Anda di halaman 1dari 40

LAPORAN KASUS PRAKTIK KLINIK

INTELLECTUAL DISABILITY

Disusun Oleh :
Helsi Maya Annisa
NIM. P 27228018244

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Praktik Klinik

PROGRAM STUDI DIPLOMA IV OKUPASI TERAPI


JURUSAN OKUPASI TERAPI
POLITEKNIK KEMENTERIAN KESEHATAN SURAKARTA
TAHUN 2019
BAB I
LATAR BELAKANG

Mental retardasi (MR) merupakan salah satu gangguan dimana fungsi


intelektual dibawah normal yaitu dibawah 70, dimana seseorang biasanya mengalami
kesulitan gangguan perilaku adaptif sosial penderita tersebut memerlukan
pengawasan, perawatan, dan kontrol dari orang lain (Kartono, 2009). Kesulitan yang
biasa dialami oleh anak dengan kondisi mental retardasi yaitu sulit dalam hal
mengikuti hal yang rumit. Jika kerumitan terjadi pada keseharian anak, maka anak
akan kesulitan untuk melakukan kegiatan fungsionalnya dengan baik.
Saat ini, istilah mental retardasi, digantikan oleh disabilitas intelektual
(Intellectual Disability). Intellectual disability menurut (American Association on
Intellectual and Developmental Disabilities, 2019) adalah seseorang yang memiliki
keterbatasan dalam perilaku adaptif dan fungsi kognitf yang muncul pada usia
dibawah 18 tahun.
Menurut Sondakh sebagaimana dikutip oleh (Rahmanto, 2010) bahwa
“disabilitas intelektual merupakan masalah dengan implikasi yang besar terutama
dinegara berkembang dan diperkirakan 3% dari total populasi di dunia yang
mengalami disabilitas intelektual tetapi hanya 1-1,5 % yang terdata”. Di indonesia
prevalensi anak dengan disabilitas intelektual diperkirakan sekitar 12,15% (RI, 2010).
Lalu, menurut Susenas tahun 2012, penduduk Indonesia memiliki sekitar 2,45% dari
total penduduknya dan sebanyak 6,70% penduduk di Indonesia mengalami disabilitas
dalam hal mengingat/konsentrasi (Kementerian Kesehatan RI, 2014).
Menurut Sunardi dan Sunaryo sebagaimana dikutip oleh (Indriyani, 2014)
bahwa “Anak dengan kondisi disabilitas intelektual pada umumnya memiliki
kemampuan motorik yang lebih rendah dibandingkan anak normal sebayanya, hal ini
ditunjukkan dengan kurangnya kemampuan dalam aktivitas motorik untuk tugas yang
memerlukan ketepatan gerakan, mempelajari keterampilan manual dan dalam
melakukan reaksi gerak yang memerlukan koordinasi motorik dan keterampilan gerak
yang lebih kompleks”.
Perkembangan motorik merupakan perkembangan pengendalian gerakan
jasmaniah melalui kegiatan pusat syaraf, urat syaraf dan otot yang terkoordinasi
(Rikifa, 2011). Perkembangan motorik terbagi menjadi motorik halus dan motorik
kasar. Motorik halus berkaitan dengan gerakan yang menggunakan otot-otot halus,
sedangkan motorik kasar merupakan gerakan koordinasi otot-otot besar (Sukamti,
2011). Menurut Sumantri sebagaimana dikutip oleh (Ningsih, 2015), “Gerakan
motorik tidak terlalu membutuhkan tenaga, namun gerakan tersebut membutuhkan
koordinasi mata dan tangan yang cermat. Semakin baiknya gerakan motorik halus
anak membuat anak dapat berkreasi, seperti menggunting kertas, menggambar,
mewarnai dan menganyam”.
Okupasi terapi merupakan profesi kesehatan yang menangani kasus fisik,
psikososial dan anak. Memiliki prinsip client-centered dan bertujuan membantu klien
untuk kembali berpartisipasi dalam kegiatan sehari – hari, dalam bekerja atau
melakukan pemanfaatan waktu luang (WFOT, 2019). Pada kasus metal retardasi,
biasanya anak akan mengalami kesulitan dalam hal akademik seperti mempelajari hal
baru dan mengingat sebuah hal.
Okupasi terapi memberikan intervensi dimana hal tersebut bertujuan untuk
meningkatkan kemampuan seperti aktivitas kegiatan sehari – hari (AKS), edukasi,
kegiatan waktu luang dan kemampuan bersosialisasi dengan lingkungan dimana anak
berada (Bowyer & Cahill, 2009).
BAB II
KAJIAN TEORI

