Pengertian Akidah
Menurut bahasa akidah berasal dari kata “aqada-ya’qidu-aqdan-aqiidatan”. ‘aqdan
artinya simpul, ikatan, perjanjian dan kukuh. Aqiidah berarti keyakinan, kepercayaan. Dengan
demikian, akidah berarti sesuatu yang dipegang teguh dan kuat dalam lubuk jiwa dan tidak dapat
beralih dari padanya. Adapun menurut istilah, akidah adalah kumpulan kebenaran yang dapat
diterima secara umum oleh manusia bberdasarkan akal, wahyu, dan fitrah serta diyakini
kebenarannya dan ditolak segala sesuatu yang bertentangan dengannya. Dari pengertian tersebut
dapat disimpulkan bahwa akidah islam adalah sesuatu yang dipercayai dan diyakini
kebenarannya oleh hati manusia, sesuai ajaran islam dengan berpedoman kepada Al-Qur’an dan
hadis.
Akidah hampir sama dengan iman. Ada sedikit perbedaan akidah dengan iman. Iman
adalah sesuatu yang diyakini di dalam hati, diucapkan dengan lisan, dan diamalkan dengan
anggota badan. Adapun akidah hanya keyakinan. Jadi jika akidah terkait dengan aspek
dalam(aspek hati) dari iman, iman tidak hanya menyangkut aspek hati, tetapi juga aspek luar.
Aspek dalam iman adalah keyakinan dan aspek luarnya berupa pengakuan lisan dan
pembuktiannya dengan amal perbuatan.
Selain iman, akidah juga semakna dengan tauhid. Ttauhid artinya mengesakan.
Tauhidullah artinya mengesakan Allah. Ajaran tauhid merupakan tema sentral akidah dan iman.
“Apakah mereka mengambil tuhan-uhan dari bumi, yang dapat menghidupkan (orang-orang
yang mati)?” (QS.al-Anbiya/21:21)
2. Surah an-Nahl/16:106
“Barang siapa kafir kepada Allah setelah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali
orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dan beriman (dia tidak berdosa), tetapi
orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan
mereka mendapat adzab yang besar.” (QS. an-Nahl/16:106).
3.
Bukti Keotentikan Al-Quran
Al-Quran Al-Karim memperkenalkan dirinya dengan berbagai ciri dan sifat. Salah satu
diantaranya adalah ia merupakan kitab yang keotentikannya dijamin oleh Allah, dan ia
adalah kitab yang selalu dipelihara. “Inna nahnu nazzalna al-dzikra wa inna lahu
lahafizhun” (sesungguhnya kami yang menurunkan Al-Quran dan kamilah pemelihara-
pemelihara-Nya) (QS 15:9).
Demikianlah Allah menjamin keotentikan Al-Quran, jaminan yang diberikan atas
dasar kemaha kuasaan dan Kemahatahuan-Nya, serta berkat upaya-upaya yang dilakukan
oleh mahluk-mahluk-Nya, terutama oleh manusia. Dengan jaminan ayat diatas, setiap
muslim percaya bahwa apa yang dibaca dan didengarnya sebagai Al-Quran tidak berbeda
sedikitpun dengan apa yang pernah dibaca oleh Rasulullah saw., dan yang didengar serta
dibaca oleh para sahabat nabi saw.
Tetapi dapatkah kepercayaan itu didukung oleh bukti-bukti lain ? dan, dapatkah
bukti-bukti itu meyakinkan manusia, termasuk mereka yang tidak percaya akan jaminan
Allah diatas ? Tanpa ragu kita mengiyakan pertanyaan diatas.
Pokok-pokokisinya.
1.Keimanan:
Kepastian hari berbangkit dan hal-hal yang terjadi pada hari kiamat; Allah tidak
memerlukan anak atau sekutu.
2.Hukum-hukum:
Manusia dibebani sesuai dengan kesanggupannya; rasul-rasul semuanya menyuruh manusia
memakan makanan yang halal lagi baik; pokok-pokok agama yang dibawa para nabi adalah
sama, hanya syariatnya yang berbeda-beda.
3.Kisah-kisah:
Kisah Nuh a.s.; kisah Hud a.s. kisah Musa a.s. dan Harun a.s.; kisah Isa a.s.
4.Danlain-lain:
Tujuh perkara yang harus dipenuhi, oleh seorang mukmin yang ingin mendapat
keberuntungan hidup di dunia maupun di akhirat; proses kejadian manusia; tanda-tanda
orang yang bersegera kepada kebaikan; nikmat Allah yang dianugerahkan kepada manusia
wajib disyukuri.
Pokok-pokok isinya :
1. Keimanan:
Kepastian adanya hari kiamat; keesaan Allah; kekuasaan-Nya dan kesempurnaan ilmu-Nya
serta dalil-dalilnya; pertanggungan jawab manusia kepada Allah terhadap segala apa yang
telah dikerjakannya.
2. Hukum-hukum:
Beberapa hukum tentang makanan dan minuman yang diharamkan dan yang dihalalkan;
kebolehan memakai perhiasan-perhiasan yang berasal dari dalam laut seperti merjan dan
mutiara; dibolehkan memakan makanan yang diharamkan dalam keadaan terpaksa; kulit
dan bulu binatang dari hewan yang halal dimakan; kewajiban memenuhi perjanjian dan
larangan mempermainkan sumpah; larangan membuat-buat hukum yang tak ada dasarnya;
perintah membaca isti'aadzah (a'uudzubillahi minasyaithaanirrajiim = aku berlindung
kepada Allah dari syaitan yang terkutuk); larangan membalas siksa melebihi siksaan yang
diterima.
3. Kisah-kisah:
Nabi Ibrahim a.s.
4. Lain-lain:
Asal kejadian manusia; madu adalah untuk kesehatan manusia; nasib pemimpin-pemimpin
palsu di hari kiamat; pandangan orang Arab zaman Jahiliyah terhadap anak perempuan;
ajaran moral di dalam Islam; pedoman da'wah dalam Islam.
Surat An Nahl mengandung keterangan tentang sifat-sifat orang musyrikin, dan tingkah
laku mereka, serta tantangan mereka terhadap kebenaran hari kiamat dan kerasulan
Muhammad s.a.w., kemudian Allah s.w.t. menyebutkan peringatan-peringatan-Nya kepada
mereka dan azab yang mereka alami sebagai akibat dari sifat perbuatan mereka itu. Dalam
surat ini, Allah menunjukkan bukti-bukti ke Esaan-Nya seraya memaparkan nikmat-nikmat
yang diberikan-Nya kepada hamba-hamba-Nya. Dan surat ini memuat juga hukum-hukum
dan ajaran-ajaran tentang akhlak.
c. Mendeskripsikan isi surat Al Baqarah
Surat “al-Baqarah” yang terdiri dari 286 ayat ini diturunkan oleh Allah s.w.t kepada Nabi
Muhammad s.a.w. untuk disampaikan kepada umatnya, di saat beliau sudah berada di Madinah.
dan sebagian besar ayat-ayat tersebut diturunkan pada permulaan tahun hijriyah, kecuali ayat
281 diturunkan di Mina pada Hajji Wadaa’ (Haji Nabi Muhammad s.a.w. yang terakhir).
