Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kelarutan suatu zat dinyatakan sebagai konsentrasi zat terlarut
didalam larutan jenuhnya pada suhu dan tekanan tertentu. Larutan
memainkan peranan penting dalam kehidupan sehari-hari. Di alam
kebanyakan reaksi berlangsung dalam larutan air, tubuh menyerap mineral,
vitamin dan makanan dalam bentuk larutan.Sejalan dengan pesatnya
perkembangan penelitian di bidang obat, saat ini tersedia berbagai pilihan
obat, sehingga diperlukan pertimbangan yang cermat dalam pemilihan obat
untuk mengobati suatu penyakit, kelarutan sangat besar pengaruhnya
terhadap pembuatan obat dimana bahan-bahan dapat dicampurkan menjadi
suatu larutan sejati, larutan koloid, dan dispersi kasar.
Data kelarutan suatu zat dalam air sangat penting untuk diketahui
dalam pembuatan sediaan farmasi. Sediaan farmasi cairan seperti sirup,
eliksir, obat tetes mata, injeksi dan lain-lain dibuat dengan menggunakan
pembawa air. Bahkan untuk sediaan obat lainnya seperti suspensi, tablet
atau kapsul yang diberikan secara oral, data ini tetap diperlukan karena
didalam saluran cerna obat harus dapat melarut dalam cairan saluran cerna
yang komponen utamanya adalah air agar dapat diabsorpsi.
Pada umumnya obat baru dapat diabsorpsi dari saluran cerna dalam
keadaan telarut kecuali kalau transport obat melalui mekanisme pinositosis.
Oleh karena itu salah satu cara untuk meningkatkan ketersediaan hayati
suatu sediaan adalah dengan menaikkan kelarutan zat aktifnya di dalam air.
Faktor – faktor yang dapat mempengaruhi kelarutan suatu adalah
suhu, pH, jenis pelarut, bentuk dan ukuran partikel, konstanta dielektrik
bahan pelarut dan penambahan surfaktan.
Dalam bidang farmasi kelarutan sangat penting, karena dapat
mengetahui dan dapat membantu dalam memilih medium pelarut yang
paling baik untuk obat atau kombinasi obat, membantu mengatasi
kesulitan-kesulitan tertentu yang timbul pada waktu pembuatan larutan
farmasetis (dibidang farmasi) dan lebih jauh lagi dapat bertindak sebagai
standar atau uji kelarutan.
Koefisien distribusi adalah suatu perbandingan dimana suatu
senyawa terdistribusi ke dalam senyawa yangtidak saling bercampur,
dimana hal ini berrgantung pada interaksi fisika dan kimia antara pelarut
dan senyawa terlarut (Martin, 1990).
Dalam praktikum kali ini akan dilakukan percobaan untuk
menentukan kelarutan dan koefisien distribusi dengan menggunakan sampel
asam borat dan paracetamol.
1.2 Maksud Dan Tujuan Percobaan
1.2.1 Maksud Percobaan
Mengetahui dan memahami cara penentuan kelarutan dan koefisien distribusi dari
suatu bahan obat.
1.2.2 Tujuan percobaan
a) Mahasiswa dapat mengetahui tingkat kelarutan asam borat dan dapat
menentukan pengaruh temperatur pada kelarutan asam borat.
b) Mahasiswa dapat menetapkan koefisien distribusi paracetamol pada pelarut
yang tidak saling bercampur.
1.3 Manfaat Percobaan
a) Agar mahasiswa dapat mengetahui tingkat kelarutan asam borat dan dapat
menentukan pengaruh temperatur pada kelarutan asam borat.
b) Agar mahasiswa dapat menetapkan koefisien distribusi paracetamol pada
pelarut yang tidak saling bercampur.
1.4 Prinsip Percobaan
Penentuan kelarutan dari asam borat baik pada suhu kamar dan suhu panas
dilakukan dengan cara melarutkan, menyaring, mengeringkan dan menimbang
residu zat yang tidak larut dalam pelarut dan penentuan koefisien distribusi
paracetamol dalam pelarut air dan minyak berdasarkan perbandingan kelarutan
suatu zat dalam dua pelarut yang tidak saling bercampur yang dititrasi dengan
larutan NaOH 0,1 N yang ditandai dengan perubahan warna menjadi warna ungu
dengan menggunakan indikator fenolftalein.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Dasar Teori
2.1.1 Kelarutan
Kelarutan diartikan sebagai konsentrasi bahan terlarut dalam suatu larutan
jenuh pada suatu suhu tertentu. Larutan sebagai campuran homogen bahan yang
berlainan. Untuk dibedakan antara larutan dari gas, cairan dan bahan padat dalam
cairan. Disamping itu terdapat larutan dalam keadaan padat (misalnya gelas,
pembentukan kristal campuran) (Voight, 1994).
Kelarutan atau solubilitas adalah kemampuan suatu zat kimia tertentu, zat
terlarut (solute), untuk larut bdalam suatu pelarut (solvent). Kelarutan dinyatakan
dalam jumlah maksimum zat terlarut yang larut dalam suatu pelarut pada
kesetimbangan. Larutan hasil disebut larutan jenuh. Zat-zat tertentu dapat larut
dengan perbandingan apapun terhadap suatu pelarut (Effendi, 2003).
Perubahan kelarutan dengan tekanan tak mempunyai arti penting yang
praktis dalam analisis anorganik kualitatif, karena semua pekerjaan dilakukan
dalam bejana terbuka pada tekanan atmosfer, perubahan yang sedikit dari tekanan
atmosfer tak mempunyai pengaruh yang berarti atas kelarutan. Terlebih penting
adalah perubahan kelarutan dengan suhu (Svehla, 1979).
Kelarutan yang pada angka adalah kelarutan pada suhu kamar. Istilah-
istilah dalam kelarutan sebagai berikut (Anief, 2003):
Istilah kelarutan Jumlah bagian pelarut yang diperlukan untuk
melarutkan 1 bagian zat
Sangat mudah larut Kurang dari 1
Mudah larut 1 –10
Larut 10 – 30
Agak sukar larut 30 – 100
Sukar larut 100 – 1000
Sangat sukar larut 1000 – 10000
Praktis tidak larut Lebih dari 10000