A. Pengertian Intellectual Disability


Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-V),
disabilitas intelektual adalah gangguan dengan onset selama periode perkembangan
yang mencakup defisit fungsi intelektual dalam Kemampuan konseptual, sosial, dan
praktis.
Keterbatasan ini menyebabkan proses belajar dan memahami pembelajaran
lebih lambat dibandingkan anak lainnya. Anak dengan disabilitas intelektual
mengalami kesulitan dalam berbicara, berjalan, dan melakukan aktivitas lainnya
seperti berpakaian, makan, dll. Mereka mampu belajar namun membutuhkan waktu
yang lama. Keadaan ini muncul sebelum usia 18 tahun.
Menurut International Stastistical Classification of Diseases and Related
Health Problem (ICD-10) (2017), disabilitas intelektual adalah suatu keadaan
perkembangan mental yang terhenti atau tidak lengkap, yang terutama ditandai oleh
adanya keterbatasan (impairment) keterampilan (kecakapan, skills) selama masa
perkembangan, sehingga berpengaruh pada semua tingkat inteligensia yaitu
kemampuan kognitif, bahasa, motorik dan sosial. Disabilitas intelektual dapat terjadi
dengan atau tanpa gangguan jiwa atau gangguan fisik lainnya.
Anak dengan disabilitas intelektual bermasalah dalam memperoleh dan
memproses informasi yang baru, belajar dengan cepat dan efisien, menerapkan
pengetahuan dan kemampuan untuk memecahkan masalah, berpikir kreatif, dan
fleksibel, serta merespon dengan cepat dan akurat.
Anak dengan disabilitas intelektual biasanya mengalami gangguan belajar,
memori jangka pendek, formasi konsep dan pemecahan masalah. Beberapa
mengalami masalah pada kesadaran spasial seperti berpakaian,serta gangguan
kemampuan bahasa dapat menyebabkan masalah dalam interaksi sosial dan erat
kaitannya dengan gangguan perilaku.
B. Etiologi Intellectual Disability
Terjadinya keterbatasan intelektual tidak dapat dipisahkan dari tumbuh
kembang seorang anak. Faktor penentu tumbuh kembang anak pada garis besarnya
adalah faktor genetik yang menentukan sifat bawaan anak tersebut dan faktor
lingkungan. Yang dimaksud dengan lingkungan pada anak dalam konteks tumbuh
kembang adalah suasana dimana anak tersebut berada. Dalam hal ini, lingkungan
berfungsi sebagai penyedia kebutuhan dasar anak untuk berkembang. Etiologi
keterbatasan intelektual dapat terjadi mulai fase prenatal, perinatal, dan postnatal
((Daily, Ardinger & Holmes dalam Journal of Sport and Health Research, 2009).
1. Prenatal
Anak dengan keterbatasan intelektual dapat terjadi pada masa kehamilan ibu
(prenatal), seperti usia ibu yang terlalu tua saat sedang hamil (lebih dari 35 tahun),
terkena paparan racun dari lingkungan, konsumsi alkohol/obat-obatan selama
kehamilan, latar belakang genetik/kelainan genetik keluarga, ibu terkena
infeksi/penyakit (contoh: TORCH), dan malnutrisi saat ibu sedang dalam masa
kehamilan. Beberapa syndrome penyebab disabilitas intelektual yaitu Down
syndrome, william syndrome, fragile x syndrome, angelman syndrome.
2. Perinatal
Penyebab disabilitas intelektual selama proses persalinan yaitu bayi terkena
infeksi jalan lahir, terjadi komplikasi saat proses kelahiran, bayi mengalami kejang
saat lahir, bayi kekurangan oksigen di otak, sehingga jaringan otak rusak, berat badan
lahir rendah (kurang dari 2500 gram), dan faktor ketidakcocokan Rh ibu. 15-20% dari
anak keterbatasan intelektual disebabkan karena prematuritas.
3. Postnatal
Setelah masa persalinan, seperti terjadi infeksi pada selaput otak atau pada
jaringan otak, kejang yang disebabkan karena suhu tubuh yang tinggi dan trauma otak
pada anak yang pernah jatuh atau mengalami kecelakaan. Penyebabnya dapat
disimpulkan yaitu Infeksi (meningitis, ensefalitis), trauma brain injury, kejang lama,
intoksikasi (keracunan).
4. Infeksi
Terpapar penyakit dan racun berbahaya, seperti campak atau meningitis dapat
menyebabkan keterbatasan intelektual apabila pengobatannya terlambat. Terpapar
racun, seperti timah dan merkuri juga dapat menyebabkan keterbatasan intelektual.
C. Prevalensi Intellectual Disability
Diperkirakan terdapat 3% dari total populasi di dunia yang mengalami
Disabilitas intelektual (ID), tetapi hanya 1-1,5% yang terdata. World Health
Organization (WHO) memperkirakan jumlah anak ID di Indonesia sekitar 7-10% dari
total jumlah anak. Pada tahun 2003 jumlah anak ID 679.048 atau 21,42%, dengan
perbandingan laki-laki 60% dan perempuan 40%. Dengan kategori ID sangat berat
(Idiot) 25%, kategori berat 2,8%, ID cukup berat (Imbisil debil profound) 2,6%, dan
ID ringan 3,5% (Kemenkes RI , 2010).
Menurut data Badan Pusat Statistik Nasional tahun 2007, terdapat 8,3 juta jiwa
anak dengan disabilitas dari total populasi anak di Indonesia (82.840.600 jiwa anak),
atau sekitar 10%. Di Indonesia 1-3% anak mengalami gangguan Disabilitas
intelektual. Berdasarkan pendataan program perlindungan sosial (PPLS) tahun 2011
terdapat 130.572 anak merupakan penyandang disabilitas dari keluarga miskin,
termasuk diantaranya merupakan Disabilitas intelektual sebanyak 30.406 anak. Di
Indonesia diperkirakan prevalensi keterbatasan intelektual sebesar 12,15% (Kemenkes
RI, 2010).
D. Diagnosis Intellectual Disability
Kriteria diagnostik disabilitas intelektual menurut DSM-5 (2013) adalah:
a. Defisit dalam fungsi intelektual, seperti penalaran, pemecahan masalah,
perencanaan, pemikiran abstrak, penilaian, pembelajaran akademik dan belajar
dari pengalaman, dikonfirmasi oleh kedua penilaian klinis dan individual,
pengujian standar kecerdasan.
b. Defisit dalam fungsi adaptif yang mengakibatkan kegagalan untuk memenuhi
standar perkembangan dan sosial budaya untuk independen dan tanggung jawab
sosial. Tanpa dukungan berkelanjutan, batas fungsi defisit adaptif dalam satu
atau lebih kegiatan kehidupan sehari-hari, seperti komunikasi, partisipasi sosial,
dan hidup mandiri, di beberapa lingkungan, seperti rumah, sekolah, kerja dan
masyarakat.
c. Onset defisit intelektual dan adaptif selama periode perkembangan yaitu
dibawah 18 tahun.
E. Klasifikasi Intellectual Disability
Menurut ICD-10 (2017), klasifikasi anak dengan Disabilitas Intelektual dibagi
menjadi 4 yaitu:
1. Mild dengan IQ 50-55 s/d 70 (educable)
2. Moderate dengan IQ 35-40 s/d 50-55 (trainable)
3. Severe dengan IQ 20-25 s/d 35-40
4. Profound dengan IQ <20-25
Menurut DSM-5 (APA, 2013) tingkat keparahan gangguan
perkembangan intelektual bervariasi dari mild, moderate, severe dan
profound, berikut penjelasannya:
a. Ringan atau Mild (educable)
1) Kemampuan Konseptual
Untuk anak-anak pra-sekolah mungkin tidak terlihat
adanya perbedaan konsep yang nyata. Untuk anak usia sekolah
dan orang dewasa, mereka akan mengalami kesulitan dalam
pembelajaran akademik seperti membaca, menulis, matematika,
waktu, uang, dimana mereka memerlukan dukungan pada satu
atau lebih area sehingga dapat berkembang sesuai dengan
usianya. Pada orang dewasa mereka mengalami kegagalan
dalam berpikir abstrak, fungsi eksekutif seperti (merencanakan,
menyusun strategi, prioritas dan fleksibilitas kognitif) dan
ingatan jangka pendek, serta penggunaan fungsional dari
kemampuan-kemampuan akademik (seperti membaca dan
pengaturan uang). Dimana pendekatan dan pemecahan masalah
yang dilakukan harus konkrit.
2) Kemampuan Sosial
Dibandingkan dengan teman seusianya, individu
tersebut tidak matang dalam interaksi sosial. Contohnya
terdapat kesulitan dalam mempersepsi dan melihat teman
sosialnya. Komunikasi, percakapan dan bahasa yang digunakan
lebih konkrit atau tidak matang dibandingkan dengan usianya.
Kemungkinan juga ada kesulitan dalam pengaturan emosi dan
perilaku yang sesuai. Kesulitan tersebut terlihat dari interaksi
dengan teman seusianya pada situasi sosial. Terdapat
pemahaman yang terbatas pada resiko dalam situasi sosial,
penilaian sosial yang tidak dewasa dan orang tersebut beresiko
dimanipulasi oleh orang lain.
3) Kemampuan Praktis
Individu yang berkembang sesuai dengan usianya,
mungkin memiliki kepedulian dalam hal merawat diri. Untuk
individu yang mengalami gangguan perkembangan intelektual,
mereka memerlukan beberapa bantuan untuk melaksanakan
tugas sehari-hari yang rumit jika dibandingkan dengan anak
seusianya. Pada orang dewasa dukungan biasanya melibatkan
proses belanja, transportasi, pengaturan rumah dan perawatan
anak, penyiapan makanan bergizi, proses transaksi di bank dan
pengaturan uang.
Kemampuan rekreasi hampir mirip dengan teman
seusianya, walaupun proses penilaian berhubungan dengan
kesehatan mental dan fisik sesudah pengaturan rekreasi
memerlukan bantuan. Pada orang dewasa, persaingan dalam
pekerjaan sering terlihat pada tugas-tugas yang tidak
menekankan pada kemampuan konseptual. Secara umum
mereka memerlukan bantuan untuk membuat keputusan
berkaitan dengan kesehatan dan masalah hukum dan juga
belajar keterampilan bekerja. Bantuan juga diperlukan oleh
mereka untuk membentuk keluarga.
b. Sedang atau Moderate (trainable)
1) Kemampuan Konseptual
Semua melalui pengembangan, keterampilan konseptual
individu ketinggalan secara nyata. Untuk anak-anak prasekolah,
bahasa dan keterampilan pra-akademik berkembang dengan
lambat. Untuk anak usia sekolah, kemajuan dalam membaca,
menulis, matematika dan pemahaman tentang waktu dan uang
terjadi secara lambat di tahun-tahun sekolah dan secara nyata
terbatas dibandingkan dengan anak normal lain seusianya.
Untuk orang dewasa, pengembangan keterampilan akademik
biasanya pada tingkat dasar dan memerlukan bantuan untuk
penggunaan semua keterampilan akademik dalam pekerjaan dan
kehidupan pribadi. Bantuan yang diberikan berlangsung secara
terus menerus diperlukan untuk menyelesaikan tugas-tugas
konseptual kehidupan sehari-hari. Dan kemungkinan dalam hal
lain seseorang dapat mengambil alih tanggung jawab ini
sepenuhnya.
2) Kemampuan Sosial
Individu menunjukkan perbedaan yang nyata dari
teman-temannya dalam perilaku sosial dan perilaku komunikasi
di seluruh perkembangan. Bahasa lisan biasanya digunakan
sebagai alat utama untuk komunikasi sosial, tetapi jauh lebih
kurang kompleks dibandingkan dengan teman-temannya.
Kapasitas dalam hubungan yang jelas terjadi dengan keluarga
dan teman-teman, dan individu mungkin memiliki persahabatan
yang baik dalam kehidupan serta kadang-kadang hubungan
yang romantis di masa dewasa. Mungkin mereka tidak melihat
atau menafsirkan isyarat sosial secara akurat.
Penilaian sosial dan kemampuan pengambilan
keputusan terbatas, dan pengasuh harus membantu individu
untuk mengambil keputusan hidup. Persahabatan dengan rekan-
rekan yang berkembang biasanya sering dipengaruhi oleh
komunikasi atau keterbatasan sosial. Dukungan sosial dan
komunikatif yang signifikan diperlukan dalam pengaturan kerja
untuk sukses.
3) Kemampuan Praktis
Individu dapat merawat kebutuhan pribadi yang
melibatkan makan, berpakaian, eliminasi dan kebersihan
sebagai orang dewasa, meskipun jangka pengajaran dan waktu
yang diperlukan bagi individu untuk menjadi mandiri di
wilayah ini, dan pengingat mungkin diperlukan. Demikian pula,
partisipasi dalam semua tugas rumah tangga dapat dicapai
dengan dewasa, meskipun periode pembelajaran yang panjang
diperlukan dan dukungan yang berkelanjutan biasanya akan
terjadi untuk kinerja tingkat dewasa.
Bekerja sendiri dalam pekerjaan yang membutuhkan
keterampilan konseptual dan komunikasi yang terbatas dapat
dicapai, tetapi dukungan dari rekan kerja, supervisor, dan lain-
lain yang dibutuhkan untuk mengelola harapan sosial,
kompleksitas pekerjaan, dan tanggung jawab tambahan seperti
penjadwalan, transportasi, tunjangan kesehatandan pengelolaan
uang. Berbagai keterampilan rekreasi dapat dikembangkan. Ini
biasanya memerlukan dukungan tambahan dan kesempatan
belajar selama jangka waktu tertentu. Perilaku maladaptif hadir
dalam minoritas yang signifikan dan menyebabkan masalah-
masalah sosial.
c. Parah atau Severe
1) Kemampuan Konseptual
Pencapaian keterampilan konseptual terbatas. Individu
umumnya memiliki sedikit pemahaman bahasa tertulis atau
konsep yang melibatkan angka, jumlah, waktu, dan uang.
Pengasuh memberikan dukungan yang luas untuk memecahkan
masalah sepanjang hidup.
2) Kemampuan Sosial
Bahasa lisan sangat terbatas dalam hal kosakata dan tata
bahasa. Ucapan mungkin kata-kata tunggal atau frase dan dapat
dilengkapi melalui cara-cara augmentatif. Ucapan dan
komunikasi yang difokuskan di sini dan sekarang (here and
now) dalam peristiwa sehari-hari. Bahasa lebih digunakan untuk
komunikasi sosial daripada penjelasan. Individu memahami
ucapan sederhana dan komunikasi nonverbal atau sikap tubuh.
Hubungan dengan anggota keluarga dan orang lain yang sudah
akrab adalah sumber kesenangan dan pertolongan bagi mereka.
3) Kemampuan Praktis
Individu membutuhkan dukungan untuk semua aktivitas
hidup sehari-hari, termasuk makan, berpakaian, mandi, dan
eliminasi. Individu membutuhkan pengawasan setiap saat.
Individu tidak dapat membuat keputusan yang bertanggung
jawab tentang kesejahteraan diri sendiri atau orang lain. Pada
usia dewasa, partisipasi dalam tugas-tugas di rumah, rekreasi,
dan bekerja membutuhkan dukungan yang berkelanjutan dan
bantuan. Akuisisi keterampilan di semua Kemampuan
melibatkan pengajaran jangka panjang dan dukungan yang
berkelanjutan. Perilaku maladaptif, termasuk self-injury, hadir
dalam minoritas yang signifikan.
d. Sangat Parah atau Profound
1) Kemampuan Konseptual
Keterampilan konseptual umumnya melibatkan dunia
fisik daripada proses simbolis. Individu dapat menggunakan
benda-benda dengan gaya yang diarahkan pada tujuan untuk
perawatan diri, bekerja, dan rekreasi. Keterampilan visuospatial
tertentu, seperti pencocokan dan menyortir berdasarkan
karakteristik fisik, dapat diperoleh. Namun, gangguan motorik
dan sensorik yang terjadi dapat menghambat penggunaan
fungsional objek.
2) Kemampuan Sosial
Individu memiliki pemahaman yang sangat terbatas
pada komunikasi simbolik dalam berbicara atau gerakan.
Individu mengekspresikan keinginan dan emosi sendiri
terutama melalui nonverbal, komunikasi non simbolik. Individu
menikmati hubungan dengan anggota keluarga yang dikenal,
pengasuh, dan orang lain yang akrab, dan calon anggota dan
merespon interaksi sosial melalui isyarat sikap tubuh dan
emosional. Gangguan sensorik dan fisik yang mengikuti dapat
mencegah berbagai kegiatan sosial.
3) Kemampuan Praktis
Individu tergantung pada orang lain untuk semua aspek
perawatan harian fisik, kesehatan dan keselamatan, meskipun ia
mungkin dapat berpartisipasi dalam beberapa kegiatan ini juga.
Individu tanpa gangguan fisik yang berat dapat membantu
dengan beberapa tugas pekerjaan sehari-hari di rumah, seperti
membawa piring ke meja. Tindakan sederhana dengan benda-
benda dapat menjadi dasar dari partisipasi dalam beberapa
kegiatan kejuruan dengan tingkat tinggi dukungan yang
berkelanjutan. Kegiatan rekreasi mungkin ikut terlibat,
misalnya, kenikmatan dalam mendengarkan musik, menonton
film, pergi keluar untuk jalan-jalan, atau berpartisipasi dalam
kegiatan air, semua dengan dukungan dari orang lain.
Gangguan fisik dan sensorik yang mengikuti sering menjadi
penghalang bagi partisipasi (di luar menonton) di rumah,
rekreasi, dan kegiatan kejuruan yang lain. Perilaku maladaptif
hadir dalam minoritas yang signifikan.
F. Prognosis Intellectual Disability
Menurut Quick Reference to Occupational Therapy (2001), prognosis bagi setiap
orang sangat bervariasi, hal itu tergantung pada tingkat keparahan dari Disabilitas
intelektual dan respon terhadap intervensi. Hasil yang tercantum di bawah ini sebagai
contoh dan tidak selalu berlaku untuk semua individu, namun tergantung pada
intervensi yang dijalankan. Berikut kemampuan yang dapat dimiliki individu dengan
prognosis yang baik :
1. Memiliki keterampilan perawatan diri yang meningkat, seperti makan
2. Menunjukkan kemampuan untuk melakukan kegiatan produktif
3. Menunjukkan kemampuan untuk melakukan kegiatan waktu luang
4. Menunjukkan peningkatan tertentu dalam keterampilan motorik
5. Menunjukkan peningkatan pada keterampilan integratif sensorik
6. Memiliki keterampilan
7. Dapat berfungsi dalam pengaturan kelompok, melakukan tugas individu atau
berpartisipasi sebagai anggota kelompok.
G. Performa pada Area Okupasi
Setelah mengetahui hasil skor pada tes IQ, okupasi terapis akan mengkaji
untuk performa sesuai dengan kategori disabilitas intelektual diatas. Pada kasus
disabilitas intelektual, anak mampu untuk mempelajari hal baru namun mereka
mempelajari hal baru dengan cukup lambat (Solomon & O’Brien, 2011). Beberapa
performa dari kemampuan dasar yang terhambat pada anak dengan kondisi disabilitas
intelektual, diadaptasi dari (Bowyer & Cahill, 2009) adalah sebagai berikut :
1. Process skills, terdapat beberapa bagian yaitu :
a. Energi
b. Pengetahuan
c. Temporal organization
d. Organization of space and object
e. Adaptasi
2. Motor skills, pada kemampuan motorik hal yang paling terlihat jelas
dimana anak memiliki gangguan yaitu pada koordinasi.
3. Communication and interaction skills, memiliki beberapa bagian yaitu :
a. Physicality
b. Information exchange
c. Relations
H. Sensori Integrasi
Sensori integrasi merupakan proses alamiah yang terjadi pada setiap individu.
Individu menerima setiap input yang ada, lalu otak akan memprogram atau mengatur
informasi sensori yang telah didapat menjadi sesuatu yang berarti dan sehingga kita
memberikan respon terhadap masukkan tersebut (Yack, Sutton, & Aquilla, 1998).
Menurut Ayres yang dikutip oleh (Simpson, 2013) menjelaskan bahwa sensori
integrasi merupakan teori dari perilaku otak dalam bekerja. Terdapat beberapa
kemampuan / ketidakmampuan yang dimiliki oleh seseorang yang memiliki gangguan
proses sensori (sensory processing disorder). Seperti yang dijabarkan oleh (Isbell &
Isbell, 2007) sensory processing disorder adalah kesulitan untuk seseorang dalam
menggunakan atau memproses informasi yang telah didapatkan melalui panca indera
mereka.
Sensori berkembang dimulai dari sensori – sensori dasar. Berikut merupakan
segitiga sensori yang diadaptasi dari (Yack, Sutton, & Aquilla, 1998) berdasarkan
teori sensori integrasi oleh A. Jean Ayres, Ph. D, OTR :