Oleh karena itu surat al-Baqarah dimasukkan dalam golongan surat-surat al-Madaniyyah. Surat
al-Baqarah juga merupakan surat yang terpanjang di antara surat-surat Al-Qur’an dan yang di
dalamnya terdapat pula ayat yang terpanjang yaitu Ayat 282.
Surat ini dinamakan “Al-Baqarah” karena di dalamnya disebutkan kisah penyembelihan sapi
betina yang diperintahkan Allah kepada bani Israil (ayat 67 sampai dengan 74), di mana
dijelaskan watak orang Yahudi pada umumnya.
Al-Baqarah juga disebut “Fusthaathul Qur’an” (puncak al-Qur’an) karena memuat beberapa
hukum tatanan umat Islam dalam beribadah kepada Allah s.w.t. dan tata cara berkomunikasi
dalam menjalin hubungan dengan sesama manusia (mu’amalat), aturan-aturan tersebut tidak
disebutkan dalam surat yang lain.
Selain kedua sebutan nama tersebut yang dimiliki surat al-Baqarah, ia juga dinamai surat “alif-
laam-miim” karena surat ini dimulai dengan Alif-laam-miim.
1. Keimanan, pada surat al-Baqarah menjelaskan tata cara berdakwah Islamiyyah dalam
menyampaikan dan menanamkan nilai-nilai keimanan akan ke-Esa-an Allah s.w.t. yang
dilakukan Nabi Muhammad s.a.w. kepada umat Islam, ahlul kitab, dan para musyrikin yang ada
pada saat itu.
3. Kisah-kisah para Nabi, diantaranya; kisah penciptaan Nabi Adam a.s, kisah Nabi Ibrahim a.s,
kisah Nabi Musa a.s. dengan Bani Israil.
4. Dan dalam surat al-Baqarah juga menjelaskan hal-hal selain ketiga hal tersebut, diantaranya
menjelaskan sifat-sifat orang yang bertaqwa, sifat-sifat orang munafik, sifat-sifat Allah yang
luhur, perumpamaan-perumpamaan, arah yang menjadi kiblat orang muslim dalam beribadah
sholat, dan menjelaskan keadaan makhluk-makhluk Allah setelah ddihidupkan kembali dari
kematiannya pada hari akhir kelak.
Surah Az-Zariyat [51] ayat 56 ini memberikan arah umum tugas manusia bahwa manusia
diciptakan tidak lain hanya untuk beribadah kepada Allah SWT. Pernyataan ini
memberikan penegasan bahwa saat diangkat sebagai khalifah untuk memakmurkan bumi,
manusia tidak bebas bertindak semau yang diinginkannya. Perilaku manusia dituntun untuk
selalu sadar terhadap Tuhan dan menjalin hubungan dengan-Nya.
Terdapat tiga cara Allah menyebut manusia dalam Al-Qur’an. Ketiga sebutan itu adalah an-nas,
al-insa atau al-insan, dan al-basyar.
1. Sebutan an-nas merujuk pada maksud manusia sebagai makhluk sosial yang hidup bersama
dengan manusia lain dalam hubungan saling membutuhkan.
2. Sebutan al-insa atau al-insan merujuk kepada maksud manusia sebagai makhluk yang
memiliki hati nurani, akal, dan jiwa, serta emosi.
3. Sebutan al-basyar merujuk pada maksud manusia sebagai makhluk biologis yang
membutuhkan makan,minum, dan berbagai kebutuhan biologis yang lain.
Dengan menggunakan kata al-insa Allah SWT. ingin mengingatkan manusia yang dapat
berbuat baik sekaligus berbuat buruk itu bahwa dirinya ada di dunia ini tidak lain hanya untuk
beribadah kepada Allah SWT. Secara tidak langsung Allah mengingatkan manusia untuk berlaku
sebaik-baiknya dan menjauhi potensi buruk yang ada pada dirinya. Allah SWT. mengingatkan
manusia untuk menjalani kehidupannya sesuai dengan tuntunan yang telah Allah SWT. sediakan
untuk manusia.
Beribadah kepada Allah SWT. merupakan keniscayaan dalam kehidupan manusia.
Beribadah kepada Allah SWT. memiliki dua tindakan nyata, satu tindakan dalam kesadaran diri
kita selaku manusia dan satu tindakan nyata dengan semua potensi yang ada pada diri kita untuk
menuruti keinginan Allah SWT. atas kita. Tindakan dalam kesadaran adalah keimanan
kita kepada Allah SWT. sebagai ilah yang kita sembah dan Rabb yang memiliki kekuasaan
mutlak atas diri kita.
Kesadaran ini memberikan warna tauhid dalam diri kita sekaligus membebaskan jiwa kita dari
kemusyrikan. Inilah dasar dalam beribadah kepada Allah SWT. Kesadaran jiwa itu selanjutnya
mewujud dalam tindakan nyata untuk mengikuti tuntunan dan aturan Allah SWT. dalam
menjalani kehidupan. Kesadaran itu ada di sepanjang hidup kita karena setiap tindakan kita
adalah ibadah kepada Allah SWT. Dengan kata lain, hidup kita adalah ibadah kepada
Allah SWT.
Beribadah kepada Allah SWT. bukanlah semata menjalankan salat lima kali sehari atau
berpuasa pada bulan Ramadan. Beribadah kepada Allah SWT. seharusnya kita lakukan
dalam setiap tarikan napas kita. Setiap gerakan jari kita, setiap langkah kaki kita, setiap ucapan
yang keluar dari lisan kita seharusnya bernilai ibadah kepada Allah SWT. Dengan demikian, kita
beribadah kepada Allah SWT. saat menuntut ilmu. Kita beribadah kepada Allah SWT. saat
berjalan ke pasar dan sebagainya.
