Anda di halaman 1dari 26

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH

Disusun Oleh:
Kelompok 6:
Bara Laurentza (06101381621039)
Gabri Ela Monica (06101381621050)
Ribka Abigael (06101181924007)
Siska Putri (06101281924028)
Yunia Arum Hariyanti (06101181924001)
Prodi : Pendidikan Kimia 2019
Dosen Pembimbing: Dra. Sani Safitri

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SRIWIJAYA
Kata Pengantar

Assalamualaikum wr. Wb.


Puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah mellimpahkan rahmat dan karunia-
Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Sholawat dan salam tak lupa penulis
haturkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW, Keluarga, Sahabat, dan Seluruh
Pengikutnya hingga akhir zaman.
Makalah ini ditulis dengan bahasa sederhana bertujuan agar mudah dipahami oleh
pembaca. Penulis berterimakasih kepada semua pihak yang ikut membantu dalam
menyelesaikan makalah ini tepat waktu dalam rangka pemenuhan tugas mata kuliah
Kewarganegaraan. Dalam makalah ini kami akan membahas mengenai Pelaksanaan
Otonomi Daerah di Indonesia.
Dengan demikian Insya Allah makna dan tujuan makalah ini akan tersalurkan.
Akan tetapi tidak menutup kemungkinan dalam laporan hasil kunjungan ini masih
banyak kekurangan. Oleh karena itu, diharapkan bagi dosen pembimbing maupun
pembaca untuk memberi kritik dan saran yang membangun demi perbaikan laporan
hasil kunjungan selanjutnya.
Atas perhatian para pembaca, penulis ucapkan terimakasih
Wassalamualaikum wr. Wb.
Palembang, 6 November 2019

Penulis

i
Daftar Isi

KATA PENGANTAR.........................................................................................i

DAFTAR ISI........................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN....................................................................................1
1.1 Latar Belakang........................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah...................................................................................1
1.3 Tujuan Penulisan.....................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................3
2.1 Pengertian Otonomi Daerah....................................................................3
2.2 Sejarah Otonomi Daerah.........................................................................3
2.3 Dasar Hukum Otonomi Daerah...............................................................7
2.4 Tujuan Pelaksanaan Otonomi Daerah.....................................................10
2.5 Konsep Otonomi Daerah.........................................................................11
2.6 Prinsip-Prinsip Pelaksanaan Otonomi Daerah........................................11
2.7 Manfaat Pelaksanaan Otonomi Daerah...................................................13
2.8 Asas-Asas Otonomi Daerah....................................................................14
2.9 Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia..............................................16

BAB III PENUTUP.............................................................................................18


3.1 Kesimpulan..............................................................................................18
3.2 Saran........................................................................................................18

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kepualauan yang terletak di posisi strategis


dengan dua lautan yang mengelilinginya. Hal ini turut mempengaruhi mekanisme
pemerintahan di Indonesia, dimana sulitnya koordinasi pemerintah pusan dengan
pemerintah daerah. Hal ini pula yang mendorong akan terwujudnya suatu sistem
pemerintahan yang efisien dan mandiri untuk memudahkan koordinasi antara
kedua belah pihak tersebut.
Hal ini juga bertujuan untuk tetap  menjaga keutuhan negara Indonesia
mengingat banyaknya ancaman yang menghadang bangsa Indonesia. Diantaranya
yaitu munculnya beberapa daerah yang ingin memisahkan diri dengan negara
Indonesiauntuk mngatur kehidupannya secara mandiri.selain itu, potensi sumber
daya alam yang tidak merata di daerah-daerah juga menjadi indikasi penyebab
dibutuhkannya suatu sistem pemerintahan untuk mengatur dan mengelola sumber
daya alam sehingga dapat menjadi sumber pendapatan daerah dan bahkan negara.
Disinilah peran pemerintah daerah untuk mengatur dan mengelola daerah
yang jauh dari jangkauan pemerintah pusat agar tidak terjadi pengabaian sumber
daya dan potensi yang ada. Maka dibentuklah suatu sistem yang dinamakan
otonomi daerah oleh pemerintah.

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Apa pengertian otonomi daerah?

1.2.2 Bagaimana sejarah terbentuknya otonomi daerah?

1.2.3 Apa saja dasar hukum pelaksanaan otonomi daerah?

1.2.4 Apa tujuan dari pelaksanaan otonomi daerah?

1.2.5 Bagaimana konsep otonomi daerah? 1

1.2.6 Apa saja prinsip-prinsip pelaksanaan otonomi daerah?

1.2.7 Apa saja manfaat dari pelaksanaan otonomi daerah?


1.2.8 Apa saja asas-asas otonomi daerah?

1.2.9 Bagaimana pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia?

1.3 Tujuan Penulisan

1.3.1 Untuk mengetahui pengertian otonomi daerah.

1.3.2 Untuk mengetahui sejarah terbentuknya otonomi daerah.

1.3.3 Untuk mengetahui dasar hukum pelaksanaan otonomi daerah.

1.3.4 Untuk mengetahui tujuan dari pelaksanaan otonomi daerah.

1.3.5 Untuk mengetahui konsep otonomi daerah.

1.3.6 Untuk mengetahui prinsip-prinsip pelaksanaan otonomi daerah.

1.3.7 Untuk mengetahui manfaat dari pelaksanaan otonomi daerah.

1.3.8 Untuk mengetahui asas-asas otonomi daerah.

1.3.9 Untuk mengetahui pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Otonomi Daerah

Otonomi berasal dari bahasa Yunani, yaitu autos yang berarti sendiri


dan Namos yang berarti undang-undang atau aturan. Jadi dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa otonomi memiliki definisi sebagai suatu kewenangan dalam
mengatur atau membuat sendiri aturan untuk mengurus rumah tangga sendiri.
Sedangkan daerah memiliki artian sebagai kesatuan atau kumpulan masyarakat
hukum denan batas-batas wilayah tertentu.

