Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

1.2 Latar Belakang

Miastenia gravis (MG) adalah suatu bentuk kelainan pada transmisi


neuromuskular / disorders of neuromuscular transmission (DNMT) yang paling sering
terjadi. Kelainan pada transmisi neuromuskular / disorders of neuromuscular
transmission (DNMT) yang dimaksud adalah penyakit pada taut antara serat saraf dan
serat otot / neuromuscular junction (NMJ). Pada miastenia gravis (MG) terjadi
permasalahan transmisi yang mana terjadi pemblokiran reseptor asetilkolin (AChR) di
serat otot (post synaptic) mengakibatkan tidak sampainya impuls dari serat saraf ke serat
otot (tidak terjadi kontraksi otot). Miastenia gravis (MG) ditandai oleh kelemahan otot
yang kembali memulih setelah istirahat. Miastenia dalam bahasa latin artinya kelemahan
otot dan gravis artinya parah.5
Departemen kesehatan Amerika Serikat mencatat jumlah pasien miastenia gravis
diestimasikan sebanyak 5 sampai 14 dari 100.000 orang populasi pada seluruh etnis
maupun jenis kelamin.2Angka tersebut jauh berbeda dengan angka insidensi di wilayah
Eropa seperti Inggris, Italia, dan pulau Farou di Islandia yaitu sebesar 21-30 per
1.000.000 populasi.3 Di Indonesia sendiri belum ditemukan data yang akurat terkait
angka kejadian miastenia gravis (MG). Yayasan Miastenia Gravis Indonesia (YMGI)
selaku support group utama sampai saat ini masih mengupayakan pendataan yang
maksimal terkait jumlah pasien miastenia gravis (MG) di Indonesia.2
Walaupun terdapat banyak penelitian tentang terapi MG yang berbeda –beda,
tetapi, tidak dapat diragukan bahwaterapi imunomodulasi dan imunosupresif dapat
memberikan prognosis yang baik pada penyakit ini, namun beberapa dari terapi ini justru
diperkenalkan saat pengetahuan dan pengertian tentang imunopatogenesis masih sangat
kurang.

18
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Myastenia Gravis

2.2.1 Definisi Myastenia Gravis

Miastenia gravis adalah penyakit yang menyerang hubungan antara sistem saraf
(nervus) dan sistem otot (muskulus). Penyakit miastenis gravis ditandai dengan
kelemahan dan kelelahan pada beberapa atau seluruh otot, di mana kelemahan tersebut
diperburuk dengan aktivitas terus menerus atau berulang-ulang. Miastenia gravis adalah
penyakit autoimun yang menyerang neuromuskular juction ditandai oleh suatu
kelemahan otot dan cepat lelah akibat adanya antibodi terhadap reseptor asetilkolin
(AchR) sehingga jumlah AchR di neuromuskular juction berkurang.2, 5

2.2.2 Epidemiologi Myastenia Gravis

Prevalensi penderita dengan Miastenia gravis di Amerika Serikat pada tahun 2004
diperkirakan mencapai 20 per 100.000 penduduk. Prevalensi pasti mungkin lebih tinggi
karena kebanyakan kasus Miastenia gravis tidak terdiagnosis. Insiden Miastenia gravis
mencapai 1 dari 7500 penduduk, menyerang semua kelompok umur. Penelitian
epidemiologi telah menunjukkan kecenderungan peningkatan prevalensi penyakit
Miastenia gravis dan angka kematian yang meningkat di atas umur 50 tahun. Pada umur
20-30 tahun Miastenia gravis lebih banyak dijumpai pada wanita. Sementara itu diatas 60
tahun lebih banyak pada pria (perbandingan ratio wanita dan pria adalah 3:2). 1, 5, 6
2.2.3 Anatomi dan Fisiologi