Pada ayat ini Allah SWT. juga memberikan informasi bahwa tidak hanya manusia yang
memiliki kewajiban untuk beribadah kepada Allah SWT. Ada makhluk lain yang juga
mendapat tugas yang sama. Makhluk itu adalah jin. Bangsa jin yang merupakan makhluk tak
kasat mata bagi manusia diciptakan Allah SWT. dari nyala api. Mereka juga memiliki
pola kehidupan selayaknya manusia. Dalam arti mereka juga memiliki hati nurani, akal, emosi,
bahkan kehidupan sosial. Mereka berkeluarga, bermasyarakat, dan juga bernegara.
Jin diciptakan Allah SWT. untuk beribadah kepada-Nya. Namun, syariat yang digunakan
dalam ibadah mereka, hanya Allah yang mengetahui. Ada sebagian pendapat mengatakan bahwa
syariat mereka adalah syariat manusia dan mengikuti ajaran yang disampaikan oleh para nabi
manusia. Pendapat ini dikuatkan dengan berbagai dasar Al-Qur’an dan hadis. Di antaranya hadis
dari Nabi Muhammad SAW. bahwa ada serombongan kaum jin yang datang menemui
Nabi Muhammad SAW. untuk belajar agama dan Nabi Muhammad SAW. pun dengan senang
hati menyampaikan pelajarannya.
Hal ini menunjukkan bahwa kaum jin belajar syariat kepada manusia. Dengan demikian, pastilah
mereka juga menggunakan syariat yang mereka pelajari tersebut. Pendapat lain menyebutkan
bahwa mereka memiliki syariat mereka sendiri dalam beribadah. Pendapat ini beralasan bahwa
karakteristik manusia dan jin berbeda. Oleh karena itu, seharusnyalah Allah menurunkan syariat
yang sesuai dengan keunikan yang dimiliki bangsa jin.
Sunnah atau hadits berdasarkan definisi menurut para ahli di atas, dapat dibedakan
menjadi 3 yaitu:
1. Sunnah Qauliyah, yaitu khabar berupa perkataan Nabi SAW yang didengar dan
disampaikan oleh seorang atau beberapa sahabat kepada orang lain.
2. Sunnah Fi’liyah, yaitu setiap perbuatan yang dilakukan oleh Nabi SAW yang
diketahui dan disampaikan oleh para sahabat kepada orang lain. Seperti tata cara
menunaikan shalat lima waktu yang dipraktekkan Nabi, cara berwudlu’ dan cara haji.
3. Sunnah Taqririyah, yaitu sesuatu yang timbul dari sahabat Rasulullah SAW yang
telah diakui oleh beliau, baik berupa ucapan maupun perbuatan.
4. Sunnah Hammiyah ialah: suatu yang dikehendaki Nabi Saw. tetapi belum dikerjakan.
Sebagian ulama hadis ada yang menambahkan perincian sunnah tersebut dengan
sunnah hammiyah. Karena dalam diri Nabi Saw. terdapat sifat-sifat, keadaan-
keadaan (ahwal) serta himmah (hasrat untuk melakukan sesuatu). Dalam riwayat
disebutkan beberapa sifat yang dimiliki beliau seperti, “bahwa Nabi Saw. selalu bermuka
cerah, berperangai halus dan lembut, tidak keras dan tidak pula kasar, tidak suka
berteriak, tidak suka berbicara kotor, tidak suka mencela,..” Juga mengenai sifat
jasmaniahbeliau
6. memahami ayat al quran dan hadist tentang kewajiabn menuntut ilmu dan
menyampaikan kepada sesama
1. Kewajiban menuntut ilmu surat at taubat
Ibnu Abu Hatim menjelaskan Asbabun nuzul surah At-Taubah 122 dari sebuah hadis yang
diriwayatkan Ikrimah. Beliau menceritakan, bahwa ketika diturunkan firman-Nya ini, yaitu,
"Jika kalian tidak berangkat untuk berperang, niscaya Allah menyiksa kalian dengan siksa yang
pedih." (Q.S. At-Taubah 39).
Kemudian turunlah surat ini (At-Taubah ayat 122) yang menjawab komentar orang-orang
munafik tersebut. "Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke
medan perang)." (Q.S At-Taubah ayat 122).
Ibnu Abu Hatim mengetengahkan pula hadis lainnya yang menjelaskan Asbabun nuzul surah At
Taubah 122. Riwayat hadis tersebut melalui Abdullah bin Ubaid bin Umair yang menceritakan,
bahwa keinginan umat Islam yang sangat besar untuk ikut berjihad sangat besar sehingga ketika
Rasulullah mengirimkan pasukan perang, maka mereka semuanya ingin berangkat. Mereka
meninggalkan Nabi SAW di Madinah bersama dengan orang-orang yang lemah. Maka turunlah
surat at-Taubah ayat 122 sebagai respon atas prilaku para sahabat nabi.
Berdasarkan asbabun nuzul surat at-Taubah ayat 122 di atas, dapat dipahami bahwa ketika umat
Islam berada dalam peperangan, hendaknya semua orang Islam tidak berangkat ke medan
perang. Akan tetapi sebagian umat Islam harus ada yang di tinggal di daerahnya untuk menuntut
ilmu. Para sahabat yang tidak berangkat ke medan perang bertugas menuntut ilmu dan
mendalaminya dengan tekun agar ajaran-ajaran agama itu dapat diajarkan secara merata, dan
dakwah dapat dilakukan dengan cara yang lebih efektif dan bermanfaat serta kecerdasan umat
Islam dapat ditingkatkan.
Pendalaman ilmu agama merupakan cara berjuang dengan menggunakan hujjah dan
penyampaian bukti-bukti. Islam menilai orang-orang yang menuntu ilmu sama halnya dengan
orang yang berjuang di medan perang. Dalam hal ini Rasulullah saw telah bersabda:
"Di hari kiamat kelak tinta yang digunakan untuk menulis oleh para ulama akan ditimbang
dengan darah para syuhada (yang gugur di medan perang)".
Tugas umat Islam adalah mempelajari ajaran agamanya, serta mengamalkannya dengan baik,
kemudian menyampaikan pengetahuan agama itu kepada yang belum mengetahuinya. Hal
tersebut merupakan kewajiban kolektif umat Islam dan setiap pribadi muslim sesuai dengan
kemampuan dan pengetahuan masing-masing, karena Rasulullah telah bersabda:
"Sampaikanlah olehmu (apa-apa yang telah kamu peroleh) daripadaku walaupun hanya satu ayat
Alquran".
Namun, tidak setiap orang Islam mendapat kesempatan untuk menuntut ilmu serta mendalami
ilmu agama. Ada yang dikarenakan sibuk dengan tugas di medan perang, di ladang, di pabrik, di
toko dan sebagainya.