Bisa disimpulkan  bahwa pengertian dari otonomi daerah adalah kewenangan,


hak, serta kewajiban yang dimiliki oleh suatu daerah otonom dalam mengatur serta
melaksanakan sendiri urusan pemerintahan maupun kepentingan masyarakat setempat
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Otonomi daerah dalam
artian yang sempit bermakna sebagai mandiri, sedangkan dalam artian yang luas,
otonomi bermakna sebagai berdaya. Dengan demikian, otonomi daerah dapat
diartikan sebagai kemandirian dari suatu daerah terkait pembuatan dan pengambilan
keputusan yang berhubungan dengan kepentingan daerahnya sendiri.

2.2 SEJARAH OTONOMI DAERAH

Pelaksanaan otonomi daerah telah berjalan 23 tahun. Selama itu banyak


bermunculan Daerah Otonom Baru (DOB). Hingga kini terdapat 542 daerah otonom
yang terdiri dari 34 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota.

Kelahiran DOB memicu daerah-daerah lain untuk menuntut pemekaran. Hingga


tahun 2019, Kementerian Dalam Negeri menerima 314 usulan pemekaran daerah
setingkat provinsi dan kabupaten/kota. Namun, pemerintah belum mengabulkan
karena masih moratorium. Moratorium bertujuan agar daerah tidak asal dimekarkan.
Tetapi harus melalui kajian dan telaah mendalam.

Dalam menjalankan wewenangnya, daerah memiliki hak untuk menentukan


tatacara yang sesuai dengan tuntutan masyarakat, perkembangan zaman, dan kearifan
lokal, yang hidup di masing-masing daerah. Dengan demikian, masing-masing daerah
berpeluang melahirkan berbagai inovasi dan terobosan model atau mekanisme
penyelenggaraan pemerintahan. Dengan demikian tak kehilangan makna kebinekaan
sebagai bangsa.

Sejarah otonomi daerah dapat ditelusuri sejak zaman kolonial Belanda.

a. Desentralisasi Zaman Kompeni

Pada akhir abad ke-19, tuntutan desentralisasi pemerintahan di Hindia Belanda


mencuat dalam persidangan parlemen Belanda (Tweede Kamer). Anggota parlemen
L.W.C. Keuchenius membuka perdebatan itu pada 1880. Dia mengusulkan
pembentukan gewestelijk raad, yaitu dewan tempat warga Eropa dapat menyuarakan
isi hatinya, di daerah-daerah di Hindia.

Di Hindia, muncul penentangan dari kalangan konservatif. Pada 1880,


Gubernur Jenderal J.W. van Lansberge berkirim surat kepada Menteri Tanah Jajahan
W. Baron van Goldstein van Oldenaller agar perdebatan soal desentralisasi dihentikan
saja. Alasannya, selain penduduk bumiputra belum terpelajar, orang Eropa terpelajar
umumnya sibuk mencari harta kekayaan dan tak punya waktu mengurus kepentingan
lain.

Suara pendukung otonomi daerah tersendat ketika terjadi pembaruan


pemerintah antara lain mengatur penunjukan bupati oleh gubernur jenderal.
Ditambah lagi dengan pemberlakuan Reglement op het Beleid der Regering van
Nederlandsch-Indie, dimuat dalam Staatsblad No. 2 tahun 1885, yang menyebut
Hindia Belanda adalah suatu wilayah yang diperintah secara sentralistik.

Pada tahun 1887, anggota parlemen yang juga pengusaha perkebunan tembakau
sukses di Deli, Sumatra Utara, J. Th. Cremer mengatakan unsur swasta sebagai
pemberi saran dan pemantau haruslah dipandang penting dalam desentralisasi. Dia
meyakini, apa yang baik bagi kehidupan usaha di Hindia Belanda akan baik pula bagi
kehidupan seluruh penduduk di negeri itu.

Para penyokong desentralisasi juga melihat pelaksanaan sistem liberal


menyebabkan urusan pemerintahan di daerah meningkat, yang memerlukan keputusan
dan penanganan cepat. Misalnya, bagaimana menangani kepentingan Belanda di kota-
kota, pertumbuhan pabrik, hingga kebutuhan sarana dan prasarana di daerah seperti
kereta api dan pelabuhan. Birokrasi, misalnya residen harus melapor setiap urusan ke
gubernur jenderal, bisa menghambat pembangunan daerah.

Upaya para pendukung desentralisasi mendapat angin ketika mereka


menduduki posisi-posisi strategis. Ketika menjabat menteri koloni, Van Dedem
mengajukan rancangan undang-undang (RUU) desentralisasi ke parlemen pada 1893.
Upayanya gagal. Pada 1901, Cremer menempuh langkah serupa ketika menjabat
menteri koloni namun kandas pada tahun itu juga. Begitu pula penggantinya, T.A.J.
van Asch van Wijck, setahun kemudian.

“Tetapi ketika A.W.F. Idenburg menjadi menteri koloni, rancangan dimaksud


diajukan lagi disertai beberapa perubahan,” tulis Bayu Surianingrat dalam Sejarah
Pemerintahan di Indonesia. Akhirnya, pada 23 Juli 1903, pemerintah Kerajaan
Belanda menetapkan Decentralisatie Wet 1903 atau UU Desentralisasi 1903.

b. Pembaruan Pemerintahan

Dominasi orang Eropa dan pejabat pemerintahan dalam dewan lokal membuat
Simon de Graaf, direktur pemerintahan dalam negeri di Batavia, cemas. “Kini
pembaruan dalam pemerintah semakin mendesak disebabkan kekhawatiran akan
timbulnya oligarki, mengingat keikutsertaan penduduk dalam urusan pemerintahan
terbatas pada segelintir orang pemimpin di tingkat politik tertinggi,” tulis Elsbeth
Locher-Scholten dalam Etika yang Berkeping-keping.