Sistem sensori dasar pada piramida diatas merupakan fondasi awal seseorang
untuk berkembang dengan baik. Menurut Ayres yang dikutip dari (BAC Cree, 2014),
teori sensori integrasi dikembangkan berdasarkan prinsip dari neurosains, biologi,
psikologi dan edukasi yang dan didapatkan hipotesis bahwa anak dengan gangguan
belajar terlihat memiliki kesulitan dalam memproses dan menintegrasikan informasi
sensori yang berakibat pada perilaku dan kemampuan belajarnya.
Ayres (1989) mendefinisikan sensori integrasi sebagai proses neurologis yang
mengatur sensasi pada tubuh seseorang dan dari lingkungan yang memungkinkan
penggunakan tubuh secara efisien dalam lingkungan. Ada tujuh postulat teoritis dasar
yang membentuk dasar dari pendekatan sensori integraasi, yaitu:

1. Informasi sensori memberikan pondasi penting untuk pembelajaran dan perilaku.


2. Sensori integrasi adalah suatu proses perkembangan.
3. Keberhasilan integrasi dan organisasiinformasi sensoriakan dikembangkan lebih
lanjut oleh respon adaptif.
4. Just right challenge menyediakan atmosfir untuk terjadinya sensori integrasi.
5. Anak memiliki dorongan untuk mencari pengalaman yang berarti dari lingkungan
mereka.
6. Sebagai hasil dari neuroplastisitas, memperkaya pengalaman akan mempengaruhi
perubahan dalam sistem saraf.
7. Sensori integrasi merupakan pondasi dari keterkaitan fisik dan sosial dalam
partisipasi rutinitas atau kegiatan sehari-hari.