Oleh karena itu harus ada sebagian umat Islam yang fokus menuntut ilmu dan mendalaminya
agar mereka dapat menyebarkan ilmu yang telah didapatkannya ketika kembali ke masyarakat
dan menjalankan misi dakwah Islam dengan cara atau metode yang baik sehingga mencapai hasil
yang lebih baik pula.
Orang-orang yang telah memiliki ilmu pengetahuan haruslah menjadi pelita bagi umatnya. Ia
harus menyebarluaskan ilmunya, dan membimbing orang lain agar memiliki ilmu pengetahuan
pula. Selain itu, ia sendiri juga harus mengamalkan ilmunya agar menjadi contoh dan teladan
bagi orang-orang sekitarnya dalam ketaatan menjalankan peraturan dan ajaran-ajaran agama.
Dari penjelasan asbabun nuzul surat at-Taubah ayat 122 di atas, dapat diambil suatu pengertian,
bahwa dalam bidang ilmu pengetahuan, setiap orang mukmin mempunyai tiga macam
kewajiban: menuntut ilmu, mengamalkannya dan mengajarkannya kepada orang lain.
Menurut pengertian yang tersurat dari surat at-Taubah ayat 122, kewajiban menuntut ilmu
pengetahuan dalam bidang ilmu agama lah yang ditekankan Allah SWT. Namun, setiap ilmu
pengetahuan yang berguna dan dapat mencerdaskan kehidupan mereka, serta tidak bertentangan
dengan norma-norma agama, wajib dipelajari.
Allah memerintahkan umat Islam untuk memakmurkan bumi ini dan menciptakan kehidupan
yang baik. Sedang ilmu pengetahuan adalah sarana untuk mencapai tujuan tersebut. Setiap sarana
yang diperlukan untuk melaksanakan kewajiban adalah wajib pula
hukumnya. [dutaislam.com/in]
Ilmu pengetahuan merupakan pengetahuan yang bertujuan mencapai kebenaran tentang sesuatu
yang diperoleh melalui pembelajaran.[2]
Begitupun Islam mewajibkan pemeluknya agar menjadi orang yang berilmu, berpengetahuan,
mengetahui segala kemaslahatan dan jalan kemanfaatan danmenganalisa segala pengalaman
yang di dapati oleh umat yang lalu, baik yang berhubungan dengan soal-soal keduniaan dan
segala kebutuhan hidup.
Kewajiban menuntut ilmu pengetahuan sangat di perlukan oleh manusia untuk mencapai
kebahagian di dunia maupun di akhirat, menuntut ilmu wajib bagi setiap orang, karena ilmu
memiliki struktur keilmuan yang mengandung dari bagian-bagian yang satu sama lain berkaitan.
[3]
Rasululloh Bersabda :
“Barangsiapa yang menapaki suatu jalan dalam rangka mencari ilmu maka Allah akan
memudahkan baginya jalan ke Surga”.
[ H.R. Ibnu Majah & Abu Dawud ]
َ = َسلَكMenapaki
= طَ ِر ْيقًاJalan
ُطلُب ْ َ = يmencari
= َسه ََّلmemudahkan[4]
2. Penjelasan
Menurut Ibnu Hajar kata Thoriqon diungkapkan dalam bentuk nakiroh, begitu juga dengan kata
ilmu yang mencakup semua jalan atau cara untuk mendapatkan ilmu, baik sdikit maupun banyak.
Kalimat سهَّ َل هَّللا ُ ِب ِه طَ ِريقًا
َ (Allah memudahkan baginya jalan), yaitu Allah memudahkan baginya
jalan diakhirat atau jalan di dunia, dengan cara memberi hidayah untuk melakukan perbuatan
baik yang mengantarkanny menuju surga. Hal ini mengandung berita gembira bagi orang yang
menuntut ilmu, bahwa Allah memudahkan mereka untuk mencari dan mendapatkannya, karena
menuntut ilmu adalah salah satu jalan menuju surga.
Dalam hadist di atas, Rosulullah memberikan motivasi belajar kepada para sahabat (umat)nya
dengan mengemukakan manfaat, keuntungan, dan kemudahan yang akan di dapat oleh setiap
orang yang berusaha mengikuti proses belajar. Meskipun Beliau tidak menggunakan kata
perintah, namun hadist di atas dapat di pahami sebagai perintah.
Anjuran yang terdapat dalam hadist ini sejalan dengan pernyataan Allah dslam al-Quran surah
al-Fatir (35):28.
Alloh Ta’ala berfirman :
Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. [Al
Fathir: 28]
Menurut Ibnu Abbas, “ Orang yang berilmu tentang Allah yang maha Pencipta di antara
hamba-hambanya adalah orany yang menyekutukannya dengan suatu apapun, menghalalkan apa
yang di halalkan Allah, mengharamkan apa yang di haramkan-Nya.
Dari Hadist dan atsar di atas dapat di pahami dengan jelas bahwa ilmu pengetahuan itu
memudahkan orang yang menuju surga. Hal itu mudah di pahami karena dengan ilmu, seseorang
yang mengetahui aqidah yang benar, cara-cara beribadah dengan benar dan bentuk-bentuk
akhlak yang mulia. Sdlain itu orang berilmu mengetahui pula hal-hal yang dapat merusak aqidah
tauhid, perkara-perkara yang merusak pahala ibadah, dan memahami pula sifat dan perilaku
buruk yang perlu di hindari. Semua itu akan membawanya ke surga bahkan kesejahteraan di
dunia.[6]
Dari abu hurairah r.a. berkata: aku mendengar Rosulallah saw bersabda: ”Ingatlah, bahwa
dunia ini terkutuk , dan semua yang ada di dalamnya juga terkutuk, kecuali dzikrullah dan
sesuatu yang di cintainya, orang alim (orang yang berilmu) dan orang yang belajar ilmu”.(HR.at-
Turmudzi dan ia berkata ini hadist hasan).
Hadist ini menjelaskan bimbingan Rasulullah saw kepada umatnya, bagaimana bersahabat
dengan dunia atau benda yang ada yang ada di sekitarnya. Dunia dan benda di sekitarnya tidak
membahagiakan manusia dan tidak seluruhnya menyelamatkan dari penderitaan. Oleh karena itu,
dunia dan benda di sekitar kita yang di miliki akan di minta pertanggung jawaban di sisi Allah
nanti.
Dari Anas bin Malik berkata: Rosulallah saw bersabda: ”Barang siapa yang keluar dalam
mencari ilmu, maka ia pada jalan Allah sehingga ia pulang “. (HR.at-Turmudzi)
Hadist ini memberi motivasi kepada umat agar selalu mencari ilmu dan selalu menuntut ilmu.
