Anda di halaman 1dari 10

A.

Model Istinbat Ahkam dan Idtidlal Ulama di Kalangan Majelis


Ulama Indonesia (MUI)

Organisasi Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai tempat


bermusyawarahnya para ulama, ulama dan cendekiawan Muslim,
mempunyai peranan luhur sebagai pengayom bagi umat Islam Indonesia
terutama di dalam memecahkan dan menjawab seluruh persoalan sosial-
keagamaan dan kebangsaan yang timbul di tengah-tengah masyarakat.
Majelis Ulama Indonesia berdiri pada tanggal 7 Rajab 1395 Hijriah,
bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta Indonesia.

Majelis Ulama’ Indonesia (MUI) berdiri sebagai hasil dari


musyawarah para ulama, cendekiawan dan zu’ama yang datang dari
berbagai penjuru tanah air, antara lain meliputi dua puluh enam orang
ulama yang mewakili 26 provinsi di Indonesia pada masa itu, 10 orang
umana yang merupakan unsur dari ormas-ormas Islam tingkat pusat yaitu
NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti, Al Washliyah, Math’laul
Anwar, GUPPI, PTDI, DMI, dan Al Ittihadiyyah, 4 orang umala dari
Dinas Rohani Islam, Angkatan Darat, ANgkatan Udara, Angkatan Laut
dan POLRI serta 13 orang tokoh atau cendekiawan yang merupakan tokoh
perorangan.1 Berdasarkan musyawarah tersebut, dihasilkan adalah sebuah
kesepakatan untuk membentuk wadah tempat bermusyawarah para ulama,
zu’ama, dan cendekiawan muslim, yang tertuang dalam sebuah “Piagam
Berdirinya MUI” yang ditandatangani oleh seluruh peserta musyawarah
yang kemudian disebut Musyawarah Nasional Ulama I.

Pedoman fatwa MUI ditetapkan dalam surat keputusan MUI Nomor


596/MUI/X/1997 dalam surat keputusan tersebut terdapat tiga bagian
proses utama dalam menentukan fatwa yaitu:

1. Dasar-dasar umum penetapan fatwa


2. Prosedur penetapan fatwa

1
https://mui.or.id/, diakses pada tanggal 12 Maret 2020, 08.00
3. Teknik dan kewenangan organisasi dalam penetapan fatwa
Dasar-dasar umum penetapan fatwa MUI ditetapkan dalam pasal 2
ayat (1) yang mengatakan bahwa setiap fatwa didasarkan pada adillat al-
ahkam yang paling kuat dan membawa kemaslahatan bagi umat. Dalam
ayat (2) dijelaskan bahwa dasar-dasar fatwa adalah:

1. Al-Qur’an
2. Hadist
3. Ijma’
4. Qiyas
5. Dan dalil-dalil lainnya
Sedangkan dalam prosedur penetapan fatwa dilakukan dengan langkah-
langkah berikut:

