Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perindustrian di Indonesia kian berkembang pesat salah satu industri yang
kian menjanjikan adalah industri penyamakan kulit yang mana proses penyamakan
kulit ini adalah proses memperbaiki karakteristik kulit mentah (skin dan hide) yang
labil (mudah rusak) menjadi kulit olahan (leather) yg lebih stabil (awet, tahan lama)
yang selanjutnya dapat diolah menjadi beragam kerajinan kulit, namun disamping itu
keadaan limbah imdustri di indonesia semakin hari kian memprihatinkan, begitupun
dengan limbah industri penyamakan kulit yang sering dipermasalahkan dan
berpotensi besar dapat mencemari lingkungan yang ada di sekitarnya baik melalui air,
tanah dan udara.
Salah satu industri kulit yang kian tersohor adalah industri kulit sukaregang
yang berada di Kabupaten Garut Jawa Barat. Kota Garut juga dikenal mancanegara
sebagai sentra kerajinan kulit dan kegiatan pengolahan kulit menjadi kerajinan,
kegiatan ini juga telah dijadikan mata pencaharian bagi sebagian warga Kabupaten
Garut. Namun disamping itu kegiatan dari proses penyamakan kulit ini menghasilkan
limbah cair yang dapat mencemari lingkungan dan sangat meresahkan masyarakat.
Limbah adalah suatu hasil sampingan dari suatu proses yang sudah tidak dapat
digunakan lagi. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82
tahun 2001 limbah adalah sisa suatu usaha atau kegiatan yang mengandung bahan
berbahaya atau beracun yang karena sifat atau konsentrasinya dan jumlahnya baik
secara langsung atau tidak langsung akan dapat membahayakan lingkungan hidup,
kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk lain. Air limbah adalah sisa
dari suatu usaha dan atau kegiatan yang berwujud cair, air limbah dapat berasal dari
rumah tangga (domestik) maupun industri.
Salah satu jenis limbah cair yang dihasilkan oleh kegiatan industri adalah
limbah cair yang mengandung logam berat, pada umumnya logam berat adalah
senyawa yang bersifat toksik dan dapat merusak lingkungan, salah satu logam berat
yang digunakan dalam kegiatan industri penyamakan kulit adalah kromium (Cr),
yang digunakan sebagai katalis penyamakan kulit. Senyawa kromium (Cr)
merupakan logam pasif berwarna putih perak dan lembek jika dalam keadaan
murninya. Kromium memiliki nomor atom 24 dan massa atom relatif 51,996
gram/mol, titik didih 2665 oC, titik leleh 1875 oC, dan jari-jari atom 128 pm.
Senyawa krom pada limbah cair penyamakan kulit ini berasal dari proses
penyamakan kulit yang menggunakan kromium sulfat antara 60% sampai 70% dalam
bentuk larutan krom sulfat tidak semuanya dapat terserap oleh kulit pada proses
penyamakan, sehinnga sisanya dikeluarkan dalam bentuk cairan sebagai limbah cair.
Keberadaan krom (Cr) sering kali dikaitkan dengan kanker karena senyawa kromium
(cr) ini bersifat toksik, karsinogenik dan dengan kadar yang tingi dalam limbah cair
industri penyamakan kulit dapat menyebabkan pencemaran lingkungan dan
berdampak besar bagi kesehatan manusia yang dapat berpengaruh pada hati, ginjal
dan saluran pernafasan manusia.
Beberapa metode telah banyak dilakukan untuk memisahkan krom (Cr) pada
limbah cair seperti metode reduksi, pertukaran ion dan menggunakan
mikroorganisme. Adapun alternatif lain untuk memisahklan krom (cr) dari limbah
cair yaitu dengan menggunakan pengolahan secara biologi dengan teknik
fitoremediasi yang memanfaatkan tumbuhan air untuk menyerap bahan pencemar
logam berat kromium (Cr) dari limbah industri penyamakan kulit.
Beberapa tumbuhan air yang digunakan untuk menyisihkan kromium (Cr)
pada limbah cair ini adalah tanaman kayu apu atau kiapu (Pistia stratiotes L.), Eceng
gondok (Eichhornia crassipes) dan Kiambang (Salvinia molesta). Tanaman-tanaman
ini juga kerap dianggap gulma oleh para petani karena mengganggu kelangsungan
hidup dari tanaman pokok yang ditanam oleh para petani, karena dengan adanya
gulma di kawasan pertanian maka akan terjadi kompetesi perebutan nutrisi dengan
tanaman pokok sehingga tanaman pokok yang ditanam petani tidak mampu untuk
tumbuh sempurna.
Kondisi-kondisi tersebut melatarbelakangi peneluti untuk membandingkan
kemampuan dari ketiga tanaman tersebut dalam menyerap logam berat kromium
(Cr.).
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan dari latar belakang adapun permasalahan yang ditemukan yaitu
seberapa besar kemampuan dari tanaman kayu apu (Pistia stratiotes L.), eceng
gondok (Eichhornia crassipes) dan kiambang (Salvinia molesta). dalam
mmenyisihkan logam berat kromium (Cr.) dari hasil limbah penyamakan kulit.
1.3 Ruang Lingkup
Adapun lingkupan dari perencanaan studi ini adalah sebagai berikut:
1. Parameter yang diukur adalah konsentrasi kromium (Cr) pada air limbah
2. Penelitian dilakukan di Laboratorium
3. Metode yang digunakan adalah fitoremediasi logam berat kromium (Cr)
dengan menggunakan tanaman air
4. Tanaman air yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanaman kayu
apu (Pistia stratiotes L), eceng gondok (Eichhornia crassipes) dan
kiambang (Salvinia molesta).
1.4 Tujuan Penelitian
Mengetahui tingkat efisiensi dari tanaman kayu apu (Pistia stratiotes L)
eceng gondok (Eichhornia crassipes) dan kiambang (Salvinia molesta). Dalam
mengurangi kadar logam berat kromium (Cr) pada limnbah penyamakan kulit.
1.5 Sistematika Penulisan
BAB I : PENDAHULUAN
Berisikan tentang latar belakang, rumusan masalah, ruang lingkup, tujuan
penelitian dan sistematika penulisan
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Berisikan tentang landasan teori mengenai limbah, pengelolaan limbah
industri, kromium (Cr), fitoremediasi karakteristik dari tanaman air kayu apu (Pistia
stratiotes L.), eceng gondok (Eichhornia crassipes) dan kiambang (Salvinia molesta)
dan Spektrometri serapan atom (SSA).
BAB III : METODOLOGI PENELITIAN
Berisikan tentang variable penelitian, peralatan dan bahan yang digunakan
dalam penelitian, prosedur penelitian serta lokasi penelitian
BAB IV : HASIL dan PEMBAHASAN
Berisikan tentang penyajian data hasil dari penelitian yang diperoleh, dan
pembahasan mengenai apa saja yang terjadi dalam proses fitoremediasi oleh tanaman
kayu apu.
BAB V : KESIMPULAN dan SARAN
Berisikan tentang kesimpulan yang didapat dari penelitian yang dilakukan
serta saran.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Limbah
Secara umum limbah adalah sisa dari kegiatan manusia yang sudah tidak
dapat dimanfaatkan lagi dan berpotensi merusak lingkungan. limbah ini merupakan
sisa atau sampah dari suatu proses kegiatan atau aktivitas manusia yang bisa menjadi
bahan polutan di suatu lingkungan ( Karmana, 2007). Menurut Keputusan
Menperindag RI NO. 231/MPP/KEP/7/1997 Pasal 1 Limbah adalah bahan / barang
sisa atau bekas dari suatu kegiatan atau proses produksi yang fungsinya sudah
berubah dari aslinya, kecuali yang dapat dimakan oleh manusia atau hewan.

