Kesatu
Penyelidikan dan Bagian Kedua Penyidikan. Oleh sebab itu kewenangan penyelidik pada
Pasal 102 dan Kewenangan penyidik pada Pasal 106 KUHAP adalah sama; yaitu dalam hal
penyelidik atau penyidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang
terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan
tindakan penyelidikan (bagi penyelidik) atau penyidikan (bagi penyidik) yang dianggap perlu.
Artinya apabila yang mengetahui atau menerima laporan tentang dugaan terjadi tindak pidana
adalah penyelidik maka penyelidik wajib segera melakukan tindakan penyelidikan akan tetapi
apabila dari laporan atau temuan sendiri telah diperoleh bukti permulaan yang cukup
1
umpannya dalam operasi tertangkap tangan atau hasil pengembangan suatu perkara
pidana maka peristiwa tersebut dapat langsung dilakukan penyidikan tanpa didahului
penyelidikan lagi.
Jadi sarana atau alat yang digunakan penyelidik untuk menentukan apakah peristiwa itu
diduga sebagai tindak pidana dan dapat dilakukan penyidikan adalah bukti permulaan.
c. Tindakan itu harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam lingkup jabatannya.
d. Atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa.
e. Menghormati hak asasi manusia.
(Penjelasan Pasal 5 angka 4 KUHAP)
Bukti permulaan yang telah diperoleh kemudian diolah/dianalisis untuk memperoleh
sekurang-kurangnya dua bukti permulaan yang saling bersesuaian antara satu dengan yang
lain dari persesuaiannya diketahui peristiwa tersebut diduga sebagai tindak pidana dapat
dilakukan penyidikan.
Bukti
Unsur Delik Fakta Keterangan
Permulaan
1 2 3 4
1. Dengan sengaja Fulan berkehendak memiliki Fulan Saya meminjam mobil
mobil Derita dengan cara Derita dengan maksud
meminjam. saya memiliki
2. Melawan hukum Fulan menjual mobil Derita Derita Fulan minjam mobil saya
tanpa setahu Derita tapi tidak dikembalikan
Fulan Saya pinjam mobil Derita
kemudian saya jual tapa
seizin Derita lebih
dahulu.
3. Mengaku sebagai Fulan mengatakan kepada Fulan Benar mobil itu saya jual
pemilik sendiri Tadah bahwa mobil itu kepada Tadah
(miliknya) adalah miliknya dan ia jual
karena mendadak perlu
uang.
Tadah Saya beli mobil itu
dengan harga Rp,…, dan
berjanji BPKB akan
diserahkan kemudian.
F. DISKUSI
1 .Buat kelompok diskusi
2 .Diskusikan materi bab ini.
3 .Presentasikan hasil diskusi
4 .Tanya jawab.
G. LATIHAN
Jawab pertanyaan di bawah ini, tanpa buka modul:
1 . Jelaskan apa yang dimaksud penyelidikan.
2 . Garis hukum apa yang dapat saudara simpulkan dari pengertian tersebut.
3 . Sebutkan dan jelaskan jenis bukti permulaan.
4 . Jelaskan bagaimana cara memperoleh bukti permulaan.
5 . Jelaskan fungsi bukti permulaan.
6 . Jelaskan cara menentukan suatu peristiwa diduga merupakan tindak pidana dan dapat
dilakukan penyidikan
7 . Buat matrik hasil penyelidikan, lanjutkan dengan gelar perkara.
H. TINDAK LANJUT
Apabila saudara bisa menjawab 80 % benar, saudara boleh meneruskan ke Bab
berikutnya, kalau belum bisa disarankan ulangi lagi mendiskusikan Bab ini.
1
BAB IV
PEMBUKTIAN PADA TAHAP PENYIDIKAN
A. PENGERTIAN
Penyidikan ialah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur
dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti, yang dengan bukti itu
membuat terang suatu tindak pidana dan menemukan tersangkanya.
Pada Bab sebelumnya telah dijelaskan bahwa suatu laporan atau pengaduan dapat
didahului dengan penyelidikan akan tetapi dapat juga langsung dilakukan penyidikan
sepanjang telah diperoleh bukti permulaan yang cukup. Dalam hal temuan sendiri, laporan
atau pengaduan langsung dilakukan penyidikan, maka penyidik berdasarkan kewenangan yang
diberikan undang-undang melalui Pasal 7 ayat (1) KUHAP melakukan tindakan mencari bukti
akan tetapi apabila temuan sendiri, laporan atau pengaduan dilakukan penyelidikan lebih
dahulu maka bukti permulaan yang diperoleh pada tahap penyelidikan ditindaklanjuti untuk
dijadikan bukti.
Berdasarkan pengertian penyidikan tersebut diatas, dapat ditarik garis hukum sebagai
berikut:
1 . Penyidik dalam melakukan tugas dan wewenangnya harus dilakukan berdasarkan undang-
undang.
2 . Wewenangnya adalah mencari bukti yang sebanyak-banyaknya, minimal dua yang saling
3 . Dengan bukti-bukti tersebut menentukan jenis tindak pidana apa yang terjadi, pasal berapa
yang disangkakan.
4 . Menemukan tersangkanya, dalam hal langsung dilakukan penyidikan tanpa didahului
penyelidikan; dalam hal didahului dengan penyelidikan maka prasa “menemukan” harus
dimaknai “memastikan” tersangkanya, artinya tersangka yang diperoleh berdasarkan bukti
permulaan sama dengan tersangka yang ditemukan berdasarkan bukti di penyidikan.
Setiap tindakan penyidik dalam melaksanakan tugas dan wewenang yang diberikan oleh
undang-undang harus dilakukan dengan surat perintah yang sah dan semua tindakan tersebut
harus dibuatkan dan dibuktikan dengan berita acara yang sah. Adapun syarat berita acara yang
sah, antara lain ;
1 . Dalam bahasa Indonesia, dalam hal tidak bisa berbahasa Indonesia, diterjemahkan oleh juru
bahasa, sebelum mengalih bahasakan harus bersumpah.
2 . Menyebutkan waktu dan tempat dilakukan tindakan.
3 . Dibuat oleh pejabat yang berwenang melakukan penyidikan dan yang tersebut dalam Surat
Perintah Penyidikan.
4 . Dibuat berdasarkan sumpah jabatan.
5 . Diberi tanggal dan tanda tangani oleh semua pihak yang terkait/terlibat.
2 . Benda atau tagihan milik tersangka yang merupakan hasil dari tindak pidana (korupsi Rp.
1.000.000.000,- kemudian dibelikan rumah, maka rumah itu hasil tindak pidana korupsi).
3 . Benda yang telah digunakan melakukan tindak pidana.
4 . Benda yang diperuntukkan melakukan tindak pidana.
5 . Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana.
Benda yang dalam sitaan perkara perdata atau kepailitan guna kepentingan pembuktian
dalam perkara pidana dapat dilakukan penyitaan.
Dalam hal ada benda sitaan yang cepat rusak atau biaya pemeliharaannya mahal, sedapat
mungkin atas persetujuan tersangka dapat dijual lelang dengan disaksikan tersangka atau
kuasanya. Hasil pelelangannya yang berupa uang dipakai sebagai barang bukti (hasil tindak
pidana). Untuk kepentingan pembuktian di Pengadilan sebagian kecil disisihkan dan sebelum
dilelang benda sitaan difoto lebih dahulu.
Keterangan saksi baru dapat digunakan sebagai bukti keterangan saksi yang sah, yaitu
mengenai hal apa yang ia dengar sendiri, lihat sendiri atau alami sendiri dan harus bisa
menjelaskan alasan pengetahuannya itu. Oleh sebab itu keterangan saksi yang diperoleh dari
pengetahuan orang lain yang disebut testimonium de auditu bukan bukti dan dipengadilan
bukan alat bukti keterangan saksi meskipun diberikan dibawah sumpah. Dalam hal saksi
dikuatirkan tidak bisa hadir di pengadilan karena tidak dipanggil sebab tempat tinggalnya jauh
maka sebelum memberikan keterangan ia bersumpah/berjanji lebih dahulu; keterangannya
dalam berita acara pemeriksaan saksi dibacakan disidang pengadilan.
Keterangan tersangka sebagai bukti ialah apa yang tersangka nyatakan dalam berita acara
pemeriksaan tersangka tentang apa yang ia lakukan, ketahui atau alami sendiri. Ia bebas
memberikan keterangan baik dalam bentuk pengakuan ataupun penyangkalan, itu sebabnya
tersangka baik di penyidikan maupun disidang pengadilan diperiksa dengan tidak disumpah.
C. FUNGSI BUKTI
1 . Guna membikin terang atau menentukan tindak pidana yang terjadi, diatur dalam Pasal
berapa undang-undang apa (umpama; tindak pidana pencurian, Pasal 362 KUHP); Pasal i
angka 2 KUHAP.
2 . Guna menemukan/memastikan tersangkanya; Pasal i angka 2 KUHAP.
3 . Syarat dilakukan penahanan; Pasal 21 ayat (1) KUHAP
1
2. Merampas nyawa Matinya Badu sebab tembakan Saksi Ali Yang menembak
orang lain pada kepala yang dilakukan kepala Badu adalah
tersangka mengakibatkan Bajul
rusaknya jaringan otak.
Tersangka Yang menembak
kepala Badu adalah
saya.
1
F. DISKUSI
1 . Buat kelompok diskusi
2 . Diskusikan materi bab ini.
3 . Presentasikan hasil diskusi
4 . Tanya jawab.
G. LATIHAN
Jawab pertanyaan dibawah ini, tanpa buka modul :
1 . Jelaskan apa yang dimaksud penyidikan.
2 . Dari pengertian ini garis hukum apa yang dapat saudara simpulkan
3 . Sebutkan dan jelaskan jenis bukti yang sah.
4 . Jelaskan syarat sah suatu berita acara.
5 . Jelaskan syarat sah masing-masing bukti tersebut.
6 . Jelaskan benda apa saja yang dapat disita untuk dijadikan bukti.
7 . Jelaskan fungsi bukti.
8 . Jelaskan bagaimana membuktikan tindak pidana.
9 . Buat matrik hasil penyidikan.
1 0 .Lanjutkan dengan gelar perkara.
H. TINDAK LANJUT
Apabila saudara bisa menjawab 80 % benar, saudara boleh meneruskan ke Bab
berikutnya, kalau belum bisa disarankan ulangi lagi mendiskusikan Bab ini.