1. Setiap masalah yang diajukan (dihadapi) MUI dibahas dalam rapat


komisi untuk mengetahui substansi dan duduk permasalahannya.
2. Dalam rapat komisi dihadirkan ahli yang berkaitan dengan masalah
yang akan di fatwakan untuk di dengarkan pendapatnya untuk
dipertimbangkan.
3. Setelah ahli didengar dan dipertimbangkan ulama melakukan kajian
terhadap pendapat para imam madzhab dengan fuqaha dengan
memperhatikan dalil-dalil yang digunakan dengan berbagai cara
istidlal-nya dan kemaslahatannya bagi umat.
4. Jika fuqaha memiliki ragam pendapat komisi melakukan pemilihan
pendapat melalui tarjih dan memilih salah satu pendapat untuk
difatwakan.
5. Jika tarjih tidak menghasilkan produk yang memuaskan, komisi bisa
melakuan ijtihad jama’I menggunakan al-Qaqaid al-Ushuliyyat dan al-
qawaid al-fiqhiyyat.
Dalam proses penetapan fatwa, dilakukan pengkajian terlebih
dahulu terhadap pendapat para imam madzhab tentang masalah yang akan
difatwakan tersebut dengan saksama. Masalah yang telah hukumnya (al-
ahkam al-qath’iyah) disampaikan sebagaimana apa adanya. Sedangkan
dalam masalah-masalah yang merupakan Kawasan perbedaan pendapat di
antara para ulama/madzhab, maka penetapan fatwa dilakukan degan
mencari titik temu antara pendapat-pendapat madzhab yang berbeda,
melalui metode al-jamu’u wa al-tawfiq.
Majelis Ulama Indonesia adalah sebuah Lembaga non pemerintah
yang menaungi umat Islam Indonesia secara keseluruhan tanpa
memandang kecenderungan paham keagamaan dan organisasi
kemasyarakatan. Dalam persoalan tertentu, jika sebuah persoalan hukum
muncul dalam masyarakat yang berkenaan dengan umat Islam, maka MUI
menampungnya melalui sebuah prosedur yang standar. Langkah pertama
dilakukan dengan menyamakan persepsi terhadap permasalahan tersebut di
dalam tubuh Komisi Fatwa MUI. Jika Komisi Fatwa menemukan sebuah
dalil qath’I yang berkenaan dengan masalah tersebut, maka permasalahan
itu segera diputuskan dengan dalil tersebut. Kalau tidak, maka akan maka
akan dilakukan kajian yang lebih mendalam. Biasanya kecenderungan
yang ada dalam MUI lebih dekat kepada madzhab Imam Al-Syafi’i. hal ini
tidak bias dilepaskan dari realita Muslim di Indonesia yang mayoritas
bermadzhab syafi’I. selanjutnya apabila dipandang perlu, masalah tersebut
akan dikonsultasikan kepada pakar yang menguasai bidang persoalan
tersebut, untuk kemudian dilakukan semacam ijtihad atau istinbat hukum
untuk mendapatkan hukum yang paling sesuai dengan teks dan
konteknya.2
Secara umum bisa dikatakan bahwa MUI dan komisi Fatwa yang
dinaunginya sudah melakukan istinbat hukum sesuai dengan konsep dasar
yang sudah baku dalam tradisi Fiqh Islam Sunni. Jadi, kita harus
memahami metodologi istinbat hukum MUI sesuai dengan koridor
tersebut. Namun madzhab Islam Sunni sekalipun juga terus mengalami
pengembangan. Sebelum menjelaskan istinbath hukum Majelis Ulama

2
Jurnal Iffatul Umniati Ismail, Telaah Kritis Metodologi Istinbat MUI, diakses pada 12 maret
2020, Pukul 08.00
Indonesia (MUI), perlu untuk mengetahui tentang pengertian dari istinbath
dalam metodelogi hukum islam “Ushul fikih”. Secara Bahasa istinbath
berarti al-Istikhraj (mengeluarkan)3. Berkenaan dengan metode yang
digunakan oleh MUI dan Komisi fatwanya dalam upaya menetapkan fatwa
terdapat tiga pendekatan yang digunakan. Yaitu pendekatan nash al-
4
Qath’i, pendekatan qauli dan pendekatan manhaji. Tiga tipoligi
pendekatan tersebut memiliki arti tersendiri seperti halnya pendekatan
nash al-Qath’I adalah pendekatan terhadap al-Qur’an dan al-Hadist dalam
upaya menentukan suatu fatwa. Setelah menemukan nahs yang
berhubungan dengan permasalahan yang akan difatwakan, maka langkah
selanjutnya MUI melakukan pendekatan Qauli dan manhaji terhadap
pendapat para ulama terdahulu al-Salaf (sahabat, tabi’in dan tabi’ at-
Tabi’in) yang beraliran sunni terhadap nash yang dimaksud
Di antara bentuk pengembangan tersebut adalah melakukan
klasifikasi ulang terhadap apa yang disebut sebagai ‘’Mashadir Ahkam’’
oleh para ulama Ushul Fiqh klasik yang notabene adalah para teoritikus
metodologi istinbat ahkam.
Dalam klasifikasi yang baru telah dibedakan antara empat hal yang
berbeda dalam istinbat hukum :
1. Mashadir al-ahkam (sumber-sumber hukum). Mashadir al-ahkam ini
dapat dibagi lagi kedalam dua segmentasi yaitu, sumber hukum materil
yang bersifat tekstual (al-mashadir al-naqliyyah), yaitu Al-Qur’an,
Sunnah, Atsar Al-Shababah, Aqwal wa Madzahib Aimmah (ucapan
para imam) serta al-ijma’ fima nushsha fiihi (Ijma` ulama yang
berkaitan dengan pemahaman teks); kemudian ada juga yang
disebut sebagai al-mashadir al-burhaniyah (sumber hukum
materiil yang bersifat rasional, berupa al-ijmā’ fī mā lā nash fīhi
(Ijma` ulama yang berkaitan dengan sebuah hukum yang sama
3
Ibnu Mandzur, Lisan al-Arab, (Messir: Dar al-Shadar, 2003), hal 176-177.
4
Heri Fadli Wahyudi, Metede Ijtihad Komisi Fatwa Mejelis Ulama Indonesia dan
Aplikasinya dalam Fatwa, Cakrawala: Jurnal Studi Islam, Vol. 13, No. 2, (Juni
2018), 126.
sekali tidak ada sandaran tekstualnya), rasio dan ilmu
pengetahuan modern. Dalam melakukan istinbath terhadap suatu
hukum yang menjadi hal yang paling fundamental adalah tinjauan
terhadap sumber hukum. Dalam pembagiannya sumber hukum terbagi
menjadi dua bagian yaitu 1) sumber hukum materil yang bersifat
tektual meliputi al-Qur’an, hadist, atsar as-Shahabah dan qaulul
madzahib. 2) sumber hukum materil yang bersifat kontekstual meliputi
konsensus ulama terhadap masalah yang tidak ada sandaran tektualnya
dan rasio atau ilmu pengetahuan modern.