Dalam jumlah tertentu limbah berdampak negatif pada lingkungan utamanya


pada kesehatan manusia dan ekosistem hewan dan juga tumbuh-tumbuhan. Dimana
ada kegiatan manusia maka disana dihasilkan limbah, Sebagai sisa dari kegiatan
untuk memenuhi kebutuhan manusia limbah perlu dikelola dan diberikanb perhatian
khusus sebelum di lepaskan ke lingkungan karena pada dasarrnya limbah tidak boleh
terakumulasi di alam karena dapat mengganggu kelangsungan hidup dari seluruh
makhluk hidup baik itu tanaman, hewan serta manusia, maka dari itu pembuangan
limbah kelingkungan haruslah dibatasi pada suatu tingkat yang melebihi daya dukung
lingkungan.

Seluruh kegiatan dalam memenuhi kebutuhan manusia berpotensi


menghasilkan limbah dan limbah yang dihasilkan pun beragam, maka dari itu limbah
dapat dibedakan sebagai berikut:
1. Berdasarkan Wujudnya
a. Limbah padat
b. Limbah gas
c. Limbah cair

2. Jenis Kimia
a. Organik
b. Anorganik
3. Jenis Bahaya
a. Limbah B3 ( Bahan Beracun dan Berbahaya)
b. Limbah Non-B3
4. Berdasarkan Sumbernya
a. Limbah rumah tangga
b. Limbah industri
c. Limbah pertanian
d. Limbah konstruksi
e. Limbah radioaktif

2.2 Limbah Industri


Pesatnya pertumbuhan di negera berkembang mendorong pertumbuhan
industri untuk memenuhi berbagai kebutuhan pasar. Jumlah Produksi yang tinggi
juga bebanding lurus dengan efek samping yang dihasilkan yaitu berupa limbah.
Limbah yang dihasilkan dari sector perindustrian ini kebanyakan adalah limbah
dengan jenis (B3) Bahan Berbahaya dan Beracun baik dalam bentuk padat, cair
maupun ga yang mana limbah dengan jenis B3 ini tidak boleh dibuang langsung ke
lingkungan karena sifatnya yang akan membahayakan ekosistem dan kelangsungan
hidup dari hewan tumbuhan bahkan manusia.
Menurut PP No. 101 Tahun 2014 tentang “Pengelolaan Limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun” Limbah B3 adalah zat, energi dan/atau komponen lain yang
karena sifat, konsenmtrasi dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak
langsung dapat mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup, dan atau
membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, serta kelangsungan hidup manusia dan
makhluk hidup lain.

Limbah yang dihasilkan dari perindustrian biasanya adalah bahan yang


sumbernya berasal dari sisa reaksi kimia, bahan sudah tidak diinginkan, bahan yang
rusak, bahan sisa dari proses kimia. Terdapat beragam bahan kimia yang terakumulasi
di dalam limbah industri berikut adalah bahan kimia yang terdapat di dalam limbah
industri:

1. Bahan kimia karsinogen


Bahan kimia yang bersifat karsinogen adalah bahan kimia yang
menyebabkan atau memicu terjadinya kanker apabila terpapar pada
manusia. Contoh dari limbah karsinogen ini adalah logam berat seperti Pb,
merkuri, serta kromium.
2. Bahan kimia toksik (beracun)
Bahan kimia toksik ini adalah bahan kimia yang dapat memnyebabkan
keracunan bahkan dapat menyebabkan kematian apabila terserap oleh
tubuh manusia baik melalui pernafasan, dermal dan pencernaan. Contoh
dari bahan kimia yang bersifat toksik adalah limbah medis dan logam
berat
3. Bahan kimia korosif
Bahan yang dapat merusak apabila berkontak dengan bahan lain ataupun
tubuh manusia contohnya adalah bahan-bahan yang bersifat asam
4. Bahan kimia radioaktif
Bahan kimia yang dapat memancarkan radiasi radioaktif yang dapat
membahayakan makhluk hidup baik itu hewan, tumbuhan bahkan
manusia. contoh dari limbah radioaktif ini adalah limbah dari pemanfaatan
tenaga nuklir.

2.3 Logam Berat


Logam berat adalah kelompok unsur logam dengan massa jenis lebih besar
dari 5 gr/cm3, yang pada tingkat tertentu menjadi bahan beracun dan sangat
berbahaya bagi makhluk hidup. Logam berat mempunyai sifat yang mudah mengikat
bahan organik, mengendap di dasar perairan dan bersatu dengan sedimen sehingga
kadar logam berat dalam sedimen lebih tinggi dibandingkan dalam air (Harahap,
2007).

Menurut Vouk (1986) terdapat 80 jenis dari 109 unsur kimia di muka bumi ini
yang telah teridentifikasi sebagai logam berat. Berdasarkan sudut pandang
toksikologi, logam berat dapat dibedakan menjadi logam berat esensial dan logam
berat non esensial.

1. Logam Berat Esensial


Logam berat esensial adalah logam yang keberadaannya dalam jumlah
tertentu sangat dibutuhkan oleh organisme hidup, namun dalam jumlah
yang berlebihan dapat menimbulkan efek racun, sebagai contoh antara lain
Zn, Cu, Fe, Co, Mn dan Se.
2. Logam Berat Non-Esensial
Merupakan logam yang beracun (toxic metal) yang keberadaannya dalam
tubuh masih belum diketahui manfaatnya, Logam berat ini dapat
menimbulkan efek yang merugikan kesehatan manusia, sehingga sering
disebut sebagai logam beracun. Senyawa ini tidak dapat rusak di alam dan
tidak berubah menjadi bentuk lain. sebagai contoh antara lain Hg, Cd, Pb,
Sn, Crdan As.