Sistem sensori yang berfungsi dengan baik akan berkontribusi hasil penting
dalam komunikasi, perawatan diri, kognitif, dan kemampuan adaptif pengembangan
dan pemeliharaan sosial-emosional, fisik dan motorik. Kerusakan pada sensori
integrasi dapat menimbulkan tantangan dalam melakukan aktivitas sehari-hari,
selain dari proses perkembangan, belajar, bermain, bekerja, bersosialisasi, dan
menunjukkan perilaku yang sesuai (Schaff & Smith Roley, 2006).
Berdasarkan prinsip – prinsip teori neorusains, psikologi perkembangan,
okupais terapi dan edukasi (BAC Cree, 2014) menyimpulkan sebagai berikut :

a. Perkembangan sensori motor merupakan salah satu substansi penting untuk


pembelajaran
b. Interaksi antara individu dengan lingkungan yang mampu membentuk
perkembangan otak
c. Sistem saraf mampu untuk melakukan pergantian (plastisitas)
d. Aktivitas bertujuan menggunakan prinsip sensori merupakan mediator
terbanyak dalam peningkatan plastisitas otak.

Dalam melakukan penatalaksanaan okupasi terapi menggunakan pendekatan


sensori integrasi, menurut (Schaaf & Miller, 2005) terapis harus memperhatikan
key principle, antara lain :

a. Just Right Challenge


Prinsip ini dilakukan menggunakan aktivitas permainan yang memiliki
tantangan. Aktivitas yang dilakukan tidak bergabung dengan tantangan yang
dilakukan, sehingga anak selalu berhasil ketika melakukan kegiatan.
b. The adaptive response
Bersamaan dengan just right challenge yang dilakukan, anak akan
beradaptasi dengan pola perilaku baru dengan strategi baru dan bertujuan
untuk meningkatkan perkembangan kemampuan lain kedepannya.
c. Active engagement
Terapis mendesain aktivitas yang menantang namun terasa seperti
bermain dan diperbanyak dengan aktivitas sensori agar anak ikut
berpartisipasi pada permainan yang dibuat. Metode dari permainan yang
dilakukan tidak bergabung dengan kemampuan baru dan tingkat lanjut yang
dapat meningkatkan kemampuan dan proses anak dalam bernyanyi atau
berakting.
d. Child directed
Terapis harus konsisten dalam melakukan observasi perilaku anak dan
membaca behavioral cues lalu mengikuti arahan atau sugesti yang diberikan
anak. terapis menggunakan isyarat anak untuk mengajak anak melakukan
kegiatan yang kaya dengan stimulus sensori.
I. Behavior Therapy
Behaviour Therapy merupakan prosedur klinis berdasarkan penemuan
eksperimen psikologikal. Berdasarkan pembelajaran yang sistematis (tujuan treatment
yang diberikan harus spesifik, terukur, dapat dicapai, fokus dengan hasil, dan tepat
waktu). Behaviour therapy memfokuskan masalah saat ini untuk membantu
perubahan maladaptive behavior ke adaptive behavior.
Terapi berbasis edukasional yang mengajarkaan kemampuan self-
management. Behaviour therapy memiliki empat aspek :
1. Classical Conditioning ,pada aspek ini menuntut beberapa behaviour
(tingkah laku), seperti menyentakan lutut dan salivation, yang didapat
pada organism yang pasif.
2. Operant Conditioning, fokus pada aksi yang menjalankannya pada
lingkungan untuk menghasilkan konsekuensi. Jika lingkungan
membawa perubahan mengenai penguatan suatu tingkah laku maka
perubahan itu akan memperkuat tingkah laku itu untuk dapat muncul
kembali. Sedangkan jika perubahan lingkungan tidak menghasilkan
penguatan, maka perubahan tersebut akan mengurangi tingkah laku
akan timbul kembali.
3. Social Learning Approach, memberikan tonjolan pada interaksi timbal
balik antara tingkah laku seorang individu dan lingkungan.
4. Cognitive Behaviour Therapy, menekankan proses kognitif dan
kejadian pribadi ( seperti pembicaraan pribadi) sebagai mediator pada
perubahan behaviour.
Pada behaviour therapy terdapat dua proses utama, yaitu :
1. Reinforcement
Muncul ketika respon diperkuat oleh sebuah hasil. Terdapat dua
tipe reinforcement, yaitu:
a. Positive Reinforcement, muncul ketika behaviour diperkuat
oleh penghargaan positif. Contohnya adalah seorang anak yang
berperilaku baik saat di toko perbelanjaan seperti selalu
memegang tangan ibunya dan tidak mengusik barang-barang di
toko. Sebagai bentuk penghargaan perbuatan baik tersebut
maka anak tersebut diberikan cokelat.
b. Negative Reinforcement muncul ketika behaviour diperkuat
dengan menghapuskan stimulus negatif. Contohnya, melakukan
latihan relaksasi ketika terjadi tekanan. Latihan relaksasi
(sebagai respon) menguatkan behaviour ini sebagai tekanan
(stimulus yang bertentangan) yang telah dihapuskan.
2. Punishment
Ketika respon terhadap behaviour menurun memungkinkan
pengulangan terjadinya behaviour tersebut. Menurut Weiten (2007)
terdapat dua tipe punishment, yaitu :
a. Positive punishment, muncul ketika tantangan respon pada
behaviour digunakan dan behaviour tersebut mulai berkurang.
Contohnya, seorang anak diberikan tugas ketika ia melakukan
sesuatu yang buruk atau nakal. Tugas tersebut diberikan agar
mengurangi terjadinya perilaku buruk tersebut lagi.
b. Negative punishment, muncul ketika sesuatu diambil dan
menurunkan kemungkinan terjadinya kembali behaviour
tersebut. Contohnya, seseorang gagal untuk mengamankan
sepeda dan berakhir pada pencurian. Hal ini akan menurunkan
kemungkinan seseorang tersebut meninggalkan barangnya
secara ceroboh.
Teknik yang digunakan pada pendekatan ini yaitu :
a. Rehersal, anak diajarkan untuk "berbicara melalui" perilaku atau
keterampilan baru. Kemudian dipraktikkan sampai menjadi
keterampilan habitual. Sebagai contoh seorang siswa yang mengalami
kesulitan mendisiplinkan dirinya untuk dapat fokus dalam belajar, dan
menyelesaikan tugas-tugas sekolah. Akibatnya, ia gagal di sekolah.
Tujuan terapi okupasi untuk mahasiswa ini adalah untuk membantu
anak mengembangkan kedisiplinan diri atau kontrol diri yang
diperlukan untuk fokus selama 2 jam setiap malamnya pada studinya
dan tugas sekolah. Untuk membantu dia mencapai tujuan ini, terapis
memberikan imbalan pada awalnya untuk duduk dan membaca dengan
durasi 10 menit, kemudian memberikan penghargaan kepadanya hanya
ketika anak mampu baca terus menerus selama 20 menit. Maka untuk
satu jam setengah melihat ke catatan, dan kemudian selama 1 jam
melihat catatan, dan akhirnya selama 2 jam sambil mencatat, dengan
10 menit istirahat setelah 1 jam. Setiap perilaku lebih mendekati
sasaran untuk dapat berkonsentrasi pada studi dan tugas selama 2 jam
nya dan meningkatkan upaya ke arah target perilaku yang diperlukan
dalam rangka untuk menerima penguatan yang sama.
b. Shaping, perilaku yang lebih dan lebih mendekati perilaku atau
keterampilan yang menjadi sasaran yang diperkuat secara terus-
menerus dan dapat dikuasai sampai perilaku/ keterampilan sasaran
tercapai.
c. Chaining, mirip dengan shaping yang membentuk dalam banyak hal.
Dalam pendekatan terapi perilaku ini, tugas yang diajarkan progresif,
dimana masing-masing komponen menjadi stimulus.
Teknik ini tidak hanya efektif untuk anak-anak dan orang dewasa
dengan keterbatasan kemampuan kognitif tetapi juga digunakan dalam
pendidikan pada umumnya. Misalnya, saat pertama kali belajar
membaca dan menulis. Pertama anak diajarkan cara membaca dan
menulis huruf alfabet. Setelah keterampilan dikuasai, anak akan
diajarkan bagaimana membedakan vokal lalu bagaimana untuk
menggabungkan mereka dengan surat-surat lainnya dari alfabet untuk
membuat suara dasar. Maka mereka belajar bagaimana
menggabungkan suara mereka untuk membuat kata, kemudian kalimat,
dan akhirnya anak mampu menulis paragraf pada seluruh halaman.
Pendekatan ini disebut sebagai forward chaining. Belajar dimulai
dengan keterampilan sederhana kemudian digabungkan untuk
membentuk keterampilan yang lebih kompleks mengarah ke operasi
kompleks.
d. Backward chaining juga dapat digunakan dan sangat efektif untuk
anak yang memiliki keterbatasan keterampilan kognitif sehingga
mereka tidak bisa membayangkan hasil secara lengkap. Untuk klien
tersebut dimulai dengan langkah terakhir (yang memberikan mereka
gambaran visual dari hasil akhir) yang bertindak sebagai penguat,
membuat klien ingin belajar bagaimana untuk menyelesaikannya.
e. Modelling, ini menjadi jenis teknik yang terjadi melalui pengamatan
orang lain yang terlibat dalam perilaku yang diinginkan dan
konsekuensi yang dihasilkan dari perilaku mereka. Sebagai contoh,
terapis dapat menunjukkan bagaimana berperilaku dalam sebuah
wawancara untuk melamar pekerjaan dalam sebuah role play. Klien
kemudian meniru perilaku terapis melalui role play yang serupa, dan
feedback akan diberikan mengenai efektivitas perilaku. Dalam hal ini,
terapis menggunakan role play untuk model perilaku yang klien akan
tiru. Cara lain untuk mengajarkan hal ini dapat melalui menonton
video wawancara kerja yang baik dan benar.
Terdapat satu teknik lagi dalam behaviour therapy yaitu prompt.
Prompt didefinisikan oleh behavioris terkenal di dunia, Lynn
McClannahan dan Patricia Krantz dari Princeton Child Development
Institute sebagai: “Instruksi, gerak tubuh, demonstrasi yang
dilakukan untuk meningkatkan respon yang benar terhadap sebuah
perilaku yang diajarkan.” Setelah seseorang memberikan respon
dengan benar, kemudian diberikan positive reinforcerment. Prompt
diartikan juga sebagai isyarat atau petunjuk untuk mendorong
seseorang untuk melakukan perilaku yang diinginkan (Deskin, 2013).
Aturan dalam memberikan prompt, yaitu (1) Tentukan
sasaran perilaku, (2) Identifikasi petunjuk yang sesuai, (3) Pilih prompt
yang tepat bagi seseorang yang ingin diintervensi. Dalam penelitian ini,
penulis menggunakan dua prompt terhadap intervensi okupasi terapi
dalam aktivitas prevokasional membuat roti bakar yaitu prompt gesture
dan prompt verbal.
a. Prompt Fisik
Bimbingan fisik diberikan dalam berbagai derajat untuk
membantu anak menyelesaikan tindakan. Prompt fisik dapat
digunakan, misalnya untuk membantu anak makan atau aktivitas
fungsional lainnya dan dapat bervariasi dari full prompt fisik
sampai sedikit prompt fisik.
b. Prompt Gesture