UU Desentralisasi 1903 kemudian diamandemen dan melahirkan UU


Pembaruan Pemerintahan 1922 (Bestuurshervormings wet 1922). “Amandemen kali
ini dimaksudkan untuk merintis jalan bagi golongan pribumi memperoleh tempat
yang lebih besar dalam tata pemerintahan,” tulis Soetandyo.

Pada 1 Januari 1926, diresmikan Provinsi Jawa Barat yang melebur empat
keresidenan: Banten, Batavia, Bandung, dan Cirebon. Pada 1 Januari 1929 diresmikan
Provinsi Jawa Timur, dan setahun kemudian Provinsi Jawa Tengah. Di setiap provinsi
akan dibentuk dewan provinsi. Di tiga provinsi tersebut kemudian dibentuk
kabupaten (regentschaps) dengan dewan kabupaten. Di daerah-daerah otonom luar
Jawa-Madura masih berlaku UU Desentralisasi 1903, dan baru berubah tahun 1937
dan 1938.

Tujuan De Graaf ialah desentralisasi kepegawaian dan pengalihan wewenang


dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.

Desentralisasi yang diupayakan susah payah sepanjang setengah abad pupus


ketika Belanda menyerah kepada Jepang pada 1942. Tatanan pemerintahan amat
sentralistis, hierarkis, dan mengikuti garis komando dari pusat sampai daerah.

c. Menuju Otonomi Daerah

Setelah kemerdekaan, jalan menuju desentralisasi menghadapi jalan terjal.


Konsep desentralisasi diterapkan melalui sejumlah UU, yang sayangnya tak bisa
diterapkan karena faktor politik. Di masa Orde Lama, misalnya, UU No. 1/1957
tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah menerapkan konsep desentralisasi dengan
“sistem residu”, yaitu wewenang pemerintah daerah adalah sisa dari wewenang yang
tidak menjadi urusan pemerintah pusat.Sayangnya ide pembaruan itu tidak sempat
diaplikasikan, karena pada waktu bersamaan Indonesia disibukkan oleh munculnya
sejumlah gerakan di daerah.

UU itu tak sempat diberlakukan karena Presiden Sukarno mengumumkan


Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Untuk mengisi kekosongan, Sukarno mengeluarkan
Penetapan Presiden (Penpres) No. 6/1959 dan No. 5/1960, yang menyebabkan kepala
daerah berkedudukan sebagai penguasa tunggal di daerah seperti halnya presiden
yang menjadi penguasa tunggal di pusat.
Perubahan juga terjadi pada struktur pemerintahan daerah. Melalui Peraturan
Presiden No. 22/1963, keresidenan dan kewedanan dihapus. Kekuasaan dan
kewenangan residen dan wedana diserahkan kepada pemerintah daerah/kepala daerah
tingkat I dan II.

Di akhir masa kekuasaannya, Sukarno memaklumatkan UU No. 18/1965


tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Menurut Syarif, UU ini cukup menarik
karena rumusan tentang tujuan akhir desentralisasi mengindikasikan bahwa prinsip
dasar otonomi daerah adalah “otonomi riil dan seluas-luasnya.” Sayangnya, hanya
beberapa minggu setelah disahkan, Sukarno dipaksa mengakhiri kekuasaannya.

Pemerintahan Orde Baru melalui Ketetapan MPRS No. XXI/MPRS/1966


menegaskan bahwa UU No. 18/1965 harus ditinjau kembali karena dianggap memberi
kekuasaan dan otonomi terlampau besar kepada daerah. Sebagai gantinya, terbit UU
No. 5/1974, yang mengedepankan mantra khas Orde Baru: persatuan dan stabilitas
politik demi “otonomi daerah yang nyata dan bertanggungjawab”.

Baru pada 1995 terbit Peraturan Pemerintah No. 8/1995 di mana pemerintah
pusat menyerahkan sebagian urusan pemerintahan kepada 26 Daerah Tingkat II
Percontohan. Kebijakan ini dijadikan tonggak dalam pelaksanaan otonomi daerah.
Sehingga pada 7 Februari 1996, Presiden Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden
No. 11/1996 yang menetapkan tanggal 25 April sebagai Hari Otonomi Daerah.

Tamatnya pemerintahan Orde Baru pada 1998 menjanjikan harapan bagi


perbaikan penyelenggaraan pemerintahan. Lahirlah UU No. 22/1999 tentang
Pemerintahan Daerah yang membenahi hubungan pusat dan daerah. Daerah memiliki
kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali politik luar negeri,
pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan
bidang lain.

Presiden B.J. Habibie mengeluarkan UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan


Daerah yang mengatur pelaksanaan otonomi daerah. Seiring dengan pemilihan
presiden dan wakil presiden secara langsung pada 2004, UU No. 22/1999 diganti
dengan UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Salah satu perubahan penting
dalam undang-undang itu adalah ditetapkannya pemilihan daerah (pilkada) secara
langsung. Pilkada langsung berjalan beriringan dengan pemekaran daerah.