Menurut Palar (2012) logam berat memiliki beberapa ciri sebagai berikut:

1. Memiliki kemampuan yang baik sebagai penghantar daya listrik


(konduktor).
2. Memiliki rapat massa yang tinggi.
3. Dapat membentuk ikatan dengan logam lainnya.
4. Untuk logam yang padat dapat ditempa dan dibentuk.

Adapun menurut Sutamihardja dkk (1982), logam berat memiliki sifat-sifat sebagai
berikut:

1. Sulit didegradasi, sehingga mudah terakumulasi dalam lingkungan perairan


dan keberadaannya secara alami sulit terurai (dihilangkan).
2. Dapat terakumulasi dalam organisme termasuk kerang dan ikan, dan akan
membahayakan kesehatan manusia yang mengkonsumsi organisme tersebut.
3. Mudah terakumulasi di sedimen, sehingga konsentrasinya selalu lebih tinggi
dari konsentrasi logam dalam air. Di samping itu sedimen mudah tersuspensi
karena pergerakan masa air yang akan melarutkan kembali logam yang
dikandungnya ke dalam air, sehingga sedimen menjadi sumber pencemar
potensial dalam skala waktu tertentu.

Logam berat terdapat secara alami dalam lapisan kerak bumi sebagai hasil
tambang, baik dalam bentuk logam bebas maupun dalam bentuk logam organik dan
anorganik.Logam berat dapat digolongkan menjadi beberapa jenis berdasarkan sifat
racunnya sebagai berikut:

1. Sangat beracun
Dapat mengakibatkan kematian ataupun gangguan kesehatan yang pulih
dalam waktu yang singkat, logam-logam tersebut antara lain: Hg, Pb, Cd,
Cr, As.
2. Moderat
Yaitu mengakibatkan gangguan kesehatan baik yang pulih maupun tidak
dalam waktu yang relatif lama, logam-logam tersebut antara lain: Ba, Be,
Cu, Au, Li, Mn, Se, Te, Co, dan Rb.
3. Kurang beracun
Logam ini dalam jumlah besar menimbulkan gangguan kesehatan, logam-
logam tersebut antara lain: Al, Bi, Co, Fe, Ca, Mg, Ni, K, Ag, Ti, dan Zn.
4. Tidak beracun
Tidak menimbulkan gangguan kesehatan. Logam-logam tersebut antara
lain: Na, Al, Sr, dan Ca.

Salah Satu logam berat yang kian mendapat perhatian ialah krom (Cr). Kata
kromium berasal dari kata Yunani “Chroma” yang berarti warna. Kromium atau
dikenal dengan logam Cr merupakan salah satu logam mineral yang keberadaannya
terkandung dalam lapisan bumi. Kromium adalah elemen yang secara alamiah
ditemukan dalam konsentrasi yang rendah di batuan, hewan, tanaman, tanah, debu
vulkanik dan juga gas. Logam Cr sering ditemukan dalam bentuk persenyawaan
padat/mineral dengan unsur-unsur yang lain, namun kromium dalam bentuk logam
bebas tidak pernah ditemukan di alam

Kromium adalah salah satu unsur kimia dalam tabel periodik yang berada di
golongan VI yang memiliki warna abu-abu, berkilau, keras dan rapuh, memerlukan
pemolesan tinggi dan tahan akan pengusaman serta memiliki titik lebur yang tinggi.,
kebanyakan bijih terdiri dari mineral kromit dengan formula ideal FeCr2O4.

Kromium banyak digunakan secara luas dalam penyepuhan, penyamakan kulit,


pelapis kromat dan pelapis logam (Malkoc, 2007). Kromium mempunyai sifat tidak
mudah teroksidasi oleh udara, karena itu banyak digunakan sebagai pelapis logam,
pengisi stainless steel, lapisan perlindungan untuk mesin-mesin otomotif dan
perlengkapan tertentu (Sax, 1987) Sebagaimana unsur-unsur kimia lainnya kromium
memiliki sifat fisik dan kimia. Berikut adalah sifat fisik dan kimia dari Kromium
(Cr):

1. Sifat Fisik Kromium

Tabel 2.1 Sifat Fisik Kromium

Massa Jenis 7,15 g/cm3 (250C)


Titik Lebur 2180 K, 19070C, 3465 ° F
Titik Didih 2944 K, 26710C, 4840 ° F
Entalpi Peleburan 20,5 kJ mol -1
Panas Penguapan 339 kJ mol -1
Entalpi Atomisasi 397 kJ mol -1
0
Kapasitas Kalor (25 C) 23,25 J/mol.K
Konduktivitas Termal 94 W m -1 K -1
Koefisien ekspansi termal linier 4,9 x 10 -6 K -1
Kepadatan 7,140 kg m -3
Volum Molar 7,23 cm 3
Sifat Resistivitas listrik 12,7 10 -8 Ω m
Sumber: Scribd

2. Sifat Kimia Kromium


Tabel 2.2 Sifat Kimia Kromium

Nomor Atom 24
Massa Atom 51,9961 g/mol
Golongan, periode, blok VI B, 4, d
Konfigurasi electron [Ar] 3d5 4s1
Jumlah elektron tiap kulit 2, 8,13, 1
Afinitas electron 64,3 kJ / mol -1
Ikatan energi dalam gas 142,9 ± 5,4 kJ / mol -1.
Panjang Ikatan Cr-Cr 249 pm

Logam berat krom ini terdapat pada limbah hasil electroplating dan limbah
penyamakan kulit. logam kromium murni tidak pernah ditemukan di alam. Sebagai
logam berat, krom termasuk logam yang mempunyai daya racun tinggi. Daya racun
yang dimiliki oleh khrom ditentukan oleh valensi ionnya yaitu Cr (VI) (Chromium
hexavalent) dan Cr(III) (Chromium Trivalent).