2. Manahij Istinbath Ahkam, yaitu instrumen-instrumen


metodologis yang digunakan dalam merumuskan kesimpulan
hukum, yaitu al-qiyas (sillogisme), al-ilhaq (sillogisme
antara sebuah masalah kontemporer dengan pendapat ulama
klasik) dan al-istiqraa’ (deduksi).

3. al-adawat, yaitu data-data baru yang digunakan sebagai


instrumen penentuan sebuah hukum, di antaranya adalah al-
`urf (adat kebiasaan), hukmul hakim wal qadhi (keputusan
pemerintah dan pengadilan), al-maqashid, al-mashalih, al-
istihsan dan sadd dzara’i.
4. Prinsip dasar jurisprodensi
Adalah prinsip dasar yang digunakan sebagai intrumen suatu hukum.
Meliputi proritas terhadap pendapat yang lebih ringan dalam suatu
permasalahan dan beberapa kaidah lainnya.

Berdasarkan klasifikasi di atas, penggunaan masing-


masing item seharusnya disesuaikan dengan kedudukannya.
Dalil penetapan fatwa hukum seharusnya hanya memuat bagian
pertama dan ketiga. Sedangkan bagian kedua dan keempat
disebutkan dalam konsideran fatwa untuk menjelaskan
bagaimana dalil-dalil tersebut–dalam pandangan Komisi Fatwa
MUI atau forum Ijtima` Nasional– telah menjurus atau
menjustifikasi ditetapkannya sebuah hukum atau fatwa tertentu.
Dengan demikian, keempat bagian tersebut tidak bisa
ditempatkan secara sejajar atau berurutan begitu saja.
Sebagaimana klasifikasi tersebut dengan sendirinya menuntut
adanya penjelasan tentang aspek argumentatif pengambilan
kesimpulan hukum (wujuh al-istidlal) dari setiap dalil yang
digunakan, namun hal ini tidak dilakukan oleh MUI dalam
konsideran fatwanya.