Hasil kali kelarutan adalah suatu tetapan yang menggambarkan kelarutan


suatu ion zat padat dan memberikan harga hasil kali konsentrasi ionnya (aktivitas
ion) dalam larutan jenuh. Jika hasil kelarutan dicapai, maka senyawa yang
terbentuk dari ion-ion ini akan mengendap.
Rumus umum hasil kali kelarutan (Roth, 1988) :
K = C a + Cb
Keterangan : K = Hasil kali kelarutan
Ca = Konsentrasi jumlah kation A
Cb = Konsentrasi jumlah anion B
Faktor-faktor yang mempengaruhi kelarutan antara lain :
1. Sifat dari solute (terlarut) dan solvent (pelarut)
Substansi polar cenderung lebih larut dengan substansi polar lainnya.
Substansi nonpolar cenderung untuk larut dengan substansi nonpolar
lainnya, dan tidak larut dengan substansi polar lainnya (Sukardjo, 1977).
2. pH
Suatu zat asam lemah atau basa lemah akan sukar terlarut, karena tidak
mudah terionisasi. Semakin kecil pHnya maka suatu zat semakin sukar
larut, sedangkan semakin besar pH maka suatu zat akan akan mudah larut
(Lund, 1994).
3. Suhu
Kenaikan temperatur akan meningkatkan kelarutan zat yang proses
melarutnya melalui penyerapan panas/kalor (reaksi endotermik) dan akan
menurunkan kelarutan zat yang proses melarutnya dengan pengeluaran
panas/kalor (reaksi eksotermik) (Lund, 1994).
4. Solution aditif
Additivies baik dapat meningkatkan atau mengurangi kelarutan zat terlarut
dalam pelarut tertentu (Lund, 1994).
5. Pengaruh konstanta dielektrik
Kelarutan suatu zat sangat dipengaruhi oleh polaritas pelarut. Pelarut polar
mempunyai konstanta dielektrik yang tinggi dapat melarutkan zat-zat non
polar sukar larut di dalamnya, begitu pula sebaliknya. Besarnya tetapan
dielektrik ini menurut Moore dapat diatur dengan penambahan pelarut lain.
Tetapan dielektrik suatu campuran pelarut merupakan hasil penjumlahan
dari tetapan dielektrik masing-masing yang sudah dikalikan dengan %
volume masing-masing komponen pelarut. Adakalanya suatu zat lebih
mudah larut dalam pelarut campuran dibandingkan pelarut tunggalnya.
Fenomena ini dikenal dengan istilah pelarut campur dan pelarut yang mana
dalam bentuk campuran dapat menaikkan kelarutan suatu zat disebut pelarut
campur. Etanol, gliserin dan propilen glikol adalah pelarut campur yang
umum digunakan dalam bidang farmasi untuk pembuatan eliksir (Sukardjo,
1977).
6. Pengaruh penambahan zat-zat lain
Surfaktan adalah suatu zat yang sering digunakan untuk menaikan kelarutan
suatu zat. Molekul surfaktan terdiri atas dua bagian yaitu bagian polar dan
non polar apabila didispersikan dalam air pada konsentrasi yang rendah,
akan berkumpul pada permukaan dengan mengorientasikan bagian polar ke
arah air dan bagian non polar kearah udara, surfaktan mempunyai
kecenderungan berasosiasi membentuk agregat yang dikenal sebagai misel.
Konsentrasi pada saat misel mulai terbentuk disebut konsentrasi misel kritik
(KMK) (Sukardjo, 1977).
Suhu merupakan faktor yang penting dalam menentukan kelarutan suatu
obat dan dalam mempersiapkan larutannya. Kebanyakan bahan kimia menyerap
panas bila dilarutkan dan dikatakan mempunyai panas larutan negative, yang
menyebabkan meningkatnya kelarutan dengan menaikkan suhu. Segolongan kecil
bahan kimia mempunyai panas larutan positif dan menunjukkan berkurangnya
kelarutan dengan suatu kenaikan suhu. Disamping suhu, faktor-faktor lain juga
mempengaruhi kelarutan. Ini meliputi bermacam-macam bahan kimia dan sifat-
sifat fisika lainnya dari zat terlarut dan pelarut, faktor tekanan, keasaman atau
kebasaan dari larutan, keadaan bagian dari zat terlarut, dan pengadukan secara
fisik yang dilakukan terhadap larutan selama berlangsungnya proses melarut.
Kelarutan suatu zat kimia murni pada suhu dan tekanan tertentu adalah tetap;
tetapi, laju larutnya yaitu kecepatan zat itu melarut, tergantung pada ukuran
partikel dari zat dan tingkat pengadukan. Makin halus bubuk makin luas
permukaan kontak dengan pelarut, makin cepat proses melarut. Juga makin kuat
pengadukan, makin banyak pelarut yang tidak jenuh bersentuhan dengan obat,
makin cepat terbentuknya larutan (Ansel, 1989).
Kelarutan suatu senyawa dinyatakan dalam gr/lt. Besarnya kelarutan suatu
senyawa adalah jumlah maksimal senyawa bersangkutan yang larut dalam
sejumlah pelarut tertentu pada suatu suhu tertentu dan merupakan larutan jenuh
yang ada dalam kesetimbangan dengan bentuk padatnya (Roth, 1988).
Kelarutan suatu bahan dalam suatu pelarut tertentu menunjukkan
konsentrasi maksimum larutan yang dapat dibuat dari bahan dan pelarut tersebut.
Bila suatu pelarut pada suhu tertentu melarutkan semua zat terlarut sampai batas
daya melarutnya, larutan ini disebut larutan jenuh. Agar supaya diperhatikan
berbagai kemungkinan kelarutan diantara dua macam bahan kimia yang
menentukan jumlah masing-masing yang diperlukan untuk membuat larutan
jenuh, disebutkan dua contoh sediaan resmi larutan jenuh dalam air, yaitu larutan
Topical Kalsium HIdroksida, USP (Calcium Hydroxide Topical Solution, USP),
dan larutan oral Kalium Iodida, USP (Potassium Iodida Oral Solution, USP).
Larutan yang pertama dibuat dengan mencampur kalisihidroksida dalam jumlah
yang tepat dengan air murni, mengandung hanya 140 mg zat terlarut yang larut
per 100 ml. Lrutan pada suhu 250 C, sedangkan larutan yang berikutnya
mengandung kira-kira 100 g zat terlarut per 100 ml larutan, lebih dari 700 kali
sebanyak zat terlarut yang terdapat dalam larutan topikal kalsium hidroksida
(Ansel, 1989).
Larutan Jenuh adalah suatu larutan di mana zat terlarut berada dalam
kesetimbangan dengan fase padat (zat terlarut). Larutan tidak jenuh atau hampir
jenuh adalah suatu larutan yang mengandung zat terlarut dalam konsentrasi di
bawah konsentrasi yang dibutuhkan untuk penjenuhan sempurna pada temperatur
tertentu. Suatu larutan lewat jenuh adalah suatu larutan yang mengandung zat
terlarut dalam konsentrasi lebih banyak daripada yang seharusnya ada pada
temperatur tertentu, terdapat juga zat terlarut yang tidak larut. Keadaan lewat
jenuh mungkin terjadi apabila inti kecil zat terlarut yang dibutuhkan untuk
pembentukan kristal permulaan adalah lebih mudah larut daripada kristal besar
sehingga menyebabkan sulitnya inti terbentuk (Martin, 1990).
Dalam istilah fisika kimia, larutan dipersiapkan dari campuran yang mana
saja dari tiga keadaaan zat yaitu padat, cair, dan gas. Dalam istilah farmasi, larutan
yang didefinisikan sebagai sediaan cair yang mengandung satu atau lebih zat
kimia yang dapat larut, biasanya dilarutkan dalam air yang karena bahannya, cara
peracikan atau penggunaannya dalam golongan produk lainnya. Sesungguhnya
banyak produk farmasi melarut prinsip kimia fisika merupakan campuran
homogen dari zat terlarut yang dilarutkan dalam pelarut, menurut prinsip farmasi
digolongkan ke dalam jenis produk lain (Ansel, 1989).
Metode sederhana untuk menentukan kelarutan sebagian besar senyawa atau