Kromium VI (Chromium Hexavalen) Bersifat karsinogenik yang mana sangat


berbahaya bagi makhluk hidup juga dapat menyebabkan iritasi pada kulit manusia
sedangkan Kromium III (Chromium Trivalent) kadar toksisitasnya jauh lebih rendah
dibandingkan dengan Kromium VI. Kromium III merupakan salah satu nutrisi yang
diperlukan oleh tubuh manusia Kromium mempunyai fungsi meningkatkan kerja
biologis insulin (Mertz,1998). Hormon yang berperan penting dalam menjaga
metabolisme karbohidrat, lemak dan protein sehingga dapat menjaga kadar gula darah
dalam kondisi normal (Porte, 2003). Adapun angka kecukupan kromium dalam tubuh
manusia adalah 35 µg per hari untuk laki-laki dan 25 µg per hari untuk perempuan
umur 19-50 tahun. Nilai tengah suplementasi kromium adalah 23 µg perhari. IOM
menetapkan kecukupan yang lebih rendah pada kelompok umur di atas 50 tahun yaitu
30 µg untuk laki-laki dan 20 µg untuk perempuan (Institute of Medicine, 2001).

Menurut EPA (Environmental Protection Agency) Kadar Kromium maksimal


dalam air minum adalah 0.1 mg/L. Di Indonesia berdasarkan surat keputusan Menteri
lingkungan hidup (KEPMENLHK) nomor: KEP-51 /MENLH/10/1995 tentang baku
mutu limbah cair untuk beberapa limbah industri adalah sebagai berikut:

Tabel 2.3 Baku mutu limbah cair untuk industri penyamakan kulit

Sumber: Keputusan menteri negara lingkungan hidup


NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995

Tabel 2.4 Baku mutu limbah cair untuk industri pelapisan logam

Sumber: Keputusan menteri negara lingkungan hidup

NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
2.4 Pengolahan Limbah
Pengolahan limbah, atau pengolahan air limbah domestik, adalah proses
penghilangan kontaminan dari air limbah dan limbah rumah tangga, baik limpasan
(efluen) maupun domestik. Hal ini meliputi proses fisika, kimia, dan biologi untuk
menghilangkan kontaminan fisik, kimia dan biologis. Tujuannya adalah untuk
menghasilkan aliran limbah (atau efluen yang telah diolah) dan limbah padat atau
lumpur yang cocok untuk pembuangan atau penggunaan kembali terhadap
lingkungan. (Khopkar, 2004).

Pengolahan limbah bertujuan untuk mereduksi atau meminimisasi limbah,


menurut Bapedal minimisasi limbah adalah upaya untukmengurangi volume,
konsentrasi, toksisitas dan tingkat bahaya limbah yang berasal dari proses produksi,
dengan jalan reduksi pada sumber dan/atau pemanfaatan limbah.

Pengolahan limbah dapat dilakukan ketika limbah yang dihasilkan belum


memenuhi standar baku mutu yang ditentukan sehingga belum bias dibuang ke
lingkungan. Limbah yang belum memenuhi standar baku mutu ini harus diolah
sedemikian rupa dengan menggunakan metode tertentu sehingga dapat memenuhi
standar baku mutu yang aman untuk dilepaskan ke lingkungan. Pemilihan metode
pengolahan terhadap limbah bergantung kepada komposisi limbah dan jenisnya.
Limbah dengan kandungan dan karakteristik tertentu memerlukan pengolahan limbah
yang berbeda dengan limbah lainnya.

Menurut Soemantojo, pemilihan cara pengolahan limbah bergantung pada hal-


hal berikut:

1. Laju alir, komposisi, dan kondisi limbah


2. Baku mutu atau pembatasan lainnya
3. Teknologi pengolahan yang tersedia
4. Pertimbangan ekonomi
5. Sumber daya manusia yang ada
6. Kemungkinan pengembangan kegiatan/proses/produksi
2.5 Fitoremediasi
Fitoremediasi adalah penyerap polutan yang dimediasi oleh tumbuhan
termasuk pohon, rumput-rumputan, dan tumbuhan air. Pencucian bisa berarti
penghancuran, inaktivasi atau imobilisasi polutan ke bentuk yang tidak berbahaya
(Chaney dkk., 1995). Fitoremediasijuga dapat didefinisikan sebagai upaya
penggunaan tanaman dan bagian-bagiannya untuk dekontaminasi limbah dan
masalah-masalah pencemaran lingkungan baik secara ex-situ menggunakan kolam
buatan atau reaktor maupun in-situ atau secaralangsung di lapangan pada tanah atau
daerah yang terkontaminasi limbah (Subroto, 1996).

Pada awal perkembangan fitoremediasi, perhatian hanya difokuskan pada


kemampuan hiperakumulator dalam mengatasi pencemaran logam berat dan zat
radioaktif, tetapi kemudian berkembang untuk pencemar anorganik seperti arsen (As)
dan berbagai substansi garam dan nitrat, serta kontaminan organik seperti khlorin,
minyak hidrokarbon, dan pestisida.

Ada beberapa metode fitoremediasi yang sudah digunakan secara komersial


maupun masih dalam taraf riset yaitu metode berldanaskan pada kemampuan
mengakumulasi kontaminan (phytoextraction) atau pada kemampuan menyerap dan
mentranspirasi air dari dalam tanah (creation of hydraulic barriers). Kemampuan
akar menyerap kontaminan di dalam jaringan (phytotransformation) juga digunakan
dalam strategi fitoremediasi. Fitoremediasi juga berldanaskan pada kemampuan
tumbuhan dalam menstimulasi aktivitas biodegradasi oleh mikrobia yang berasosiasi
dengan akar (phytostimulation) dan imobilisasi kontaminan di dalam tanah oleh
eksudat dari akar (phytostabilization) serta kemampuan tumbuhan dalam menyerap
logam dari dalam tanah dalam jumlah besar dan secara ekonomis digunakan untuk
meremediasi tanah yang bermasalah (phytomining) (Chaney dkk., 1995).

Tumbuhan memiliki beberapa cara untuk menghadapi bahan pencemar,


menurut Corseuil dan Moreno (2000), mekanisme tumbuhan dalam menghadapi
bahan pencemar beracun adalah sebagai berikut:
1. Penghindaran (escape) fenologis. Apabila pengaruh yang terjadi pada
tanaman musiman, tanaman dapat menyelesaikan daur hidupnya pada musim
yang cocok.
2. Ekslusi, yaitu tanaman dapat mengenal ion yang bersifat toksik dan
mencegah penyerapan sehingga tidak mengalami keracunan.
3. Penanggulangan (ameliorasi). Tanaman mengabsorpsi ion tersebut, tetapi
berusaha meminimumkan pengaruhnya. Jenisnya meliputi pembentukan
khelat (chelation), pengenceran, lokalisasi atau bahkan ekskresi.
4. Toleransi. Tanaman dapat mengembangkan sistem metabolit yang dapat
berfungsi pada konsentrasi toksik tertentu dengan bantuan enzim.