1
BAB V
PEMBUKTIAN PADA TAHAP PENUNTUTAN
A. PENGERTIAN
Prapenuntuan ialah serangkaian tindakan penuntut umum untuk menerima dan meneliti
berkas perkara hasil penyidikan dan dalam hal belum lengkap Penuntut umum
mengembalikan berkas perkara kepada penyidik disertai petunjuk untuk dilengkapi dan
setelah dilengkapi penyidik mengembalikan berkas perkara yang sudah lengkap kepada
penuntut umum.
Penuntutan ialah tindakan Penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana
kepengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-
undang dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.
Dari pengertian prapenuntuan dan penuntutan tersebut, wewenang Penuntut umum
untuk meneliti apakah surat perintah penyidikan, surat penetapan hakim sudah ada, berita
acara sudah sah sebagai kelengkapan formil, sementara kelengkapan materil meneliti apakah
fakta-fakta yang ada dalam berkas perkara diperoleh dari bukti-bukti yang sah dan kebenaran
fakta diperoleh dari persesuaian antara bukti yang satu dengan bukti yang lain.
Sebaliknya dalam hal fakta-fakta yang mendukung unsur tindak pidana yang akan
didakwakan belum cukup, penuntut umum untuk melengkapi berkas perkara tersebut dapat
melakukan pemeriksaan tambahan untuk melengkapi bukti-bukti yang sudah ada, dengan
ketentuan tidak boleh memeriksa tersangka. Apabila setelah pemeriksaan tambahan
dilakukan bukti-bukti yang diperlukan tetap tidak cukup maka Penuntut umum
menghentikan penuntutan perkara itu.
Kepada pegawai Ali; sebagai Karo Saksi Ahmad, Benar Ali adalah
negeri/penyelenggara Kepegawaian pada Dirjen SDM Karo
negara Kementrian Hancur Lebur KepegawaianKement
rian Hancur Lebur
sejak… sampai…
Dengan maksud Ali tahu apa maksud Tersangka Ali Pemberian itu agar
pemberian itu saya bisa membantu
Abu
E. DISKUSI
1.Buat kelompok diskusi.
2. Diskusikan materi bab ini.
3. Presentasikan hasil diskusi.
4. Tanya jawab.
F. LATIHAN
1.Jelaskan pengertian prapenuntutan dan penuntutan :
2.Garis hukum apa yang saudara bisa simpulakan dari kedua pengertian itu.
1
3.Jelaskan apa yang harus diperhatikan ketika melakukan penelitian berita acara pemeriksaan
saksi, ahli, tersangka dan berita acara penyitaan.
4.Jelaskan apa saja yang harus diperhatikan untuk menentukan berkas perkara sudah lengkap.
5. Jelaskan apa saja yang harus diperhatikan untuk menyusun surat dakwaan yang memenuhi
syarat
6. Buat matrik surat dakwaan.
7. Lanjutkan dengan gelar perkara.
G. TINDAK LANJUT
Apabila saudara bisa menjawab 80 % benar, saudara boleh meneruskan ke Bab
berikutnya, kalau belum bisa disarankan ulangi lagi mendiskusikan Bab ini.
1
BAB VI
HUKUM PEMBUKTIAN DI SIDANG PENGADILAN
A. PENGERTIAN
Seperti telah dijelaskan pada Bab II, bahwa pengertian pembuktian yang diberikan oleh
M. Yahya Harahap, SH dan Ichtiar Baru-van Hoeve adalah pengertian pembuktian sejak
pemeriksaan di sidang pengadilan sehingga tidak perlu diulangi.
Terkait dengan pengertian pembuktian disidang pengadilan yang perlu dipahami adalah
peranan dan hakekat hukum pembuktian.
Seperti telah disinggung sebelumnya bahwa hukum pembuktian memegang peranan
penting dalam proses hukum acara pidana dan oleh sebab itu mutlak harus dikuasai oleh
pejabat pada semua tingkat pemeriksaan, khususnya Penuntut umum yang berwenang
menuntut dan dibebani kewajiban membuktikan kesalahan terdakwa. Kegagalan Penuntut
umum dalam tugas penuntutan banyak tergantung pada ketidak mampuan menguasai teknik
pembuktian.
Sebaliknya penuntut umum terikat pada ketentuan dan penilaian alat bukti yang
ditentukan undang-undang. Penuntut umum juga hakim dan terdakwa maupun penasihat
hukumnya tidak boleh sekehendak hati dengan selera sendir-sendiri dalam menggunakan dan
menilai alat bukti di luar dari apa yang telah digariskan undang-undang.
Menurut M. Yahya Harahap, SH, ditinjau dari segi hukum acara pidana sebagaimana
yang ditentukan dalam KUHAP, diatur pula beberapa pedoman dan penggarisan :
- Penuntut umum bertindak sebagai aparat yang diberi kewenangan untuk mengajukan segala
daya upaya membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.
1
-Sebaliknya terdakwa atau penasihat hukum mempunyai hak untuk melemahkan dan
melumpuhkan pembuktian yang diajukan penuntut umum, sesuai dengan cara-cara yang
dibenarkan undang-undang. Bisa berupa “sangkalan” atau bantahan yang beralasan.
1
Dengan saksi yang meringankan atau saksi “a decharge” maupun dengan “alibi”.
Terutama bagi hakim, harus benar-benar sadar dan cermat menilai dan
mempertimbangkan kekuatan pembuktian yang ditemukannya selama pemeriksaan
persidangan. Jika majelis hakim hendak meletakkan kebenaran yang ditemukannya dalam
putusan yang akan mereka jatuhkan, kebenaran itu harus diuji dengan alat bukti, dengan cara
dan dengan kekuatan pembuktian yang melekat pada setiap alat bukti yang mereka temukan.
1
M. Yahya Harahap, SH, OP cit, hal 794.
2
Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, SH, “Hukum Acara Pidana di Indonesia”, Sumur Bandung, 1974, hal 89.
1
Mencari kebenaran materiil yang merupakan tujuan dari hukum acara pidana adalah sulit
dan oleh sebab itu cara membuktikan kesalahan terdakwa diperlukan beberapa teori sesuai
dengan sejarah dan perkembangan hukum acara pidana.
3
1 . Sistem Atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Melulu Atau
4
Coviction Intime
Sistem ini menganut ajaran bahwa bersalah tidaknya terdakwa terhadap perbuatan
yang didakwakan, sepenuhnya tergantung pada penilaian “keyakinan” hakim semata-
mata. Pemeriksaan di pengadilan bukan untuk mencari alat bukti, akan tetapi untuk
membentuk keyakinan hakim atas kesalahan terdakwa. Jadi bersalah tidaknya terdakwa
atau dipidana tidaknya terdakwa sepenuhnya tergantung pada keyakinan hakim. Dan
keyakinan hakim tidak harus timbul atau disadarkan pada alat bukti yang ada.
Sekalipun alat bukti sudah cukup kalau hakim tidak yakin, hakim tidak boleh
menjatuhkan pidana, sebaliknya meskipun alat bukti tidak ada tapi kalau hakim sudah
yakin, maka terdakwa dapat dinyatakan bersalah.
Bahwa ada alasan yang dijatuhkan hakim untuk membentuk keyakinannya, alasan
tersebut tidak perlu dipertimbangkan hakim dalam putusannnya, karena bukan merupakan
kewajibannya.
Contoh dari sistem ini terutama terdapat dimana pekerjaan hakim dilakukan oleh
orang-orang bukan ahli hukum, seperti dalam peradilan yury dan dulu di Indonesia pada
5
Pengadilan District dan Pengadilan Kabupaten.
Para ahli sependapat bahwa teori conviction intime ini mempunyai banyak
kelemahan, karena memberikan kepercayaan terlalu besar kepada hakim. Hakim boleh
menjatuhkan pidana kepada seorang terdakwa hanya semata-mata atas keyakinan hakim
tanpa didukung alat bukti. Sebaliknya membebaskan terdakwa hanya karena hakim tidak
yakin sekalipun kesalahan terdakwa telah didukung alat bukti yang cukup. Hakim sebagai
manusia biasa tidak luput dari kesalahan baik sengaj ataupun tidak disengaja. Dan untuk
melakukan upaya hukum dan pengawasan atas putusan hakim sulit dilakukan karena
pertimbangan hakim sulit untuk dianalisis.
3
Dr. Hamzah, SH,”Hukum Acara Pidana Indonesia”. Arikha Media Cipta, Jakarta, hal 298.
4
Martiman Prodjohamidjojo, SH,”Sistem Pembuktian dan Alat-Alat Bukti”, Ghalia Indonesia, 1983, hal 16.
5
Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, SH, OP cit, hal.90.
1
6
2 . Sistem Atau Teori Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Positif Atau
7
Positif Wetteljik
6
Dr. A. Hamzah, SH, Op cit, hal 297.
7
Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, SH, Op cit, hal 92.
8
Ibid, hal.92
9
Martiman Prodjohamidjojo, SH, Op cit, hal.16.
1
3 . Sistem Atau Teori Pembuktian Berdasar Keyakinan Hakim Atas Alasan Yang Logis
10
(Laconviction Raisonee)
Sistem Conviction raisonee, masih juga mengutamakan penilaian keyakinan hakim
sebagai dasar satu-satunya alasan untuk menghukum terdakwa, akan tetapi keyakinan
hakim disini harus disertai pertimbangan hakim yang nyata dan logis, diterima oleh akal
pikiran yang sehat.
Keyakinan hakim tidak perlu didukung alat bukti sah karena memang tidak
disyaratkan, yang perlu mendapat penjelasan adalah bahwa keyakinan hakim terbentuk,
bisa dijelaskan alasan yang membentuk keyakinannya itu.
Tegasnya, keyakinan hakim dalam sistem conviction raisonee harus dilandasi oleh
“reasoning” atau alasan-alasan. Dan reasoning itu sendiri harus pula “reasonable” yakni
berdasarkan alasan yang dapat diterima.
10
M. Yahya Harahap, SH. “Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP”, Pustaka Kartini, 1985, hal
798.
11
Martiman Prodjohamidjojo, SH, Op cit, hal 14-15.
1
akan tetapi keyakinannya tidak didasarkan atas alat-alat bukti sah menurut undang-
undang, maka hakim harus menyatakan kesalahan terdakwa tidak terbukti.
Apabila kita merenungkan keempat sistem pembuktian yang telah dibahas diatas
dapat kita tarik suatu kesimpulan bahwa keempat sistem tersebut tidak ada yang
sempurna, masing-masing punya kelemahan.
Sebagai contoh, pada sistem conviction intime menempatkan hakim sebagai manusia
sempurna yang tidak akan melakukan kesalahan-kesalahan. Hakim tidak akan pernah
menghianati hati nuraninya; putusan hakim sulit untuk dilakukan koreksi undang-undang.
