Anda di halaman 1dari 4

Selasa, 21 Januari 2020

10 Usulan Buruh untuk RUU


Cipta Lapangan Kerja
Perlindungan pekerja harus diutamakan dari segala bentuk
eksploitasi dan pelanggaran hukum.
Ady Thea DA
Buruh yang tergabung dalam Gerakan Buruh Bersama Rakyat (Gebrak) menggelar unjuk rasa menolak
RUU Cipta Lapangan Kerja di Gedung DPR Jakarta, Senin (13/1). Foto: RES
BERITA TERKAIT
 Revisi UU Minerba Berpotensi Tumpang Tindih dengan RUU Omnibus Law
 Tiga Catatan Penting Soal Target Prolegnas 2020
 Pemerintah Klaim RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja untuk Lindungi Pekerja
 Pemerintah Super Prioritaskan Pembahasan Dua RUU Omnibus Law Ini
 Pembentuk UU Revisi Prolegnas Prioritas 2020, Ini Daftarnya!
Pemerintah saat ini tengah sibuk merumuskan sejumlah RUU Omnibus Law,
salah satunya RUU Cipta Lapangan Kerja. Selama beberapa pekan terakhir,
kalangan serikat buruh/pekerja merasa khawatir terhadap materi muatan RUU
Cipta Lapangan Kerja yang berpotensi menurunkan kesejahteraan bagi
buruh/pekerja melalui penghapusan hak-hak buruh yang sudah diatur dalam
UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan UU terkait.          
 
Presiden Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Saepul Tavip menilai
omnibus law akan mempengaruhi kebijakan sektor ketenagakerjaan. Karena
itu, Tavip menyebut organisasinya mengusulkan sedikitnya 10 hal
untuk omnibus law RUU Cipta Lapangan Kerja. Pertama, keinginan
pemerintah untuk membuka lapangan kerja seluas-luasnya perlu didukung.
 
Kedua, mengacu survei World Economic Forum menyebut ada 16 faktor
penghambat investasi di Indonesia. Dari 16 faktor itu yang pertama korupsi
dengan skor (13,8); diikuti inefisiensi birokrasi (11,1); akses ke pembiayaan
(9,2); infrastruktur tidak memadai (8,8); kebijakan tidak stabil (8,6). Faktor
regulasi ketenagakerjaan ada pada urutan 13 (4). Mengacu survei itu Tavip
menilai pemerintah keliru jika omnibus law Cipta Lapangan Kerja
dilatarbelakangi hanya isu ketenagakerjaan.
 
"Padahal masih banyak faktor lain lebih dominan yang harus dibenahi
pemerintah," kata Tavip di Jakarta, Selasa (21/1/2020). Baca Juga: Buruh
Minta Aturan Ketenagakerjaan Ditarik dari RUU Cipta Lapangan Kerja
 
Ketiga, pembahasan RUU Cipta Lapangan Kerja harus mengintegrasikan
politik legislasi sistem pendidikan nasional, ketenagakerjaan, dan
perindustrian berbasis riset dan inovasi agar mampu menghasilkan SDM
unggul. Keempat, penciptaan lapangan kerja harus dibarengi perlindungan,
kepastian hukum, dan kesejahteraan pekerja. Jangan sampai penciptaan
lapangan kerja ini hanya memberi tingkat kesejahteraan yang rendah, syarat
dan kondisi kerja yang buruk, serta rentan kehilangan pekerjaan (PHK
massal).
 
"Perlindungan pekerja harus diutamakan dari segala bentuk eksploitasi dan
pelanggaran hukum," ujar Tavip mengingatkan.  
 
Kelima, setiap upaya dan kebijakan mendorong investasi arahnya harus
investasi yang ramah buruh, HAM, dan lingkungan hidup. “Investasi tidak
sekedar menguntungkan investor, tapi juga rakyat dan lingkungan hidup,”
harapnya.  
 
Keenam, Tavip mengingatkan konsep mudah rekrut dan mudah pecat (easy
hiring, easy firing) sebagai isu yang berkembang belakangan ini cenderung
menciptakan pengangguran baru bagi buruh yang sudah bekerja karena
menjadi rentan terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). “Penciptaan
lapangan kerja harus dapat menjamin terwujudnya trilayak bagi pekerja yakni
kerja, upah, dan hidup layak."
 
Ketujuh, RUU Cipta Lapangan Kerja harus memastikan seluruh pekerja
terdaftar dalam 5 program jaminan sosial yang diselenggarakan BPJS.
Delapan, RUU Cipta Lapangan Kerja harus menjamin dan melindungi hak
buruh untuk berserikat. Sembilan, RUU ini tidak boleh lebih buruk dari
peraturan yang sudah ada. Jangan sampai manfaat (hak-hak buruh) yang
saat ini diterima pekerja malah dikurangi atau dihapus dengan kehadiran RUU
Cipta Lapangan Kerja.
 
Sepuluh, pembuat kebijakan perlu membuka ruang dialog dengan pemangku
kepentingan terutama serikat buruh dalam proses penyusunan dan
pembahasan RUU Cipta Lapangan Kerja. Melalui dialog terbuka, Tavip yakin
pembuat kebijakan akan mendapat saran dan masukan yang terbaik.
 
Sebelumnya, Pemerintah bertekad segera menyelesaikan draft RUU Cipta
Lapangan Kerja, untuk diserahkan kepada DPR. Sekretaris Kementerian
Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono mengatakan naskah akademik
dan draft RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja masih dalam
pembahasan internal untuk finalisasi antar kementerian/lembaga (K/L) dan
pemangku kepentingan terkait termasuk akademisi dan dunia usaha.
 
