Anda di halaman 1dari 10

PROBLEMATIKA SEPUTAR POLIGAMI

DALAM ISLAM DAN KEMASYARAKATAN


(Oleh: Chandra Gita T.)

Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin, segala ajarannya mengandung nilai-
nilai kebaikan dan tauhid. Terdapat kesucian dan jaminan kebahagiaan bagi
pemeluknya. Namun seringkali pemahaman terhadap suatu ayat tertentu dalam
Alquran melahirkan berbagai pendapat yang berbeda. Tidak hanya itu, perbedaan cara
memahami ayat dalam Alquran juga berimbas pada lahirnya berbagai mazhab dan
aliran kalam yang berbeda di antara umat Islam.
Berbagai persoalan muncul karena perbedaan tersebut. Termasuk perbedaan
umat Islam dalam memahami ayat tentang hubungan sosial, maupun Ibadah. Poligami
seringkali dikaitkan sebagai ibadah yang bersifat mandub (sunah). Akan tetapi ada
juga yang mengatakan bahwa poligami tak ayal adalah sebuah perbuatan yang
bersifat rutinitas manusia yang tidak tergolong dalam perbuatan ibadah. Mengenai
poligami, banyak kalangan yang menerimanya sebagai suatu ajaran Islam, namun
tidak sedikit pula yang menentangnya dan menyebutnya bukan spesifik ajaran Islam
dan tidak menerima saat ada kalangan yang menyebut poligami sebagai anjuran
dalam syari’at. Poligami dipandang pro dan kontra dalam masyarakat akibat adanya
perbedaan pemahaman dalam memahami dalil yang mengungkapkan mengenai
peristiwa atau kejadian terkait poligami yang secara umum sangat terkenal tercantum
dalam Alquran surah An-Nisa ayat tiga.

Apa Itu Poligami?


Poligami secara lumrah diartikan sebagai pernikahan atau perkawinan antara
satu laki-laki dengan lebih dari seorang wanita. Hal ini dipahami dari pakna “poli”
yang berarti banyak atau lebih dari satu. Atau dari asal-usul katanya, yakni dari
bahasa Yunani kata tersebut diartikan sebagai perkawinan atau pernikahan yang
banyak, atau lebih dari satu. Bisa satu laki-laki dengan banyak perempuan atau pun
sebaliknya [1].
Akan tetapi, dalam masyarakat sekarang makna poligami nampaknya sudah
bergeser menjadi lebih khusus, karena perempuan dengan suami yang banyak biasa
disebut dengan kejadian poliandri. Dengan demikian makna poligami secara khusus
pula disandingkan kepada lelaki yang menikahi banyak wanita [1].
Berkaitan dengan poligami ini, dalam Islam banyak kalangan yang
menyebutkan ada landasan dalilnya dalam Alquran. Seperti yang sangat terkenal
yakni dalam surat An-Nisa ayat 3;
‫وا فَ ٰ َو ِح َدةً أَوْ َما‬ ِ َ َ‫اب لَ ُكم ِّمنَ ٱلنِّ َسٓا ِء َم ْثن َٰى َوثُ ٰل‬
۟ ُ‫ث َو ُر ٰبَ َع فَإ ْن ِخ ْفتُ ْم أَاَّل تَ ْع ِدل‬ َ ‫ط‬ ۟ ‫وا فِى ْٱليَ ٰتَم ٰى فَٱن ِكح‬
َ ‫ُوا َما‬ َ
۟ ُ‫َوإ ْن ِخ ْفتُ ْم أَاَّل تُ ْق ِسط‬
ِ
٣﴿ ‫وا‬ َ ِ‫ت أَ ْي ٰ َمنُ ُك ْم ٰ َذل‬
۟ ُ‫ك أَ ْدن ٰ َٓى أَاَّل تَعُول‬ ْ ‫﴾ َملَ َك‬

“Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan
(lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak
akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya
perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak
berbuat zalim.”