Pada sistem positief wettelijk menempatkan hakim alat undang-undang. Hakim tidak
lebih dari robot dan corong undang-undang yang tidak memiliki atau setidak-tidaknya
tidak boleh menggunakan hati nuraninya. Kalau berdasarkan alat bukti sah menurut
undang-undang terdakwa bersalah, hakim wajib menghukum terdakwa. Padahal tidak
jarang keterangan saksi yang diberikan dibawah sumpah dipengadilan adalah keterangan
palsu.
Dalam hal pembuktian conviction raisonee sekalipun keyakinan hakim terbentuk atas
alasan yang logis, akan tetapi sifatnya masih tetap subyektif. Hakim dapat memberikan
alasan sesuai kepentingannya. Dan alasan logis atau dapat diterima akal sifatnya sangat
luas dan tanpa dibatasi undang-undang.
Sistem yang mungkin dapat paling mendekati kebenaran adalah sistem pembuktian
negatief wettelijk. Namun apabila hakimnya tidak jujur karena mempunyai kpentingan
pribadi, maka sekalipun kesalahan terdakwa telah didiukung alat bukti sah menurut
undang-undang, hakim boleh saja mengatakan “saya tidak yakin”.
Akan tetapi harus disadari, bahwa bagaimanapun baiknya suatu sistem tetap terpulang
pada pelaksanannya. Akan lebih baik suatu sistem yang masih kurang akan tetapi
ditangani oleh orang yang adil lagi bijak dari pada sistem yang baik namun dilaksanakan
oleh orang yang tidak jujur.
dan sistem negatief wettelijk. Ketika rancangan hukum acara pidana diajukan dan berlaku
sejak 1 januari 1926 sistem yang dianut adalah conviction raisonee, baru setelah hukum
acara pidana diberlakukan terjadi perubahan dimana penganut sistem negatief wettelijk
lebih kuat dan sampai sekarang sistem inilah yang berlaku disana, setelah mengalami
perubahan beberapa pasal khususnya mengenai pasal yang mengatur sekurang-kurangnya
ada dua alat bukti sah hakim yakin akan kesalahan terdakwa.
Bagaimana dengan sistem pembuktianyang dianut di Indonesia. Untuk itu mari kita
kaji perundang-undangan acara pidana yang pernah berlaku di Indonesia.
Menurut Pasal 294 ayat (1) HIR; “Tidak seorangpun boleh dikenakan hukuman,
selain jika mendapat keyakinan dengan alat bukti yang sah, bahwa benar telah terjadi
perbuatan yang dapat dihukum dan bahwa orang yang dituduh itulah yang salah tentang
perbuatan itu.
Jadi menurut sistem acara pidana yang dianut didalam perundang-perundangan kita,
maka meskipun terdapat bukti-bukti yang sah, namun hakim tidak diharuskan
menghukum terdakwa, jikalau bukti-bukti itu tidak dapat menimbulkan keyakkinan
kepadanya atas kesalahan terdakwa. Akan tetapi sebaliknya, hakim tidak boleh mendapat
12
keyakinan selain dari atas dasar bukti-bukti yang sah itu.
Menurut Pasal 300 ayat (1) HIR; penyaksian yang berdiri sendiri dari seorang saksi
saja dan tidak dibenarkan dengan alat-alat bukti lain, tiada berlaku sebagai menurut
undang-undang.
Dari uraian kedua pasal HIR tersebut diatas kita dapat menarik kesimpulkan bahwa
HIR yang setelah KUHAP lahir sudah tidak berlaku, menganut sistem pembuktian
negatief wettelijk dengan minimal pembuktian yaitu saksi bukan saksi.
Ketentuan yang sama dengan Pasal 294 ayat (1) HIR, dijumpai juga Pasal 6 ayat (2)
Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi : “Tiada seorang juapun
dapat dijatuhi pidana kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut
undang-undang mendapat keyakinan, bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung
jawab telah bersalah atas perbuatan yang dituduhkan atas dirinya.
Jadi dengan demikian Undang-undang Pokok Kehakiman (UU No. 14 Tahun 1970)
juga menganut teori pembuktian negatief wettelijk.
12
Mr. R. Tresna,”Komentar Atas HIR”, Pradnya Paramita, Jakarta, 1972, hal 295.
1
Menurut Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, pada Pasal 183
berbunyi :
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak
pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
Dan apabila kita memperhatikan penjelasan Pasal 183 KUHAP, maka maksud pasal
tersebut adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum bagi
seseorang”.
Sejalan dengan komentar Mr. R. Tresna terhadap Pasal 294 ayat (1) HIR diatas, maka
M. Yahya Harahap, SH dalam mengulas Pasal 183 KUHAP mengatakan :
“Dari kedua bunyi Pasal tersebut, baik yang termuat pada Pasal 183 KUHAP maupun
yang dirumuskan dalam ketentuan Pasal 294 HIR, keduanya sama-sama menganut sistem
“pembuktian undang-undang secara negatief”. Perbedaan antara keduanya, hanya terletak
pada penekananya saja. Pada Pasal 183 KUHAP, syarat pembuktian menurut cara dan alat
bukti yang sah, lebih ditekankan dalam perumuskannya. Hal ini dapat kita baca dalam
kalimat “ketentuan pembuktian yang memadai untuk menjatuhkan pidana seorang”
13
sekurang-kurangnya dua alat bukti sah”
Dengan demikian sampailah kita pada kesimpulan bahwa sistem atau teori
pembuktian yang dianut perundang-undangan Indonesia terakhir yang dimuat pada Pasal
183 KUHAP yang berlaku pada peradilan pidana Indonesia sekarang adalah sistem atau
teori pembuktian negatief wettelijk atau sistem pembuktian undang-undang secara negatif,
dengan penekanan pembatasan sekurang-kurangnya dua alat bukti sah hakim yakin akan
kesalahan terdakwa.
Menurut Pasal 8 ayat (3) Undang-undang No. 16 Tahun 2004, tentang Kejaksaan
Republik Indonesia “Demi keadilan dan kebenaran berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa, Jaksa melakukan Penuntutan dengan keyakinan berdasarkan alat bukti yang sah”.
Dengan demikian Penuntut umum pun menganut sistem pembuktian undang-undang
secara negatif. Dengan demikian pada awal tuntutan pidananya harus menyebutkan “Demi
Keadilan dan Kebenaran Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagaimana
13
M. Yahya Harahap, SH,”Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP”, Pustaka Kartini, 1985, hal 801.
1
disyaratkan bagi hakim pada Pasal 197 ayat (1) a KUHAP, bahwa Kepala putusan harus
memuat “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Sekarang mari kita lihat apa yang terjadi dalam praktek penyusunan tuntutan pidana
oleh penuntut umum juga dalam pertimbangan putusan pengadilan.
Penuntut umum dalam surat tuntutannya (requisitor) hanya cukup dengan
menguraikan fakta-fakta sidang, dan langsung pada pembahasan hukum unsur delik pasal
yang didakwakan. Padahal fakta sidang seperti halnya keterangan saksi, keterangan ahli,
bukti surat, keterangan tersangka, juga barang bukti harus dianalisis lebih dahulu sampat
sejauh mana fakta-fakta tersebut bisa dijadiakan alat bukti sah menurut undang-undang.
Dan sekiranya fakta-fakta sidang berdasarkan analisis fakta dapat digunakan sebagai fakta
hukum yang diperoleh dari alat bukti sah, penuntut umum masih harus berkewajiban
untuk meyakinkan hakim bahwa alat-alat bukti yang diperiksa di sidang pengadilan
mempunyai nilai pembuktian sebagai alat bukti sah dengan demikian fakta hukum yang
diperoleh dari alat bukti yang sah yang diajukan penuntut umum, hakim yakin akan
kesalahan terdakwa.
Mengenai uraian putusan pengadilan M. Yahya Harahap, SH memberikan contoh
suatu uraian pertimbangan putusan pengadilan sebagai berikut “Jarang sekali kita jumpai
uraian pertimbangan yang secara sistematis dan argumentatif mengkaitkan dan
memadukan keterbuktian kesalahan terdakwa dengan keyakinan hakim. Pokoknya asal
kesalahan terdakwa telah terbukti secara sah menurut ketentuan cara dan dengan alat-alat
bukti yang disebut undang-undang, tanpa mengutarakan motivasi keyakinan hakim akan
keterbuktian tadi, hakim pada umumnya sudah merasa cukup “menimpali” keterbuktian
itu dengan rumusan kalimat yang sudah model dan baku : kesalahan terdakwa telah
terbukti dan diyakini.
Pada kesempatan lain M. Yahya Harahap, SH bertanya pada dirinya sendiri :
cenderung kemanakah nanti sistem pembuktian yang dianut Pasal 183 dalam praktek
penegakkan hukum. Yang kemudian dijawab sendiri : Menurut hemat kami, prakek
penegakan hukum di masa yang akan datang akan lebih cenderung pada pendekatan
sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif.
Dan apabila apa yang disinyalir dan dikuatirkan oleh M. Yahya Harahap, SH bahwa
dalam praktek penegakan hukum Pasal 183 KUHAP akan cenderung pada pendekatan
1
sistem pembuktian menurut undang-undang secar positif, karena keyakinan hakim hanya
akan menjadi unsur pelengkap dan lebih berwarna sebagai unsur formil dalam model
putusan, maka kita perlu bertanya akankah maksud dan tujuan Pasal 183 yang dimuat
pada penjelasnnya yaitu untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian
hukum bagi seseorang dapat terjawab.
Sebagai contoh, dibawah ini dikutip beberapa putusan Mahkamah Agung RI, yang
membebaskan terdakwa dengan pertimbangan tidak terpenuhinya dua alat bukti sah baru
hakim boleh yakin atas kesalahan terdakwa :
Putusan tanggal 27 Juni 1983, No. 18 SK/Pid/1982.
Membatalkan putusan Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri, dengan alasan :
“Kesalahan yang dilaksanakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, karena alat
bukti yang mendukung keterbuktian kesalahan terdakwa, hanya didasarkan pada
suatu petunjuk saja yakni pengakuan terdakwa di luar sidang”.
Putusan tanggal 17 April 1978, No 18 K/Kr/1977 :
Membatalkan putusan perkara yang dikasasi, dengan alasan:
“Pengadilan telah mendasarkan putusannya semata-mata atas dasar keterangan
seorang saksi saja, padahal para terdakwa mangki. Sedang keterangan saksi-saksi
yang lain tidak memberi petunjuk atas keterbuktian kesalahan yang didakwakan”.