Mencari ilmu adalah kebutuhan pokok bagi manusia untuk membekali kehidupannya yang
sangat bermanfaat,bagi orang mukmin kemanfaatan ilmu yang di peroleh di dunia dan akhirat.[7]
7. pengertian , kedudukan sejarah tasawuf dalam islam
Menurut Etimologi
Pengertian tasawuf menurut etimologi juga pendekatan lainnya, terdapat perbedaan. Secara
umum, diantara perbedaan tersebut tentu ada garis merah atau benang merah yang dapat ditarik.
Tasawuf berasal dari istilah shuffah. Shuffah berarti serambi tempat duduk. Suffah berasal di
serambi masjid Madinah yang disediakan untuk mereka yang belum memiliki tempat tinggal
atau rumah dan dari orang-orang muhajirin yang ada di Masa Rasulullah SAW. Mereka dipanggi
sebagai Ahli Suffah atau Pemilik Sufah karena di serambi masjid Madinah itulah tempat mereka.
Selain itu, istilah tawasuf juga berasal dari kata Shaf. Shaf memiliki arti barisan. Istilah ini
dilekatkan kepada tasawuf karena mereka, para kaum sufi, memiliki iman yang kuat, jiwa dan
hati yang suci, ikhlas, bersih, dan mereka senantiasa berada dalam barisan yang terdepan jika
melakukan shalat berjamaah atau dalam melakukan peperangan.
Istilah Tasawuf juga ada yang mengatakan berasal dari kata shafa yang artinya bersih atau jernih
dan kata shufanah yang memiliki arti jenis kayu yang dapat bertahan tumbuh di daerah padang
pasir yang gersang.
Pengertian Tasawuf juga berasal dari kata Shuf yang berarti bulu domba. Pengertian ini muncul
dikarenakan kaum sufi sering menggunakan pakaian yang berasal dari bulu domba kasar. Hal ini
melambangkan bahwa mereka menjunjung kerendahan hati serta menghindari sikap
menyombongkan diri. Selain itu juga sebagai simbol usaha untuk meninggalkan urusan-urusan
yang bersifat duniawi. Orang-orang yang menggunakan pakaian domba tersebut dipanggil
dengan istilah Mutashawwif dan perilakunya disebut Tasawuf.
Menurut Terminologi
Pengertian tasawuf menurut terminologi dari para ahli sufi juga terdapat varian-varian yang
berbeda. Hal ini dapat dijelaskan dari berbagai pandangan sufi berikut:
Menurut seorang sufi yang berasal dari Baghdad dan bernama Imam Junaid, Tasawuf memiliki
definisi sebagai mengambil sifat mulia dan meninggalkan setiap sifat rendah.
2. Menurut Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili
Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili adalah seorang syekh yang berasal dari Afrika Utara. Sebagai
seorang sufi ia mendefinisikan tasawuf sebagai proses praktek dan latihan diri melalui cinta yang
mendalam untuk ibadah dan mengembailikan diri ke jalan Tuhan.
3. Sahal Al-Tustury
Sahal Al Tustury mendefinisikan tasawuf sebaai terputusnya hubungan dengan manusia dan
memandang emas dan kerikil. Hal ini tentu ditunjukkan untuk terus menerus berhubungan dan
membangun kecintaan mendalam pada Allah SWT.
Menurut Syeikh Ahmaz Zorruq yang berasal dari Maroko, Tasawuf adalah ilmu yang dapat
memperbaiki hati dan menjadikannya semata-mata untuk Allah dengan menggunakan
pengetahuan yang ada tentang jalan islam. Pengetahuan ini dikhususkan pada pengetahuan fiqh
dan yang memiliki kaitan untuk mempebaiki amalan dan menjaganya sesuai dengan batasan
syariah islam. Hal ini ditujukan agar kebikjasanaan menjadi hal yang nyata.
Keteladan Rosulullah Saw yang telah mendapatkan penilaian super cum laude dari Allah, adalah target
yang ingin dicapai atau setidaknya didekati oleh/dengan tasawuf keteladanan itu.[5] Sufisme atau
tasawuf atau mistisisme Islam, adalah suatu situasi pengalaman spiritual yang pararel dengan aliran
utama kesadaran Islam yang diurunakan dari wahyu profetis dan yang dipahami dalam syai1ah dan
teologi. Dalam madzhab sufi mengatakan mistisisme adalah metode tertentu dalam penghampiran
kepada realitas dengan memamfaatkan fakultas-fakultas spiritual intuitif dan emosional yang umumnya
tidak aktif dan terpendam.
Sufisme adalah bunga atau getah dari pohon Islam. Atau dapat pula dikatakan bahwa sufisme adalah
permata diatas mahkota Islam. Ketika kita berbicara sufisme, maka sebenarnya kita sedang berbicara
mengenai aspek tradisi Islam yang paling dalam dan universal. Kenyataan bahwa pada saat ini di Barat
banyak sekali perhatian yang tertuju kepada metafisika dan spiritualitas Timur. Apa lagi di era modern
seperti saat ini kebutuhan terhadaf tasaawuf sangat dibutuhkan, karena manusia modern sangat haus
dan dahaga akan kebutuhan-kebutuhan spiritual untuk memperoleh kepastian ((yakin). Oleh sebab itu,
dalam tasawuf ditunjukan tahapa-tahapan menuju kesempurnaan spiritual untuk mendapatkan
kepastian itu berdasarkan kata-kata Al-Quran, yaitu : sains atau ilmu mengenai kepastian, mata
kepastian, dan kebenaran mengenai kepastian.
Ketiga tingkatan ini merupkan tahapan-tahapan utama didalam proses inisiasi, yaitu tahap pengetahuan
mental, tahap penyaksian dan tahap realisasi terhadap hal-hal suci di dalam diri. Kehidupan sosial
manusia modern yang semakin komplek menuntut adanya pencerahan spiritual, ketajaman mata batin
disamping kecerdasan rasio. Semakain manusia mampu menyadari pentingnya pesan sufisme dengan
segala kandungan spiritual dalam kehidupannya, maka ia akan semakin cerdas secara spiritual. Manusia
modern juga perlu mengembalikan aktivitas perenungan kehidupannya. Setiap perenungan yang
dilakukan dan diinternalisasikan dalam diri manusia dapat memberikan semacam petunjuk karena
adanya proses evaluasi dan intropeksi di dalamnya. Dengan berkontemplasi, manusia akan semakin tahu
siapa dirinya, sehingga dengan demikian juga niscaya mengetahui siapa Tuhannya. Dengan demikian,
tasawuf benar-benar merupakan kebutuhan spiritual bagi manusia modrn.[6] jadi kedudukan tasawuf
dalam syari`at Islam
Pertama, sebagai metode atau jalan untuk mendapatkan kelezatan dalam beribadah, karena tasawuf
dipandang sebagai salah satu metode untuk mendapatkan hal tersebut, sehingga kelezatan ibadah tidak
akan didapat apabila orang-orang muslim tidak bertasawuf.