Menurut rencana, draft yang telah dibahas selama 2,5 bulan ini akan
diselesaikan pada pekan ini, dan akan dapat diserahkan kepada DPR pada
Selasa (21/1/2020). Menurut Susiwijono, Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja
diawali visi Presiden Jokowi untuk membuka lapangan kerja yang lebih luas
lagi, khususnya di sektor formal. Berdasarkan data di 2019, jumlah pekerja
informal tercatat sebanyak 74,1 juta pekerja atau 57,27 persen dari total
angkatan kerja.
 
Saat ini masih ada sekitar 7 juta orang yang belum mendapat pekerjaan.
Belum lagi ada penambahan angkatan kerja sekitar 2 juta orang setiap
tahunnya. Ada beberapa langkah pemerintah mewujudkan perluasan
lapangan kerja. Pertama, memacu pertumbuhan ekonomi karena 1 persen
pertumbuhan ekonomi akan menyerap sekitar 300-350 ribu pekerja.
Asumsinya, rata-rata pertumbuhan ekonomi sebesar 5 persen dalam lima
tahun terakhir.
 
“Pembahasan Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja ini harus komprehensif
membahas kepentingan pengusaha, pekerja, bahkan untuk orang yang belum
dapat kerja,” kata Susiwijono,  Jumat (17/1/2020) kemarin. (Baca
juga: Pemerintah Super Prioritaskan Pembahasan Dua RUU Omnibus Law
Ini).
 
Sesuai hasil pembahasan terakhir per 17 Januari 2020, telah diidentifikasi
sekira 79 UU dan 1.244 pasal yang terdampak Omnibus Law Cipta Lapangan
Kerja dengan rincian: penyederhanaan perizinan di 52 UU dengan 770 pasal;
persyaratan investasi di 13 UU dengan 24 pasal; ketenagakerjaan di 3 UU
dengan 55 pasal; kemudahan, pemberdayaan, dan perlindungan UMK-M di 3
UU dengan 6 pasal; dan kemudahan berusaha di 9 UU dengan 23 pasal.
 
Untuk masalah ketenagakerjaan, Susi menegaskan Upah Minimum (UM)
dipastikan tidak akan turun dan tidak dapat ditangguhkan, terlepas
bagaimanapun kondisi pengusahanya. Untuk kenaikan UM akan
memperhitungkan pertumbuhan ekonomi di masing-masing daerah. “UM yang
ditetapkan hanya berlaku bagi pekerja baru dan berpengalaman kerja di
bawah satu tahun. Sedangkan kalau kompetensi mereka lebih akan bisa
diberi lebih dari UM. Sistem pengupahan mereka didasarkan pada struktur
dan skala upah. Upah per jam itu contohnya (untuk) konsultan, freelancer,
dan ada jenis pekerjaan baru sektor ekonomi digital,” kata dia.
 
Peningkatan kesejahteraan dan perlindungan pekerja juga menjadi salah satu
fokus pemerintah dengan membentuk Program Jaminan Kehilangan
Pekerjaan (JKP) untuk pekerja yang terkena PHK. JKP memberikan manfaat
berupa Cash Benefit, Vocational Training, atau Job Placement Access.
Penambahan manfaat JKP tidak akan menambah beban iuran bagi pekerja
dan perusahaan.
 
Pekerja yang mendapatkan JKP tetap akan mendapatkan jaminan sosial lain
berupa Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK); Jaminan Hari Tua (JHT); Jaminan
Pensiun (JP); dan Jaminan Kematian (JKm). “Untuk memberi perlindungan
bagi Pekerja Kontrak atau Perjanjian Kerja Waktu Tertentu/PKWT, mereka
juga akan diberikan kompensasi tersendiri jika telah habis masa kontrak
kerjanya.”
 
Susi menekankan ke depannya masih akan pembahasan lebih lanjut tentang
masing-masing cluster agar masyarakat dapat lebih memahami substansi
Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja ini sendiri.
 
Sebelumnya, sejumlah serikat pekerja kompak menolak materi muatan draf
RUU Cipta Lapangan Kerja. Dalam RUU Cipta Lapangan Kerja ada 11 kluster
(kelompok) yang mengatur ketenagakerjaan sebagaimana tertuang dalam
Bab IV: Ketenagakerjaan. “Serikat pekerja meminta agar seluruh cluster
tentang ketenagakerjaan dikeluarkan (ditarik, red) dari omnibus law RUU
Cipta Lapangan Kerja,” ujar Bendahara Umum Federasi Serikat Pekerja
Kimia, Energi Pertambangan (FSP KEP) Zainudin Agung dalam rapat dengar
pendapat umum di Komisi IX DPR, Kamis (16/1).
 
Dua organisasi serikat buruh/pekerja yakni Konfederasi Persatuan Buruh
Indonesia (KPBI) dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) pun
menolak pasal-pasal ketenagakerjaan dalam RUU Cipta Lapangan Kerja yang
diperkirakan bakal semakin menurunkan tingkat kesejahteraan buruh dan
masyarakat secara umum.      
 
Mereka mensinyalir ada sejumlah pasal dalam UU Ketenagakerjaan yang
bakal dicabut atau diubah dalam RUU Cipta Lapangan Kerja. Misalnya,
penghapusan upah minimum (UMP); perubahan ketentuan PHK, pesangon,
jaminan sosial; penghapusan sanksi pidana bagi pengusaha; perluasan jenis
pekerjaan yang bisa di-outsourcing, PKWT (kontrak kerja); masuknya
TKA uskill.    

Anda mungkin juga menyukai