Anda di halaman 1dari 2

Weekly Report 4

Strategi & Manajemen Kinerja Organisasi


Chesya Bintang Caroline - 1706059321

Kasus ​Go-Jek: Seizing Digital Opportunities at the Bottom of Pyramid

Digitalisasi dunia transportasi memang telah memasuki fase yang cukup menakjubkan. Bahkan,
tidak hanya kemudahan transportasi yang kini ditawarkan, melainkan telah merambah ke aspek
kehidupan lainnya melalui diversifikasi layanannya. Mulai dari layanan pesan antar makanan,
bersih-bersih rumah, pijat, jasa montir, hingga bertransformasi menjadi ​fintech ​untuk
pembayaran digital. Semuanya bisa didapatkan hanya melalui ​one tap ​di satu aplikasi serba
ada. Kenyamanan yang ditawarkan ini membuat seluruh kompetitor berlomba-lomba untuk
menjadi aplikasi ​on-demand ​nomor satu andalan penggunanya, atau sekarang disebut
Super-App.​ Tak luput dari persaingan tersebut ialah Go-Jek. Perusahaan startup karya anak
bangsa itu mengawali bisnisnya dengan visi memperbaiki struktur transportasi di Indonesia,
namun kemudian berkembang menjadi aplikasi dengan layanan serba ada. Untuk
mempertahankan posisinya dalam persaingan yang sengit dengan kompetitor, Go-Jek harus
tepat dalam menentukan langkah selanjutnya dalam pertumbuhan bisnis Go-Jek. Untuk
mencapai hal tersebut, apakah Go-Jek sebaiknya melakukan strategi ekspansi pasar domestik,
ataukah regionalisasi ke negara-negara Asia Tenggara lainnya?

Pertanyaan ini menurut saya sangat penting, mengingat pergerakan dari pesaing terbesar
Go-Jek, yaitu Grab, semakin agresif dalam upaya merenggut pasar terbesar. Bila dilihat dari
valuasi masing-masing perusahaan, Grab nampak unggul dibandingkan Go-Jek dengan valuasi
mencapai US$ 14 miliar, dengan sokongan dari SoftBank, Microsoft, Didi Chuxing, dan lain
sebagainya. Tak kalah, Go-Jek memiliki valuasi hampir mencapai US$ 10 miliar dengan
mendapatkan suntikan dana dari Google, Temasek, Warburg Pincus, Tencent, dan
perusahaan-perusahaan lainnya. Modal yang didapatkan Grab pun dua kali lipat lebih besar
dari Go-Jek, sehingga perusahaan ini terkenal dengan kemampuannya dalam praktik ​burning
money m ​ elalui diskon dan potongan harga yang “gila-gilaan”. Grab juga sudah lebih dahulu
melakukan operasinya di negara-negara Asia Tenggara lainnya, seperti Singapura, Malaysia,
Thailand, dan Vietnam. Namun Indonesia, sebagai negara dengan populasi terbanyak nomor
empat di dunia, tetap menjadi prioritas bagi kedua perusahaan dalam mengembangkan
layanannya.

Untuk menentukan strategi manakah yang tepat untuk dilakukan, maka perlu dilakukan analisis
terhadap sisi positif dan sisi negatif dari setiap opsi. Apabila Go-Jek melakukan ekspansinya
pada pasar domestik, Go-Jek memiliki keunggulan sebagai aplikasi “asli” Indonesia, atau sering
disebut sebagai “karya anak bangsa”. Banyak masyarakat lebih memilih untuk menggunakan
Go-Jek dengan alasan ingin memajukan perusahaan buatan orang Indonesia tersebut. Go-Jek
juga merupakan pemain pertama dalam industri Selain itu, Indonesia yang sangat luas dengan
penduduk lebih dari 200.000.000 jiwa memiliki banyak kota-kota besar potensial lainnya yang
belum terjamah layanan Go-Jek. Namun, masih banyak daerah yang belum memiliki
infrastruktur yang memadai untuk memfasilitasi kehadiran Go-Jek, begitu pula dengan
kemampuan adopsi teknologi masyarakatnya. Selain itu, demand terhadap layanan-layanan
Go-Jek masih belum cukup tinggi di daerah-daerah tersebut, dikarenakan kondisi wilayah yang
kurang mendukung untuk Go-Jek menjadi pilihan yang optimal, misalnya keadaan lalu lintas
yang belum terlalu macet atau kebiasaan penduduk yang menggunakan kendaraan pribadi
maupun layanan kendaraan umum yang sudah ada. Kehadiran Go-Jek juga barang tentu akan
menimbulkan penolakan dari penyedia transportasi lokal, seperti angkot dan ojek konvensional.