Kedua, sebagai metode untuk mencapai derajat ihsan, karena tasawuf mempunyai sumber dan landasan
yang kokoh, kuat dari ajaran Islam.
Keempat, tasawuf sebagai landasan dalam mengaplikasikan rasa syukur baik syukur secara lisan, tingkah
laku atau kemantapan hati dalam melaksanakan segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan
Allah.
Kelima, tasawuf sebagai ruang untuk menilai dan mempelajari serta menelaah kelemahan diri didalam
melaksanakan kewajiban atau perbuatan baik dan kesukaran dalam menjauhi serta meninggalkan apa-
apa yang dilarang oleh Islam.[7]
QS. Al Hujurat (49):12 ض ُك ْم َبعْ ضًا ُ ْالظنِّ إِ ْث ٌم َواَل َت َج َّسسُوا َواَل َي ْغ َتبْ َبع َّ ض َ َيا أَ ُّي َها الَّذ
َّ ِين آَ َم ُنوا اجْ َت ِنبُوا َكثِيرً ا م َِن
َ ْالظنِّ إِنَّ َبع
)12( أَ ُيحِبُّ أَ َح ُد ُك ْم أَنْ َيأْ ُك َل َلحْ َم أَخِي ِه َم ْي ًتا َف َك ِرهْ ُتمُوهُ َوا َّتقُوا هَّللا َ إِنَّ هَّللا َ َت َّوابٌ َرحِي ٌم
َ ون إِ ْخ َوةٌ َفأَصْ لِحُوا َبي َْن أَ َخ َو ْي ُك ْم َوا َّتقُوا هَّللا َ لَ َعلَّ ُك ْم ُترْ َحم
QS. Al Hujurat (49):10 )10( ُون َ إِ َّن َما ْالم ُْؤ ِم ُن
QS. Al Anfal (8): 72 Terjemahan : Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad
dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan
pertoIongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itu satu sama lain lindung-melindungi. Dan
(terhadap) orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban sedikitpun
atasmu melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah. (Akan tetapi) jika mereka meminta pertolongan
kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali
terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kamu dengan mereka. Dan Allah Maha Melihat apa
yang kamu kerjakan.
Kandungan QS. Al Anfal (8): 72 Pada ayat ini disebutkan tiga golongan antara lain : Golongan Muhajirin,
Golongan Anshor dan golongan kaum muslimin yang tidak berhijrah ke Madinah. -Golongan pertama
ialah yang memperoleh derajat tertinggi dan mulia di sisi Allah yaitu kaum Muhajirin yang pertama-tama
berhijrah bersama Nabi Muhammad saw. ke Madinah dan orang-orang yang menyusul berhijrah
kemudian yaitu berhijrah sebelum terjadinya perang Badar. Semua kekerasan dan kekejaman yang
ditimpakan kepada kaum Muhajirin ini disambut dengan sabar dan tabah dan tidak dapat
menggoyahkan keimanan mereka sedikit pun. Mereka tetap bertahan dan berjuang membela agama
yang hak dan bersedia berkorban dengan harta dan jiwa, bahkan mereka bersedia meninggalkan
kampung halaman, anak, istri dan harta benda mereka. Oleh sebab itu mereka diberi sebutan oleh Allah
dengan keistimewaan, pertama "beriman", kedua "berhijrah", ketiga "berjuang dengan harta dan benda
di jalan Allah".
Golongan kedua ialah: "Kaum Ansar" di Madinah yang memeluk agama Islam, beriman kepada Nabi saw.
dan mereka berjanji kepada Nabi dan kaum Muhajirin akan sama-sama berjuang di jalan Allah, bersedia
menanggung segala resiko dan duka perjuangan, untuk itu mereka siap berkorban dengan harta dan
jiwa. Nabi Muhammad saw. menanamkan rasa ukhuwah Islamiah antara kedua golongan ini sehingga
kaum Ansar memandang kaum Muhajirin sebagai saudara keturunannya, masing-masing golongan
dapat mewarisi. Karena itu Allah memberikan dua sebutan kepada mereka, pertama "memberi tempat
kediaman" dan kedua "penolong dan pembantu" dalam hal ini pula mereka dinamai "kaum Ansar".
Seakan-akan kedua golongan ini karena akrabnya hubungan telah menjadi satu, sehingga tidak ada lagi
perbedaan hak dan kewajiban di antara mereka. Karena itu Allah telah menetapkan bahwa hubungan
antara sesama mereka adalah hubungan karib kerabat, hubungan setia kawan, masing-masing merasa
berkewajiban membantu dan menolong satu sama lainnya bila ditimpa suatu bahaya atau malapetaka.
Mereka saling tolong-menolong, saling nasihat-menasihati dan tidak akan membiarkan orang lain
mengurus urusan mereka, hanya dari kalangan merekalah diangkat pemimpin bilamana mereka
membutuhkan pemimpin yang akan menanggulangi urusan mereka.
Golongan ketiga ialah: golongan kaum Muslimin yang tidak berhijrah ke Madinah. Mereka tetap saja
tinggal di negeri yang dikuasai oleh kaum musyrikin seperti orang mukmin yang berada di Mekah dan
beberapa tempat di sekitar kota Madinah. Mereka tidak dapat disamakan dengan kedua golongan
Muhajirin dan Ansar karena mereka tidak berada dikalangan masyarakat Islam, tetapi berada di
kalangan masyarakat musyrikin. Maka hubungan antara mereka dengan kaum Muslimin di Madinah
tidak disamakan dengan hubungan antara mukmin Muhajirin dan Ansar dalam masyarakat Islam. Kalau
hubungan antara sesama mukmin di Madinah sangat erat sekali bahkan sudah sampai kepada tingkat
hubungan karib kerabat dan keturunan, maka hubungan dengan yang ketiga ini hanya diikat dengan
keimanan saja. Demikianlah hubungan antara dua golongan pertama dengan golongan ketiga ini, yang
harus diperhatikan dan diamalkan dan mereka harus bertindak sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang
telah ditetapkan Allah. Allah selalu melihat dan mengetahui apa yang dilakukan oleh hamba-Nya.
QS. Al Hujurat (49):12 Terjemahan : Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka
(kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang
dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan
daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah
kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.