Secara alami tumbuhan memiliki beberapa keunggulan, yaitu:

1. Beberapa famili tumbuhan memiliki sifat toleran dan hiperakumulator


terhadap logam berat
2. Banyak jenis tumbuhan dapat merombak polutan
3. Pelepasan tumbuhan yang telah dimodifikasi secara genetik ke dalam suatu
lingkungan relatif lebih dapat dikontrol dibdaningkan dengan mikrobia
4. Tumbuhan memberikan nilai estetika
5. Dengan perakarannya yang dapat mencapai 100 x 106 km akar per ha,
tumbuhan dapat menghasilkan energi yang dapat dicurahkan selama proses
detoksifikasi polutan.
6. Asosiasi tumbuhan dengan mikroba memberikan banyak nilai tambah dalam
memperbaiki kesuburan tanah (Feller, 2000).

Semua tumbuhan memiliki kemampuan menyerap logam tetapi dalam jumlah


yang bervariasi. Sejumlah tumbuhan dari banyak famili terbukti memiliki sifat
hipertoleran, yakni mampu mengakumulasi logam dengan konsentrasi tinggi pada
jaringan akar dan tajuknya, sehingga bersifat hiperakumulator. Sifat hiperakumulator
berarti dapat mengakumulasi unsur logam tertentu dengan konsentrasi tinggi pada
tajuknya dan dapat digunakan untuk tujuan fitoekstraksi. Dalam proses fitoekstraksi
ini logam berat diserap oleh akar tanaman dan ditranslokasikan ke tajuk untuk diolah
kembali atau dibuang pada saat tanaman dipanen (Chaney dkk., 1995).

Mekanisme biologis dari hiperakumulasi unsur logam pada dasarnya meliputi


beberapa proses yaitu:

1. Interaksi rizosferik, yaitu proses interaksi akar tanaman dengan medium


tumbuh (tanah dan air). Dalam hal ini tumbuhan hiperakumulator memiliki
kemampuan untuk melarutkan unsur logam pada rizosfer dan menyerap logam
bahkan dari fraksi tanah yang tidak bergerak sekali sehingga menjadikan
penyerapan logam oleh tumbuhan hiperakumulator melebihi tumbuhan
normal (McGrath dkk., 1997).
2. Proses penyerapan logam oleh akar pada tumbuhan hiperakumulator lebih
cepat dibdaningkan tumbuhan normal, terbukti dengan adanya konsentrasi
logam yang tinggi pada akar (Lasatdkk., 1996). Akar tumbuhan
hiperakumulator memiliki daya selektifitas yang tinggi terhadap unsur logam
tertentu (Gabbrielli dkk., 1991).
3. Sistem translokasi unsur dari akar ke tajuk pada tumbuhan hiperakumulator
lebih efisien dibandingkan tanaman normal. Hal ini dibuktikan oleh nisbah
konsentrasi logam tajuk/akar pada tumbuhan hiperakumulator lebih dari satu
(Gabbrielli dkk., 1991).

Mekanisme penyerapan dan akumulasi logam berat oleh tumbuhan dapat


dibagi menjadi tiga proses yang sinambung, yaitu penyerapan logam oleh akar,
translokasi logam dari akar ke bagian tumbuhan lain, dan lokalisasi logam padam
bagian sel tertentu untuk menjaga agar tidak menghambat metabolisme tumbuhan
tersebut (Connel dan Miller, 1995). Pembentukan reduktase di membran akar
berfungsi mereduksi logam yang selanjutnya diangkut melalui kanal khusus di dalam
membran akar. Setelah logam dibawa masuk ke dalam sel akar, selanjutnya logam
harus diangkut melalui jaringan pengangkut, yaitu xilem dan floem kebagian
tumbuhan lain oleh molekul khelat. Berbagai molekul khelat yang berfungsi mengikat
logam dihasilkan oleh tumbuhan, misalnya histidin yang terikat pada Ni dan
fitokhelatin-glulation yang terikat pada Cd (Salt dkk., 1998).

2.6 Karakteristik Kayu Apu (Pistia stratiotes L.)


Kayu apu (Pistia stratiotes L.) merupakan tumbuhan air yang biasa dijumpai
mengapung di perairan tenang atau kolam. Ia juga populer sebagai tumbuhan
pelindung akuarium. Orang juga mengenalnya sebagai kayu apung atau kapu-kapu.
Apu-apu, Menurut Rijal (2014), tumbuhan ini dikenal dengan water lettuce dalam
bahasa inggris yang berarti kubis air atau selada air. Tumbuhan kayu apu ini
merupakan tumbuhan yang berasal dari Afrika atau Amerika selatan, yang tumbuh
secara alami atau bisa juga dibawa oleh manusia. Penyebaran hidrophyta secara luas
pada iklim tropis.

Kayu apu merupakan jenis gulma air (aquatic weeds) yang tumbuh
mengapung (floating weeds) dan banyak ditemukan di area persawahan, baik yang
masih tergenang maupun sawah yang padinya telah dipanen. Dampak negatif
tumbuhnya kayu apu adalah terganggunya pertumbuhan tanaman budidaya dengan
gulma ini. Selain itu, kayu apu juga membuat pupuk yang diberikan oleh petani tidak
dapat sampai ke tanah karena terhalang oleh daun kayu apu yang cukup lebar.
Akibatnya, pupuk yang diberikan oleh petani tidak dapat terserap secara efektif oleh
tanaman budidaya. Kayu apu ini tidak memiliki nilai ekonomi tinggi, kecuali sebagai
sumber humus karena tumbuhnya pesat dan orang mengumpulkannya untuk dijadikan
pupuk, kadang-kadang dipakai sebagai bagian dari dekorasi dalam ruang atau sebagai
tanaman hias di kolam atau akuarium.

Kayu Apu termasuk dalam famili Araceae yang tumbuh mengapung pada
permukaan air dengan akar-akarnya yang menggantung terendam di bawah bagian
daunnya yang mengambang. Lebar daun tumbuhan ini antara 5-14 cm dan jarak antar
nodusnya 0,1-0,5 cm sehingga membuat susunan daun pada tumbuhan ini terdapat
pada tiap bagian rosetnya (Don, 2006). Daunnya berwarna hijau atau hijau kebiruan
dan berubah kekuningan saat tua dengan ujung membulat dan pangkal agak
meruncing. Tepi daun berlekuk-lekuk dan memiliki rambut tebal yang lembut pada
permukaannya. Daun daun tebal, kenyal, dan lembut, sepintas membentuk pahatan
seperti mahkota bunga mawar. Pertulangan daun sejajar. Daun-daun ini tersusun
secara roset di dekat akar hingga membentuk bagian seperti batang tanaman.