Ayat di atas dipahami kebanyakan orang sebagai dalil tentang perbuataan


poligami. Namun pada kenyataannya poligami bukanlah sebuah kebiasaan atau gaya
hidup yang muncul saat setelah ayat itu turun. Akan tetapi poligami ini sudah ada
sejak jaman pra-Islam, yakni sebagai budaya masyarakat Arab saat dulu yang
mempunyai banyak sekali istri. Ayat ini dipahami juga sebagai pereduksi jumlah
wanita yang dinikahi para lelaki yang asalnya tak tertentu dibatasi menjadi empat saja
dan itupun dilakukan hanya jika dapat berlaku adil, dan sebaiknya tidak dilakukan
apabila tidak dapat berlaku adil.
Poligami rupanya tidak hanya terjadi dalam lingkupan kehidupan Islam
namun terjadi di berbagai tempat dan di berbagai lingkup agama dan budaya yang
berbeda. Poligami ada sebagai cara hidup menikah beberapa kalangan dalam budaya
yang berbeda jauh sebelum Islam datang. Lalu Islam datang untuk memberikan
Batasan jumlah isteri yang boleh dimadu yakni tidak boleh lebih dari empat orang [2].
Quraish Shihab menjelaskan bahwa adanya poligami saat ayat tersebut turun
tak lain adalah sebuah pemberitahuan secara tidak langsung. Dimana pasca terjadinya
perang banyak sekali anak yatim yang terlantar dan wanita yang kehilangan
suaminya. Untuk itu memiliki isteri lebih dari satu diperbolehkan namun dibatasi
jumlahnya tidak lebih dari empat [3].
Dari sisi sabab nuzulnya, ayat ini mengandung masalah poligami yang terjadi
di antara pengasuh anak yatim dengan anak yatim tersebut yakni seorang wanita.
Ayat ini ditunjukkan kepada lelaki yang tinggal di Hijaz dimana menikahi banyak
perempuan sudah jadi kebiasaan dan budaya dengan tujuan untuk menguasai harta
anak yatim yang dinikahinya. Dengan demikian, ayat ini seperti yang dijelaskan
sebelumnya adalah menjadi pembatas bagi laki-laki di Hijaz saat itu untuk
menceraikan isterinya dan hanya punya maksimal empat isteri karena dengan
banyaknya isteri yang dimilikinya dikhawatirkan mereka tidak dapat berlaku adil
kepada mereka [4].
Muhammad Sayyid Tantawi menjelaskan terkait ayat ini bahwa Alquran
memberi solusi atas permasalahan tersebut dengan cara menceraikan anak-anak yatim
yang dinikahi lalu diperbolehkan mencari isteri yang lain dengan syarat harus adil.
Poin yang ditonjolkan dalam ayat ini adalah keadilan. Adil dalam ayat ini ada
yang menyebutnya secara materi dan secara non-materi atau bisa disebut dengan
keadilan bathin. Lebih lanjut Muhammad Sayyid Tantawi menegaskan bahwa ada
beberapa tahapan sebelum seseorang dapat diperbolehkan melakukan poligami.
Antara lain, apabila laki-laki tidak dapat berlaku adil dan takut tidak dapat berlaku
adil maka poligami tersebut tidak diperbolehkan untuknya.
Seperti yang telah ditelaah dari berbagai bacaan, bahwa Rasulullah saw
melakukan poligami tidaklah dilandasi dengan hasrat biologis seperti alasan-alasan
yang saat ini bermunculan dari berbagai kalangan. Poligami yang dilakukan
Rasulullah tak lain adalah wujud dari sisi kemanusiaan beliau serta perjuangan
dakwah beliau dalam melindungi wanita dan anak yatim yang tidak memiliki
penanggung jawab dalam kehidupan mereka.
Berbeda jika kita lihat saat ini, poligami dianggap adalah pintu praktis bagi
seseorang yang takut dengan hawa nafsunya untuk berzina dan melegalkan poligami
semata untuk melampiaskannya.
Adapun beberapa kalangan menafsirkan ayat ini dengan ayat lainnya, yakni
Alquran surah An-Nisa ayat 129 [5];
۟ ُ‫ُوا َوتَتَّق‬
‫وا فَإ ِ َّن‬ ۟ ‫وا ُك َّل ْٱلم ْي ِل فَتَ َذرُوهَا َك ْٱل ُم َعلَّقَ ِة َوإن تُصْ لِح‬
۟ ُ‫وا بَ ْينَ ٱلنِّ َسٓا ِء َولَوْ َح َرصْ تُ ْم فَاَل تَ ِميل‬
۟ ُ‫َولَن تَ ْستَ ِطيع ُٓو ۟ا أَن تَ ْع ِدل‬
ِ َ
١٢٩﴿ ‫﴾ٱهَّلل َ َكانَ َغفُورًا َّر ِحي ًما‬