UU No. 32/2004 kemudian diganti dengan UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan


Daerah. UU ini menegaskan bahwa dalam penyelenggaraan otonomi daerah,
tanggung jawab tertinggi dari penyelenggaraan pemerintahan tetap berada di tangan
pemerintah pusat. Oleh karena itu, pemerintah pusat akan selalu melakukan supervisi,
monitoring, kontrol, dan pemberdayaan agar daerah dapat menjalankan otonominya
secara optimal.

Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan kelahiran otonomi daerah di


Indonesia sebagai akibat dari perubahan kondisi politik, dimana pada tahun 1998
pemerintah dirasa telah menimbulkan kondisi dimana rakyat menjadi marah atas
sistem pemerintahan sentralistis yang dijalankan untuk menuju pola masyarakat yang
menjanjikan kebebasan. Berbagai masalah dan konflik baik vertikal maupun
horisontal banyak bermunculan atas konsep otonomi yang dijalankan pada saat itu.
Adapun masalah yang ditimbulkan antara lain adalah :

a) Pudarnya negara kesatuan Republik Indonesia

b) Jalur Komando yang semakin melemah

c) Konglomeratokrasi semakin kuat

d) Urusan rakyat menjadi terabaikan.

2.3 Dasar Hukum Otonomi Daerah

Di Indonesia, yang dasar hukum pelaksanaan otonomi daerah antara lain adalah
:

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945

Menurut UUD tahun 1945, terdapat dua nilai dasar pelaksanaan desentralisasi
dan otonomi daerah, yaitu :
a. Nilai Unitaris. Nilai ini diwujudkan dalam pandangan bahwa Indonesia tidak
memiliki kesatuan pemerintahan yang lain di dalamnya yang bersifat negara. Hal ini
berarti bahwa kedaulatan yang terdapat pada rakyat, bangsa dan negara Indonesia
tidak akan terbagi diantara kesatuan-kesatuan pemerintahan.

b. Nilai Dasar desentralisasi teritorial. Dalam bidang ketatanegaraan, pemerintah


memiliki kewajiban untuk melaksanakan politik desentralisasi dan dekonsentrasi. Hal
ini tercantum dalam Undang-Undang dasar tahun 1945 pasal 18.

Dengan melihat kedua nilai dasar tersebut di atas, maka bisa diartikan bahwa
pembentukan daerah otonom dan pelimpahan sebagian wewenang atau kekuasaan
dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah guna mengatur serta mengurus
kekuasaan serta kewenangan tersebut menjadi pusat penyelenggaraan desentralisasi di
Indonesia.

2. Ketetapan MPR RI No. XV/MPR/1998

Dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat tersebut mengatur tentang


penyelenggaraan otonomi daerah dengan memberikan yang luas, nyata, dan
bertanggung jawab di daerah secara proporsional. Hal tersebut diwujudkan dengan
pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan,
serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Otonomi daerah diselenggarakan
sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi dan memperhatiakan keanekaragaman
daerah.

3. Undang-Undang Nomor 5 tahun 1974

Undang-Undang ini berisi tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah. Dalam


Bab I Pasal 1 huruf c menyatakan bahwa otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan
kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan dalam Bab III pasal
4 ayat 1 menyatakan bahwa untuk pelaksanaan otonomi daerah yang nyata dan
bertanggung jawab, maka pembentukan suatu daerah harus memperhatikan beberapa
syarat seperti kemampuan ekonomi, jumlah penduduk, luas daerah, pertahanan dan
keamanan nasional, serta syarat-syarat yang lainnya sehingga suatu daerah mampu
melaksanakan pembangunan, pembinaan kestabilan politik, serta kesatuan bangsa.

4. Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999

Undang-undang ini berisi tentang pemerintahan daerah yang di dalamnya


memuat tentang ketentuan umum suatu pemerintahan daerah, pembagian daerah,
pembentukan dan susunan daerah, dan lain sebagainya.  Adapun visi yang termaktub
dalam undang-undang ini adalah :

a. Pemerintah pusat terbebaskan dari persoalan-persoalan terkait urusan domestik


yaitu dengan jalan melimpahkan urusan-urusan tersebut kepada pemerintah lokal
(daerah) agar nantinya pemerintah lokal mampu memberdayakan dirinya secara
bertahap guna menangani urusan domestik tersebut

b. Pemerintah pusat bisa lebih fokus dalam urusan-urusan makro nasional

c. Pemerintah lokal atau daerah bisa lebih berdaya guna dan kreatif

5. Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004

Prinsip dasar yang termuat dalam Undang-Undang ini memiliki kesamaan


dengan undang-undang nomor 22 tahun 1999, yakni otonomi luas dalam rangka
demokratisasi, dimana landasan hukumnya adalah pasal 18 UUD tahun 1945 yang
telah diamandemen. Undang-undang nomor 32 tahun 2004 ini juga menegaskan
tentang sistem pemilihan kepala daerah, dimana rakyat diberi kebebasan untuk
memilih sendiri kepala daerah dan wakilnya.

6. Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004


Undang-Undang ini berisi tentang perimbangan keuangan antara pemerintah
pusat dengan pemerintah daerah yang merupakan suatu sistem pembagian keuangan
yang adil, proporsional, demokratis, transparan, dan efisien dalam rangka pendanaan
penyelenggaraan Desentralisasi, dengan memper-timbangkan potensi, kondisi, dan
kebutuhan daerah, serta besaran pendanaan penyelenggaraan Dekonsentrasi dan
Tugas Pembantuan. Namun, Undang-undang ini mengalami beberapa kali perubahan
dimana perubahan pertama adalah perpu nomor 3 tahun 2005, dan untuk selanjutnya
adalah undang-undang nomor 12 tahun 2008 sebagai perubahan kedua dari undang-
undang nomor 33 tahun 2004.