Tanaman air kayuapu memiliki akar panjang (hingga 8 cm) yang berwarna
putih. Akar menggantung di bawah roset dan memiliki stolon. Rambut-rambut akar
membentuk suatu struktur seperti keranjang yang dikelilingi gelembung udara,
sehingga meningkatkan daya apung tumbuhan itu. Bunga kayu apu bertipe bunga
tongkol yang muncul di ketiak daun. Bunga berwarna keputihan, berukuran sekitar 1
cm. Buahnya buni, berbentuk bulat, berwarna merah, dengan ukuran 5-8 cm. Bijinya
bulat, berwarna hitam, berukuran sekitar 2 mm.

Tanaman ini tumbuh di air yang tenang, seperti danau, kolam, rawa-rawa,
hingga sungai yang aliran airnya tidak deras. Tumbuh mengapung di permukaan air
yang banyak terkena sinar matahari. Berkembang biak secara generatif melalui biji
dan vegetatif melalui stolon. Pertumbuhan dan perkembangan tanaman air ini sangat
cepat sehingga menjadikannya sebagai salah satu tanaman hias yang paling mudah
perawatannya.

Tanaman kayu apu ini memiliki berbagai manfaat baik bagi kesehatan
maupun bagi lingkungan. Menurut Bachtiar (2010) kayu apu memiliki beberapa
manfaat diantaranya:

1. Menurut Bachtiar (2010), daun kayu apu yang mengandung protein yang
tinggi dimanfaatkan oleh ikan gurami dewasa untuk makanan.
2. Dapat digunakan untuk mengendalikan pertumbuhan lumut di kolam ikan
3. Sebagai pembersih air, menyerap limbah akibat pencemaran bahan
radioaktif dan logam berat yang terdapat di dalam air.

Selain bermanfaat bagi lingkungan perairan kayu apu juga memiliki manfaat
bagi kesehatan sebagaimana menurut Menurut Adi (2008), daun kayu apu
mengandung flavonoid, polifenol, tannin. sehingga dapat dimanfaatkan menjadi
berbagai obat diantaranya:

1. Flu, demam, batuk rejan.


2. Pegal-linu (reumatism), bengkak terbentur
3. Bengkak (edema), kencing terasa nyeri (disuria)
4. Kencing nanah,
5. Gatal alergi (urtikaria), gatal-gatal
6. Disentri
7. Penyakit kulit seperti bisul dan eksim

2.7 Karakteristik Eceng Gondok (Eichhornia crassipes)


Eceng gondok (Eichhornia crassipes) merupakan jenis tumbuhan air yang
hidup mengapung. Di beberapa daerah di Indonesia, eceng gondok mempunyai nama
lain seperti di daerah Palembang dikenal sebagai Kelipuk, di Lampung dikenal
dengan Ringgak, di Manado dikenal dengan nama Tumpe. Menurut sejarahnya, eceng
gondok ditemukan pertama kali oleh seorang ilmuwan bernama Carl Friedrich
Philipp von Martius, seorang ahli botani berkebangsaan Jerman pada tahun 1824 di
Sungai Amazon Brazil. Eceng gondok merupakan tumbuhan air yang tumbuh di
rawa-rawa, danau, waduk, dan aliran sungai yang alirannya tenang. Menurut
sejarahnya, eceng gondok di Indonesia dibawa oleh seorang ahli botani dari Amerika
ke kebun Raya Bogor. Akibat pertumbuhan yang cepat (3% per hari), eceng gondok
ini mampu menutupi seluruh permukaan kolam. Eceng gondok tersebut lalu dibuang
melalui sungai disekitar Kebun Raya Bogor sehingga menyebar ke sungai-sungai,
rawa-rawa, dan danau-danau di seluruh Indonesia.

Eceng gondok (Eichhornia crassipes) termasuk dalam famili Pontederiaceae.


Tanaman ini memiliki bunga berwarna ungu muda (lila). Daunnya berbentuk bulat
telur dan berwarna hijau segar serta mengkilat bila diterpa sinar matahari. Daun-daun
tersebut ditopang oleh tangkai berbentuk silinder memanjang yang kadang- kadang
sampai mencapai 1 meter dengan diameter 1-2 cm. Tangkai daunnya berisi serat yang
kuat dan lemas serta mengandung banyak air. Eceng gondok tumbuh mengapung di
atas permukaan air, tumbuh dengan menghisap air dan menguapkannya kembali
melalui tanaman yang tertimpa sinar matahari melalui proses evaporasi. Oleh
karenanya, selama hidupnya senantiasa diperlukan sinar matahari (Aniek, 2003).

Eceng gondok hidup tingginya sekitar 0,4 - 0,8 meter. Tidak mempunyai
batang. Daunnya tunggal dan berbentuk oval, ujung dan pangkalnya meruncing,
pangkal tangkai daun menggelembung. Permukaan daunnya licin dan berwarna hijau.
Bunganya termasuk bunga majemuk, berbentuk bulir, kelopaknya berbentuk tabung.
Bijinya berbentuk bulat dan berwarna hitam. Buahnya kotak beruang tiga dan
berwarna hijau. Akarnya merupakan akar serabut (Lail, 2008).

Menurut Widyanto (1975) dalam Matsukana tahun 1988, satu tumbuhan


tunggal eceng gondok memiliki waktu melipat ganda 10 hari, satu tumbuhan tunggal
eceng gondok dapat menutupi dunia dalam waktu satu tahun delapan bulan, dan
menjajah dunia 2000 kali dalam 2 tahun. (Haryanti dkk, 2009 dalam Nurmala 2014).
Eceng gondok memiliki kecepatan tumbuh yang tinggi sehingga tumbuhan ini
dianggap sebagai gulma yang dapat merusak lingkungan perairan. Eceng gondok juga
sering di manfaatkan sebagai bahan kerajinan dan sedikitnya menjadi bahan mata
pencaharian.

menurut VAN Steenis, (1978) tanaman eceng gondok dapat diklasifikasikan


sebagai berikut :
Tabel 2.5 Klasifikasi Eceng Gondok
Kingdom Plantae
Sub kingdom Tracheobionta
Super Divisi Spermatophyta
Ordo Alismatales
Famili Butomaceae
Genus Eichornia
Spesies : Eichornia crassipes solms