Putusan tanggal 15 Agustus 1983, No. 298 K/Pid/1982.
Membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Medan, dengan alasan :
“Kesalahan terdakwa tidak terbukti secara sah dan menyakinkan, karena tidak ada
seorang saksi dibawah sumpah maupun alat bukti lain yang dapat digunakan sebagai
alat bukti yang mendukung keterbuktian kesalahan terdakwa baik dengan dakwaan
perkosaan maupun dakwaan persetubuhan dengan perempuan bukan istrinya.
Pengecualian atas minimum pembuktian terdapat pada acara pemeriksaan cepat, yaitu
terhadap acara pemeriksaan tindak pidana ringan. Seperti diatur pada Pasal 364, 379, 352,
407, 482 dan Pasal 315 KUHP dan pada acara pemeriksaan perkara pelanggaran lalu
lintas jalan.
Menurut penjelasan Pasal 184 KUHAP “dalam acara pemeriksaan cepat, keyakinan
hakim cukup didukung satu alat bukti”.
Sebagai contoh ; dalam perkara pencurian ringan eks Pasal 364 KUHP, dengan satu
alat bukti sah (keterangan saksi umpamanya), maka hakim dapat yakin akan kesalahan
terdakwa ; atau pada perkara pelanggaran lalu lintas jalan apabila terdakwa mengakui
pelanggaran tersebut pada surat tilang maka hakim dapat yakin atas pelanggaran yang
disangkakan penyidik.
1
14
Martiman Prodjohamidjojo, SH “Sistem Pembutian dan Alat-alat Bukti”, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983,
hal 1983, hal. 19.
1
Jadi HIR tidak mengenal alat bukti keterangan ahli seperti yang dianut KUHAP.
Menurut Pasal 306 (1) HIR; Berita orang ahli yang diangkat karena jabatan untuk
menyatakan pertimbangan dan pendapatnya tentang hal ikhwal atau keadaan sesuatu
perkara hanya boleh dipakai untuk memberi keterangan kepada hakim. Ayat (2) hakim
sekali-kali tidak diwajibkan akan menurut pendapat oang ahli itu, jika pendapat itu
bertentangan dengan keyakinannya.
Yang kita peroleh dari Pasal 306 HIR ini, bahwa keterangan ali baik lisan atau tertulis
bukan merupakan alat bukti sah. Keterangan ahli hanya sekedar dapat dipakai hakim
untuk menambah keyakinan yang sudah ada sebelumnya.
Keterangan ahli tidak bisa juga digunakan sebagai alat bukti “tanda” atau petunjuk
karena menurut Pasal 311 HIR; Adanya tanda hanya boleh dibuktikan.
b.oleh saksi
c.oleh surat-surat
d.oleh pemeriksaan atau penglihatan hakim sendiri
Menurut arrest tanggal 27 Januari 1909, berita-berita dari orang-orang ahli itu secara
tegas dinyatakan tidak dapat digunakan sebagai alat bukti, berhubungan dengan kata-kata
„‟hanya boleh dipakai untuk memberi keterangan kepada hakim‟‟. Berita dari orang-orang
15
ahli itu tidak mempunyai kekuatan sebagai bukti, apabila diajukan secara tertulis .
Jenis alat bukti perkara pidana, juga berbeda dengan alat bukti pada perkara perdata,
terdiri dari :
1 .bukti surat
2 .bukti saksi
3 . sangka
4 .pengakuan
5 .umpah
Bagaimana kedudukan keterangan ahli pada perkara perdata ? Menurut Pasal 154 (1)
HIR: jika pengadilan negeri menimbang, bahwa perkara itu dapat lebih terang, jika
diperiksa atau dilihat oleh orang ahli, maka dapatlah ia mengangkat ahli itu, baik atas
permintaan kedua pihak, maupun karena jabatannya. Ayat (4), Pengadilan Negeri sekali-
15
Mr. R. Tresna, “Komentar atas HIR”. Pradnya Paramita, Jakarta, 1972, hal 303.
1
kali tiada diwajibkan akan menurut perasaan orang ahli itu, jika perasaan itu berlawanan
dengan keyakinannya.
Adapun jenis alat bukti dalam hukum acara peradilan tata usaha negara seperti diatur
pada Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, sebagai berikut : a. surat atau bukti tulisan
b. keterangan ahli
c.keterangan saksi
d. pengakuan para pihak, dan
e.pengetahuan Hakim
Jadi pada peradilan tata usaha negara keterangan ahli merupakan alat bukti sah, yang
kalau dilihat dari urutan penyebutannya menempati urutan kedua setelah alat bukti surat.
Demikian sekilas perbandingan jenis atau bukit yang diakui undang-undang dan
boleh dipakai membuktikan kesalahan terdakwa, tergugat atau termohon.
Oleh sebab itu keterangan yang diperoleh dari orang lain yang dikenal dengan
“testimonium de auditu” bukan merupakan keterangan saksi dan tidak mempunyai
nilai pembuktian sama sekali.
Mr. S.M. Amin, yang dikutip A. Karim Nasution, SH menyatakan „‟Kesaksian de
auditu adalah keterangan-keterangan tentang kenyataan-kenyataan hal-hal yang
didengar, dilihat atau dialami bukan oleh saksi sendiri, akan tetapi keterangan-
keterangan yang akan disampaikan oleh orang lain kepadanya mengesai
kenyataan-kenyataan dan hal-hal yang didengar, dilihat atau dialami sendiri oleh
orang lain tersebut.
Demikian juga kesimpulan, pendapat, asumsi, perkiraan, hasil pemikiran saksi
atau sejenisnya, tidak dapat diterima sebagai keterangan saksi, karena sifatnya
bukan pendengaran, penglihatan atau pengalaman saksi.
Hakim dilarang memakai sebagai alat bukti suatu keterangan saksi de auditu
yaitu tentangan suatu keadaan yang saksi itu hanya dengar saja terjadinya dari
orang lain.
Contoh keterangan saksi yang ”ia dengar sendiri” dengan menyebutkan alasan
pengetahuannya. Saksi mendengar sendiri ucapan terdakwa yang menyatakan
bahwa “buah dada si Ani seperti buah pepaya”, yang diucapkan terdakwa pada
jam 20.00 WIB di depan rumah makan “sedap” jalan Hanura No.1 Pasar Minggu,
ketika saksi bersama dengan si Ani baru saja keluar dari rumah makan tersebut.
Contoh keterangan saksi yang “ia lihat sendiri‟‟ dengan menyebut alasan
pengetahuannya. Ketika saksi masuk ke dalam kamar kerja Pak Ali, pada jam
12.00 sementara Pak Ali sedang keluar makan siang: saksi melihat terdakwa
membuka laci meja kerja Pak Ali dan mengambil sesuatu dari dalam laci meja
tersebut.
Contoh keterangan saksi yang „‟ia alami sendiri‟‟ dengan menyebutkan alasan
pengetahuannya.
Saksi korban menerangkan bahwa benar terdakwa inilah yang menempeleng
pipi kanan saya dengan tangan kiri, ketika terdakwa minta rokok tapi saksi tidak
memberikannya.
1
dan belum pernah kawin atau sakit ingatan meskipun kadang-kadang ingatannya baik
kembali.
Saksi yang tidak mau atau menolak utnuk bersumpah atau berjanji sebelum
memberikan keterangan, dengan surat penetapan hakim ketua dapat disandera di
Rutan paling lama 14 hari.
Oleh sebab itu penulis sangat tidak mengerti ketentuan Pasal 160 ayat (4) yang
memungkinkan seorang saksi atau ahli wajib bersumpah atau berjanji sesudah ia
selesai memberikan keterangan.
Selain dari itu apa yang dimaksud “jika pengadilan menganggap perlu‟‟ tidak
jelas dan tidak ada batasannya karena penjelasan Pasal 160 menyatakan “cukup
jelas‟‟.
Kalau memang saksi dimungkinkan diperiksa lebih dahulu baru disumpah, maka
apa artinya sanksi bagi saksi yang tidak mau bersumpah sebelum memberikan
keterangan seperti diatur pada Pasal 161 ayat (1) seperti disebut diatas.
Lain halnya pada perkara perdata yang memungkinkan hakim memerintahkan
saksi bersumpah setelah ia memberikan keterangan yang biasa disebut “sumpah
penentu‟‟.
Apabila saksi setelah disandera dirumah tahanan negara tetap tidak mau
bersumpah, atau mengucapkan janji, maka pemeriksaan terhadapnya tetap dilakukan,
akan tetapi karena tidak memenuhi syarat alat bukti keterangan saksi, maka
keterangan yang telah diberikan merupakan keterangan yang hanya dapat
menguatkan keyakinan hakim. Artinya keyakinan hakim sudah terbentuk lebih
dahulu berdasarkan alat bukti sah, keterangan saksi yang tidak disumpah tadi hanya
bersifat menambah atau memperkuat keyakinan hakim yang sudah ada.
Orang yang menolak untuk menjadi saksi meskipun telah dipanggil dengan sah,
atau saksi yang menolak untuk bersumpah, diancam pidana pada Pasal 224 ke 1
KUHAP, selama-lamanya sembilan bulan.
Jika saksi tersebut walaupun sudah disandera masih tidak bersedia untuk
bersumpah, maka atas tuntutan jaksa, hakim dapat menghukum saksi tersebut degan
hukuman penjara paling tinggi 9 bulan.
1
18
Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, SH, Op cit, hal 98
19
A. Karim Nasution, SH, Op cit, hal.61
1
bukti melalui pengamatan hakim, mungkin melalui alat bukti petunjuk yang penilaian
20
dan pertimbangannya hendaknya diserahkan kepada pertimbangan hakim .
4). Cara memperoleh keterangan saksi harus sesuai dengan ketentuan undang-undang.
Kalau syarat tersebut pada butir a, b dan c di atas merupakan syarat materiil
maka syarat ke empat ini merupakan syarat formiil, yaitu cara bagaimana saksi
seharusnya diperiksa.
-Dilarang mengajukan pertanyaan yang bersifat menjerat
Peringatan ini terdapat pada Pasal 166 KUHAP, yang menyebutkan, “pertanyaan
yang bersifat menjerat tidak boleh diajukan baik kepada terdakwa maupun
kepada saksi”.
Contoh pertanyaan menjerat :
= “Kamu dipukul terdakwa tiga kali pakai kayu ini”. Dimana Saudara di pukul
terdakwa ?.