Neuromuscular junction merupakan penghubung antara serabut saraf dan otot


pada membran otot yang berfungsi mengubah impuls elektrik menjadi sinyal kimia untuk
digunakan sebagai pencetus kontraksi otot. Neuromuscular junction terdiri dari membran
presinaptik, celah sinaptik (synaptic cleft) dan membran post sinaptik (Gambar 1). 10

19
Membran presinaptik terdiri dari nervus terminal yang merupakan tempat sintesis
dan penyimpanan neurotransmitter asetilkolin (ACh). Celah sinaptik merupakan daerah
yang memisahkan membran presinaptik dan post sinaptik dengan jarak ± 20 nm. Celah
ini mengandung asetilkolin dan protein-protein proteoglikan yang berfungsi untuk
menstabilkan stuktur neuromuscular junction. Membran post sinaptik merupakan daerah
yang mengandung reseptor asetilkolin.Daerah post sinaptik ini dikarakteristikkan oleh
adanya invaginasi dari membran plasma yang disebut “secondary synaptic
fold/junctional fold”. Junctional fold ini berfungsi memperluas area post sinaptik dan
merupakan tempat terpusatnya depolarisasi end plate. Reseptor asetilkolin terpusat pada
bagian atas junctional fold. Rapsyn, muscle specific tyrosine kinase (MuSK) dan agrin
merupakan protein yang terlibat dalam clustering AchR.

20
Transmisi di neuromuscular junction pada keadaan normal dimulai dengan
sintesis asetilkolin (ACh) di terminal saraf motorik dan disimpan di dalam vesikel-
vesikel. Potensial aksi akan merambat sepanjang saraf motorik dan mencapai terminal
saraf tersebut yang akan menyebabkan ACh dari 150-200 vesikel dilepaskan ke celah
sinaptik serta berdifusi ke membran post sinaptik.
Asetilkolin akan melekat pada AChR yang banyak terdapat pada membran
postsinaptik dan menyebabkan terbukanya berbagai saluran ion AChR sehingga
memungkinkan berbagai kation terutama natrium (Na) masuknya ke otot yang kemudian
menimbulkan depolarisasi end plate.
Jika depolarisasi mencapai ambang batas, akan terjadi aksi potensial dan
kontraksi otot. Asetilkolin kemudian mengalami reuptake dan hidrolisis oleh
asetilkolinesterase (AChE) sehingga konsentrasi ACh berkurang. Mekanisme ini
mencegah terjadinya aktivasi berulang dari AChR oleh Ach (Gambar 2). Jumlah
asetilkolin yang dikeluarkan per impuls mengalami penurunan secara normal pada
perangsangan berulang, hal ini disebut presynaptic rundown.

2.2.4 Patofisiologi Myastenia Gravis


21
Mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting pada
patofisiologi miastenia. Observasi klinik yang mendukung hal ini mencakup timbulnya
kelainan autoimun yang terkait dengan pasien yang menderita miastenia gravis, misalnya
autoimun tiroiditis, sistemik lupus eritematosus, arthritis rheumatoid, dan lain-lain.

