Ekofisiensi didefinisikan sebagai tujuan umum untuk menciptakan nilai sambil
mengurangi dampak lingkungan. Meninggalkan bagian normatif dari konsep ini,
bagian empiris mengacu pada rasio antara dampak lingkungan dan biaya atau nilai ekonomi (Huppes & Ishikawa, 2005). Ekoefisiensi menjamin ketersediaan sumber daya alam baik berupa energi ataupun materi. Pada bidang industri konsep ini diimplementasikan melalui efisiensi penggunaan bahan baku, energi dan air (Zaenuri, 2011). Tujuan ekoeefisiensi adalah untuk mengurangi dampak terhadap lingkungan per unit yang diproduksi dan dikonsumsi. Meningkatnya kerawanan pangan dan kerentanan populasi manusia di seluruh dunia mengarah pada sistem produksi dan distribusi makanan yang rusak. Pertanian tidak hanya berkontribusi dalam ketersediaan pangan bagi manusi yang terus bertambah namun juga berdampak pada lingkungan. Persamaan pasokan makanan di masa depan perlu mempertimbangkan kenyataan saat ini dari tingkat pertumbuhan yang lebih rendah untuk hasil panen utama di pertanian konvensional, pendekatan ramah lingkungan untuk mengurangi dampak pada sumber daya alam, tantangan perubahan iklim, dan volatilitas harga energi. Pemanfaatan teknologi dalam pertanian tentu tidak terlepas dari permasalahan lingkungan. Maka dari itu perlu adanya ketetapan tentang teknologi yang tidak berdampak buruk bagi lingkungan, namun justru akan mendukung terciptanya pertanian yang berwawasan lingkungan. Melalui pemanfaatan teknologi, limbah organik yang dihasilkan dapat didaur ulang dengan baik, dalam suatu konsep ekoefisiensi dan nir-emisi (Asuthi, 2019). Menurut The Economist (2011), Kemungkinan jumlah makanan yang terbuang sia-sia dan semua makanan yang bisa dimakan tetapi diubah menjadi biofuel, petani menghasilkan lebih banyak makanan daripada yang dibutuhkan — lebih dari dua kali lipat kebutuhan nutrisi minimum sekitar 2100 kalori sehari. Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO) memperkirakan bahwa kita perlu meningkatkan pasokan makanan hingga 70% pada tahun 2050 jika kita ingin memberi makan populasi 9 miliar (FAO, 2009). Ini adalah tantangan besar, dan terlebih lagi dengan keterbatasan air, tanah, dan pupuk (Matio & Ortiz, 2013). Upaya serius dalam mewujudkan ketahanan pangan berkelanjutan sangat diperlukan melihat ancaman krisis dan kerawanan pangan global masih tetap ada dan dapat secara tiba- tiba menjadi kenyataan. Kegiatan Pembangunan ketahanan pangan berbasis sumber daya dan kearifan lokal, membangun kekokohan dan kelenturan respons masyarakat menghadapi ancaman krisis pangan, dan memanfaatkan teknologi unggul untuk meningkatkan produksi dan produktivitas pangan secara efisien dan berdayasaing, Indonesia akan mampu mengatasi ancaman krisis pangan global ataupun domestik (Suryana, 2014). Contoh penerapan ekoefisiensi dalam bidang pertanian adalah penerapan teknologi pengendalian hama terpadu (PHT) yang dilakukan dengan menerapkan penanaman jenis tanaman tahan hama, rotasi tanaman, dan pemanfaatan musuh alami hama. Insektisida hanya digunakan jika populasi hama yang menyerang tanaman lebih besar daripada populasi musuh alami yang mengendalikannya. Cara tersebut dapat menekan biaya usaha tani serta dapat mengurangi pencemaran lingkungan akibat pestisida (Simatupang, 2006). Simatupang, J. T. 2006. Pengembangan Dan Aplikasi Iptek Dalam Pembangunan Pertanian Di Indonesia. Jurnal Penelitian Bidang Ilmu Pertanian. 4(1): 1-6. Zaenuri, Sudarmadji, C. Fandeli, dan HA. Sudibyakto. 2011. Pengelolaan Lingkungan Industri Berbasis Eko-efisiensi di Kawasan Simongan Kota Semarang. Jurnal Manusia dan Lingkungan. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Astuthi, M. M. M. 2019. Peran Iptek Dalam Pembangunan Pertanian Berkelanjutan. DwijenAGRO. 9(1): 293-298. Mateo, N., dan R. Ortiz. 2013. Eco-Efficiency: From Vision to Reality. Cali: Internasional Center for Tropical Agriculture. Suryana, A. 2014. Menuju Ketahanan Pangan Indonesia Berkelanjutan 2025: Tantangan Dan Penanganannya. Forum Penelitian Agro Ekonomi. 32(2): 123- 135. Huppes, G., & M. Ishikawa. 2005. Eco-efficiency and Its Terminology. Journal of Industrial Ecology. 9(4): 43-46.