= Apakah celana dalam warna merah ini yang dipakai saksi ketika saudara gagahi. -
Saksi harus bersumpah/berjanji lebih dahulu sebelum memberikan keterangan
Hal ini telah diulas panjang lebar sehingga tidak perlu diulang
lagi. -Memberikan keterangan dengan tidak boleh disumpah yaitu :
Anak yang belum berumur lima belas tahun dan belum pernah kawin, serta
orang sakit ingatan/sakit jiwa meskipun kadang-kadang ingatannya baik kembali.
-Saksi dilarang berhubungan satu sama lain sebelum memberikan keterangan di
sidang
Larangan ini diatur pada Pasal 159 ayat (1) KUHAP, dan maksudnya adalah
untuk mencegah jangan sampai terjadi saling mempengaruhi diantara para saksi,
sehingga keterangan saksi tidak dapat diberikan secara bebas.
-Jawaban saksi harus diberikan secara bebas
Hakim wajib menjaga supaya tidak dilakukan atau diajukan pertanyaan yang
mengakibatkan terdakwa atau saksi memberikan jwaban secara tidak bebas.
Demikian bunyi Pasal 153 ayat (2) b.
-Pertanyaan harus diajukan dalam bahasa Indonesia yang dimengerti oleh saksi.
20
Dr. A. Hamzah, SH, Op cit, hal 313
1
Ketentuan ini ditemukan pada Pasal 153 ayat (2) a yang berbunyi : “Hakim
ketua sidang memimpin pemeriksaan di sidang pengadilan yang dilakukan secara
lisan dalam bahasa Indonesia yang dimengerti oleh terdakwa dan saksi.
Menurut Pasal 153 ayat (4) tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (2) dan (3)
mengakibatkan batalnya putusan demi hukum.
Dalam hal saksi atau terdakwa tidak paham bahasa Indonesia, hakim ketua
sidang menunjuk seorang juru bahasa yang bersumpah atau berjanji akan
menerjemahkan dengan benar semua yang harus diterjemahkan. Demikian bunyi
Pasal 177 ayat (1) KUHAP.
Tidak dipenuhinya syarat formiil ini dapat mengakibatkan batalnya putusan dan
dapat merupakan alasan mengajukan upaya hukum baik banding maupun kasasi.
Khusus permohonan pemeriksaan tingkat kasasi dengan menggunakan ketentuan
Pasal 253 ayat (1) b yaitu apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut
undang-undang.
b. Tidak Dapat Didengar Dan Dapat Mengundurkan Diri Atau Minta Dibebaskan Dari
Kewajiban Sebagai Saksi
1) Tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagi saksi, yaitu:
-Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai
derajat ke tiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.
-Saudara dari terdakwa atau yang sama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau
saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan dan
anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga.
-Suami atau istri meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.
Dalam perkara korupsi; yang dapat mengundurkan diri dari kewajiban menjadi saksi
dibatasi hanya sampai derajat kedua saja, dan yang masih terikat hubungan suami istri,
serta petugas agama Katholik saja.
Yang perlu mendapat penjelasan dari Pasal 168 KUHAP ini, adalah pengertian
“derajat ketiga”, semenda atau mempunyai hubungan karena perkawinan, dan pengertian
“yang sama-sama sebagai terdakwa”.
1
PENJELASAN :
-Terdakwa dengan Kelompok A, B dan S = keluarga sedarah terdakwa
-Terdakwa dengan kelompok P = semenda/hubungan karena perkawinan dengan
terdakwa
-Hubungan T dengan A1,2 = derajat kesatu ke bawah (anak)
-Hubungan T dengan A3,4 = derajat kedua ke bawah (cucu)
-Hubungan T dengan A5 = derajat ketiga kebawah (cicit)
-Hubungan T denganB1,2 = derajat kesatu keatas (ayah/ibu)
-Hubungan T denganB3,4 = derajat kedua keatas (kakek/nenek)
-Hubungan T dengan B5 = derajat ketiga keatas (buyut)
-Hubungan T dengan S = derajat kedua kesamping (saudara)
-Hubungan T dengan S1 = derajat ketiga ke samping (keponakan)
-Hubungan T dengan P = isteri
-Hubungan T denganP,1,2,3,4,5 = hubungan semenda/karena perkawinan
-Hubungan T dengan B6 = derajat ke 3 kesamping (paman)
1
21
A. Karim Nasution, SH Op cit, hal 23.
1
Sah tidaknya alasan untuk permintaan tersebut ditentukan oleh hakim berdasarkan
peraturan perundang-undangan.
Pernyataan pengunduran diri atau permintaan untuk dibebaskan dari kewajiban
sebagai saksi, harus dinyatakan di sidang pengadilan.
Siapa yang dimaksud “mereka yang karena harkat marabat” diwajibkan untuk
menyimpan rahasia. Mereka itu adalah para Pastor agama Katholik. Ini dimaksudkan
untuk melindungi kerahasiaan apa yang disebut pengakuan dosa, dan dalam tindak pidana
korupsi yang dapat minta dibebaskan dari kewajiban menjadi saksi hanya petugas agama
katholik saja.
Adapun pengeculian yang disebut pada sub a dan b merupakan pengecualian
relatif/nisbi.
Sedangkan yang termasuk pengecualian absolut/mutlak, yaitu tidak boleh didengar
keterangannya sebagai saksi dengan disumpah adalah :
-Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin, dan
-Orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang ingatannya baik kembali.
Penjelasan Pasal 171 KUHAP ini mengatakan : “mengingat bahwa anak yang belum
berumur 15 tahun demikian juga orang sakit ingatan, sakit jiwa, sakit gila meskipun hanya
kadang-kadang saja, yang dalam ilmu penyakit jiwa disebut psychopaat, mereka ini tidak
dapat dipertanggung jawabkan secara sempurna dalam hukum pidana maka mereka tidak
dapat diambil sumpah atau janji dalam memberikan keterangan, karena itu keterangan
mereka hanya dipakai sebagai petunjuk saja.
Menurut M. Yahya Harahap, SH : “Oleh karena itu alat bukti kesaksian sebagi alat
bukti yang sah, tidak mempunyai kekuatan pembuktian yang menentukan. Atau dengan
singkat dapat dikatakan. Alat bukti kesaksian sebagai alat bukti yang sah adalah bersifat
22
bebas dan “tidak sempurna” dan “tidak” menentukan “atau” tidak mengikat.
Namun demikian perlu diingatkan. Hakim dalam mempergunakan kebebasannya
menilai kekuatan pembuktian kesaksian, harus benar-benar bertanggung jwab. Jangan
sampai kebebasan penilain itu menjurus kepada kesewenang-wenangan tanpa moralitas
dan kejujuran yang tinggi. Oleh karena itu kalau dalam suatu kasus telah benar-benar
cukup bukti berdasar keterangan saksi, kebebasan hakim menilai kebenaran dari
keterangan saksi-saksi tadi haruslah berpedoman pada tujuan mewujudkan “kebenaran
sejati”.
Disisi lain, Penuntut umum setelah mengetahui bahwa nilai kekuatan pembuktian
keterangan saksi, mempunyai nilai kekuatan pembuktian bebas, maka Penuntut umum
meskipun keterangan saksi telah memenuhi syarat-syarat kesaksian, masih dituntut
kemampuannya untuk meyakinkan hakim dalam surat tuntutannya, antara lain dengan
cara :
-Membuktikan adanya persesuaian antara keterangan saksi yang satu dengan keterangan
saksi yang lain.
-Membuktikan adanya persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain.
-Alasa yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan yang tertentu.
2 . Keterangan saksi yang diberikan di penyidikan di bawah sumpah dan berita acara
pemeriksaannya dibacakan di sidang.
Seperti telah disinggung sebelmnya bahwa terhadap keterangan saksi yang
sebelumnya telah diberikan dibwah sumpah di penyidikan, dan berita acara
pemeriksaannnya dibacakan di sidang pengadilan karena tidak bisa hadir sebab telah
meninggal dunia, tidak dipanggil karena jauh tempat tinggalnya atau karena sebab lain
yang sah, maka keterangannya dalam berita acara pemeriksaan, nilai kekuatan
22
M. Yahya Harahap, SH, Op cit, hal 818.
1
saksi masing-masing berdiri sendiri-sendiri tanpa ada hubungan persesuaian satu dengan
lain, maka keterangan saksi demikian tidak mempunyai nilai pembuktian apapun. Sebagai
contoh :
Seorang didakwa melakukan tindak pidana korupsi, karena menerima pemberian, yang
diberikan kepadanya untuk membujuk supaya dalam jabatannya melakukan sesuatu apa
yang berlawanan dengan kewajibannya (eks Pasal 419 butir 1) KUHP. Maka tindak
pidana korupsi tersebut dapat dikatakan terbukti apabila beberapa orang saksi yang
menerangkan di pengadilan bahwa mereka secara sendiri-sendiri pada waktu yang
berbeda telah menyerahkan sejumlah uang kepada terdakwa untuk memenangkan tender.
Keterangan saksi berantai demikian disebtu kettingbewijs.
Kalau dihubungkan dengan Pasal 1 butir 28, maka keterangan ahli adalah :
- diberikan oleh seorang ahli
- yang memiliki keahlian khusus
- keterangan yang diberikan menurut pengetahuannya yang sebaik-baiknya
(bandingkan pengertian keterangan saksi).
- bersumpah sebelum memberikan keterangan (hubungan dengan pasal 161).
Pasal 186 menyebutkan keterangan ahli apa yang seorang ahli nyatakan di sidang
pengadilan. Penjelasan pasal ini menyebutkan :
“Keterangan ahli ini dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh
penyidik atau Penuntut umum yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan
dibuat dengan mengingat sumpah di waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan”.
Jika hal itu tidak diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum,
maka pada pemeriksaan disidang, dimana untuk memberikan keterangan dan dicatat
dalam berita acara pemeriksaan.
Keterangan tersebut diberikan setelah ia mengucapkan sumpah atau janji di hadapan
hakim.
Apabila kita hubungan penjelasan Pasal 186 dengan Pasal 133 KUHAP maka
keterangan tertulis yang dimaksud pada pasal 133 ayat (1) adalah yang dikenal dengan
visum et repertum yang dikeluarkan oleh ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau
ahli lainnya.
Menurut Pasal 179 ayat (1) KUHAP; Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai
ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikanketerangan
ahli demi keadilan.
Semua ketentuan tersebut di atas untuk saksi berlaku juga bagi mereka yang
memberikan keterangan ahli, dengan ketentuan bahwa mereka mengucapkan sumpah ata
u janji akan memberikan keterangan yang sebaik-baiknya dan sebenarnya menurut
pengetahuan dalam bidang keahliannya.