Eceng gondok merupakan tumbuhan hiperakumulator yang mampu


mentranslokasikan unsur pencemar dengan konsentrasi yang tinggi ke jaringan
tubuhnya tanpa membuat eceng gondok tumbuh dengan tidak normal (Eddy, 2008).
Kehadiran eceng gondok dapat bermanfaat untuk memurnikan air dari
pencemaran-pencemaran seperti metal-metal toksik (Pb, Hg), metal-metal
karsinogenik (Ni, Cd), pencemaran organik (keturunan-keturunan
phenol), limbah pertanian dan rumah tangga (Pestisida, Pupuk, N, P). Kemampuan
eceng gondok menyerap sejumlah zat dapat bersaing dengan kebutuhan akan zat
yang dapat dilarutkan oleh produsen-produsen primer lainnya seperti fitiplankton
dan periphyton, yang menghasilkan air lebih jernih (Matsunaka, 1988).
Kemampuan eceng gondok menyerap senyawa kimia pada air limbah
adalah karena adanya vakuola dalam struktur sel. Vakuola merupakan rongga besar
di bagian dalam sel tumbuhan. Vakuola mengisi 90 % dari seluruh volume sel dan
merupakan bagian utama untuk akumulasi ion (Campbell dkk, 2003). Secara
fisiologis eceng gondok dapat berperan secara tidak langsung dalam mengurangi
bahan pencemar di perairan. Kemampuan menyerap logam persatuan berat kering
eceng gondok lebih tinggi pada umur muda daripada umur tua (Mukti, 2008).
2.8 Kiambang (Salvinia molesta)
Kiambang (Salvinia molesta), Kiambang berasal dari Amerika Selatan dan
merupakan tumbuhan air yang digambarkan sebagai salah satu gulma yang
merugikan di dunia Doeleman (1989). Kiambang diperkenalkan di pulau jawa
melalui Kebun Raya Bogor, Berdasarkan dokumen Kebun Raya Bogor, Kiambang
diperkenalkan pada 12 Desember 1950 dari Kebun Raya Montreal, Kanada (Bangun,
1988).
Kiambang merupakan tumbuhan air yang banyak terdapat di sawah, kolam,
sungai, genangan air, danau payau, dan saluran air. Terkadang menjadi sangat banyak
dan menutupi permukaan air yang diam atau aliran yang lambat (Soerjani et al.,1987).
Menurut Halloo dan Silalahi (1997) mengemukakan bahwa kiambang merupakan
tumbuhan air yang hidup terapung bebas di atas permukaan air, yang pertumbuhan
dan perkembangan sangat cepat sehingga menutupi permukaan air. Kiambang dapat
dijumpai mulai dari dataran rendah sampai ketinggian 1800 m diatas permukaan laut,
di Indonesia banyak terdapat di Sumatra, Jawa, dan Kalimantan ( Soerjani et
al.,1987).
Kiambang memiliki batang, daun, dan akar. Batang bercabang tumbuh
mendatar, berbuku-buku, ditumbuhi bulu, dan panjangnya dapat mencapai 30 cm
(Soerjani et al., 1987). Pada setiap buku terdapat sepasang daun yang mengapung dan
sebuah daun yang tenggelam. Daun yang mengapung berbentuk oval, alterna dengan
panjang tidak lebih dari 3 cm, tangkai pendek ditutupi banyak bulu, dan berwarna
hijau (Soerjani dan Pancho, 1978). Daun yang tenggelam menggantung dengan
panjang mencapai 8 cm, berbelah serta terbagi-bagi dan berbulu halus. Sepintas
penampilannya mirip akar, akan tetapi sebenarnya daun yang berubah bentuk dan
mempunyai fungsi sebagai akar (Soerjani et al.,1987).
Adapun beberapa factor penyebaran kiambang Menurut Bangun (1988)
faktor-faktor yang mempengaruhi penyebaran Kiambang adalah
1. Kemampuan memperbanyak diri secara vegetatif dengan cepat.
2. Dapat tumbuh dari bagian sepotong tumbuhan.
3. Populasi cepat dan mantap karena tidak tergantung pada perbanyakan
secara seksual.
4. Pertumbuhan yang morfologisnya lebih banyak menghasilkan bagian yang
berfotosintesa.
5. Ketidaktergantungan pertumbuhan pada kondisi substrat dan fluktuasi dari
permukaan.

Terdapat tiga fase pertumbuhan Kiambang. Pada fase pertama daun datar
dengan diameter 10 mm, fase kedua daun tumbuh dengan panjang 25 mm, lebar, dan
melipat keatas, pada fase ketiga daun berukuran 38x25 mm, kompak, hampir, tegak,
dan melipat. Ketiga fase ini berkembang pada kondisi lingkungan bawah optimal dan
terjadi selama 2-3 minggu (Soerjani et al., 1987).

Menurut Soerjani dan Pancho (1978), kiambang dapat diklasifikasikan


sebagai berikut:

Tabel 2.6 Klasifikasi Kiambang

Divisi Pteridophyta
Kelas Pterophyta
Sub Kelas Lestosporangiate
Ordo Salviniales
Famili Salviniaceae
Genus Salvinia
Spesies Salvinia molesta

2.9 Spektrometri Serapan Atom (SSA)


Spektrometri merupakan suatu metode analisis kuantitatif yang
pengukurannya berdasarkan banyaknya radiasi yang dihasilkan atau yang diserap
oleh spesi atom atau molekul analit. Salah satu bagian dari spektrometri ialah
Spektrometri Serapan Atom (SSA), merupakan metode analisis unsur secara
kuantitatif yang pengukurannya berdasarkan penyerapan cahaya dengan panjang
gelombang tertentu oleh atom logam dalam keadaan bebas (Skoog et. al., 2000).

Sejarah SSA berkaitan erat dengan observasi sinar matahari. Pada tahun 1802
Wollaston menemukan garis hitam pada spektrum cahaya matahari yang kemudian
diselidiki lebih lanjut oleh Fraunhofer pada tahun 1820. Brewster mengemukakan
pandangan bahwa garis Fraunhofer ini diakibatkan oleh proses absorpsi pada atmoser
matahari. Prinsip absorpsi ini kemudian mendasari Kirchhoff dan Bunsen untuk
melakukan penelitian yang sistematis mengenai spektrum dari logam alkali dan alkali
tanah. Kemudian Planck mengemukakan hukum kuantum dari absorpsi dan emisi
suatu cahaya. Menurutnya, suatu atom hanya akan menyerap cahaya dengan panjang
gelombang tertentu (frekwensi), atau dengan kata lain ia hanya akan mengambil dan
melepas suatu jumlah energi tertentu, (ε = hv = hc/λ). Kelahiran SSA sendiri pada
tahun 1955, ketika publikasi yang ditulis oleh Walsh dan Alkemade & Milatz
muncul. Dalam publikasi ini SSA direkomendasikan sebagai metode analisis yang
dapat diaplikasikan secara umum (Weltz, 1976).