Sejak tahun 1960, telah didemonstrasikan bagaimana autoantibodi pada serum


penderita miastenia gravis secara langsung melawan konstituen pada otot. Tidak
diragukan lagi, bahwa antibodipada reseptor nikotinik asetilkolin merupakan penyebab
utama kelemahan otot pasien dengan miastenia gravis. Autoantibodi terhadap asetilkolin
reseptor (anti-AChRs), telah dideteksi pada serum 90% pasien yang menderita acquired
myasthenia gravis generalisata.4
Mekanisme pasti tentang hilangnya tolesansi imunologik terhadap reseptor
asetilkolin pada penderita miastenia gravis belum sepenuhnya dapat dimengerti.
Miastenia gravis dapat dikatakan sebagai “penyakit terkait sel B”, dimana antibodi yang
merupakan produk dari sel B justru melawan reseptor asetilkolin. Peranan sel T pada
patogenesis miastenia gravis mulai semakin menonjol. Timus merupakan organ sentral
terhadap imunitas yang terkait dengan sel T, dimana abnormalitas pada timus seperti
hyperplasia timus atau timoma, biasanya muncul lebih awal pada pasien dengan gejala
miastenik
Pada pasien miastenia gravis, antibodi IgG dikomposisikan dalam berbagai
subklas yang berbeda, dimana satu antibodi secara langsung melawan area imunogenik
utama pada subunit alfa. Subunit alfa juga merupakan binding site dari asetilkolin. Ikatan
antibody reseptor asetilkolin pada reseptor asetilkolin akan mengakibatkan terhalangnya
transmisi neuromuskular melalui beberapa cara, antara lain : ikatan silang reseptor
asetilkolin terhadap antibodi anti-reseptor asetilkolin dan mengurangi jumlah reseptor
asetil kolin pada neuromuscular junction dengan cara menghancurkan sambungan ikatan
pada membrane post sinaptik, sehingga mengurangi area permukaan yang dapat
digunakan untuk insersi reseptor-reseptor asetilkolin yang baru disintesis.4
2.2.5 Manifestasi klinis Myastenia Gravis
. Miastenia gravis dikarakteristikkan melalui adanya kelemahan yang berfluktuasi
pada otot rangka dan kelemahan ini akan meningkat apabila sedang beraktivitas.1

22
Penderita akan merasa ototnya sangat lemah pada siang hari dan kelemahan ini akan
berkurang apabila penderita beristirahat.4 Gejala klinis miastenia gravis antara lain:
a. Kelemahan pada otot ekstraokular atau ptosis.
Ptosis yang merupakan salah satu gejala kelumpuhan nervus
okulomotorius, seing menjadi keluhan utama penderita miastenia gravis.
Walupun pada miastenia gravis otot levator palpebra jelas lumpuh, namun ada
kalanya otot-otot okular masih bergerak normal. Tetapi pada tahap lanjut
kelumpuhan otot okular kedua belah sisi akan melengkapi ptosis miastenia
gravis.7 Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi, diikuti dengan kelemahan
pada fleksi dan ekstensi kepala.
b. Kelemahan otot penderita semakin lama akan semakin memburuk. Kelemahan
tersebut akan menyebar mulai dari otot ocular, otot wajah, otot leher, hingga ke
otot ekstremitas.
Sewaktu-waktu dapat pula timbul kelemahan dari otot masseter sehingga
mulut penderita sukar untuk ditutup. Selain itu dapat pula timbul kelemahan
dari otot faring, lidah, pallatum molle, dan laring sehingga timbullah kesukaran
menelan dan berbicara. Paresis dari pallatum molle akan menimbulkan suara
sengau. Selain itu bila penderita minum air, mungkin air itu dapat keluar dari
hidungnya.1
Tabel 1. Manifestasi Klinis Pada Miastenia Gravis Dari Gejala Yang Sering Terjadi
Sampai Pada Gejala yang Jarang Terjadi.
Sering terjadi Otot-otot Gejala
Ocular Ptosis dan penglihatan ganda
Wajah Kesulitan mengunyah,
menelan, dan berbicara
Leher Kesulitan mengangkat kepala
saat posisi telentang
Ekstremitas proksimal Kesulitan mengangkat lengan
setinggi bahu dan kesulitan
berdiri dari posisi duduk
dengan bantuan tangan
Pernapasan Gangguan pernapasan dan
kesulitan untuk bangun dari

23
posisi tertidur
Ekstremitas distal Kelemahan saat mengenggam
dan kelemahan
pada pergelangan dan kaki

Jarang terjadi

2.2.6 Klasifikasi Miastenia Gravis

Tabel 2.Klasifikasi miastenia gravis menurut Myasthenia Gravis Foundation of America


(MGFA).
Adanya kelemahan otot-otot okullar, kelemahan pada saat menutup mata dan
Kelas I
kekuatan otot-otot lain normal

Terdapat kelemahan otot okular yang semakin parah, serta adanya kelemahan
Kelas II
ringan pada otot-otot lain selain otot okular.

Mempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh, atau keduanya. Juga terdapat


Kelas IIa
kelemahan otot-otot orofaringeal yang ringan

Mempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot pernapasan atau keduanya.


Kelas IIb Kelemahan pada otot-otot anggota tubuh dan otot-otot aksial lebih ringan
dibandingkan klas IIa.

Terdapat kelemahan yang berat pada otot-otot okular. Sedangkan otot-otot lain
Kelas III
selain otot-otot ocular mengalami kelemahan tingkat sedang

Mempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya secara


Kelas III a
predominan. Terdapat kelemahan otot orofaringeal yang ringan

Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan, atau keduanya secara


Kelas III b predominan. Terdapat kelemahan otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau
keduanya dalam derajat ringan.

Otot-otot lain selain otot-otot okular mengalami kelemahan dalam derajat yang
Kelas IV
berat, sedangkan otot-otot okular mengalami kelemahan dalam berbagai derajat

Secara predominan mempengaruhi otot-otot anggota tubuh dan atau otot-otot


Kelas IV a
aksial. Otot orofaringeal mengalami kelemahan dalam derajat ringan

24
Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan atau keduanya secara
predominan. Selain itu juga terdapat kelemahan pada otot-otot anggota tubuh,
Kelas IV b
otot-otot aksial, atau keduanya dengan derajat ringan. Penderita menggunakan
feeding tube tanpa dilakukan intubasi.

Kelas V Penderita ter-intubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik.

Untuk menilai tingkat respon terhadap terapi dan prognosis, Osserman membuat

klasifikasi klinis sebagai berikut :

 Kelompok I Miastenia Okular : hanya menyerang otot-otot okular, disertai ptosis dan

diplopia. Sangat ringan dan tidak ada kasus kematian

 Kelompok II A : Miastenia umum ringan : progres lambat, biasanya pada mata , lambat

laun menyebar ke otot-otot rangka dan bulbar. Sistem pernafasan tidak terkena, respon

terhadap terapi obat baik angka kematian rendah

 Kelompok II B : Miastenia umum sedang : progres bertahap dan sering disertai gejala-

gejala okular, lalau berlanjut semakin berat dengan terserangnya otot-otot rangka dan

bulbar. Respon terhadap terapi obat kurang memuaskan dan aktivitas pasien terbatas

 Kelompok III: Miastenia fulminan akut : progres yang cepat dengan kelemahan otot-otot

rangka dan bulbar yang berat disertai mulai terserangnya otot-otot pernafasan. Biasanya

penyakit berkembang maksimal dalam waktu 6 bulan. Dalam kelompok ini, persentase

thymoma paling tinggi. Respon terhadap obat bururk dan angka kematian tinggi.

 Kelompok IV : Miastenia Berat lanjut : timbul paling sedikit 2 tahun sesudah progress