Dari penjelasan terakhir diketahui bahwa lafas sumpah keterangan saksi berbeda dengan
lafas sumpah keterangan ahli :
a. Syarat Sah Keterangan Ahli
Seperti telah dirangkum diatas syarat sah keterangan ahli harus meliputi :
1
23
Dr. A. Hamzah, SH, Op Cit, hal 322.
24
M. Yahya Harahap, SH, Op cit, hal 824
1
yang tidak mau bersumpah atau berjanji sebelum memberi keterangan seperti
diatur pada Pasal 160 ayat (3) dapat disandera menurut Pasal 161 ayat (1).
Menurut hemat penulisan sekalipun Pasal 161 ayat (1) tidak mengatur
kemungkinan ahli yang tidak mau bersumpah atau berjanji sebelum memberi
keterangan dikenakan sandera dengan memperhatikan Pasal 179 ayat (2) yang
berbunyi : “Semua ketentuan tersebut di atas untuk saksi berlaku juga bagi
mereka yang memberikan keterangan ahli, .......
Seperti halnya pada waktu membicarakan saksi yang tidak mau bersumpah
atau berjanji dapa t diancam pidana menurut Pasal 224 KUHAP, maka ahlipun
dapat diancam pidana berdasarkan pasal yang sama apabila tanpa alasan yang
sah ia tidak mau bersumpah atau mengucapkan janji.
c. Tata cara Pemberian Keterangan Ahli Dalam Bentuk Laporan Atau Visum Et
Repertum Atas Permintaan Penyidik.
Prosedur permintaan laporan ahli diatur sebagai berikut :
1) Permintaan diajukan penyidikan secara tertulis
1
2)Ditujukkan kepada ahli yang mempunyai keahlian khusus atau ahli lainnya
(sebaiknya melalui instansinya).
3)Permintaan dengan menyebutkan secara tegas untuk keperluan apa pemeriksaan ahli
dilakukan, (misalnya untuk pemeriksaan mayat atau bendah mayat).
4)Ahli membuat laporan sesuai permintaan penyidik; Dalam pemeriksaan luka, bedah
mayat atau pemeriksaan mayat disebut “visum et repertum”.
5) Laporan dikuatkan dengan sumpah pada waktu ahli menerima jabatan atau
pekerjaan.
Apabila tata cara pemberian keterangan ahli tidak dipenuhi maka laporan tadi
tidak mempunyai nilai sebagai keterangan ahli.
prinsip minimum pembuktian dengan alat bukti keterangan ahli disamping alat bukti
lain yang terungkap disidang pengadilan harus mampu meyakinkan hakim bahwa
terdakwalah yang bersalah melakukan perbuatan pidana yang didakwakan.
e. Dua Keterangan Ahli Satu Alat Bukti ; Dua Keterangan Ahli Dua Alat Bukti.
Kapan dua keterangan ahli akan tetapi mempunyai nilai satu alat bukti.
Contoh :
Ahli A berdasarkan permintaan penyidik, melaporkan dalam bentuk visum et repertum
menyimpulkan bahwa matinya si korban karena akibat keracunan.
Ahli B di sidang pengadilan menerangkan bahwa matinya si korban akibat kebanyakan
minum sejenis obat anti serangga.
Kedua keterangan ahli diatas hanya mempunyai nilai pembuktian satu alat bukti
keterangan ahli.
Jadi kalau beberapa keterangan ajhli hanya menungkapkan satu keadaan atau suatu
hal yang sama, sekalipun diberikan oleh beberapa ahli, tapi dalam bidang keahlian
yang sama, maka beberapa banyanya pun keternagan ahli yang demikian tetap
dianggap hanya bernilai satu alat bukti saja.
Lain halnya pada contoh di bawah ini ; Ahli A sebagai ahli kedokteran kehakiman
menerangkan, kematian korban karena dicekik dengan tangan. Lantas menurut
keterangan ahli sidik jari, bekas cekikan yang terdapat di leher korban sama dengan
sidik jari terdakwa. Masing-masing keterangan ahli tadi harus dinilai sebagai alat bukti
yang saling bersesuaian. Oelh karena itu harus dinilai merupakan dua alat bukti yang
telah memenuhi batas minimum pembuktian yang ditentukan pada Pasal 183 KUHAP.
keahliannyaa mengenai seseuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara
4)Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat
pembuktian yang lain.
Menurut bunyi Pasal 187 diatas maka surat sebagai alat bukti harus memenuhi
syarat “dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah”, surat selain sari itu
bukan merupakan alat bukti surat.
Sedangkan mengenai jenis surat yang dapat digunakan sebagai alat bukti adalah
yang tersebut pada a, b, c dan d. Ketentuan Pasal 187.d ini tidak dibuat atas sumpah
jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, sementara penjelasan butir d pasal ini
menyatakan “cukup jelas”.
Menurut hemat penulis butir d hendaknya dimuat dalam ayat tersendiri, dan
memperhatikan rumusan dimana sebagai alat bukti tidak bisa berdiri sendiri, melainkan isi
surat itu harus ada hubungannya dengan alat bukti lain, maka surat jenis ini hanya
26
Dr. A. Hamzah, SH,Op cit, hal 326
1
bisa digunakan sebagai petunjuk. Untuk itu rumusan kalimat terakhir harus
dibaca....”jika ada hubungannya dengan isi surat dengan alat pembuktian lain” dan
bukan....” dengan isi alat pembuktian lain.
Sekarang mari kita simak jenis surat lainnya tersebut pada butir 1 ), 2) dan 3).
Jenis surat tersebut pada butir a untuk dapat diterima sebagai alat bukti surat, harus
memenuhi syarat :
-dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah; -
bentuknya berita acara atau surat dalam bentuk resmi;
-dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau dibuat dihadapannya; -
isinya memuat keterangan tentang kejadian/keadaan yang :
1. didengan sendiri
2. dilihat sendiri, atau
3.dialami sendiri.
-Menyebutkan alasan yang jelas dan tegas tentang keteranganya.
Contoh surat jenis ini adalah : Akta Notaris, Berita Acara Lelang, Akta Jual Beli oleh
PPAT, Surat jenis ini dikenal dengan Akta Otentik atau surat resmi.
Yang termasuk jenis surat pada butir b, boleh dikatakan hampir meliputi segala
jenis surat yang dibuat oleh aparat pengelola administrasi dan kebijaksanaan eksekutif
mulai dari surat izin bangunan, surat izin ekspor atau impor, pasppor, surat izin
mengendarati, kartu penduduk, surat tanda lahir, dan sebagainya. Semua surat ini dapat
27
bernilai sebagai alat bukti surat.
Juga termsuk surat keputusan pengangkatan atau pemberhentian pegawai, keputusan
kenaikan pangkat, pindah, dan surat keputusan lainnya.
Masalahnya adalah apakah jenis surat tersebut pada butir b harus dibuat di atas
sumpah atau dikuatkan dengan sumpah, karena umumnya contoh dikemukakan diatas
dibuat tidak atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, akan tetapi dibuat
karena jabatan.
27
M. Yahya Harahap, SH, Op cit, hal 832
1
Adapun jenis surat pada butir c, yaitu surat ketrangan ahli yang diminta secara
resmi dari padanya, dapat juga digunakan sebagai alat bukti keterangan ahli
berdasarkan penjelasan Pasal 186 KUHAP seperti telah diuraikan sebelumnya.
Dengan demikian laporan ahli seperti halnya visum et repertum disamping sebagai alat
bukti keterangan ahli dapat juga disebut sebagai alat bukti surat. Ini yang dimaksud
oleh M. Yahya Harahap, SH sebagai “sifat dualisme alat bukti keterangan ahli”.
Sebaliknya Dr. Andi Hamzah, SH berpendapat lain, menurutnya : “Patut
diperhatikan bahwa KUHAP membedakan keterangan seorang ahli di persidangan
sebagai alat bukti “keterangan ahli” (Pasal 186 KUHAP) dan keterangan seorang ahli
secara tertulis diluar sidang pengadilan sebagai alat bukti “surat” (Pasal 187 butir c
KUHAP)
Penulis tidak mempertentangkan kedua pendapatan diatas, yang penting bahwa nilai
pembuktiannya sah, baik disebut sebagai keterangan ahli atau mau disebut sebagai bukti
surat, yang perlu dijaga jangan terjadi satu laporan ahli dijadikan dua alat bukti.
Selain jenis surat yang disebut pada pasal 187 KUHAP di atas, beberapa penulis
membagi surat atas tiga macam:
- akta otentik
- akta dibawah tangan, dan
- surat biasa atau surat lain bukan akta.
Akta otentik adalah suatu akta yang dibuat dalam suatu bentuk tertentu dan dibuat
oleh atau dihadapan pejabat umum yang berkuasa untuk membuatnya diwilayah yang
bersangkutan.
Dihubungkan dengan Pasal 187 KUHAP, maka termasuk akta otentik adalah
semua jenis surat pada butir a, b, dan c.
Akta di bawah tangan, dibuat tidak memerlukan suatu bentuk tertentu , tidak
dibuat dihadapkan atau oleh pejabat umum, tapi dibuat sengaja untuk dijadikan bukti.
Contoh kuintansi pembayaran, perjanjian sewa menyewa rumah tinggal dan lain-lain.
Sering akta di bawah tangan oleh pihak-pihak dibubuhi pernyataan oleh notaris, atau
hakim pengadilan negeri, Bukti Kepala Daerah, Walikota (PN 1966 No. 46, jo 43).
1
Syarat terutama dari akta tersebut adalah penanda tanganannya (siapa yang
menulisnya tidak menjadi soal) sehingga dengan demikian hanyalah dapat dibuat oleh
orang-orang yang pandai menulis.
Adapu surat biasa, ialah surat selaian akta yang dibuat tidak dimaksudkan untuk
digunakan sebagai bukti. Isi surat yang kalau ditanda tangani yang menentukan dapat
tidaknya digunakan bukti petunjuk.
28
Mr. R. Tresna, Op cit, hal.185
1
Tidak ada suatu alat bukti apapun, juga tidak akta otentik yang dapat mengikat
hakim untuk menerima kebenaran isi akta otentik apalagi akta dibawah tangan atau
surat biasa lainnya.
Sama halnya dengan alat bukti lainnya yang telah dibahas di muka, alat bukti surat
tanpa melihat jenisnya mempunyai nilai kekuatan pembuktian bebas. Hakim bebas
untuk menerima atau menolak bukti surat sebagai alat bukti sah yang dapat
membentuk keyakinannya atas kesalahan terdakwa.