Jenis prompt yang menggunakan isyarat untuk


menunjukkan suatu tindakan. Sebuah prompt gesture harus meniru
gerakan yang diperlukan, misalnya menunjuk ke bola dan
kemudian menunjuk ke orang kepada siapa itu harus diberikan dan
untuk menjadi efektif harus digunakan bersama-sama
dengan prompt verbal.
c. Prompt Verbal
Prompt verbal adalah pengingat untuk melakukan sesuatu
yang meliputi informasi yang relevan, namun tetap ringkas.
Prompt verbal identik dengan frase yang tepat yang digunakan
dalam program pengajaran, misalnya “Berikan bola untuk
Tom!”.
J. Okupasi Terapi
Menurut Peraturan Kesehatan Republik Indonesia Nomor 76 tahun 2014,
okupasi terapi adalah bentuk pelayanan kesehatan kepada klien dengan
kelainan/kecacatan fisik dan/atau mental yang mempunyai gangguan pada kinerja
okupasional, dengan menggunakan aktivitas bermakna (okupasi) untuk
mengoptimalkan kemandirian individu pada area aktivitas kehidupan sehari-hari,
produktivitas, dan pemanfaatan waktu luang.
Pelayanan okupasi terapi merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan.
Okupasi terapis bekerja sama dan melibatkan pasien/klien menangani problematik
atau permasalahan gangguan area dan kinerja okupasional (occupational
performance) yang dialaminya untuk mendapatkan pelayanan okupasi terapi.
(Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 571/Menkes/SK/VI/2008)
Okupasi terapi adalah profesi kesehatan yang menangani pasin/klien dengan
gangguan fisik dan atu mental yang bersifat sementara atau menetap. Dalam
praktiknya okupasi terapi menggunakan okupasi atau aktivitas terapeutik dengan
tujuan mempertahankan atau meningkatkan komponen kinerja okupasional (senso-
motorik, persepsi, kognitif, sosial) dan area kinerja okupasional (perawatan diri,
produktifitas, dan pemanfaatan waktu luang) sehingga pasien/klien mampu
meningkatkan kemandirian fungsional, meningkatkan derajat kesehatan dan
partisipasi di masyarakat sesuai perannya. (Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 571/Menkes/SK/VI/2008)
Okupasi Terapi adalah ilmu kesehatan yang berbasis client center yang
berfokus pada promosi kesehatan dan kesejahteraan melalui aktivitas (okupasi).
Tujuan utama dari okupasi terapi adalah untuk meningkatkan kemampuan
keikutsertaan aktivitas yang diinginkan, dibutuhkan atau diharapkan melalui
modifikasi aktivitas atau lingkungan yang lebih baik untuk mencapai keikutsertaan
okupasional melalui kerjasama dengan orang lain dan masyarakat. (WFOT, 2012 )
Menurut Quick Reference to Occupational Therapy (2001), peran Okupasi
Terapis pada orang dengan disabilitas intelektual :
a. Self care
1. Membantu dalam perkembangan aktivitas sehari-hari jika ada masalah.
Patut diperhatikan bahwa okupasi terapis tidak selalu dibutuhkan untuk
latihan rutin tetapi dibutuhkan jika ada masalah dengan posisiatau
kesensitifan oral motor.
2. Meningkatkan kemandirian dalam aktivitas sehari-hari.
b. Productivity
1. Mengembangkan kemampuan bermain, terutama eksplorasi dan
manipulasi.
2. Mengeksplor minat pekerjaan dengan simulasi aktifitas kerja dan minat
karir.
3. Mengembangkan kebiasaan kerja dan kemampuan dengan workshop.
4. Mengembangkan kemampuan manajemen rumah dengan teknik stimulasi.
c. Leisure
1. Mengeksplor dan mengembangkan kemampuan dan minat dalam
penggunaan waktu luang.
d. Sensorimotor
1. Meningkatkan integrasi refleks saat refleks primitif tetap muncul sampai
sekarang.
2. Meningkatkan kontrol postural dan reaksi keseimbangan, terutama
stabilisasi trunk, dengan peningkatan input proprioseptif.
3. Meningkatkan kekuatan otot, terutama kekuatan otot-otot yang ada di
trunk.
4. Meningkatkan lingkup gerak sendi dan fleksibilitas.
5. Meningkatkan endurance.
6. Meningkatkan handskill terutama kemampuan menjangkau,
menggenggam, dan melepas.
7. Meningkatkan kemampuan motorik kasar dengan koordinasi.
8. Meningkatkan kemampuan motorik halus, manipulasi, dan dexteritiy.
9. Meningkatkan kemampuan koordinasi bilateral dan integrasi.
10. Meningkatkan kemampuan perencanaan motor (praxis).
11. Menurunkan level aktifitas jika berlebihan dan lakukan sebaliknya jika
individu kurang merespon.
12. Menurunkan aktifitas self-stimulating dengan menggunakan teknik sensori
integrasi.
13. Meningkatkan fiksasi visual, tracking, dan scanning jika diperlukan.
e. Kognitif
1. Meningkatkan konsentrasi dan fokus dengan menurunkan stimulus
distraksi. Okupasi terapis harus mengetahui stimulus apa yang
menyebabkan individu dalam hal ini PM atau klien terdistrak, karena
setiap orang merespon berbeda tergantung hiperatau hiposensitif individu
tersebut.
2. Meningkatkan kemampuan untuk mengikuti arahan.
f. Psikososial
1. Meningkatkan self-image dengan menggunakan aktivitas yang kreatif
seperti art, crafts, drama, menari, music dan games.
2. Meningkatkan kemampuan interaksi grup.
3. Bekerjasama dengan speech pathologist untuk mendiskusikan apakah
bahasa isyarat dapat dijadikan bahasa tambahan. Menentukan apakah
kemampuan tangan bisa digunakan untuk memuat bahasa isyarat.
g. Lingkungan
1. Menyediakan peralatan adaptif atau bantuan teknologi jika dibutuhkan.
Contoh memberikan kursi dengan tambahan sandaran kaki dan sandaran
untuk tangan.
2. Mengkonsultasikan dengan orang tua yang sesuai dengan aktifitas sosial
seperti program rekreasi.
3. Mendorong keluarga untuk mengajak anak bermain di rumah dengan
teman sekolah atau tetangga.
4. Mengkonsultasikan dengan orang tua mengenai mainan yang dapat
memfasiitasi perkembangan.
5. Mengkonsultasikan dengan orang tua mengenai seksualitas dan periode
menstruasi.
6. Mengkonsultasikan dengan sekolah tentang transportasi yang aman bagi
siswa. Seperti adanya data dibus yang berisikan informasi dari tiap siswa,
menyediakan kartu pengenal bagi tiap siswa, dan menyediakan telpon
ditiap bus agar supir bus dapat menelpon penjemput.
Melakukan pelatihan edukasi untuk guru dan keluarga yang berisikan
infromasi umum tentang tipe mental retardasi dan teknik menagemen yang spesifik
seperti managemen kursi roda dan posisi.
BAB III
LAPORAN KASUS