gejala-gejala kelompok I atau II. Respon terhadap obat dan prognosis buruk.5

2.2.7 Diagnosis Miastenia Gravis

25
Pemeriksaan fisik yang cermat harus dilakukan untuk menegakkan diagnosis
suatu miastenia gravis.Kelemahan otot dapat muncul menghinggapi bagian proksimal
dari tubuh serta simetris di kedua anggota gerak kanan dan kiri. Walaupun dalam
berbagai derajat yang berbeda, biasanya refleks tendon masih ada dalam batas normal.
Miastenia gravis biasanya selalu disertai dengan adanya kelemahan pada otot
wajah. Kelemahan otot wajah bilateral akan menyebabkan timbulnya a mark-like face
dengan adanya ptosis dan senyum yang horizontal.
. Pada pemeriksaan fisik, terdapat kelemahan otot -otot palatum, yang
menyebabkan suara penderita seperti berada di hidung (nasal twang to the voice) serta
regurgitasi makanan terutama yang bersifat cair ke hidung penderita. Selain itu, penderita
miastenia gravis akan mengalami kesulitan dalam mengunyah serta menelan makanan,
sehingga dapat terja di aspirasi cairan yang menyebabkan penderita batuk dan tersedak
saat minum. Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi pada penderita dengan miastenia
gravis. Ditandai dengan kelemahan otot-otot rahang pada miastenia gravis yang
menyebakan penderita sulit untuk menutup mulutnya, sehingga dagu penderita harus
terus ditopang dengan tangan. Otot –otot leher juga mengalami kelemahan, sehingga
terjadi gangguan pada saat fleksi serta ekstensi dari leher.
Otot-otot anggota tubuh atas lebih sering mengalami kelemahan dibandingkan
otot –otot anggota tubuh bawah.Musculus deltoid serta fungsi ekstensi dari otot-otot
pergelangan tangan serta jari-jari tangan sering kali mengalami kelemahan.Otot trisep
lebih sering terpengaruh dibandingkan otot bisep.Pada ekstremitas bawah, sering kali
terjadi kelemahan melakukan dorsofleksi jari-jari kaki dibandingkan dengan melakukan
plantarfleksi jari – jari kaki dan saat melakukan fleksi panggul.
Hal yang paling membahayakan adalah kelemahan otot-otot pernapasan yang
dapat menyebabkan gagal napas akut, dimana hal ini merupakan suatu keadaan gawat
darurat dan tindakan intubasi cepat sangat diperlukan. Kelemahan otot-otot faring dapat
menyebabkan kolapsnya saluran napas atas dan kelemahan otot-otot interkostal serta
diafragma dapat menyebabkan retensi karbondioksida sehingga akan berakibat terjadinya
hipoventilasi. Sehinggga pengawasan yang ketat terhadap fungsi respirasi pada pasien
miastenia gravis fase akut sangat diperlukan.

26
Biasanya kelemahan otot- otot ekstraokular terjadi secara asimetris. Kelemahan
sering kali mempengaruhi lebih dari satu otot ekstraokular, dan tidak hanya terbatas pada
otot yang diinervasi oleh satu nervus kranialis. Kelemahan pada muskulus rektus lateralis
dan medialis akan menyebabkan terjadinya suatu pseudointernuclear ophthalmoplegia,
yang ditandai dengan terbatasnya kemampuan adduksi salah satu mata yang disertai
nistagmus pada mata yang melakukan abduksi.
Untuk memastikan diagnosis miastenia gravis, dapat dilakukan beberapa tes antara lain:
1. Tes Wartenberg
Penderita diminta untuk menatap tanpa berkedip kepada suatu benda yang
terletak diatas dan diantara bidang kedua mata untuk beberapa waktu lamanya.
Pada myasthenia gravis kelopak mata yang terkena akan menunjukkan ptosis.
2. Tes Prostigmin atau Tes Neostigmin
Prostigmin 0.5-1.0 mg dicampur dengan 0.1 mg atropine sulfas kemudian
disuntikkan kedalam pembuluh darah penderita (intramuskularis atau subcutan).
Test dianggap positif apabila gejala-gejala kelemahan menghilang dan tenaga
membaik. Prostigmin secara oral juga bisa diberikan sebagai dosis test. Efeknya
masih perlahan pada permulaan dan berakhir lebih dari 2 sampai 3 jam.
Raymon D. Adams, Maurice Victor dan Allan H. Ropper memberikan
penjelasan mengenai test neostigmin sebagai berikut : Neostigmin metilsulfat
disuntikkan ke dalam otot dengan dosis 1.5 mg. Atropin sulfat (0.8 mg) harus
diberikan beberapa menit terlebih dahulu untuk meniadakan efek muskarinik.
Neostigmin mungkin diberikan melalui pembuluh darah dengan dosis 5 mg, tapi
penambahan harus selalu diawali dengan atropine sulfat untuk menyingkirkan
bahaya dari ventricular fibrilitasi dan perhentian jantung. Kemajuan obyektif dan
subyektif terjadi dalam 10 sampai 15 menit, mencapai puncaknya pada 20 menit,
dan berakhir 2 atau 3 jam.
Test yang negatif, tidak meniadakan Myasthenia Gravis tapi ini adalah
poin yang kuat untuk mendiagnosa lagi. Percobaan neostigmin secara oral, 15 mg
setiap 4 jam selama sehari, kadang direkomendasikan pada kasus-kasus yang
meragukan, tapi cara ini juga belum teruji akurasinya.5
3. Tes Edrophonium Chloride (Tensilon)