Kandungan QS. Al Hujurat (49): 12 Al-Qur’an surah al-Hujurat /49: 12 menjelaskan bahwa Allah Swt.
melarang berprasangka buruk, yaitu menyangka seseorang melakukan perbuatan buruk Umar bin Al
Khathab ra. pernah berkata, "Janganlah kalian berprasangka terhadap ucapan yang keluar dari saudara
mukmin kecuali dengan prasangka baik. Sedangkan engkau sendiri mendapati adanya kemungkinan
ucapan itu mengandung kebaikan." Malik meriwayatkan dari Abu Hurairah RA, bahwa Rasulllah saw
bersabda, "Jauhilah prasangka, karena prasangka itu adalah sedusta-dusta perkataan. Janganlah kalian
meneliti rahasia orang lain, mencuri dengan, bersaing yang tidak baik, saling dengki, saling membenci,
dan saling membelakangi. Jadilah kalian ini sebagai hamba-hamba Allah yang bersaudara." (hadis ini
juga diriwayatkan oleh Bukhari, dan Muslim, juga Abu Dawud) Pada surah al-Hujurat /49: 12 juga
terdapat pemberitahuan tentang larangan berghibah. Ghibah masih diperbolehkan bila terdapat
kemaslahatan yang lebih kuat, seperti misalnya dalam Jarh (menilai cacat dalam masalah hadits), Ta'dil
(menilai baik/peninjauan kembali dalam masalah hadits), dan nasihat. Adapun bagi orang-orang yang
berghibah/menggunjing orang lain, diwajibkan bertaubat atas kesalahannya, dan melepaskan diri
darinya (bergunjing) serta berkemauan keras untuk tidak mengulanginya lagi. Diriwayatkan oleh malik
dari Abu Hurairah RA, bahwarasulullah SAW bersabda اياكم والظن فان الظن الحديث وال تجسسوا وال
) نتافسوا والتحاسدوا وال تباعضوا وال تدابروا وكونوا عبادالله اخونا( متفق عليه
Artinya: Jauhilah prasangka karena prasangka itu adalah cerita yang paling dusta, dan janganlah kamu
saling memaki, saling mencari kesalahan, saling membanggakan, saling beriri,saling membenci, dan
jadilah kamu hamba – hamba Allah yang bersaudara .
QS. Al Hujurat (49):10 Terjemahan : Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu
damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya
kamu mendapat rahmat.
Kandungan QS. Al Hujurat (49): 10 Sesungguhnya orang-orang mukmin yang mantap imannya serta
dihimpun oleh keimanan, kendati tidak seketurunan adalah bagaikan bersaudara seketurunan, dengan
demikian mereka memiliki keterikatan bersama dalam iman dan juga keterikatan bagaikan seketurunan;
karena itu wahai orang-orang beriman yang tidak terlibat langsung dalam pertikaian antar kelompok-
kelompok damaikanlah walau pertikaian itu hanya terjadi antara kedua saudara kamu apalagi jika
jumlah yang bertikai lebih dari dua orang dan bertakwalah kepada Allah yakni jagalah diri kamu agar
tidak ditimpa bencana, baik akibat pertikaian itu maupun selainnya supaya kamu mendapat rahmat
antara lainrahmatpersatuan dan kesatuan. Kata ( )إنماdigunakan untuk membatasi sesuatu. Di sini kaum
beriman dibatasi hakikat hubungan mereka dengan persaudaraan. Seakan-akan tidak ada jalinan
hubungan antar mereka kecuali persaudaraan itu. Kata ( )إخواةadalah bentuk jamak dari kata ()أخ, yang
dalam kamus-kamus bahasa sering kali diterjemahkan saudara atau sahabat. Kata ini pada mulanya
berarti yang sama. Persamaan dalam garis keturunan mengakibatkan persaudaraan, demikian juga
persamaan dalam sifat atau bentuk apapun. Ada juga persaudaraan karena persamaan kemakhlukan,
seperti Nabi Muhammad saw. menamakan jin adalah saudara-saudara manusia. Ayat di atas
mengisyaratkan dengan sangat jelas bahwa persatuan dan kesatuan, serta hubungan harmonis antar
anggota masyarakat kecil atau besar, akan melahirkan limpahan rahmat bagi mereka semua. Sebaliknya,
perpecahan dan keretakan hubungan mengundang lahirnya bencana buat mereka, yang pada
puncaknya dapat melahirkan pertumpahan darah dan perang saudara sebagaimana dipahami dari kata
qital yang puncaknya adalah peperangan.
Rangkuman Materi Alquran QS. Al Anfal (8): 72); QS. Al Hujurat (49):12; dan QS Al Hujurat (49):10 1.
QS. Al Anfal (8): 72 Tiga golongan dalam umat islam antara lain : Golongan Muhajirin, Golongan Anshor
dan golongan kaum muslimin yang tidak berhijrah ke Madinah.
2. QS. Al Hujurat (49):12 Allah SWT. Melarang hamba-hambanya yang beriman berprasangka buruk
pada keluarganya dan terhadap orang lain. karena sebagian prasangka itu merupakan perbuatan yang
mengakibatkan dosa dan janganlah kamu mencari – cari kesalahan orang lain Allah memperumpamakan
orang yang menggungjing selain saudaranya yang mukmin seperti orang yang memakan daging
saudaranya yang mati.
3. QS Al Hujurat (49):10 Persatuan dan kesatuan, serta hubungan harmonis antar anggota masyarakat
kecil atau besar, akan melahirkan limpahan rahmat bagi mereka semua. Sebaliknya, perpecahan dan
keretakan hubungan mengundang lahirnya bencana buat mereka, yang pada puncaknya dapat
melahirkan pertumpahan darah dan perang saudara sebagaimana dipahami dari kata qital yang
puncaknya adalah peperangan.
Hadist
Kandungan Q.S. Al-Hujurat /49: 10
9. Qishash
Qishash berasal dari kata قصاصyang artinya memotong atau berasal dari kata Iqtassan yang artinya
mengikuti, yakni mengikuti perbuatan si penjahat sebagai pembalasan atas perbuatannya. Menurut syara'
qishash ialah hukuman balasan seimbang bagi pelaku pembunuhan maupun perusakan atau penghilangan
fungsi anggota tubuh orang lain yang dilakukan dengan sengaja.
Macam-Macam Qishash
Berdasarkan pengertian di atas maka qishash dibedakan menjadi dua yaitu:
Qishash pembunuhan (yang merupakan hukuman bagi pembunuh).
Qishash anggota badan (yang merupakan hukuman bagi pelaku tindak pidana melukai, merusak atau
menghilangkat fungsi anggota badan).