I. Identitas Pasien
Pasien An. E berusia 15 tahun 8 bulan dan bergama islam
merupakan seorang siswa di Mutiara Harapan Islamic School dirujuk
ke klinik Mutiara Edu Sensory. Pasien mulai terapi dari tahun 2017
hingga sekarang. An.E memiliki hobi yaitu menyanyi. An. E diberi
terapi oleh okupasi terapis Swastika dan Helsi. An. E dirujuk dengan
keluhan kurangnya fokus pada pembelajaran di sekolah. Saat ini, anak
tinggal bersama kedua orangtua, adik, asisten rumah tangga, dan sopir.
Ayah An. E bekerja di kemendikbud sedangkan ibu An. E bekerja
sebagai notaris. Kegiatan yang dilakukan selain terapi adalah
bersekolah duduk di bangku SMP (Sekolah Menengah Pertama)
Mutiara Harapan Islamic School.
II. Data Subjektif
A. Data Hasil Observasi
An. E datang bersama asisten rumah tangga dan sopir
pribadi.An. E perlu arahan ke ruang terapi dengan ajakan
dari terapis. An. E berjalan sambil melihat terapis dan
terkadang berkata “jangan lihat,jangan lihat”. An. E
berjalan dengan kurang percaya diri.
B. Data Screening
Berdasarkan data screening, An. E mendapatkan
diagnosa mild intellectual disability . Pada kuesioner
gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (GPPH)
menunjukkan adanya gangguan pemusatan perhatian anak
dan hiperaktivitas.
Pada masa mengandung, Ibu An. E tidak mual, tidak
hipertensi, tidak merokok, tidak mengkonsumsi alkohol,
tidak mengonsumsi obat-obatan, tidak terjadi
perdarahan/flek, tidak ada masalah pernafasan, tidak ada
gangguan jantung, dll. An. E lahir secara caesar dengan
berat 3,3 kg dan panjang 51 cm. An. E tengkurap usia 6
bulan, merangkak 8 bulan, duduk 8 bulan, berdiri 1 tahun,
berjalan 1 tahun 3 bulan. An. E saat kecil membuat suara
yang tidak biasa, menaruh benda dalam mulut, memegang
dan menggerakkan benda kecil. Perkembangan bicara,
lalling pada usia 2 tahun, true speech pada umur 2,5
tahun. An. E pernah dirawat di rumah sakit pada usia 4
tahun karena sakit diare.
C. Initial Assesment
1) Screening test
Keluhan orangtua terhadap anak yaitu anak
sering berkata “jangan liat, jangan liat”, anak
mengalami kesusahan dalam memusatkan
perhatian,anak memiliki kebiasaan yaitu menggigit
pensil, menarik benang celana, dan kesulitan duduk
tenang menyelesaikan tugas.
Saat terapis menanyakan nama, anak terlihat
malu dalam menjawab sapaan “halooo”. Dengan arahan
dan dorongan dari terapis lainnya An. E akhirnya mau
bersalaman dan menyebutkan namanya.
Terapis mengintruksikan untuk mengambil bola
untuk memasukkan ke dalam keranjang dan menaiki
prosotan. Pada awalnya An. E menjawab “ga mau.. ga
mau”. Terapis perlu memberi dorongan dan
menyemangati beberapa kali agar An. E mau
melakukannya..An. E terlihat kesulitan
mempertahankan atensi menyelesaikan memasukkan
bola ke keranjang. An. E berkata “sudah ah.. sudah
ah..”. Terapis memberi dorongan lagi lalu, An. E mau
melakukannya.
2) Screening Task
Untuk screening mendalam, terapis meminta anak
untuk mengingat 3 warna bola lalu dimasukkan ke
dalam keranjang. Anak kesulitan dalam mengingat
warna bola yang disebutkan oleh terapis sebelumnya.
Anak terlihat mudah menyerah dan berkata “sudah..
sudah”. Terapis memberi dorongan kembali agar anak
mau melakukannya.
Selanjutnya anak diinstruksikan untuk
mencocokkan kata kerja dengan gambar yang benar dan
diberikkannya waktu selama 5 menit untuk
menyelesaikannya. Respon anak sedikit lambat, sesekali
berbicara sendiri, dan tenggelam dalam imajinasinya.
Terapis mengingatkan kembali. Anak akhirnya
menyelsaikan aktivitas lebih dari 5 menit.
III. Kerangka Acuan/Model/Pendekatan
Pendekatan yang dilakukan untuk mengetahui beberapa aset
dan limitasi yang dimiliki anak yaitu menggunakan The Short Sensory
Profile oleh Winnie Dunn, Ph.D., OTR, FAOTA. Alasan mengapa
digunakan model ini untuk assessment anak adalah karena anak masih
terlihat banyak kekurangan dalam melakukan kegiatan yang
melibatkan fungsi sensori seperti vestibular, proprioseptif dan visual.
IV. Data Objektif
An. E datang dengan memakai baju kaos dan celana biasa. An.
E memiliki berat badan 44 kg, tinggi badan 151 cm.
Data objektif didapatkan dari hasil pengamatan pasien dan
menggunakan instrumen The Short Sensory Profile. Data tersebut
digunakan untuk identifikasi masalah pada anak dan digunakan untuk
menentukan program terapi.
Setelah dilakukan assessment dan penilaian, anak terlihat
memiliki kemungkinan ada gangguan di beberapa aspek sensori seperti
sensitivitas gerak dan kurang mencari atau mencari sensasi.
Berdasarkan interpretasi yang ada pada blanko The Short
Sensory Profile, dapat dijelaskan bahwa pada aspek sensori ada
kemungkinan anak memiliki gangguan sensori. Lebih spesifik, pasti
memiliki gangguan pada sensori taktil.
V. Identifikasi Masalah/Kesimpulan
Berdasarkan hasil dari assessment yang telah dilakukan secara
subjektif dan objektif. Hasil assessment yang telah dilakukan, terapis
mendapatkan aset dan limitasi antara lain :
A. Aset
Berdasarkan screening dan assessment yang telah
dilakukan, anak memiliki aset seperti pada aspek sensori visual,
auditori. Anak mampu merespon stimulus visual dengan baik
seperti melakukan kontak mata, mengidentifikasi objek. Anak juga
mampu untuk merespon stimulus auditori dengan baik seperti
menoleh ketika dipanggil namanya juga ketika anak mendengar
suara yang cukup keras.
B. Limitasi
Berdasarkan screening dan assessment yang dilakukan,
anak memiliki limitasi pada beberapa aspek sensori, juga kognitif.
Pada aspek kognitif dengan dilakukan screening task dan screening
test, terlihat bahwa anak masih kesulitan untuk merecall memori,
mempertahankan fokus dan atensi. Lalu pada aspek sensori
vestibular, anak mengalami kesulitan ketika mengambil benda
yang cukup tinggi (wall climbing). Anak terlihat tidak nyaman
ketika naik wall climbing sehingga terapis perlu memberi dorongan
agar anak dapat naik. Lalu pada aspek proprioseptif, anak terlihat
sering berpindah posisi. Tidak bertahan lama ketika diarahkan
untuk menunggu.
Selain itu, pada aspek visual, anak cenderung menghindari
kontak mata dengan orang lain. Namun, untuk kemampuan aware
terhadap lingkungan cukup baik. Untuk mengidentifikasi benda,
anak hanya tahu beberapa benda saja.
Pada aspek sosialisasi, anak cukup sulit untuk beradaptasi
dengan orang lain. Ketika bertemu orang lain, anak cenderung
menghindari orang baru.
VI. Diagnosis Okupasi Terapi
Berdasarkan aset dan limitasi yang telah dijelaskan dan hasil
assessment menggunakan The Short Sensory Profile serta wawancara
yang dilakukan oleh orang tua anak, maka diagnosis okupasi terapi
yang dapat ditegakkan antara lain:
A. Anak belum mampu mengatur waktu dalam melakukan beberapa
aktivitas dalam sehari secara mandiri.
B. Anak belum mampu meningkatkan kemampuan kognitif secara
mandiri.
C. Anak belum mampu manajemen stress secara mandiri.
VII. Prognosis
A. Prognosis Klinis
Anak dapat mengikuti dan merpertahankan kemampuan kognitif
tetapi kesulitan pada kemampuan sintesis.
B. Prognosis Fungsional
Prognosis berdasarkan aset, limitasi dan program terapi yang
dibuat diharapkan akan memberikan perbaikan pada kondisi anak.
diharapkan dalam waktu 19x pertemuan, anak mampu mencapai
long term goal yang telah ditentukan.
Setelah 19x pertemuan, anak akan mampu mengatur waktu
dalam menlakukan beberapa aktivitas secara mandriri lalu anak
mampu meningkatkan kemampuan kognitf secara mandiri lalu
anak mampu manajemen stress secara mandiri.
VIII. Clinical Reasoning dalam menentukan masalah
Tujuan jangka pajang 1 yaitu anak mampu mengatur waktu
dalam melakukan beberapa aktivitas dalam sehari secara mandiri.
Dalam melakukan tujuan akhir ini terapis memakai media seperti bola,
kertas, puzzle, flashcards.
Lalu tujuan jangka panjang 2 yaitu anak mampu meningkatkan
kemampuan kognitif secara mandiri. Dalam melakukan tujuan akhir ini
terapis memakai media seperti kertas, flashcards, dll.
Lalu tujuan jangka panjang 3 yaitu anak mampu manajemen
stress secara mandiri. Dalam melakukan tujuan akhir ini terapis
memakai media seperti kertas.
IX. Menyusun Program Terapi
A. Tujuan Jangka Panjang I
Anak mampu mengatur waktu dalam melakukan beberapa aktivitas
dalam sehari secara mandiri.
1. Tujuan jangka pendek 1
Anak mampu mengetahui durasi waktu setiap aktivitas dengan
bantuan sesuai arahan terapis.
a. Adjunctive
1) Aktivitas: Sebelum memulai terapi, anak diminta
untuk berdoa dan salam sebelum memulai. Terapis
menanyakan kabar anak dan menanyakan kegiatan
yang telah ia lakukan mulai dari pagi. Anak diberi
waktu dahulu untuk melakukan permainan yang ia
inginkan.
2) Media: -
3) Metode: Behavior Therapy
4) Durasi: 10 menit
5) Frekuensi: 2x
b. Enabling
1) Aktivitas: Anak diintruksikan untuk mengambil
bola dan memasukkan bola ke dalam keranjang
melewati bolster dan melakukannya 5x bolak balik
dengan durasi 25 menit. Anak diminta untuk
melakukannya sesuai waktu 25 menit dengan
melihat pada jam dinding hingga ke angka yang
terapis tentukan. Anak diberi waktu 5 menit terakhir
untuk istirahat.
2) Media: Bola, keranjang, bolster, jam dinding
3) Metode: Sensori integrasi dan Behavior Therapy
4) Durasi: 30 menit
5) Frekuensi: 2x
c. Purposeful
1) Aktivitas: Anak diintruksikan untuk menyocokkan
gambar flashcards dan menjelaskan kepada terapis
waktu yang dilakukan setiap gambar pada
flashcards.
2) Media: flashcards, jam dinding
3) Metode: Behavior Therapy
4) Durasi: 10 menit
5) Frekuensi: 2x
d. Occupational
1) Aktivitas: Anak diminta untuk menyelesaikan 2 soal
matematika selama 10 menit dengan masing-
masing soal 5 menit.
2) Media: Kertas, pulpen
3) Metode: Behavior Therapy
4) Durasi: 10 menit
5) Frekuensi: 2x
2. Tujuan jangka pendek 2
Anak mampu memulai aktivitas secara mandiri.
a. Adjunctive
1) Aktivitas: Sebelum memulai terapi, anak diminta
untuk berdoa dan salam sebelum memulai. Terapis
menanyakan kabar anak dan menanyakan kegiatan
yang telah ia lakukan mulai dari pagi. Anak diberi
waktu dahulu untuk melakukan permainan yang ia
inginkan.
2) Media: permainan di ruang sensori integrasi