bahan campuran adalah mengocok dengan lama zat bubuk halus dengan zat
terlarut pada temperatur yang diperlukan hingga tercapai keseimbangan. Larutan
itu kemudian disaring dan untuk menentukan bahan yang melarutkan dengan
metode yang cocok seperti metode fisika dan kimia atau dengan menggunakan
sifat fisika, larutan sebagai indeks bias.
Kelarutan obat sebagian besar disebabkan oleh polaritas dari pelarut, yaitu
oleh dipol momennya. Pelarut polar melarutkan zat terlarut ionik dan zat polar
lainnya. Sesuai dengan itu, air bercampur dengan alkohol dalam segala
perbandingan dan melarutkan gula dan senyawa polihidroksi yang lain (Martin,
2008).
Aksi pelarut dari cairan nonpolar, seperti hidrokarbon, berbeda dengan zat
polar. Pelarut nonpolar tidak dapat mengurangi gaya tarik-menarik antara ion-ion
elektrolit kuat dan lemah, karena tetapan dielektrik pelarut yang rendah. Pelarut
juga tidak dapat memecahkan ikatan kovalen dan elektrolit yang berionisasi lemah
karena pelarut aprotik, dan tidak dapat membentuk jembatan hidrogen dengan
nonelektrolit. Oleh karena itu zat terlarut ionik dan polar tidak larut atau hanya
dapat larut sedikit dalam pelarut nonpolar (Martin, 2008).
Pelarut semipolar seperti keton dan alkohol dapat menginduksi suatu derajat
polaritas tertentu dalam molekul pelarut nonpolar, sehingga menjadi dapat larut
dalam alkohol, contohnya benzena yang mudah dapat dipolarisasikan.
Kenyataanya, senyawa semipolar dapat bertindak sebagai pelarut perantara yang
dapat menyebabkan bercampurnya cairan polar dan nonpolar. Sesuai dengan itu,
aseton menaikkan kelarutan eter di dalam air (Martin, 2008).
Dalam satuan kimia, konsentrasi larutan dinyatakan dalam : (Rosenberg,
1992).
1. Konsentrasi molar
Yaitu jumlah mol zat terlarut yang terkandung didalam satu liter larutan.
2. Normalitas
Adalah jumlah gram-ekivalen zat terlarut yang terkadung didalam satu liter
larutan.
3. Molalitas
Banyaknya mol zat terlarut per kilogram pelarut yang terkandung dalam
suatu larutan.
4. Fraksi mol
Adalah suatu komponen dalam laruan, didefenisikan sebgai banyaknya mol
(n) kompone itu sendiri dibagi denan jumlah mol keseluruhan komponen
dalam larutan itu.
Kadar persen konsentrasi dinyatakan dalam empat cara berikut ini (Dirjen
POM, 1979):
1. % b/b, menyatakan jumlah dari g zat dalam 100 g bahan atau hasil akhir
2. % b/v, menyatakan jumlah g zat dalam 100 ml bahan atau hasil akhir
3. % v/v, menyatakan jumlah ml zat dalam 100 ml bahan atau hasil akhir
4. % v/b, menyatakan jumlah ml zat dalam 100 g bahan atau hasil akhir
Menurut metode kelarutan, sejumlah besar obat ditempatkan dalam wadah
yang tertutup baik, bersama-sama dengan larutan zat pengompleks dalam berbagai
konsentrasi dan botol dikocok dalam bak pada temperatur konstan sampai tercapai
kesetimbangan. Cairan supernatan dalam porsi yang cukup diambil dan dianalisis.
Higuchi dan Lach menggunakan metode kelarutan untuk menyelidiki kompleksasi
dari p-amino asam benzoat (PABA) oleh kafeina. Hasil diplot seperti pada gamar
dimana titik A garis memotong sumbu tegak adalah kelarutan obat dalam air.
Dengan penambahan kafeina, kelarutan p-amino asam benzoat naik secara linear
disebabkan karena kompleksasi. Pada titik B, larutan dijenuhkan terhadap
kompleks dan obat itu sendiri. Kompleks terus terbentuk dan mengendap dari
sistem jenuh apabila semakin banyak kafeina ditambahkan. Pada titik C, semua
kelebihan zat padat PABA telah masuk dalam larutan dan telah diubah menjadi
kompleks (Martin, 1993).
2.1.2 Koefisien Distribusi
Suatu zat dapat larut ke dalam dua macam pelarut yang keduanya tidak
saling bercampur. Jika kelebihan cairan atau zat padat ditambahkan ke dalam
campuran dari dua cairan tidak bercampur, zat itu akan mendistribusi diri diantara
dua fase sehingga masing-masing menjadi jenuh. Jika zat itu ditambahkan
kedalam pelarut tidak tercampur dalam jumlah yang tidak cukup untuk
menjenuhkan larutan, maka zat tersebut akan tetap terdistribusikan diantara kedua
lapisan dengan konsentrasi tertentu (Martin, 1993).
Pelarut secara umum dibedakan atas dua pelarut, yaitu pelarut air dan bukan
air. Salah satu ciri penting dari pelarut tetapan dielektriknya (E), yaitu gaya yang
bekerja antara dua muatan itu dalam ruang hampa dengan gaya yang bekerja pada
muatan itu dalam dua pelarut. Tetapan ini menunjukkan sampai sejauh mana
tingkat kemampuan melarutkan pelarut tersebut. Misalnya air dengan tetapan
dielektriknya yang tinggi (E = 78,5) pada suhu 25oC, merupakan pelaruit yang
baik untuk zat-zat yang bersifat polar, tetapi juga merupakan pelarut yang kurang
baik untuk zat-zat non polar. Sebaliknya, pelarut yang mempunyai tetapan
dielektrik yang rendah merupakan pelarut yang baik untuk zat non polar dan
merupakan pelarut yang kurang baik untuk zat berpolar (Rivai, 1995).
Koefisien distribusi merupakan suatu perbandingan kelarutan suatu zat
(sampel) didalam dua pelarut yang berbeda dan tidak saling bercampur, serta
mempunyai harga tetap pada suhu tertentu (Pratiwi, 2013).
Koefisien distribusi adalah perbandingan konstanta kesetimbangan zat
dalam suatu pelarut yang berbeda, dimana pelarut tidang saling bercampurm hal
ini disebabkan oleh dua pelarut yang dicampurkan tapi tidak saling bercampur
(Rosita, 2014).
Fenomena distribusi termasuk di dalamnya adalah koefisien partisi yang erat
hubungannya dengan ilmu farmasi (ilmu resep). Satu hal penting dari fenomena
distribusi adalah sifat senyawa obat itu agar dapat melalui membran sel yang
terdiri dari lipoprotein atau suatu lapisan hidrofil dan hidrofob.
Menurut Cammarata (1995), ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi
distribusi zat dalam larutan, yaitu :
1. Temperatur
Kecepatan berbagai reaksi bertambah kira-kira 2 atau 3 tiap kenaikan suhu
10oC.
2. Kekuatan Ion
Semakin kecil konsentrasi suatu larutan maka laju distribusi makin kecil.
3. Konstanta Dielektrik
Efek konstanta dielektrik terhadap konstanta laju reaksi ionik
diekstrapolarkan sampai pengenceran tak terbatas, yang pengaruh kekuatan
ionnya 0. Untuk reaktan ion yang kekuatannya bermuatan berlawanan maka laju
distribusi reaktan tersebut adalah positif dan untuk reaktan yang muatannya sama
maka laju distribusinya negatif.
4. Katalisis
Katalisis dapat menurunkan laju - laju distribusi (Katalis negatif). Katalis
dapat juga menurunkan energi aktivitas dengan mengubah mekanisme reaksi
sehingga kecepatan bertambah.
5. Katalis Asam Basa Spesifik
Laju distribusi dapat dipercepat dengan penambahan asam atau basa. Jika
laju peruraian ini terdapat bagian yang mengandung konsentrasi ion hidrogen atau
hidroksi.
6. Cahaya Energi
Cahaya seperti panas dapat memberikan keaktifan yang diperlukan untuk
terjadi reaksi. Radisi dengan frekuensi yang sesuai dengan energi yang cukup
akan diabsorbsi untuk mengaktifkan molekul – molekul.