Penuntut umum dituntut membuktikan bahwa isi suatu surat yang ia ajukan
sebagai alat bukti saling mendukung dan bersesuaian dengan alat bukti sah lainnya
sehingga telah diperoleh dan terpenuhi syarat minimal pembuktian, dan dengan telah
terpenuhi syarat minimal pembuktian hakim yakin akan kesalahan terdakwa.
Pada awal berlakunya KUHAP, pernah seorang penuntut umum mengajukan
berita acara pemeriksaan saksi yang dibuat penyidik, sebagai alat bukti surat dengan
sumpah, dan hakim yang mengadili perkara tersebut membenarkan alasan penuntut
umum, menerima berita acara pemeriksaan saksi tersebut sebagai bukti surat yang sah.
Penulis sangat tidak sependapat apabila berita acara pemeriksaan saksi yang dibuat
penyidik disamakan nilainya atau dianggap sebagai bukti surat, dengan pertimbangan :
- Sekalipun berita acara pemeriksaan saksi dibuat oelh pejabat umum (penyidik)
berdasarkan sumpah jabatan, namun isi surat tersebut tidak memuat keterangan tentang
kejadian yang didengar, dilihat atau dialami sendiri oleh penyidik dan
tidak menyebutkan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya.
- Keterangan saksi ialah apa yang saksi nyatakan disidang pengadilan; jadi
keterangan saksi dalam berita acara pemeriksaan masih harus dibuktikan lebih dahulu
disidang pengadilan sebelum diterima sebagai alat bukti.
- Jika keterangan saksi di sidang berbeda dengan keterang yang terdapat dalam
berita acara, hakim ketua sidang mengingatkan saksi tentang hal itu. Jadi
keterangan saksi dalam berita acara belum bersifat final.
- Kalau berita acara pemeriksaan saksi, diterima sebagai bukti surat, buat apa lagi
Penuntut umum bersusah payah menghadirkan saksi pengadilan.
Dalam hal penuntut umum menerima berkas perkara tahap pertama dari penyidik,
dan ia menduga saksi tidak akan bisa dihadirkan di sidang pengadilan karena
1
alasan yang sah, maka berkas perkara dikembalikan dengan petunjuk supaya saksi
diperiksa dengan disumpah sebelum memberikan keterangan.
D Simons agak keberatan mengenai hal ini, karena hak kebebasan terdakwa untuk
mengaku atau menyangkal haru sdihormati, oleh sebab itu suatu penyangkalan terhadap
suatu perbuatan mengenai suatu keadaan tidak dapat dijadikan bukti.
Menurut hemat penulis, suatu penyangkalan dapat berupa alat bukti petunjuk, apabila
penyangkalan tersebut melalui alat-alat bukti lain dapat dibuktikan kebohongan terdakwa.
Suatu hal yang jelas berbeda antar “keterangan terdakwa” sebagai alat bukti dengan
“pengakuan terdakwa ialah bahwa keterangan terdakwa yang menyangkal dakwaan, tetapi
membenarkan beberapa keadaan atau perbuatan yang menjurus kepada terbuktinya
perbuatan sesuai alat bukti lain merupakan alat bukti.
Suatu kasus tentang penyangkalan terdakwa dijadikan suatu penilaian oleh hakim
bahwa dari cerita terdakwa itu ternyata bahwa terdakwalah yang melakukan perbuatan
yang didakwa, tersebut dalam literatur hukum (H.R. 2 Desember 1940. NJ. 1941 No. 1941
mo.W.P). Dalam kasus itu terdakwa menyangkal melakukan pembunuhan berencana
seperti didakwakan, tetap menerangkan bahwa seorang temannya yang bernama “Arie”,
yang duduk bersama terdakwa dalam mobil, yang melakukannya. Pengadilan berpendapat
bahwa seorang sendirilah yang melakukan pembunuhan tersebut, karena orang yang
bernama “Arie” itu tidak ada.
a. Pengertian Keterangan Terdakwa
Menurut Pasal 189 ayat (1) KUHAP, keterangan terdakwa ialah apa yang
terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui
sendiri atau alami sendiri.
Dengan kalimat “yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendri atau alami sendiri”
masih mengandung pengakuan.
Dari pengertian keterangan terdakwa seperti diatur pada Pasal 189 ayat (1), kita
dapat menarik kesimpulan bahwa syarat sah keteranga terdakwa harus :
-apa yang terdakwa nyatakan di sidang pengadilan
- pernyataan terdakwa meliputi; a.yang ia lakukan
sendiri;
Artinya terdakwa sendirilah yang melakukan perbuatan itu, dan bukan
orang lain selain dari terdakwa. Menjadi pertanyaan bagaimana kalau terdakwa
menerangkan bahwa ia tidak melakukan atau bukan ia yang melakukan, apakah
1
sama peristiwa yang bersangkutan, menandakan terjadinya peristiwa pidana itu dan
29
menentukan siapakah yang melakukannya.
Petunjuk ialah suatu “syarat” yang dapat “ditarik dari suatu perbuatan, kejadian
atau keadaan dimana isyarat tadi mempunyai persesuaian” antara yang satu dengan
yang lain maupun isyarat tadi mempunyai persesuain dengan tindak pidana itu sendiri
dan dari isyarat yang bersesuaian tersebut “melahirkan” atau mewujudkan suatu
petunjuk yang “membentuk kenyataan” terjadinya suatu tindak pedana dan
30
terdakwalah pelakunya.
Dari pengertian-pengertian diatas terkesan betapa sulitnya merumuskan pengertian
alat bukti “petunjuk”, namun dari pengertian-pengertian tersebut dapat ditarik
kesimpulan bahwa suatu petunjuk terbentuk apabila :
1) ada rangkaian perbuatan, atau kejadian atau keadaan atau peristiwa yang saling
bersesuaian atau terikat satu dengan yang lain, atau
2) perbuatan, kejadian, peristiwa atau keadaan tadi bersesuaian atau terikat dengan
tindak pidana itu,
3) dengan adanya persesuaian antara yang satu dengan yang lain melahirkan atau
menandakan telah terjadi suatu tindak pidana.
4) dan dari persesuaian itu pula diketahui pelakunya.
Dan dari pengertian diatas juga dapat disimpulkan bahwa petunjuk tidak
dapat merupakan alat bukti yang berdiri sendiri, akan tetapi hanya bisa diperoleh
dari alat bukti lain
29
Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, SH, OP cit, hal 105
30
M. Yahya Harahap, SH. Op cit, hal.839.
1
Ini berarti bahwa suatu “petunjuk” hanya dapat diperoleh dari alat bukti sah yang
sudah ada lebih dahulu, kecuali dari keterangan ahli. Menurut Pasal 188 ayat (2)
KUHAP petunjuk tidak dapat diperoleh dari keterangan ahli.
Tidak diperolah keterangan kenapa bukti petunjuk tidak bisa diperoleh dari keterangan
ahli.
Barangkali, pembentuk undang-undang melarang keterangan ahli sebagai sumber
alat bukti petunjuk, didasarkan pada pemikiran, perlunya membatasi kewenangan
hakim mencari alat bukti dari sumber yang terlampau luas. Dianggap terlampau
berbahaya memperoleh atau mencari petunjuk dari keterangan ahli sebab keterangan
ahli sebagai alat bukti, diangap kurang obyektif. Ahli menerangkan sesuatu keadaan
atau suatu hal, semata-mata dari kacamata subyektifnya sesuai dengan keahlian yang
dimilikinya. Seolah-olah pembuat undang-undang kurang setuju memperoleh suatu
petunjuk yang objektif dari sumber yang subyektif. Adalah tidak layak mencita-citakan
atau mengharapkan suatu yang obyektif dari sumber yang subyektif.
Terlepas dari pendapat M. Yahya, SH; Menurut hemat penulis tidak tercantumnya
keterangan hali sebagai sumber alat bukti petunjuk, karena dimulai dari HIR juga tidak
menjadikan keterangan ahli sebagai sumber petunjuk.
Menurut Pasal 311 HIR, Tanda (petunjuk) hanya boleh dibuktikan :
1) oleh saksi
2) oleh surat-surat
3)oleh pemeriksaan atau penglihatan hakim sendiri
4)oleh pengakuan orang yang dituduh sendiri, biarpun tidak di muka hakim.
Adapun HIR tidak mencantumkan keterangan ahli sebagai sumber tuntuk
mendapatkan petunjuk karena HIR tidak menerima keterangan ahli sebagai alat bukti.
Sebaliknya KUHAP mengakui keterangan ahli sebagai alat bukti sah, sehingga
seyogyanya petunjuk dapat juga diperoleh dari alat bukti keterangan ahli. Penulis bisa
berpendapat demikian karena tiga Pasal pada HIR yaitu Pasal 310, Pasal 311 dan Pasal
312 yang mengatur tentang petunjuk adalah sama pengertiannya dengan Pasal 188 ayat
(1) ayat (2) dan ayat (3) KUHAP.
Jadi ini merupakan suatu kekeliruan Pasal 188 ayat (2) KUHAP sebagaimana
kekeliruan yang terdapat pada Pasal-pasal lainnya dalam KUHAP. Oleh sebab itu
1
sudah seharusnya apabila hakim menerima alat bukti perunjuk yang diperoleh dari
keterngan ahli. Cukup banyak alat bukti keterngan ahli yang dapat merupakan alat
bukti petunjuk.
Contoh :
Ahli balistik menyimpulkan bahwa peluru (proyektil) yang menembus dada
korban yang menyebabkan kematian korban identik dengan peluru dari senjata
genggam H. Ahli daktiloskopi menyimpulkan bahwa sidik jari yang ada pada gagang
pistol H identik dengan sidik jari terdakwa. Maka baik keterangan ahli balistik atau
keterangan ahli daktiloskopi tadi sangat kuat untuk ditarik sebagai petunjuk.
c. Hubungan alat bukti petunjuk dengan barang bukti.
1)Barang bukti bukan barang bukti
Baik KUHAP menurut Pasal 184 ayat (1) maupun HIR yang berlaku sebelum
KUHAP, tidak menempatkan barang bukti sebagai alat bukti sah. Namun dalam
kenyataan praktek baik di tingkat penyidikan, prapenuntutan dan penuntutan,
penyidik maupun Penuntut umum menempatkan barang bbukti tidak kalah
pentingnya dengan alat bukti dalam mencari dan mengumpulkan bukti sebagai dasar
pertimbangan untuk pemeriksaan perkara di sidang pengadilan.