7. Peraturan pemerintah nomor 38 tahun 2007

Peraturan Pemerintah ini berisi tentang pembagian kewenangan dalam


pemerintahan RI, baik itu antara pemerintah pusat, maupun pemerintah daerah
propinsi dan Kabupaten. Ini merupakan penjabaran atas pelaksanaan undang-undang
nomor 32 tahun 2004 pasal 14 ayat 3, dimana ia menjadi dasar hukum otonomi daerah
dalam rangka pelaksanaan kewenangan daerah.

2.4Tujuan Otonomi Daerah

Dengan adanya desentralisasi, dapat menjadi sebuah simbol adanya


kepercayaan bagi pemerintah daerah dari pemerintah pusat. Dan dalam konsep
tersebut, peran pemerintah pusat adalah melakukan pengawasan, pemantauan, serta
evaluasi terhadap pelaksanaan otonomi daerah. Dimana dalam pelaksanaannya,
otonomi daerah dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya kemampuan daerah,
kemampuan keuangan, ketersediaan alat dan bahan, serta kemampuan dalam
berorganisasi. Tujuan utama dari dilaksanakannya otonomi daerah adalah untuk
memperlancar program pembangunan di seluruh pelosok tanah air secara merata
tanpa adanya pertentangan. Hal ini berarti bahwa pembangunan daerah adalah
pembangunan nasional secara menyeluruh. Ada 3 tujuan utama pelaksanaan otonomi
daerah di Indonesia, diantaranya :
1. Tujuan Ekonomi – yaitu untuk meningkatkan indeks pembangunan manusai
sebagai indikator peningkatan kesejahteraan masyarakat Indonesia.

2. Tujuan Politik – yaitu untuk mewujudkan demokratisasi politik melalui partai-


partai politik serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

3. Tujuan Administratif – yaitu untuk membagi urusan pemerintahan antara


pemerintah pusat dan pemerintah daerah terkait pembaharuan management
birokrasi pemerintah daerah, serta sumber-sumber keuangan.

Berikut juga beberapa tujuan otonomi daerah diberikan, diantaranya :

1. Meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat menjadi lebih baik

2. Kehidupan demokrasi yang semakin berkembang

3. Tercapainya keadilan nasional

4. Pemerataan wilayah daerah

5. Terpeliharanya hubungan yang serasi antara pemerintah pusat dengan pemerintah


daerah, maupun pemerintah antar daerah dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia

6. Pemberdayaan Masyarakat yang semakin terdorong

7. Mendukung tumbuhnya kreativitas dan prakarsa, meningkatkan peran serta


masyarakat, serta fungsi dan peran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang
semakin berkembang

2.5 Konsep Otonomi Daerah

Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut, maka pemerintah perlu menerapkan


beberapa konsep otonomi daerah, seperti :
1. Kewenangan yang diserahkan oleh pemerintah pusat pada pemerintah daerah
terkait hubungan domestik dilakukan sebanyak mungkin, kecuali urusan-urusan
yang berhubungan dengan masalah politik luar negri, pertahanan, keagamaan,
serta bidang keuangan atau moneter.

2. Peran serta dari masyarakat harus lebih kuat daripada representasi.

3. Efektifitas fungsi pelayanan lebih ditingkatkan melalui pembenahan organisasi


dan institusi yang dimiliki, serta levih responsif terhadap kebutuhan daerah.

4. Efisiensi administrasi keuangan daerah dan penguatan sumber pendapatan daerah


harus lebih ditingkatkan. Pembagian pendapatan yang berasal dari sumber
penerimaan yang berkaitan dengan kekayaan alam, pajak, dan retribusi

5. Pembagian sumber-sumber pendapatan daerah serta pemberian keleluasaan


kepada pemerintah daerah dalam rangka menetapkan prioritas pembangunan serta
optimalisasi upaya pemberdayaan masyarakat lebih ditingkatkan.

6. Adanya perimbangan antara keuangan pemerintahan pusat dan daerah yang


merupakan suatu sistem pembiayaan penyelenggaraan pemerintah yang meliputi
pembagian keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, serta pemerataan antar
daerah secara proporsional.

2.6Prinsip-Prinsip Pelaksanaan Otonomi Daerah

Pelaksanaan otonomi daerah dititik beratkan pada pemerintahan Kabupaten.


Hal tersebut berdasarkan atas beberapa pertimbangan seperti :

1. Jika dilihat dari segi politik, Daerah Kabupaten dianggap kurang memiliki
fanatisme kedaerahan. Hal tersebut dapat meminimalisasi terjadinya gerakan
separatisme serta peluang berkembangnya aspirasi federalis.

2. Jika dilihat dari segi administratif, di daerah kabupaten pelayanan kepada


masyarakat serta penyelenggaraan pemerintahan akan lebih efektif
3. Selain itu, daerah Kabupaten merupakan daerah yang paling mengerti potensi
serta kebutuhan rakyat di daerahnya. Hal tersebut menjadikan Kabupaten sebagai
ujung tombak dari pembangunan negara

Atas dasar-dasar tersebut, maka prinsip otonomi yang dianut oleh pemerintah
adalah :

a. Nyata, dimana otonomi benar-benar dibutuhkan sesuai dengan situasi maupun


kondisi obyektif daerah

b. Bertanggungjawab, dimana otonomi diberikan untuk melancarkan pembangunan


di seluruh pelosok tanah air

c. Dinamis, dimana otonomi selalu menjadi sarana dan dorongan agar lebih maju
dan lebih baik.