Menurut soebagio (2000), Cara penentuan koefisien distribusi diterapkan


dalam rumus dibawah ini:
CA
K=
CB
Keterangan : K = Koefisien Distribusi
CA = Konsentrasi zat terlarut pada pelarut organik
CB = Konsentrasi zat terlarut pada pelarut anorganik
Penentuan CA =
V1 x N s ampel
V sampel
Penentuan CB =
V2 x N s ampel
V sampel
Keterangan : V1 = Bagian larutan yang berada dilapisan atas (non-polar)
V2 = Bagian larutan yang berada dibagian bawah (polar)
2.2 Uraian Bahan
2.2.1 Aquades (Dirjen POM, 1979)
Nama resmi : AQUA DESTILLATA
Nama lain : Aquadest, air suling
RM/BM : H2O / 18,02 g/mol
Rumus struktur :

Pemerian : Cairan tidak berwarna, tidak berbau, tidak berasa


Kelarutan : Bercampur dalam air dan praktis bercampur dalam
pelarut organik.
Kegunaan : Pelarut
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat.
2.2.2 Alkohol (Dirjen POM, 1979)
Nama resmi : AETHANOLUM
Nama lain : Etanol
RM/BM : C2H5OH / 46,07g/mol
Rumus struktur :
Pemerian : Cairan tidak berwarna,ber menguap, bau khas.
Kelarutan : Bercampur dengan air dan praktis bercampur pada
pelarut organik.
Kegunaan : Zat tambahan
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat.
2.2.3 Asam Borat (Dirjen POM, 1979)
Nama resmi : Acidum Boricum
Nama lain : Asam Borat
Berat molekul : 61,83 gr/mol
Rumus molekul : H3BO3
Rumus struktur :

Pemerian : Hablur serbuk putih dan atau sisik mengkilap tidak


berwarna, kasar, tidak berbau, rasa agak asam dan
pahit kemudian manis
Kelarutan : Larut dalam 20 bagian air dan dalam 3 bagian air
mendidih, dalam 16 bagian etanol (95%) P dan
dalam 5 bagian gliserol P
Kegunaan : Sebagai zat aktif
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik.
2.2.4 NaOH (Dirjen POM, 1995)
Nama resmi : NATRII HYDROXIDUM
Nama lain : Natrium Hidroksida
RM/BM : NaOH / 40,00 g/mol
Rumus struktur :

Pemerian : Butiran, putih, keras, rapuh, korosif dan meleleh


Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air dan etanol (95 %)
Kegunaan : Zat tambahan
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik.
2.2.5 Paracetamol (Dirjen POM, 1979)
Nama resmi : ACETAMINOPHENUM
Nama lain : Asetaminofen, Parasetamol
Berat molekul : 151,16 g/mol
Rumus molekul : C8H9NO2
Rumus struktur :

Pemerian : Hablur atau serbuk hablur putih; tidak berbau: rasa


pahit
Kelarutan : Larut dalam 70 bagian air, dan dalam 7 bagian
etanol (95%), P dalam 13 bagian aseton P dalam 40
bagian gliserol P dan larut dalam larutan alkali
hidroksida dan dalam 9 bagian propilenglikol P.
Khasiat : Antipiretik dan analgetikum
Kegunaan : Mengobati rasa sakit ringan hingga sedang, mulai
dari sakit kepala, nyeri haid, sakit gigi, nyeri sendi,
nyeri yang dirasakan selama flu dan untuk
meredakan demam
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik, terlindung dari cahaya.
2.2.6 Penoftalein (Dirjen POM, 1979)
Nama resmi : FENOLFTALEIN
Nama lain : Fenolftalein, Indikator PP
Berat molekul : 318,33 gr/mol
Rumus molekul : C20H14O4

Rumus struktur :
Pemerian : Serbuk hablur putih atau putih kekuningan lemah,
tidak berbau, stabil di udara
Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air, larut dalam etanol
Kegunaan : Indikator
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat.