“Dan kamu tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(mu), walaupun
kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu
cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain
terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri
(dari kecurangan), maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang”

Ayat ini dipahami sebagai hubungan dengan surah Ani-Nisa ayat 3 yang
sebelumnya menjadi dalil atas legalisasi poligami. Ayat ini menunjukkan bahwasanya
lelaki pun tidak dapat berlaku adil pada isterinya secara hakikat. Bahwa dapat ditarik
kesimpulan jika melakukan poligami pun harus diiringi oleh kemampuan seseorang
untuk bisa adil dari segi apa pun.

Bagaimana Poligami Dalam Perspektif Hukum Islam?


Dengan adanya dalil dalam Alquran yang membahas mengenai poligami tentu
saja dalam kaidah ushul fiqh kita akan mengetahui bagaimana hukum poligami ini
dalam Islam. Ada yang mengatakan bahwa poligami adalah mubah namun juga ada
yang berkata bahwa poligami adalah perbuatan sunnah karena alasan bahwa
Rasulullah saw. pun melakukannya.
Maka dari hal tersebut, bukan suatu ketidakmungkinan bahwa suatu dalil akan
dipahami berbeda oleh fuqoha. Karena perbedaan pehamahaman atas suatu dalil
adalah sebuah keniscayaan.
Al-Qurthubi dalam memahami ayat yang dijelaskan di atas menegaskan
bahwa dilaksanakannya poligami atas dalil tersebut adalah dilihat dari keumuman
lafadz bukan dari kekhususan sebab karenanya penting menjadi perhatian semua
wanita bukan hanya anak yatim semata. Sementara Ibnu katsir menjelaskan bahwa
pembatasan hanya boleh menikahi empat isteri bagi Rasulullah adalah suatu pembatas
yang amat kuat bagi umat muslim bahwa tidak boleh melebihi apa yang dperintahkan
kepada Rasulullah [6].
Adapun yang mengatakan bahwa poligami adalah mubah adalah pendapat
Rasyid Ridha. Menurutnya, poligami dalam Islam tidak semata-mata diharamkan
ataupun diharuskan karena terdapat perbedaan kondisi setiap orang maka
pertimbangan mudharatnya berbeda tiap orang.
Sebagaimana seseorang yang belum mampu melakukan pernikahan baik
secara materi maupun secara rohani maka dianjurkan untuk berpuasa dan menahan
syahwatnya dengan penuh ketaatan, maka demikian pula bagi seseorang yang
sekiranya belum terbilang tidak mampu berlaku adil dalam pernikahan lebih dari satu,
yakni poligami, maka sebaiknya jangan dilakukan. Demikianlah penuturan Imam Al-
Ghazali terkait poligami ini [6].
Berlaku adil di sini dipahami sebagai kemampuan suami untuk dapat adil
memberikan nafkah kepada para isterinya yang bersifat fisik seperti sandang, pangan,
papan. Selain itu poligami dilakukan bukan hanya sebagai jalan keluar atas dasar
alasan syahwat lelaki yang katanya tidak terbendung maka poligami dijadikan alasan
bagi mereka yang menghindari perselingkuhan dengan cara poligami. Poligami dalam
nash yang dijelaskan dalam Alquran menunjukkan ke dalam peristiwa khusus, yakni
apabila keadaan seseorang normal-normal saja maka poligami tidaklah patut
dilakukan. Apa yang rasulullah lakukan saat itu tak lain karena kondisi pasca perang
uhud yang menewaskan puluhan syuhada yang meninggalkan keluarganya sehingga
tidak ada yang mengurus mereka, dengan demikian alasan pemenuhan hasrat seksual
tidaklah cukup relevan jika dijadikan sebuah illat atas kebolehan melakukan poligami
[7].
Ada berbagai hal yang dijadikan alasan yang benar terkait pelaksanaan
poligami. Misalnya adalah masalah kesehatan, seseorang yang diketahui sudah tua
renta atau tidak dapat memberi keturunan lalu dengan suatu perundingan dilakukan
poligami maka hal tersebut menunjukkan kebolehan. Hal ini sepadan dengan yang
disampaikan Quraish Shihab bahwa poligami tak ubahnya sama saja seperti perbuatan
mubah seperti makan dan minum yang mana beberapa hal dilakukan secara khusus
dengan pertimbangan mudharat yang akan ada dan disesuaikan dengan kapasitas diri
kita sebagai manusia.
Dengan kata lain, hal ini berkaitan dengan perkataan Rifat Hasan yang
menyatakan bahwa ketika dalam keadaan darurat maka poligami itu boleh, maka saat
keadaan tidak darurat poligami bukanlah menjadi suatu hal yang dianjurkan. Justru
saat seseorang berpoligami dengan pertimbangan menuruti syahwat akan berujung
nestapa [8].
Imam Syafi’I menyatakan bahwa poligami dibolehkan asalkan dipenuhi syarat
dan prosedurnya karena poligami bukan semata-mata hal yang sederhana dengan
demikian beliau menambahkan syarat kepada seseorang yang hendak melakukan
poligami yaitu dapat memenuhi kebutuhan hidup semua isterinya dan adil dalam segi
material, tidak boleh kekurangan apalagi membuat isteri-isterinya sengsara.