3) Metode: Behavior Therapy
4) Durasi: 10 menit
5) Frekuensi: 2x
b. Enabling
1) Aktivitas: Anak diminta untuk menaiki trampoline,
prosotan, dan memasang puzzle.
2) Media: trampoline, prosotan, puzzle
3) Metode: Sensori integrasi dan Behavior Therapy
4) Durasi: 30 menit
5) Frekuensi: 2x
c. Purposeful
1) Aktivitas: Anak diminta untuk menaiki papan titian
dan menaiki wall climbing menaruh bola
2) Media: papan titian, wall climbing, bola
3) Metode: Sensori integrasi dan Behavior Therapy
4) Durasi: 10 menit
5) Frekuensi: 2x
d. Occupational
1) Aktivitas: Anak diminta untuk menyelesaikan 2
permainan yang diinginkan.
2) Media: permainan (puzzle)
3) Metode: Behavior Therapy
4) Durasi: 10 menit
5) Frekuensi: 2x
3. Tujuan jangka pendek 3
Anak mampu menyelesaikan aktivitas dan mengatur waktu sesuai
dengan rencana dan perjanjian dengan arahan dan bantuan terapis.
a. Adjunctive
1) Aktivitas: Sebelum memulai terapi, anak diminta
untuk berdoa dan salam sebelum memulai. Terapis
menanyakan kabar anak dan menanyakan kegiatan
yang telah ia lakukan mulai dari pagi. Anak diberi
waktu dahulu untuk melakukan permainan yang ia
inginkan.
2) Media: permainan di ruang sensori integrasi
3) Metode: Behavior Therapy
4) Durasi: 10 menit
5) Frekuensi: 2x
b. Enabling
1) Aktivitas:Anak diintruksikan untuk menyelesaikan
2) Media:
3) Metode: Sensori integrasi dan Behavior Therapy
4) Durasi: 30 menit
5) Frekuensi: 2x
c. Purposeful
1) Aktivitas: Anak diintruksikan menggambar dan
mewarnai sesuai keinginan dalam 10 menit.
2) Media: kertas, pensil, dan pensil warna
3) Metode: Behavior Therapy
4) Durasi: 10 menit
5) Frekuensi: 2x
d. Occupational
1) Aktivitas: Anak diminta untuk menuliskan waktu
pelajaran di sekolah serta waktu masuk sekolah dan
pulang sekolah.
2) Media: kertas, pulpen
3) Metode: Behavior Therapy
4) Durasi: 10 menit
5) Frekuensi: 2x
B. Tujuan Jangka Panjang II
Anak mampu meningkatkan kemampuan kognitif secara mandiri.
1. Tujuan jangka pendek 1
Anak mampu meningkatkan kemampuan berhitung mundur
dengan fokus secara mandiri.
a. Adjunctive
1) Aktivitas: Sebelum memulai terapi, anak diminta
untuk berdoa dan salam sebelum memulai. Terapis
menanyakan kabar anak dan menanyakan kegiatan
yang telah ia lakukan mulai dari pagi. Anak diberi
waktu dahulu untuk melakukan permainan yang ia
inginkan.
2) Media: permainan di ruang sensori integrasi
3) Metode: Behavior Therapy
4) Durasi: 10 menit
5) Frekuensi: 2x
b. Enabling
1) Aktivitas: Anak diminta untuk berdiri diatas ayunan
sambil berhitung mundur dari angka 300 sampai
250, 150 sampai 100, 50 sampai 1
2) Media: ayunan
3) Metode: Sensori integrasi dan Behavior Therapy
4) Durasi: 30 menit
5) Frekuensi: 2x
c. Purposeful:
1) Aktivitas: anak diminta untuk menghitung jumlah
bola dengan menghitung mundur dari 25 lalu
memasukkan ke dalam keranjang.
2) Media: bola, keranjang
3) Metode: Behavior Therapy
4) Durasi: 10 menit
5) Frekuensi: 2x
d. Occupational
1) Aktivitas: Anak diminta menghitung mundur dari
angka 50 seblum pulang.
2) Media: -
3) Metode: Behavior Therapy
4) Durasi: 10 menit
5) Frekuensi: 2x
2. Tujuan jangka pendek 2
Anak mampu meningkatkan kemampuan mengingat 3 langkah
yang disebutkan oleh terapis.
a. Adjunctive
1) Aktivitas: Sebelum memulai terapi, anak diminta
untuk berdoa dan salam sebelum memulai. Terapis
menanyakan kabar anak dan menanyakan kegiatan
yang telah ia lakukan mulai dari pagi. Anak diberi
waktu dahulu untuk melakukan permainan yang ia
inginkan.
2) Media: permainan di ruang sensori integrasi
3) Metode: Behavior Therapy
4) Durasi: 10 menit
5) Frekuensi: 2x
b. Enabling
1) Aktivitas: Anak diminta untuk mengangkat
menyusun bolster, menaiki bolster, memasang
puzzle.
2) Media: bolster, puzle
3) Metode: Sensori integrasi dan Behavior Therapy
4) Durasi: 30 menit
5) Frekuensi: 2x
c. Purposeful
1) Aktivitas: anak diminta untuk memberi lem pada
kertas, menempelkan kapas, menggunting bentuk.
2) Media: kertas, kapas, gunting
3) Metode: Behavior Therapy
4) Durasi: 10 menit
5) Frekuensi: 2x
d. Occupational
1) Aktivitas: Anak diminta menuliskan serta
menyebutkan 3 langkah membuat roti tawar dengan
mesis.
2) Media: kertas, pulpen
3) Metode: Behavior Therapy
4) Durasi: 10 menit
5) Frekuensi: 2x
3. Tujuan jangka pendek 3
Anak mampu menyebutkan aktivitas-aktivitas yang telah
dilakukan secara mandiri dan meningkatkan kemampuan
kognitifnya secara mandiri.
a. Adjunctive
1) Aktivitas: Sebelum memulai terapi, anak diminta
untuk berdoa dan salam sebelum memulai. Terapis
menanyakan kabar anak dan menanyakan kegiatan
yang telah ia lakukan mulai dari pagi. Anak diberi
waktu dahulu untuk melakukan permainan yang ia
inginkan.
2) Media: permainan di ruang sensori integrasi
3) Metode: Behavior Therapy
4) Durasi: 10 menit
5) Frekuensi: 2x
b. Enabling
1) Aktivitas: Anak diminta untuk mencari huruf “m”
dan memberi lingkaran pada brosur, lalu mencari
huruf “a” dan memberi lingkaran pada brosur, lalu
mencari huruf “u”dan memberi lingkaran pada
brosur.
2) Media: pulpen, brosur
3) Metode: Behavior Therapy
4) Durasi: 30 menit
5) Frekuensi: 2x
c. Purposeful
1) Aktivitas:Anak diminta untuk melompat di
trampolin sebanyak 5x, menaiki tangga, menuruni
prosotan, dan menyebutkan nama hewan.
2) Media: trampolin, tangga, prosotan
3) Metode: Sensori integrasi dan Behavior Therapy
4) Durasi: 10 menit
5) Frekuensi: 2x
d. Occupational
1) Aktivitas: Anak diminta untuk menyebutkan
aktivitas-aktivitas yang telah dilakukan
2) Media: -
3) Metode: Behavior Therapy
4) Durasi: 10 menit
5) Frekuensi: 2x
C. Tujuan Jangka Panjang III
Anak mampu manajemen stress secara mandiri.
1. Tujuan jangka pendek 1
Anak mampu menyampaikan apa yang dirasakannya.
a. Adjunctive
1) Aktivitas: Sebelum memulai terapi, anak diminta
untuk berdoa dan salam sebelum memulai. Terapis
menanyakan kabar anak dan menanyakan kegiatan
yang telah ia lakukan mulai dari pagi. Anak diberi
waktu dahulu untuk melakukan permainan yang ia
inginkan.
2) Media: permainan di ruang sensori integrasi
3) Metode: Behavior Therapy
4) Durasi: 10 menit
5) Frekuensi: 2x
b. Enabling
1) Aktivitas: Anak diminta untuk memilih aktivitas apa
yang diinginkan dan bermain secara mandiri lalu
menyampaikan yang yang dirasaknnya setelah
bermain.
2) Media: permainan di ruang sensori integrasi
3) Metode: Behavior Therapy
4) Durasi: 30 menit
5) Frekuensi: 2x
c. Purposeful
1) Aktivitas: anak diminta untuk menunjukkan
ekspresi marah, sedih, dan senang
2) Media: kertas dan gambar
3) Metode: Behavior Therapy
4) Durasi: 10 menit
5) Frekuensi: 2x
d. Occupational
1) Aktivitas: anak diminta untuk menyampaikan apa
yang dirasakannya di sekolah, rumah, dan tempat
terapi
2) Media: -
3) Metode: Behavior Therapy
4) Durasi: 10 menit
5) Frekuensi: 2x
2. Tujuan jangka pendek 2
Anak mampu menyampaikan yang diinginkan dan tidak
diinginkan.
a. Adjunctive
1) Aktivitas: Sebelum memulai terapi, anak diminta
untuk berdoa dan salam sebelum memulai. Terapis
menanyakan kabar anak dan menanyakan kegiatan
yang telah ia lakukan mulai dari pagi. Anak diberi
waktu dahulu untuk melakukan permainan yang ia
inginkan.
2) Media: permainan di ruang sensori integrasi
3) Metode: Behavior Therapy
4) Durasi: 10 menit
5) Frekuensi: 2x
b. Enabling
1) Aktivitas: Anak diminta untuk memilih aktivitas apa
yang diinginkan dan bermain secara mandiri lalu
menyampaikan yang yang dirasaknnya setelah
bermain.
2) Media: permainan di ruang sensori integrasi
3) Metode: Behavior Therapy
4) Durasi: 30 menit
5) Frekuensi: 2x
c. Purposeful
1) Aktivitas: anak diminta menunjukkan gambar
aktivitas yang disukai dan tidak disukai
2) Media: gambar
3) Metode: Behavior Therapy
4) Durasi: 10 menit
5) Frekuensi: 2x
d. Occupational
1) Aktivitas: anak diminta untuk menyampaikan apa
yang diinginkan dan tidak diinginkan
2) Media:-
3) Metode: Behavior Therapy
4) Durasi: 10 menit
5) Frekuensi: 2x
3. Tujuan jangka pendek 3
Anak mampu mengatur emosinya secara mandiri
a. Adjunctive
1) Aktivitas: Sebelum memulai terapi, anak diminta
untuk berdoa dan salam sebelum memulai. Terapis
menanyakan kabar anak dan menanyakan kegiatan
yang telah ia lakukan mulai dari pagi. Anak diberi
waktu dahulu untuk melakukan permainan yang ia
inginkan.
2) Media: permainan di ruang sensori integrasi
3) Metode: Behavior Therapy
4) Durasi: 10 menit
5) Frekuensi: 2x
b. Enabling
1) Aktivitas: anak diminta untuk menyelesaikan soal
matematika tanpa menggerutu dan banyak menawar
dengan bantuan dan arahan terapis
2) Media: kertas, pulpen
3) Metode: Behavior Therapy
4) Durasi: 30 menit
5) Frekuensi: 2x
c. Purposeful
1) Aktivitas: anak diminta untuk menyelesaikan puzzle
tanpa bantuan
2) Media: puzzle
3) Metode: Behavior Therapy
4) Durasi: 10 menit
5) Frekuensi: 2x
d. Occupational
1) Aktivitas: anak diminta untuk menyampaikan apa
yang dirasakan, menyampaikan apa yang diinginkan
dan tidak diinginkan, dan cara menahan diri
2) Media: -
3) Metode: Behavior Therapy
4) Durasi: 10 menit
5) Frekuensi: 2x
X. Re-evaluasi
1. Data subjektif hasil re-evaluasi
Ketika dilakukan re-evaluasi, anak masih memiliki kebiasaan
mengatakan “jangan liat..jangan liat” ketika orang lain melihatnya.
Tetapi, anak sudah mauberinteraksi yang baik dengan terapis.
Kemampuan dalam mengatur waktu, meningkatakan kemampuan
kognitif, dan manajemen stress menignkat.
2. Data objektif hasil re-evaluasi
Secara re-evaluasi, kemampuan anak terlihat meningkat
dari awal mula terapi.
Lalu ketika diberikan screening task, anak sudah lebih
mampu untuk mempertahankan atensi dan konsentrasi ketika
mengerjakan tugas. Namun, anak masih kurang untuk mengontrol
distraksi dari stimulus – stimulus yang ada.
3. Kesimpulan dari hasil re-evaluasi
Setelah melihat dari hasil re-evaluasi secara subjektif
ataupun objektif. Anak terlihat lebih mampu untuk mengontrol diri
pada beberapa aspek seperti emosi.
Saat ini, menurut hasil re-evaluasi anak memiliki
peningkatan pada kemampuannya dalam mengatur waktu,
meningkatkan kemampuan kognitif, dan manajemen stress.