BAB III
METODE PRAKTIKUM
3.1 Waktu dan Tempat
Praktikum kelarutan dan koefisien distribusi dilaksanakan pada tanggal 19
Oktober 2019 pada pukul 10.00 sampai 12.00. Pelaksanaan praktikum bertempat
di Laboratorium Teknologi Farmasi, Jurusan Farmasi, Fakultas Olahraga dan
Kesehatan, Universitas Negeri Gorontalo.
3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat
Pada praktikum kali ini, alat yang digunakan yakni terdiri dari batang
pengaduk, buret, corong, corong pisah, gelas kimia 250 mL, gelas ukur 50 mL,
lap halus, lap kasar, neraca analitik, oven, penangas, penjepit tabung reaksi, pipet
tetes, pot salep, spatula, statif dan klem.
3.2.2 Bahan
Bahan yang digunakan pada praktikum kali ini yaitu alkohol, aquadest,
asam borat, indikator fenolftalein, kertas perkamen, kertas saring, minyak kelapa,
NaOH, parasetamol dan tisu.
3.3 Cara Kerja
a. Penentuan Kelarutan
1. Penentuan kelarutan dengan air dalam suhu normal
a) Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan
b) Dibersihkan alat dengan menggunakan alkohol 70%
c) Ditimbang asam borat sebanyak 2 g
d) Diukur air 25 ml, kemudian dimasukkan pada gelas kimia
e) Dimasukkan asam borat ke dalam 25 ml air tadi, diaduk hingga
homogen
f) Ditimbang kertas saring kosong, kemudian dijenuhkan kertas saring
tersebut
g) Disaring asam borat pada kertas saring yang telah dijenuhkan tadi
menggunakan corong
h) Diambil residu
i) Dimasukkan ke dalam oven sampai kering agar tidak ada kadar air
j) Ditimbang kertas saring yang berisi residu asam borat tersebut
2. Penentuan kelarutan dengan air suhu panas
a) Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan
b) Dibersihkan alat dengan menggunakan alkohol 70%
c) Dipanaskan air dengan menggunakan penangas air
d) Ditimbang asam borat sebanyak 2 g
e) Diukur air yang telah dipanaskan sebanyak 25 mL, kemudian
dimasukkan ke dalam gelas kimia
f) Dimasukkan asam borat ke dalam 25 mL air panas tersebut, diaduk
hingga homogenuy
g) Ditimbang kertas saring kosong, kemudian dijenuhkan kertas saring
tersebut
h) Disaring asam borat pada kertas saring dengan menggunakan corong
i) Diambil residu
j) Dimasukkan ke dalam oven sampai kering agar tidak ada lagi kadar air
k) Ditimbang kertas saring yang terisi residu asam borat tersebut
b. Penentuan koefisien distribusi
1. Penentuan koefisien distribusi tanpa minyak
a) Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan
b) Dibersihkan alat dengan menggunakan alkohol 70%
c) Ditimbang paracetamol 0,1 g, kemudian dilarutkan dalam 50 mL
aquadest, diaduk hingga homogen
d) Diambil larutan paracetamol tersebut sebanyak 25 mL untuk dititrasi
e) Ditambahkan indikator fenolftalein sebanyak 2 tetes
f) Dititrasi dengan NaOH sebanyak 1 mL sampai terjadi perubahan warna
menjadi warna ungu
g) Dicatat hasil yang didapatkan
h) Dihitung koefisien distribusinya
2. Penentuan koefisien distribusi dengan minyak
a) Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan
b) Dibersihkan alat dengan menggunakan alkohol 70%
c) Ditimbang paracetamol 0,1 g kemudian dilarutkan dalam 50 mL
aquadest, diaduk hingga homogen
d) Diambil larutan paracetamol tersebut sebanyak 25 mL, dimasukkan ke
dalam corong pisah
e) Ditambahkan dengan minyak kelapa sebanyak 25 mL
f) Dicampurkan larutan paracetamol dan oleum ricini dengan cara dikocok
g) Didiamkan selama beberapa menit sampai larutan paracetamol dan
minyak terpisah atau terlihat batas antara keduanya
h) Dipisahka larutan paracetamol dan lapisan minyak
i) Diambil larutan air yang mengandung paracetamol tersebut untuk
dititrasi
j) Ditambahkan indikator fenolftalein sebanyak 2 tetes
k) Dititrasi dengan NaOH sebanyak 0,8 mL sampai terjadi perubahan
warna menjadi warna ungu
l) Dicatat hasil yang didapatkan
m) Dihitung koefisien distribusinya

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
4.1.1 Tabel Pengamatan
a) Kelarutan
Sampel Suhu Kertas Saring Kosong Kertas Saring Residu
Asam Borat Normal 0,96 g 2,23 g
Asam Borat Panas 0,96 g 2,24 g
a) Koefisien Distribusi