Pro dan kontra seputar poligami


Walaupun beberapa ulama telah menjelaskan mengenai makna atau hukum
atas poligami, tetap saja dalam kenyataannya poligami masih erat dengan berbagai
perbedaan pendapat yang melahirkan kontroversi. Hal ini karena pemahaman antara
satu mazhab dengan mazhab yang lain berbeda sesuai cara atau metode masing-
masing dalam mengambil hukum pada dalil. Hal ini kemudian berimplikasi pada
pemahaman yang tersebar di masyarakat di mana ada yang mengatakan setuju dan
juga ada yang menolaknya.
Kalangan yang pro atau yang setuju atas konsep poligami menjelaskan
argumennya yang didahului oleh penafsiran mengenai surah An-Nisa ayat 3. Dimana
mereka menjelaskan bahwa pada dasarnya ada perintah mengenai poligami, sehingga
pada awalnya poligami itu hukumnya wajib bagi seorang laki-laki. Lalu mengalami
perubahan terhadap hukumnya karena ada kekhawatiran tidak mampu berbuat adil
maka menjadi sunnah [5].
Selain itu, mereka yang setuju juga mempertimbangkan bagaimana skala
gender antara laki-laki dan perempuan saat ini. Yang pada umumnya perbandingan
antara laki-laki dan perempuan tentu lebih banyak perempuan. Sehingga ada
kekhawatiran-kekhawatiran tertentu yang ditakutkan akan ada wanita yang tidak
dapat pasangan lelaki. Sekalipun memang pada dasarnya angka ini terbilang kasar
karena skala ini tentunya tidak melihat rasio dan usia antara laki-laki dan perempuan.
Di lain sisi, kalangan yang menolak atau kontra terhadap konsep poligami
juga sama-sama berangkat dari dalil yang dipahami berdasarkan kaidah ushul fiqh.
Mereka mengatakan bahwa hukum asal dari menikah antara lain adalah
mubah. Maka dari itu ketika ada konsep poligami, maka hal tersebut juga mubah.
Kebolehan poligami ini tentunya dengan syarat tertentu. Sehingga beberapa orang
berpendapat bahwa kebolehan poligami adalah kemudahan yang diberikan saat ada
kondisi darurat yang sulit diselesaikan kecuali dengan melaksanakan poligami.
Sehingga antara pro dan kontra dengan kaitannya dengan kaidah ushul fiqh
adalah bahwasanya poligami menurut kalangan pro, poligami dipandang sebagai
suatu sunnah yang dianjurkan dengan melihat bahwa Rasulullah pun melakukannya.
Akan tetapi kalangan yang menolak poligami itu beralasan bahwa poligami itu mubah
sama halnya seperti pernikahan. Mereka mengemukakan pendapat Quraish shihab
yang mana beliau hanya mengatakan boleh namun juga menambahkan bahwa
poligami ini adalah hal yang dilakukan dalam kondisi kritis saja, beliau menjelaskan
poligami dibolehkan namun juga tidak serta merta menganjurkan perbuatannya [5].
Dalam Alquran surah An-Nisa yang menyatakan bahwa sebenarnya manusia
yakni yang dimaksud dalam ayat itu adalah khusus bagi laki-laki tidak akan pernah
mampu berbuat adil terhadap isteri-isterinya seolah menjadi peringatan bahwa
poligami bukanlah suatu sunnah yang mesti dilakukan seperti halnya sunnah yang
kita ketahui, misalnya salat tahajud atau seperti berbuat baik kepada fakir miskin dan
anak yatim.
Fakhruddin Ar-Razi, seorang pemikir Islam juga sebagai mufassir yang
terkenal di era klasik menjelaskan bahwa poligami jika dilihat dari kronologis
turunnya ayat yang telah dipaparkan sebelumnya, maka dalam hal ini Fazlur Rahman
menjelaskan bahwa apa yang dituju oleh dalil tersebut bukanlah semata-mata
merupakan sebuah titik tolak atas dibenarkannya poligami sebagai perintah dalam
Islam, beliau mengatakan justru ayat tersebut merupakan sebuah pembatas bagi lelaki
yang melakukan poligami agar hanya memiliki maksimal empat isteri saja. Karena
secara historis, saat itu masyarakat Arab senang berpoligami bahkan dengan jumlah
isteri yang tak terbatas. Adanya ayat ini mengindikasikan penyusutan dan aturan bagi
yang berpoligami untuk hanya empat saja istrinya. Kemudian beliau menambahkan
bahwa ayat ini mengindikasikan secara halus agar umat Islam mempunyai satu isteri
saja, dengan kata lain ini merupakan anjuran bagi umat Islam untuk monogami saja
[9].
Hal ini sejalan dengan yang dikatakan oleh Fakhruddin Ar-Razi bahwa pilihan
menengah bagi mereka yang ingin mengejar nilai sunnah adalah sebaiknya seseorang
menikah dengan satu orang isteri saja dan berusaha beribadah dengan sunnah lainnya
yang amat dianjurkan.