XI. Clinical Reasoning dengan Proses OT


Selama melakukan proses terapi dengan program yang telah
dibuat dan dijalankan, saat ini anak terlihat memiliki perkembangan
pada mengatur waktu, meningkatkan kemampuan kognitif, dan
manajemen stress.
Ketika pertama kali sesi terapi dengan anak,respon anak sangat
lama dan menyelesaikan aktivitas dalam waktu yang cukuplama.
Sekarang, kemampuan anak dalam mengatur waktu meningkat dilihat
dari cara anak menyelesaikan aktivitas dalam waktu yag tidak terlalu
lama.
Untuk tujuan meningkatkan kemampuan kognitif, awalnya
anak sulit untuk memahami. Setelah beberapa sesi terapi, anak dapat
memahami, dapat berhitung mundur dengan bantuan, dapat mengingat
3 langkah dengan bantuan, dan dapat menyampaikan yang telah
dilakukan dengan bantuan.
Untuk kemampuan manajemen strees, awalnya anak terlihat
sangat mudah menyerah dan kesal. Setelah beberapa sesi terapi, anak
dapat menigkatkan kepeduliannya terhadap emosinya dan sedikit dapat
mengontrol emosinya.
XII. Follow-up
Setelah proses terapi selama kurang lebih 2 bulan telah
dilaksanakan, terapis memiliki catatan yang akan digunakan untuk
follow-up apa yang akan dilakukan setelah evaluasi. Berikut
merupakan rekomendasi follow-up yang akan diberikan, antara lain :
 Perlu dilakukan assessment menggunakan The Short Sensory
Profile
 Perlu dikaji lebih dalam mengenai kemampuan AKS
 Perlu dilakukan pemeriksaan tes IQ yang akan direkomendasikan
kepada profesi lain
.

Anda mungkin juga menyukai