Sampel Volume titran

Paracetamol tanpa minyak 1,3 mL


paracetamol dengan minyak 0,9 mL
4.2.1 Perhitungan
a) Kelarutan
Dik : Kertas saring kosong = 0,96 g
Kertas saring residu (suhu normal) = 2,29 g
Kertas saring residu (suhu panas) = 2,24 g
Berat sampel = 2g
Volume larutan = 25 mL
Dit : a. Kelarutan Asam Borat pada Suhu Kamar ….?
b. Kelarutan Asam Borat pada Suhu Panas …?
Penyelesaian :
a. Kelarutan Asam Borat pada Suhu Kamar (normal) : 25ºC
Berat sampel = Kertas saring residu – Kertas saring kosong
= 2,29 g – 0,96 g
= 1,33 g
Zat Terlarut = Berat sampel – residu
= 2 g – 1,33 g
= 0,67 g
Zat terlarut 0,67 g
Konsentrasi = =
Vol pelarut 25 ml
= 0,026 g/ml
b. Kelarutan Asam Borat pada Suhu Panas : 100ºC
Berat sampel = Kertas saring residu – Kertas saring kosong
= 2,24 g – 0,96 g
= 1,28 g
Zat Terlarut = berat sampel – residu
= 2 g – 1,28 g
= 0,72 g
Zat terlarut 0,72 g
Konsentrasi =
Vol pelarut
= 25 ml = 0,028 g/ml
b.) Koefisien Distribusi
Dik : V titrat tanpa minyak = 1,3 mL
V titrat dengan minyak = 0,9 mL
N titrat = 0,25 N
BE = 40
Berat sampel = 0,1 g
Dit : Nilai Koefisien Distribusi …?
Penyelesaian :
Vtitrat x Ntitrat x BE
% Kadar tanpa minyak = x 100%
Berat sampel
1 ,3 ml x 0, 25 N x 40
= x 100%
0,1 g
= 13 %
Vtitrat x Ntitrat x BE
% Kadar dengan minyak = x 100%
Berat sampel
0, 9 ml x 0,25 N x 40
= x 100%
0,1 g
=9%
Koefisien fase minyak = % Kadar tanpa minyak – % Kadar dengan minyak
= 13 % - 9 %
=4%