Apabila cahaya dengan panjang gelombang tertentu dilewatkan pada suatu sel
yang mengandung atom-atom bebas yang bersangkutan maka sebagian cahaya
tersebut akan diserap dan intensitas penyerapan akan berbanding lurus dengan
banyaknya atom bebas logam yang berada dalam sel. Hubungan antara absorbansi
dengan konsentrasi diturunkan dari:

1. Hukum Lambert : Bila suatu sumber sinar monokromatik melewati medium


transparan, maka intensitas sinar yang diteruskan berkurang dengan
bertambahnya ketebalan medium yang mengabsorpsi.
2. Hukum Beer : Intensitas sinar yang diteruskan berkurang secara eksponensial
dengan bertambahnya konsentrasi spesi yang menyerap sinar tersebut.

Dari kedua hukum tersebut diperoleh suatu persamaan sebagai berikut:

It = Io.e-(εbc), atau

A = - Log It/Io = εbc

Dimana:
Io = Intensitas sumber sinar
It = Intensitas sinar yang diteruskan
Ε = Absortivitas molar
B = Panjang medium
C = Konsentrasi atom-atom yang menyerap sinar
A = Absorbans.

Dari persamaan di atas, dapat disimpulkan bahwa absorbansi cahaya


berbanding lurus dengan konsentrasi atom (Day & Underwood, 1989).

Pada alat SSA terdapat dua bagian utama yaitu suatu sel atom yang
menghasilkan atomatom gas bebas dalam keadaaan dasarnya dan suatu sistem optik
untuk pengukuran sinyal. Suatu skema umum dari alat SSA adalah sebagai berikut:

Gambar 2.1 Skema Komponen pada Alat SSA


Sumber : (Haswel, 1991)

Dalam metode SSA sampel harus diubah ke dalam bentuk uap atom. Proses
pengubahan ini dikenal dengan istilah atomisasi, pada proses ini contoh diuapkan dan
didekomposisi untuk membentuk atom dalam bentuk uap. Secara umum
pembentukan atom bebas dalam keadaan gas melalui tahapan-tahapan sebagai berikut
:

a. Pengisatan pelarut, pada tahap ini pelarut akan teruapkan dan


meninggalkan residu padat.
b. Penguapan zat padat, zat padat ini terdisosiasi menjadi atom-atom
penyusunnya yang mulamula akan berada dalam keadaan dasar.
c. Beberapa atom akan mengalami eksitasi ke tingkatan energi yang lebih
tinggi dan akan mencapai kondisi dimana atom-atom tersebut mampu
memancarkan energi.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Metode penelitian


Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode eksperimen
yang mana metode penelitian eksperimen ini merupakan metode penelitian
dimana variabel yang hendak diteliti (variabel terikat) kehadirannya sengaja
ditimbulkan dengan memanipulasi menggunakan perlakuan sesuai dengan
kebutuhan serta adanya kontrol sebagai pembanding (Nazir, 2014). Penelitian
dilakukan dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan empat perlakuan
yaitu:

1. Pengolahan limbah cair penyamakan kulit tanpa diberikan tanaman air


sebagai bak control
2. Pengolahan limbah cair dengan diberikan tanaman air kayu apu (Pistia
stratiotes L.),
3. Pengolahan limbah cair dengan diberikan tanaman air eceng gondok
(Eichhornia crassipes)
4. Pengholahan limbah cair dengan diberikan tanaman air kiambang
(Salvinia molesta)
masing-masing perlakuan dilakukan dilakukan sebanyak 6 ulangan yaitu:
0 hari, 3, hari, 6 hari, 9 hari, 12 hari dan 15 hari. Setiap sampel akan diuji
kromium totalnya di laboratorium dengan menggunakan metode AAS.

3.2 Lokasi Penelitian


Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Air Universitas Pasundan, Jl. Dr.
Setiabudhi No. 193, Geger Kalong, Kec, Sukasari, Kota Bandung, Jawa Barat
dan Laboratorium UPTD Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Barat, Jl. A.H
Nasution No.117, Pasir Endah, Kec. Ujung Berung, Kota Bandung, Jawa Barat.
3.3 Tahapan Penelitian

Gambar 3.1 Flowchart Tahapan penelitian


3.3.1 Tahap Persiapan Penelitian
3.3.1.1 Studi Literatur
Dalam tahap ini dilakukan studi literatur untuk memperoleh teori-teori yang
menjadi dasar dalam melakukan penelitian dan menganalisis data, Literatur yang
dipelajari berasal dari berbagai macam sumber antara lain jurnal ilmiah, buku,
website, peraturan, tugas akhir serta referensi lain yang berkaitan dengan penelitian
yang dilakukan.

3.3.1.2 Pengumpulan Tanaman Air


Dalam tahap ini dilakukan pengumpulan ketiga jenis tanaman yang akan
digunakan dalam penelitian, terdapat beberapa lokasi pengambilan tanaman eceng
gondok antara lain:

1. Kayu Apu (Pistia stratiotes L.)


Tanaman kayu apu didapat dari Kawasan Situ Bagendit Kec. Banyuresmi,
Kab. Garut Jawa Barat
2. Eceng Gondok eceng gondok (Eichhornia crassipes)
Tanaman Eceng Gondok didapatkan dari kolam ikan di Kawasan Kp. Nagrak
Ds. Mangkurakyat Kec. Cilawu Kab. Garut Jawa Barat.
3. Kiambang (Salvinia molesta)
Tanaman Kiambang didapatkan dari Kawasan persawahan di Kp. Kertamanah
Ds. Cimurah Kec. Karangpawitan Kab. Garut Jawa barat.

3.3.1.3 Uji Resistensi


Uji resistensi dilakukan pada ke tiga tanaman air yaitu kayu apu (Pistia
stratiotes L.), eceng gondok (Eichhornia crassipes), dan kiambang (Salvinia molesta)
dengan konsentrasi asli limbah sebesar dan konsentrasi sebesar 2ppm dengan tujuan
menemukan ketahanan tanaman paling optimal terhadap air limbah.
3.3.2 Tahap Pelaksanaan Penelitian
3.3.2.1 Fitoremediasi Logam Berat (Cr) Pada Limbah Penyamakan Kulit
Pada tahap ini dalingsungkan penelitian fitoremediasi air limbah penyamakan
kulit dengan tiga tanaman air yang berbeda pada reactor batch tertutup dengan
konsentrasi yang sama pada setiap bak untuk mengetahi tanaman yang paling efisian
untuk menyerap kromium total pada air limbah.

3.3.2.2 Analisis Data

Anda mungkin juga menyukai