Bahkan ada kalanya hakim menunda-nunda sidang hanya karena barang bukti
yang tercantum dalam daftar bukti berkas perkara tidak diharapkan Penuntut umum
ke sidang pengadilan atau kalau barang bukti karena sifat dan keadaannya tidak
dapat dibawa ke sidang, hakim menetapkan untuk dilakukan pemeriksaan tempat
dimana barang bukti berada. Di lain kasus hakim menetapkan agar saksi-saksi
lainnya (dalam hal mperkara yang saksinya banyak) tidak perlu lagi dipanggil
karena bukti khususnya keterangan saksi dianggap sudah cukup.
Ilustrasi diatas memberikan kesan seolah-olah barang bukti sangat penting
dalam membuktikan kesalahan terdakwa. Sehingga ada kalanya Penuntut umum
pada tingkat prapenuntutan mengembalikan berkas perkara kepada penyidik dengan
petunjuk untuk dilengkapi dengan barang buktinya.
Itupun harus dilihat sampai sejauh mana Penuntut umum dapat menghubungkan
adanya persesuaian antara barang bukti tersebut dengan keterangan saksi,
keterangan ahli, bukti surat dan keterangan terdakwa.
Contoh barang bukti sebagai petunjuk :
A kehilangan sebuah mobil, B menerangkan bahwa mbil itu dibeli dari
terdakwa dua hari setelah A kehilangan mobil, terdakwa menyangkal mencuri mobil
kepunyaan A, tapi mengaku menjual mobil yang diajukan Penuntut umum sebagai
barang bukti yang disita dari B dan diakui A sebagai milinya. Dalam kasus ini,
barang bukti mobil dapat sebagai bukti petunjuk bahwa terdakwa yang mencuri
mobil milik A.
Contoh lain :
Terdakwa menyangkal membunuh korban A, namun mengakui bahwa golok
yang diajukan Penuntut umum sebagai miliknya dan tidak pernah dipinjam orang.
Hasil pemeriksaan laboratoris menyimpulkan bahwa bercak darah yang ada pada
golok dan baju terdakwa yang turut dijadikan barang bukti identik dengan darah
korban. Maka golok mau pun baju terdakwa dapat dijadikan bukti petunjuk bahwa
terdakwa lah yang bersalah membunuh korban A.
Lain hal nya pada contoh pertama A dan istrinya melihat sendiri terdakwa
mengambil mobil dari garasi, maka tidak perlu dipaksakan menghadirkan dan
memeriksa mobil disidang.
Dalam hal contoh yang kedua; apabila terdakwa mengaku menyebutkan secara
detail cara terdakwa melakukan pembunuhan tersebut dan pengakuan terdakwa
bersesuaian dengan keterangan saksi yang melihat sendiri kejadian itu, maka
menghadirkan golok dan baju terdakwa ke sidang tidak merupakan keharusan,
cukup hasil pemeriksaan laboratoris kalau ada.
e.benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana
atau untuk mempersiapkannya.
f.benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana.
g.benda yang khusus dibuat diperuntukkan melakukan tindak pidana.
h.benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang
dilakukan.
Kelima jenis benda inilah yang dapat dilakukan penyitaan dan untuk dijadikan
barang bukti disidang pengadilan.
d.Nilai Pembuktian
Sama halnya dengan nilai kekuaatan pembuktian empat alat bukti yang telah
dibicarakan, maka nilai kekuatan pembuktian petunjuk mempunyai nilai kekuatan
pembuktian “bebas”. Artinya hakim tidak terikat untuk menerima atau tidak
menerima suatu petunjuk sebagai alat bukti yang membentuk keyakinannya. Bukti
petunjuk seperti halnya alat bukti yang lain bukan alat bukti sempurna yang
mengikat hakim untuk diterima dan digunakan membuktikan kesalahan terdakwa.
Bahwa alat bukti petunjuk bukan merupakan alat bukti sempurna dan mempunyai
kekuatan pembuktian bebas, dapat dipahami oleh karena alat bukti lain yang
merupakan sumber memperoleh petunjuk kesemuanya mempunyai nilai kekuatan
pembuktian bebas. Jadi kalau induknya saja sudah tidak sempurna tentu apalagi
anak nya lebih tidak sempurna lagi.
Dengan petunjuk saja tidak cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa.
31
Dr. A. Hamzah, SH, Op cit, hal.326.
1
BAB VII
BEBAN PEMBUKTIAN TERBALIK
1. Asas praduga tak bersalah yang dianut oleh hukum acara pidana kita.
2. Keputusan Menteri Kehakiman RI No. M.01.PW.07.03 TH 1982 menyatakan penunut
umumlah yang dibebani tugas membuktikan kesalahan terdakwa.
3.Pengakuan bersalah terdakwa tanpa didukung alat bukti sah lainnya tidak cukup untuk
membuktikan kesalahan terdakwa (bandingkan dengan Pasal 189 ayat (4) KUHAP).
3)Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang
dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, maka keterangan tersebut
dapat digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah
melakukan tindak pidana korupsi.
Penjelasan pasal ini menyebutkan : ....Ketentuan ini terdakwa dapat membuktikan
bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi. Apabila terdakwa dapat membuktikan hal
tersebut tidak berarti ia tidak terbukti melakukan korupsi, sebab Penuntut umum masih tetap
berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya. Ketentuan Pasal ini merupakan “Pembuktian
Terbalik Terbatas” (baca beban pembuktian terbalik terbatas), karena jaksa masih tetap wajib
membuktikan dakwaannya.
Kemudian pada Pasal 37 ayat (2) UU No.20 Tahun 2001, yang mengubah UU No.31
tahun 1999, berbunyi; dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan
tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai
dasar untuk menyatakan bahwa terdakwa tidak terbukti. Penjelasan pasal ini menyebutkan
“Ketentuan ini tidak menganut sistem pembuktian secara negatif.”
Pada Pasal 37 A ayat (2) UU No. 20 tahun 2001, bunyinya sama dengan Pasal 37 ayat
(4) UU No. 37 UU No. 31 tahun 1999, yang berarti bahwa Pasal 37 A juga masih menganut
beban pembuktian tebalik terbatas, sepanjang mengenai pembuktian harta benda/kekayaan
terdakwa.
2.Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan, .... harta benda tersebut dianggap
diperoleh dari tindak pidana korupsi dan hakim berwenang memutuskan seluruh
atau sebagian harta benda tersebut dirampas untuk negara
c. Pasal 77 Undang-undang No 8 tahun 2010, tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang;
Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan
bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana.
d.Pasal 78 ayat (2) ; terdakwa membuktikan harta kekayaan yang terkait dengan perkara
bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) dengan cara mengajukan alat bukti yang cukup.
Perlu dipahami bahwa beban pembuktian terbalik hanya dapat diterapkan setelah
pemeriksaan disidang pengadilan, dan tidak berlaku ditahap penyidikan.
e. Pemeriksaan persidangan beban pembuktian terbalik untuk tindak pidana pencucian
uang (TPPU) maka persidangannya secara langsung digabungkan dengan
pemeriksaan terdakwa, berbeda dengan pemeriksaan persidangan beban pembuktian
terbalik pada tindak pidana korupsi. Pada perkara tindak pidana korupsi, Ketua
Majelis Hakim membuka tersendiri / secara khusus persidangan beban pembuktian
terbalik .
f. Dalam hal pembuktian terbalik maka terdakwa membuktikan dengan alat bukti yang
cukup, dalam hal ini pemaknaan atau ketentuan mengenai alat bukti yang cukup
apakah sama dengan alat bukti yang cukup oleh Jaksa Penuntut Umum, hal ini belum
diatur oleh KUHAP, sehingga penilaiannya diserahkan pada kebijakan hakim.
1
BAB VIII
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.Hukum pembuktian ada dan diperlukan pada semua tahapan pemeriksaan
2.Fungsi bukti permulaan untuk menentukan apakah suatu peristiwa merupakan dugaan
tindak pidana dan dapat dilakukan penyidikan.
3.Fungsi bukti untuk menentukan tindak pidana yang terjadi dan menemukan tersangkanya
4.Bukti diperoleh pada tahap penyidikan berupa keterangan saksi, ahli dan tersangka dalam
berita acara pemeriksaan yang sah, dan surat serta barang bukti dalam berita acara
penyitaan yangsah.
5.Fungsi alat bukti untuk membentuk keyakinan Penuntut umum dan hakim bahwa benar
benar terjadi tindak pidana dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya
6.Keterangan saksi, ahli dan terdakwa sebagai alat bukti apa yang diterangkan disidang
pengadilan, surat sebagai alat bukti surat yang diajukan disidang dan diperoleh dari
penyitaan yang sah dan barang bukti sebagai alat bukti petunjuk yang diperoleh dari alat
bukti yang sah.
7.Sistem pembuktian yang dianut oleh penuntut dan hakim adalah sistem pembuktian
undang-undang secara negatif.
8.Kekuatan pembuktian yang dianut oleh hakim, adalah “kekuatan pembuktian bebas “ ;
hakim bebas menilai setiap alat bukti untuk mebentuk keyakinannya.
9.Surat dakwaan disusun berdasarkan fakta-fakta yang diperoleh dari bukti yang sah ; dan
tuntutan pidana dianalisis untuk mendapatkan fakta hukum yang diperoleh dari alat bukti
yang sah.
10. Beban pembuktian terbalik dan beban pembuktian terbalik terbatas hanya dipergunakan
dipengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang.
B. Harapan
Jaksa sebagai penyidik tindak pidana tertentu dan sebagai Penuntut umum dapat
menguasai dan mengaplikasikan hukum dan teknik pembuktian untuk digunakan sebagai
sarana pengabdian kepada Tuhan Yang Maha Esa: AP
1
DAFTAR PUSTAKA
Hamzah, A , Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta, Arikha Media Cipta 1993.
Harahap, M. Yahya, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP II, Jakarta, Pustaka
kartini 1985.
Nasution, A. Karim, Masalah Hukum Pembuktian dalam Proses Pidana II, Jakarta 1975.
Prodjodikoro, Wirjono, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Jakarta, Sumur Bandung 1974.
Prodjohamidjojo, Martin, Sistem Pembuktian dan Alat-alat Bukti, Jakarta, Ghalia Indonesia
1983.
----------------------------
Hoeve 1989.
Kejaksaan Agugn RI, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1991, Jakarta,
Mahkamah Agung RI, Himpunan Tanya Jawab tentang Hukum Acara Pidana, Jakarta,
Undang-undang :
Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999, Tentang Penyelenggara Negara yang bersih dan Bebas
SELESAI