C2 4 %
Koefisien distribusi = = = 0,307%
C1 1 3 %
= < 1 (lebih cenderung larut dalam air)
4.3 Pembahasan
Kelarutan adalah jumlah zat yang dapat larut dalam sejumlah pelarut
sampai membentuk larutan jenuh. Adapun cara menentukan kelarutan suatu zat
ialah dengan mengambil sejumlah tertentu pelarut murni, misalnya 1 liter.
Kemudian memperkirakan jumlah zat yang dapat membentuk larutan lewat jenuh,
yang ditandai dengan masih terdapatnya zat padat yang tidak larut. Setelah
dikocok ataupun diaduk akan terjadi kesetimbangan antar zat yang larut dengan
zat ynag tidak larut (Atkins, 1994).
Kelarutan dalam besaran kuantitatif didefinisikan sebagai konsentrasi zat
terlarut dalam larutan jenuh pada temperatur tertentu, sedangkan secara kualitatif
didefinisikan sebagai interaksi spontan dari dua atau lebih zat untuk membentuk
disperse molekuler homogen (Martin, 1990).
Kelarutan suatu senyawa bergantung pada sifat fisika dan kimia zat terlarut
dari pelarut juga bergantung pada faktor temperatur, tekanan, pH, larutan dan
untuk jumlah yang lebih kecil bergantung pada hal terbaginya zat terlarut (Martin,
1999).
Koefisien distribusi merupakan perbandingan kelarutan suatu zat di dalam
dua pelarut berbeda dan tidak saling bercampur, serta mempunyai harga tetap
pada suhu tertentu (Voight, 1995).
Koefisien partisi menggambarkan rasio pendistribusian obat kedalam
pelarut sistem dua fase, yaitu pelarut organik dan air. Bila molekul semakin larut
lemak, maka koefisien partisinya semakin besar dan difusi trans membran terjadi
lebih mudah. Selain itu, organisme terdiri dari fase lemak dan air, sehingga bila
koefisien partisi sangat tinggi ataupun sangat rendah maka hal tersebut akan
menjadi hambatan pada proses difusi zat aktif (Ansel, 1989).
Faktor-faktor yang mempengaruhi fenomena distribusi adalah pengaruh
sifat kelarutan bahan obat terhadap distribusi menunjukkan antara lain bahwa
senyawa yang larut baik dalam bentuk lemak sedangkan sebaliknya zat hidrofil
hampir tidak diambil oleh jaringan lemak karena itu ditentukan terutama dalam
ekstrasel (Ernest, 1999).
a. Kelarutan
1. Penentuan kelarutan asam borat pada suhu 25ºC
Adapun dalam praktikum kali ini hal pertama yang dilakukan yaitu
menyiapkan dalat dan bahan kemudian dibersihkan alat menggunakan alkohol
70%. Menurut Pratiwi (2008) alkohol dapat bersifat antiseptik dan desinfektan,
sehingga dapat membunuh kuman yang ada pada alat-alat yang akan digunakan
selama praktikum.
Ditimbang asam borat pada neraca analitik sebanyak 2 gram. Kemudian
diukur 25 ml air pada gelas ukur lalu dimasukkan ke dalam gelas beaker. Asam
borat yang telah ditimbang dimasukkan ke dalam gelas beaker yang berisi 25 ml
air. diaduk hingga homogen. Karena pengadukan merupakan salah satu faktor
yang mempengaruhi kelarutan. Menurut Martin (1990) semakin cepat
pengadukan, semakin besar luas permukaan, semakin mudah larut.
Kertas saring kosong ditimbang terlebih dahulu menggunakan neraca
analitik. Karena menurut (Syukri S,1999) Kertas saring dipakai
untuk memisahkan endapan atau padatan dari pelarut.
Asam borat yang telah dilarutkan di dalam air disaring menggunakan
kertas saring yang telah dijenuhkan menggunakan air yang diletakkan kedalam
corong untuk mengambil residunya.
Residu yang tertinggal pada kertas saring dimasukkan kedalam oven lalu
ditimbang. Alasan dimasukkannya residu ke dalam oven menggunakan kertas
saring agar lebih mudah untuk mengetahui residu yang didapatkan (Gandjar dan
Rohman, 2007).
Residu yang telah dikeluarkan dari dalam oven kemudian ditimbang
dengan neraca analitik.
2. Penentuan kelarutan pada suhu 100ºC
Adapun dalam praktikum kali ini hal pertama yang dilakukan yaitu
menyiapkan dalat dan bahan kemudian dibersihkan alat menggunakan alkohol
70%. Menurut Pratiwi (2008) alkohol dapat bersifat antiseptik dan desinfektan,
sehingga dapat membunuh kuman yang ada pada alat-alat yang akan digunakan
selama praktikum.
Ditimbang asam borat pada neraca analitik sebanyak 2 gram. Kemudian
dipanaskan ± 25 ml air pada penangas hingga mendidih.
Air yang telah dipanaskan dimasukkan ke dalam gelas beaker. Asam borat
yang telah ditimbang dimasukkan ke dalam gelas beaker yang berisi 25 ml air.
diaduk hingga homogen. Karena pengadukan merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi kelarutan. Menurut Martin (1990) semakin cepat pengadukan,
semakin besar luas permukaan, semakin mudah larut.
Kertas saring kosong ditimbang terlebih dahulu menggunakan neraca
analitik. Karena menurut Syukri S, (1999) kertas saring dipakai
untuk memisahkan endapan atau padatan dari pelarut.
Asam borat yang telah dilarutkan di dalam air disaring menggunakan
kertas saring yang telah dijenuhkan menggunakan air yang diletakkan kedalam
corong untuk mengambil residunya.
Residu yang tertinggal pada kertas saring dimasukkan kedalam oven lalu
ditimbang. Alasan dimasukkannya residu ke dalam oven menggunakan kertas
saring agar lebih mudah untuk mengetahui residu yang didapatkan (Gandjar dan
Rohman, 2007).
Residu yang telah dikeluarkan dari dalam oven kemudian ditimbang
dengan neraca analitik.
b. Koefisien distribusi
1. Penentuan koefisien distribusi tanpa minyak
Langkah pertama yaitu menyiapkan alat dan bahan lalu membersihkan alat
menggunakan alkohol 70%. Menurut Pratiwi (2008) alkohol dapat bersifat
antiseptik dan desinfektan, sehingga dapat membunuh kuman yang ada pada alat-
alat yang akan digunakan selama praktikum.
Paracetamol ditimbang hingga 0,1 gr dan dilarutkan ke dalam aquades
sebanyak 50 ml. Menurut Dirjen POM (1979) paracetamol larut dalam 70 bagian
air. kemudian diaduk hingga homogen.
Paracetamol yang sudah dilarutkan diambil sebanyak 25 ml untuk dititrasi.
Menurut Keenan (2012) titrasi merupakan proses penentuan banyaknya suatu
larutan dengan konsentrasi yang telah diketahui sebelumnya untuk bereaksi secara
lengkap dengan larutan yang konsentrasinya belum diketahui sebelumnya.
Ditambahkan 2 tetes indikator fenolftalein ke dalam larutan paracetamol
lalu titrasi menggunakan larutan baku NaOH 0,25 N sebanyak 1 ml dititrasi
sampai terjadi perubahan warna menjadi merah muda keunguan. Hal ini
disebabkan karena metode titrasi yang digunakan dalam percobaan ini adalah
alkalimetri yang dilakukan berdasarkan reaksi netralisasi yaitu sampel asam yang
dititrasi dengan titran basa akan bereaksi sempurna dengan semua asam sehingga
dapat diperoleh titik akhir titrasi dengan melihat perubahan warna larutan dari
bening menjadi merah muda keunguan. Menurut Timberlake (2004) dalam larutan
asam fenolftalein tidak berwarna, kemudian buret berisi di isi dengan larutan
NaOH yang konsentrasinya telah diketahui. Dan dengan hati-hati NaOH
ditambahkan ke asam pada flask. Bisa diketahui bahwa netralisasi telah
berlangsung ketika fenolftalein dalam larutan berubah warna menjadi merah muda
keunguan. Ini disebut titik akhir netralisasi. Dari volume yang ditambahkan dan
molar NaOH, kita dapat menentukan konsentrasi asam.
Setelah itu dicatat volume evaluasinya dan dihitung koefisien
distribusinya.
2. Koefisien distribusi dengan minyak
Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan dan dibersihkan alat
menggunakan alkohol 70%. Menurut Pratiwi (2008) alkohol dapat bersifat
antiseptik dan desinfektan, sehingga dapat membunuh kuman yang ada pada alat-
alat y0ang akan digunakan selama praktikum.
Paracetamol ditimbang sebanyak 0,1 gr lalu dilarutkan ke dalam aquades
50 ml. diambil larutan paracetamol sebanyak 25 ml kemudian ditambahkan
minyak kelapa sebanyak 25 ml ke dalam corong pisah, larutan dikocok hingga
homogen. Digunakannya corong pisah untuk pemisahan komponen kimia diantara
dua fase pelarut yang tidak dapat saling bercampur dimana sebagian komponen
larut pada fase pertama dan sabagiannya lagi larut pada fase kedua (Sudjadi,
1986)
Larutan yang telah dikocok didiamkan beberapa saat sampai minyak dan
larutan paracetamol terpisah atau memberikan batas. Setelah terjadi pemisahaan
diambil lapisan air. Menurut Golib, Ibnu. (2007) dikarenakan apabila lapisan
minyak yang di titrasi maka akan terjadi reaksi saponifikasi (penyabunan).
Ditambahkan 2 tetes indikator fenolftalen. Selanjutnya NaOH 0,25 N
sebanyak 0,8 ml dititrasi sampai terjadi perubahan warna merah muda keunguan.
Hal ini disebabkan karena metode titrasi yang digunakan dalam percobaan ini
adalah alkalimetri yang dilakukan berdasarkan reaksi netralisasi yaitu sampel
asam yang dititrasi dengan titran basa akan bereaksi sempurna dengan semua
asam sehingga dapat diperoleh titik akhir titrasi dengan melihat perubahan warna
larutan dari bening menjadi merah muda keunguan. Menurut Timberlake (2004)
dalam larutan asam fenolftalein tidak berwarna, kemudian buret berisi di isi
dengan larutan NaOH yan konsentrasinya telah diketahui. Dan dengan hati-hati
NaOH ditambahkan ke asam pada flask. Bisa diketahui bahwa netralisasi telah
berlangsung ketika fenolftalein dalam larutan berubah warna menjadi merah
muda. Ini disebut titik akhir netralisasi. Dari volume yang ditambahkan dan molar
NaOH, kita dapat menentukan konsentrasi asam.
Setelah itu dicatat volume evaluasinya dan dihitung koefisien
distribusinya.
Berdasarkan hasil percobaan diatas, dapat disimpulkan bahwa :
1. Kelarutan asam borat pada suhu 25ºC adalah 1,4294 gram dengan