Hukum Qishash
Hukum mengenai qishash ini, baik qishash pembunuhan maupun qishash anggota badan, dijelaskan
dalam Al-Qur'an surat Al-Miadah ayat 45:
وكتبنا عليهم فيها ان النفس بالنفس والعين بالعين واالنف باالنف واالذن باالذن والسن بالسن والجروح قصاص فمن تصدق به فهو كفارة له
ومن لم يحكم بما انزل هللا فاولئك هم الظالمون
Artinya:
Dan kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At-Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan
jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan lukapun ada
qishashnya. Barang siapa melepaskan (hak qishashnya) akan melepaskan hak itu (menjadi) penembus
dosa baginya. Barang siapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka
mereka itu adalah orang-orang yang dzalim. (Q.S Al-Maidah ayat 45)
Syarat-Syarat Qishash
Hukuman qishash wajib dilakukan apabila memenuhi syarat-syarat sebagaimana berikut:
A. Orang yang terbunuh terpelihara darahnya (orang yang benar-benar baik). Jika seorang mukmim
membunuh orang kafir, orang murtad, pezina yang sudah menikah, ataupun seorang pembunuh, maka dal
hal ini hukuman qishash tidak berlaku. Rasulullah SAW bersabda:
Hadis di atas menjelaskan bahwa seorang muslim yang membunuh orang kafir tidak diqishash. Pun
demikian, harus dipahami bahwa orang kafir terbagi menjadi bagian yaitu:
Kafir yang melakukan tindak kedzaliman kepada kalangan muslimin hingga sampai pada tahapan
"memerangi". Seorang muslim yang membunuh kafir ini tidak diqishash dan tidak dikenai hukuman
apapun.
Kafir yang berada di bawah kekuasaan penguasa muslim dan berinteraksi secara damai dengan kalangan
muslimin. Penguasa muslim berhak menghukum seorang muslim yang membunuh kafir dzimmi. Semakin
jelas disini, bahwa pada prinsipnya seorang muslim harus menghargai siapapun, termasuk juga kalangan
non muslim, selama mereka tidak berniat menghancurkan dinul Islam dan mendzalimi kalngan muslimin.
Tidak dibunuh seorang bapak (orang tua) yang membunuh anaknya. (H.R Ahmad dan At-Tirmidzi)
Dalam hal ini hakim berhak menjatuhkan ta'zir kepada orang tua tersebut, semisal mengasingkannya
dalam rentangw aktu tertentu atau hukuman lain sehingga membuatnya ia jera. Adapun jika seorang anak
membunuh orang tuanya maka ia wajib dihukum qishash.
D. Orang yang dibunuh sama derajatnya dengan orang yang membunuh. Seperti muslim dengan muslim,
merdeka dengan merdeka, dan hamba dengan hamba. Allah berfirman:
ا ايها الذين امنوا كتب عليكم القصاص في القتلى الحر بالحر والعبد بالعبد واالنثى باالنثى فمن عفي له من اخيه شيء فاتباع بالمعروف
واداء اليه باحسان ذلك تخفيف من ربكم ورحمة فمن اعتدى بعد ذلك فله عذاب اليم
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang
dibunuh, orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. (Q.S
Al-Baqarah ayat 178)
E. Qishash dilakukan dalam hal yang sama. Misalnya jiwa dengan jiwa, mata dengan mata, dan lain
sebagainya. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al-Maidah ayat 45:
وكتبنا عليهم فيها ان النفس بالنفس والعين بالعين واالنف باالنف واالذن باالذن والسن بالسن والجروح قصاص فمن تصدق به فهو كفارة له
ومن لم يحكم بما انزل هللا فاولئك هم الظالمون
Artinya:
Dan kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At-Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan
jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan lukapun ada
qishashnya. Barang siapa melepaskan (hak qishashnya) akan melepaskan hak itu (menjadi) penembus
dosa baginya. Barang siapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka
mereka itu adalah orang-orang yang dzalim. (Q.S Al-Maidah ayat 45)
Hikmah Qishah
Hikmah yang dapat dipetik bahwa Islam menerapkan hukuman yang sangat menjaga serta menjaga
kehormatan dan kesalamatan jiwa manusia. Perilaku perbuatan pembunuhan diancam dengan qishash
baik yang terkait pada al-jinayat 'alan nafsi (tindakan pidana pembunuhan) ataupun al-jinayah 'ala ma
dunan nafsi (tindakan pidana yang berupa merusak anggota badan ataupun menghilangkan fungsinya)
akan menimbulkan banyak efek postitif. Yang terpeting diantaranya adalah:
1. Dapat memberikan pelajaran bagi kita bahwa keadilan harus ditegakkan.
2. Dapat memberikan keamanan dan ketertiban.
3. Dapat mencegah pertentangan dan permusuhan yang mengundang pertumpahan darah.
10. Muhammad Abduh
Di bidang politik, ia berpendapat bahwa terdapat hubungan yang erat antara seseorang dengan tanah airnya.
Prinsip demokrasi harus secara bersama-sama dilaksanakan oleh rakyat dan pemerintah. Sejarah Islam telah
membuktikan betapa kuatnya demokrasi dipegangi oleh kaum muslimn pada masa-masa pertama Islam.
Muhamad Abduh berpendapat bahwa tiap negara mempunyai Undang-undang yang cocok dengan dasar-dasar
kebudayaan dan politik yang berlaku di tempat itu atas dasar perbedaan geografi, keadaaan perdagangan serta
pertaniaannya. penyususn undang-undang tidak perlu meniru pembuatan undang-undang di Negara lain. Mengenai
bentuk undang-undang dan peraturan pada umumnya bagi suatu bangsa, harus mencerminkan karakter rakyatnya
sesuai dengan kebiasaan hidupnya. Jadi pendidikanlah yang terlebih dahulu diutamakan agar mereka bisa
mencapai tujuan.
Adapun fungsi undang-undang dikatakan hanya memelihara keadaan yang sudah ada bukan untuk mengadakan
perubahan. Sedangkan perubahan adat dan akhlak suatu umat dan pengarahan kepada suatu tujuan hanya bisa
dicapai dengan pendidkan bukan dengan undang-undang.
Dengan ketiga hal tersebut yakni tanah air, demokrasi dan pertalian undang-undang dengan keadaan tanah air
seperti bahasa, agama, adat dan akhlak, Muhammad Abduh telah membentangkan apa yang harus dibela oleh
seorang warga Negara dan yang telah membentuk kepribadiannya sebagai manusia dan warga negara. Karena itu
seorang tidak boleh mengorbankan tanah airnya, bagaimanapaun juga keadaanya dan tidak boleh mengorbankan
bahasa, agama, akhlak dan tradisi bangsanya sebagaimana ia harus memegangi prinsip demokrasi dalam
pemerintahan.