Opsi lainnya adalah dengan melakukan regionalisasi atau ekspansi ke negara-negara Asia
Tenggara lainnya seperti Malaysia, Singapura, Thailand, dan Vietnam. Permintaan terhadap
layanan aplikasi on-demand di daerah-daerah ini memang cukup tinggi, sehingga dapat
menjadi pasar potensial bagi Go-Jek. Untuk melakukan strategi tersebut, Go-Jek harus
bersaing dengan incumbent, yaitu Grab, yang telah lebih dulu melakukan ekspansi ke wilayah
Asia Tenggara, dengan jumlah kota yang telah dilayani Grab secara total berjumlah 339 kota
yang tersebar di delapan negara berbeda. Dari sisi pendanaan, Grab juga memiliki ​backup y​ ang
cukup kuat untuk melakukan ekspansi ini, selain daripada ​parent companyn ​ ya, GrabTaxi.
Faktor eksternal seperti regulasi dan kondisi ekonomi di negara yang berbeda-beda juga
menjadi sandungan bagi Go-Jek untuk melakukan ekspansi ke beberapa negara, dimana
Go-Jek perlu menyesuaikan layanannya dengan peraturan dan kondisi masyarakat tiap
wilayahnya. Yang pasti, untuk melakukan strategi ini membutuhkan pendanaan yang sangat
besar, sehingga tentunya dapat membatasi perkembangan yang hendak dilaksanakan dalam
pasar domestik.

Berdasarkan pertimbangan atas kedua opsi tersebut, menurut saya Go-Jek sebaiknya lebih
fokus terhadap ekspansinya dalam pasar domestik. Mengapa? Berdasarkan analisis
sebelumnya, Go-Jek dapat menggunakan strategi ST (Strength-Threat). Strategi ST
menggunakan kekuatan dari perusahaan itu sendiri dan mengurangi pengaruh dari ancaman
eksternal. Dengan posisi Go-Jek saat ini sebagai aplikasi buatan anak bangsa yang menjadi
preferensi masyarakat Indonesia, Go-Jek dapat memanfaatkan keunggulan ini dibandingkan
kompetitornya. Menurut survei Komunitas Konsumen Indonesia yang dirilis Juli 2019 lalu,
Go-Jek menjadi moda transportasi online yang paling banyak digunakan, yaitu sebanyak 36%,
disusul oleh Grab sebanyak 32%. Selain itu, mengutip hasil riset IDN Times di tahun 2019,
GoFood mendominasi dengan angka mencapai 74,8%, meninggalkan pesaingnya di angka
20,9%. Posisi GoFood sebagai ​first mover ​dengan kepercayaan yang telah didapatkan dari
masyarakat harus dimanfaatkan sebagai salah satu kekuatan terbesar Go-Jek dalam
menghadapi persaingannya dengan Grab. Dengan berfokus pada ekspansi pasar domestik,
Go-Jek dapat memastikan kekuatannya di pasar yang terbesar dan lebih tinggi tingkat
​ ya untuk berhasil. Namun, Go-Jek harus senantiasa berupaya keras untuk
feasibilityn
memperkuat dan mempertahankan posisi tersebut dengan inovasi tiada henti dan memastikan
pelayanan yang memuaskan secara konsisten bagi konsumen.

Referensi
​ earson.
David, F.R., & David, F.R. (2017). Pg. 252. ​Strategic Management. P
Grab v Go-Jek: inside the tech battle for south-east Asia
https://www.ft.com/content/04e0523c-2256-11ea-b8a1-584213ee7b2b
Persaingan Ketat Go-Jek dan Grab Menjadi SuperApp
https://katadata.co.id/telaah/2019/04/16/persaingan-ketat-gojek-dan-grab-menjadi-superapp
GO-FOOD dan GrabFood, Siapa yang Berkuasa?
https://www.wartaekonomi.co.id/read216299/go-food-dan-grabfood-siapa-yang-berkuasa

Anda mungkin juga menyukai