Refleksi
Poligami pada dasarnya dibolehkan dalam Islam akan tetapi hal ini diiringi
dengan syarat dan prosedur yang tidak mudah, dan tidak semata-mata dilakukan
sebagai tameng bagi laki-laki untuk dapat memenuhi hasrat seksualnya semata. Ada
pesan lain dibalik dilakukan poligami oleh Nabi Muhammad SAW, antara lain adalah
alasan kemanusiaan dan syi’ar Islam. Selain itu, poligami merupakan pintu darurat
yang pelaksanaannya tidak mudah dan Allah memberikan syarat adil kepada laki-laki
yang hendak berpoligami dalam An Nisa ayat tiga, dengan justru ada ayat lain yang
menegaskan bahwa sebenarnya lelaki tidak akan mampu berbuat adil kepada isteri-
isterinya.
Terlepas dari hal itu, dalam fiqh sendiri terdapat perbedaan penarikan hukum
atas poligami ini, antara lain yakni yang menyatakan bahwa poligami adalah sunnah
karena hukum asalnya wajib dan diiringi syarat tertentu bergeser menjadi mandub
(sunnah). Lalu yang kedua menyatakan mubah karena hukum asal dari pernikahan
adalah mubah, maka beberapa kalangan menegaskan bahwa poligami adalah mubah
seperti halnya aktivitas keseharian manusia dimana kemudharatanna pun tergantung
kondisi masing-masing individu.
Lebih lagi ditegaskan oleh Fazlur Rahman seperti yang terlah dipaparkan
sebelumnya bahwa sebenarnya ayat yang menyinggung poligami adalah isyarat bagi
umat Islam untuk melakukan monogami saja. Hal ini pun dinilai sependapat dengan
pernyataan dari Fakhruddin Ar-Razi.
Namun, kenyataannya poligami ini masih menjadi problematika yang
kontroversial di kalangan umat muslim. Dengan demikian hal ini pun ditopang
dengan adanya keniscayaan bahwa masing-masing fuqoha berbeda cara dalam
memahami petunjuk suatu dalil sehingga produk fiqhnya yakni hukum atas poligami
pun berbeda-beda
Dalam menghadapi perbedaan pemahaman ayat mengenai poligami, atau pun
konsep poligami sebaiknya kita luruskan terlebih dahulu bahwa poligami bukanlah
semata-mata ajaran yang dibawa Islam, akan tetapi telah ada sejak dahulu. Hal ini