Para ulama memang tidak mengharuskan seorang mufti


atau lembaga fatwa untuk menjelaskan apa dalil atau
argumentasi yang digunakannya untuk menyimpulkan sebuah
hukum. Namun pandangan ini haruslah dipahami secara
kontekstual, karena yang dimaksud di sini adalah berkenaan
dengan masalah-masalah mikro yang tidak menyangkut hajat
hidup orang banyak. Berbeda dengan fatwa-fatwa MUI,
khususnya yang dikeluarkan melalui Ijtima` Nasional, yang
tentunya banyak berkaitan dengan kehidupan publik atau
menyangkut hak hidup orang banyak. Pada gilirannya, ketika
beberapa fatwa yang dikeluarkan oleh MUI dipertanyakan oleh
publik, maka penjelasan dalil tersebut menjadi semakin urgen,
sehingga MUI bisa membantu publik untuk memahami maksud
fatwa tersebut.

Sebelum fatwa ditetapkan, dilakukan kajian komprehensif


terlebih dahulu guna memperoleh deskripsi utuh tentang obyek
masalah (tashawwur al-masalah), rumusan masalah, termasuk
dampak sosial keagamaan yang ditimbulkan dan titik kritis dari
berbagai aspek hukum (norma syari’ah) yang berkaitan dengan
masalah tersebut. Kajian komprehensif dimaksud pada ayat mencakup
terhadap telaah atas pandangan fuqaha mujtahid masa lalu,
pendapat para imam madzhab dan ulama yang mu’tabar, telaah
atas fatwa-fatwa yang terkait, serta pandangan ahli fikih terkait
masalah yang akan difatwakan.

1. Kajian komprehensif sebagaimana dimaksud pada ayat antara


lain dapat melalui penugasan pembuatan makalah kepada
Anggota Komisi atau ahli yang memiliki kompetensi di
bidang yang terkait dengan masalah yang akan difatwakan.
2. Menetapan fatwa terhadap masalah yang telah jelas hukum dan
dalil-dalilnya (ma’lum minal-din bi aldlarurah) dilakukan dengan
menyampaikan hukum sebagaimana apa adanya. Sedangkan
penetapan fatwa terhadap masalah yang terjadi perbedaan pendapat
(masail khilafiyah) di kalangan madzhab, maka Penetapan fatwa
didasarkan pada hasil usaha pencapaian titik temu di antara
pendapatpendapat yang dikemukakan melalui metode al-jam’u wa
al-taufiq. Jika tidak tercapai titik temu antara pendapatpendapat
tersebut, penetapan fatwa didasarkan pada hasil tarjih melalui
metode muqaranah (perbandingan) dengan menggunakan kaidah-
kaidah ushul fiqih muqaran. Sedangkan Penetapan fatwa terhadap
masalah yang tidak ditemukan pendapat hukum di kalangan
madzhab atau ulama yang mu’tabar, didasarkan pada ijtihad
kolektif melalui metode bayani dan ta’lili (qiyasi, istihsaniy,
ilhaqiy, istihsaniy dan sad al-dzaraa’i) serta metode penetapan
hukum (manhaj) yang dipedomani oleh para ulama madzhab. Dan
apabila dalam masalah yang sedang dibahas dalam rapat dan
terdapat perbedaan di kalangan Anggota Komisi, dan tidak
tercapai titik temu, maka penetapan fatwa disampaikan tentang
adanya perbedaan pendapat tersebut disertai dengan penjelasan
argumen masing-masing, disertai penjelasan dalam hal
pengamalannya, sebaiknya mengambil yang paling hati-hati
(ihtiyath) serta sedapat mungkin keluar dari perbedaan pendapat
(al-khuruuj min al-khilaaf).
3. Penetapan fatwa harus senantiasa memperhatikan otoritas
pengaturan hukum oleh syari’at serta mempertimbangkan
kemaslahatan umum dan maqashid al-syariah.
DAFTAR PUSTAKA

Ibnu Mandzur, Lisan al-Arab, (Messir: Dar al-Shadar, 2003)

Heri Fadli Wahyudi, Metede Ijtihad Komisi Fatwa Mejelis Ulama


Indonesia dan Aplikasinya dalam Fatwa, Cakrawala: Jurnal Studi
Islam, Vol. 13, No. 2, Juni 2018
Jurnal Iffatul Umniati Ismail, Telaah Kritis Metodologi Istinbat MUI,
diakses pada 12 maret 2020, Pukul 08.00.
https://mui.or.id/, diakses pada tanggal 12 Maret 2020, 08.00

Anda mungkin juga menyukai