27
. Test ini akan bermanfaat apabila pemeriksaan antibodi antireseptor
asetilkolin tidak dapat dikerjakan, atau hasil pemeriksaannya negatif, sementara
secara klinis masih tetap diduga adanya Myasthenia Gravis. Apabila tidak ada
efek samping sesudah test 1-2 mg intravena, maka disuntikkan lagi 5-8 mg
tensilon. Reaksi dianggap positif apabila ada perbaikan kekuatan otot yang jelas
(misalnya dalam waktu 1 menit), menghilangkan ptosis, lengan dapat
dipertahankan dalam posisi abduksi lebih lama, dan meningkatnya kapasitas vital.
Reaksi ini tidak akan berlangsung lebih lama dari 5 menit. Test ini dapat
dikombinasikan dengan pemeriksaan EMG.
4. Test Single Fiber Electromyography (EMG)
Serabut otot dirangsang dengan impul elektrik, bisa juga mendeteksi
gangguan syaraf ke transmisi otot. EMG mengukur potensi elektrik dari sel-sel
otot. Serat-serat otot pada MG dan juga pada penyakit neuromuskular lainnya,
tidak memberi respon yang baik pada rangsangan elektrik yang berulang-ulang
dibanding dengan otot-otot pada individu yang normal. Test ini memiliki
kesensitifan hingga 95 % secara sistem dan 84 % pada MG ocular, membuat test
ini menjadi yang paling sensitif untuk penyakit ini.
5. Tes darah
Test darah dilakukan untuk menentukan tingkatan serum dari beberapa
antibodi (seperti, AChR-pengikat antibodi, AChR-modulasi antibodi,
antitriasional antibodi). Tingkat yang tinggi dari antibodi-antibodi ini dapat
mengindikasikan MG. 80 % dari semua pasien dengan MG memiliki
peningkatan serum antibodi yang tidak normal. Tapi hasil test yang positif,
mungkin kurang disukai oleh pasien dengan MG ocular murni. Peluang untuk
menerima hasil test positif yang salah dari laboratorium yang ternama adalah
kecil, akan tetapi garis batas test-test harus diulang-ulang.
6. Computed Tomography Scan (CT Scan) atau Magnetic Resonance Imaging
(MRI)
Digunakan untuk mengidentifikasi kelenjar thymus yang tidak normal atau
keberadaan dari thymoma.
7. Pulmory Function Test (Test Fungsi Paru-Paru)

28
Test mengukur kekuatan pernafasan untuk memprediksikan apakah
pernafasan akan gagal dan membawa kepada krisis Myasthenia.
Untuk memastikan diagnosis miastenia gravis, dapat dilakukan pemeriksaan penunjang
antara lain:
1. Pemeriksaan laboratorium
a. Anti-asetilkolin reseptor antibodi
Hasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendiagnosis suatu
miastenia gravis, dimana terdapat hasil yang positif pada 74% pasien. 80% dari
penderita miastenia gravis generalisata dan 50% dari penderita dengan miastenia
okular murni menunjukkan hasil tes anti-asetilkolin reseptor antibodi yang positif.
Pada pasien thymoma tanpa miastenia gravis sering kali terjadi false positive anti-
AChR antibodi.
b. Antistriated muscle (anti-SM) antibodi
Merupakan salah satu tes yang penting pada penderita miastenia gravis.
Tes ini menunjukkan hasil positif pada sekitar 84% pasien yang menderita
thymoma dalam usia kurang dari 40 tahun. Pada pasien tanpa thymoma dengan
usia lebih dari 40 tahun, anti-SM Ab dapat menunjukkan hasil positif.
c. Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies.
Hampir 50% penderita miastenia gravis yang menunjukkan hasil anti-
AChR Ab negatif (miastenia gravis seronegarif), menunjukkan hasil yang positif
untuk anti-MuSK Ab.
d. Antistriational antibodies
Dalam serum beberapa pasien dengan miastenia gravis menunjukkan
adanya antibodi yang berikatan dalam pola cross-striational pada otot rangka dan
otot jantung penderita. Antibodi ini bereaksi dengan epitop pada reseptor protein
titin dan ryanodine (RyR). Antibodi ini selalu dikaitkan dengan pasien thymoma
dengan miastenia gravis pada usia muda. Terdeteksinya titin/RyR antibodi
merupakan suatu kecurigaaan yang kuat akan adanya thymoma pada pasien muda
dengan miastenia gravis.
2. Pemeriksaan Radiologi