akan memberi pemahaman kepada kita bahwa Islam bukanlah agama yang
mendukung lelaki untuk berpoligami atas dasar hawa nafsunya justru memberi
Batasan dan pagar agar poligami dilakukan dalam kondisi tertentu saja.
Dalam lapangan, ada kalanya bagi kita untuk berkepala dingin dan menyadari
akan niscayanya perbedaan pendapat yang muncul di masyarakat. Apapun pilihannya,
baik bagi mereka yang setuju atau menolak yang terpenting adalah menjalani pilihan
secara bijak dan tidak berupaya menjelekkan satu sama lain.

Referensi

[1] R. L. Khoiriah, “Poligami Nabi Muhammad Menjadi Alasan Legitimasi Bagi Umatnya
serta Tanggapan Kaum Orientalis,” J. Living Hadis, vol. 3, no. 1, p. 1, 2018.

[2] T. Nurus Sa’adah, “Poligami dalam Lintas Budaya dan Agama: Meta-Interpretation
Approach Nurus Sa’adah,” Asy-Syir’ah, vol. 49, no. 2, pp. 479–499, 2015.

[3] N. Norcahyono, “PEMIKIRAN REAKTIF TENTANG HUKUM POLIGAMI DALAM


AL-QUR’AN (Pemikiran Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah),” Al-Banjari J. Ilm.
Ilmu-Ilmu Keislam., vol. 15, no. 2, p. 213, 2017.

[4] A. Hendri, “Poligami perspektif kitab al-taf sīr al - wasīt li al- qur’ān al - karīm,” Al-
Bayan J. Stud. Al-Quaran dan Tafsir, vol. 3, no. 1, pp. 51–56, 2018.

[5] S. Ropiah, “Studi Kritis Poligami Dalam Islam (Analisa Terhadap Alasan Pro Dan Kontra
Poligami),” vol. 1, no. 1, pp. 89–104, 2018.

[6] A. I. Cahyani, “Poligami dalam Perspektif Hukum Islam,” J. Al-Qadau, vol. 5, no. 1, pp.
271–280, 2018.

[7] W. S. Ahmad, “STATUS POLIGAMI DALAM HUKUM ISLAM ( Telaah atas Berbagai
Kesalahan Memahami Nas } dan Praktik Poligami ),” Al-Ahwal, vol. 6, pp. 57–70, 2013.

[8] S. Riyandi, “Syarat Adanya Persetujuan Isteri Untuk Berpoligami (Analisis Ushul Fikih
Syafi’iyyah Terhadap Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974,” J. Ilm. Islam
Futur., vol. 15, no. 1, pp. 111–142, 2015.

[9] Rahmi, “Poligami: Penafsiran Surat An Nisa Ayat 3,” J. Ilm. Kaji. Gend., vol. Vol. V, no.
No. 1, pp. 114–128, 2015.

Anda mungkin juga menyukai