Menurut Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 prinsip-prinsip pelaksanaan


otonomi daerah adalah :

a. Otonomi daerah diselenggarakan dan dilaksanakan berdasarkan aspek-aspek


demokrasi, keadilan, pemerataan, potensi, dan keanekaragaman daerah

b. Otonomi daerah dilaksanakan pada otonomi luas, nyata, dan bertabggung jawab

c. Otonomi daerah yang luas dan utuh pelaksanaannya diletakkan pada


pemerintahan kabupaten dan Kota, sedangkan untuk otonomi terbatas diletakkan
pada daerah propinsi.

d. Otonomi daerah harus dilaksanakan sesuai konstitusi negara agar keserasian


hubungan antara pemerintah pusat dan daerah, maupun pemerintah antar daerah
bisa terjamin.

e. Otonomi daerah dilaksanakan agar kemandirian daerah otonom lebih meningkat,


dan karenanya di daerah Kabupaten maupun daerah kota, wilayah administrasi
tidak akan ada lagi.

f. Pembinaan terhadap kawasan khusus dilakukan oleh pemerintah maupun pihak


lainnya seperti Badan otorita, Kawasan pertambangan, kawasan pelabuhan,
kawasan kehutanan, kawasan wisata, kawasan perkotaan, dan lain sebagainya
berlaku ketentuan daerah otonom.

g. Otonomi daerah dilaksakana agar peranan dan fungsi badan legislatif daerah, baik
sebagai fungsi legislasi, fungsi pengawas, maupun fungsi anggaran atas
pelaksanaan pemerintahan daerah menjadi lebih meningkat

h. Asas Dekonsentrasi pelaksanaannya diletakkan pada daerah propinsi sebagai


wilayah administrasi guna menjalankan kewenangan tertentu dari pemerintah
yang dilimpahkan kepada Gubernur yang bertindak sebagai wakil pemerintah.

i. Asas Tugas pembantuan, dimungkinkan untuk dilaksanakan tidak hanya dari


pemerintah kepada desa yang diiringi dengan adanya pembiayaan, sarana dan
prasarana, serta sumber daya manusia dengan melaporkan pelaksanaan dan
bertanggung jawab kepada pemberi tugas.

2.7Manfaat Otonomi Daerah

Adapun berbagai Manfaat dari otonomi daerah diantaranya adalah :

a. Pelaksanaan pembangunan dan sistem pemerintahan dapat dilaksanakan sesuai


dengan kepentingan masyarakat di daerah yang bersifat heterogen

b. Dapat menyederhanakan jalur birokrasi yang rumit maupun prosedur pemerintah


yang begitu terstruktur

c. Kebijakan pemerintah dapat dirumuskan dengan lebih realistik

d. Dengan adanya desentralisasi, maka akan dapat menimbulkan adanya penetrasi


yang jauh lebih baik dari pemerintah pusat ke daerah-daerah yang terpencil
sekalipun, dimana seringkali terjadi ketidakpahaman masyarakat tentang
program-program pemerintah atau karena terhambat oleh elite lokal, sehingga
dukungan masyarakat terhadap program-program pemerintah tersebut menjadi
sangat terbatas.

e. Adanya representasi yang lebih luas dari golongan politik, stnis, maupun
keagamaan di dalam perencanaan pembangunan yang kemudian hal tersebut
dapat memperluas kesamaan dalam mengalokasikan sumber daya dan investasi
dari pemerintah
f. Terciptanya peluang untuk meningkatkan kapasitas teknis maupun managerial
bagi pemerintah maupun lembaga-lembaga individu dan masyarakat di daerah

g. Jalannya pemerintahan di pusat bisa menjadi lebih efisien karena adanya


pelimpahan tugas kepada pejabat di daerah

h. Tersedianya struktur dimana berbagai departemen di pemerintah pusat dapat


dikoordinasi bersama dengan pejabat daerah dan sejumlah NGOs di berbagai
daerah secara efektif. Dengan demikian, pemerintah daerah baik itu propinsi,
kabupaten, maupun kota dapat menyediakan basis wilayah koordiansi bagi
program-program pemerintah.

i. Desentralisasi struktur pemerintah adala hal yang sangat diperlukan guna


melembagakan partisipasi dari masyarakat dalam perencanaan serta implementasi
program-program pemerintah

j. Kegiatan pengawasan terhadap kegiatan yang dilakukan oleh elite lokal yang
seringkali tidak memihak terhadap program-program nasional serta tidak sensitif
terhadap kebutuhan masyarakat miskin di daerah pedesaan akan semakin
meningkat.

k. Kegiatan administrasi pemerintahan lebih inovatif, kreatif, dan mudah


disesuaikan. Sehingga jika suatu daerah berhasil menjalankan program
pemerintahan, maka hal tersebut dapat dicontoh oleh daerah yang lainnya.

l. Pemimpin di daerah akan lebih mungkin untuk meningkatkan pelayanan dan


fasilitas dengan lebih efektif, dapat mengintegrasikan daerah-daerah yang
terisolasi, serta dapat memonitoring dan mengevaluasi implementasi proyek
pembangunan dengan lebih baik daripada pejabat pemerintah pusat.

m. Stabilitas politik dan kesatuan nasional akan menjadi semakin mantap, yaitu
dengan memberikan peluang bagi berbagai golongan masyarakat di daerah untuk
ikut serta berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan secara langsung. Dengan
demikian kepentingan mereka dalam memelihara sistem politik akan lebih
meningkat.

n. Persediaan barang-barang dan jasa di tingkat lokal akan semakin meningkat yang
diiringi dengan biaya yang jauh lebih rendah.
2.8 Asas Otonomi Daerah

Terdapat tiga asasotonomi daerah yang tercantum dalam Undang-Undang No.


32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, yaitu asas desentralisasi, asas
dekonsentrasi dan asas tugas pembantuan.