29
Pemeriksaan Computed Tomography (CT-scan) dan Magnetic Resonance Imaging
(MRI) thoraks harus dilakukan pada semua pasien Myasthenia Gravis untuk
mendeteksi ada tidaknya timoma dapat diidentifikasi sebagai suatu massa pada bagian
anterior mediastinum.
2.2.8 Diagnosis Banding Miastenia Gravis
Beberapa diagnosis banding untuk menegakkan diagnosis miastenia gravis, antara lain:8
1. Adanya ptosis atau strabismus dapat juga disebabkan oleh lesi nervus III pada
beberapa penyakit selain miastenia gravis, antara lain :
a. Meningitis basalis (tuberkulosa atau luetika)
b. Infiltrasi karsinoma anaplastik dari nasofaring
c. Aneurisma di sirkulus arteriosus Willisii
d. Paralisis pasca difteri
e. Pseudoptosis pada trachoma
f. Apabila terdapat suatu diplopia yang transient maka kemungkinan adanya suatu
sklerosis multipleks.
g. Sindrom Eaton-Lambert (Lambert-Eaton Myasthenic Syndrome),
Penyakit ini dikarakteristikkan dengan adanya kelemahan dan
kelelahan pada otot anggota tubuh bagian proksimal dan disertai dengan
kelemahan relatif pada otot-otot ekstraokular dan bulbar. Pada LEMS, terjadi
peningkatan tenaga pada detik-detik awal suatu kontraksi volunter, terjadi
hiporefleksia, mulut kering, dan sering kali dihubungkan dengan suatu karsinoma
terutama oat cell carcinoma pada paru. EMG pada LEMS sangat berbeda dengan
EMG pada miastenia gravis. Defek pada transmisi neuromuscular terjadi pada
frekuensi renah (2Hz) tetapi akan terjadi ahmbatan stimulasi pada frekuensi yang
tinggi (40 Hz). Kelainan pada miastenia gravis terjadi pada membran postsinaptik
sedangkan kelainan pada LEMS terjadi pada membran pre sinaptik, dimana
pelepasan asetilkolin tidak berjalan dengan normal, sehingga jumlah asetilkolin
yang akhirnya sampai ke membran postdinaptik tidak mencukupi untuk
menimbulkan depolarisasi.
2.2.9 Penatalaksanaan Miastenia Gravis
1. Antikolinesterase