g
konsentrasi 0,061176 . Sedangkan kelarutan asam borat pada suhu 100ºC
ml

g
adalah 1,9877 gram dengan konsentrasi 0,079508 . Jadi, asam borat lebih
ml
larut pada pelarut bersuhu tinggi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Lund
(1994) bahwa kenaikan temperatur akan meningkatkan kelarutan zat yang
proses melarutnya melalui penyerapan panas/kalor (reaksi endotermik) dan
akan menurunkan kelarutan zat yang proses melarutnya dengan pengeluaran
panas/kalor (reaksi endotermik).
2. % kadar dari larutan paracetamol 25 ml yang dititrasi dengan NaOH 1 ml
adalah 100% kadar dan larutan paracetamol yang ditambahkan 25 ml
minyak ricini adalah 80%. Jadi, paracetamol lebih mudah larut pada fase air
jika dilihat dari % kadar.
Adapun kemungkinan kesalahan yang menyebabkan hasil praktikum tidak
sesuai dengan literatur. Hal ini disebabkan karena kurangnya ketelitian, sampel
yang digunakan berlebihan, larutan kurang larut dan kurangnya kebersihan.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
1. Tingkat kelarutan suatu zat/bahan obat dapat ditentukan dengan melihat
tabel kelarutan zat terlarut dalam bagian zat pelarut. Dimana semakin
kurang dari 1 bagian zat pelarut yang dibutuhkan dalam melarutkan bagian
zat terlarut maka zat tersebut sangat mudah larut, sedangkan jika lebih dari
1.000 sampai 10.000 maka obat tersebut sangat sukar larut, bahkan jika
lebih dari 10.000 maka zat tersebut praktis tidak larut.
2. Koefisien distribusi dapat ditetapkan dengan melihat kelarutan paracetamol
pada aquadest dan kelarutan larutan paracetamol dengan oleum ricini,
dimana hasil yang diperoleh bahwa paracetamol lebih cenderung tertarik ke
dalam air yang dapat dibuktikan dengan hasil yang diperoleh yaitu 0,2 %.
Dimana jika nilai koefisien distribusinya < 1, maka senyawa tersebut lebih
cenderung larut dalam fase air.
5.2 Saran
5.2.1 Jurusan
Pihak jurusan sebaiknya membekali mahasiswa agar mempunyai
kemampuan akademik, sehingga mahasiswa yang bersangkutan mampu
melakukan praktikum dibagian apapun.
5.2.2 Laboratorium
Saran untuk laboratorium, sebaiknya alat-alat yang ada di laboratorium
lebih diperhatikan dan dirawat lagi agar saat praktikum, praktikan bisa
menggunakan dengan baik dan maksimal tanpa ada kekurangan.

5.2.3 Asisten
Diharapkan agar kerjasama antara asisten dengan praktikan lebih
ditingkatkan lagi khususnya dalam memberikan bimbingan kepada praktikan saat
mengikuti praktikum.
5.2.4 Praktikan
Untuk praktikan diharapkan lebih banyak menguasai materi mengenai
kelarutan dan koefisien distribusi ini, praktikan diharapkan dapat tepat waktu
dalam proses pelaksanaan praktikum, disiplin dan sopan santun baik kepada dosen
maupun asisten yang berada di dalam laboratorium.
DAFTAR PUSTAKA

Adji, D. Zuliyanti. Larashantyz. H. 2007. Perbandingan efektifitas sterilisasi


alkohol 70% inframerah., otoklaf, dan ozon terhadap pertumbuhan bakteri
bactilus subtilis, J sain vet, 25 (1): 18

Anief, M. 2003. Ilmu Meracik Obat Teori dan Praktik. Yogyakarta: UGM Press.

Ansel, Howart C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Jakarta: Universitas


Indonesia.

Atkins, P.W. 1994. Kimia Fisika Jilid 1. Erlangga. Jakarta.

Cammarata, S. 1995. Farmasi Fisika. Jakarta: UI Press.

Day, R. A. And A. L. Underwood. 2002. Analisis kimia kuantitatif, edisi keenam.


Jakarta: Erlangga.

Dirjen POM. 1979. Farmakope Indonesia, Edisi III. Jakarta: Depkes RI.

Dirjen POM. 1995. Farmakope Indonesia, Edisi IV. Jakarta: Depkes RI.

Dyah Pratiwi. 2013. Anatomi pengolahan limbah media padat pada puskesmas.
Kabupaten pati.

Effendi, Idris. 2003. Materi Kuliah Farmasi Fisika. Makassar: UNHAS.

Herawati Rosita. 2014. Jurnal pendidikan kimia. Jakarta: Departeman kesehatan


RI.

Iskandar, yusuf. 2007. Karasteristik zat metabolit sekunder dalam ekstrak bunga
krisan (chrysanhemum cinerariaefolium) sebagai bahan pembuatan
biopeptisida. Semarang: FMIPA

Lund, Walter. 1994. The Pharmaceutical Codex. London: The Pharmaceutical


Press.

Martin. A.H. 1990. Farmasi fisik. Jakarta: UI Press.

Martin, Alfred, 1993. Farmasi Fisik, jilid I Edisi III. Jakarta: Universitas
Indonesia.

Martin. A.Swarbrick, J, & Cammarata., A. 2008. Farmasi fisik, edisi ketiga.


Jakarta: UI Press.

Pudjaatmaka, A. Hadyana. 2002. Kamus kimia. Jakarta: Balai Pustaka.


Riadi. 1990. Pemilihan uji laboratorium yang efektif. Jakarta: Buku kedokteran
EGC
Rivai, H. 1995. Azas Pemeriksaan Kimia. Jakarta: UI Press.

Rosenberg. 1992. Kimia Fisika. Jakata: Penerbit Intan pariwara.

Roth, Hermann, J. 1988. Analisis Farmasi. Yogyakarta: UGM Press.

R. Voight. 1994. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi, Edisi Kelima. Yogyakarta :


Penerbit Gadjah Mada University Press.

Soebagio, dkk. 2000. Kimia analitik 2 (JICA). Malang: Universitas negeri malang

Sukardjo. 1997. Kimia Fisika I. Jakarta: Universitas Indonesia.

Svehla. 1979. Buku ajar vogel: Analisis anorganik kuantitatif makro dan
semimikro. Jakarta : PT kalman media pustaka.

Anda mungkin juga menyukai

  • Potensiometri
    Potensiometri
    Dokumen12 halaman
    Potensiometri
    Rhindy Nurnaningsy S
    Belum ada peringkat
  • Analisis Farmasi Modul V
    Analisis Farmasi Modul V
    Dokumen16 halaman
    Analisis Farmasi Modul V
    Rhindy Nurnaningsy S
    Belum ada peringkat
  • Nur Ilma Usman
    Nur Ilma Usman
    Dokumen84 halaman
    Nur Ilma Usman
    Rhindy Nurnaningsy S
    Belum ada peringkat
  • Bab 1
    Bab 1
    Dokumen18 halaman
    Bab 1
    Rhindy Nurnaningsy S
    Belum ada peringkat
  • Modul Iii
    Modul Iii
    Dokumen14 halaman
    Modul Iii
    Ripan Malanua
    Belum ada peringkat
  • Bab 1
    Bab 1
    Dokumen18 halaman
    Bab 1
    Rhindy Nurnaningsy S
    Belum ada peringkat