1.  Asas Desentralisasi

Menurut UU No. 32 tahun 2004 secara lugas menyebutkan bahwa desentralisasi


adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahannya dalam sistem negara
kesatuan republik Indonesia.

2. Asas Dekonsentrasi

Sama halnya dengan asas desentralisasi, asas dekonsentrasi memiliki makna yaitu
pendelegasian wewenang dari pemerintah pusat pada pemerintah daerah atau dari
badan otonom yang memiliki wewenang lebih tinggi ke badan otonom yang
wewenangnya lebih rendah. Hanya saja dalam dekonsentrasi, pendelegasian
wewenang hanya pada sektor administrasi, tidak ada pendelegasian wewenang dalam
sektor politik seperti pada desentralisasi dan wewenang politik berada di tangan
pemerintah pusat. Maka dari itu, pada dekonsentrasi, badan otonom yang diserahi
wewenang hanya dapat melaksanakan peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan
dari pemerintah pusat. 

3. Asas Tugas Pembantuan (Medebewind)

Medebewind atau tugas pembantuan merupakan suatu asas dasar hukum otonomi


daerah yang memiliki sifat membantu pemerintah pusat atau pemerintah yang lebih
tinggi tingkatannya dalam menyelenggarakan negara atau daerah melalui kewenangan
yang dimiliki oleh pemerintah atau badan otonom yang dimintai bantuannya tersebut.
Dalam hal ini, badan otonom yang dimintai bantuan memiliki kewajiban untuk
melakukan hal atau tugas dari badan otonom yang lebih tinggi kekuasaannya. Mereka
diwajibkan karena berdasarkan ketentuan hukum yang lebih tinggi, daerah terikat
untuk melakukan hal atau tugas dalam rangka memenuhi asas tugas
pembantuan. Berikut beberapa opengertia dari asas tugas pembantuan menurut UUD
1945:

a. UU No. 22 tahun 1948 menyatakan bahwa pemerintahan daerah diserahi tugas


untuk menjalankan kewajiban pemerintah pusat di daerah, begitu juga dari
pemerintah daerah yang lebih atas kepada daerah yang tingkatannya lebih rendah.

b. UU No. 1 tahun 1957 menyatakan, tugas pembantuan adalah sebagai


menjalankan peraturan perundang-undangan.

c. UU No. 18 tahun 1965 menyatakan tugas pembantuan sebagai pelaksanaan


urusan pusat atau daerah yang lebih atas tingkatannya.

d. UU No. 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah menyebutkan dalam Bab I,


Pasal 1 huruf g bahwa tugas pembantuan ialah penugasan dari pemerintah pusat
pada daerah dan desa, serta dari daerah ke desa untuk menjalankan suatu tugas
yang diikuti anggaran, sarana, dan prasarana serta sumber daya manusia dengan
diharuskan melaporkan jalannya tugas pembantuan dan bertanggung jawab pada
yang menugaskan. 

e. UU No. 32 tahun 2004 menegaskan dalam Bab I, Pasal 1 butir 9 tugas


pembantuan adalah penugasan dari pemerintah pada daerah dan atau desa dari
pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan atau desa serta dari pemerintah
kabupaten/kota  kepada desa untuk melakukan tugas tertentu.

f. UU No. 5 tahun 1974 tentang desa secara lugas menyatakan, tugas pembantuan
ialah tugas untuk ikut serta dalam menjalankan urusan pemerintahan yang
ditugaskan kepada perangkat desa oleh pemerintah pusat atau perangkat daerah
tingkat atasnya dengan kewajiban mempertanggungjawabkan kepada yang
menugaskannya.

Tugas pembantuan dari pengertian yang ditegaskan dalam UU No. 5 tahun 1974
tentang desa, mengandung unsur-unsur:
a) Ada urusan pemerintahan dari satuan pemerintahan tingkat lebih atas yang harus
dibantu pelaksanaannya oleh pemerintahan daerah,

b) Bantuan tersebut dalam bentuk penugasan yang diatur dengan peraturan


perundang-undangan,

c) Pemerintah daerah yang membantu harus mempertanggungjawabkan kepada


yang dibantu.

Kaitan tugas antara tugas pembantuan dengan desentralisasi dalam melihat


hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah, seharusnya bertolak dari :

a. Tugas pembantuan adalah bagian dari desentralisasi. Jadi, pertanggungjawaban


mengenai penyelenggaraan tugas pembantuan adalah tanggung jawab daerah
yang bersangkutan.

b. Tidak ada perbedaan pokok antara otonomi dan tugas pembantuan karena dalam
tugas pembantuan terkandung unsur otonomi, daerah punya cara-cara sendiri
melaksanakan tugas pembantuan.

c. Tugas pembantuan sama halnya dengan otonomi, yang mengandung unsur


penyerahan, bukan penugasan. Yang dapat dibedakan secara mendasar bahwa
kalau otonomi adalah penyerahan penuh, maka tugas pembantuan adalah
penyerahan tidak penuh.

2.9 Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia

Otonomi daerah dilaksanakan dalam rangka memperbaiki serta mengusahakan


kesejahteraan rakyat. Otonomi daerah memiliki tujuan peningkatan pelayanan
masyarakat yang semakin baik serta pengembangan kehidupan demokrasi di
Indonesia.