30
Dapat diberikan piridostigmin 30-120 mg per oral tiap 3 jam atau neotigmin bromide
15-45 mg per oral tiap 3 jam. Piridostigmin biasanya bereaksi secara lambat. Terapi
kombinasi tidak menunjukkan hasil yang menyolok. Pemberian antikolinesterase akan
sangat bermanfaat pada miastenia gravis golongan IIA dan IIB. Efek samping
pemberian antikolinesterase disebabkan oleh stimulasi parasimpatis,termasuk
konstriksi pupil, kolik, diare, salivasi berkebihan, berkeringat, lakrimasi, dan sekresi
bronkial berlebihan. Efek samping gastro intestinal (efek samping muskarinik) berupa
kram atau diare dapat diatasi dengan pemberian propantelin bromida atau atropin.
Penting sekali bagi pasien-pasien untuk menyadari bahwa gejala-gejala ini merupakan
tanda terlalu banyak obat yang diminum, sehingga dosis berikutnya harus dikurangi
untuk menghindari krisis kolinergik.
2. Steroid
Di antara preparat steroid, prednisolon paling sesuai untuk miastenia gravis, dan
diberikan sekali sehari secara selang-seling (alternate days) untuk menghindari efek
samping. Dosis awalnya harus kecil (10 mg) dan dinaikkan secara bertahap (5-10
mg/minggu) untuk menghindari eksaserbasi sebagaimana halnya apabila obat dimulai
dengan dosis tinggi. Peningkatan dosis sampai gejala-gejala terkontrol atau dosis
mencapai 120 mg secara selang-seling. Pada kasus yang berat, prednisolon dapat
diberikan dengan dosis awal yang tinggi, setiap hari, dengan memperhatikan efek
samping yang mungkin ada. Hal ini untuk dapat segera memperoleh perbaikan klinis.
Disarankan agar diberi tambahan preparat kalium. Apabila sudah ada perbaikan klinis
maka dosis diturunkan secara perlahan-lahan (5 mg/bulan) dengan tujuan
memperoleh dosis minimal yang efektif. Perubahan pemberian prednisolon secara
mendadak harus dihindari.
3. Azatioprin
Azatioprin merupakan suatu obat imunosupresif, juga memberikan hasil yang baik,
efek sampingnya sedikit jika dibandingkan dengan steroid dan terutama berupa
gangguan saluran cerna, peningkatan enzim hati, dan leukopenia. Obat ini diberikan
dengan dosis 2,5 mg/kg BB selama 8 minggu pertama. Setiap minggu harus
dilakukan pemeriksaan darah lengkap dan fungsi hati. Sesudah itu pemeriksaan

31
laboratorium dikerjakan setiap bulan sekali. Pemberian prednisolon bersama-sama
dengan azatioprin sangat dianjurkan.
4. Plasmaparesis
Tiap hari dilakukan penggantian plasma sebanyak 3-8 kali dengan dosis 50 ml/kg
BB. Cara ini akan memberikan perbaikan yang jelas dalam waktu singkat.
Plasmaferesis bila dikombinasikan dengan pemberian obat imusupresan akan sangat
bermanfaat bagi kasus yang berat. Namun demikian belum ada bukti yang jelas
bahwa terapi demikian ini dapat memberi hasil yang baik sehingga penderita mampu
hidup atau tinggal di rumah. Plasmaferesis mungkin efektif padakrisi miastenik
karena kemampuannya untuk membuang antibodi pada reseptor asetilkolin, tetapi
tidak bermanfaat pada penanganan kasus kronik.
5. Timektomi
Pada penderita tertentu perlu dilakukan timektomi. Perawatan pasca operasi dan
control jalan napas harus benar-benar diperhatikan.

BAB III

32
KESIMPULAN

Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu kelemahan

abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terus-menerus dan disertai

dengan kelelahan saat beraktivitas. Penyakit ini timbul karena adanya gangguan dari synaptic

transmission atau pada neuromuscular junction. Sebelum memahami tentang miastenia gravis,

pengetahuan tentang anatomi dan fungsi normal dari neuromuscular junction sangatlah penting.

Membran presinaptik (membran saraf), membran post sinaptik (membran otot), dan celah sinaps

merupakan bagian-bagian pembentuk neuromuscular junction. Penatalaksanaan miastenia gravis

dapat dilakukan dengan obat-obatan, thymomectomy ataupun dengan imunomodulasi dan

imunosupresif terapi yang dapat memberikan prognosis yang baik pada kesembuhan miastenia

gravis.

33

Anda mungkin juga menyukai