Meski demikian, masih terjadi banyak penyimpangan mengenai otonomi daerah


di Indonesia. Sistem ini memiliki banyak celah yang dapat dengan mudah digunakan
untuk pemanfaatan kebutuhan pribadi. Ditambah lagi dengan banyaknya anggota
pemerintah yang duduk di lembaga-lembaga pemerintah daerah yang memiliki mental
‘bobrok’.
Seperti yang diketahui, Indonesia sangat terkenal dengan budaya korupsinya
yang sudah sangat kental. Dengan adanya sistem otonomi daerah, maka oknum
pemerintah dapat dengan mudah melakukan korupsi dengan memanipulasi anggaran
yang diberikan negara. Dengan otonomi daerah, setiap provnsi mendapatkan APBD
masing-masing sehingga dapat memanfaatkannya secara mandiri bagi tiap daerah. 

Tidak jarang terjadi penyalahgunaan serta manipulasi dilakukan oleh oknum


pemerintah daerah dalam pelaksanaannya. Tidak heran apabila sudah banyak terjadi
kasus korupsi di daerah selama berlangsungnya otonomi daerah di Indonesia karena
memang pada kenyataannya banyak sekali celah yang dapat dimanfaatkan untuk
melakukan tindak korupsi dalam pelaksanaan sistem otonomi daerah.

Memang tidak ada sistem yang tidak memiliki kekurangan. Semua pasti
memiliki kekurangan serta kelebihannya masing-masing. Yang perlu diusahakan
adalah bagaimana cara untuk meminimalisir kekurangan dari sistem itu sendiri.
Seperti halnya sistem otonomi daerah, untuk membuatnya menjadi semakin efektif,
makan diperlukan adanya perbaikan mental agar tidak terjadi kecurangan serta
penyelewengan dalam pelaksanaannya. Dengan demikian, tujuan utama dari otonomi
daerah yaitu untuk mengusahakan serta mewujudkan kesejahteraan rakyat dapat
terlaksana dengan baik.
BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Otonomi Daerah adalah kewenangan, hak, serta kewajiban yang dimiliki oleh
suatu daerah otonom dalam mengatur serta melaksanakan sendiri urusan
pemerintahan maupun kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

Dasar hukum dalam pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia diantaranyan


adalah UUD Republik Indonesia 1945, Ketetapan MPR RI No. XV/MPR/1998,
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1974, Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999,
Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004, Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004, dan
Peraturan pemerintah nomor 38 tahun 2007.

Tujuan utama dari dilaksanakannya otonomi daerah adalah untuk memperlancar


program pembangunan di seluruh pelosok tanah air secara merata tanpa adanya
pertentangan dan peningkatan pelayanan masyarakat yang semakin baik serta
pengembangan kehidupan demokrasi di Indonesia.Untuk mencapai tujuan tersebut
pelaksanaan otonmi daerah di Indonesia menganut prinsip nyata, bertanggungjawab,
dan dinamis.

Dalam pelaksanaannya masih terjadi banyak penyimpangan mengenai otonomi


daerah di Indonesia. Seperti yang diketahui, Indonesia sangat terkenal dengan budaya
korupsinya yang sudah sangat kental. Dengan adanya sistem otonomi daerah, maka
oknum pemerintah dapat dengan mudah melakukan korupsi dengan memanipulasi
anggaran yang diberikan negara.

Untuk membuat pelasanaan otonomi daerah menjadi semakin efektif, maka


diperlukan adanya perbaikan mental agar tidak terjadi kecurangan serta
penyelewengan dalam pelaksanaannya. Dengan demikian, tujuan utama dari otonomi
daerah yaitu untuk mengusahakan serta mewujudkan kesejahteraan rakyat dapat
terlaksana dengan baik.
3.2 Saran

1. Sebaiknya para aparatur pemerintah daerah dibekali dengan pendidikan yang


cukup yang dapat dimiliki oleh aparatur daerah dalam menjalankankan tugas dan
wewenangnya masing-masing. Dan dapat menjalankan tugas dan wewenangnya
dengan bijaksana dan adil.

2. Perlu segera diadakan penelitian, tindakan dan evaluasi, khususnya dalam upaya
untuk menindak lanjuti berbagai peraturan perundangan yang dikeluarkan
menyangkut terlaksananya Otonomi daerah, sehingga pelaksaan Otonomi daerah
baik menyangkut kelembagaan, kewenangan dan tanggung jawab aparatur
maupun sumber-sumber pembiayaan dan sarana serta prasarana pendukung
lainnya benar-benar dipastikan telah ideal dan sesuai dengan aspirasi, tuntutan
dan kebutuhan Daerah Otonom

3. Agar pembangunan daerah dapat berjalan dengan baik sehingga kemiskinan


dapat dikurangi, maka partisipasi masyarakat terhadap kegiatan-kegiatan
pembangunan di daerah ditumbuhkembangkan sehingga masyarakat merasa ikut
bertanggung jawab terhadap keberhasilan pembangunan yang sedang
dilaksanakan.
DAFTAR PUSTAKA

Sari, Maya. 2015, Otonomi Daerah di Indonesia. https://guruppkn.com/otonomi-


daerah. Diunggah pada 31 Oktober 2019.

Utami, Ranti Fatya. 2017. 3 Asas-Asas Otonomi Daerah dan Pengertiannya.


https://guruppkn.com/asas-asas-otonomi-daerah. Diunggah pada 31 Oktober 2019.

Isnaeni, Hendri. 2017. Menelaah Sejarah Otonomi Daerah.


https://historia.id/politik/articles/menelaah-sejarah-otonomi-daerah-Dwg2Z.
Diunggah pada 31 Oktober 2019.

Ryano, Kevin. 2016. Pelaksanaan Otonomi Daerah di


Indonesia.https://www.kompasiana.com/kevinry00/pelaksanaan-otonomi-daerah-di-
indonesia_58384b065eafbd2909e87f73. Diunggah pada 2 November 2019

Anda mungkin juga menyukai